Jumat, 15 November 2019

Parta Krama (Sambung darah Baharata-Yadawa)


Salam pembaca semua, karena ad beberapa kegiatan ini dan itu penulis baru bisasempat memposting cerita sekarang. Cerita kali ini mengisahkan pernikahan Raden Permadi (Arjuna) dengan Dewi Bratajaya (Sumbadra) yang sempat dipersulit oleh Prabu Baladewa lewat sayembara yang berat. Versi ini berbeda dengan versi Adiparva Mahabharata dimana Arjuna mendapatkan Subadhra dengna cara kawin lari yang didalangi Krishna Basudeva. Pernikahan ini selain menyatukan kembali darah Baharata-Yadawa, kelak pasangan ini dikaruniai seorang yang akan menurunkan raja-raja Jawa yaitu Abimanyu. Sumber yang digunakan berasal dari blog albumkisahwayangblogspot.com degan pengembangan dan perubahan seperlunya.
Sesampainya di Amarta, Raden Permadi disambut oleh Prabu Yudhistira, Arya Wrekodara, Raden Nakula dan Raden Sadewa. Mereka saling melepas rindu. “ahh senang sekali kembali ke Amarta. Ngomong-ngomong, dari tadi aku tidak melihat kanjeng ibu. Dimana kanjeng ibu, kakang Prabu?” Prabu Yudhistira mengatakan “kanjeng ibu sedang berkunjung ke Dwarawati. Katanya ada urusan penting dengan kakang Prabu Kresna. Adhi jangan risau. Adhi Wrekodara sudah mengutus Gatotkaca untuk mengawal kanjeng ibu.”
Sementara itu, di kerajaan Dwarawati, Prabu Kresna sedang dihadap Patih Udawa, Arya Setyaki, dan Prabu Baladewa. Mereka sedang membicarakan jodoh Dewi Bratajaya. Prabu Baladewa datang dari Mandura untuk berusaha mencomblangkan Dewi Bratajaya dengan Arya Burisrawa, iparnya. Seketika itu Prabu Kresna teringat cerita dari sang ayah bahwa dulu saat masih bayi, Dewi Bratajaya telah ditunangkan dengan Raden Permadi oleh sang ayah, Prabu Basudewa. Prabu Kresna kurang setuju dan mengingatkan bahawa pertunangan Dewi Bratajaya dengan Raden Permadi harus berjalan sesuai ketetapan ayah mereka dahulu. Di tengah perdebatan sengit itu, datanglah Dewi Kunthi dan Raden Gatotkaca. Prabu Kresna turun dari kursi takhta menyambut adik ayahnya itu, “selamat datang, kanjeng bibi prameswari. Bagaimana kabar adik-adikku para Pandawa?” “Syukur kupanjatkan setiap saat. Kabar mereka baik, anakku Narayana dan aku mendapat kabar kalau Permadi sudah pulang. Kedatanganku kemari untuk membahas tentang kabar kepastian pernikahan Permadi dan Bratajaya, putri kakang Basudewa, adik kalian.” Prabu Kresna hendak menjawab setuju namun dicegah oleh Prabu Baladewa. Prabu Baladewa kemudian berkata “kanjeng bibi prameswari, walaupun adhi Bratajaya tinggal di Dwarawati, wilayah adhi Prabu Narayana, namun hak perwaliannya aku masih berlaku selaku putra sulung ayahanda prabu. Ayahanda prabu sudah meninggalkan keduniawian, jadi akulah yang menjadi wakilnya. Masalah diterima atau ditolaknya lamaran, aku yang menentukan.”
Dalam hati, prabu Baladewa tak bisa menyangkal kalau adik bungsunya telah ditunangkan sang ayah dengan Permadi namun dia juga ingin mencomblangkan Arya Burisrawa, iparnya yang sudah kadung dimabuk cinta pada adiknya. Lalu Prabu Baladewa mengajukan beberapa syarat berat “siapapun yang ingin menikahi adik kami, dia harus memenuhi syarat dariku. Pertama, mempelai harus menyediakan Mahesa Danu Pancal Panggung dari alas Krendawana sebanyak seratus empat puluh empat ekor lengkap dengan seratus empat puluh empat bidadari pengiring. Kedua, mempelai harus diarak dengan kereta kencana yang mampu melayang di angkasa. Ketiga, mempelai harus menghadirkan seekor kera putih sebagai penari beksan. Keempat, kedua mempelai harus duduk di pelaminan yang digelar di Balai Kencana Saka Domas. Kelima, acara pernikahan harus diramaikan dengan gamelan Lokananta yang ditabuh para dewa dan yang terakhir, mempelai harus dipayungi kembang mayang dari pohon Dewandaru-Jayandaru dari kahyangan Endraloka. Syarat ini bukan hanya untuk Permadi tapi juga untuk siapapun yang ingin menikahi adikku. Sekian terima kasih” Dewi Kunthi paham sang keponakan mempersulit Permadi, putranya. Tapi Dewi Kunti yakin bahwa syarat-syarat itu ujian yang harus dijalani sang putra ketiga demi mahligai rumah tangga yang bahagia. “baiklah, jika anak prabu Baladewa sudah berkata demikian, maka aku dan putraku sanggup menerima syarat itu. kami mohon pamit “ demikianlah, Dewi Kunthi dan Raden Gatotkaca pulang ke Amarta untuk mengabarkan ini pada Permadi.
Di luar kotaraja, Prabu Baladewa mendatangi Patih Arya Sengkuni, para Kurawa, dan Arya Burisrawa yang semenjak dua hari yang lalu berkemah. Patih Sengkuni bertanya tentang kabar percomblangan Burisrawa dengan Bratajaya. Prabu Baladewa menjawab percomblangannya kacau. Dewi Kunthi juga kebetulan datang mewakilkan Permadi untuk melamar Bratajaya dan dia langsung memberikan syarat-syarat berat padanya. Syarat itu juga berlaku pada Arya Burisrawa. Para Kurawa kecewa namun Patih Sengkuni nampak tenang. Dia tahu kemungkinan seperti ini dapat terjadi dan untuk rencana cadangan, Patih Sengkuni sudah merancangnya jauh-jauh hari. Kini tinggal Arya Burisrawa apakah dia menyerah atau lanjut saja. Arya Burisrawa yang sudah dimabuk cinta berkata “persetan syarat berat. Demi cintaku pada Bratajaya. Aku rela mengambil syarat-syarat berat itu.” karena keputusan sudah diambil, Patih Sengkuni, Arya Burisrawa, dan Para Kurawa mohon diri untuk berangkat memenuhi syarat-syarat berat itu.
Di tengah perjalanan, mereka membuntuti kereta kerajaaan Amarta yang membawa Dewi Kunthi. Patih Sengkuni sengaja mengajak para Kurawa dan Arya Burisrawa untuk menculik Dewi Kunthi agar pihak Pandawa tak tahu apa yang disayembarakan Prabu Baladewa. Mereka semua setuju kecuali Arya Durmagati. Durmagati yang polos dan lugu tak menerima keputusan sang paman berkata “paman patih, kalau kakang Burisrawa ingin menikahi adhi Bratajaya harus fair, harus dengan cara jantan. Kalau dengan cara begini, itu curang namanya.” Patih Sengkuni berkilah “ini juga sebuah strategi, Durmagati. Sambil menyelam minum air. aku menghalangi Pandawa sekaligus menjadi ayah Pandawa” Durmagati kemudian bertanya”lalu apa Bibi Kunthi akan menerima cinta paman? Cinta dipaksakan juga tak akan berbuah manis” “lalu apa salahnya jika aku masih cinta pada Kunthi. Aku juga pernah menculiknya dari Pandu walau gagal. Kali ini dia harus kunikahi dan dengan begitu perang Baratayudha yang diramalkan orang-orang tua itu dapat dihindarkan.” Arya Dursasana dan Arya Kartamarma setuju dengan rencana sang paman segera memerintahkan adik-adiknya untuk menangkap Dewi Kunthi. Mereka tidak tahu bahwa Dewi Kunthi telah dijaga Raden Gatotkaca dari angkasa.
Kereta yang membawa Dewi Kunthi tiba-tiba berhenti. Dewi Kunthi melihat dari sudut jendela sais kereta sudah terbunuh lalu datanglah patih Sengkuni memaksa Dewi Kunthi keluar kereta. Patih Sengkuni dan para Kurawa berencana menculik dirinya. Lalu datanglah pertolongan. Gatotkaca, sang cucu membawa angin besar untuk memporak-porandakan para Kurawa. mereka terkejut tiba-tiba ada pemuda gagah datang. Arya Dursasana bertanya “hei anak muda. Siapa kamu berani betul kau melawan kami para Kurawa.” “aku Gatotkaca, putra Bima Wrekodara. Paman-paman Kurawa ingin menculik kanjeng eyang prameswari, langkahi dulu mayatku.” Arya Dursasana dan Para Kurawa terkejut karena pemuda itu putra Wrekodara. Patih Sengkuni kemudian menyeru pada Raden Gatotkaca “hei putra Wrekodara. Lebih baik mundur sana. Sayang bila kau harus mati di tangan para keponakanku.” Lalu Raden Gatotkaca berkata lantang”aku tidak peduli, eyang patih. Aku sudah ditugasi paman prabu dan ayah untuk menjaga eyang prameswari dari pengganggu.” Para kurawa lalu beramai-ramai menyerang Gatotkaca. Pertempuran terjadi begitu sengit.Raden Gatotkaca dengan cergas menghajar dan memukul para sepupu ayahnya itu sampai jatuh tunggang langgang. Namun karena lawan terlalu banyak, Dewi Kunthi memerintahkan sang cucu untuk pergi saja dari situ karena ada urusan yang lebih penting daripada berkelahi dengan para Kurawa. Raden Gatotkaca menurut saja. Lalu dia meninju para Kurawa lagi dan merapal aji Pethak Meghawahana. Tiba-tiba muncul awan tebal menutupi jarak pandangan para Kurawa dan patih Sengkuni. Di saat mereka kebingungan, Raden Gatotkaca menggendong Dewi Kunthi dan segera membawanya terbang ke Amarta, meninggalakan para Kurawa.
Di Kerajaan Amarta, Prabu Yudhistira dan para Pandawa menerima kedatangan para punakawan dan Maharesi Abiyasa, sang kakek dari pertapaan Saptaharga. Bersamaan dengan kedatangan mereka, datanglah Dewi Kunthi dan Raden Gatotkaca. Dewi Kunthi kemudian memperkenalkan Raden Gatotkaca kepada sang mertua. Sejak pertama kali dibesarkan oleh Batara Narada di kahyangan, Raden Gatotkaca baru kali ini disowani sang kakek buyut. Kemudian Permadi datang menyembah sungkem pada sang ibu. Lalu di hadapan semua orang, Dewi Kunthi menceritakan hasil kunjungannya  di Dwarwati. Ketika dia mewakilkan Permadi untuk membahas pernikahan sang putra dengan Bratajaya, justru Prabu Baladewa memberikan beberapa syarat. Ia kemudian menjabarkan semua syarat itu. mendengar itu, Arya Wrekodara menjadi geram “Apa-apaan kakang Bule. Aku tak habis pikir dengan jalan pikirannya. Kita datang dengan niat baik malah dipersulit. Memang njaluk rame satu orang ini.” Prabu Yudhistira kemudian menyabarkan sang adik yang berbadan tinggi besar itu “sabar, adhi Bima. Kelihatannya memang kakang Prabu Baladewa mempersulit, tapi aku rasa ini adalah ujian yang harus kita jalani terutama untuk Permadi. Nah adikku, Permadi. Apa kau sungguh-sungguh dalam mencintai adhi Bratajaya setulus hati atau hanya sekadar perjodohan dan pelampiasan saja?” Permadi kemudian berkata dengan jujur “sejujurnya sudah sejak lama aku mencintai adhi Bratajaya. Aku tak memandang karena perjodohan atau karena pelampiasan, tapi karena memang aku sudah kadung cinta padanya dari dalam sini.” Raden Permadi mengatakan itu sambil menunjuk ke dadanya pertanda cinta yang tulus. Raden Permadi sendiri bersedia memenuhi beberapa syarat yang sudah diajukan Prabu Baladewa. Karena keinginan sang adik sudah bulat, Arya Wrekodara bersedia membantu.
Maharesi Abiyasa kemudian membagi tugas. Raden Permadi hendaknya datang sowan ke kahyangan Karang Kaendran (Endraloka) menghadap Batara Indra, sang ayah angkat untuk mewujudkan persyaratan kembang mayang dari pohon Dewandaru-Jayandaru, Balai Kencana Saka Domas, dan seratus empat puluh empat bidadari pengiring. Untuk masalah gamelan Lokananta, Permadi bisa sekalian datang ke Cakrakembang, kediaman Batara Kamajaya-Kamaratih, kakak angkat Permadi. Untuk masalah penari kera putih dan kereta melayang, Arya Wrekodara bisa minta bantuan Resi Hanoman Mayangkara di Kendalisada. Raden Gatotkaca kemudian ditugaskan ke alas/hutan Krendawana untuk meminjam seratus Mahesa Danu Pancal Panggung pada ki Dadungawuk. Sementara Raden Nakula, Raden Sadewa, Dewi Drupadi diberi tugas menyiapkan segala keperluan iring-iringan pengantin dan undangan. Sementara oleh sang kakek, Prabu Yudhistira diminta pergi ke sanggar pemujaan untuk berdoa memohon keberhasilan saudara-saudaranya kepada Sanghyang Widhi yang Maha Kuasa. Setelah dirasa cukup, mereka segera menyiapkan segalanya. Raden Permadi, Arya Wrekodara dan Raden Gatotkaca segera berangkat memenuhi tugasan.
Raden Permadi bersama para punakawan berangkat ke gunung Mahameru untuk menuju Karang Kaendran di Jonggring Saloka. Di tengah jalan mereka dihalau sepasang denawa. Walau dikeroyok dua makhluk ganas itu, Raden Permadi dengan lihai mampu membuat dua denawa itu kelabakan. Di saat yang tepat, Permadi menarik busur Gandiwa dan panah-panah terlepas. Jrass, panah-panah itu menembus jantung kedua denawa. Seketika dua denawa itu mati. Dua jasad itu kemudian menghilang berubah menjadi sepasang dewa-dewi. Mereka adalah dewa cinta dan dewi asmara, Batara Kamajaya dan Dewi Kamaratih. Raden Permadi segera menghormat .
Batara Kamajaya dan Kamaratih bertemu Permadi
lalu Batara Kamajaya membangunkan Permadi lalu gantian Batara Kamajaya dan Dewi Kamaratih yang menyembah hormat pada Ki Lurah Semar (Batara Kamajaya dan Dewi Kamaratih adalah putra dan menantu Semar). Batara Kamajaya kemudian bertanya “Dimana ada asap pasti ada apinya, apa gerangan yang membuat adhi Permadi dan kanjeng rama datang ke lereng Mahameru ini?” “begini kakak Batara Kamajaya dan kakak Dewi Ratih, kedatanganku kemari untuk meminjam Gamelan Lokananta lengkap dengan kakak dan para dewa lainnya sebagai penabuhnya.” Batara Kamajaya menyatakan bersedia membantu. Tapi dia lalu berkata “Boleh, adikku. Tapi aku bukan pemilik Gamelan Lokananta. Ayah angkatmu pemiliknya, sang Batara Indra. Aku hanya guru karawitan dan pemelihara saja. Mari, akan kuantar ke Karang Kaendran, ke Endraloka. Kebetulan, kakang Batara Indra sedang berada di istana Endraloka. Dinda Ratih, kembalilah ke Cakrakembang. Kabarkan kepada para bidadari untuk bersiap-siap turun ke bumi.” “Baik kakang Batara, aku tunggu kabar selanjutnya darimu.”
Dengan kesaktian Batara Kamajaya, mereka sampai di Taman Karang Kaendran. Taman itu sangat indah. Bunga-bunga bermekaran sepanjang waktu. Pohon-pohon berbuah lebat tak henti-henti. Air sungai mengalir bagaikan air terjun di pegunungan, nampak sejuk menyegarkan. Disana beberapa bidadari dan bidadara asyik masyuk bermain air. Di luar istana Endraloka, Batara Indra menerima kedatangan Batara Kamajaya, Raden Permadi, dan para punakawan. Batara Kamajaya pun mengutarakan keinginan adik angkatnya untuk meminjam Gamelan Lokananta lengkap para penabuhnya yaitu para dewa untuk pernikahan sang adik dengan Dewi Bratajaya. Batara Indra kemudian berkata dengan sumringah “baiklah, aku pinjamkan gamelan Lokananta.” Lalu Raden Permadi berkata “Ampun, Romo Batara. Maafkan jika aku lancang. Aku juga ingin meminjam Balai Kencana Saka Domas, Pohon Dewandaru dan Jayandaru untuk kembang mayang, dan seratus empat puluh empat bidadari pengiring temanten .” batara Indra tertawa dan berkata “Hahahahahaha, aduh putraku. Kau benar-benar bagai labu dibenam, benar-benar banyak mintanya. Baiklah-baiklah, aku akan kupinjamkan itu semua. Itu hanya permintaan kecil untuk sekelas putra angkat dewa sepertimu. Aku sanggup kabulkan itu semua.” Dengan kesaktiannya, Batara Indra mengambil sebuah kotak kecil lalu kotak itu dipukul tombak Bajra miliknya. Keajaiban terjadi, kotak itu terbuka lalu dari dalamnya muncul badai angin yang sangat kencang. Rupanya angin itu adalah sihir yang membawa masuk Gamelan Lokananta, pot besar berisi pohon Dewandaru-Jayandaru, dan Balai Kencana Saka Domas masuk ke dalam kotak dan ajaibnya, semua benda itu muat di dalam kotak itu. Batara Indra mengatakan seluruh benda yang diinginkan Permadi ada dalam kotak itu dan harap dijaga baik-baik. Untuk masalah seratus empat puluh empat bidadari,biar sang Batara yang mengurusnya. Raden Permadi berterima kasih kepada sang ayah angkat dan pamit kembali ke Marcapada.
Di tempat lain, raden Gatotkaca telah sampai di alas Krendawana. Di sana dia melihat gerombolan kerbau merumput, ratusan jumlahnya, hitam warnanya, bertanduk bagai busur dan berkaki putih seputih salju. Itulah kerbau jenis Mahesa Danu Pancal Panggung. Di sana nampak Ki Dadungawuk sedang duduk di sebuah batu besar sambil mengidungkan sebuah tembang. Walau berparas raksasa, suara Ki Dadungawuk sangat merdu. Lalu Gatotkaca mendatanginya”Sampurasun, Kisanak” “ Rampes, anak muda. Apa yang membuatmu datang ke hutan angker milik Batari Durga, sang Parwati istri pukulun Batara Guru?” Raden Gatotkaca berterus terang ingin meminjam seratus empat puluh empat kerbau untuk mahar pernikahan Raden Permadi dengan Dewi Bratajaya. Ki Dadungawuk kemudian menolak “tidak bisa, anak muda. Aku sudah ditugasi bendaraku untuk meminjamkan kerbau-kerbau ini pada Bambang Parta, bukan pada Permadi. Jadi pergilah, anak muda.” Gatotkaca menjadi kesal dan memaksa untuk menggiring kerbau-kerbau itu sendiri. Lalu tanpa diduga,  Ki Dadungawuk menyerang Gatotkaca. Tak ayal timbul pertarungan dan pertengkaran. Walaupun kemampuan Ki Dadungawuk bukan apa-apa bagi Gatotkaca, kegigihannya membuat Raden Gatotkaca jadi kewalahan. Lalu datanglah Batari Durga dan Batara Indra, putranya diiringi ratusan bidadari yang dipimpin Dewi Kamaratih. Ki Dadungawuk dan Raden Gatotkaca segera menghentikan pertengkaran dan menyembah hormat. Ki Dadungawuk kemudian mengeluhkan keluhannya tentang Raden Gatotkaca yang hendak mengambil Mahesa Danu darinya. Batara Indra tidak marah malah mempersilahkan Raden Gatotkaca. Ki Dadungawuk menjadi heran, bukankah Batara Indra pernah berkata untuk menyerahkan Mahesa Danu untuk kepentingan orang bernama Bambang Parta. Batari Durga kemudian menjelaskan “Dadungawuk, sesungguhnya Bambang Parta dan Raden Permadi itu orang yang sama. Keduanya sama-sama nama julukan dari Raden Arjuna, putra angkat Indra. Bambang Parta itu nama pemberian dari Prabu Basudewa yang berarti putra Prita, nama lain Dewi Kunthi Nalibrata. Sedangkan Permadi adalah nama pemberian dari Dewi Kunthi yang berarti kasih sayang yang melimpah dan besar.” Ki Dadungawuk kini paham dan mempersilakan Raden Gatotkaca untuk meminjam kerbau-kerbau Danu Pancal Panggung. Lalu, Dewi Kamaratih mempersilahkan para bidadari pengiring menaiki kerbau-kerbau itu. Setelah dirasa cukup, Raden Gatotkaca mohon pamit untuk kembali ke Amarta bersama 144 kerbau dan bidadari itu.
 Sementara itu, di gunung Kendalisada, Arya Wrekodara datang menemui Resi Hanoman Mayangkara, sang kakak angkat. Arya Wrekodara kemudian berterus terang “Kakang Hanoman, adikku Jlamprong butuh bantuanmu. Aku ingin kakang jadi penari di saat pernikahannya dengan Bratajaya karena ini salah satu syarat yang diminta kakang Bule.” “ohh dengan senang hati, adikku. Aku gak keberatan.” Lalu Arya Wrekodara bertanya “Apa kakang gak malu? Seorang ksatria jagoan bangsa wanara di Guwa Kiskenda mau menari di depan khalayak?” “untuk apa malu. Justru ini sarana untuk mengabdi pada masyarakat. Toh aku sekarang semakin tua. Aku sudah jenuh berperang dan ingin hidup damai. Sifat jumawaku semasa muda sudah lama menggerogoti hati dan pikiranku. Mungkin dengan menari di depan khalayak, semua kesombongan itu akan terkikis.” Arya Wrekodara sangat berterima kasih, lalu dia bertanya lagi “kakang, dimana aku bisa mendapatkan sebuah kereta melayang untuk pernikahan adikku? Kalau pinjam kereta Jaladara milik kakang Cemani, itu sama saja curang.” “hmmmm.... seingatku kereta semacam itu ada di utara. Di pulau Sailan, bekas negeri Alengkadiraja sekarang namanya Singgelapura. Kereta itu namanya Puspaka. Akan ku temani kau ke sana” Tanpa banyak bicara lagi mereka segera berangkat ke Pulau Sailan. Resi Hanoman Mayangkara segera bertiwikrama menjadi monyet putih raksasa dan langsung terbang bersama Arya Wrekodara.
Tak butuh bebrapa jam, mereka pun sampai di pulau Sailan. Mereka mendarat di pinggir pantai dan meneruskan perjalanan berjalan kaki. Sepanjang jalan, Arya Wrekodara melihat keindahan pulau Sailan yang konon merupakan sebagian remukan Gunung Jamurdipa itu. lalu mereka sampai di kota tua Alengka, bekas istana milik Prabu Rahwana. Walaupun kota tua itu sudah lama menjadi kota mati dan terbengkalai, keindahannya tetap lestari. Bunga-bunganya, pepohonannya, taman Argasoka nya, air mancurnya, juga kolam dan sendangnya masih terjaga. Tak perlu berapa lama, mereka sampai di kotaraja Singgelapura, nama baru Alengkadiraja. Resi Hanoman mengajak Arya Wrekodara masuk ke keraton Singgelapura menghadap pada Prabu Bisawarna, keturunan ke lima dari Prabu Dentawilukrama, putra Prabu Arya Wibisana. Sesampainya di dalam keraton, Prabu Bisawarna menyambut mereka dengan hangat, lebih-lebih Resi Hanoman Mayangkara yang disambut bak pahalawan pulang perang “suatu kehormatan besar bagi saya bisa bertemu Hanoman Anjaneya*, sang wanara sakti. Sang Ramandayapati.*” “ahh, gusti prabu terlalu menyanjung. Omong-omong, aku perkenalkan ini Raden Arya Bima dari Amarta, biasa dipanggil Arya Wrekodara. Kedatangannya ke negeri gusti untuk meminjam Kereta Puspaka milik gusti.” Prabu Bisawarna berubah kerut wajahnya. Dia bimbang karena kereta Puspaka tidak boleh dipinjam dan digunakan oleh orang sembarangan. Lalu Arya Wrekodara berkata “gusti gak usah khawatir. Yang akan menggunakan kereta Puspaka itu adikku, Jlamprong. Nama aslinya Raden Arjuna. Dia pemanah terbaik zaman ini  Kami berdua putra Pandu Dewanata, raja Hastinapura.” Prabu Bisawarna terkejut karena di masa lalu, ayah sang Prabu Bisawarna pernah menjalin kerjasama dan meminta bantuan pada Prabu Pandu Dewanata. Ayahnya bercerita bahwa Prabu Pandu pernah berkata kelak salah satu putranya akan datang lagi ke Singgelapura meminta bantuannya. Tanpa pikir-pikir lagi Prabu Bisawarna bersedia meminjamkan kereta Puspaka. Arya Wrekodara berterima kasih sekali kepada Prabu Bisawarna. Begitu Prabu Bisawarna membuka ruang pusaka, kereta Puspaka nampak indah gemerlapan tiada kekotoran sedikitpun. Setelah dirasa cukup, mereka segera pamit pada sang prabu dan menaiki kereta Puspaka kembali ke pulau Jawadwipa.
Di tengah perjalanan menuju Amarta, rombongan Gatotkaca tiba-tiba dihadang sepasukan orang bertopeng. Mereka berusaha merebut 144 kerbau dan bidadari yang dibawa Gatotkaca. Mendapt serangan demikian, Raden Gatotkaca dan Ki Dadungawuk tak tinggal diam. Ki Dadungawuk memerintahkan kerbau-kerbau gembalaannya menyerang pasukan bertopeng itu, sementara Raden Gatotkaca terbang tinggi ke angkasa sambil membawa kantung dan terbang berputar-putar dengan kecepatan tinggi membuat angin kencang lalu memasukkan angin buatannya ke dalam kantung. Begitu turun kembali ke bumi, kantung berisi angin itu dibuka dan angin berhembus kencang menghempaskan pasukan bertopeng. Dari kejauhan di kegelapan hutan, terlihat beberapa wajah kesal. Rupanya itu Patih Sengkuni, para Kurawa, dan Arya Burisrawa. Mereka merekrut sejumlah orang untuk merebut sarana sayembara itu. Mereka kemudian mundur kembali ke Hastinapura.
Hari pernikahan pun tiba. Prabu Yudhistira bangga dengan adik-adik dan keponakannya. Mereka berhasil memenuhi sarana sayembara. Ini adalah tanda bahwa memang Raden Permadi dan Dewi Bratajaya berjodoh. Mereka pun berangkat ke Dwarawati. Setelah beberapa lama mereka akhirnya sampai di pinggir pantai dekat pulau Dwaraka, kotaraja kerajaan Dwarawati. Mereka masuk ke Taman Banoncinawi. Rombongan dari Amarta nampak begitu mewah namun tetap bersahaja. Di depan ada Resi Hanoman Mayangkara menari dengan anggun dengan sesekali gerakan jenaka untuk membuka jalan. Di belakangnya berarak 144 Mahesa Danu Pancal Panggung yang masing-masing dinaiki para bidadari yang menebarkan bunga-bunga harum sepanjang jalan. Kerbau-kerbau itu digiring Ki Dadungawuk. Di belakangnya lagi, nampaklah kereta Puspaka melayang di udara membawa para Pandawa, Dewi Kunthi, Dewi Drupadi, dan Dewi Arimbi. Lalu benda itu turun dan keluarlah dari kereta indah gemerlapan itu Raden Permadi yang memakai pakaian pengantin membawa kotak pemberian Batara Indra. Raden Permadi kemudian membuka kotak itu dan seketika itu pula Balai Kencana Saka Domas keluar dari dalam kotak dan langsung terpasang di taman Banoncinawi berikut pelaminan dengan pohon Dewandaru-Jayandaru sebagai kembang mayang dan Gamelan Lokananta. Beberapa dewa yang dipimpin Batara Kamajaya dan Dewi Kamaratih turun ke marcapada dan segera menabuh gamelan Lokananta. Suara gamelan pun merdu luar biasa. Suaranya sangat lembut namun cukup keras terdengar hingga ke awang-awang. Prabu Kresna beserta keluarganya yaitu sang ayah, Begawan Basudewa datang dan para permaisurinya, yaitu Dewi Rohini, Dewi Dewaki, dan Dewi Badrahini menyambut rombongan Pandawa dengan penuh sukacita. Begawan Basudewa menyambut gembira kehadiran rombongan mempelai pria.
Lalu datang Prabu Baladewa yang marah-marah dengan sebab tak jelas. Dia datang bersama Prabu Duryudana beserta adik-adiknya para Kurawa, patih Sengkuni, dan Arya Burisrawa. Prabu Baladewa kemudian bercerita pada Prabu Kresna menuduh pihak Pandawa main curang “aku mendapat laporan dari paman Patih Sengkuni kalau para Pandawa telah mengambil paksa Mahesa Danu Pancal panggung dan para bidadari dari tangan pasukan bertopeng yang dikirim adhi Prabu Duryudana.  Begitu juga alat sayembara yang lain, juga direbut paksa.  Sudah jelas ini kecurangan. Para Kurawa sudah capek-capek menyiapkan sarana sayembara buat adhi Burisrawa, malah direbut dengan seenak hati. Pokoknya akan ku bunuh Permadi dengan Nanggalaku.” Lalu Dewi Bratajaya maju ke hadapan lalu berlutut di depan sang kakak yang dilanda amarah itu. “kakang Balarama, kalau kau ingin menghukum kakang Arjuna-ku, hukum aku saja. Lebih baik aku saja yang mati daripada jatuh korban yang lebih banyak. “ lalu Raden Permadi ikut maju dan berbaring di hadapan Prabu Baladewa“hukum aku saja, kakang Prabu tapi biarkan rayi Sumbadra tetap hidup. Cinta kami sepertinya tak ada apa-apanya di mata kakang prabu tapi tolong biarkan rayi Sumbadra-ku tetap hidup.”  Prabu Baladewa yang tadinya dilanda amarah seketika berubah kerut mukanya. Matanya mulai sembap. Bibir dan badannya bergetar. Nanggala di tangan pun terlepas. Perasaan haru dan pilu melingkupi sanubari sang raja berkulit bule itu melihat ketulusan cinta sang adik bungsu dan adik sepupunya itu sampai-sampai rela menyerahkan hidup mati. Hati nuraninya kini berkata bahwa Patih Sengkuni dan para Kurawa sudah berdusta. Ia kemudian memeluk Permadi dan Bratajaya lalu meminta maaf karena sudah terlalu menuruti amarahnya tanpa mengorek kebenarannya. Prabu Baladewa kemudian mengajak keduanya masuk ke Balai Kencana Saka Domas.
Arya Burisrawa melihat pemandangan itu menjadi geram. Cintanya tak bersambut dan kini gagal dengan cara curang. Burisrawa dilanda gandrung. Dia kemudian mengamuk dan berusaha merebut Dewi Bratajaya dari tangan sang kakak ipar. Begitu tangannya berusaha mendekat, Arya Setyaki dengan sigap meringkus putra mahkota Mandaraka itu. lalu dia membawa Arya Burisrawa keluar kotaraja dan menghajarnya hingga babak belur. Sejak dari awal, Arya Setyaki sudah gerah dan benci dengan Arya Burisrawa. Kebencian itu bermula ketika sang ayah, prabu Setyajid memenangkan Dewi Wresini dan membuat Bambang Narasoma alias Prabu Salya, ayah Burisrawa kalah telak (saat itu Bambang Narasoma masih lajang dan belum mewarisi aji Candhabirawa). Burisrawa yang terlahir berwajah buruk rupa ternyata juga mewarisi kebencian ayahandanya terutama pada Arya Setyaki.
Upacara pernikahan pun segera dilangsungkan. Setelah akad nikah, kedua mempelai duduk di pelaminan yang di kanan-kirinya berdiri kembang mayang pohon Dewandaru-Jayandaru.
Parta Krama
Para bidadari berjumlah 144 turun dari kerbau-kerbau Danu lalu bersamaan, mereka dan Resi Hanoman Mayangkara menari bedhaya menghibur para tamu undangan dan kedua mempelai. Gamelan Lokananta yang mengalun merdu bahkan terdengar hingga ke puncak kahyangan Jonggring Saloka di puncak Mahameru. Kini Raden Permadi dan Dewi Bratajaya telah menikah. Prabu Yudhistira kemudian berbicara pada sang adik dan ipar barunya “adhi berdua, kini kalian sudah dewasa. Kurang pantas rasanya kalau kalian masih memakai nama kecil. Sudah saatnya kalian memakai nama asli kalian. Kini adhi Permadi harus memakai nama pemberian ayahanda dan adhi Bratajaya harus memakai nama aslimu juga, nama pemberian paman Basudewa.” Dewi Kunthi, Begawan Basudewa, dan para istri juga setuju atas usul Yudhistira. Kedua mempelai menurut. Mulai saat itu, Raden Permadi menggunakan nama aslinya yaitu, Raden Arjuna dan Dewi Bratajaya menggunakan nama pemberian sang ayah yaitu Dewi Sumbadra.
*Hanoman memiliki beberapa dasanama/julukan, diantaranya Ramandayapati =putra angkat Ramawijaya, Anjaneya=putra Dewi Anjani, Suwiyuswa= panjang umur, Mayangkara= roh suci, nama ini dipakai pada zaman Mahabarata ketika sudah tua dan telah madeg menjadi pendita di Kendalisada, Bayusuta, Perbancana Suta, Pawanasuta, Marutaputra=putra sang Bayu, dewa angin, Anjila Kencana, nama kecil dari Anjani, Palwagaseta, Wanaraseta= kera putih, , Bambang Senggana, Haruta, Guruputra= putra Batara Guru, karena Hanoman lahir karena Dewi Anjani memakan daun sinom yang ketumpahan benih sperma Batara Guru, Kapiwara= jenderal perang para kera dll.