Selasa, 18 Oktober 2022

Semar Kuning

 Sudah lama saya tidak posting.....Btw, kisah kali ini kembai ke kisah Mahabarata. Kisah kali ini mengisahkan tentang sikap tak terpuji Prabu Kresna dengan meludahi Ki Lurah Semar. Ia kemudian diingatkan oleh Batara Ismaya. Kisah ini juga mengisahkan tentang kelahiran Abimanyu, perjodohannya dengan Dewi Siti Sundari sejak bayi, dan pernikahan Arjuna dengan Dewi Ulupi. Kelak dari Dewi Ulupi, akan lahir Bambang Irawan. Sebenarnya kisah perjodohan ini diceritakan saat Abimanyu dewasa tapi penulis menceritakan perjodohan Abimanyu terjadi  sejak bayi. Sumber yang dipakai berasal blog albumkisahwayang.blogspot.com, blog caritawayang.blogspot.com dan beberapa blog-blog pedalangan lainnya.


Hari kelahiran jabang bayi yang dikandung Dewi Sumbadra akhirnya tiba. Sang jabang bayi telah lahir sehat. Arjuna menamai putranya itu Abimanyu yang bermakna tak kenal takut dan sang ibu menamainya Angkawijaya. Tak lama setelah kelahiran putranya, terjadilah perang antara kerajaan Palangkawati melawan Amarta. Perang selama berhari-hari itu telah memakan banyak korban dan pasukan Amarta menjadi terdesak. Mau tidak mau, Arjuna harus pergi berperang namun tiba-tiba ada suara dari langit mengatakan “Arjuna, bawalah putramu ikut ke medan perang bersamamu karena kunci kemenanganmu adalah putramu yang baru lahir itu.” Arjuna menaatinya dan segera naik kereta perang sambil menggendong putranya.

Di medan perang Arjuna banyak mengalahkan musuh. Lalu datanglah raja Palangkawati, Prabu Jayamurcita menantang Arjuna “Arjuna, aku akui kau cukup hebat menghadapi seluruh prajuritku. Aku menantangmu adu panah. Jika aku menang ku rebut Madukara beserta seluruh kotaraja Indraprastha!” “aku terima tantanganmu, Jayamurcita.” Terjadilah perang tanding yang apik. Kedua ksatria tampan itu saling menembakkan panah dengan indah. Ibarat kalau dikata panah-panah itu melesat membiaskan cahaya bak pelangi di petang hari. Lama kelamaan Arjuna mulai kewalahan lalu tanpa diduga, tanpa dinyana, bayi Angkawijaya memegang dan melemparkan salah satu panah ayahnya. Panah itu panah Sirsha melesat ke arah dada sang Prabu dan musnahlah tubuh Prabu Jayamurcita berganti menjadi seorang dewa berwajah tampan. Sang dewa lalu memperkenalkan diri “maaf beribu maaf,Arjuna sudah membuatmu dan Amarta kerepotan. Perkenalkan hamba Batara Warcasa, Putra Batara Candra.” “Ampun sang batara, apa yang terjadi pada paduka sehingga bertukar wujud menjadi manusia.” Batara Warcasa bercerita bahwa ia mencari penitisan karena ia ingan menyusul kawannya, Batara Tantra, cucu Batara Bayu telah lebih dulu menitis pada Gatotkaca, putra Wrekodara dan Arimbi. Maka ia ingin bertemu kembali bertemu sahabatnya dengan menitis sebagai sepupu Gatotkaca yang baru lahir. Kini sudah saatnya Batara Warcasa bersatu jiwa raga dengan Abimanyu. Sebelum itu, Kerajaan Palangkawati diserahkannya kepada Arjuna sebagai bawahan Amarta. Keajaiban pun terjadi, Batara Warcasa menghilang bertukar menjadi cahaya lalu masuk ke dalam diri bayi Abimanyu. Pulangah ayah dan anak itu lalu diceritakannya yang terjadi. Maka Prabu Yudhistira menetapkan Keraton Palangkawati sebagai dalem kesatriyan untuk Abimanyu.

Di tempat lain, Prabu Kresna dihadap para istri, Dewi Radha, Dewi Jembawati, Dewi Rukmini dan Dewi Setyaboma menerima seorang tamu. Tamu itu bernama Batara Ekawarna dan putrinya, Dewi Pertiwi dari kahyangan Ekapertala. Prabu Kresna mengingat mereka karena sebelumnya sebagai Batara Wisnu, Dewi Pertiwi adalah salah satu istrinya selain Dewi Srilaksmi dan Dewi Laksmita.  “istri-istriku perkenalkan ini dinda Pertiwi, salah satu istri kanda di kahyangan dahulu.” Dewi Jembawati dan para madunya saling memeluk Dewi Pertiwi karena sesama titisan istri Batara Wisnu dapat dipertemukan kembali. Dewi Pertiwi membawa serta dua buah hatinya yang masih bayi berbeda setahun umurnya, “kanda batara, inilah putra-putrimu. Tolong berikanlah nama kepada mereka berdua,” “ baik, dinda. Tapi aku ingin merundingkannya dengan para istriku yang lain.” Berundinglah sang prabu dengan keempat istrinya memikirkan nama apa yang pas. Setelah selesai, Prabu Kresna mendekati Dewi Pertiwi dan berkata “karena kedua anakku ini anak dari Dewi penjaga bumi, maka yang lelaki aku beri nama Arya Sitija dan dan yang perempuan kunamai Dewi Siti Sundari.” Bersamaan dengan itu, datanglah kabar dari punggawa bahwa putra Arjuna dengan Sumbadra telah lahir dan diberi nama Angkawijaya alias Abimanyu. Maka semakin berbahagialah sang Prabu Kresna. Ia pun berencana membuat pesta selapanan sekaligus perjodohan antara Abimanyu dengan Siti Sundari. Maka dikirimlah undangan itu ke Amarta, Mandura dan negara-negara tetangga.

Di kahyangan Jonggring Saloka, Batara Guru dihadap batara Narada, sang istri Batari Durga. Mereka membicarakan bagaimana jalannya hubungan sang Wisnu dengan Semar saat ini “Kakang Narada, Sanghyang Widhi memberiku penglihatan bahwa sebentar lagi hubungan Wisnu sebagai Kresna dan kakang Ismaya akan mendapat cobaan. Saat ini, Prabu Kresna amat gembira hati dengan putrinya yang kedua yang terlahir cantik jelita dan hendak menjodohkannya dengan anak Arjuna. Apa yang harus kita lakukan, kakang?” “menurut hemat saya, kita lihat saja dulu seberapa kuat mereka bisa bertahan dari cobaan itu. jika Wisnu berbuat salah, sudah kewajiban kita mengingatkannya, Adhi Guru.”Batara Guru lalu meminta pendapat istrinya lalu Batari Durga berkata “saya sependapat dengan Kakang Narada. Sebagai jajaran dewa yang paling sakti, Wisnu maupun para titisannya harus mampu menahan nafsunya terutama nafsu amarah dan supiahnya.” Maka Batara Guru kemudian memerintahkan para dewa agar lebih mengawasi Kerajaan Dwarawati untuk segala kemungkinan yang terjadi. Belum sempat mereka duduk, Tiba-tiba seisi kahyangan Jonggring Saloka digoncang gempa dahsyat. Gonjang-ganjinglah gunung Mahameru dibuatnya. Lalu Batara Guru melihat Batara Wisnu naik ke kahyangan “anakku, Ngger Wisnu?! Rupanya kedatanganmu yang membuat gonjang-ganjing. Ada apa kamu datang menghadap tidak bersama Kresna.” “ampuni hamba, paduka ayahanda Girinata. Saya oncat dari Kresna untuk sementara waktu. Kresna saat ini sedang diliputi perasaan bangga yang teramat sangat. Ini juga akan menjadi ujiannya apakah ia akan sadar dari kesombongannya. Kalau dia sadar, maka saya akan kembali padanya.” “baiklah jika begitu, ngger Wisnu. Aku akan pikirkan sesuatu untuk memperingatkan Kresna.”

Tibalah hari pesta selapanan. Rakyat dari seluruh negeri bergembira. Bukan hanya dari Dwarawati saja, tapi dari Mandura, Amarta, bahkan Hastinapura berkumpul di sana menikmati pesta itu. Prabu Baladewa pun datang. Setelah dijemput sang adik di gapura keraton, didampinginya kakaknya itu ke ruang balairung. Lalu Prabu Baladewa berkata “adhi Kanha, dimanakah putrimu itu? dimanakah adikku Sumbadra dan putranya itu? aku ingin melihat mereka.” Pucuk dicita, ulam pun tiba, datanglah rombongan dari Amarta yaitu Prabu Yudhistira dan sang istri, Drupadi, disusul Arya Wrekodara beserta istri, lalu Dewi Sumbadra dan Abimanyu yang masih bayi, dan Raden Nakula-Sadewa. Prabu Baladewa lalu menengok bayi Abimanyu alias Angkawijaya. Lalu datanglah Dewi Pertiwi menggendong bayi Siti Sundari. Raja berkulit bule itu juga menengok keponakannya yang cantik dan bagus itu. setelah puas melihat kedua ponakannya itu, Prabu Baladewa bertanya pada Prabu Yudhistira “adhi Prabu Yudhistira, diamana adikmu Arjuna, ayah Abimanyu? Kok tidak ikut? Apa dia sakit?” “maaf kanda prabu Balarama, adhi Arjuna sudah satu bulan ini meninggalkan Amarta. Kami tak tahu kemana ia pergi.” “waduh waduh......Adhi Kanha. Kok kamu mengadakan pesta ini tanpa kedatangan adhi Arjuna? Upacara selapanan ini tak akan sempurna tanpa hadirnya ayah si Abimanyu. Malulah kita ini kalau kita membuat upacara untuk bayi bila ayah si bayi masih di luar sana. Orang akan menganggap kita orang tak tau sopan santun.” Prabu Kresna dengan jumawanya berkata “kakang Balarama, di dunia ini siapa yang tidak tahu Kresna, sang titisan Batara Wisnu,sang pelindung dharma ini. Pilihan saya adalah kehendak dunia. Seluruh jagat ini tidak akan menyalahkanku,tidak akan membuat kita celaka. Bahkan para dewa di kahyangan segan pada Kresna ini.” “prabu Baladewa pun terkejut mendengarnya begitupun Prabu Yudhistira. Prabu Yudhistira yang merupakan anak angkat Batara Dharma mengingatkan “kanda Prabu Kresna, tidak baik jumawa. Sebagai titisan Wisnu harusnya tidak bersikap sombong, menjauhkan diri dari jumawa. Lebih baik malu sejenak daripada mendapat murka Sanghyang Widhi.” namun Prabu Kresna tak peduli seolah ia tak takut. Singkat cerita, maka segeralah diselenggarakan pesta selapanan itu lalu tibalah saatnya perjodohan. Prabu Kresna menggendong bayi Abimanyu di tangan kanan sedangkan tangan kiri menggendong bayi Siti Sundari,putrinya an berkata “hari ini aku, Prabu Sri Kresna menjodohkan Abimanyu alias Angkawijaya, putra adikku dengan Parta sang Arjuna dengan putriku Siti Sundari. Semoga Yang Maha Kuasa menghendaki.” Para undangan memberikan selamat dan bahagia sekali.

Singkat cerita, saat perjamuan, datanglah seorang berwajah ala kadarnya, gemuk namun berwibawa diiringi tiga anaknya. Dialah Ki Lurah Semar beserta Gareng, Petruk dan Bagong. “ampun, ndoro prabu. Kedatangan saya tanpa undangan.” Prabu Kresna dengan jumawa berkata “kakang ki Lurah, apa maumu? Kedatanganmu tanpa undangan mengganggu para priyagung di seantero Jawadwipa ini” “hmmm Blegedag gedug.....hmmm ndoro prabu Kresna. Saya datang hanya ingin ikut merayakan perjodohan putra ndoro saya dengan putri ndoro prabu.” Mendengar pembicaraan sang adik yang tidak mengenakkan itu, Prabu Baladewa membalas dengan ramah ucapan sang punakawan “eee....tidak apa-apa kakang Ki Lurah. Marilah masuk.”  Belum sampai beberapa langkah, Prabu Kresna berkata “kakang, apabila kau ingin makan dan minum, kakang bisa makan bekas para priyagung. “hmmm lah dalah..ndoro! ndoro!. Apa kamu lupa, saya tahan lapar dan haus, gentur lelaku lan tapa brata. Kuat dingin dan panas, tahan bosan dan kantuk. Kedatanganku ini hanya untuk mengirimkan sebuah syair terkhusus untuk ndoro prabu, ndoro mas Abimanyu, dan ndoro mas Siti Sundari untuk ucapan selamat.” Prabu Kresna mengiyakan dengan nada bosan “hmm baiklah. Terserah kau lah.” Maka bersyairlah Semar.

terkisahlah sebuah negara

Dwarawati namanya

Indah dipandang layaknya swarga

Rakyatnya sentausa sejahtera

Rajanya hikmat ternama

Prabu Kresna namanya

Wisnu sang dewa menitisinya

Menjadi raja gung binantara

Para dewa sayang padanya

Karena kehebatannya

Prabu Kresna merasa bangga karena dijadikan syair dapat melupakan sedikit kejengkelannya. Senyum mengembang bagai bulan muda. “yah.. syairmu bagus sekali, kakang. sesuai apa yang terjadi sebenarnya. Engkap sungguh hebat rangkai dan sambung kata indah, kakang.” “ada kelanjutannya.ndoro prabu”

namun gading indah retak segaris saja

cacat dan cela tetaplah ada

sang raja kurang lah bijaksana

tega dengan kaum kerabatnya

di saat perjodohan putrinya

dengan anak Arjuna

calon besan belumlah tiba

enggan dinantinya 

lebih malu pada kuasa

daripada Hyang Widhi Wasa

Wisnu sang dewa sirna nuraninya

Silau harta, kuasa dan takhta

Seketika heninglah seisi keraton. Prabu Baladewa mulai tegang wajahnya begitupun dengan Patih Udawa dan Arya Setyaki. Wajah Prabu Yudhistira, Arya Wrekodara dan Nakula-Sadewa tampak menunduk karena syair tu menampar pribadi Prabu Kresna yang memnag sesuai fakta. Sang Prabu Kresna seketika merah padam wajahnya. Matanya seakan meniratkan murka. Senyum yang menungging menghilang seketika berganti gigi gemeretak menahan marah. Maka Prabu Kresna menyiramkan air ke kepala Semar lalu meludahi pakaian dan kuncungnya. “pergi dari sini kau, orang tua! Orang besar sepertiku tak butuh syairmu itu!” begitulah Prabu Kresna mengusir sang batara Ismaya yang tengah mengejawantah itu. Kresna melupakan tugasnya sebagai Wisnu dan sebagai rekan Semar dalam menekan angkara murka. Dia tergelincir ke lembah kesombongan. Hati yang silau terhadap harta, takhta dan kuasa. Namun tak sedikitpun kemarahan terlihat di wajah Ki Lurah Semar. hanya raut kesedihan terukir nampak. Semar segera mengelap bekas air di kepalanya dan membersihkan ludah dari pakaian dan kuncungnya seraya berkata “baiklah, ndoro. Saya akan pergi. Saya tidak keberatan diperlakukan begini. Saya sadar, orang kawula alit macam saya tak akan ada yang menolong. Semar datang untuk mengingatkan tentang kebenaran. Tapi apa gunanya saya menyampaikan kebenaran pada orang yang jumawa dan menolak kebenaran. Saya pamit, ndoro Prabu.” Setelah perginya Ki Lurah Semar, Prabu Baladewa mendatangi adiknya sambil meluapkan segalanya “Kanha! Tega sekali kau berlaku tercela kepada kakang Ki Lurah. Kurasa sudah cukup aku berada di sini. Aku pamit. semoga Sanghyang Widhi tak menimpakan murka padamu.” Prabu Kresna makin jumawa “terima kasih atas kedatanganmu, kakang Balarama. Aku bertanggung jawab sepenuhnya bahkan aku dan anakku rela dikutuk karena ini.” maka melengoslah Prabu Baladewa diikuti rombongan Amarta.

Gareng, Petruk, dan Bagong sedari tadi melihat ayah mereka murung sejak keluar dari keraton Dwarawati “ada apa tha, mo. Murung masam begitu muka. Tambah jelek lho, romo. Lihat tuh muka si Bagong. jelek-jelek gitu masih tetap pede dapet cewe. Laelasari, putri paman Togog kepincut ama dia” kata Gareng. “apa tha, reng? Laelasari itu matanya aja rabun. Kalo pake kacamata paleng langsung lari”ejek Petruk. “enak aja, kakang Petruk iki. Laelasari itu kepincut sebab wajahku ganteng kayak ndoro Arjuna.” “Gedabrus!” kata Petruk dan Gareng sambil menepuk punggung Bagong.Tak pelak gelak tawa tak terelakkan. Ki Lurah Semar mau tak mau ikut tertawa-tawa kecil. “wis...wis..wis...tha, anak-anak. tidak perlu saling ejek. Romo memang lagi muram mengingat perlakuan ndoro Prabu Kresna di keraton tadi.” Gareng lalu bertanya “memangnya apa yang terjadi dengan ndoro prabu?” Semar lalu menceritakan apa yang terjadi. “wah...wah..kurang ajar ndoro prabu. Mentang-mentang titisan Batara Wisnu bisa seenaknya begitu. Memang butuh dipethel itu orang.” Kata Gareng yang setengah marah. “wis...wis...anak-anakku. romo tak mau diganggu sekarang ini. ayah ingin menyendiri mengikuti kata hati. Segera cari ndoro Arjuna dan ceritakan semuanya yang terjadi. Pimpin adik-adikmu.” “Enggih deh romo. adios!” “ehh, bahasa apa itu, reng?” tanya Petruk. “lha gak tau kamu, Truk? Itu kan bahasa wong putih, basane wong daratan gedhe. Artinya semoga perjalanan ayah selamat tanpa halangan apapun. Tak tergoda wanita seksi bahenol dan sampai tujuan dengan sukses.” “ lha panjang tenan artine, Gong. Padahal kan cuma berapa kata itu.” singkat cerita mereka pun berpisah jalan.

Di tengah jalan, Ki Lurah Semar kedatangan empat orang dewa, Batara Indra, Batara Brahma, Batara Bayu, dan Batara Wisnu. Keempat dewa itu bersimpuh kepada Semar. Semar lalu bertanya pada Wisnu “Wisnu! Kenapa ada di sini? Bukankah kau harus bersama Kresna?” “ uwa Batara, sementara wajtu ini saya meninggalkan Kresna, oncat darinya. Saat ini ia sedang pekat hatinya, dibuaikan sifat bangga diri yang terlalu. Untuk saat ni, aku harus menguji Kresna. Kalau dia menyadari kesalahannya, maka aku akan kembali kepadanya.” “kalau itu maumu, aku tidak menolak. Bagaimana dengan kalian, Indra!? Bayu!? Brahma!? Batara Indra berkata “kami juga siap harus menghukum Kresna. Untuk itulah adhi Wisnu memanggil kami bertiga.” “benar uwa, dengan anginku maka Dwarawati bakal terbang.” “apiku juga sudah siap membakar keratonnya.” Semar lalu berkata “ ya sudahlah. Aku tidak turut campur. Itu hak kalian. Permisi nggeh, uwamu akan pergi menyepi. Uwa pamit.”

Singkat cerita, keempat dewa sampai di Dwarawati. Mereka melakukan tugasnya. Batara Indra melepaskan panah Bledeg Sakethi ke langit dan turunlah beribu-ribu awan dengan halilintarnya yang menymbar-nyambar. Seketika muncullah hujan badai dengan halilintar yang mengelegar dan menyambar seisi keraton. Batara Bayu segera mengerahkan topan prahara dan membuat segalanya terangkat dan beterbangan. Tak mau ketinggalan, batara Brahma segera mengheningkan cipta dan turunlah hujan api yang mengerikan dan membakar semua yang dilewati. Batara Wisnu segera membuat bumi bergegar dan menggerakkan ombak dari laut sehingga bukan hanya kotaraja Dwarawati terendam air bah, seluruh pulau Dwaraka ikut tenggelam. Tak terkiralah kengeriannya. Rakyat Dwarawati segera mengungsi ke pantai Jawadwipa. Dwarawati terkena tulah dari dewa. Prabu Kresna yang biasanya tenang kini kalang kabut dan bingung. Begitupun patih Udawa dan Arya Setyaki. “adhi Prabu, bagaimana ini. cepatlah bertindak kalau kita tak ingin tersapu air bah atau terbakar api ini” “aku juga bingung, kakang patih. Cakra Widaksana tidak berfungsi seperti biasanya. Pusaka-pusaka yang lain hilang ditelan air bah.” Arya Setyaki terhenyak “lha... kemana ke-Wisnu-anmu yang kakang prabu banggakan. Cepat keluarkan, kakang prabu.” “waduhh... kekuatan Wisnu milikku lenyap.” Patih Udawa segera mencari solusi “adhi prabu, cepat pakai Brahalasewu mu” Prabu Kresna hendak mengeluarkan panah Aji Kesawa di tubuhnya tapi kini panah itu ikut menghilang. Terhenyaklah Prabu Kresna”waduh gustine jagat dewa batara...sepertinya Wisnuku telah hilang...sudah oncat dariku. Yang penting kita selamatkan diri dan keluarga kita dahulu.” Kalau begitu cepat, adhi Prabu. Keluarkan Jaladara.” Segera Prabu Kresna membawa kelima permaisurinya, Dewi Radha, Dewi Jembawati, Dewi Rukmini, Dewi Setyaboma dan Dewi Pertiwi. Namun Dewi Pertiwi memutuskan untuk segera pulang ke Ekapertala. Lalu Dewi Pertiwi ambles ke bumi membawa Dewi Siti Sundari dan Arya Sitija yang masih bayi. Satu persatu istrinya sudah masuk disusul Patih Udawa dan Arya Setyaki. Secepat kilat, kereta Jaladara melesat ke angkasa melewati hujan badai, topan prahara dan hujan api yang mengerikan itu. Prabu Kresna digugat istri-istrinya karena bencana dan petaka yang terjadi disebabkan ia telah meludahi dan menghina Paman Semar. Prabu Kresna sadar telah menuruti sifat bangga dan kesombongannya. Dengan mengangkasa, terbanglah ia  mencari-cari kemana Ki Lurah Semar.

Sementara itu, Raden Arjuna yang dicari-cari sedang berguru di rumah Resi Jayawilapa, tetua desa Yasarata di pinggir bengawan Gangga. Ketika bertemu pertama kali, sang resi ditolong oleh Arjuna saat diserang singa jelmaan Prabu Singalodra. Berkat pertolongannya, Resi Jayawilapa membawa sang Arrjuna ke rumahnya. Kebetulan, Resi Jayawilapa dulunya salah satu patih Saptapertala dan juga bersahabat dengan batara Anantaboga, mertua kakaknya, Arya Wrekodara dan meguru padanya. Di sana sang resi mengajari Arjuna ilmu ambles bumi dan ajian Mayabumi. Resi Jayawilapa mempunyai seorang putri cantik bernama Dewi Palupi tapi lebih sering dipanggil Ulupi. Sejak keduanya saling bertemu, Dewi Ulupi seperti dilanda angau begitupun juga Arjuna. Sepertinya hati mereka telah terpaut satu sama lain.. maka Arjuna dan Ulupi pergi ke sebuah taman bunga di tepi bukit “kakang Arjuna, kau lihat taman bunga ini. lihatlah bunga itu dihinggapi kupu-kupu. aku ingin menjadi bunga mekar untukmu.” “dinda Ulupi, aku lebih senang lagi kau bukan sekedar bunga untukku, tapi pelengkap hatiku. Maukah kamu menikah denganku?” tak pakai lama Ulupi gembira dan berkata “tentu, kakanda. Tentu. Aku akan setia bersamamu.” Namun hati Arjuna tba-tiba menjadi bimbang karena tak mungkin ia membawa Ulupi ke kotaraja buat saat ini “tapi dinda, aku tak bisa membawamu ke Madukara. aku takut jika ketiga istri kanda....” “sudahlah tidak apa-apa, kanda. Apapun keputusan kanda, itu yang terbaik buat kita. kalau kau membawaku  ke Madukara, maka aku ikut. kalau tidak bisa, tak mengapa.” singkat cerita, Arjuna dan Ulupi menikah. Lima hari kemudian, datanglah tiga punakawan. Ketiganya langsung menceritakan apa yang terjadi. Arjuna yang juga titisan Wisnu sebagai Nara kecewa dan sedih dengan kelakuan iparnya itu. Seharusnya titisan Wisnu sebagai Narayana haruslah mampu mengendalikan diri agar tidak jatuh dalam kesombongan. Tak lama berselang datanglah Arya Wrekodara. “adhiku Jlamprong, rupanya kau ada di sini. Apa kau sudah tau kabar tentang penghinaan Ki Lurah Semar?” “sudah, Kakang Bima. Semuanya sudah diceritakan paman Gareng, Petruk, dan Bagong. Mari masuk dulu, sekalian ku perkenalkan istri dan mertuaku.” Maka masuklah Arya Wrekodara ke rumah Resi Jayawilapa. “kakang Bima, aku sebenaranya kecewa dengn perlakuan kakang Madawa apalagi kakang Bima menyaksikan sendiri bagaimana Ki Lurah dipermalukan.” “maka dari itu, Jlamprong adikku. Menurut kabar yang beredar, sekarang keraton Dwarawati rusak karena tulah dewata. Kakang prabu Cemani ikut menghilang. Kemungkinan ia mencari Ki Lurah.” Belum sempat Arjuna membalas, tiba-tiba langit berubah menjadi bercahaya terang. Dari ufuk timur dan barat begitu juga dari ufuk utara ke selatan, cahaya berwarna jingga kuning keemasan menyelimuti langit. Bukan Cuma seluruh Jawadwipa yang diterangi cahaya itu tapi seisi Marcapada dan hingga ke angkasa luar. Tanpa pikir lama-lama, Arjuna dan Wrekodara segera berpamitan pada Resi Jayawilapa dan segera pergi mencari asal cahaya kuning keemasan itu.

Nun jauh di tengah hutan, hutan terangker di Jawadwipa duduklah seorang pertapa beradan gemuk, sepertinya tengah bertapa brata. Cahaya kuning keemasan tepancar di sekelilingnya. Hewan, tumbuhan, makhluk halus, dan bahkan para dewa bersimpuh dan hormat kepadanya. Tak satupun makhluk bergeming di hadapannya. Dialah Ki Lurah Semar. Ia duduk merenungi ujian yang ia alami. Merenungi ujian yng ditimpakan kepada Kresna. Seketika wujud Semar yang ala kadarnya bertukar wujud. Wujudnya menjadi cemerlang.

Semar Kuning
Bermahkota dan berselendang emas bagaikan dewa. Ya...Semar berubah wujud sebagai Batara Ismaya, wujudnya saat di kahyangan. Cahaya kuning yang memancar semakin terang hingga meyilaukan mata yang melihatnya. Meskipun tetap gemuk besar, namun kewibawannya menyetarai Batara Guru.

Singkat cerita, Werkodara, Arjuna dan tiga punakawan telah sampai di tempat pamomongnya tapa. Takjublah hatinya. Seketika ia duduk bersimpuh memohon izin sekaligus maaf karena tidak datang di Dwarawati. Semar dalam wujud dewa mengingatkan ndoronya agar tidak terus berbuat khilaf. Dalam wujud itu, Semar menyenandungkan syair :

Benar dikata bijak bestari,

Tiada guna sibuk mencari-cari.

Yang di sebalik luar diri.

Nyatanya ada di sini.

dulu dan kini,

kelak terengkuh dalam SEKARANG ini.

namun selalu berhati-hati!

pabila di renungkan dalam hati.

tetaplah sadar diri.

kalau tersesat budi,

akan peroleh celaka abadi.

Renungkan di balik hening,

Hening dan hati bening.

Sehingga suwung dan wening.

Tanpa bunyi gemerincing.

Heninglah sejatinya yang ada.

Yang ada itu sejatinya

sebenar-benarnya hidup,

menghidupi semesta.

asal jadinya dari tiada.

Yang Tiada mengandung maksud yang di-ada

Keberadaan yang tanpa rupa tanpa warna

Bercahaya tanpa terbayang pelita

begitu celik dan nyata.

pabila tlah diperoleh tandanya,

laku serba sederhana,

melihat sekala dan niskala

tiada fikir dan goda

tuk bermegah dan bermewah

hanya memberi ketentraman bersama

tak ada congkak dan bangga

sungguh tidak diragukan lagi

itulah yang disebut manusia sejati

mengerti akan sangkan paran dumadi,

asal dan tujuan hidup, menuju Yang Sejati......” setelah bersyair, Batara Ismaya kembali bersemadi.

Tak lama kemudian datang Prabu Kresna sekeluarga turun dari kereta Jaladara. Getar perbawa Batara Ismaya dan cahaya kuning menyilaukan yang menyelimuti tubuhnya merontokkan keakuan Kresna, meluluhlantakan keangkuhan yang selama ini merajai dan menjadi penguasa hati, bak tercerai berai menjadi serpihan-serpihan kecil lembut yang seketika terbang hilang terbawa sang bayu. Syair-syair yang ditembangkannya pun merasuk ke dalam kalbunya. Batara Ismaya membuka matanya pelan-pelan lalu memberikan nasehat kepada Kresna “ Anakku.... ngger Kresna, tahukah kamu akan semua yang terjadi selama ini? Apakah intisari dan hikmah kejadian ini? Intisari yang dapat diambil sebagai pelajaran bagi hidup kita adalah bahwa hal yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam menggapai kemampuan dalam mengerti gaibnya keberadaan, gaibnya hidup dan juga gaibnya Kang Murbeng Dumadi, Tuhan semesta alam, sejatinya tidak perlu difikirkan, dibayangkan ataupun dicari kemana-mana. Sebab sesungguhnya hal itu dapat di temui dalam diri kita sendiri dan semuanya telah kita sandang serta miliki. Sebenarnya hal-hal tersebut sudah saling menyatu, hanya saja masih terhalang kegaiban dan kenyataan semu.”

Mendengarkan tutur lembut dan penuh makna dari sosok di depannya itu, seketika basah hati Kresna. Timbul penyesalannya akan perilakunya selama ini. Seketika Kresna bersimpuh, berlutut di bawah kaki Semar seraya menghiba :

“Duh … pukulun Batara Ismaya, paduka telah memberikan cahaya kepada hati dan jiwa hamba yang selama ini kelam, gelap tiada sinar walau secercah. Kasih paduka membuka mata hati hamba akan bodoh dan candalanya sikap hamba. Apalagi sikap dan tindakan yang telah hamba lakukan kepada Kakang Semar, teramat memalukan dan menunjukan rendahnya budi dan kebijaksanaan hamba selaku seorang ksatria. Duh …. Pukulun.... hukum hamba yang rendah ini dengan hukuman yang seberat-beratnya. Hamba tidak akan menolak kerna memang hamba yang salah. Hamba tak akan berkelit kerna memang hamba yang bodoh.”

“Kresna … sudah benar bila kamu menyadari akan kesalahanmu. Sungguh manusiawi, kerna tiada gading yang tak retak. Tiada manusia yang terlepas dari dosa dan salah. Sikap dan watak ksatria sejati adalah mau mengakui kesalahan pribadi dan bertekad untuk memperbaikinya kelak. Dan itu sudah engkau lakukan dengan baik. Namun ada hal yang mungkin akan membuatmu sedih apabila ku wartakan sebab tingkah polahmu tadi. Apakah engkau sanggup mendengar dan menerimanya ?” “hamba siap, pukulun Ismaya.” Batara Ismaya dalam wujud Semar lalu berkata “ Kresna, kesalahanmu dengan mencatut nama Wisnu untuk menghinaku itu cukup fatal. Mengatasnamakan kekuatan Wisnu demi mengagungkan diri juga tak benar adanya. Maka dengan berat hati, aku menghukummu melalui putrimu. Putrimu, Siti Sundari memang telah dijodohkan dengan Abimanyu putra Arjuna namun kelak di sepanjang pernikahannya dia tidak akan bisa punya anak!!” ibarat disambar petir, hancur luluh hati Prabu Kresna begitupun para istrinya. Arjuna dan Wrekodara syok mendengar itu karena putranya ditakdirkan tak bisa punya anak dari Siti Sundari.

Perih hati Kresna dengan keputusan sang Batara Ismaya. Dibayangkan betapa merananya anaknya bila mengetahui hal ini. Seketika terbayang wajah anaknya Siti Sundari yang bahkan sejak bayi telah mendapat tulah akibat perbuatan ayahnya sendiri. Dalam kepiluan itu, Batara Wisnu datang kepada Prabu Kresna memberikan wejangan “Kresna, kau adalah bagian dari diriku. Kesedihanmu juga kesedihanku. Ujian yang berlaku padamu juga ujian bagiku. Tentunya ada hikmahnya dibalik setiap peristiwa. Masih ada kesempatan untukmu. Janganlah berpatah arang!” mendengar itu, Prbu Kresna kembali optimis. Ia kembali sumarah, tawakal kepada keputusan Hyang Widhi. Batara Wisnu lalu datang kepada Arjuna “ anakku, Arjuna. Kau juga sebagai titisanku apakah ikhlas dengan keputuan paman Semar?” “ampun, pukulun batara. Hamba ikhlas dengan keputusan Ki Lurah  karena secara tidak langsung ini juga kesaahanku” Ujar Arjuna.

Singkat cerita, batara Ismaya menghilang, kembali berubah wujud jadi Ki Lurah Semar. Mereka semua kembali ke Dwarawati. Memperbaiki segala hal di sana. Terkecuali Arjuna yang kembali ke desa Yasarata untuk menjemput Ulupi dan Resi Jayawilapa untuk mengadakan ngunduh mantu di Amarta. Sesampainya di Amarta, Arjuna memperkenalkan Ulupi sebagai calon permaisuri keempat. Dewi Sumbadra dan lainnya agak cemburu namun ia mulai menyadari satu hal. Menurut kata kakaknya, Prabu Sri Kresna, Arjuna memang sudah ditakdirkan memiliki banyak istri dan tak heran kenapa ia juga bernama Permadi, karena arti dari nama itu kasih sayang yang melimpah. Maka Dewi Sumbadra menyambut ramah calon madunya itu dengan ramah dan sopan. Justeru mereka saling cerita-cerita bagaimana pujaan hati mereka menggaetnya. Arjuna memerah padam mukanya, malu karena aibnya di omongin sesama isterinya. Beberapa hari kemudian, pernikahan antara Arjuna dan Ulupi diselenggarakan. Pesta meriah berlangsung tujuh hari tujuh malam. Lengkap sudah Arjuna memiliki empat permaisuri di Amarta. Meski demikian, Dewi Ulupi memilih akan tetap tinggal di Yasarata. Arjuna mencegah permaisurinya itu untuk kembali. Namun tekad Ulupi sudah bulat. Ia ingin membangun desanya dan menjadi wakil Arjuna di sana. Sebagai bentuk kesetiaan rakyat Yasarata dibawah panji Amarta. Arjuna tidak mampu menghentikan keinginan isterinya. Maka, ia mengizinkannya. Arjuna berjanji akan kembali menjemput Ulupi ke Madukara apabila anak mereka datang mencarinya. Maka ia menitipkan panah Ardadedali pada Dewi Ulupi. Ia mewasiatkan panah itu agar sepenuhnya jadi milik anak mereka nanti. Tapi kapanpun ia ingin ke Madukara, pintu gerbang istananya akan selalu terbuka untuk Ulupi.