Rabu, 28 Juni 2023

Wahyu Petakwijaya (Bambang Yodeya)

 Hai-hai, pembaca dan penikmat kisah-kisah pewayangan sekalian. Kali ini penulis menceritakan lakon asli yang belum pernah dipentaskan. Kisah ini menceritakan kelanjutan Wahyu Purbalaras dimana Prabu Yudhistira punya seorang isteri dan anak lagi. Sang anak ini akan membantu mempertemukannya dengan sang isteri kedua meski itu berarti perpisahan diantara keduanya. Sumber yang dipakai berasal dari Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa dengan pengubahan dan penyelarasan seperlunya.

17 tahun yang lalu, seberkas cahaya seterang matahari meluncur turun ke negeri Saibipura, di seberang lautan sana. Cahaya itu turun kepada Endang Dewika, putri Prabu Gowasena raja Saibipura. Seketika, sang putri raja langsung mengandung tanpa suami. Hal ini sangat mengejutkan rakyat kerajaan Saibipura. Putri raja hamil tanpa suami. Kabar akan hamilnya Endang Dewika membuat rakyat dan penguasa kerajaan sekitar menggunjing kerajaan Saibipura sebagai kerajaan tak bermoral. Karena tak kuat dengan gunjingan kerajaan tetangga, sang raja dan putrinya mengasingkan diri ke suatu tempat yang jauh. Rakyat Saibipura bersedih hati ditinggal rajanya "rakyatku, aku terpaksa meninggalkan kalian semata agar kalian tidak terkena aib dari ini semua." Maka, sang raja merobohkan istana dan membuat sebuah kapal. Setelah kapal jadi, berangkatlah Prabu Gowasena dan Endang Dewika. Sebagian rakyat Saibipura terutama para penggawa, para brahmana, dan rakyat biasa ikut dalam rombongan itu. Kapal mereka berlayar tanpa tujuan yang jelas, berlayar mengikuti arah angin berhembus. Di tengah perjalanan, terjadi badai besar. Kapal yang dinaiki raja dan sang putri pecah setelah ombak pasang menghantamnya dan mengenai batu karang. Banyak orang di sana yang tak selamat, hanya menyisakan Prabu Gowasena, Endang Dewika, tujuh orang brahmana dan tiga dari rakyat biasa. Mereka segera menepi di sebuah pulau karang menunggu hujan dan badai mereda. Beberapa waktu kemudian, badai mereda dan cuaca kembali cerah. Sembari menunggu pembuatan perahu yang baru, tiba-tiba perut Endang Dewika kesakitan, sepertinya kontraksi. Air ketubannya pecah. Endang Dewika merasa ia akan melahirkan. Di tengah pulau antah berantah tengah samudera dengan bermandikan terangnya cahaya bulan purnama, Endang Dewika melahirkan hanya dibantu sang ayah dan beberapa rakyat. Lahirlah darinya seorang putra yang tampan luar biasa. Sang kakek gembira melihat cucunya lahir selamat dan sehat. Begitu melihat wajah sang cucu, Prabu Gowasena teringat rupa dan raut wajahnya mirip raja Amarta, Yudhisthira. Sang putri Saibipura memberikan nama putranya itu "anakku ini tampan, seperti Prabu Yudhistira dari Amarta. Aku beri nama kamu Bambang Yodeya."

Setelah beberapa lama terdampar di pulau karang, perahu pun siap. Mereka pun berlayar menyusuri kearah selatan dan bertemu dengan daratan Jawadwipa. Setelah sampai di Jawadwipa, keluarga Prabu Gowasena bertekad keluar dari aib dan menuju ke derajat yang lebih baik. Keluarga raja Saibipura memutuskan hidup menjadi resi pendeta yang sederhana. Setelah berlajar dari tujuh brahmana, Sang Prabu berganti nama menjadi Resi Yogani. Beberapa rakyat Saibipura juga menjadi cantrik dan membangun sebuah desa baru bernama Desa Gowadewa. Perlahan Desa Gowadewa menjadi sebuah karesian sehingga datanglah para Pandawa membuka alas Wanamarta dan Kandaparasta.

Tujuh belas tahun kemudian yakni di masa kini, Prabu Yudhisthira sedang sakit keras. Dewi Drupadi dan putra-menantunya, Bambang Pancawala dan Dewi Pergiwati berusaha menyembuhkan sakitnya namun tak kunjung sembuh juga. Begitu juga usaha adik-adik sang raja Amarta. Bahkan Cangkok Wijayakusuma milik Prabu Kresna kurang berefek apa-apa. Empat dari Pandawa dan Prabu Kresna risau takut kalau-kalau sakit sang raja Amarta tidak bisa disembuhkan. Dewi Drupadi lalu masuk ke sanggar pamujan berdoa " Hyang Jagat Batara, Ida Sanghyang Widhi Wasa. Suamiku sakit parah dan tak ada satupun benda yang bisa jadi obatnya. Hamba mohon petunjuk-Mu demi kesembuhannya." Satu malam, dua malam, tiga malam bahkan sampai tiga puluh malam berlalu belum datang jawaban. Namun tepat di malam ke 40, Batara Narada turun menjawab doa Drupadi " cucuku, aku telah datang menjawab doamu. Perlu kamu ketahui cucuku, suami sakit karena tak kuat menahan murcanya serpihan jiwa Dewi Kuntulwilaten sejak 17 tahun yang lalu." Dewi Drupadi kaget, bukankah Dewi Kuntulwilaten sudah bersedia satu jiwa raga dengan sang suami? Batara Narada lalu melanjutkan "benar, tapi ada serpihan jiwanya yang menghilang dan pergi ke satu tempat. Serpihan jiwa sang dèwi bernama Wahyu Pêtakwijaya. Cara agar suami bisa sembuh yakni harus mempertemukan orang yang dipilih Dewi Kuntulwilaten dengan suamimu. Orang terpilih itu ciri-cirinya hampir mirip dengan Dewi Kuntulwilaten. Sekarang orang itu dan keluarganya tinggal tak jauh dari sini." Dewi Drupadi pun bangun dan menceritakan hasil semadinya kepada para iparnya dan prabu Kresna. Para putra Pandawa dikerahkan mencari orang yang dimaksud. Prabu Yudhistira memaksa ingin ikut meski sudah dilarang sang isteri dan keempat saudaranya. Meski sudah dilartang ikut, Prabu Yudhistira tetap memaksa ikut meski harus merangkak sekalipun. Karena sudah begini, mau tidak mau Bambang Pancawala bersama Abimanyu, Irawan, dan Brantalaras memikul sang raja Amarta dengan joli (usungan; tandu)

Sementara itu, di Hastinapura, Prabu Duryudhana dihadap Patih Sengkuni, Begawan Dorna, Arya Dursasana, dan Adipati Karna. Mereka membahas kalau telah turun wahyu Pêtakwijaya. Untuk urusan wahyu dan pulung, Maharesi Bhisma dipanggil. Sang resi agung itu berkata, "cucuku, wahyu yang turun kali ini adalah pasangan dari Wahyu Purbalaras milik Dewi Kuntulwilaten. siapapun yang bisa mendapatkannya maka ia akan berjaya di Bharatayuda. Kabarnya wahyu itu telah turun di sekitar Amarta.” tepatnya di pertapaan Gowadewa. Adipati Karna menawarkan diri agar ia yang bisa jadi wadah dari wahyu tersebut. Prabu Duryudhana berkenan. Singkat kata, berangkatlah sang adipati Awangga diiringi Arya Dursasana dan ke 98 saudaranya menuju ke Amarta.

Di pertapaan Gowadewa, Resi Yogani dihadap sang cucu, Bambang Yodeya. Mereka membahas tentang keadaan Endang Dewika. Sejak pindah ke Jawadwipa, muncul keanehan pada diri Endang Dewika. Badan Endang Dewika semakin lama semakin lemah dan menjadi tembus pandang. Bambang Yodeya khawatir tentang nasib sang ibu. Kakeknya, Resi Yogani berkata kalau telah mendapat kebenaran tentang putrinya. Endang Dewika telah dipilih Dewi Kuntulwilaten sebagai wadah Wahyu Pêtakwijaya dan pendamping Prabu Yudhistira bersamanya. Wahyu itu sudah ia dapat 17 tahun lalu, saat masih tinggal Saibipura ketika seberkas cahaya terang turun dan merasuk ke tubuh Dewika. Setelah berada di Jawadwipa, wahyu itu srakan sudah menemukan jodohnya. Bambang Yodeya perhatin namun ia ikhlas dengan kondisi ibunya. Hanya saja, ia ingin sang ibu dan pulung/wahyu itu jatuh ke orang yang tepat. Maka ia lalu datang ke hadapan khalayak, mengumumkan sayembara " Dengarlah kalian semua. Barangsiapa yang bisa bertarung dan mengangkat badanku, maka ia bisa menikahi ibuku, Endang Dewika dan aku bersedia menerimanya sebagai ayahku!!!"

Kabar sayembara dari Bambang Yodeya itu mengudara dengan cepat dan pantas. Adipati dan Para Kurawa telah datang kesana lebih dahulu. Lalu disusul oleh putra Pandawa yakni Bambang Pancawala, Arya Antareja, Arya Gatotkaca, Arya Antasena, dan Bambang Srenggini. Di belakang, datang Abimanyu dan para putra lainnya datang bersama Prabu Yudhistira yang dipikul joli.Setelah minta izin pada Resi Yogani, Adipati Karna mulai bertarung dengan Bambang Yodeya. Pertarungan berlangsung sengit. Keduanya saling bertarung tombak, keris, dan panah. Namun Bambang Yodeya tak bisa dianggap enteng. Semua serangan dan tolakan berhasil diatasi. Di gelanggang, Adipati Karna kewalahan dengan sepak terjang Bambang Yodeya. Arya Dursasana membantunya namun juga kelabakan bahkan para Kurawa juga dibuat kerepotan. Pada akhirnya mereka tumbang dan kalah. Adipati Karna kalah dari Bambang Yodeya.

Tiba giliran para putra Pandawa. Arya Gatotkaca mulanya melawan Bambang Yodeya namun kalah. Lalu disusul Arya Antareja lalu Abimanyu, Irawan, Brantalaras namun semuanya kalah. Ketika giliran Antasena dan Srenggini, mereka abstain dan menyarankan agar Bambang Pancawala saja yang melawan Yodeya. Bambang Pancawala awalnya menolak " ehhh...aku rasa aku tidak bisa adhiku.....masa aku....kemampuanku belum cukup mumpuni."Antasena meyakinkan sang abang sepupu " Ojo ngomong ngunu, kakang. Kami yakin dengan kemampuanmu." Akhirnya setelah didesak, Pancawala bersedia naik gelanggang.

Pancawala melawan Yodeya
Kedua ksatria itu saling bertarung tombak dan lembing lalu bertarung tangan kosong. Keduanya setara dan sama. Pertarungan itu sangat sengit hingga satu kesempatan, Pancawala melemparkan Tombak Karawelang. Seketika, ribuan tombak keluar bersamaan dan mengurung Yodeya. Bambang Yodeya tak mampu mengimbangi lagi kekuatan Pancawala maka ia menyerah kalah. Bambang Pancawala dinyatakan sebagai pemenangnya.

Yodeya menawarkan Pancawala menemui ibunya. Namun, Pancawala menolak. Yang berhak menemui Endang Dewika adalah sang ayah, Prabu Yudhistira. Singkat cerita, Pancawala memapah sang ayah yang sedang sakit ke dalam kamar Endang Dewika. Di sana mereka berjumpa dengan Resi Yogani. Keadaan Dewika mirip dengan Dewi Kuntulwilaten, tubuhnya semakin tembus pandang. Di saat keduanya saling bertemu, Endang Dewika berkata " duh kakanda ku Yudhistira. Akhirnya kita bisa bertemu. Yodeya putraku, sembah baktikan dirimu pada ayahmu." Bambang Yodeya kaget bagaimana mungkin ia adalah putra Yudhistira sementara sang ibu tak pernah bertemu apalagi menikah dengan sang raja Amarta. Endang Dewika bercerita 17 tahun yang lalu, ia bisa bertemu dengan Prabu Yudhistira ketika Dewi Kuntulwilaten memberitahukan bahwa ia akan bisa menikahi sang raja Amarta jika mau menjadi titisan separuh jiwanya yakni Dewi Pêtakwijaya. Endang Dewika berkata sanggup dan bersedia menanggung segala konsekuensinya. Seketika, Dewi Pêtakwijaya muncul dan masuk ke tubuh Endang Dewika. Bersamaan dengan merasuknya Dewi Pêtakwijaya, benih kama dari Prabu Yudhistira juga dibawa serta dan langsung manjing di gua garbanya. Maka hamillah Endang Dewika kala itu. Bambang Yodeya terharu mendengarnya. Maka ia langsung menghaturkan sembah kepada Prabu Yudhistira dan memanggilnya ayah. Prabu Yudhistira berkata " bangunlah Yodeya, putraku. Kemarilah anakku. Peluk ayahmu ini." Mereka saling merasakan haru. Resi Yogani juga memeluk menantunya itu. Bambang Pancawala juga ikut memeluk sang adik. Mereka saling minta maaf. Setelah saling melepas rindu, Prabu Yudhistira yang dalam keadaan lemah dan sakit memeluk Endang Dewika. Seketika tubuh transparan sang putri Saibipura itu memudar dan bertukar wujud sebagai cahaya lalu menyatu ke dalam tubuh Prabu Yudhistira. Wahyu Pêtakwijaya bersatu kembali dengan Wahyu Purbalaras. Seketika, Prabu Yudhistira sembuh dari sakitnya. Semua orang bahagia namun juga larut dalam haru. Endang Dewika telah mengorbankan dirinya demi kesembuhan sang raja Amarta.

Oleh Prabu Yudhistira, Resi Yogani ditawarkan agar jadi raja lagi Di Saibipura namun sang resi menolak. Ia memilih jadi pendeta saja, lebih nyaman. Karena permintaan sang resi sudah bulat, maka Prabu Yudhistira melantiknya sebagai resi agung kerajaan Amarta bersama Resi Jayawilapa dan Resi Sidiwacana. Namanya dikembalikan menjadi Resi Gowasena. Bambang Yodeya kembali membesarkan desa Saibipura dan kini pertapaan itu telah menjadi kadipaten Saibipura. Berbondong-bondong rakyat Saibipura lama seberapa lautan pindah ke Jawadwipa dan ikut memindahkan kotaraja ke Saibipura baru ke dekat Amarta, tepatnya di daerah tempur/pertemuan antara Bengawan Gangga dengan Bengawan Yamuna. Bambang Yodeya menjadi pemimpin disana bergelar Arya Yodeya.

Jumat, 23 Juni 2023

Pramusinta-Rayungwulan


Hai-hai semua penikmat dan pembaca kisah-kisah pewayangan, kali ini penulis akan mengisahkan kisah anak-anak Nakula Sadewa yang sudah lama menghilang dan pertemuan mereka dengan ayah mereka. Di kisah ini juga menceritakan siasat Prabu Tejalelana yang pernah ditolong Arjuna mengadu dombanya dengan salah satu anak Nakula demi merebut isterinya. Kisah ini memakai sumber dari blog albumkisahwayang.blogspot.com dengan pengubahan dan penyelarasan seperlunya

Beberapa tahun setelah serangan terakhir Prabu Jarasandha ke Awu-awu Langit, Selamirah, dan Tasikmadu, tiga negara ini hilang tak berbekas. Kabar akan isteri-isteri Nakula dan Sadewa yakni Dewi Suyati dan Dewi Rasawulan juga putra-putri mereka hilang bak ditelan bumi. Sementara itu, Prabu Tejalelana, raja Bulutiga dihadap patihnya, Patih Tejamurti dan adiknya, Tejawati menerima seorang pemuda dari desa Pandansurat yakni Bambang Pramusinta. Kedatangannya tak sendiri. Ia bersama isterinya yakni Dewi Rayungwulan dan adik perempuannya yakni Dewi Pramuwati yang kini juga sudah menikah dengan kakak dari Rayungwulan yakni Bambang Sabekti. Pramusinta melamar kerja sebagai pekatik kuda kerajaan dan Bambang Sabekti melamar sebagai mantri ternak.

Sejak kedatangan keluarga kecil Pramusinta dan Sabekti ke istana, prabu Tejalelana jatuh hati pada isteri-isteri dua penggawa barunya. Patih Tejamurti membuatkan siasat jahat untuk menyingkirkan Pramusinta dan Sabekti. Setelah itu rencana dijalankan. Singkat cerita, Prabu Tejalelana memerintahkan Bambang Pramusinta untuk menyampaikan surat ke negara Amarta, tepatnya ke kadipaten Madukara. Sabekti ternyata waskita. Ia berkata pada iparnya " tunggu kakang, aku curiga karena ini tidak masuk akal, seorang raja menyuruh pekatik kuda istana untuk menyampaikan pesan ke negara lain." Pramusinta menyuruh iparnya " Dinda Sabekti, jangan terlalu curiga." Ia pun berangkat. Sadar kalau Bambang Sabekti sudah kadung curiga, telik sandi Prabu Tejalelana yang sedari awal mengikuti gerak-gerik dua saudara ipar itu menangkap dan menghabisi Bambang Sabekti diam-diam dan jasadnya dibuang di dekat rumahnya dalam keadaan menggantung di atas pohon. Dewi Pramuwati yang mendapati suaminya sudah meninggal dengan cara semacam itu syok berat, begitupun sang adik Dewi Rayungwulan. Lalu datang Prabu Tejalelana dan Patih Tejamurti hendak menjemput paksa Rayungwulan dan Pramuwati. Dewi Rayungwulan menolak lalu lari sekencang mungkin. Namun ia jatuh ke lobang jebakan (grogol) dan tewas di sana. Prabu Tejalelana kecewa tapi paling tidak ia bisa membawa Dewi Pramuwati ke istana. Dewi Pramuwati berontak " lepaskan aku! Aku tidak sudi menikahimu, raja cabul! Lepaskan!" Namun sang raja lalu menotoknya sehingga ia tidak bisa berontak lagi dan akhirnya bisa dibawa pergi ke istana.

Sesampainya di Amarta, Bambang Pramusinta memberikan surat itu kepada Arjuna secara langsung selaku adipati Madukara. Begitu membaca isi surat itu, Arjuna seperti terkena jampi. Ia sangat marah dan merobek kertas surat itu lalu tanpa peringatan, ia menyerang Pramusinta dengan membabi buta. Kakek Semar memungut potongan surat itu lalu menggabungkannya. Setelah mengetahui isi surat itu, Semar segera menggunakan Aji Pameling untuk memanggil Prabu Kresna, Arya Nakula, dan Arya Sadewa. Tak berapa lama, Prabu Kresna, Arya Nakula, dan Arya Sadewa datang ditemani Prabu Yudhistira dan Arya Wrekodara untuk mendamaikan Arjuna dan pemuda itu. Kakek Semar segera memberikan potongan surat itu kepada Prabu Kresna. Begitu dibaca, Prabu Kresna tertawa karena isi surat itu penuh kebohongan. Isinya begini "dari Prabu Tejalelana, aku sebagai teman dari Arjuna memohon bantuan. Pengantar surat yang mengantarkan surat ini adalah pemberontak yang mengancam negara Bulutiga. Jikalau Raden berkenan untuk menghabisi pemberontak itu,dengan senang hati aku akan menjodohkan Raden dengan adikku, Tejawati. Sekian dari sahabatmu, Prabu Tejalelana." Prabu Kresna segera menghentikan pertarungan tidak berfaedah itu. Sang Danardana lalu berkata " Parta, kalau baca surat itu dicermati itu benar atau tidak...setidaknya tanyakan dulu pada pengantarnya.... Jangan gampang ambil keputusan apalagi kalau sampai dapat iming-iming wanita cantik." Arjuna merah padam wajahnya tanda malu.

Prabu Kresna lalu memanggil Arya Nakula dan berdiri bersebelahan dengan Bambang Pramusinta. Ternyata wajah mereka mirip bak pinang dibelah dua . Arya Nakula lalu bertanya " anak muda, siapa orang tuamu?"

Pertemuan kembali Nakula dengan Pramusinta
Pramusinta berkata " nama orang tuaku Raden Pinten dan Dewi Suyati. Ibuku dari Awu-awu Langit. Tapi ibuku sudah meninggal saat masih kecil karena serangan Prabu Jarasandha" Terkejut lah Nakula karena Pramusinta adalah putranya yang hilang. Nakula memeluk anak muda itu dengan penuh haru. Pramusinta bertanya kenapa ayah dan ibunya sampai berpisah dan tidak mencarinya. Nakula menjelaskan kalau situasi waktu itu kacau. Amarta juga dilanda duka karena salah seorang mertua Arjuna juga gugur karena serangan Jarasandha. Arya Sadewa lalu bertanya nasib tentang anak isterinya kepada Bambang Pramusinta. Pramusinta berkata kalau ia kurang tahu, yang jelas ia sekarang tinggal bersama isteri, adik dan iparnya. Adiknya bernama Pramuwati sedangkan isteri dan iparnya bernama Rayungwulan dan Sabekti. Nama ibu dari isteri dan iparnya itu menurut kata orang-orang desa Pandansurat bernama Dewi Rasawulan. Arya Sadewa berkata " Astungkara, matur suksma Hyang Widhi...anak-anakku masih hidup. Pramusinta, dari yang aku tahu dari isi surat yang kau bawa, firasatku kalau Prabu Tejalelana punya rancangan jahat untuk memisahkanmu dengan putriku." Bambang Pramusinta teringat akan peringatan dari Sabekti sesaat sebelum berangkat ke Amarta. Pramusinta khawatir dengan keselamatan istri dan adiknya. Prabu Kresna segera mengajaknya naik kereta Jaladara bersama Arjuna, Arya Nakula, dan Arya Sadewa.

Sesampainya di Desa Pandansurat, Bambang Pramusinta melihat Bambang Sabekti dan Dewi Rayungwulan telah meninggal dunia dengan dikerumuni warga sekitar hendak dingaben. Prabu Kresna segera mengeluarkan Cangkok Wijayakusuma sambil membaca mantra. Seketika Bambang Sabekti dan Dewi Rayungwulan pun hidup kembali, pertanda ajal mereka memang bukan hari ini. Bambang Sabekti lalu menceritakan kronologinya tapi ia tidak tahu bagaimana sampai bisa Dewi Rayungwulan meninggal juga. Bambang Pramusinta bertanya pada isterinya. Dewi Rayungwulan berkata " kanda, aku lari dari Prabu Tejalelana saat ia hendak menjemputku paksa. Aku jatuh ke lobang grogolan dan tertusuk tombak. Sebelum hilang kesadaran, aku melihat Dinda Pramuwati berontak dibawa gusti Prabu." Bambang Pramusinta dan Bambang Sabekti sangat marah mendengar penjelasan dari Rayungwulan. Dua putra Nakula dan Sadewa itu pun bergegas menyerang Kerajaan Bulutiga. Prabu Tejalelana dan Patih Tejamurti terkejut mendapati Bambang Pramusinta dan Bambang Sabekti masih hidup. Melihat Arjuna juga ada di situ, ia segera memohon perlindungan. Namun, Arjuna menolak. Ia berkata "Bambang Pramusinta dan Sabekti adalah keponakanku sendiri. Aku tidak sudi melindungi kelicikanmu."

Prabu Tejalelana dan Patih Tejamurti merasa sudah terdesak. Mereka pun maju menyerang Bambang Pramusinta dan Bambang Sabekti sekuat tenaga. Namun, kesaktian dua ksatria ini jelas berada di atasnya. Bambang Sabekti terus menyerang Prabu Tejalelana sehingga di suatu kesempatan, Prabu Tejalelana pun tewas dengan leher ditebas keris putra Sadewa itu. Melihat rajanya terbunuh, Patih Tejamurti maju menyerang. Ia mengompori kalau ia lah yang merencanakan ini semua. Terbakar lah amarah Pramusinta. Di tusuklah dalam-dalam keris miliknya ke dada patih jahat itu. Pada akhirnya, ia menemui ajal dengan tusukan keris Bambang Pramusinta. Bambang Sabekti dan Bambang Pramusinta segera mencari keberadaan Pramuwati. Ternyata ia diamankan oleh Dewi Tejawati dari kebejatan dua kakaknya itu.

Bambang Pramusinta dan Bambang Sabekti berterima kasih atas kebaikan hati Dewi Tejawati yang telah melindungi adik dan isterinya. Ia lalu mohon pamit pulang ke Desa Pandansurat, namun Dewi Tejawati mencegahnya. Ia berkata " Sekarang kedua kakakku telah tewas, sehingga aku sekarang ahli waris Kerajaan Bulutiga. Tapi aku merasa tidak sanggup memimpin negara. Aku minta adhi Pramusinta saja yang mewakilinya sebagai raja." Bambang Pramusinta merasa keberatan, namun Dewi Tejawati terus memaksa, karena kasihan rakyat Bulutiga apabila tidak ada yang memimpin.

Bambang Pramusinta akhirnya mengabulkan keinginan Dewi Tejawati. Di hari penobatan, Prabu Kresna dan seluruh keluarga Amarta termasuk Arya Nakula, Arya Sadewa, Bambang Sabekti dan Dewi Pramuwati datang menyaksikannya menjadi raja. Bambang Pramusinta menolak memakai mahkota. Ia akan tetap menggelung rambutnya. Dewi Tejawati merasa lega dan ia pun menyatakan hendak hidup menyepi sebagai pendeta untuk menebus dosa kedua kakaknya. Prabu Kresna tersenyum dan menyindir Arjuna "Tuh kan, Parta. Hadiahmu sudah menolak dirimu lho." Arjuna tertunduk malu lalu bilang "Madhawa, tolong jangan bahas lagi. Terlalu memalukan. Masalah ini jangan diungkit-ungkit lagi."

Beberapa hari kemudian, kasus penculikan Rayungwulan dan Pramuwati juga pembunuhan Sabekti tempo hari merembet dan mengenai kepala desa Pandansurat. Ia terbukti melakukan pembiaran dan bersikap acuh tak acuh terhadap tindakan pidana yang dilakukan Prabu Tejalelana. Para penduduk lalu melengserkannya dan membuang kepala desa korup itu ke pengasingan. Para penduduk melakukan referendum tentang nasib desa itu.

Putra-putri Nakula dan Sadewa naik takhta jadi Adipati
Para penduduk mendukung kalau Bambang Sabekti cocok menjadi kepala desa yang berikutnya. Bambang Sabekti menolak namun karena juga terus didesak, Bambang Sabekti bersedia jadi kepala desa Pandansurat. Pada pemerintahannya, desa Pandansurat menjadi désa besar dan selang beberapa tahun saja naik tingkat menjadi kadipaten. Bambang Sabekti pun dilantik menjadi Adipati disaksikan seluruh keluarga Amarta dan kerabatnya.

 

Jumat, 16 Juni 2023

Brantalaras Krama

 Hai semua pembaca dan penikmat cerita pewayangan, kali ini penulis akan mengisahkan pernikahan Bambang Brantalaras, putra Arjuna dan Larasati dengan Dewi Karnawati, putri sulung Adipati Karna. Sumber yang dipakai berasal dari blog albumkisahwayang.blogspot.com dengan pengubahan seperlunya.

Dikarenakan peristiwa penikaman Danasalira tempo hari, hubungan Arjuna dan Adipati Karna makin merenggang dan saling bersitegang. Namun hal mengejutkan terjadi. Bambang Brantalaras berkata pada ayahnya kalau ia jatuh cinta kepada Dewi Karnawati, putri sulung Adipati Karna dengan Dewi Wrusali. Arjuna marah-marah karena Brantalaras justru jatuh cinta pada putri musuhnya itu. Arjuna memang mengakui kalau Karna adalah kakaknya tapi ia sudah dibuat sakit hati dengan tindakan Karna menikam Danasalira. Brantalaras sangat kecewa keinginannya ditolak sang ayah. Kakek Semar saat itu mendampingi Brantalaras berkata " duh....ndoro...jadi orang jangan gampang terbawa amarah. Jangan karena sakit hati, perasaan anak malah dikorbankan....." kakek Semar pun bertanya pawa Brantalaras bagaimana kejelasan hubungan mereka. Brantalaras berkata " hubungan kami sudah jelas. Kami sudah saling mencintai, kakek. Tinggal dinda Karnawati mau atau tidak melanjutkan hubungan ini." Arjuna makin marah mendengarnya. Arjuna tetap pada keputusan finalnya "Kau Sudah Melangkahiku!! Pokoknya Brantalaras! Putuskan Hubunganmu Dengan Karnawati. Ayah Tidak Sudi Punya Besan Musuhku Sendiri!!" Brantalaras makin berduka maka ia meninggalkan istana Madukara disusul dengan Kakek Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong.

Di Kadipaten Awangga, Adipati Karna duduk dihadap kedua putranya, yaitu Raden Warsasena dan Arya Warsakusuma, serta Patih Hadimanggala, Arya Druwa, dan Arya Jaya. Tidak lama kemudian datanglah rombongan dari Kerajaan Hastina yang dipimpin Prabu Baladewa, Begawan Dorna, dan Patih Sengkuni. Adipati Karna pun menyambut mereka dengan penuh penghormatan. Prabu Baladewa mengatakan bahwa ia datang mewakili Prabu Duryudhana untuk meminang Dewi Karnawati sebagai istri Lesmana Mandrakumara. Beberapa bulan yang lalu Dewi Lesmanawati dan Arya Warsakusuma sudah dinikahkan. Hubungan persaudaraan antara Adipati Karna dengan Prabu Duryudhana tentu akan lebih erat lagi apabila Lesmana pun dinikahkan dengan Dewi Karnawati. Belum sempat Adipati Karna menjawab, tiba-tiba datang panakawan Petruk membawa hasil bumi berupa palawija dan buah-buahan. Petruk pun menyembah hormat kepada tuan rumah dan para tamu, kemudian menyampaikan maksud kedatangannya, “ampun ndoro dipati. Terimalah hasil bumi Amarta. Kedatangan saya kemariingin meminang Dewi Karnawati sebagai calon istri, ndoro Brantalaras, anaknya ndoro Arjuna.” Prabu Baladewa marah-marah dan menyuruh Petruk pulang saja dan menyuruh Brantalaras cari wanita lain saja. Terjadilah perdebatan. Hampir-hampir perdebatan itu berubah jadi pertengkaran namun datanglah 4 putra Wrekodara yakni Antareja, Gatotkaca, Antasena, dan Srenggini. Mereka melindungi Petruk atas perintah Semar. Adipati Karna lalu melerai mereka. Suasana kembali kondusif dan sang adipati memanggil putrinya itu. Dewi Karnawati lalu memberikan keputusannya "ampun rama adipati, putrimu ini sudah punya jawaban atas perjodohan ini. Aku hanya akan bersedia menikah dengan orang yang bisa membawakan pemilik Kuku Pancanaka untuk mencukur rambut sinomku." Patih Sengkuni meremehkan Karnawati "anak manis.....kau ini masih bau kencur, nikah kok pakel sayembara segala." Petruk balas mengejek Sengkuni " Patih...kau ini sebenarnya berani atau takut....apa kau sudah menyerah dengan yang namanya sayembara....gagal bolak-balik gara-gara sayembara." Adipati Karna lalu menegaskan lagi " maafkan aku paman patih dan paman Petruk....keputusan putriku ini sudah final. Aku harap pangeran kalian sanggup memenuhi sayembara ini." Petruk dan Prabu Baladéwa menyatakan sanggup dan mereka pun segera pamit pergi untuk memberitahukan hasil pertemuan mereka.

Di Jodipati, Arya Wrekodara kedatangan Prabu Baladewa, Patih Sengkuni, dan Begawan Dorna. Mereka datang mewakili Prabu Duryudhana meminta bantuan Arya Wrekodara untuk meminjam dirinya sebagai tukang cukur bagi Dewi Karnawati. Ini semua demi pernikahan Lesmana Mandrakumara. Arya Wrekodara agak keberatan " lah dalah....bapa guru dan kakang guru, permintaan putri kakanda Karna aneh-aneh..... masa iya aku seorang kesatria petarung disuruh jadi tukang cukur." Patih Sengkuni mengungkit-ungkit masa lalu " lha, Sena...mana balas budi kepada dua gurumu....melaksanakan perintah guru itu sama mulianya dengan melaksanakan perintah orang tua. Tunjukan balas budi dan pengabdian mu." Arya Wrekodara kemakan ucapan Sengkuni. Mau tidak mau ia harus ikut kepada pihak Kurawa. Di saat yang sama, datanglah Petruk, Bambang Brantalaras dan empat putra Wrekodara. Mereka juga mengajukan permintaan agar Arya Wrekodara ikut dengan mereka sebagai tukang cukur namun Patih Sengkuni mengatakan sudah terlambat buat mereka karena Arya Wrekodara sudah bersedia ikut mereka. Gatotkaca bertanya kepada ayahnya " rama ini tidak bohong, kan....masa rama gak mau menolong Adhi Brantalaras?" Arya Wrekodara berbicara setengah berbisik" Ramamu gak bohong....Rama juga kepeksan iki gara-gara lambene si Sengkuni." Usai berkata demikian, Arya Wrekodara lalu ikut rombongan Prabu Baladewa menuju Hastinapura.

Brantalaras jatuh terduduk. Ia putus asa karena sudah gagal memperjuangkan cintanya dengan Karnawati. Gatotkaca berusaha menenangkan adik sepupunya itu namun yang ada Brantalaras makin kehilangan semangatnya. Raden Antareja, Raden Antasena, dan Bambang Srenggini ikut masuk dan bertanya apa yang terjadi. Raden Gatotkaca menjelaskan semuanya, bahwa ayah mereka sudah terlanjur mengabulkan permintaan Prabu Baladewa dan Begawan Dorna. Sekarang Brantalaras merasa putus asa dan kehilangan semangat. Antareja dan Srenggini dibuat geram "paman Sengkuni kembali memanipulasi ayah lewat balas budi...ayo adhi Srenggini. Kita jemput ayah" "benar kakang Antareja......akan ku sumpal lagi mulut si Sengkuni itu. " Dua putra Wrekodara itu ingin menjemput paksa ayah mereka agar ikut mereka namun Antasena bilang " sabar kakang! sabar adhi! Jangan gegabah dulu. Bapak bukan bola yang bisa diimbal-imbal. Walau kita berhasil gawa bapak balik, bapak juga tidak bisa lepas tanggung jawabnya. Kita cari dalan liyane." Antareja balas bertanya "lalu apa kau punya cara membebaskan kesulitan adhi Brantalaras." Antasena menjawab " aku gak tahu, tetapi adik kita yang satu itu pasti tahu." Usai berkata demikian, ia lalu mengheningkan cipta mengerahkan Aji Pameling sambil menyebut nama Bambang Wisanggeni. Seketika Bambang Wisanggeni pun hadir di hadapan mereka. Setelah saling memberi salam, Antasena menceritakan semuanya dari awal hingga akhir. Bambang Wisanggeni lalu berkata "waduh...kalau begitu hal ini tidak bisa ditunda-tunda lagi. Cepat persiapkan kakang Brantalaras. Kita akan ke Karangtumaritis." Wisanggeni segera menggunakan teleportasi dan memindahkan mereka semua ke desa.

Begitu sampai di desa Karangtumaritis, persiapan pun dipersiapkan. Oleh bantuan kakek Semar, Nyai Sutiragen dan para penduduk wanita, Brantalaras didandani setampan mungkin. Sedangkan Wisanggeni akan memanggil Resi Hanoman kemari. Srenggini bertanya "lha adhi....ada urusan apa Resi Hanoman sampai dihadirkan?" "Sudahlah, kakang Srenggini...persiapkan dulu kakang Brantalaras.... nanti kalian pasti tahu." Ia lalu mengheningkan cipta dan mengerahkan Aji Pameling, sambil mengubah suaranya menjadi mirip suara kakek Semar untuk memanggil Resi Hanoman agar segera datang ke Desa Karangtumaritis. Singkat cerita, Resi Hanoman datang kepada Semar. Ada apa sampai ia dipanggil. Semar berkata bukan dia yang memanggil tapi Wisanggeni yang menyamarkan suaranya. Resi Hanoman bertanya " anakku Wisanggeni, ada perlu apa mendatangkan aku sampai harus menyamarkan suaramu dengan kakek Semar segala." Bambang Wisanggeni pun berkata “apa yang dialami kakangku Brantalaras memerlukan bantuanmu, Hanoman.”. Wisanggeni menceritakan segala kejadian mulai dari sayembara Dewi Karnawati hingga Arya Wrekodara yang dijebak untuk membantu Kurawa. Setelah menceritakan semuanya, Resi Hanoman bersedia meminjamkan Kuku Pancanaka miliknya “ Ok kalau begitu. Aku bersedia meminjamkan Kuku Pancanaka milikku tapi hanya sehari semalam saja.” Wisanggeni dan Brantalaras menyanggupi. “Tentu paman Hanoman. Waktu sehari semalam sudah lebih dari cukup untuk memenuhi sayembara dinda Karnawati.” Singkat cerita, Wisanggeni memanggil Petruk.

Petruk didandani menjadi mirip Wrekodara
Dengan kesaktiannya, Wisanggeni mendandani Petruk sehingga mirip dengan Arya Wrekodara dan memasangkan Kuku Pancanaka miliknya Hanoman ke jari jempolnya. Persiapan sudah selesai. Brantalaras bisa segera berangkat. Brantalaras berniat mengajak adiknya " adhi, kau gak ikut kami?" Wisanggeni menolaknya dengan halus " Gak apa-apa....aku datang belakangan aja. Masih ada tugas yang harus ku lakukan." Wisanggeni pun berpisah jalan dengan rombongan Brantalaras.

Tugas yang harus dijalankan Wisanggeni itu yakni mengganggu perjalanan pihak Hastinapura. Wisanggeni pun bertukar wujud sebagai dênawa hutan. Dênawa itu mengganggu perjalanan dengan menculik Raden Lesmana Mandrakumara. Arya Wrekodara mengejarnya hingga jauh. Namun ketika dicari rupanya putra Duryudhana itu disesatkan dan si pangeran manja itu disangkutkan di atas pohon bambu. Begitu tugasnya selesai, ia segera menyusul rombongan abangnya itu. Sementara itu, pihak Brantalaras sudah sampai duluan di Awangga. Adipati Karna menyambut mereka dengan sukahati. Kakek Semar bersama Bambang Brantalaras, Wisanggeni, Antareja, Gatotkaca, Antasena, dan Srenggini menghaturkan sembah. Bambang Brantalaras meminta Arya Wrekodara (palsu) untuk mencukur rambut sinom (anak rambut) Dewi Karnawati. Dengan teliti dan hati-hati, rambut Dewi Karnawati berhasil dicukur. Putri sang Adipati nampak semringah dan bahagia. Adipati Karna mengumumkan bahwa Bambang Brantalaras adalah pemenang sayembaranya. Pernikahan pun digelar sehari kemudian.

Ketika hari resepsi, datang rombongan Hastinapura. Raden Lesmana Mandrakumara merengek-rengek calon istrinya sudah bersanding dengan orang lain. Adipati Karna kaget ada dua Arya Wrekodara. Adipati Karna merasa dipermainkan dan meminta keduanya untuk bertarung. Keduanya pun saling bertarung dengan sengit. Namun karena waktu sehari semalam itu hampir berakhir, Arya Wrekodara jelmaan Petruk segera melarikan diri. Benar saja, Kuku Pancanaka di jempol Petruk sudah lepas dan terbang kembali ke pemiliknya. Wisanggeni segera menyuruh paman Petruk sembunyi. Karena tak menemukan jejaknya, Arya Wrekodara marah-marah kepada mempelai. Ketika hendak menghajar Brantalaras, Arjuna datang melerai. Sekarang Arjuna sudah menyadari kesalahannya. Demi gengsi, ia sudah mengorbankan perasaan anaknya. Ia lalu sujud minta maaf atas nama putranya jika memang Arya Wrekodara tidak berkenan. Sang Bratasena luluh dan menyadari kekhilafannya. Ia jadi ingat dulu saat ia pertama kali menjalin cinta dengan Arimbi tidak mendapat restu Prabu Arimba. Para Kurawa hendak merusak pernikahan Brantalaras namun berhasil diatasi oleh Arya Wrekodara. Para Kurawa berhasil diusir. Brantalaras memeluk haru ayahnya itu.

Namun Adipati Karna dibuat geram karena sudah dipermainkan. Adipati Karna mengatai menantunya itu tidak tahu diri. Belum lama jadi mantu sudah berani menipu. Ia memaksa Brantalaras dan Karnawati untuk cerai saja sekarang. Dewi Karnawati menolak keputusan sang ayah. “Tidak, Ayah! Aku dan kanda Brantalaras sama-sama saling mencintai. Kalau ayah memaksa kami bercerai, maka lebih baik aku dan kakanda mati saja!" Brantalaras ikut membela isterinya " Benar ayah mertua, aku Brantalaras dan dinda Karanawati  lebih baik mati daripada kami dipaksa cerai!" Arjuna membela sang putra dan menantu barunya itu. Ia kembali marah-marah kepada Karna. " Kakang Karna, Kau ini Tak Lebih Dari Raja Mencla-mencle. Hidup dengan standar ganda. Sudah Jelas Pemenangnya Brantalaras sekarang Minta batal! Kakang juga Harusnya sadar kalau Kau kakak dari Pandawa tapi Tetap saja Membela Ketidakbenaran." Adipati Karna terbakar emosi. “Diam, Arjuna! Walau Aku Kakangmu, Aku bersumpah tidak akan segan membunuh Brantalaras kelak jika terjadi perang besar!” Arjuna pun membalas kelak saat perang besar, ia juga tak segan menghabisi sang kakak kalau ia tetap memihak ketidakbenaran. Adipati Karna menerima tantangan tersebut dan segera kembali ke tempat Prabu Duryudhana. Resepsi pernikahan pun kacau karena para Kurawa atas perintah Prabu Duryudhana kembali mengacau. Namun Arya Wrekodara dan para putranya dengan sigap mengamankan situasi. Sekepergian sang suami ke Hastinapura, Dewi Wrusali, Dewi Srutikanthi, dan kedua putera Adipati Karna meminta maaf atas kekacauan yang terjadi. “Dimas Arjuna, maafkan suami kami. Kakanda memnag saat ini masih kesal mohon dimaklumkan.” “benar paman, ayahanda sedang tak bisa berpikir jernih karena mengira dinda Brantalaras main tipu, padahal dinda sudah membawa syarat sayembara yang sesuai.” Arjuna dengan tenang dan kepala dingin berkata “sudahlah Yunda Wrusali! Yunda Srutikanti! Kakang Karna mungkin perlu waktu. Aku juga harus minta maaf sudah bersumpah-serapah yang mengerikan dihadapan pernikahan ini.”

Arjuna lalu berterima kasih kepada kakek Semar dan Wisanggeni yang sudah banyak berjasa atas pernikahan Bambang Brantalaras dengan Dewi Karnawati. Pernikahan di Awangga memang berantakan namun Arjuna dan Wrekodara segera memboyong lalu mengajak mereka semua untuk mengadakan pesta di kadipaten Madukara saja. Resepsi pernikahan pun dilanjutkan di Madukara. Keluarga Awangga turut dibawa minus Adipati Karna. Dewi Kunthi bahagia karena Arjuna dan Karna bisa saling berbesan tapi ia juga ikut sedih dan takut disebabkan pertengkaran Karna dan Arjuna sampai keduanya saling bersumpah serapah. Ia takut sumpah serapah itu dimakbulkan dewata dan akan saling membunuh satu sama lain. ia berdoa agar sumpah kedua putranya itu tak menjadi kenyataan.

Selasa, 06 Juni 2023

Warsakusuma Krama (Bambang Danasalira)

 Hai semua penikmat dan pembaca kisah pewayangan, kali ini penulis akan mengisahkan pernikahan Arya Warsakusuma, putra Adipati Karna dengan Dewi Lesmanawati, putri Prabu Duryudhana. Rencana pernikahan ini kacau dan hampir dibatalkan dengan kemunculan Bambang Danasalira, putra Arjuna dari Dewi Renggawati yang hampir mati kerna ditikam Adipati Karna. Kisah ini mengambil sumber dari blog albumkisahwayang.blogspot.com dan tokohpewayanganjawa.blogspot.com.

Pada suatu ketika, Dewi Lesmanawati, putri bungsu Prabu Duryudhana sudah beranjak dewasa. Sudah saatnya ia untuk menikah. Lalu datanglah Adipati Karna dan mengutarakan niatnya untuk  yang ingin berbesan dengan sang raja Hastinapura itu. "Ampun, adhi prabu, kedatanagn sahabatmu ini punya niat baik. Aku ingin menjodohkan Warsakusuma, putraku yang nomor dua dengan ananda Dewi Lesmanawati." Patih Sengkuni meremehkan Adipati Karna yang hanya seorang adipati, raja bawahan Hastinapura dan lagi ia kakak seibu dari tiga Pandawa yakni Prabu Yudhistira, Arya Wrekodara, dan Arjuna. Hal itu juga berarti ia adalah kakak dari musuh besar para Kurawa. Prabu Duryudhana marah mendengar sahabatnya itu direndahkan demikian. “Paman, cukup! Yang ingin menikah itu putra dan putri kami tapi kenapa paman yang repot. Ini masalah internal antar keluarga inti.” Prabu Duryudhana lalu memanggil putrinya apakah dia mau menikah dengan Warsakusuma. Dewi Lesmanawati berkata "ampun rama prabu dan pamanda adipati, hamba tak bisa menjawabnya sekarang. Hamba sangatlah terkesan dengan kisah pamanda Arjuna mendapatkan Bale Kencana Saka Domas saat menikahi bibi Sumbadra. Putri negeri kecil ini hanya ingin kakanda Warsakusuma bisa membawakanku Bale Kencana Saka Domas sebagai tempat pelaminan kita nanti." Adipati Karna merasa ini adalah permintaan yang berat. Tapi ia akan mengusahakan untuk mendapat Bale Kencana Saka Domas itu. Adipati Karna segera pulang ke Awangga. singkat cerita, undangan pernikahan pun disebar oleh  Patih Hadimanggala. Para Pandawa turut mendapat undangan berbahagia dengan kabar gembira itu, lebih-lebih Dewi Kunthi mendengar cucunya dari Adipati Karna akan segera menikah juga. Dewi Kunthi ingin menebus semua dosa-dosanya kepada putra sulungnya itu dengan memberikan restu kepada sang cucu.

Di tempat lain, seorang pemuda dengan tubuh ramping datang ke Pringgondani. Para pengawal kerajaan menduga ia mata-mata. Terjadilah perkelahian namun hal itu berhasil dilerai oleh Gatotkaca dan Dewi Arimbi selaku Maharani negara itu. Pemuda itu ditanyai darimana asalnya dan apa keperluannya datang ke Pringgondani. Pemuda itu menceritakan asal usulnya. "ampun gusti maharani, aku Bambang Saptarengga, putra Arjuna dengan Dewi Renggawati dari Desa Jatiwedha. Aku mengetahui asal-usulku dari kakekku yang kini sudah meninggal. Aku hendak menuju Amarta untuk mengabdi kepada sang ayah tapi malah kesasar ke sini." Dewi Arimbi dan Radèn Gatotkaca mempersilahkannya untuk tinggal di Pringgondani. Dewi Arimbi lalu mengganti nama putra Arjuna itu menjadi Bambang Danasalira dan diangkat sebagai anaknya.

Bambang Danasalira bertemu Arimbi dan Gatotkaca
Bambang Danasalira bahagia mendengarnya. Tapi ia begitu rindu pada ayahnya. Bambang Danasalira lalu mohon pamit untuk melanjutkan perjalanan menuju Kerajaan Amarta. Dewi Arimbi berkata "anakku, tidak perlu kamu melakukan itu, karena Arjuna dan para Pandawa lainnya saat ini sedang berada di Kadipaten Awangga untuk menghadiri pernikahan putra Adipati Karna. Sebaiknya ananda menunggu saja di sini sampai mereka kembali." Gatotkaca lalu memohon pamit untuk menyertai ayahnya ke pernikahan sepupunya itu.

Di Kadipaten Awangga, Adipati Karna dihadap Dewi Wrusali, Dewi Srutikanti, dan kedua putranya yakni Warsasena dan Warsakusuma menerima kedatangan Dewi Kunthi, Prabu Yudhisthira, Arya Wrekodara, Arjuna, Raden Antareja, dan Radèn Gatotkaca. Adipati Karna bercerita tentang Dewi Lesmanawati yang meminta Bale Kencana Saka Domas untuk pelaminan pernikahannya. Adipati Karna ragu bisa membawakan hal itu karena Bale Kencana Saka Domas ada di tangan Resi Hanoman. Dewi Kunthi menyabarkan putra sulungnya itu dan meminta Gatotkaca bernegosiasi dengan Hanoman mau meminjamkan bale-bale itu. Maka berangkatlah Warsakusuma dan Gatotkaca menuju gunung Kandalisadha. Sesampainya di sana, Resi Hanoman terlihat setengah enggan untuk meminjamkan Bale Kencana Saka Domas karena kepikiran peristiwa di gunung Kutharunggu waktu itu. Hanoman gagal mati lebih cepat karena menangkap panah Kontawijaya. Namun Arya Warsakusuma memohon dengan sangat "ampun eyang resi.....aku sebagai wakil ayahku meminta maaf soal peristiwa di Kutharunggu, tapi itu semua adalah jalan takdir.....aku mohon maafkanlah ayahandaku dan tolong pinjamkan sehari saja Bale Kencana Saka Domas itu. Aku janji besok akan ku kembalikan. Aku putra Adipati Karna yang tidak pernah mengingkari janjinya." Lama-lama luluh juga hati Resi Hanoman. Ia meminjamkan Bale Kencana Saka Domas yang secara ajaib tersimpan di dalam sebuah kotak kecil. Arya Warsakusuma berterima kasih atas kelapangan hati Hanoman. Ia dan Gatotkaca mohon diri untuk segera kembali. Hanoman menawarkan diri untuk ikut ke pernikahan Warsakusuma. Mereka pun berangkat menuju ke Hastinapura.

Di Pringgondani, rupanya Bambang Danasalira merasa jenuh dan ingin sekali jumpa dengan ayahnya. Maka ia diam-diam minggat dari Pringgondani bertolak menuju ke Awangga, tempat ayahnya sekarang berada. Dasar nasibnya yang memang lagi apes, Danasalira malah kesasar lagi ke Hastinapura. Bagaikan masuk kandang macan kondisinya saat itu. Namun dengan tenang, ia bisa keluar masuk istana. Lalu ia masuk ke kaputren. Di sana ia mendapati Dewi Lesmanawati sedang duduk termangu menanti kedatangan Warsakusuma. Dasar anak Arjuna, dia mendekat dan berkenalan. Dengan gaya nakal dan kata-kata manisnya, ia merayu Dewi Lesmanawati. Kedua muda mudi itu lalu berkencan di dalam bangsal kaputren. Namun kakak Lesmanawati yakni Lesmana Mandrakumara mendapati adiknya bermesraan dengan pria lain. Ia melabraknya " Hei.....Sedang Apa Kau Dengan Adikku?" Bambang Danasalira ganti melabrak Lesmana Mandrakumara " apa masalahmu?.....kau siapanya dia? Ngaku-ngaku kakaknya dinda Lesmanawati. Kau itu lebih pantas sebagai pelayannya" Lesmana Mandrakumara marah karena diremehkan. Ia pun menghajar Danasalira. Namun karena kalah sakti, Lesmana Mandrakumara jadi kalang kabut, kewalahan menghadapinya. Ia segera memanggil para Kurawa.

Arya Dursasana dan adik-adiknya segera berangkat untuk meringkus si penyusup. Sesampainya di kaputren, mereka segera mengepung Bambang Danasalira dan bertanya dari mana asal usul pemuda itu. Bambang Danasalira menjawab terus terang "aku Bambang Danasalira, putra Arjuna dengan Dewi Renggawati." Para Kurawa marah-marah karena pihak Pandawa ada di balik kejadian ini. Mereka pun maju mengeroyok Bambang Danasalira, namun pemuda itu dengan lincah dapat meloloskan diri. Arya Dursasana dan adik-adiknya segera mengejar Bambang Danasalira, kecuali Raden Srutayu yang diperintahkan untuk melaporkan hal ini kepada Adipati Karna yang sedang bersama para Pandawa di Kadipaten Awangga. Singkat cerita, Raden Srutayu bertemu dengan rombongan Adipati Karna dan para Pandawa menuju ke Hastinapura. Dia memberitahukan segala yang terjadi di Hastinapura. Adipati Karna marah kepada adiknya " Adhi.....Kau Ajarkan Apa Pada Anakmu .....Anakmu Benar-benar Tidak punya Tata Krama?" Arjuna kaget lalu membela diri " Kakang Bicara apa? Kau Percaya begitu Saja pada Srutayu...Aku Tidak Punya Anak dari Renggawati bernama Danasalira tapi Saptarengga." Dewi Kunthi segera menyudahi perdebatan itu. Adipati Karna pun meminta Arjuna membuktikan ucapannya dengan menangkap pemuda itu. Arjuna menyanggupi dan segera melesat pergi mengejar si penyusup. Sepertinya memang sudah suratan takdir, Raden Arjuna langsung bertemu Bambang Danasalira. Begitu mengetahui nama pria yang hendak menangkapnya itu, Bambang Danasalira segera berlutut menyembah dan memanggil ayah kepada Raden Arjuna " ramanda Arjuna...akhirnya aku berjumpa denganmu. aku ini....." Tapi Arjuna tidak percaya dan menuduh Bambang Danasalira mengaku-ngaku sebagai keturunan Pandawa." Tidak usah pura-pura.....kau mengaku aku sebagai anakku...sekarang kau hendak melecehkan Lesmanawati. Tidak semudah itu kau coreng namaku.....ku tangkap kau!"! Ia pun menangkap pemuda itu dan menghadapkannya kepada Adipati Karna. Adipati Karna senang melihat keberhasilan Arjuna. Mereka lalu bersama-sama menuju Kerajaan Hastinapura dengan membawa Bambang Danasalira dalam keadaan terikat.

Sesampainya di Hastinapura, rombongan dari Awangga itu pun disambut Prabu Duryudhana. Melihat Bambang Danasalira sudah tertangkap, Prabu Duryudhana segera menanyai asal usul pemuda itu. " Hei pemuda tidak tahu diri.....siapa kau sebenarnya...kau berani mengaku sebagai anak dari para Pandawa....ayo bicaralah!!!" Bambang Danasalira mengakui yang sebenarnya" Harus ke beritahu berapa kali....aku benar-benar putra Raden Arjuna." Namun, Arjuna menjawab "otakmu itu waras atau tidak? Aku tidak punya anak bernama Danasalira. Sudah, jangan mengaku-aku sebagai anakku. Akui saja dirimu yang sebenarnya." Bambang Danasalira kecewa dengan sikap ayahnya. Ia berontak namun berhasil ditahan oleh para Kurawa. Dewi Kunthi tidak tega dengan nasib Danasalira memohon “putraku Arjuna, sekali saja tolong dengarkan pemuda itu. Siapa tau dia benar, anakku.” Hati Arjuna menjadi ragu dan bimbang. Situasi sudah semakin keruh dan panas, Adipati Karna kehilangan kesabaran. Terlebih lagi Danasalira terus berontak dan berteriak kalau dia memang anak Arjuna. Karena sudah sangat kacau pikirannya, tanpa pikir paanjang lagi Adipati Karna menghunus Keris Kaladite dan menikam dada pemuda itu hingga tewas seketika. Semuanya menjadi hening. Pandawa dan Kurawa terdiam membisu. Dewi Kunthi begitu syok melihat tindakan gegabah putra sulungnya itu. Tanpa peradilan, langsung dihukum mati begitu saja. Pada saat Bambang Danasalira roboh bersimbah darah, tiba-tiba Arjuna merasa gemetar. Jangan-jangan pemuda itu adalah benar putranya. Namun, semuanya sudah terlambat karena Bambang Danasalira telah tewas.

Tak lama kemudian, datang Warsakusuma dan Gatotkaca ke Hastinapura kembali dari Gunung Kandalisadha. Mereka berhasil meminjam Bale Kencana Saka Domas. Namun, mereka terkejut...bukan karena rombongan dari Awangga telah tiba dengan penuh sukacita tapi sebuah pemandangan mengerikan yang terpampang di depan mata mereka. Seorang pemuda tewas ditikam oleh Adipati Karna.

Bambang Danasalira ditikam Adipati Karna
Dewi Lesmanawati yang kebetulan ada di sana menangis melihat pemandangan semengerikan dan tak bermoral itu sementara Dewi Kunthi terlihat terduduk lemas, masih syok melihat putra sulungnya melakukan tindakan main hakim sendiri itu. Arya Warsakusuma memeluk kekasihnya itu untuk menenangkannya sementara Dewi Kunthi dipeluk Arya Wrekodara. Arya Warsakusuma lalu marah-marah kepada ayahnya “ayahanda! Kau sudah semena-mena! sudah berbuat seenaknya! Ayahanda gegabah! Membunuh seorang yang bersalah tanpa peradilan yang benar.” Gatotkaca segera turun dan mengenali pemuda yang ditikam itu yang tak lain ialah Bambang Danasalira. Ia pun menangis sejadi-jadinya dan segera menggendong jasad adik angkatnya itu kemudian dibawanya terbang pulang menuju Pringgadani. Namun ia dihalangi Resi Hanoman yang mengikuti mereka. Sang Resi segera mengoleskan daun ajaib Mahasandilata yang dulu pernah ia gunakan saat Sri Rama dan Lesmana Widagda mati suri karena pengaruh Aji Sirep Meganandha. Begitu diolesi, seketika luka pada dada Bambang Danasalira tertutup dan seketika, kesadarannya perlahan mulai kembali. Arjuna bertanya dengan raut wajah tak mengerti "Gatotkaca, kenapa kau sampai menangis begitu anak muda ini tewas dan langsung menggendongnya." Raden Gatotkaca pun menceritakan semuanya dari awal hingga akhir, "paman, dinda Danasalira memang nama aslinya itu Bambang Saptarengga. Ibuku yang mengganti namanya supaya mirip dengan julukanmu, Dananjaya. Dia kemari karena mencarimu." Arjuna menyesal telah meringkus anaknya sendiri. Dewi Kunthi bersyukur karena cucunya bisa dihidupkan kembali. Arjuna dan Dewi Kunthi pun memeluk Bambang Danasalira dan berterima kasih kepada Resi Hanoman karena telah menghidupkan kembali putranya. Arjuna gantian marah-marah dengan Adipati Karna. “kakang benar-benaar tak punya hati! Gara-gara ulahmu, kakang jadi pembunuh putraku!” Adipati Karna naik pitam dan balik membela diri “Kau seenaknya bicara, Arjuna! Aku melakukan ini untuk menghukum pria hidung belang!” Makin marahlah Arjuna karena anaknya dikatai sebagai hidung belang. Arjuna pun pergi meninggalkan Hastinapura bersama Resi Hanoman, Gatotkaca, dan Danasalira. Ia tak peduli lagi dengan pernikahan Warsakusuma. Dewi Kunthi berusaha menyabarkan dua putranya namun antara Karna dan Arjuna sudah diliputi ego masing-masing. Karna tetap keras hati sementara Arjuna kadung sakit hati maka mereka pun  tetap pergi dan tak berdamai.

Arya Warsakusuma mengurung diri di kamar calon mempelai, tidak bersedia menikah dengan Lesmanawati apabila ayahnya tidak segera minta maaf kepada Danasalira. Begitupun Lesmanawati, ia tidak sudi menikah sampai calon mertuanya itu datang dan meminta maaf kepada Arjuna dan Danasalira. Prabu Duryudhana segera menyuruh sahabatnya itu ke Madukara. Ia takut kalau nanti mendapat malu karena gagal menikahkan putrinya. Datanglah Adipati Karna ke hadapan Arjuna dan Danasalira. Ia dengan segala kerendahan hati dan sampai bersujud meminta maaf atas kesalahpahaman yang terjadi. Arjuna masih marah tapi ditahan oleh putranya. Bambang Danasalira menyuruh pamannya itu untuk mengangkat wajahnya dan ia berkata "Aku memaafkan paman. Justru aku yang harusnya minta maaf. Aku sudah bertindak seenaknya dengan berkencan dengan dinda Lesmanawati." Keduanya saling berpelukan tanda bermaafan. Adipati Karna mempersilakan Danasalira untuk datang ke pernikahan Warsakusuma namun ketika Danasalira hendak mengajak Arjuna, ia berkata "kau saja yang pergi....rama sedang tidak enak badan. Berikan salam dan selamatku pada Warsakusuma."

Singkat cerita, setelah meminta maaf dengan Bambang Danasalira, Arya Warsakusuma bersedia melanjutkan pernikahannya. Begitu semua orang sudah di halaman keraton Hastinapura, Bale Kencana Saka Domas pun dikeluarkan oleh Arya Warsakusuma. Seketika pelaminan itu langsung terhampar dan berdiri dengan megah lengkap dengan segala dekorasi dan bunga-bunganya. Dewi Lesmanawati gembira bisa mewujudkan keinginannya. Tapi ia merasa sayang karena pamannya, Arjuna justru tidak datang. Namun Lesmanawati paham kalau pamannya itu perlu waktu untuk bisa memaafkan perlakuan sang mertua. Pernikahan antara Warsakusuma dan Lesmanawati pun digelar selama tujuh hari tujuh malam.

 

Sabtu, 03 Juni 2023

Samba Krama

 Hai semua penikmat dan pembaca kisah-kisah pewayangan, kisah kali ini akan mengisahkan usaha Samba dalam sayembara mendapatkan Dewi Sunggatawati, yakni mencari kidang kencana samparan rekta. Usaha ini juga sempat dihalangi oleh Prabu Boma Sitija. Kisah ini mengambil sumber dari blog albumkisahwayang.blogspot.com dengan pengubahan dan penyelarasan seperlunya.

Prabu Kresna dihadap Patih Udawa, Arya Sencaki, Prabu Baladewa, dan isteri ketiganya, Dewi Jembawati membahas tentang sikap Raden Samba yang terus menyimpan rasa tidak suka pada Dewi Radha dan Dewi Rukmini. Dewi Jembawati membela putranya, kalau itu wajar seorang anak membela ibunya yang diduakan orang lain. Prabu Kresna sekali lagi meminta maaf kepada istrinya itu jika selama ini sikapnya kurang baik atau bertindak kurang adil di antara ke semua isterinya. Sang raja Dwarawati itu tak lupa menasehati isteri ketiganya itu agar selalu bisa mengingatkannya untuk lebih membuka hati. Prabu Baladewa punya pendapat lain kalau sikap Samba demikian karena ia belum dewasa. Mungkin dengan menikah, pikiran Samba akan terpecah dengan harapan, perasaan tidak suka itu akan berkurang. Kebetulan, Dewi Sunggatawati, putri Arjuna yang dulu datang ke Dwarawati tempo hari sudah dijodohkan dengan Samba. Sekarang, Prabu Baladewa akan datang ke Madukara mewakili Raden Samba untuk menagih perjodohan tempo hari.

Sesampainya di Madukara, lagi-lagi Prabu Baladewa bertemu dengan Patih Sengkuni dan Begawan Dorna. Tujuan mereka juga menjodohkan Raden Lesmana Mandrakumara dengan Dewi Sunggatawati. Lalu datanglah Arjuna dan putrinya, Dewi Sunggatawati. Prabu Baladewa lalu menghaturkan segala hasil bumi kerajaan Dwarawati dan meminta Arjuna menepati janji untuk menikahkan Samba dengan Sunggatawati. Patih Sengkuni lagi-lagi mengejek Prabu Baladewa " ya ampun, nak Baladewa....lagi-lagi melamarkan anak orang....kapan anak sendiri diperhatikan jodohnya....." Prabu Baladewa marah " keluargaku urusanku, paman......paman tidak berhak mencampuri urusan keluarga orang lain...lha paman sendiri lebih sering ngurusin keluarga keponakan tercinta dari pada keluarga sendiri....." Terjadilah keributan di balairung kadipaten Madukara. Namun berhasil ditenangkan Patih Surata dan Patih Sucitra. Arjuna lalu berdiskusi dengan putrinya bagaimana sebaiknya. Setelah selesai berdiskusi, Dewi Sunggatawati menyampaikan isi hatinya " karena sekarang yang melamarku ada dua orang, aku akan membuat sayembara diantara dua pelamar. Siapapun yang bisa menggembalakan segerombol kidang kencana samparan rekta, maka aku bersedia menjadi istrinya. Kidang kencana samparan rekta itu harus ditangkap sendiri." Prabu Baladewa dan Patih Sengkuni tidak protes. Mereka pun pergi untuk menyampaikan hal itu kepada para calon suami Sunggatawati.

Prabu Baladewa telah sampai di Dwarawati. Ia menceritakan semua yang ia dapat dari Madukara termasuk keinginan Dewi Sunggatawati melihat segerombol kidang kencana samparan rekta sebagai mas kawin. Raden Samba termangu mendengarnya. Baru kali ini seorang Samba hanya bisa terdiam membisu. Mencari kidang kencana saja sudah sulit, apalagi yang kakinya merah (samparan rekta). Dewi Radha dan Dewi Jembawati memberikan semangat kepada Samba. Dewi Radha lalu berkata " coba ananda bertanya pada kakek ananda, Resi Jembawan. Dia pasti tau tentang kidang kencana samparan rekta itu berada." Raden Samba yang sebelumnya sangat antipati kepada Radha kali ini jadi anak penurut....bagaimanapun Samba tidak bisa terus membenci Radha tanpa alasan. Maka ia mulai berdamai dengan rasa tidak sukanya. Samba pun berterima kasih kepada ibu tirinya itu. Ia pun berangkat ke pertapaan Gandamadana, tempat kakak dan kakeknya tinggal.

Sesampainya di pertapaan, Raden Samba segera menghadap sang kakek, yaitu Resi Jembawan, beserta kakak kandungnya, yaitu Bambang Gunadewa. Ia pun bertanya "ampun kakek resi, apa kau tau soal kidang kencana samparan rekta?" Resi Jembawan pun menjawab " aku tau, cucuku. Mereka hewan langka yang tinggal di sekitar gunung Untarayana. Untuk menjinakkan mereka, harus dengan cara lembut." Raden Samba langsung paham maksudnya cara lembut. Raden Samba berterima kasih kepada sang kakek, lalu mohon restu berangkat menuju ke gunung tersebut.

Singkat cerita, Samba telah tiba di kaki Gunung Untarayana sebelah barat. Setelah menyusuri jalur yang diceritakan Resi Jembawan, ia akhirnya melihat gerak-gerik ada sepasang kijang berbulu emas, berkaki merah lalu pasangan kijang masuk ke dalam hutan. Itulah kidang kencana samparan rekta yang dimaksud. Ketika mengikutinya, Raden Samba kaget menemukan satu gerombolan. Bulu mereka emas menyala begitu ditimpa sinar matahari dengan kaki kemerahan bagaikan bunga mawar.

Samba memikat kidang kencana samparan rekta
Samba terpukau tak percaya menyaksikan di dunia ini ternyata ada binatang sejenis itu. Ia lalu melompat menyergap, namun sekelompok kidang ini ternyata lincah dan gesit, mampu menghindar dari tangkapannya. Samba lalu berlari mengejar kidang kencana samparan rekta. Namun, semakin dikejar, kidang kencana tersebut justru semakin kencang larinya. Raden Samba lalu teringat pada pesan kakeknya agar jangan menangkap kidang ini menggunakan kekerasan. Ia pun berhenti mengejar dan duduk di atas batuan gunung. Ia segera mengambil bambu dan memotongnya, lalu dilubangi, diubah, dan diukir sedemikian rupa hingga menjadi seruling. Raden Samba pun meniupkan serulingnya. Lagu dan tembang yang mengalun dari bilah-bilah serulingnya mengalun indah. Seketika, sekelompok kidang kencana tadi berhenti berlari kabur malah sekarang mereka mengikuti alunan nada seruling yang disenandungkan Samba. Para kidang Kencana itu semakin mendekati Samba dan perlahan, Samba berhasil mengelus mereka dan jinaklah kidang-kidang itu. Sepanjang jalan, Samba meniup seruling bersama segerombol kidang kencana mengikuti di belakangnya.

Namun datang gangguan dari para Kurawa dan radèn Lesmana Mandrakumara. Juga datang di sana Prabu Boma Sitija. Raden Samba kaget kakaknya membela Raden Lesmana Mandrakumara. Sepertinya kakaknya telah dipengaruhi. Prabu Boma Sitija berkata " adhiku, Samba. Serahkan kidang-kidang kencana itu kepada Lesmana. Aku berjanji akan mencarikan wanita yang jauh lebih cantik dari Sunggatawati." Raden Samba lalu berkata kepada kakaknya " kakang Sitija, tolong jangan jodoh saya. Apa kakang iri karena Dinda Siti Sundari dan kakang Partajumena sudah menikah lebih dulu? Jodoh pasti akan bertemu dengan caranya" Prabu Boma Sitija merasakan makjleb di dadanya. Pada dasarnya Prabu Boma Sitija memang sayang kepada adiknya, namun karena dikompori oleh Patih Sengkuni, ia pun menyerang Samba dan kidang-kidang kencananya. Raden Samba terpaksa menggunakan ajian tapak Lindu Bumi. Seketika bumi bergetar dan membuat prabu Boma Sitija limbung. Seketika, ia tersadar dan balik membantu Samba. Para Kurawa merasa dikhianati lalu balik menyerang Samba dan Boma Sitija. Sebagian para Kurawa juga membuat kidang-kidang kencana itu tercerai berai. Namun berkat suara seruling yang ditiupkan Samba, kidang-kidang kencana samparan rekta mengikuti perintah Samba. Kidang-kidang jantan menyeruduk para Kurawa dan Radèn Lesmana Mandrakumara. Para Kurawa dibuat kalang kabut dan lari menyelamatkan diri. Raden Lesmana Mandrakumara ketinggalan dan hendak diperdaya dengan suara seruling Samba. Seketika, Raden Lesmana Mandrakumara linglung. Dengan keadaan linglung begitu, Samba membuat pangeran cengeng itu malu. Para Kurawa baru sadar kalau keponakan tersayang mereka tertinggal dan mereka mendapati Lesmana Mandrakumara sedang asik memeluk pohon sambil setengah sadar.

Singkat cerita, Raden Samba dan Prabu Boma Sitija tiba di Kerajaan Dwarawati. Prabu Kresna dan Dewi Jembawati bangga dengan keberhasilan Samba yang sudah berusaha sendiri mendapatkan jodohnya. Bahkan Dewi Radha turun dan memeluk Samba karena sang putra Jembawati itu berhasil dan kembali pulang tanpa kurang satu apapun. Raden Samba terkesan mendengar perhatian sang ayah dan dua ibunya itu kepadanya. Samba tidak menyangka kalau Dewi Radha sangat khawatir dengannya. Samba berdamai dengan rasa tidak sukanya.

Keesokan harinya di Madukara, Arjuna dan segenap keluarga besar Pandawa menyambut kedatangan rombongan pengantin pria dari Kerajaan Dwarawati. Tampak Raden Samba berpakaian pengantin lengkap memainkan seruling dengan di belakangnya kidang-kidang kencana samparan rekta mengikutinya, diiringi Prabu Kresna, Prabu Baladewa, Dewi Radha, Dewi Rukmini Dewi Jembawati, Dewi Setyaboma, Prabu Boma Sitija, Arya Setyaki, Patih Udawa, Patih Pragota, dan Arya Prabawa. Dewi Sunggatawati melihat persyaratan yang ia minta sudah terpenuhi dan ia juga dapat mengetahui bahwa hewan tersebut benar-benar ditangkap sendiri oleh Raden Samba. Arjuna pun meresmikan pernikahan antara Raden Samba dengan Dewi Sunggatawati. Semua orang ikut berbahagia merayakannya.

Kamis, 01 Juni 2023

Udawa Waris

Hai semua pembaca dan penikmat cerita wayang sekalian. Kali ini penulis akan menceritakan kisah tentang usaha Patih Udawa membangun Desa Widarakandang dan Desa Warsana menjadi daerah Kepatihan. Niatnya ini mendapat halangan dari Prabu Baladewa, yang telah dihasut oleh Patih Sengkuni dan susahnya menemukan bukti hitam di atas putih tentang nasib desa Widarakandang dan Warsana. Namun Patih Udawa mendapat haknya dengan bantuan Prabu Matswapati dan Dewi Radha. Kisah ini mengambil sumber dari blog albumkisahwayang.blogspot.com dengan pengubahan, dan penyesuaian seperlunya.

Pada suatu hari yang cerah, Prabu Sri Kresna dan Prabu Baladéwa sedang duduk membahas Patih Udawa yang sampai hari ini masih di desa Widarakandang. Lalu datang ibu asuh mereka, Nyai Yasodha menghantarkan sepucuk surat. Prabu Kresna dan Prabu Baladéwa menyambut sang ibu asuh. Begitu surat ada di tangan, Prabu Kresna membacanya lalu sejenak ia diam saja. Prabu Baladéwa mengambil surat itu dan membaca isinya. Isi surat itu demikian " Teruntuk Adhiku Kanha. Maafkan hamba yang sudah lama mangkir. Hamba sedang memperbaiki rumah kita di Widarakandang dan Warsana untuk dijadikan bangsal Kepatihan. Aku sebagai saudara memohon maaf sebesar besarnya jika kakak kalian ini lancang. Terima kasih...tertanda Udawa." Prabu Baladéwa marah luar biasa karena Desa Widarakandang adalah termasuk wilayah Mandura, bukan Dwarawati dan itu berarti Patih Udawa telah lancang melangkahi dirinya. Kemarahan Prabu Baladéwa itu pun dilampiaskannya kepada Nyai Yasodha " ibu, apa-apaan Kelakuan Kakang Patih....Ibu tidak becus mendidik anak! Kakang Udawa melangkahiku...pergi Kau Dari Sini!" Nyai Yasodha ketakutan , namu akhirnya ditenangkan oleh Dewi Radha, isteri ruhani Prabu Kresna " Kakang lancang! ibu Yasodha memang hanya ibu asuh kakang, tapi Tidak Sepantasnya seorang anak membentak ibunya. Kakanda Kandha, aku akan menemani ibu pulang. Aku mohon pamit." Prabu Kresna mengizinkannya. Singkat cerita, Dewi Radha segera mohon pamit kembali ke Desa Widarakandang sekalian mengantar ibu Yasodha. Prabu Baladéwa yang masih marah segera berangkat ke Widarakandang untuk menghentikan niat Udawa. Sekepergian sang kakak, Prabu Kresna khawatir dengan keselamatan Udawa, Radha dan ibu Yasodha maka ia segera mengutus Arya Sencaki mengikuti Radha dan Yasodha. Sementara itu ia akan menyusul.

Singkat waktu, Nyai Yasodha dan Dewi Radha menemui patih Udawa. Patih Udawa sedang duduk berdua dengan Dewi Antiwati, isterinya. Nyai Yasodha langsung marah-marah kepada Patih Udawa " Udawa, kamu berani bikin ibu malu. Aku pikir surat itu surat cuti, tapi karena suratmu itu, ibu kena damprat adhimu, Balarama! Pokoknya cepat buat permohonan maaf pada adhi-adhimu!" Patih Udawa balik keheranan " lah, kan surat yang ku kirimkan memang bukan surat cuti, tapi surat izin membangun rumah kita jadi kepatihan. Harusnya itu untuk ditujukan adhi Kanha saja. Balarama lancang membaca suratku." Dewi Radha menenangkan suasana dan berkata " aku juga kaget kakang. Kakang kenapa berani sekali mau membangun kepatihan di sini. Kakang tahu kan Widarakandang dan Warsana masih wilayah Mandura." Udawa berkata " Radha, itu ada alasannya. Ayah Nanda sudah menerima mandat dari ayah Basudewa tentang status Warsana dan Widarakandang sejak aku masih kecil." Di tengah tegangnya suasana, datang lah Pragota, adik nomor lima Udawa bersama para Kurawa. Ia membawa kabar "kakang, aku mendapat mandat dari kakang Balarama. Batalkan niat kakang untuk membangun rumah ini jadi kepatihan!" Udawa sudah bersumpah akan menghentikan siapapun yang menghalangi niatnya, meski itu saudaranya sendiri. "Maaf, adhi Pragota. Aku tidak akan membatalkan niatku. Sekali layar terkembang, surut bagiku berpantang."

Karena terus ada perdebatan dan tiada satu pun yang mengalah, maka pertarungan tak terhindarkan. Terjadilah perkelahian antara Udawa dan Pragota. Kakak dan adik saling bertarung satu sama lain hingga di satu kesempatan Pragota terkena goresan Keris Kyai Blabar milik Udawa. Begitu mengetahui apa yang telah terjadi, Patih Sengkuni segera mengerahkan para Kurawa untuk mengeroyok Patih Udawa. Pada saat itulah Arya Sencaki muncul dari persembunyian. Sejak tadi ia mengintai percakapan Patih Udawa dan Patih Pragota. Begitu melihat para Kurawa datang untuk ikut campur, ia segera maju menghadapi mereka. " Kalian para Kurawa tidak habis-habisnya ikut campur urusan orang lain. Ladeni aku sekarang!" Maka, terjadilah pertempuran seru di halaman rumah Nyai Yasodha. Patih Udawa dan Arya Sencaki bekerja sama dan berhasil memukul mundur Arya Dursasana beserta saudara-saudaranya.

Radha dan Kresna menyarankan Udawa ke Wirata
Lalu beberapa saat kemudian, Prabu Kresna datang dan berkata " aku merasa masalah ini akan berlarut-larut kalau tidak dibawa ke notaris atau ahli hukum pertanahan. Untuk mendapatkan ahlinya kau harus ke raja terbijak di daratan Jawadwipa ini. Udawa, cepat kau ke Wirata. Cari dukungan dan bantuan hukum kepada Prabu Matswapati." Udawa pun mematuhi perintah adik sekaligus rajanya itu. Tapi Udawa merasa rendah diri kalau harus berhadapan langsung dengan Prabu Matswapati, maka ia meminta agar Arjuna menemaninya. Ia mohon pamit berangkat menuju Madukara. Prabu Kresna kemudian memerintahkan Arya Sencaki untuk melindungi Nyai Yasodha, Dewi Radha, dan para penduduk desa sedangkan ia akan mengamati persengketaan ini dari kejauhan. Sementara itu, Prabu Baladewa terus dikompori Sengkuni agar segera meluruk desa Widarakandang dan Warsana. " anak prabu, kakang mu itu memang tidak tau terima kasih. Mentang-mentang dia anak pertama ayahmu Basudewa, dia bisa seenaknya. Sebelum dia pergi dari desa ini, cepat kejar dia. Lalu perintahkan pasukan Mandura meluruk desa. Soal siapa penanggung jawab, biar aku yang mengatasi di sini." Prabu Baladéwa termakan komporan Sengkuni, ia naik gajah Puspadentha, dan segera mengejar Patih Udawa bersama Patih Hadimanggala yang sedari tadi bersama Adipati Karna dan Prabu Baladéwa. Begitu Baladéwa pergi, Patih Sengkuni mulai mengepung désa Widarakandang dan Warsana dari segala sisi. Sengkuni ternyata punya motif lain, yakni memisahkan putrinya, Antiwati dengan Udawa.

Setalah jauh berjalan, Patih Udawa sampai di pinggir desa Karangtumaritis, tempat tinggal kakek Semar. Namun baris aja hendak menginjakkan kaki, datanglah seorang berpakaian serba hitam dan memakai topeng hendak membunuhnya. Patih Udawa segera menangkis serangannya. Keduanya sama sakti dan sama hebatnya. Pertempuran mereka mengejutkan kakek Semar dan para punakawan yang baru pulang dari sawah. Kakek Semar dengan kentut sakti miliknya segera menghentikan perkelahian itu dan membuat keduanya terpental. Si orang bertopeng itu terbuka kedoknya yang tak lain Patih Hadimanggala, adik bungsu Udawa. Kakek Semara marah " hamma blegedagbgedug..... helah dalah....kalian berdua bersaudara tapi ingin saling membunuh....otak kalian dimana?!" Patih Udawa balas " aku tidak tau kalau Hadimanggala hendak menyerangku. Hei, apa maksudmu menyerang kakangmu?!" Hadimanggala dengan enteng berkata " kakang maaf saja, aku harus mematuhi perintah kakang Balarama dan kakang Aradeya." Udawa berkata "Hadimanggala!! Kau sama liciknya dengan adhi Aradeya. Padahal jelas-jelas ia tahu kalau para Pandawa itu masih adik-adiknya, tetapi tetap saja mengabdi kepada Prabu Duryudhana. Apalagi yang kau inginkan? kedudukan dan kemewahan duniawi? Kakang sangat benci melihat manusia licik sepertimu. Kau bukan lagi adikku. Aku tidak pernah ingat punya adik sepertimu" Hadimanggala merasa makjleb, apa yang dikatakan kakangnya ada benarnya. Udawa kecewa maka ia lanjut ke Madukara. Hadimanggala merenungi semua kesalahannya.

Sesampainya di sana, Patih Udawa segera menyampaikan salam hormat kepada Arjuna dan para istri, lalu menceritakan semua permasalahan yang ia hadapi. Arjuna merasa keberatan " aku bukan tidak mau. Berat rasanya aku harus mendampingimu untuk menghadap eyang Prabu Matswapati. Aku juga segan dengan kakang Balarama" Udawa pun berkata " ampun adhi, aku mohon dengan kerendahan hati adhi untuk menemaniku. Itu saja, selain itu aku tidak akan minta apa-apa lagi." Tetap saja, Arjuna masih tidak enak hati maka ia menolak dengan halus. Niken Larasati memohon pada suaminya " kanda, tolonglah kakang Udawa sekali ini saja. Mau bagaimana pun, Kakang Udawa itu kakak iparmu juga." Arjuna tetap bersikukuh dengan jawabannya. Udawa putus asa lalu berkata " baiklah, kalau Adhi tidak mau tidak apa-apa. Aku akan berangkat sendiri! Aku pamit." Dewi Sumbadra marah-marah dengan sikap acuh tak acuh suaminya. " Kanda kulup ini bagaimana?! sejak kecil kakang Udawa sudah seperti kakak sulungku, melebihi kakang Balarama sendiri. Aku tidak bisa tak kenang budi. Lebih baik aku dan Dinda Larasati pergi, membantu kakang Udawa." Maka pergilah Sumbadra dan Larasati menyusul kakang tertua mereka itu.

Arjuna kesal hati isteri-isterinya malah bersikap lancang begitu. Kakek Semar menyabarkan Arjuna " lha...ndoro itu harusnya bangga punya isteri yang masih ingat balas budi dan balas jasa." Arjuna menyadari kesalahannya. Lalu datang Baladéwa yang mencari-cari Udawa. Arjuna berkata " kakang Balarama terlambat, sekarang kakang patih dinda kulup, dan dinda Larasati sudah berangkat ke Wirata. Sebagai seorang raja, baiknya kakang menempuh jalur hukum, bukan dengan dendam dan marah-marah gak jelas. Ayo kita susul mereka ke Wirata." Baladéwa merasa apa yang dikatakan Arjuna ada benarnya. Maka mereka menyusul ke Wirata. Sesampainya di Wirata, prabu Matswapati menyambut kedatangan Patih Udawa, Sumbadra, dan Larasati. Lalu menyusul kemudian Prabu Baladéwa dan Arjuna didampingi para Punakawan. Yang terakhir datang yakni Patih Pragota dan Patih Hadimanggala, kali ini tanpa Adipati Karna. Di sana juga turut hadir Prabu Yudhistira, Arya Wrekodara, dan Prabu Kresna membantu mediasi. Dewi Sumbadra menjadi juru bicara Patih Udawa membacakan tuntutan sang kakang tertua "ampun eyang prabu, aku sebagai wakil saudara Udawa meminta keadilan." Prabu Matswapati pun berkata " keadilan apa yang hendak saudara dapatkan?!" Patih Udawa menjelaskan "ampun eyang prabu, mendiang ayah Basudewa telah menyerahkan Desa Widarakandang dan désa Warsana sepenuhnya kepada mendiang ayah Nanda Antagopa, dan tidak lagi berada di bawah Kerajaan Mandura." "Apakah ada bukti hitam diatas putih, semacam serah terima, minimal surat bertanda tangan berisi kesepakatan kedua belah pihak?" tanya Prabu Matswapati. Patih Udawa mengakui kalau itu ia tidak punya, karena saat itu hanya ada persetujuan secara lisan dan berupa pidato. Kedua pihak yang bersengketa pun saling berebut benar. Prabu Baladéwa berkata, " kakang tidak bisa membawa bukti hitam diatas putih. Kakang juga bilang kalau waktu itu, persetujuan hanya lewat secara lisan. Itu tidak bisa jadi bukti. Pokoknya tetap bagiku, desa Widarakandang dan Warsana adalah wilayah Mandura, sehingga kakang tidak bisa seenaknya mendirikan kepatihan di sana."

Karena kedua belah pihak makin lama makin alot dan keras debatnya, Prabu Matswapati merasa perlu untuk membuka Kitab Pustakaraja, kitab dari Batara Indra yang memuat semua informasi, daftar, dan kondisi tentang seluruh negara di Jawadwipa dan Hindustan berikut dengan tapal batasnya. Kitab itu akan ikut berubah jika ada perubahan wilayah, peristiwa alam, atau perpindahan kekuasaan dari negara lama ke negara baru sesuai dengan di kenyataan dan perkembangan zaman dan era. Prabu Matswapati segera membaca bab Kerajaan Mandura. Dalam kitab itu terdapat tulisan, " pada hari Tumpak Saniscara, saat perayaan festival Saraswati Wuku Watugunung bulan Wisakhamasa, Tahun XX, Basudewa berterima kasih atas jasa Nanda, Yasodha, dan Wresabanu mengasuh anak-anaknya, yaitu Kakrasana (Balarama), Narayana (Kanha), dan Dewi Bratajaya (Raraireng). Atas jasanya itu, Basudewa pun dihadapan Lurah Nanda Antagopa dan Lurah Wresabanu membebaskan Desa Widarakandang dan Warsana tidak lagi berada di bawah Kerajaan Mandura, dan bebas menentukan nasibnya sendiri." Prabu Baladéwa terdiam dan malu mendengar keterangan tersebut. Ia masih tidak dapat mengakui kemenangan Patih Udawa atas sengketa. Maka, ia lalu menantang Patih Udawa bertanding di halaman istana Wirata. Apabila Patih Udawa mampu menangkis pukulan Senjata Nenggala, maka ia bersedia melepaskan Desa Widarakandang dan Warsana.

Terjadilah pertarungan sengit dan keras. Patih Udawa sadar kalau ia kalah sakti dan bisa terdesak menghadapi kekuatan lawan. Namun, tekad dan semangatnya membara, membuat ia mampu bertahan menghadapi gempuran adiknya. Prabu Baladéwa tampaknya sudah gelap mata. Ia pun menghunus Senjata Nenggala untuk dipukulkan ke tubuh Patih Udawa. Namun, dengan cekatan Patih Udawa mencabut keris pusakanya dan digunakan untuk menangkis senjata tersebut. Prabu Baladéwa heran melihat Patih Udawa memiliki keris ampuh yang mampu menangkis pukulan senjata berbentuk luku sawah itu.

Udawa melawan Baladewa 
Patih Udawa menjelaskan " ini pusakaku, Keris Kyai Blabar. Ini keris milik ibu Yasodha." Ditengah keheranan itu, muncul suara seruling yang merdu menambah semangat Udawa dan segera menyerang Baladéwa sehingga Nenggala terlepas. Lalu datang Nyai Yasodha, Dewi Radha, Dewi Antiwati, dan Arya Sencaki menghentikan perkelahian. Prabu Baladéwa bertanya pada ibu asuh nya itu " ibu, darimana ibu mendapatkan keris Kyai Blabar? Setahu ku cuma keluarga inti saja yang dapat keris ini?" Nyai Yasodha menjelaskan" anakku, sewaktu ayahmu menjadikan desa Widarakandang dan Warsana ini perdikan swatantra, ayahmu memberikan keris ini sebagai bukti hitam di atas putihnya dan Udawa juga anak Prabu Basudewa walau cuma anak selir sepertiku, dia tetap keluarga inti Mandura." Lalu Dewi Radha mengeluarkan selembar surat dari ikat pinggangnya" kakang, aku juga membawa bukti kalau desa Warsana juga dijadikan sebagai daerah perdikan. Isi surat ini dibuat setalah hari Saraswati dan ditanda tangani ayahku, Wresabanu dan gusti prabu Basudewa." Dewi Sumbadra juga mengingatkan " kakang, apa kakang ingat waktu kita masih tinggal di desa, jadi penggembala dan petani dulu. Kakang Udawa yang selalu menolong kita. Ketika kakang marah, kakang Udawa bersedia mendengar keluh kesah kakang. Ingatlah juga waktu Batara Indra hendak menghancurkan desa dengan badai, ketika kakang Kanha berusaha mengangkat bukit Gowardhana, kakang Udawa yang membantu kita dan para warga masuk ke kolong bukit. Tolong ingat masa-masa indah itu." Teringat pada cerita itu, hati Prabu Baladéwa luluh dan kemarahannya reda. Ia segera memeluk Patih Udawa dan meminta maaf atas segala sikap kasarnya selama ini. Mulai sekarang, ia mengakui Patih Udawa sebagai kakak tertua. Patih Pragota dan Patih Hadimanggala juga meminta maaf pada Udawa atas tindakan konyolnya. Patih Udawa memaafkan ketiga adiknya.

Dewi Antiwati lalu memotong. Ia pun bersimpuh minta maaf " kanda Udawa maafkan aku....aku yang sudah sembarangan cerita kepada ayahanda Sengkuni. Aku tidak tahu kalau ayahanda akan memutar balikkan fakta ini. Tolong maafkan aku, aku janji tidak akan bercerita apapun lagi kepada ayahanda. Aku bersumpah cukup masalah kita hanya keluar di sekitar tempat tidur kita, orang lain selain di rumah tak akan tahu apa-apa." Patih Udawa luluh dan memaafkan isterinya. Lalu Dewi Antiwati berkata sekarang keadaan desa Widarakandang dan Warsana sedang genting. Patih Sengkuni dan Para Kurawa mengepung désa sehingga terjadi kekacauan. Rupanya motif lain para Kurawa dan sang ayah selain hendak mengadu domba keluarga besar Yadawa dan menceraikannya dengan sang suami adlaah ingin mengeruk kekayaan desa Widarakandang dan Warsana yang terkenal dengan peternakannya yang makmur. Prabu Baladéwa lengah dan menyesal. Singkat cerita, mereka semua menuju ke desa Widarakandang dan Warsana. Keadaan di desa benar-benar kacau. Begitu melihat Antiwati sudah bersama lagi dengan Udawa, Para Kurawa segera maju untuk menyeret sepupu mereka itu. Melihat ini, Arya Wrekodara dan Patih Udawa segera maju menghadapi. Arya Wrekodara tidak suka ada orang yang merusak rumah tangga orang lain, bahkan makin tidak suka melihat para Kurawa berbuat onar di rumah orang lain, apalagi berniat menindas seorang perempuan di sana. Sengit pertempuran antara Udawa dan Wrekodara dan akhirnya mereka berhasil memukul mundur para sepupunya itu kembali ke Hastinapura. Adipati Karna yang dari awal tidak ikut-ikutan berterima kasih kepada sang adik, Arya Wrekodara "adhiku, terimakasih atas bantuanmu...adhi patih agaknya terbawa kata-kata paman Sengkuni. Aku benar-benar berterima kasih karena melindungi adhi patih. Bagaimana pun ini kampung halaman adhi juga." " Tidak perlu sungkan, kakang Karna. Aku juga berterimakasih karena kakang bersedia bersikap netral dari awal." Keduanya pun berpisah kembali ke Awangga. Sejak saat itu, Widarakandang berubah jadi kepatihan dan Warsana menjadi sentra peternakan yang ramai. Jabatan kepala Desa Warsana akan tetap dipegang oleh Dewi Radha.