Selasa, 05 Maret 2024

Mosalaparwa (Bedah Yadawa)

Hai semua pembaca dan penikmat kisah pewayangan. Kisah kali ini menceritakan kehancuran dari Wangsa Yadawa, yakni klan keturunan Prabu Yayati yang juga saudara dari Wangsa Baharata yakni klan para Pandawa. Kehancuran itu dikarenakan perang saudara kedua  setelah Gonjalisuta akibat dari dua kutukan yakni kutukan Samba dan kutukan Dewi Gendari. Kisah diawali dengan dijelaskan detail mokswanya para tetua Hastinapura, kelahiran Bajrawan, cicit Sri Kresna lalu perang besar di Tegal Tirtaprabhasa. Dikisahkan pula wafatnya Prabu Sri Kresna yang disusul Resi Curiganata alias Prabu Baladewa kembali ke alam dewata. Diakhir kisah, diceritakan tenggelamnya istana Dwarawati, ekspansi para Yadwa yang masih selamat dan  Prabuanom Kresnayaka beserta keturunan Sri Kresna yang masih tersisa mendirikan kerajaan pengganti Dwarawati yang tenggelam ke dasar samudera. Kisah ini mengambil sumber dari Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa, Serial Kolosal India Suryaputra Karna, dan blog https://caritawayang.blogspot.com/2012/10/kematian-kresna.html dengan penguabahan dan penambahan, dan penyelarasan seperlunya.

Tiga puluh tahun setelah Bharatayudha, para Pandawa disaksikan para tetua Hastinapura, prabu Sri Kresna dan Begawan Curiganata melantik para keturunan mereka dan keturunan para Kurawa sebagai penerus kerajaan. Prabu Parikesit, putra Abimanyu dilantik menjadi raja Hastinapura dengan wakilnya yakni Harya Dwara, putra Samba. Pelantikan ini sempat terganggu oleh Bambang Pancakesuma, putra Pancawala yang dihasut Kertiwindu, keturunan dari Sengkuni dan antek-anteknya. Namun satu anteknya yakni Danyang Suwela menghilang bagaikan asap. Entah kemana ia pergi. Akhirnya Bambang Pancakesuma berhasil disadarkan dan kembali dilantik sebagai raja Amarta dengan wakilnya Arya Wiwitsuh didampangi Yuyutsena, putranya. Patih Wiwitsuh adalah salah satu dari Kurawa yang masih tersisa selain Kertamarma yang hilang ingatan.. Cucu nakula dan sadewa yakni Bambang Suhatra, Bambang Niramitra, Niken Sayekti dan Endang Pritawati masih-masing memerintah negara Mandaraka, Bulukatiga, dan Cindekembang. Cucu Ajuna yang lain yakni Bambang Wiratmaka, putra Irawan dan Bambang Wisangkara, putra Wisanggeni dilantik sebagai kepala bhayangkari dan telik sandi Hastinapura. Putra pertama Prabu Gatotkaca yakni Prabu Sasikirana dilantik sebagai raja Pringgandani. Kedua adiknya yakni Bambang Suryakaca dan Arya Jayasumpena menjadi patih dan kepala bhayangkari kerajaan. Arya Danurwenda, putra Antareja menjadi raja Jangkarbumi dan Jayasena, putra Antasena, dilantik sebagai Haryapati Parangjaledri. Arya Srenggamurti ikut pula dilantik sebagai raja Gisiksamodra dan Endang Pancaseni, putri Sri Pancasena diangkat sebagai kepala Komnas Perempuan dan anak se-Aryawata bersama Endang Yodeyi, cucu Yudhistira yang lain dari putranya, Harya Yodeya. Dibawah kekuasaan Parikesit dan Pancakesuma, Kerajaan Hastinapura dan Amarta memutuskan untuk membentuk poros Indraprastha-Kurugangga-Awangga-Sindu-Dwaraka-Mandura-Madra dengan demikian akan memudahkan segala sesuatunya dan  perekonomian mengalir lancar. Prabu Parikesit terkenal akrab dengan Prabu Warsaka, putra Bambang Warsakusuma, cucu Adipati Karna. Selain itu, Prabu Surata, putra Jayadrata dengan Dewi Durshilawati semakin mempererat jalinan persahabatan dengan cucu Arjuna itu.

Para tetua Hastinapura yakni Dewi Kunthi, Dewi Gendari, Adipati Drestarastra, dan Arya Widura secara bersamaan mendapatkan mimpi melihat cahaya dan terdampar di taman bunga. Karena mimpi itu, mereka memutuskan untuk meninggalkan keraton dan menjalani hidup sebagai seorang pertapa. Singkat cerita, para tetua sampai di hutan di kaki bukit dan mulai bersemadhi. Pada suatu hari yang cerah di musim semi yang indah, Adipati Drestarastra berduka lara karena terus teringatkan oleh para putranya “anak-anakku...rindunya kau pada kalian semua..” Dewi Gendari dan Dewi Kunthi menenangkannya “kakanda, aku juga rindu pada mereka. Tapi apa boleh buat mereka telah mendahului kita.. kita hanya bisa bersabar. “ “benar kata kakangmbok Gendari, cukup kita doakan agar mereka bisa tenang di alam sana.” Beberapa hari kemudian datanglah para Pandawa dan beberpaa cucu mereka untuk menjenguk. Mengetahui bahwa Drestarastra masih diliputi duka akan kematian putra-putranya, para Pandawa lalu berdoa kepada dewata agar terobati rasa rindu uwak mereka itu. Datanglah sebuah sebuah mukjizat kepada anggota wangsa Baharata yang masih hidup pada saat itu.

Para Tetua Hastinapura terjebak dan terbakar di hutan
Mula-mula terdengarlah suara dari langit menyuruh para tetua berkumpul di tepi Bengawan Gangga, kemudian suara langit itu memanggil roh para kesatria yang gugur di medan perang Kurusetra, dan membuat mereka menampakkan wujud. Drestarastra yang buta pun diberi penglihatan oleh para dewa pada saat itu agar dapat menyaksikan wajah putra-putranya untuk yang pertama kalinya. Pada kesempatan itu pula, roh para seratus Kurawa dan Adipati Karna berdamai dengan para Pandawa. Mereka semua meminta maaf. Jiwa Prabu Duryudhana meminta kepada para Pandawa selalu mendoakannya dan saudara-saudaranya agar dibebaskan dari siksaan api neraka. Adipati Karna pun meminta kepada adik-adiknya itu khususnya kepada Arjuna agar selalu mendoakannya. Setelah hari itu, para tetua semakin khusyuk menjalankan penebusan dosa itu sehinggalah di hari itu, di hari yang teramat terik panas di musim kemarau, hutan tiba-tiba terbakar dan api mengepung mereka dari segala penjuru. Namun semuanya tetap khusyuk bersemadhi sehingga mereka pun lemas kehabisan nafas dan ikut terbakar. Hanya Arya Sanjaya putra Arya Widura yang selamat dari musibah itu dan membawa kabar menyedihkan itu ke Hastinapura. Kabar itu terdengar hingga ke telinga para Pandawa, Prabu Sri Kresna, Begawan Curiganata, dan para cucu. Berdukalah seantero Jawadwipa. Sejak saat itu, Begawan Curiganata semakin sering datang ke Hastinapura untuk membimbing para cucunya.

Pada suatu hari, Prabu Sri Kresna bermimpi ditemui Batara Kala. Dalam mimpi itu Batara Kala berkata “Hyang Wisnu, waktunya telah dekat. Kau harus melihat penglihatanku.” “penglihatan apa itu, Kala?” tanpa banyak bicara Batara Kala menciptakan sebuah gambaran penglihatan. Dalam penglihatan itu, batara Kala dan Batara Wisnu dalam wujud Kresna melihat Kerajaan Dwarawati dan pulau Dwaraka tenggelam oleh air berwarna merah seperti darah. Banyak jasad manusia mengambang dan yang selamat berpegangan dia tas sebilah perahu dari gelagah besar. Batara Kala lalu berkata lagi “Tiga tahun setelah cicitmu lahir, tanda-tanda itu akan terlihat.” Sang Danardana lalu terbangun dan mengabarkan kepada para Pandawa bahwa ia dan begawan Curiganata harus segera kembali ke Dwarawati dan meminta Para Pandawa dan para cucu untuk bersiap pada kemungkinan terburuk.

Keesokan harinya datang kabar kalau Dewi Usha, isteri Anirudha akan melahirkan. Bambang Anirudha bersama ayah yakni Prabu Danuasmara alias Partajumena dan sang kakek, Prabu Sri Kresna beserta ke sembilan isteri utama yakni Dewi Radha, Dewi Rukmini, Dewi Setyaboma, Dewi Jembawati, Dewi Kalindi, Dewi Nagnajiti, Dewi Mitrawinda, Dewi Charuharsini, dan Dewi Bhadra menunggu dengan cemas. Setelah dua belas jam menanti, akhirnya Dewi Usha melahirkan seorang anak yang tampan.  Kerajaan Dwarawati, para Yadawa dan para kerabat sang Prabu menyambut kelahiran cicit Prabu Sri Kresna. Lalu Prtabu Sri Kresna mengangkat cicitnya itu “mulai hari ini, cicitku akan aku beri nama Bambang Bajrawan.” Seluruh rakyat dan para yadawa bersuka cita. Namun bukan dengan pesta melempar bubuk warna-warni melainkan dengan hal-hal tak biasa. Pesta kelahiran cicit Kresna itu diwarnai dengan berbagai perbuatan tak terpuji. Keadaan negara sedang kacau karena kini para Yadawa suka menghamburkan harta dengan mabuk-mabukan, berjudi, dan main serong. Prabu Sri Kresna dan Resi Curiganata prihatin dan menyarankan mereka semua agar berhenti mabuk-mabukan dan main serong. Setelah kelahiran Bajrawan, diadakan pasewakan agung. Datang dari Hastinapura, harya Dwara, putra Samba yang kini jadi patih di sana. Lalu Arya Sencaki beserta putra dan cucunya, Jaya Sanga-sanga dan Arya Nabantara, tak lupa Bambang Lengkungkusuma dari desa Karang Tumaritis dan Prabu Kismaka dari Trajutresna. Sri Kresna dan para kerabat memanggil salah seorang cucunya, Raden Kresnayaka, putra dari Setyaka ke pasewakan agung. Kresnayaka bertanya “ampun eyang Prabu...apakah gerangan yang membuat saya harus dipanggil? Apa saya melakukan suatu kesalahan?” prabu Sri Kresna berkata “tidak cucuku. Tidak ada kesalahan yang kau perbuat. Aku hanya ingin mendengar pendapatmu untuk siapa kelak pelanjut takhta di Dwarawati ini.” “coba eyang prabu tanyakan pada kakanda Dwara dan kakanda Anirudha dahulu. Mungkin juga dengan kakang prabu Kismaka dan Lengkungkusuma” Lalu harya Dwara berkata “aku tidak berkeinginan untuk jadi raja. Aku cukup menjadi patih di hastinapura saja.” “aku juga tidak berkeinginan pula. Cukuplah aku dengan Trajutresna yang sekarang damai tenteram. Aku tidak mau berakhir seperti ayahanda Prabu Sitija.” lanjut Kismaka.” Bambang Anirudha juga ikut memberikan pendapatnya “aku tidak mau menjadi raja. Aku akan melanjutkan tugasku di Dadapaksi sebagai pemimpin disana.” Keributan terjadi sejenak lalu bisa ditenangkan kembali. Kini giliran jaya Sanga-sanga yang bicara “begini saja, kalu menurut usulanku, bagaimana kalau Setyaka saja yang menjadi raja Dwarawati selanjutnya? Secara dalam garis urutan suksesi ia adalah yang pertama setelah kakanda Samba meninggal dan kakanda Partajumena mengundurkan diri dari garis suksesi takhta” Bambang Lengkung Kusuma lalu berbicara “sejak hari terakhir bharatayudha tiga puluhan tahun lalu, kakang Setyaka tidak pernah pulang lagi. Ia memilih mengasingkan diri di Grojogansewu. Kalau pun kita panggil pulang juga, kakang Setyaka tak akan mau kembali.” Lalu kini Wisabajra, putra Nisatha cucu begawan Curiganata yang bicara “benar, dinda Lengkung. Apa kata kita lantik saja Kresnayaka, putra dinda Setyaka?” tak lama kemudian terdengar teriakan  “saya Setuju. Saya sependapat.” Rupanya itu suara Prabu Walmuka, paman Wisabajra. Ia ditemani isteri dan anaknya yakni Dewi Susenawati dan raden Wisandanu. Wisandanu juga memberikan suaranya “saya sependapat dengan ayahnda prabu Walmuka. Saya melihat perkembangan dinda Kresnayaka sejak kami berguru di Sokalima. Dia sudah terbukti menjadi pemimpin. Bahkan ketika pengusutan nama baik Parikesit, ia membantu dengan secara halus dan melalui pendekatannya, rakyat seantero negeri bisa kembali percaya pada dinda Prabu Parikesit.”  Setelah mencapai kata mufakat, maka dicapailah keputusan bahawa Kresnayaka adalah pangeran mahkota Dwarawati selanjutnya. Kini Kresnayaka adikenal sebagai Prabuanom Kresnayaka.

Di bawah kepemimpinan prabuanom Kresnayaka, perjudian dan zina bisa ditekan di Dwarawati. Kegiatan siraman rohani digalakkan kembali setelah lama vakum sejak Bharatayudha berlangsung. Kini rakyat lebih tentram hidupnya. Meski demikian, kebiasaan minum-minum rakyat Dwarawati susah sekali diberantas karena pabrik miras sangat banyak di saantero negeri Dwarawati. Karena masalah ini, Prabuanom Kresnayaka segera melakukan koalisi gabungan dengah Hastinapura dan Awangga untuk pemberantasan miras oplosan. Berkat bantuan dari dua negara itu, pabrik-pabrik miras bisa ditekan pajak yang sangat tinggi dan mengakibatkan harga miras sangat mahal. Rakyatpun susah untuk membeli miras. Namun ada satu pabrik miras lagi yang masih melenggang bebas yakni pabrik milik Harya Kertamarma. Belakangan diketahui, kini Harya Kertamarma sudah sembuh dari hilang ingatannya. Identitasnya sebagai Kurawa sudah kembali. Ia mendendam hati pada Prabu Sri Kresna padahal nyawanya sudah diselamatkan dari maut. “hehehe....akan aku obrak-abrik kerajaan ini hingga tenggelam ke dasar lautan kalau bisa!”

Enam tahun pun berlalu dengan cepat dan hari itu tepat setelah kutukan yang diucapkan Dewi Gendari. Prabu Sri Kresna melihat berbagai tanda alam yang tidak baik. Angin bergemuruh, lautan bergejolak, banjir semakin intens dan perlahan pulau Dwaraka tergerus gempuran air. “sudah waktunya, hari itu sudah tiba.” Lalu Prabu Sri Kresna menuju kepada parta isterinya. “isteri-isteriku, waktunya sudah tiba. Tugas kita sebagai avatara Wisnu dan Sri Laksmi akan berakhir. Jika kabar kematianku telah pasti, aku akan menanti kalian.” Para isetri Sri Kresna bersedih hati. “kakanda, jangan berkata demikian.” Ucap Dewi Radha “benar , kakanda. Kita akan melihat cucu dan cicit kita menjadi raja.” Sambung dewi Rukmini. Dewi jembawati lalu berkata “kakanda, jangan berkata yang tidak-tidak. Kutukan itu pasti bisa kakanda elakkan.” “kata yunda Jembawati benar. Kutukan ini hanya bualan semata seorang yang murka .” lalu para isteri Sri kresna lainnya beramai-ramai berkata  “benar kakanda.” Prabu Sri Kresna hanya bisa menghela nafas panjang. Lalu ia mendatangi Kresnyaka. “cucuku, kakek merasa kerajaan ini akan dalam masalah besar. Sekarang aku dan beberapa rakyat kita akan melakukan kegiatan siraman rohani di Tirtaprabhasa. Jika terjadi sesuatu padaku, cepat bawa nenek-nenekmu, keluarga kita, kerabat kita, dan rakyat kita ke tempat aman.” Prabuanom Kresnayaka tidak mengerti namun ia tak berani bertanya lagi. “baik, eyang Prabu. Perintahmu adalah titah bagiku.” Sama seperti ayahnya Setyaka, Prabuanom Kresnayaka merasa ini sebuah firasat buruk. Singkat cerita, Prabu Sri Kresna dan Begawan Curiganata beserta sebagian besar para lelaki wangsa Yadawa dan rakyat Dwarawati melakukan perjananan suci ke desa Tirtaprabasa. Tak disangka, serpihan gada yang lahir dari kutukan Samba dahulu telah menjelma sebagai rumput gelagah bernama eruka tumbuh di pinggir pantai desa itu. Di Tirtaprabasa, para Yadawa bersama harya Kertamarma dan Sencaki tetap saja bermabuk-mabukan dan mereka pun saling bercanda dengan melempar ejekan. Dalam keadaan mabuk, Kertamarma berkata, "Hei Sencaki...Kau ini Pengecut....Kau kejam, Kau membunuh Saudaraku Burisrawa yang tak bersenjata, yang sedang meninggalkan medan laga untuk memulihkan tenaga" Sencaki berkata juga sambil mabuk, "Kertamarma, Kau Sendiri Apa Tak Sadar Diri? kesatria macam apa kau ini? Dalam Bharatayudha juga, Kau membunuh orang tua Pancakesuma, Drestajumna dan Srikandhi saudara Yunda Drupadi kau cincang-cincang dalam keadaan tidur. Kau Bahkan Memperkosa Iparmu Sendiri... Perbuatan macam apa yang kau lakukan? Kau Laknat! Bajingan!". Ucapan tersebut disambut oleh tepuk tangan dari Partajumena dan Jaya Sanga-sanga yang juga mabuk, yang artinya bahwa ia membenarkan pendapat Sencaki.

Setelah saling melontarkan ejekan, mereka bertengkar ramai. Sencaki mengambil pedang lalu memenggal kepala Kertamarma di hadapan Sri Kresna.

Perang Mosalaparwa, seluruh Yadawa tewas di tangan keluarga sendiri
Melihat hal itu, para Yadawa marah lalu menyerang Sencaki. Partajumena, Anirudha, dan Jaya Sanga-Sanga menjadi garang, kemudian membantu Sencaki. Setelah beberapa lama, Sencaki sang Singamulangjaya yang perkasa tersebut ditewaskan di hadapan Sri Kresna. Tak lama kemudian, Partajumena, Anirudha, dan Jaya Sanga-sanga ikut tewas. Ibarat olok-olok jadi tingkarah, mereka pun saling bertengkar dan bertarung sesama sendiri. Setiap orang berkelahi satu sama lain, dengan menggunakan apapun sebagai senjata, termasuk gelagah eruka yang tumbuh di sekitar tempat tersebut. Tanah di desa itu menjadi sungai darah. Banyak jasad bergelimpangan. Para Yadawa yang masih bertarung saling lemparkan gelagah eruka dan seketika berubah menjadi gada bulat dengan ceracak-ceracak tajam. Dengan memakai senjata tersebut, para keturunan wangsa Yadawa dan rakyat Dwarawati saling membunuh sesama. Tidak peduli kawan atau lawan, bahkan ayah dan anak saling bunuh. Anehnya, tak seorang pun yang berniat untuk meninggalkan tempat itu. Dengan mata kepalanya sendiri, Prabu Sri Kresna memperhatikan dan menyaksikan rakyatnya digerakkan oleh takdir kehancuran mereka. Prabu Sri Kresna melihatnya dengan tatapan nanar penuh kepahitan. Ia segera mencabut gelagah itu dan melemparkannya ke udara seraya menjapa ajian Lebur Sakethi. Seketika itu pula, para Yadawa yang tersisa di sana tewas terkena ledakan gelagah eruka. Dari sini, Prabu Sri Kresna mulai berganti pakaian menjadi pakaian resi dan mengembara. Sementara Begawan Curiganata kembali ke Dwarawati untuk memberikan kabar. Namun sebelum pergi, ia mengutus kedua cucunya yang masih hidup yakni Wisabajra dan Wisandanu untuk segera ke Hastinapura mengabarkan pada Para Pandawa bahwa para Yadawa telah hancur.

Singkat cerita, Prabu Sri Kresna hidup luntang-lantung. Selama bersasih-sasih, Sri Kresna duduk di sebuah batu dibawah pohon, mengenang segala peristiwa Ia tahu bahwa sudah saatnya ia ‘kembali’. Kemudian ia memulai menutup panca indrianya melakukan yoga dengan sikap Lalita Mudra. Bagian dibawah kakinya berwarna kemerah-merahan. Di saat ia tengah bersemadhi di balik semak-semak dan pohon itu, ada seorang pemburu bernama Ki Jara mencari hewan buruan. “Ah, akhirnya kutemukan juga buruanku”, Ia merentangkan busur dan menembakkan panah yang berasal dari sepotong besi yang berasal dari senjata mosala yang telah dihancurkan kemudian panah itu diberi racun. Ia memanah dan panah itu tepat mengenai benda kemerah-merahan itu. Jara, sang Pemburu segera berlari ketempat itu untuk menangkap mangsanya. Ia melihat ada kaki lalu dipanahnya.

Ki Jara memohon Ampun karena memanah kaki Sri Kresna
Ki Jara mendekati kaki itu dan melihat ada Prabu Sri Kresna yang tengah merintih kesakitan karena kakinya kena panah. Ki Jara minta ampun karena keteledorannya.”Gusti Prabu, Tolong Maafkan Aku. aku Tidak Tahu jika Gusti Prabu duduk di sini.. Tolong, Ampuni Aku!”  Prabu Sri Kresna berkata “Kesalahan-kesalahan sedemikian ini jamak dilakukan manusia. Seandainya aku adalah engkau tentu akupun melakukan kesalahan itu. Kamu tidak dengan sengaja melakukannya. Jangan di pikirkan. Kamu tidak tahu sebelumnya aku berada di tempat ini. Kamu tidak dapat dihukum secara hukum maupun moral, Aku mengampunimu. Aku sudah menyelesaikan hidupku. Ini lah takdir yang harus aku alami.” Sang Danardana lalu jatuh tak sadarkan diri. Ki Jara segera membawa sang prabu Dwarawati itu ke keraton.

Raden Arjuna ditemani Raden Wisabajra dan Wisandanu telah sampai di gerbang kota Dwarawati. Arjuna segera ditemui Resi Curiganata. “Arjuna, akhirnya kau datang. keadaannya gawat, para pria wangsa kami saling membunuh satu sama lain di Tirtaprabhasa. Kami yang tersisa disini juga mendapat kabar...kalau Kanha sekarat....” begawan Curiganata tak mampu lagi menahan kesedihannya. Mereka melihat kotaraja dan keraton sudah lengang sekali. Hanya tersisa para janda dan anak yatim. Sesampainya di istana, Arjuna mendapati Prabu Sri Kresna sakit keras akibat luka-luka di kakinya. “madhawa, bertahalah...ini aku Arjuna! Parta mu! Aku akan menyembuhkan kakang Madhawa.” Merasa ajalnya telah dekat, sang Narayana mengabarkan pada Arjuna “Parta, tidak usah repot....tugas kita sebagai avatara Wisnu akan berakhir hari ini. Cepat kau mengungsikan para Yadawa yang tersisa ke Hastinapura karena sebentar lagi Dwarawati akan tenggelam ditelan samudera beberapa jam setelah aku pergi. Aku titip juga...cucu-cucu dan...cicitku...jagalah mereka dengan baik...”. Tak lama sang titisan Wisnu itu wafat. Kesedihan terjadi di antara para Yadawa yang tersisa. Ketika prosesi ngaben dilangsungkan, Kesembilan istri utama Sri Kresna yakni Radha, Rukmini, Jembawati, Setyaboma, Kalindi, Nagnajiti, Mitrawinda, Charuharsini dan Bhadra naik ke atas pancaka ‘kakanda Wisnu, aku akan menyusul kakanda. Kita akan kembali ke Untarasegara. Di istana Bentukaloka.” Lalu mereka menusuk diri dengan keris dan jatuhlah mereka ke dalam api pancaka yang mara. Mereka memutuskan mesatya (labuh geni). Abu Kresna dan kesembilan isterinya disimpan oleh Arjuna. sebagian abunya dilarung ke laut dan sebagian lagi akan dilarung juga di Widarakandang.

Baladewa Mukswa dan Dwarawati tenggelam ke dasar samudera
Resi Curiganata merasa sudah saatnya ia menyusul sang adik, ia memutuskan tak akan ikut ke Hastinapura. Singkat cerita, para Yadawa yang tersisa dipimpin oleh Prabuanom Kresnayaka, Wisabajra, Wisandanu, Harya Dwara, dan Arya Nabantara putra Jaya Sanga-sanga segera mengikuti Arjuna ke Hastinapura. Ketika semua rombongan para Yadawa sampai di di daratan Jawadwipa yang paling atas, tiba-tiba ada gempa besar. Air laut surut sangat rendah tiba-tiba dbarengi hujan angin dan bau garam. Dari tengah laut, ombak setinggi bukit menghantam dan menenggelamkan kerajaan Dwarawati dan pulau Dwaraka. Di antara ombak yang menggulung dengan ganas, Resi Curiganata tengah bersemadhi dan keluarlah dari mulutnya seekor ular naga yang sesungguhnya penjelmaan Batara Naga Adisesa, ular naga sakti yang menjadi ranjang sang Wisnu. Ular naga itu membawa serta Begawan Curiganata kearah samudera nan luas. Para yadawa yang tersisa kaget melihat kerajaan megah itu tenggelam. Arjuna berkata "setelah ini, pasti akan sangat berat. Kerajaan megah akan menjadi kenangan." 

Singkat cerita, para Yadawa yang tersisa selamat. Namun di tengah perjalanan melewati padang rumput yang luas, harta mereka hilang dirampok oleh para penyamun. Arjuna yang hendak menolong kehilangan kesaktiannya. akibatnya, sebagian dari para Yadawa ada yang kabur dan kucar-kacir. Setelah sampai di Hastinapura, Cicit Kresna yakni Bambang Bajrawan diasuh oleh pamannya, Harya Dwara dan Prabuanom Kresnayaka bersama Arya Nabantara mendirikan kerajaan baru di pinggir danau besar di dekat Kurusetra bernama Dwarakapuri bersama para keturunan wangsa Yadawa dan Dwarawati yang selamat. Bebrapa rakyat Dwarawati yang tersisa juga ada yang menetap di Trajutresna dibawah naungan Prabu Kismaka dan ada pula yang tinggal menyepi di Desa Karang Tumaritis bersama Kakek Semar dan cucunya, Lengkung Kusuma dan Besut. Sebagian kecil juga ada yang mengikuti Wisabajra dan Wisandanu kembali ke tanah leluhur yakni di Mandura dan Widarakandang.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar