Senin, 29 Maret 2021

Kemelut Jawadwipa : Raja yang Liwath dan Kelahiran Bidadari Utama

 Matur Salam, para pembaca budiman. Kisah kali ini menceritakan tentang keadaan Jawadwipa yang diperintah seorang raja yang penyuka sesama jenis dan masih keturunan Prabu Watugunung sehingga membuat keadaan Jawadwipa laksana negeri yang amoral. Dikisahkan pula kelahiran dan masa muda Bambang Parikenan, leluhur Pandawa dan Kurawa dari pihak ayah, ambisi Ditya Sunda dan Upasunda untuk menguasai tiga dunia dan kelahiran para bidadari utama keturunan Batara Indra. Dikisah aslinya, delapan bidadari utama terlahir dari permata mustika lalu diaku sebagai para putri batara Indra, maka penulis sedikit mengubahnya dengan membuat para bidadari utama benar-benar anak biologis Batara Indra dan Dewi Saci. Kisah ini bersumber dari blog albumkisahwayang.blogspot.com, Serat Pustakaraja Purwa karya Raden Ngabehi ranggawarsita, dan Kitab Mahabharata bagian Adiparwa karya Mpu Vyasa dengan pengubahan dan pengembangan seperlunya. 

Raden Sahadewa Candra, Pangeran yang Gemar Liwath               

Kerajaan Medang Gotaka diperintah rajanya, Prabu Sindula. Dia bernama asli Arya Radeya, putra Prabu Watugunung dengan ibunya, Dewi Sintakasih. Setelah peristiwa aib itu, bayi Prabu Sindula dibawa dan diasuh Empu Pastima, anak Empu Gopa yang pernah dibunuh sang ayah. Di akhir pengembaraan, mereka membabat hutan Galungan dan mendirikan kota bernama Medang. Lama-lama negeri itu menjadi besar. Keraton pun dibangun tak lazim yakni di bawah tanah. Sang prabu menamai keratonnya itu Keraton Gotaka maka negerinya pun dinamai Medang Gotaka dan Empu Pastima menjadi patih sampai akhir hayatnya. Di dalam keraton bawah tanah itu penuh emas, permata, dan berbagai batu mulia. Sang prabu kemudian menikahi Dewi Tulus, putri sang paman, Arya Wukir yang juga dirawat Empu Pastima. Darinya lahir beberapa anak, yakni Raden Sahadewa Candra, Arya Dewaraka, Arya Jaladewata dan Dewi Ratna. Beberapa tahun kemudian, sang raja mendapat kabar bahwa Raden Sahadewa Candra bermesraan dengan seorang pemuda. Maka ia memastikan sendiri. Pada suatu malam, sang prabu memergoki putra sulungnya dan benarlah apa yang menjadi kabar itu, anaknya itu bermesraan dan bahkan bersanggama dengan prajurit jaga di taman sari. Maka murkalah sang prabu. Dilabraklah putranya itu lalu menamparnya dan berkata “kamu anak membawa aib. Enyah dari keratonku!...jangan kembali lagi!” terusirlah Raden Sahadewa Candra dari Gotaka

Takluknya Jawadwipa di tangan Raja yang Sedeng

Maka pergilah Raden Sahadewa Candra mengembara dan memperoleh kesaktian. Selang beberapa tahun, kerajaan Prabu Sindula diserang oleh kerajaan Bagacandra, kerajaan yang didirikan Raden Sahadewa Candra yang kini bergelar Prabu Cingkaradewa Purwacandra. Serangan demi serangan membuat Prabu Sindula putus asa dan akhirnya bunuh diri. Dewi Tulus dan Dewi Ratna ikut belapati dan kini  ikut gugur Raden Dewaraka dan Arya Jaladewata. Kerajaan Medang Gotaka akhirnya diduduki Prabu Cingkaradewa Purwacandra. Kerajaan Bagacandra digabungkan dengan Medang Gotaka. Kerajaan tetangga yakni Purwacerita, Gilingwesi dan Wirata yang membantu Kerajaan Medang Gotaka ikut ditaklukan. Raja Purwacerita yakni Prabu Srimahapungung tewas dan digantikan putranya, Raden Wandu, adik dari Dewi Sri dan Batara Sadana bergelar Prabu Srimahawan. Bersamanya pula raja Wirata yang baru yakni Prabu Basupati yang bernama asli Raden Brahmaneka, putra Prabu Basurata dan Raja Gilingwesi yakni Raden Tritusta bergelar Prabu Brahmasatapa, putra Prabu Bremana yang kalah dan tewas mengungsi ke Gunung Mahameru.

Begawan Rukmawati menasehati tiga raja Jawadwipa
Mereka bertiga berniat ikut bunuh diri menyusul ayah dan paman mereka namun dicegah oleh seorang biarawati bernama Begawan Rukmawati, putri Batara Anantaboga. “anak-anakku jangan berpikiran pendek begitu. Kelak akan datang masanya raja baru itu mendapat karmanya. Untuk sementara ini kalian harus bersedia menjadi bawahannya.” Ketiga raja itu akhirnya luluh dan akhirnya bersedia menyerahkan diri mengakui kedaulatan Prabu Cingkaradewa Purwacandra. Sejak saat itu tiga kerajaan besar di Jawadwipa menjadi telukan kerajaan Medang Gotaka-Bagacandra. Nama Kerajaan Medang Gotaka pun diganti menjadi Medang Galungan.

Siasat Membawa Sengsara

Setelah kembali ke Gilingwesi, Prabu Brahmasatapa kembali membangun negerinya. Ia segera menjemput istri-istrinya yang mengungsi. Lalu selang beberapa bulan , Dewi Widati dan Dewi Rajatadi nyaris bersamaan hamil dan sembilan bulan pun berlalu. Kehamilan mereka semakin tua. Namun yang semakin disayang sang prabu Gilingwesi pada hanya Dewi Widati. istri keduanya, Dewi Rajatadi sangat kesal dan iri dengan itu. maka ia membuat sebuah siasat agar Dewi Widati sengsara. Tibalah hari persalinan dan sang prabu sedang kunjungan ke Medang Galungan. Dewi Rajatadi sengaja tidak memanggil tabib dan membantu persalinan saingannya itu. maka lahirlah dari rahim Dewi Widati sepasang bayi kembar buncing. Tanpa sepengetahuan Dewi Widati yang tengah pingsan, Dewi Rajatadi menukar bayi kembar buncing dengan sepasang anak anjing dan membuang bayi yang dilahirkan Dewi Widati di hutan. Lalu Prabu Brahmasatapa pulang dan menanyakan dimana anakna yang baru lahir. Dewi Widati menunjukkan tempat bayinya idur. Ketika dilihat ternyata anak anjing. Marahlah Prabu Brahmasatapa “apa-apaan ini? kau telah menyebabkan aib bagiku. Anak yang kau lahirkan itu anak anjing bukan bayi manusia!” “aku bersumpah, kanda. Aku melahirkan bayi manusia bukan anjing.” Semakin murkalah sang prabu “lalu ini apa?” ketika Dewi Widati menengok ke ranjang bayi terkejutlah ia. Dewi Widati terus membela dirinya “sumpah kanda. Atas nama Hyang Widhi, aku melahirkan bayi bukan anak anjing. Ada yang sengaja membuat aib begini pada dinda.” “persetan dengn Hyang Widhi! Faktanya yang kau lahirkan itu anjing bukan manusia.” Lama-lama kemarahan sang prabu memuncak dan ia menusuk mata sang istri dengan pisau dan butalah mata sang istri itu dan diperintahkan para prajurit untuk membuang Dewi Widati ke hutan. Diam-diam Dewi Rajatadi menguping dan ia terlihat senang. dua hari kemudian, Dewi Rajatadi melahirkan bayi perempuan bernama Dewi Satapi. Kini, Dewi Rajatadi semakin bahagia. Setelah saingannya telah tersingkir, kini dengan lahirnya sang putri, ia bisa menjadi permaisuri tunggal di Gilingwesi. Namun, Hyang Widhi tidak tidur. Tanpa dipikirkan sang Dewi Rajatadi, bayi kembar buncing Dewi Widati ditemukan oleh Begawan Rukmawati dan diangkat menjadi anaknya. Kedua anak itu oleh Begawan Rukmawati diberi nama Bambang Parikenan dan Dewi Srini.

Musuh Baru para Dewa

Sementara itu, Kahyangan cerah ceria setelah peperangan antara Ditya Sumba dan Ditya Nisumba dimenangkan oleh pasukan para dewi. Namun kedamaian itu tak seberapa lama. Hari itu, Batara Indra dan patihnya, Batara Wrehaspati datang ke istana Iswaraloka, tempat Batara Guru. Sang dewanya para bidadara dan bidadari itu mengabarkan kabar yang agak tidak mengenakkan “ampun ayahanda Batara.... ada kabar tak mengenakkan. Di Marcapada ada dua yaksa kembar, Ditya Sunda dan Upasunda yang tengah tapa brata.” “lalu apa yang kamu risaukan, Indra? Toh setiap makhluk di marcapada ini berhak melakukan tapa brata.” Batara Indra lalu melanjutkan “Tapi Ayahanda batara, tujuan mereka bertapa brata itu untuk menguasai seluruh dunia ini. kakanda batara Brahma mengabulkan permintaan mereka. Mereka meminta kekuatan tiada tara dan kedigjayaan.” Batara Guru terkesiap namun dia tetap tenang. Ia memohon diri sejenak untuk semadi. Dengan pandangan mata ketiga miliknya, ia melihat ke masa depan bahwa dua yaksa kembar itu dikalahkan karena berebut seorang bidadari cantik, keturunan dari Indra dan istrinya, Saci dengan bunga ratna di selipkan di mahkotanya. Lalu Batara Guru terbangun dan memberitahukan apa yang dilihatnya. Batara Guru menyarankan “Indra, putraku....kau harus turun ke marcapada bersama istrimu. Pergilah ke hutan Sunyawibawa dan carilah tujuh buah bunga ajaib. Setelah itu biarkan Sanghyang Widhi yang menentukan takdir untukmu.” Perintah pun ditaati.

Resi Sakra

Tersebutlah di tengah hutan Sunyawibawa, hiduplah sepasang suami istri bernama Resi Sakra dan Nyai Indri. Mereka adalah sepasang tabib dan ahli pengobatan ternama di Kerajaan Purwacerita dan sekitarnya. Para raja begitu hormat padanya, mulai dari Prabu Cingkaradewa Purwacandra dari Medang Galungan yang menyukai sesama jenis, Prabu Brahmasatapa dari Gilingwesi, Prabu Basupati dari Wirata, bahkan Prabu Srimahawan sendiri. Keempat raja itu suka berobat ke sana. Tak sekadar berobat, Prabu Srimahawan bahkan sering bertukar pikiran dengannya.

 

Pencarian Tujuh Bunga Ajaib

Pada suatu hari, tiba saatnya Resi Sakra menjelaskan maksud kedatangannya pada sang Prabu Purwacerita “ampun Sang Prabu. Kedatangan hamba di hutan Sunyawibawa ini ingin mencari tujuh bunga sakti. Bunga-bunga itu akan ku persembahkan pada para dewa. Apakah Sang Paduka tau dimana adanya?” “seperti apa rupa bunga-bunga itu, tuan Resi?” Resi Sakra menjelaskan jenis-jenis bunga itu yakni, bunga padma berwarna emas, bunga tunjung berwarna biru keperakan, bunga gambir hutan terlarang, bunga ratna* bertatahkan biji wijen, bunga mawar merah merona, bunga melati kuning, dan mayang pohon aren paling harum. “hmmm bunga-bunga itu nampaknya susah untuk dicari. Mungkin aku harus meminta bantuan para raja yang lain.” singkat cerita, Prabu Srimahawan, Prabu Basupati, Prabu Brahmasatapa dan Prabu Cingkaradewa Purwacandra saling bertemu dan membicarakan apa yang diinginkan Resi Sakra. Lalu tiba-tiba muncul tujuh cahaya seperti pelangi di penjuru Jawadwipa. Para raja merasa itulah benda-benda yang Resi Sakra cari. Dengan kesaktian masing masing mereka segera melesat pergi. Singkat cerita, Prabu Srimahawan mendapatkan bunga melati kuning dan bunga gambir hutan terlarang. Sementara itu Prabu Basupati mendapatkan bunga mawar merah merona dan bunga padma emas. Prabu Brahmasatapa mendapatkan bunga ratna bertatah wijen dan bunga tunjung biru keperakan sedangkan Prabu Cingkaradewa Purwacandra mendapat mayang aren paling harum.

Kutukan dari Batara Guru

Di tengah perjalanan, Prabu Cingkaradewa Purwacandra bertemu seorang pengembara berwajah tampan. Jelas saja libido sang prabu naik. Lalu ia turun dari kudanya sambil berkata “hei nak bagus.....kemarilah nak. mau ikut denganku?” “tentu tuanku...suatu kehormatan besar bagi saya bisa ikut bersama tuan.” Si pemuda polos itu tidak tahu bahwa ia akan dijadikan pemuas nafsu. Akhirnya sang raja menemukan gubuk kosong dan mereka pun masuk. Sang raja segera membuka bajunya dan membuka paksa baju sang pemuda. Pemuda itu meronta-ronta menolak untuk digauli. Dengan kekuatan gendamnya, Prabu Cingkaradewa Purwacandra membuat si pemuda seakan bertekuk lutut. Lalu datang halilintar menyambar gubuk dan mengenai si pemuda itu. sang pemuda lalu bertukar wujud menjadi Batara Guru. Batara Guru mengutuk perbuatan Prabu Cingkaradewa Purwacandra “hei kamu, manusia bejat. Terimalah kutukanku. Akan datang kepadamu seorang maharesi yang menggulingkanmu dan kau akan terlempar ke neraka dengan terjungkir balik!” terbangunlah Prabu Cingkaradewa dengan bercucuran keringat. Lalu ia menemukan arca emas Batara Guru dan ternyata ia jadikan bantalnya saat tidur tadi. Maka ia segera bergegas menyerahkan mayang pohon aren itu kepada Resi Sakra.

Kelahiran Delapan Bidadari, keturunan Sakra

Setelah semua tumbuhan-tumbuhan itu, Resi Sakra segera meramu obat dari sari semua tumbuhan itu yang lalu dijadikan satu. Setelah obat itu jadi, Resi Sakra dan Nyai Indri segera meminumnya sebelum melakukan hubungan badan. Singkat cerita, empat bulan kemudian, Nyai Indri mengandung dan kehamilannya aneh. Dia tidak merasakan sakit ataupun perut membesar, melainkan hanya mual-mual saja. di masa-masa itu, para raja mengusulkan untuk mengirimkan sepasukan prajurit untuk melindungi sang resi dan istrinya namun Resi Sakra menolak dengan halus. Saat kehamilan bulan ke tujuh ketika mencari jamur hutan, tiba-tiba datanglah harimau besar menakuti Nyai Indri dan ia pun lari terbirit-birit. Saat sampai di rumah, Nyai Indri merasakan sakit perut tak tertahankan petanda akan melahirkan . Tanpa tabib maupun bidan, Nyai Indri bersalin dibantu sang suami, Resi Sakra. Lalu datanglah dari kahyangan para bidadara dan bidadari antara lain Dewi Urwaci dan Dewi Punjisatala. Mereka segera membantu jujungannya itu melahirkan sementara para bidadara mengamankan rumah sang resi. Singkat cerita, akhirnya Nyai Indri berhasil melahirkan dengan selamat. Rupanya ia melahirkan anak kesemuanya ada delapan putri. Mereka pun menamainya putri-putrinya itu. anak pertama bernama Dewi Supraba, yang kedua Dewi Tunjungbiru, lalu Dewi Wilotama atau Nilotama, Dewi Warsiki, Dewi Surendra, Dewi Lengleng Mulat atau Lengleng Mandanu, dan kembar yang bungsu dinamai Dewi Gagarmayang dan Dewi Prabasini. Setelah kelahiran kedelapan putrinya, Resi Sakra dan Nyai Indri kembali menjadi Batara Indra dan Dewi Saci. Sudah saatnya mereka kembali ke kahyangan Rinjamaya. Sebelum pergi, Batara Indra menemui para raja yang telah membantunya. Para raja yang datang yakni Prabu Srimahawan, Prabu Basupati, dan Prabu Brahmasatapa sedangkan prabu Cingkaradewa Purwacandra tak hadir karena ada masalah di kerajaannya. Batara Indra lalu memberikan berkatnya “Dengan perkenan Hyang Widhi, aku memberkati kalian. Semoga kerajaan kalian makmur, anak keturunan kalian banyak dan menorehkan nama mereka dalam sejarah.” Setelah memberikan berkat, Batara Indra, Dewi Saci dan rombongan bidadari-bidadara terbang ke kahyangan.

 

Tujuh Bidadari dan Tiga Bidadari

Sesampainya di kahyangan, Batara Guru dan para dewa lainnya menyambut kedatang keluarga baru batara Indra. Lalu dengan Tirta Perwitasari, kedelapan putri bidadari itu diperciki dan disucikan. Ajaib, kedelapan bayi bidadari itu sekejap menjadi dewasa. Kecantikan mereka terpancar kuat. Karena kecantikan mereka, para dewa terperangah sampai-sampai Batara Brahma bertiwikrama menjadi dewa tampan berkepala empat demi memandangi delapan kemenakannya itu.

Delapan bidadari, putri Batara Indra
Delapan bidadari putri Batara Indra itu masing-asing melambangkan bunga yang dikonsumsi ayah dan ibu mereka. Dewi Supraba memakai subang emas berbentuk bunga padma lengkap dengan selendang jingga dan jarik kain sutra emas di badannya. Dewi Tunjung Biru memakai jarik sutra biru bermotif bunga tunjung dengn selendang berwarna biru samudra.  Dewi Wilotama atau Nilotama yang bersunting dan bermahkota bunga ratna dan buah wijen abadi lengkap dengan selendang sutra ungu, dengan baju yang senada. Dewi Warsiki memakai selendang satin halus berwarna merah jambu dengan sulaman berbentuk bunga gambir, Dewi Surendra memakai kemben dari batik bermotif bunga mawar merah berikut gelang dan giwangnya memakai permata mirah, lalu Dewi Lengleng Mulat memakai syal dari kain cindhe berwarna kuning cerah dengan motif melati kuning melingkar indah di leher dan bahunya dan sikembar Dewi Gagarmayang dan Dewi Prabasini bergelung dengan tusuk konde berhiaskan mayang aren dan berbaju kebaya hijau, yang membedakannya baju yang dipakai Dewi Gagarmayang berwarna hijau muda sementara yang dipakai Dewi Prabasini berwarna hijau tua. Singkat cerita, Dewi Supraba, Dewi Tunjung Biru, Dewi Wilotama, Dewi Warsiki, Dewi Surendra, Dewi Lengleng Mulat, dan Dewi Gagarmayang menjadi tujuh bidadari utama, pembawa pesan para dewa dan penguji keteguhan seseorang, maka mereka turun bersama Naga Andana. Sementara Dewi Prabasini bersama Dewi Urwaci dan Dewi Punjisatala menjadi tiga bidadari pemimpin tarian upacara kahyangan.

Siasat Mengalahkan Sunda dan Upasunda

Di Marcapada, Ditya Sunda dan Upasunda berkelana keseluruh dunia bersama pasukannya menyerang sejumlah negeri dan kota. Setiap negeri yang diserangnya pasti hancur lebur. Bahkan di suatu kesempatan, Batara Indra dan pasukan Dorandara yang membantu mengamankan Kerajaan Medang Galungan,  Purwacerita, Wirata, dan Gilingwesi dibuat kalang kabut, kewalahan menghadapi kesaktian Ditya Sunda dan Upasunda. Lalu Batara Indra segera mengutus salah satu putrinya. “Wilotama, bantulah ayahanda untuk mengalahkan dua yaksa pengacau marcapada itu. saat ini nasib tanah Hindustan dan Jawadwipa berada di tanganmu.” “baik ayahanda Batara. Titahmu akan segera hamba laksanakan.” Maka turunlah Dewi Wilotama ke bumi, tepatnya ke perbatasan empat negara besar Jawadwipa tempat Sunda dan Upasunda berikut pasukannya berkemah. Di sana ia melihat Ditya Sunda dan Upasunda sedang semedi memohon salah satu bidadari kahyangan sebagai kompensasi tidak menyerang kahyangan. Maka Dewi Wilotama membangunkan mereka “Kanda Sunda! Kanda Upasunda! Bangunlah!” kedua yaksa itu terbangun dan bertanya “siapa andika yang cantik ini? kamukah bidadari impian yang dijanjikan para dewa itu?” “benar, kakanda berdua. Aku Wilotama, bidadari yang dijanjikan para dewa pada kalian.” Kedua yaksa itu terpana maka mereka menghentikan semedi lalu Ditya Sunda merayunya “Dinda Wilotama, menikahlah denganku. Apa yang kau inginkan akan aku kabulkan.” Tak kalah dengan kakaknya, Ditya Upasunda ikut merayu “jangan dengarkan kakakku, lebih baik menikahlah dan hidup denganku, maka dinda akan bahagia selamanya.” Lalu Ditya Sunda membentak adiknya, “Upasunda! dimana tatakramamu? Dia itu calon istriku.” Ditya Upasunda lalu balik membentak “kakang yang seharusnya bertatakrama. Dia itu calon pendamping hidupku.” Maka terjadilah perselisihan antara dua saudara kembar.

Ditya Sunda dan Upasunda memperebutkan Dewi Wilotama
Dewi Wilotama berusaha menengahi namun terlambat keduanya terus berselisih, awalnya hanya perang mulut hingga terjadilah pertengkaran. Pertengkaran itu berubah menjadi pertempuran sesama yaksa dua kubu, kubu Ditya Sunda dan kubu Ditya Upasunda. Dewi Wilotama tak tahan melihat pertengkaran itu segera naik ke kahyangan dan menyumpahi bahwa mereka sudah mati tali kekerabatannya. Maka keduanya terus bertengkar sampai akhirnya kedua yaksa itu sampyuh, tewas bersama karena kekuatan mereka setara. Begitu juga pasukan mereka ikut tewas semua. Dengan tewasnya dua yaksa itu, empat negara besar Jawadwipa dan tanah Hindustan aman dari para yaksa itu. sebagai penghormatan atas keberanian sang dewi, bunga ratna sebagai lambang Dewi Wilotama dijadikan salah satu bunga suci yang istimewa bagi masyarakat Jawadwipa.

Tulah Kemarau Panjang karena Menelantarkan Istri

Para dewa senang karena musuh dewata untuk sementara sudah hilang namun Batara Guru mendapat laporan dari Dewi Sri “ampun uwa Pukulun, ananda Prabu Brahmasatapa pernah berbuat sewenang-wenang dengan nanda Dewi Widati dengan membuangnya ke tengah hutan karena termakan siasat istri mudanya. Sampai sekarang nanda dewi masih terbuang di tengah hutan.” Tak terhingga marahnya Batara Guru mka ia berdoa pada Hyang Widhi agar Prabu Brahmasatapa diberi pelajaran. Doa Batara Guru didengar oleh-Nya maka Hyang Widhi yang Maha Kuasa menghukum kerajaan Gilingwesi dengan berkurangnya air sedikit demi sedikit dan pada tahun ketujuh belas akan menjadi puncaknya. Atas perintah Hyang Widhi, Dewi Sri diperintahkan untuk berhenti menyebarkan kesuburan. Sebaliknya, ia bersama Batara Bayu mengirimkan berbagai macam hama penyakit, angin panas, dan angin dingin yang amat sangat ke Gilingwesi. Singkat cerita, angin kencang panas dan dingin menyapu kerajaan sepanjang hari. Kalang kabutlah sang prabu dan seluruh negara. Air di danau, sungai, dan perigi mulai berkurang, tanaman tak kunjung tumbuh dan layu terkena hawa panas dan dingin silih berganti. Sawah dan ladang menjadi bera tak terurus. Pada tahun ke tujuh belas, datanglah hama-hama memakan segala bahan makanan. Kelaparan terjadi dimana-mana.

Kembar Buncing Penyelamat Negeri

 Tujuh belas tahun berlalu, Begawan Rukmawati dan kedua murid sekaligus anak angkatnya, Bambang Parikenan dan Dewi Srini berkelana dari lereng gunung Mahameru ke sebuah desa di negara Gilingwesi yang dilanda paceklik. Penduduk desa itu ingin meminta hujan. Begawan Rukmawati lalu memerintahkan dua muridnya itu untuk membantu “Parikenan! Srini! Mari kita bantu penduduk desa ini agar paceklik di negeri ini hilang.” “baik, guru. Apa yang harus kami lakukan?” tanya Parikenan. Anakku Parikenan, kamu persiapkan sarana sesajiannya. Srini! kamu segera buat bubur panjang dan hijau.” Baik, guru!” singkat cerita bambang Parikenan segera menyiapkan dupa, kemenyan, banten dan sesajian. Sementara Dewi Srini membuat bubur berbentuk lonjong pnjang dan hijau. Bubur itu diberi nama Bubur Cendol Dawet. Bubur itu lalu diserahkan pada Bambang Parikenan untuk didoakan. Setelah didoakan, sebagian bubur itu dimakan oleh para warga dan sebagian lagi ditebarkan ke sawah, ladang dan seluruh penjuru desa. Tak berapa lama kemudian, awan mendung datang menutupi desa lalu turunlah hujan lebat mengguyur. Sungai-sungai, danau-danau, kolam-kolam dan perigi-perigi kembali terisi air, sawah dan ladang kembali basah. Pepohonan dan rerumputan tumbuh menghijau lagi. Warga desa bersukacita. Tulah kemarau panjang telah berakhir.

Pertemuan Dengan Sang Ibu Kandung

Setelah membantu desa, Begawan Rukmawati, Bambang Parikenan dan Dewi Srini melanjutkan perjalanan. Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan seorang wanita cantik namun buta matanya ditemani sepasang anjing.Begawan Rukmawati bertanya “ni sanak, siapakah nisanak? kenapa ni sanak berada disini? Tak adakha ang menolong ni sanak.” Perempuan buta itu berkata “aku Widati. Aku dibuang suamiku selama tujuh belas tahun di hutn ini bersama dua anakku ini.” Begawan Rukmawati lalu mengheningkan cipta dan mendapat penglihatan dari para dewa bahwa Dewi Widati adalah permaisuri Prabu Brahmasatapa yang dibuang karena dituduh melahirkan anjing dan secara kebetulan di hari dibuangnya Dewi Widati, sang biarawati juga menemukan dan memungut dua anak kembar buncing, yakni Bambang Parikenan dan Dewi Srini di tengah hutan dahulu. Bambang Parikenan dan Dewi Srini merasa kasihan dan ingin menyembuhkannya. Begawan Rukmawati mengerti dan segera meramu obat. Atas kemurahan Hyang Widhi, begitu obat dibalurkan ke mata Dewi Widati, mata Dewi Widati seketika sembuh dan ia bisa melihat lagi. Begawan Rukmawati lalu menceritakan segala apa yang dilihatnya dalam semedi. Awalnya Dewi Widati menyanggahnya, namun Begawan Rukmawati meyakinkan bahwa yang dilihatnya adalah dari para dewa. Maka kini yakinlah bahwa anak-anak muda yang bersama begawan Rukmawati itu adalah anak kandungnya yang hilang. Berlinanglah air mata Dewi Widati penuh haru dengan kedua putra-putrinya. Pertemuan ang sangat dirindukan. Begawan Rukmawati mengantar mereka bertiga kembali ke Gilingwesi untuk mengungkapkan kebenaran yang selama ini tersembunyi

Menemukan Jalan Pulang

Dalam perjalanan, mereka bertemu dengan sepasang gadis dan jejaka yang kelelahan.Begawan rukmawati segera menolong. Lalu Dewi Widati bertanya “anak manis, siapa namamu, nak?” “saya Satapi dan ini tunangan saya, Sadaskara. Saya putri Gusti Prabu Brahmasatapa.” “saya Sadaskara putra dari Resi Pujangkara, Pendeta negeri Gilingwesi.” Dewi Widati terkejut bahwa yang ditemui adalah putri tirinya. Maka ia mengenalkan diri “anakku kamu jangan takut. aku Widati, ibu tirimu dan dua anak muda-mudi yang bersamaku adalah kakak-kakakmu. Nama mereka Parikenan dan Srini.” Dewi Satapi terkejut karena baru kali ini ia bertemu ibu dan kakak-kakak tirinya, Ia dan tunangannya itu segera sungkem kepada sang ibu dan kedua kakak tirinya lalu bertanya “kanjeng ibu...kenapa aku tidak pernah tau tentang ini. Kanjeng ayahanda tidak pernah menceritakannya” “ceritanya panjang, anakku dan ini berkaitan dengan ibu kandungmu.” Dewi Widati lalu menceritakan semuanya. Dewi Satapi terkejut namun tidak heran karena ibu kandungnya sendiri kadang terlalu kasar padanya. Lalu Dewi Widati balik bertanya kenapa mereka terlihat kelelahan. Dewi Satapi bercerita bahawa ia diculik oleh raksasa hutan bernama Ditya Singasari dan tunangannya berniat merebutnya kembali namun ia dicurangi maka ia terdesak. mereka berhasil kabur tapi terus dikejar-kejar. Bambang Parikenan tergerak hatinya untuk membantu Arya Sadaskara menumpas raksasa itu. Arya Sadaskara merasa senang karena calon kakak iparnya itu mau membantu. Maka ia mendatangi Ditya Singasari. Tak perlu waktu lama, Ditya Singasari berhasil ada dihadapan mereka. “heyy...manusia...kau kemana kan calon mangsaku...berikan lagi padaku.” “aku tidak sudi menyerahkannya lagi padamu, raksasa bejat.” Marah Ditya Singasari dan ia hendak memukul Arya Sadaskara. Namun berhasil dihadang oleh Bambang Parikenan “heyy...denawa!! kalau ingin mendapatkan adikku, langkahi dulu mayat kami.”  Terjadilah pertarungan sengit antara Arya Sadaskara dan Bambang Parikenan melawan Ditya Singasari. Pertarungan saling sikut, saling terjang,dan saling pukul. Namun dalam waktu tak terlalu lama, Arya Sadaskara merapal aji Gelap Lindu maka bergetarlah tanah dan terperosoklah Ditya Singasari ke dalam lubang. Bambang Parikenan segera memanfaat keadaan dengan menghunus keris Bayu Salaksa. Keris pun menancap ke dada Ditya Singasari dan tewaslah ia. Dewi Satapi gembira karena tunangan dan kakaknya berhasil mengalahkan raksasa yang telah menculiknya. Maka mereka berenam segera meninggalkan hutan dan berangkat menuju kotaraja Gilingwesi.

Kembali ke Gilingwesi

Prabu Bramasatapa dihadap permaisurinya Dewi Rajatadi dan Resi Pujangkara. Mereka sedang kalut memikirkan nasib Dewi Satapi dan Arya Sadaskara yang menghilang entah kemana. Bahkan Dewi Rajatadi bersedih keterlaluan hingga menyinggung perasaan suaminya. Suaminya murka dan tak sengaja mengeluarkan supata “Dinda Rajatadi, sedihmu keterlaluan...air matamu itu seperti air mata buaya...” maka kutukan pun terjadi, Dewi Rajatadi berubah wujud menjadi buaya putih dan langsung menghilang entah kemana. Sang prabu pun terduduk semakin kepikiran. Lalu adatanglah kabar dari penjaga bahwa ada sepasang pemuda-pemudi membawa Arya Sadaskara dan Dewi Satapi disertai Dewi Widati dan Begawan Rukmawati.maka sang prabu langsung berdiri dan menuju keluar keraton. Sesampainya di luar keraton, Prabu brahmasatapa dengan sinis berkata “Dinda Widati...sungguh kau tidak tau malu kamu....kau telah kembali dengan membawa bala bantuan. Itu tak akan berhasil membuatku luluh. Pergi dari hadapanku!.” Dewi Widati lalu berkata “kanda prabu...aku kemari bukan untuk pembelaanku. Aku kesini untuk membawa putra-putri kita yang hilang. Mereka dibesarkan eyang begawan Rukmawati. Inilah mereka, Parikenan dan Srini. Mereka juga yang menyelamatkan negeri ini dari kemarau panjang juga nanda Satapi dan Sadaskara.” “benar, anak prabu...aku bersaksi demi langit dan bumi. Demi nama Hyang Widhi yang Maha Mengetahui,mereka ini putra anak prabu dan anak permaisuri Widati. Mereka dibuang oleh nanda permaisuri Rajatadi dahulu karena iri hatinya pada nanda Widati” tambah Begawan Rukmawati. Namun namun  Prabu Brahmasatapa tetap tak percaya malah menantang putrannya itu”aku tidak percaya..kalau dia putra-putri kita maka buktikanlah.” Dewi Widati semakin sedih dan sakit hati dengan kepongahan suaminya.

Batara Narada melerai pertengkaran Bambang Parikenan dengan ayahnya
Melihat ibunya sedih, Bambang Parikenan lalu menghadap dan menantang ayahnya itu “Gusti prabu! Pongah sekali perangaimu. Kepongahanmu menyundul angkasa, mirip jemawanya Prabu Hiranyakasipu. Aku menantangmu adu kekuatan.” Mendidihlah darah sang prabu dan langsung melayani anak muda itu bertarung. Maka terjadilah pertarungan antara ayah dan anak. Keduanya saling sikut, saling tinju, saling pukul dan saling hunus senjata. Kekuatan mereka sama setara. Karena tak ada yang menang ataupun kalah, maka mereka mengeluarkan senjata pamungkas mereka. Prabu Brahmasatapa mengeluarkan ajian panah Hanggeni Ratri dan Bambang Parikenan mengeluarkan ajian Surya Ratri.maka terjadilah gara-gara dimana-mana. Bumi kembali gonjang-ganjing, langit kolap-kalip. Hawa panas membakar menyebar ke seluruh negeri bahkan ke kahyangan. Lalu turunlah Batara Narada dari angkasa dan melerai pertarungan mereka “haduh...ngger anak prabu...hentikan tindakan bodohmu...jadi orang mbok ya jangan pongah.... dengarkan perkataan orang...benar apa yang dikatakan istrimu dan nanda Rukmawati, parikenan dan Srini ini anak kembarmu yang hilang....nanda Rajatadi yang menukar mereka dengan sepasang anjing waktu mereka lahir....mereka lalu diselamatkan nanda Rukmawati waktu dibuang dulu hingga sebesar ini dan kembali menolong negerimu dari kemarau juga Satapi dan tunangannya dari marabahaya...sudahlah ngger anak prabu...jangan menuruti ego...belajarlah juga untuk mendengarkan kata-kata dari orang lain.” Setelah berkata demikian, Batara Narada kembali ke kahyangan.

Sadarnya Prabu Gilingwesi

Prabu Brahmasatapa sadar bahwa ia terlalu menuruti egonya. Maka ia segera memeluk permaisuri pertamanya dan ketiga anaknya. Mereka kembali berbaikan dan membangun rumah tangga dari awal lagi. Beberapa tahun kemudian, Bambang Parikenan melangsungkan pernikahannya dengan Dewi Brahmaneki, adik Prabu Basupati yang kebetulan sebaya dengannya. Tak hanya itu, Dewi Srini dan Dewi Satapi melangsungkan pernikahan juga. Dewi Srini menikahi putra Prabu Srimahawan, Raden Sriwahnaya dan Dewi Satapi menikahi tunangannya, Arya Sadaskara.

*bunga kancing ungu/bunga kenop

Rabu, 10 Maret 2021

Kesaktian Para Dewi

Matur Salam, Para pembaca sekalian. Kisah kali ini mengisahkan tentang para dewi kahyangan. Para dewi kahyangan dipimpin Batari Durga mengalahkan sejumlah raksasa. Dikisahkan pula kisah Batari Durga yang berhasil mengalahkan para musuh kahyangan dengan dua wujud menakutkan, Durga Katyayani dan Mahakali. Kisah ini bersumber dari serial kolosal India Mahakaali dan Mahadewa yang telah disesuaikan dan diselaraskan dengan pewayangan jawa.

Prabu Mahesha mendapat kesaktian

Kekuatan para dewa sememangnya telah bertambah kuat namun ada saja masalah. Para raksasa dan yaksa keturunan dan titisan Rudra Rancasan selalu membuat keonaran dan selalu merongrong kekuasaan batara Guru sesuai sumpahnya dahulu. Setelah diangkatnya Prabu Watugunung sekeluarga ke surga dan naiknya Sri-Sadana menjadi pasangan dewa-dewi, para raksasa tak henti-hentinya membuat masalah. Alasan mereka untuk menguasai kahyangan dan tiga dunia. Tersebutlah Prabu Mahesha, raja para yaksa di negeri Parwakamudra, keturunan Maharesi Kasyapa dan Dewi Dhanu. Dia bertekat ingin mencapai kehidupan yang baik. Maka ia pun bertapa brata di kaki gunung Kampud dengan makan serangga beracun dan ular berbisa sepanjang hidupnya. Hingga pada akhirnya ketika tubuh dan kesaktiannya sudah tak mampu menawarkan lagi racun, muncullah lagi Batara Rudra Rancasan yang sangat membenci para dewa itu “Mahesha, Sanghyang Widhi telah menerima do’a mu. Aku datang sebagai utusan-Nya akan membantumu mencapai keinginanmu. Katakan, apa keinginanmu?” “hamba ingin menjadi makhluk abadi selamanya.” Batara Rudra Rancasan berkata “Aku tidak bisa mengabulkan yang itu.” Prabu Mahesha mengganti permintaanya “baiklah, aku ingin menjadi makhluk terkuat di jagat raya.” Batara Rudra Rancasan mengabulkannya lalu ia memberikan pesan “keinginanmu akan terwujud namun kau harus ingat, berhati-hatilah pada makhluk terkuat di alam ini selain kamu saat ini. dia adalah kebalikan dari sebuah lingga yaitu yoni.”

Prabu Mahesha ingin Menaklukan Kahyangan

Setelah pulang bertapa brata, Prabu Mahesha menjadi sangat kuat, tak mampu dikalahkan makhluk manapun. Maka ia menjadi sombong dan jumawa. Ia lancarkan serangan demi serangan ke negara-negara di sekitar Jawadwipa bahkan ke Alengkadireja lalu ia menmbiuskan ajaran-ajaran kepada para raksasa untuk menyerang para dewa di kahyangan sana. Maka setelah kekuatannya cukup, ia gempur kahyangan dengan seribu kekuatan raksasa dan manusia-manusia durjana.

Kahyangan sedang kalang-kabut menghadapi kekuatan pasukan Prabu Mahesha. Mereka benar-benar kuat. Pasukan Dorandara tujuh lapis yang dipimpin Batara Indra dan Batara Kartikeya masih belum mampu membuat pasukan itu mundur barang selangkah. Akhirnya kekuatan mereka ditambah dengan tujuh lapis lagi dengan Batara Ganesha dan Batara Shani menjadi panglima apit. Pasukan Parwakamudra bisa mundur namun kini para dewa tinggal berhadapan dengan Prabu Mahesha. Batara Brahma meniupkan nafas berapi daari langit namun sang prabu bergeming saja, tak rasa panas. Batara Bayu membawa topan prahara yang kencang namun seujung kuku sang prabu tak bergeser. Batara Baruna dan Mintuna membuat ombak pasang tak juga mampu membuat sang prabu tenggelam. Batara Indra menurunkan halilintar dan es salju yang membekukan juga tak membuat sang prabu tersetrum ataupun kesejukan, malah terasa bagaikan tergelitik kaki. Lalu sang Prabu Mahesha jumawa dan mengerahkan kekuatannya dan berbaliklah semua serangan para dewa. Keadaan semakin gawat. Batara Guru dan batara Wisnu turun gelanggang. Ia mengendarai Andini, lembunya yang sakti dan berusaha melemparkan senjata dewa ke tubuh Mahesha namun itu semua berbalik kepada sang Batara Guru. Begitupun Batara Wisnu, cakra Widaksana miliknya tak mapu mengiris ataupun memenggal kepala sang raja durjana. Lalu Batara Guru segera merapal Aji Pangabaran dan Kemayan namun tak berkesan juga. Maka Batara Guru segera memerintahkan para dewa segera masuk ke kahyangan. Lawang Kori Selomatangkep segera ditutup.

Batari Durga, Sang Senopati Para Dewi

Melihat kekalahan para dewa, Batari Durga dipimpin para dewi lainnya segera menghadap “suamiku, biarkan kami para dewi yang mengalahkan keangkuhan Mahesha.” “tidak, istriku. Kami para dewa saja dibuat tak berdaya.” Batari Durga meyakinkan suaminya “suamiku, aku mendapat wangsit dari Sanghyang Widhi bahwa kelemahan Mahesha adalah perempuan. Hanya ini lah jalan satu-satunya.” Karena tak ada jalan lain, maka Batari Durga menaiki harimau kesayangannya, Manastala diiringi Dewi Sri Laksmi, Dewi Saraswati, Dewi Permoni, Dewi Sri, Dewi Ratih, dan para bidadari sekethi kurang siji segera keluar dari kahyangan dengan pakaian perang lengkap. Pertempuran terjadi, perang antara kaum pria melawan para wanita. Butuh waktu untuk membut para raksasa sisa pasukan yang belum lari namun berkat kegigihan Durga dan para dewi, para raksasa berhasil dikalahkan. Kini tinggal Prabu Mahesha sendiri beradu satu lawan satu dengan Batari Durga. Prabu Mahesha segera berubah menjadi raksasa betangan empat. Dengan segala senjata, Batari Durga berusaha melukai Prabu Mahesha namun kulitnya sama sekali tak tergores. Kulitnya keras dan liat bagaikan kulit badak. Batari Durga kemudian terdesak namun para dewi dan bidadari segera menolong Batari Durga. Mengalirlah aliran energi yang sangat kuat para dewi menuju Batari Durga. Terjadilah keajaiban, Batari Durga bertriwikrama menjadi Dewi Katyayani, dewi cantik tinggi besar bertangan sepuluh. Setiap tangan memegang banyak senjata.Prabu Mahesha jumawa dan berkata “gusti dewi yang cantik. Kau sudah terdesak dengan kekuatanku. Kini engkau berubah sekalipun tidak akan bisa melawan kehebatan Mahesha. Pulanglah ke suamimu dan rawat harimau milikmu agar jadi kucing penurut.” Batari Durga hanya tertawa dan menjawab “hahaha.....Mahesha! kau kira wanita cantik sepertiku hanya menjadi teman tidur suamiku? Ohh tidak. Wanita sepertiku lebih sekadar itu. Aku lebih berhak bersama pria yang telah mengalahkanku di medan tempur ini!” meledaklah kemarahan Prabu Mahesha, terhina harga dirinya. Rasa kejantanan Prabu Mahesha tertantang untuk segera menundukkan Batari Durga dan menidurinya. Mereka akhirnya saling berperang tanding. Terjadi gara-gara di kahyangan maupun di marcapada.

Durga Mahesasuramardini

Dalam adu kesaktian  kali ini, Prabu Mahesha berhasil terdesak. Maka Prabu Mahesha berusaha mengakali dengan bertukar wujud menjadi berbagai bentuk, mulai dari gajah, burung elang raksasa, leak, badak, babi hutan, burung gagak, manusia, raksasa bajang, hantu, jin tapi semua bisa dikenali sang Batari Durga. Terakhi kali, ia bertukar menjadi kerbau yang ganas lagi sakti mandraguna, sesuai dengan namanya, Mahesha berarti kerbau.

Durga Mahisasuramardini
Singkat cerita, Batari Durga mampu mengalahkan kerbau jelmaan Prabu Mahesha dengan memenggal kepalanya dengan pedang dan keris. Lalu harimau kendaraannya segera menjilati darah yang mengucur dan segera memakan badan kerbau itu. dengan tewasnya Prabu Mahesha, maka para dewa dan dewi menyambut kemenangan sang istri batara Guru itu maka Batari Durga mendapat julukan baru yaitu Mahesasuramardini yang berarti “sang penakluk raja Mahesha”

Ambisi Raktabija

Kekejaman dan ambisi Prabu Mahesha membuat para bawahannya yang masih setia bertekat untuk kembali menaklukan para dewa. Kali ini hal itu kembali dilakukan oleh Patih Raktabija, patih kesayangan sang prabu. Kerajaan Parwakamudra dipimpinnya sepeninggal sang raja. Sang raja yang meninggalkan sepasang anak kembar, Arya Sumbha dan Nisumbha masih cukup muda. Pada hari yang tepat, raja baru dilantik, Prabu Arya Sumbha dan Prabu Arya Nisumbha. Pada suatu hari, keduanya dihasut Patih Raktabija agar memusuhi para dewa, sang patih mengatakan kepada dua anak asuhnya itu “Gusti Prabu Arya berdua, ketahilah bahwa ayah kalian dahulu telah dibantai oleh para dewa. Sebelum ia tewas, ia menitipkan kalian padaku” Murkalah kedua putra mendiang Prabu Mahesha itu. Maka Prabu Arya Sumbha dan Arya Nisumbha memerintahkan Patih Raktabija “Paman patih, segera panggil paman Tumenggung Candha dan Mundha, kita akan ke gunung. Kita minta pada Dewa Rudra Rancasan kekuatan maha hebat!” singkat cerita, Prabu Arya Sumbha dan Arya Nisumbha mendapat kekuatan sepuluh roda gerigi ajaib yang mampu meringkus seluruh senjata dewa, Patih Raktabija mendapatkan aji Sahasrakta yang membuat penggunanya bila terluka dan bercucuran darah maka muncullah pasukan raksasa dari tiap darah yang menetes dan Tumengung Candha dan Mundha mendapat ajian Sirep yang mampu menidurkan bahkan para dewa sekalipun. Setelah mendapatkan kekuatan yang hebat, mereka segera berangkat menggempur kahyangan.

Serangan Sumbha dan Nisumbha

Hari itu cerah ceria di Kahyangan Jonggring Saloka. Batara Guru dihadap Batara Semar, Batara Togog, Batara Narada, dan para dewa lainnya. Mereka sedang membicarakan tentang keadaan para manusia di Jawadwipa setelah serangan Prabu Mahesha. Batara Ganesha mengabarkan sang ayah bahwa para manusia sekarang semakin makmur dan cerdas. Ilmu pengetahuan berkembang pesat dan kehidupan semakin beradab. Batara Guru merasa senang. Namun tiba-tiba cuaca cerah berganti mendung lebat. Gelap dimana-mana. Puncak Mahameru, Tengguru Kaliasa mendadak bergejolak, Kawah Candradimuka membuncahkan lahar panas dan awan wedhus gembelnya. Melihat tanda-tanda itu, Batara Guru tahu bakal ada musuh dewa. Tak lama kemudian, Batara Kala datang mengabarkan bahwa datang sepasukan raksasa dari Parwakamudra. Maka diturunkanlah pasukan Dorandara. Namun pasukan para dewa justru kalah dengan aneh. Mereka pingsan seperti terkena sirep. Maka para dewa lainnya mengerahkan kekuatan mereka. Hujan api, badai petir, badai hujan, salju longsor, gelombang pasang, topan prahara, wabah penyakit diturunkan namun pasukan raja kembar itu tak terkalahkan. Patih Raktabija segara menyayat tangannya dan tiap darah yang menetes berubah menjadi kembarannya. Mereka tumbuh banyak sekali hingga memenuhi seluruh Repat Kepanasan. Kembaran-kembaran Raktabija itu memakan segala wabah penyakit dan melukai banyak dewa. Batara Guru akhirnya turun tangan namn dicegah oleh para dewi. Lalu keluarlah dari barisan para dewi itu Dewi Saci atau Dewi Indrani, istri Batara Indra “Gusti ayahanda batara, aku mendapat penglihatan bahwa sekarang Gusti ibunda Durga sedang dalam masalah. Gusti batara segeralah menolongnya. Biar kami mengulur waktu.” Singkat cerita, para dewi kembali bertarung melawan para raksasa Parwakmudra. Dewi Saci berubah menjadi Dewi Aindri segera melemparkan Bajra dan keris namun jumlah kembaran Raktabija semakin bertambah. Dewi Sri Laksmi segera bertiwikrama menjadi Dewi Waisnawi lalu melemparkan Cakra Widaksana malah muncul Raktabija baru dari tetesan darahnya, Dewi Saraswati bertiwikrama menjadi Brahmani dan melemparkan Gada namun ikut menambah jumlah kembaran Raktabija baru, Dewi Permoni berubah menjadi Niruti dan melemparkan tameng raksasa berhasil menindih bebrapa kembaran Raktabija itu namun tidak efektif. Dewi Sri bertiwikrama menjadi Larasati melemparkan ani-ani dan celurit tapi terlempar oleh daya kesaktian Arya Sumbha.

Prabu Arya Sumbha murka tidak dapat mendekati Batara Guru maka ia suruh Tumenggung Candha dan Mundha untuk menculik Batari Durga agar Batara Guru mau bertekuk lutut dihadapannya.

Batari Durga, sang Dewi Candika

Suasana istana Setra Gandamayu mencekam. Bau wangi bunga kemboja, bunga kantil, dan melati bercampur bau bangkai menyeruak semakin kuat. Angin berhembus kencang turut membawa kewingitan istana berbau kuburan itu. Batari Durga sedang bertapa brata, mengheningkan diri dan membersihkan segala kekotoran. Lalu datanglah bau lain yang aneh seakan-akan membawa aroma mimpi indah. Bau itu ditebarkan oleh Tumenggung Candha dan Mundha. Mereka tergur dengan keelokan tubuh Batari Durga. Tubuh sintal tinggi besar dan wajah yang meneduhkan membuat mereka kepincut namun segera datanglah Batara Guru. Ia segera mematrapkan aji pangabaran dan Aji Kemayan. Namun seluruh ajian itu tawar dengan Ajian Sirep milik dua tumenggung Parwakamudra itu. Batara Guru segera melemparkan trisulanya namun dua raksasa itu berhasil menghindar. Keadaan berbalik semakin gawat. Batara Guru terdesak. Maka naga Andana melepaskan sepotong sisiknya dijadikan perisai dan segera bersemedi mengembalikan kekuatan. Mendengar suara ribut di taman istana, Batari Durga terganggu dan mendapati suaminya sedang duduk bersila namun dengan raut wajah yang lelah dan dilindungi perisai dari sisik yang nyaris hancur. Murkalah sang dewi dan bertukarlah ia menjadi dewi cantik namun dengan raut wajah yang ganas. Tanpa ampun lagi, ia segera memenggal kepala Candha dan Mundha. Maka Batari Durga dijuluki Dewi Candika atau Chamundha. Batari Durga sadar jika sang suami duduk bersila seperti itu maka terjadi sesuatu yang gawat di kahyangan. Maka ia segera berangkat ke Repat Kepanasan.

Dewi Mahakali yang Menyeramkan

Di Repat Kepanasan, para dewa dan dewi terdesak. Para dewa memang tak bisa mati setelah minum Tirta Amerta Perwitasari dan Tirta Amerta Maolkayat namun mereka tetap bisa terluka dan kesakitan. Pasukan klon Raktabija semakin mendekati Lawang Kori Selomatangkep namun datanglahlah Batari Durga dari dalam kahyangan. Dengan raut wajah penuh kemurkaan, dia pun meraung keras. Raungan itu membuat para prajurit Parwakamudra tewas semua. Di saat itu juga, Batari Durga bertriwikrama menjadi Dewi Mahakali, dewi tinggi besar berkulit gelap dengan mata merah menyala, rambut panjang gimbal acak-acakan, berwajah sangat mengerikan bak raksasa dengan taring panjang mencuat, berkalungkan tengkorak,dan di tiap tangan memegang banyak senjata. Patih Raktabija kemudian bertarung dengan Dewi Mahakali. Dewi Mahakali berhasil membuat Patih Raktabija terdesak namun karena luka-lukanya mengucur darah maka terbentuklah Raktabija-Raktabija baru. Dewi Mahakali segera menelan semua Raktabija kembaran dan menghisap seluruh darahnya sekaligus. Maka tinggallah Patih Raktabija yang asli lalu sang dewi berhasil menghabisinya. Sang patih Parwakamudra itu pun tewas dengan badan pucat kehabisan darah. Prabu Arya Sumbha dan Nisumbha marah sekali melihat patih Raktabija tewas maka mereka segera membentuk krodha menjadi raksasa berlengan empat yang membawa gerigi. Dilemparkanlah seribu gerigi tajam itu ke angkasa menuju tempat Dewi Mahakali. Dewi Mahakali segera menangkisnya dengan pedang lalu ditebaslah semuanya selagi di angkasa. Dewi Mahakali segera memukul Arya Nisumbha hingga jatuh tak sadarkan diri. Prabu Arya Sumbha murka saudaranya tak sadarkan diri maka ia serang harimau kendaraan Dewi Mahakali.

Mahakali 
Tak terima, maka ia segera membenturkan kepalanya lalu pingsanlah Prabu Arya Nisumbha. Tapi bersamaan itu Arya Nisumbha justru terbangun dan menyerangnya lagi maka ia balik menyerang mereka dengan melemparkan ribuan keris, bajra, kapak, tombak, gada, kujang, celurit, parang, pedang, tameng, dan panah dari angkasa. Hujan panah, keris dan semua senjata menghujam kedua anak raja itu dan tewaslah mereka berdua dilumat jutaan senjata dari langit.

Mahakali Mangerti

Para musuh kahyangan berhasil ditumpas namun Dewi Mahakali justru semakin menggila. Mahakali semakin haus darah dan tak segan menghancurkan dan membunuh apa saja. Dia bahkan menari-nari seperti orang gila diantara lautan darah dan jasad-jasad para raksasa. Bau anyir darah dan jasad bagaikan bau wangi surga di dalam pandangan sang Dewi. Akibat tariannya itu, Bumi gonjang-ganjing langit kolap-kalip. Topan prahara begitu kencangnya hingga menerbangkan gunung-gunung. Mahameru dan gunung-gunung berapi lainnya bergemuruh dan meletus hebat. Badai petir dan halilintar menyambar-nyambar. Hujan air dan api menghujam tanah. Banjir dimana-mana menenggelamkan seluruh daratan termasuk di Jawadwipa. Para manusia, para raksasa, hewan, tumbuhan, dan para jin ketakutan mengira marcapada kiamat. Para dewa dan dewi berusaha menghentikannya namun tak berhasil. Batara Wisnu pun tak bisa menghentikan kegilaan sang dewi. Para dewa ketakutan karena bukan hanya marcapada yang akan kiamat tapi seluruh kahyangan juga akan hancur lebur. Di saat yang tepat, Batara Guru terbangun dari semedinya dan segera berbaring di Repat Kepanasan membiarkan setiap hentakan kaki istrinya itu menghujam dirinya. Setelah beberapa lama, akhirnya Mahakali tersedar bahwasanya ‘lantai dansa’ tempatnya menari adalah suaminya sendiri. Dengan rasa malu dan sedih , Dewi Mahakali menjulurkan lidahnya. Segera ia hentikan tariannya, melemparkan seluruh senjatanya, dan kembali menjadi sosok Batari Durga, sang Umadewi Parwati sang ratu kahyangan yang lembut penuh kasih. Batari Durga merasa malu dan meminta maaf karena sudah bertindak terlalu jauh. Batara Guru memaafkan sang istri karena khilaf itu. Para dewa dibebaskan dan disembuhkan dari pengaruh sirep. Tirta-tirta suci dikucurkan dan seketika luka-luka mereka sembuh.