Jumat, 05 November 2021

Indrawijaya


Matur Salam,para pembaca sekalian.Karena kesibukan menyelesaikan skripsi, blog ini terbengkalai lama dan tidak mengunggah post baru. Kisah kali ini berkisah tentang Batara Indra dan kisah kepahlawanannya mengalahkan Ditya Writrasura dan menghukum Prabu Nahusa. Sumber kisah ini berasal dari ringkasan Kitab Rgveda, Kitab Mahabharata bagian Adiparwa karya Mpu Vyasa, Kakawin Indrawijaya karya Mpu Madya Mregiwu.

Masa damai setelah angkara Ditya Sunda dan Upasunda berlangsung cukup lama. Hindustan dan Jawadwipa berkembang. Di sisi lain, Adalah seorang yaksa keturunan Maharesi Kasyapa dengan Dewi Danu bernama Writrasura bertapa dengan tekun kepada Batara Brahma. Tapa bratanya kuat sekali sampai-sampai gunung-gunung berapi di sekitar istana Daksinageni meletus dan memuntahkan lahar panas, batu, dan api bersamaan. Maka datanglah Batara Brahma ke hutan tempat Writrasura bertapa “anakku, Writrasura...tapa bratamu telah dijawab. Apa yang andika inginkan dari bertapa brata yang sedemikian berat itu?” “hamba ingin hidup kekal abadi, tidak bisa mati selamanya.” Batara Brahma lalu berkata “setiap makhluk hidup pasti merasakan mati, begitu pula kami para dewa. Di dunia ini tak ada yang kekal abadi kecuali Sanghyang Widhi yang Maha Awal lagi Maha Akhir. Mintalah yang lain.” “baiklah...hamba meminta kekuatan maha hebat.....tidak bisa mati karena benda cair, padat atau gas. Itu saja permintaan hamba.” Batara Brahma merasa sangsi namun akhirnya ia memberikan kekuatan seperti itu pada Writrasura. Lalu setelah pulang tapa brata, Writrasura menjadi jemawa dan menindas para yaksa dan manusia yang lebih lemah.

Alkisah, seorang resi kahyangan bernama Dadichi mendapat tugas untuk menyucikan senjata para dewa dan bidadara dari darah dan energi jahat karena perang melawan para yaksa keturunan Rudra Rancasan. Resi Dadichi mencuci semua senjata itu di kolam di dekat alun-alun Suralaya. Lalu ia mencuci sambil berdoa “Hong wilaheng awighnam astu namah siddham sekaring bawana langgeng....semoga Hyang Widhi melunturkan energi jahat senjata ini, hilang segala keburukannya, dan bagus auranya laksana semerbak bunga sejagat.” Tanpa disadari, sedikit demi sedikit kesaktian senjata para dewa menjadi tawar, berkurang kekuatannya larut ke dalam air kolam. Resi Dadichi lalu meminum seluruh air kolam bekas ia membersihkan senjata-senjata para dewa

Bersamaan dengan itu, Writrasura dan pasukannya mengobrak-abrik tiga dunia. Gunung-ganang meletus dahsyat....angin panas dan angin dingin berhembus kencang. Bumi gonjang-ganjing, langit kolap-kalip. Berkat kekuatan pemberian Batara Brahma, ia tak terkalahkan. Ia mampu krodha menjadi ular raksasa dan menyedot semua air, es dan salju di Jawadwipa dan Hindustan. Seluruh tanah Jawadwipa dan Hindustan dilanda kekeringan dan kekurangan air...tanah pecah-pecah dan panas bahkan sebagian berubah menjadi padang gurun nan gersang....tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia, para yaksa/raksasa dan jin merana lemas kehausan. Para dewa di kahyangan khawatir jika Jawadwipa dan tanah Hindustan kembali tak bisa ditinggali, maka mereka memutuskan mengambil kembali senjata mereka yang dititipkan pada Resi Dadichi.

Ketika para dewa dipimpin batara Indra datang, kekuatan semua senjata itu lenyap sama sekali. Resi Dadichi menjelaskan bahwa sebelumnya ia mencuci semua senjata di kolam dekat alun-alun Suralaya. Batara Indra terkejut dan ia berkata “ampun, bapa resi. Kolam dekat Suralaya itu terkena cipratan Tirta Perwitasari, jadi senjata apapun akan luntur kesaktiannya bila di cuci di kolam itu.”Resi Dadichi terkejut. “waduh, ampuni hamba, pukulun. Maafkan keteledoran hamba......hamba sudah berbuat kebodohan dan sekarang semua kesaktian senjata pukulun semua ada dalam tubuh saya.”  Batara Indra kalut hatinya, begitupun para dewa lainnya. Kini para dewa sedang membutuhkan senjata-senjata mereka tapi malah lenyap kekuatannya. Resi Dadichi lalu bertekat untuk mengorbankan diri “pukulun Indra, seluruh kekuatan senjata para dewa sekarang tersimpan di dalam tubuh hamba, diantara tulang-tulangku. Hamba punya permintaan terakhir, tolong siapkanlah upacara pemakaman untuk hamba. Dengan kematian hamba, pukulun Batara bisa menggunakan sisa-sisa tubuh hamba untuk dijadikan senjata.” Singkat cerita, Resi Dadichi masuk ke pertapaannya dan bersemadi dengan khusyuk. Tak lama kemudian, ia meninggal dunia. Kahyangan berkabung. Upacara pemakaman di langsungkan. Jasad sang resi dibakar. Setelah habis api ngaben, para dewa mengambil abu dan sisa tulang-tulang Resi Dadichi. Batara Empu Wiswakarma, Batara Empu Ramayadi, dan Batara Empu Angganjali segera melebur segala senjata para dewa dan bidadara bersama abu dan tulang-tulang Resi Dadichi. Begitupun Batara Indra, ia ikut meleburkan Tombak Bajra miliknya. Tak lama kemudian, Tombak Bajra milik batara Indra tiba-tiba keluar dari tempat peleburan senjata dan mengeluarkan kilauan yang jauh lebih terang daripada sebelumnya. Kini kekuatan halilintar Tombak Bajra jadi berkali-kali lipat, setara dengan seluruh senjata para dewa yang digabungkan.

Hingga pada saatnya, Writasura kali ini benar-benar mengobrak-abrik kahyangan dengan menghisap seluruh air, es, dan salju di sana. Batara Indra segera mengerahkan kekuatan kahyangan. Pasukan Writasura dengan hebatnya mampu diobrak-abrik oleh pasukan dewa yang dipimpin Batara Bayu. Namun berbalik lagi ketika Batara Bayu menyerang Writrasura. Dengan entengnya, angin prahara yang dilemparkan sang dewa angin berbalik mengenainya karena mendal oleh ekor ular jelmaan krodha Writrasura. Tinggal Batara Indra dan Writrasura saling berhadapan. Kini ia menemui Writrasura di atas langit. Ia berkata pada Writrasura “Writra, jadi beginikah balasan kepada Yang Maha Kuasa, dengan menyakiti dan berbuat semena-mena pada sesama sendiri.” “peduli setan dengan Yang Mahakuasa, aku adalah raja diraja para yaksa dan sebentar lagi aku akan menjadi Yang Mahakuasa. Hanya aku di dunia ini yang patut dijadikan raja segala raja” Murkalah sang raja bidadari itu dan segera ia menghajar Writrasura.

Pertarungan sangatlah menggoncangkan tiga dunia. Kekuatan Writrasura dan Batara Indra setara. Lalu Writrasura mengerahkan wujud krodha terkuatnya, berubah wujud menjadi ular naga hendak mencaplok sang Batara Indra dan menelan Kala Rahu yang saat itu hendak menjalankan tugasnya untuk menciptakan gerhana matahari. Batara Indra segera masuk ke dalam mulut Writrasura dan menolong Kala Rahu. Di dalamnya, Batara Indra segera mengeluarkan ajian Tirta Muru hingga menutupi seluruh mulut Writrasura yang terbuka. Jutaan buih-buih air itu lalu menutupi mata Writrasura. Kala Rahu yang berhasil selamat lalu segera menelan cahaya matahari. Buih-buih yang mengganggu pandangannya itu berhasil disingkirkan namun Writrasura kembali menjadi susah mengetahui keberadaan Batara Indra karena langit gelap karena gerhana. Segeralah sang Batara melemparkan Tombak Bajra ke mulut sang yaksa dan  Duaaaar....kilat pun menyambar, petir menggelegar. Mulut dan seluruh tubuh Writrasura tersambar halilintar dari tombak Bajra.

Batara Indra mengalahkan Writrasura
Bersamaan dengan Kala Rahu mengembalikan cahaya matahari, Writrasura akhirnya limbung dan jatuh... lalu tewaslah ia dengan tubuh hancur. Tak dinyana, tubuhnya menjadi awan mendung yang sangat banyak dan gelap. Tuah dari berkat batara Brahma telah tawar karena ia diserang oleh petir, yang bukan benda padat, cair, ataupun gas melainkan panas dan cahaya yang menggabungkan tiga unsur itu. Awan jelmaan tubuh Writrasura semakin lama semakin gelap, menggumpal menutupi seluruh daratan Jawadwipa dan Hindustan, dan akhirnya hujan yang sangat deras pun turun. Badai salju dan es juga turun di puncak-puncak pegunungan dan kahyangan Jonggring Saloka. Jawadwipa dan Hindustan telah selamat dari bencana kekeringan.

Untuk merayakan kemenangan Batara Indra, sang batara mengundang beberapa yaksa baik ke istana Rinjamaya untuk berpesta diantaranya ada Resi Wiswa, adik Writrasura. Resi Wiswa adalah sahabat karib batara Indra. Walaupun ia sedih karena kakaknya tewas di tangan sahabatnya, Resi Wiswa tetap lapang dada dan memutuskan datang ke pesta batara Indra karena yang ia yakini bahawa itulah jalan yang ditempuh sang kakak demi mencapai alam baka. Kedatangan Resi Wiswa disambut baik oleh batara Indra dan mempersilakan ia untuk memimpin doa sebelum acara dilangsungkan. “Hong wilaheng awighnam astu namah siddham sekaring bawana jagat langgeng.....nuwun amit pasang kaliman tabik....semoga para yaksa dan para dewa tetap seperti ini.....jangan banyak permusuhan..” setelah doa dipanjatkan, pesta kemenangan para dewa diselenggarakan. Saat itu Batara Indra didatangi seorang dewa bernama Batara Dwapara. Sang dewa lalu berkata “Pukulun Indra, nampaknya kamu sangat menikmati pesta kali ini. tapi aku khawatir kalau ini akan berakibat buruk nantinya.” “apa maksudmu, Batara?” Batara Dwapara lalu menghasut batara Indra “begini Pukulun, anda pasti tahu siapa resi Wiswa kan. Dia adik dari Writasura, sudah barang tentu cepat atau lambat, seorang adik akan membalas dendam kakaknya yang tewas apalagi kakaknya tewas di tangan pukulun. Pikirkanlah lagi, Resi Wiswa mungkan akan membuat makar dan membinasakan pukulun kelak di kemudian hari.” Batara Indra mulai goyah hatinya. Lalu ia meminta Resi Wiswa untuk keluar dari arena pesta dan berjalan-jalan bersama.

Batara Dwapara yang tak lain adalah putra dari Batara Rudra Rancasan segera membuat siasat untuk membuat para dewa Jonggring Saloka malu. Lalu ia mendatangi Batara Bayu dan mengadu dombanya dengan Batara Indra “waduh-waduh...pukulun Batara bayu...rupanya pukulun enak sekali menikmati pesta ini...tadi aku bersama Pukulun Indra. Dia mengatakan padaku bahwa beliau kesal pada pukulun. Beliau mengatakan anginmu tak cukup kuat untuk membuat Writasura limbung makanya ia meragukan hasill kerjamu sebagai dewa angin.” Beranglah batara Bayu “beraninya...kakang Indra mengatakan begitu. Dia belum tahu saja kalau angin puting beliungku bia membuatnya menyesal seumur hidup.” Batara Dwapara lalu berkata “aduh....jangan terlalu marah begitu...pukulun Indra tidak mungkin melakukan hal semacam itu tapi aku rasa ia telah termakan kata-kata Resi Wiswa. Resi Wiswa telah mendoktrin pukulun Indra agar beliau bisa segera menjadi ajudan kahyangan disamping pukulun Wrehaspati lalu beliau akan mendepak pukulun.” Makin kesal hati sang batara Bayu. Ia lalu bertanya “dimana si Wiswa itu sekarang?” Batara Dwapara mengatakan bahwa sekarang Resi Wiswa sedang bersma Batara Indra di luar tempat pesta. Maka berangkatlah Batara Bayu. Sementara itu batara Dwapara kembali ke istananya di Kahyangan Tunjungkresna dan tertawa senang karena rasa iri hatinya kepada para dewa Jonggring Saloka telah terlampiaskan. Tak lama lagi dua dari para dewa itu akan saling bermusuhan satu sama lain.

Resi Wiswa dan Batara Indra saling berhadapan di pendapa Bale Marakata. Lalu batara Indra menodongkan keris ke hadapan Resi Wiswa seraya berkata “Wiswa sahabatku...apakah dalam hatimu ada secuil dendam padaku karena aku membunuh kakakmu?” terkejut Resi Wiswa namun dengan santainya Resi Wiswa menurunkan keris sang batara lalu berkata  “sabahabtku pukulun Indra....apakah di mata pukulun, saya terlihat sebagai pendendam? Untuk apa pula saya menaruh dendam pada pukulun, lebih-lebih lagi pada kakak saya yang jelas-jelas ingin menyamakan dirinya dengan Sanghyang Widhi, Gusti kang Murbeng Jagat? Saya sudah berulang kali mengingatkannya agar tidak salah jalan namun ia tetap memilih jalannya sendiri...saya tak berdaya namun saya yakin suatu saat ia akan sadar namun takdir berkata lain...ia justru menemukan kebebasan dri belenggu nafsu dan kotornya alam mayapada lewat tangan pukulun...sejujurnya saya yang iri, kakang Writrasura yang sedemikian jahat dan kejamnya mendapat kehormatan bisa terbebas dari kehidupan fana melalui pukulun sendiri....” tergetarlah hati batara Indra....sahabatnya sendiri terbukti tulus dan ikhlas, tidak ada dendam kepadanya. Batara Indra sadar bahwa Resi Wiswa sudah mencapai pencerahan rohani yang tertinggi. Batara Indra merasa ia telah diperdayakan kata-kata batara Dwapara. Tak dinyana tak diduga, datang angin kencang. Tangan sang batara Indra yang saat itu memegang keris terdorong lalu menusuk dan menggorok leher Resi Wiswa. Seketika itu pula Resi Wiswa roboh. Batara Indra terkejut dan menangis, merasa sangat berdosa. Ia tanpa sengaja membunuh sahabatnya dengan tangannya sendiri. Resi Wiswa dengan sisa-sisa kesadarannya menenangkan sahabatnya “sahabatku...tenangkanlah hatimu...tabahkanlah jiwamu....mungkin ini pula takdirku....bisa mati di tanganmu....aku merasa sangat senang....” tak lama kemudian Resi Wiswa meninggal dunia dengan tenang. Batara Indra menangis keras.... hujan turun dengan lebatnya.....sang batara mencoba membangunkan Resi Wiswa namun tak berhasil. Sahabtnya kini telah pergi. Ia terus merasa berdosa. Tak lama kemudian para dewa termasuk Batara Guru dan Batari Durga datang. Lalu Batara Indra menoleh ke belekang ke arah angin berasal. Rupanya ada Batara Bayu. Batara Indra marah dengan kelakuan adiknya itu “Bayu, apa yang kau perbuat? “ “aku coba membebaskan kakang dari ucapan yaksa busuk itu.” “busuk katamu? Resi Wiswa yang agung dengan legawa berterus terang tentang isi hatinya. Apakah yang telah merasukimu hingga membuat aku membunuh orang tidak bersalah?” perkataan Batara Indra membuat Batara Bayu berang lalu melemparkan angin kencang kearah Batara Indra. 

Karena saking sedih dan marahnya, batara Indra meluapkan segala emosinya kepada Batara Bayu, Keduanya lalu bertengkar dansaling berperang. Alam menjadi murka. Angin topan prahara dan badai halilintar beradu di marcapada. Tiga dunia dilanda kekacauan. Lalu Batara Guru, Batara Semar dan Batara Wisnu melerai pertarungan kedua dewa itu. Batara Semar lalu berkata “Kalian benar-benar memalukan! Kalian mudah sekali diadu musang berbulu ayam hingga tanpa sadar kalian telah membuang dharma dan kesopanan. Kalian bahkan mengabaikan jasad orang suci hanya karena perkelahian tidak penting seperti ini. Ditaruh dimana muka kalian?!” “benar apa yang dikatakan oleh kakang Semar, kalian mudah diadu domba. Saya sangat kecewa dengan perbuatan kalian” tukas Batara Guru. Batara Indra dan batara Bayu sadar. Malu mereka bertarung hingga melupakan persaudaraan dan dharma kesopanan karena hasutan Batara Dwapara. Batara Bayu dan Batara Indra murka dan melontarkan kutuk pasu bahwa kelak batara Dwpara akan menitis dan pada setiap penitisannya akan mati dengan cara yang sangat hina. Lalu para dewa semuanya segera menyiapkan upacara ngaben untuk Resi Wiswa.

Hari demi hari Batara Indra dirundung perasaan bersalah. Ia merasa seakan dikejar dosa. Maka ia sengaja meninggalkan kahyangan dan mengasingkan diri ke dasar danau. Rasa berdosa melingkupi hati sang raja bidadari itu. Langit seakan ikut merasakan rasa itu. Awan mendung berarak-arak menutupi sinar matahari. Di berbagai tempat, hujan turun dengan deras dan banjir tak surut-surut. Badai halilintar dan petir menyambar orang-orang dan hutan. Di tempat lain, badai es dan salju menenggelamkan puncak gunung-gunung dan mengubur dataran rendah di bawahnya sampai membeku. Panen menjadi gagal dimana-mana. Danau tempat Batara Indra mengasingkan diri menjadi sangat angker. Istri Batara Indra, Dewi Saci menjadi khawatir begitu juga penghuni kahyangan yang lain. Di tempat lain, Prabu Nahusa, raja Kandaparasta sudah mulai sepuh dan telah dikaruniai dua putra dari pernikahannya dengan Dewi Asokasundari yakni Resi Yati dan Raden Yayati. Resi Yati tidak berniat menjadi raja, lebih menyukai hidup tenang dan mendalami ilmu kerohanian maka takhta Kandaparasta diserahkan kepada Raden Yayati suatu hari nanti.

Kahyangan sedang kalang kabut karana ketiadaan Batara Indra sebagai dewa cuaca dan raja para bidadari. Tak ada yang tau kapan ia kembali dari pengasingan. Maka diadakan persidangan untuk melantik raja para bidadari yang baru. Batara Bayu mengusulkan agar Prabu Nahusa saja yang menjadi raja bidadari yang baru. Namun Batara Kala lebih mengusulkan agar cucunya yang bernama Prabu Kalayuwana saja yang menjadi raja. Kini gantian Batara Brahma yang berpendapat. Ia mengusulkan agar putranya yang sudah lama kembali ke kahyangan dari alam bumi yakni Prabu Bremana. Akhirnya diadakan undian. Setelah undian tersebut, yang keluar terbanyak adalah Prabu Nahusa. Maka para dewa sepakat bahwa Prabu Nahusa dari Kandaparasta akan dilantik sebagai raja bidadari menggantikan Indra. Maka batara Wrehaspati diutus turun ke bumi menjemput Prabu Nahusa. Prabu Nahusa merasa terhormat untuk dipanggil menjadi pengganti Batara Indra. Maka ia menyiapkan kendaraan untuk naik ke kahyangan. Ia menyiapkan sebuah joli namun dengan semena-menanya, ia memaksa para resi dan pendeta untuk mengangkat joli itu. Walaupun dipaksa, para resi dan pendeta bersedia mengangkat Prabu Nahusa ke kahyangan dengan kekuatan yogi mereka. Di sepanjang jalan, para resi minta untuk istirahat namun Nahusa tidak mengijinkan karena ingin merasakan enaknya kehidupan kahyangan. Maka dengan kepayahan, para resi memanggul itu joli.

Di kahyangan, Batara Wisnu menyaksikan dari kejauhan Prabu Nahusa memaksa para resi memanggulnya dengan joli. Lalu ia melaporkan itu ke Batara Guru dan Batara Semar “Nahusa benar-benar mencobai kesabaran kita, kakang Semar. Sudah mau jadi dewa saja sudah sepongah itu.” “benar dinda Manikmaya, lagipula para resi tidak pantas diperlakukan begitu. Kita harus menghentikannya. Anakku, Wisnu. Cepat bujuk kembali Indra untuk menghentikan Nahusa” singkat cerita, Batara Wisnu mencari Batara Indra di danau. Di sana Batara Indra bersemadhi melakukan tapa memohon ampun kepada Sanghyang Widhi. Batara Wisnu berusaha membangunkan tapa Batara Indra namun ia tak tergetarkan bahakan bergeming pun tidak. Tak ada pilihan lain, Batara Wisnu harus ikut bertapa dan masuk ke dalam pikiran Batara Indra. Di dalam alam pikiran, mereka saling bertarung argumen “kanda Indra, kembali lah ke kahyangan.” “tidak akan Wisnu, dosaku membunuh Wiswa tak terampunkan.” “dosa kakang akan semakin tak terampunkan bila meninggalkan amanah. Sekarang Nahusa sedang mengincar takhta kanda..” Batara Indra berkata tak peduli lagi dengan takhtanya malah merelakannya. batara Wisnu tak kurang akal. Ia mengatakan bahwa Nahusa tak akan menjadi pemimpin yang baik dan suka semena-mena lalu ia memberi penglihatan bahwa saat ini Nahusa sedang memaksa para resi memanggulnya di atas joli sebagai bukti. Batara Indra mulai luluh dan menimbang bahwa yang diperlihatkan oleh Batara Wisnu itu benar. Maka ia segera bangun dari tapa bratanya dan segera

Batara Indra menghukum Prabu Nahusa
memanggil Gajah Erawata. Batara Indra kembali ke takhtanya. Saat Prabu Nahusa sudah sampai di pintu gerbang kahyangan, Batara Indra segera melemparkan kilat dan halilintar ke arahnya. Tak pelak, Nahusa tersambar petir dan ia jatuh dari joli. Ia jatuh lalu lenyap menjadi ular karena di saat demikian batara Indra memberinnya kutuk pasu bahwa ia tak akan diterima di langit, bumi, surga, dan neraka sebagai manusia melainkan sebagai ular. Hanya keturunannya lah yang mampu membebaskannya kelak beratus tahun kemudian. Sekali lagi, Batara Indra berhasil mengalahkan kesombongan dan kepongahan Prabu Nahusa yang telah bersombong diri dengan bertindak semena-mena pada para resi dan pendeta.

Rabu, 16 Juni 2021

Kemelut Jawadwipa : Akhir Kisah Cingkaradewa dan Adhege Kandaparasta

 

Salam semua, para pembaca budiman. Sudah lama penulis tak memposting tulisan baru lagi. Kali ini penulis melanjutkan kisah sebelumnya. Dalam kisah ini, penulis menghubungkan leluhur Pandawa-Kurawa dari versi India dan versi Jawa. Kisah ini menceriterakan masa muda putra Batara Sadana, Arya Suganda dan pernikahannya dengan Niken Raketan, anak Resi Brikhu yang dulu pernah diasuh Dewi Sri, kakak Batara Sadana. Kelak dari pernikahan mereka, akan lahir salah satu leluhur (karuhun) dari Pandawa dan Kurawa dari Trah Wirata. Kisah ini juga dilanjutkan dengan hancurnya negeri Medanggalungan juga berakhirnya riwayat Prabu Cingkaradewa dan penyimpangan seksualnya. Kisah diakhiri dengan datangnya Prabu Nahusa dan berdirinya kerajaan Kandaparasta, salah satu kerajaan leluhur Trah Baharata dan Yadawa yang juga karuhun Pandawa-Kurawa. Kisah ini bersumber dari blog albumkisahwayang.blogspot.com, serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita dan Kitab Mahabharata kara Mpu Vyasa.

Arya Suganda Krida

Arya Suganda, anak dari Batara Sadana dan Dewi Laksmitawahini sejak bayi dititipkan ke Raden Wandu (Srimahawan) sesuai wasiat dengan sang ayah. Kini ia telah beranjak dewasa dan ingin mencari jodohnya. Maka diam-diam tanpa diketahui ayah asuhnya, ia pergi mengembara, ketika melewati Desa Wasutira, desa itu didatangi banyak perampok maka ia menghalau para perampok itu meskipun terlalu banyak Arya Suganda terus menyerang para perampok dengan segala kesaktiannya. Banyaknya rintangan dan cobaan yang dihadapi membuat ia kelelahan ketika berhasil mengalihakn pertarungannya ke pinggir hutan desa Wasutira. Tak ada satupun orang yang berani  menolong karena hutan itu wingit dan angker bahkan di siang hari. Hanya orang yang benar-benar punya nyali yang mau masuk ke dalam hutan. Para perampok berhasil dikalahkan namun Arya Suganda akhirnya pingsan karena terlalu letih dan lelah.

Cinta bersemi di Wasutira

Sang kepala desa Wasutira, Kyai Brikhu bersama putrinya, Niken Raketan baru saja pulang berniaga ke negeri sebrang malam itu melewati hutan desa. Tiba-tiba  mereka terkejut ada pria tergeletak di pinggir hutan desa. Setelah diperiksa, ternyata masih hidup. Mereka segera membopong orang itu. begitu sampai di rumah, Niken Raketan segera merawat pria itu. Beberapa hari kemudian, pria itu bangun lalu ia melihat sekitar lalu karena tak kuat bergerak ia jatuh. Niken Raketan yang hendak ke kamar pria itu kaget  “ehh...sudah bangun ki sanak? Mari ikut aku, sudah dua hari ki sanak tidur dan belum makan.” “terima kasih Ni sanak.” Setelah makan mereka saling berknalan “ni sanak perkenalkan, aku Suganda dari Purwacerita. Aku seorang pengembara. Kalau boleh tau siapa nama ni sanak.” “namaku Raketan, Niken Raketan. Ayahku kepala desa ini. Ki sanak masih kelihatan lelah, beristirahatlah barang beberapa hari disini” “terima kasih, ni sanak.” singkat cerita, Arya Suganda menetap sebentar di desa Wasutira. Di sana ia selain membantu keamanan desa, ia juga membantu Kyai Brikhu untuk berdagang. Kedekatan Arya Suganda dan kelurga Kyai Brikhu semakin rapat terutama dengan Niken Raketan. Setiap kali bertemu pandang, mereka sama-sama tersipu. Agaknya benih-benih cinta muncul diantara Arya Suganda dan Niken Raketan. Kyai Brikhu terkesan sekali dengan rajinnya Arya Suganda. Kyai Brikhu juga nampaknya melihat gelagat sang putri dan Arya Suganda. Akhir-akhir ini mereka kadang berduaan di taman dan di perigi di tengah desa. Dengan melihat hal demikian saja, sang kepala desa Wasutira itu mengajak baik-baik anaknya dan Arya Suganda. Kyai Brikhu dan istrinya akhirnya menyetujui hubungan sang anak dengan Arya Suganda bahkan mempertimbangkan tentang pernikahan mereka kelak.

Pada suatu hari, datanglah pasukan Medang Galungan ke desa Wasutira. Mereka ingin mengambil salah satu pemuda tampan dari desa itu untuk dijadikan pemuas hasrat seksual Prabu Cingkaradewa Purwacandra. Jelas saja tak ada satu pun yang mau anak laki-laki mereka jadi pemuas nafsu bejat raja berperilaku sedeng itu. karena tak ada yang mau, maka pasukan Medang Galungan segera mengobrak-abrik desa. Desa porak poranda dan dibakar pasukan Medang Galungan dengan beringas. lalu terdengrlah suara seseorang “hentikan!” lalu datang sang pemilik suara, Arya Suganda “kalian memaksakan kehendak. Kalau tidak ada yang mau, ya jangn mengganggu ketentraman desa ini. lagipula, bisa-bisanya prajurit-prajurit seperti tuanku semua mau menuruti hasrat rusak prabu kalian. Dosa kalian akan ikut bertambah banyak” Para prajurit hanya diam saja namun salah satu dari mereka berteriak “Persetan dengan dosa, kalau tidak ada yang mau, lebih baik kau saja yang  akan kami bawa!” seketika para pasukan Medang Galungan mengeroyok Arya Suganda. Tak terima dikeroyok,maka ia melawan para prajurit itu. satu dua prajurit berhasil dikalahkan namun karena kalah jumlah, maka terdesak juga ia.

Brahmana Wisaka

Di saat yang bersamaan, datanglah seorang brahmana sakti disertai empat puluh muridnya yang semuanya cantik dan tampan. Sang brahmana yang melintasi desa Wasutira bertanya pada penduduk apa yang terjadi. Para penduduk berkata ada yang sedang bertarung dengan prajurit Medang Galungan yang ingin mencari pemuda pemuas syahwat raja mereka. Sang brahmana melihat seorang pemuda yang dikeroyok tiga puluh orang, maka ia segera membantu pemuda itu dan dengan kesaktiannya ia membuat para prajurit itu limbung dan lari kucar-kacir. Pemuda itu berterima kasih “terima kasih, tuan brahmana. Tuan sudah membantu saya.” “sama-sama, anak muda. Kalau boleh tahu, dimanakah rumah kepala desa ini? saya ingin minta izin untuk mendirikan padepokan di tempat ini.” “saya tahu dimana kepala desa ini. kebetulan saya juga bekerja di rumahnya. Nama saya Arya Suganda.” Singkat cerita, Arya Suganda mengantarkan brahmana itu ke rumah Kyai Brikhu.“saya Brahmana Wisaka dari negara seberang. Saya dan keempat puluh murid saya mendapat wangsit untuk menyebarkan ilmu baca tulis dan pengetahuan dharma di negeri ini. kami mohon kerjasamanya, pak kepala desa” “dengan senang hati, saya akan sangat tersanjung bila tuan brahmana mau mengajar di desa ini, syukur-syukur apabila nanti raja di negeri ini sudi menjadikan padepokan tuan brahmana sebagai pusat pendidikan.” singkat cerita, Brahmana Wisaka mendirikan padepokan dan di sana diajarkan berbagai tata baca dan tulis yang baru. Brahmana Wisaka mengajarkan Bahasa Sangsekerta dan Aksara Kawi, turunan dari aksara Dewanagari dan Pallawa yang dahulu dipakai. Singkat kata, padepokan Brahmana Wisaka semakin besar hingga membuat Prabu dari Wirata yakni Prabu Basupati tertarik dan ingin berguru padanya. Hal itu diikuti dengan Prabu Brahmasatapa dari Gilingwesi beserta putra-putri dan Prabu Srimahawan dari Purwacerita. Prabu Srimahawan yang kebetulan sedang menimba ilmu di sana akhirnya kembali bertemu dengan Arya Suganda, sang putra kakaknya yang minggat berbulan-bulan. Rasa sukacita sang prabu bertambah lagi dengan rencana pernikahan Arya Suganda dengan Niken Raketan. Maka pada hari yang baik, dilangsungkanlah pernikahan putra Batara Sadana dengan anak asuh Dewi Sri itu. Setelah hari bahagia itu, Prabu Basupati meresmikan desa Wasutira naik derajat menjadi karesian Wasutira. Kyai Brikhu dilantik menjadi pemimpin karesian itu bergelar Resi Brikhu dan Brahmana Wisaka menjadi guru agung.

Prabu Cingkaradewa Menculik Para Pemuda Karesian

Prabu Cingkaradewa Purwacandra, sang penguasa tunggal Jawadwipa merasa gusar karena sudah lama tiga raja bawahan yakni Wirata, Gilingwesi, dan Purwacerita tidak menghadap ataupun memberikan pemuda pemuas nafsnya. Hal itu semakin diperkeruh dengan adanya kabar di desa Wasutira ada padepokan besar yang muridnya lebih dari seribu orang. Maka sang maharaja Jawadwipa itu datang sendiri ke tempat itu. diiringi ratusan pengawal yang tampan-tampan dan gagah, ia datang ke desa Wasutira. Ketika sampai di sana, Desa Wasutira kini bukan desa kecil lagi tapi sudah berubah menjadi karesian, pusat pendidikan yang besar. Merasa karesian itu akan merongrong wibawa Medang Galungan, Prabu Cingkaradewa Purwacandra membuat kerusuhan dengan menculik pemuda-pemuda tampan di sana untuk disetubuhi.

Lama kelamaan resahlah para penduduk dan murid karesian Wasutira termasuk keluarga tiga raja Jawadwipa yang sedang menimba ilmu di sana. Brahmana Wisaka segera menerawang dari mata batin. Dalam penglihatannya, ada seorang prajurit yang menculik seorang pemuda tampan dan sang prajurit menyerahkan pemuda itu kepada sorang lelaki dan dengan bejatnya, lelaki itu memperkosa pemuda itu. Brahmana Wisaka, Resi Brikhu, dan Arya Suganda segera mendatangi pria itu. Saat mereka menuju tempat lelaki itu, mendadak mereka diserang prajurit Medang Galungan.

Prabu Cingkaradewa menantang Brahmana Wisaka
 Mereka dikeroyok banyak orang. Karena tak ingin membuat ribut, ketiga orang itu menggunakan aji Pedut Seta, dan segera meninggalkan para prajurit yang terjebak kabut dari ajian itu.  Ketika itu, mereka menyadari bahwa pria itu tak lain adalah Prabu Cingkaradewa Purwacandra. Brahmana Wisaka bertanya pada apa keinginan sang prabu kenapa sampai-sampai menculik para pemuda, sang prabu menjawab untuk memuaskan nafsunya. Ia melihat para pemuda itu sebagai gadis cantik. Sang prabu juga berkata dengan berdirinya Karesian Wasutira ia merasa wibawa Medang Galungan akan jatuh. Karena sang brahmana Wisaka ingin menghindari keributan, maka Brahmana Wisaka mengajak Prabu Cingkaradewa Purwacandra untuk beradu kepandaian. Jika ia kalah, maka ia bersedia menjadi pemuas nafsu sang raja tapi jika sang prabu kalah, maka tiga negara besar Jawadwipa harus dimerdekakan.

Hukuman untuk Raja Homoseks

Dilangsungkanlah adu kepandaian antara Brahmana Wisaka dan Prabu Cingkaradewa Purwacandra di keraton Medang Galungan. Setelah beberapa babak, Prabu Cingkaradewa mengakui kecerdasan dan kepandaian Brahmana Wisaka diatas kepandaiannya. Karena kalah, Prabu Cingkaradewa Purwacandra dengan berat hati memerdekakan tiga negara besar Jawadwipa. Hal ini membuat jiwanya tergoncang hebat. Di saat yang sama tiba-tiba datang seorang jin bernama Jalegi, utusan Batara Kala merasuki Prabu Cingkaradewa Purwacandra dan membuat keonaran. Dengan kekuatan dan kesaktiannya, ia menggunakan tubuh raja homoseks itu untuk menghukum sang prabu yang sedeng itu dengan menghancurkan seisi kerajaan Medang Galungan dan membunuh Brahmana Wisaka. Namun, Brahmana Wisaka berhasil menundukkan jin itu. jin itu lallu berkata lewat tubuh sang prabu “hei, brahmana agung! Ampuni aku tapi Jangan ganggu tugasku. Aku diutus pukulun Batara Kala atas perintah Batara Guru untuk membawa orang ini ke neraka sebagai hukuman kerena sifat sedengnya. Sudah terlalu lama keturunan Watugunung ini merusak tatanan hidup di negeri ini.” “jika itu perintah dari para dewa, maka aku tidak bisa menghalangimu.” Maka Brahmana Wisaka beserta Resi Brikhu dan Arya Suganda segera pergi dari keraton dan kembali ke karesian. Amukan sang prabu kembali menguat bahkan tak terbayangkan dahsyatnya. Bahkan, sang prabu yang sedang kerasukan itu merapal ajian terlarang yakni ajian tapak Agnibrahma yang mampu membuat satu negara terbakar dan lebur menjadi debu.

Berakhirnya Medang Galungan

Ketika sampai di karesian, Brahmana Wisaka, Resi Brikhu dan Arya Suganda melihat dari puncak gunung tanda-tanda tidak baik. Tepat di atas langit kerajaan Medang Galungan, muncul meteor sebesar keraton Wirata berapi hendak menghujam bumi. Brahmana Wisaka dan yang lainnya segera turun dan mengajak semua orang di karesian termasuk Prabu Basupati, Prabu Srimahawan, dan Prabu Brahmasatapa beserta keluarga mereka dan para penduduk untuk sembunyi di bawah tanah dan bersemedi memohon perlindungan Hyang Widhi. Lalu terdengarlah suara yang keras mengguntur.dari celah-celah ruang bawah tanah, mereka melihat cahaya yang sangat terang. Sementara itu, kerajaan Medang Galungan kejatuhan meteor besar dan langsung hancur berkeping-keping. Keratonnya terjungkir balik lalu terbakar hebat bersama Prabu Cingkaradewa Purwacandra di dalamnya. Ini persis seperti kutukan Batara Guru yang pernah diberikan pada sang prabu. Kerajaan tetangga seperti Wirata, Gilingwesi, dan Purwacerita ikut terkena dampak dengan bumi disana ikut bergegar namun untungnya tidak meninggalkan dampak yang parah sehingga selamatlah kerajaan-kerajaan itu. Kini, habislah riwayat Medang Galungan dengan bersama dengan sifat sedeng sang prabu. Selang beberapa hari, keanehan terjadi, Puing-puing  sisa kerajaan Medang Galungan yang hancur mendadak tertutup hutan lebat dan sangat rapat seakan tak pernah ada di dunia. Tiga kerajaan besar Jawadwipa kembali berdaulat sebagai negara merdeka.

Adhege Kandaparasta

Setelah beberapa tahun di Jawadwipa, Brahmana Wisaka merasa sudah saatnya ia kembali ke Tanah Hindustan. Maka ia berpamitan dengan para raja, Resi Brikhu dan Arya Suganda.

Adhege Kandaparasta
 Namun sebelum ia pergi, ia menyuruh salah satu muridnya, Bambang Nahusa untuk tetap tinggal di Jawadwipa ”Nahusa, aku melihat kamu berjodoh dengan Jawadwipa. Maka sebaiknya kamu menetap disini. Dirikanlah kerajaan di tepi bengawan Yamuna dan kelak anak keturunanmu akan menjadi mulia bersama para raja disini.” “jika memang ini perintah guru, aku akan melakukan sebaik yang ku bisa.” Maka ditinggalkanlah Resi Nahusa dan singkat cerita, setelah mempelajari ilmu politik dan tata negara dari para raja, ia mulai membabat hutan di pinggir Bengawan Yamuna. Setelah itu ia mendirikan kota bernama Kandaparasta dan menjadi raja disana bergelar Prabu Nahusa.

Di dekat bengawan Yamuna, hduplah seorang yaksa bernama Ditya Hunda. Ia gemar membuat para dewa kerepotan dan kali ini ia menculik salah satu bidadari yakni putri satu-satunya Batara Guru dan Batari Durga yang bernama Dewi Asokasundari. Dewi Asokasundari mengutuk Hunda “hei raksasa, kamu akan menerima hukuman para dewa. Kelak calon suamiku akan datang menjadi penyebab kematianmu!” Ditya Hunda tertawa-tawa dengan sombong dan berkata “aku tidak taku...akan ku goreng calon suamimu itu kalau dia muncul kemari.” Tahun demi tahun berlalu, lama-lama kota Kandaparasta semakin besar dan mulai membabat sebagiah hutan tempat Ditya Hunda tinggal. Ditya Hunda terganggu dan mulai menculik beberapa gadis untuk dijadikan tumbal ajian peletnya. Prabu Nahusa mulai resah dengan hilangnya beberapa gadis di hutan dan memutuskan untuk mendatangi hutan tempat para gadis sering diculik. Di hutan, ia bersemadi dan mendapat wangsit dari Sanghyang Widhi. Wangsit itu mengatakan di hutan itu ia akan bertemu calon istrinya yang kini diculik sorang yaksa.

Ditya Hunda Perlaya

Sementaraitu, Ditya Hunda melihat ada cahaya pelangi di hutan dekat guanya. Maka ia mendatangi asal pelangi itu dan menemukan seorang pria tampan sedang bersemadi. Ia lalu mencoba mengacau sang pria. Lalu sang pria itu bangu dan berkata “ Hei Yaksa...beraninya kau mengganggu semadiku.” Ditya Hunda berkata dengan ketus “memang itu urusanmu . aku bebas mengganggu siapa saja termasuk para dewa.” “oohh berarti kau juga yang mengganggu ketentraman negeriku dengan menculik beberapa gadis?” “kalau iya, memang kenapa?” “rupanya kau....para dewa telah mempertemukan kita disini. Sebaikanya kau menyerah baik-baik kalau tidak mau hidupmu berakhir.” Ditya Hunda jemawa dan berkata ia tidak takut. Maka terjadilah perang tanding antara Prabu Nahusa dan Ditya Hunda. Ditya Hunda terus brusaha menggigit leher Prabu Nahusa namun sang prabu terus menghindar dan mampu membuat sang yaksa terdesak. Lalu Ditya Hunda mengeluarkan ajian Dityagni yang membakar apa saja. sementara Prabu Nahusa menancapakan tongkatnya dan merapal ajian Tirta Dewani. Maka keluarlah gelombang air raksasa menghancurkan api sang yaksa dan menjebaknya di dalam air. Ditya Hunda tak mudah dikalahkan karena ia mampu keluar dari perangkap air, lalu sang yaksa buas itu segera mengeluarkan ajian Gelap Sewu. Maka muncul berbagai halilintar dan kilat menyambar hutan membuat pandangan dan pendengaran sang prabu menjadi kabur. Di saat demikian, Ditya Hunda berhasil melayangkan pukulan ke wajah sang prabu. Karena sang Prabu terus didesak, maka ia mengeluarkan ajian pamungkasnya. Ia merapa ajian Toyahima dan keluarlah tombak-tombak es dan menyayat seluruh tubuh Ditya Hunda. Tombak terakhir akhirnya menancap ke leher Ditya Hunda dan berhasil membunuh sang yaksa itu.

Pernikahan Nahusa dan Asokasundari

Prabu Nahusa segera menuju gua dan melihat banyak anak gadis disekap dalam kurungan. Sang prabu segera membebaskan mereka. Lalu datang seorang perempuan cantik menyerang Prabu Nahusa. Prabu Nahusa menahannya dan mereka pun bertarung. Meski peremuan, ia bisa membuat Prabu Nahusa kuwalahan namun karena sang perempuan agak lengah, sang prabu akhirnya bisa mendesak perempuan itu. lalu perempuan itu kalah. Lalu mereka saling memandang. Tanpa sadar, prabu Nahusa jadi terpesona, begitu juga si perempuan. Lalu mereka berkenalan “ni sanak, siapakan dikau? Dilihat dari sisi manapun kamu bukan perempuan dari negeri ini.” "aku Asokasundari. Aku bukan dari negeri ini. aku sebenarnya bidadari. Aku putri ayahanda Batara Guru dengan ibunda Durga. Aku disekap Hunda saat ia menyerang kahyangan bersama Prabu Sumba dan Nisumba. Tuanku jua rasanya bukan berasal dari Jawadwipa ini. siapakah tuanku sebenarnya?” Prabu Nahusa lalu mengenalkan dirinya “aku Bambang Nahusa, putra Resi Hayu, cucu Prabu Pururawa dari Hindustan. Menurut penuturan ayahku, Aku masih cucu keturunan Resi Sucandra alias Maharesi Anggiras dari putranya yang bernama Begawan Buda. Menurut penuturan ayahku pula, leluhurku masih darah keturunan Batara Brahma. Walau leluhurku dari Jawadwipa ini, aku lahir di Hindustan lalu guruku, Brahmana Wisaka memerintahkan aku untuk tinggal dan mendirikan kota baru di Jawadwipa ini.”

Prabu Nahusa dan Permaisuri Asokasundari
 Singkat cerita, setelah perkenalan itu, Dewi Asokasundari dan Prabu Nahusa bersma-sama membebaskan para gadis dan membesarkan kerajaan Kandaparasta. Dewi Asokasundari bahkan menjadi kerani (juru tulis) kerajaan. Lama-lama setelah mengenali watak masing-masing, benih cinta tumbuh diantara mereka berdua. Pada akhirnya, mereka jatuh cinta dan akhirnya menikah. Pernikahan itu dihadiri tiga raja besar Jawadwipa, segenap rakyat dan bahkan para dewa turut meramaikan. Para dewa termasuk Batara Guru dan Batari Durga menaburkan kembang dari angkasa dan memerinthkan para dewa menabuh gamelan Lokananta di hari bahagia sang putri.

Senin, 29 Maret 2021

Kemelut Jawadwipa : Raja yang Liwath dan Kelahiran Bidadari Utama

 Matur Salam, para pembaca budiman. Kisah kali ini menceritakan tentang keadaan Jawadwipa yang diperintah seorang raja yang penyuka sesama jenis dan masih keturunan Prabu Watugunung sehingga membuat keadaan Jawadwipa laksana negeri yang amoral. Dikisahkan pula kelahiran dan masa muda Bambang Parikenan, leluhur Pandawa dan Kurawa dari pihak ayah, ambisi Ditya Sunda dan Upasunda untuk menguasai tiga dunia dan kelahiran para bidadari utama keturunan Batara Indra. Dikisah aslinya, delapan bidadari utama terlahir dari permata mustika lalu diaku sebagai para putri batara Indra, maka penulis sedikit mengubahnya dengan membuat para bidadari utama benar-benar anak biologis Batara Indra dan Dewi Saci. Kisah ini bersumber dari blog albumkisahwayang.blogspot.com, Serat Pustakaraja Purwa karya Raden Ngabehi ranggawarsita, dan Kitab Mahabharata bagian Adiparwa karya Mpu Vyasa dengan pengubahan dan pengembangan seperlunya. 

Raden Sahadewa Candra, Pangeran yang Gemar Liwath               

Kerajaan Medang Gotaka diperintah rajanya, Prabu Sindula. Dia bernama asli Arya Radeya, putra Prabu Watugunung dengan ibunya, Dewi Sintakasih. Setelah peristiwa aib itu, bayi Prabu Sindula dibawa dan diasuh Empu Pastima, anak Empu Gopa yang pernah dibunuh sang ayah. Di akhir pengembaraan, mereka membabat hutan Galungan dan mendirikan kota bernama Medang. Lama-lama negeri itu menjadi besar. Keraton pun dibangun tak lazim yakni di bawah tanah. Sang prabu menamai keratonnya itu Keraton Gotaka maka negerinya pun dinamai Medang Gotaka dan Empu Pastima menjadi patih sampai akhir hayatnya. Di dalam keraton bawah tanah itu penuh emas, permata, dan berbagai batu mulia. Sang prabu kemudian menikahi Dewi Tulus, putri sang paman, Arya Wukir yang juga dirawat Empu Pastima. Darinya lahir beberapa anak, yakni Raden Sahadewa Candra, Arya Dewaraka, Arya Jaladewata dan Dewi Ratna. Beberapa tahun kemudian, sang raja mendapat kabar bahwa Raden Sahadewa Candra bermesraan dengan seorang pemuda. Maka ia memastikan sendiri. Pada suatu malam, sang prabu memergoki putra sulungnya dan benarlah apa yang menjadi kabar itu, anaknya itu bermesraan dan bahkan bersanggama dengan prajurit jaga di taman sari. Maka murkalah sang prabu. Dilabraklah putranya itu lalu menamparnya dan berkata “kamu anak membawa aib. Enyah dari keratonku!...jangan kembali lagi!” terusirlah Raden Sahadewa Candra dari Gotaka

Takluknya Jawadwipa di tangan Raja yang Sedeng

Maka pergilah Raden Sahadewa Candra mengembara dan memperoleh kesaktian. Selang beberapa tahun, kerajaan Prabu Sindula diserang oleh kerajaan Bagacandra, kerajaan yang didirikan Raden Sahadewa Candra yang kini bergelar Prabu Cingkaradewa Purwacandra. Serangan demi serangan membuat Prabu Sindula putus asa dan akhirnya bunuh diri. Dewi Tulus dan Dewi Ratna ikut belapati dan kini  ikut gugur Raden Dewaraka dan Arya Jaladewata. Kerajaan Medang Gotaka akhirnya diduduki Prabu Cingkaradewa Purwacandra. Kerajaan Bagacandra digabungkan dengan Medang Gotaka. Kerajaan tetangga yakni Purwacerita, Gilingwesi dan Wirata yang membantu Kerajaan Medang Gotaka ikut ditaklukan. Raja Purwacerita yakni Prabu Srimahapungung tewas dan digantikan putranya, Raden Wandu, adik dari Dewi Sri dan Batara Sadana bergelar Prabu Srimahawan. Bersamanya pula raja Wirata yang baru yakni Prabu Basupati yang bernama asli Raden Brahmaneka, putra Prabu Basurata dan Raja Gilingwesi yakni Raden Tritusta bergelar Prabu Brahmasatapa, putra Prabu Bremana yang kalah dan tewas mengungsi ke Gunung Mahameru.

Begawan Rukmawati menasehati tiga raja Jawadwipa
Mereka bertiga berniat ikut bunuh diri menyusul ayah dan paman mereka namun dicegah oleh seorang biarawati bernama Begawan Rukmawati, putri Batara Anantaboga. “anak-anakku jangan berpikiran pendek begitu. Kelak akan datang masanya raja baru itu mendapat karmanya. Untuk sementara ini kalian harus bersedia menjadi bawahannya.” Ketiga raja itu akhirnya luluh dan akhirnya bersedia menyerahkan diri mengakui kedaulatan Prabu Cingkaradewa Purwacandra. Sejak saat itu tiga kerajaan besar di Jawadwipa menjadi telukan kerajaan Medang Gotaka-Bagacandra. Nama Kerajaan Medang Gotaka pun diganti menjadi Medang Galungan.

Siasat Membawa Sengsara

Setelah kembali ke Gilingwesi, Prabu Brahmasatapa kembali membangun negerinya. Ia segera menjemput istri-istrinya yang mengungsi. Lalu selang beberapa bulan , Dewi Widati dan Dewi Rajatadi nyaris bersamaan hamil dan sembilan bulan pun berlalu. Kehamilan mereka semakin tua. Namun yang semakin disayang sang prabu Gilingwesi pada hanya Dewi Widati. istri keduanya, Dewi Rajatadi sangat kesal dan iri dengan itu. maka ia membuat sebuah siasat agar Dewi Widati sengsara. Tibalah hari persalinan dan sang prabu sedang kunjungan ke Medang Galungan. Dewi Rajatadi sengaja tidak memanggil tabib dan membantu persalinan saingannya itu. maka lahirlah dari rahim Dewi Widati sepasang bayi kembar buncing. Tanpa sepengetahuan Dewi Widati yang tengah pingsan, Dewi Rajatadi menukar bayi kembar buncing dengan sepasang anak anjing dan membuang bayi yang dilahirkan Dewi Widati di hutan. Lalu Prabu Brahmasatapa pulang dan menanyakan dimana anakna yang baru lahir. Dewi Widati menunjukkan tempat bayinya idur. Ketika dilihat ternyata anak anjing. Marahlah Prabu Brahmasatapa “apa-apaan ini? kau telah menyebabkan aib bagiku. Anak yang kau lahirkan itu anak anjing bukan bayi manusia!” “aku bersumpah, kanda. Aku melahirkan bayi manusia bukan anjing.” Semakin murkalah sang prabu “lalu ini apa?” ketika Dewi Widati menengok ke ranjang bayi terkejutlah ia. Dewi Widati terus membela dirinya “sumpah kanda. Atas nama Hyang Widhi, aku melahirkan bayi bukan anak anjing. Ada yang sengaja membuat aib begini pada dinda.” “persetan dengn Hyang Widhi! Faktanya yang kau lahirkan itu anjing bukan manusia.” Lama-lama kemarahan sang prabu memuncak dan ia menusuk mata sang istri dengan pisau dan butalah mata sang istri itu dan diperintahkan para prajurit untuk membuang Dewi Widati ke hutan. Diam-diam Dewi Rajatadi menguping dan ia terlihat senang. dua hari kemudian, Dewi Rajatadi melahirkan bayi perempuan bernama Dewi Satapi. Kini, Dewi Rajatadi semakin bahagia. Setelah saingannya telah tersingkir, kini dengan lahirnya sang putri, ia bisa menjadi permaisuri tunggal di Gilingwesi. Namun, Hyang Widhi tidak tidur. Tanpa dipikirkan sang Dewi Rajatadi, bayi kembar buncing Dewi Widati ditemukan oleh Begawan Rukmawati dan diangkat menjadi anaknya. Kedua anak itu oleh Begawan Rukmawati diberi nama Bambang Parikenan dan Dewi Srini.

Musuh Baru para Dewa

Sementara itu, Kahyangan cerah ceria setelah peperangan antara Ditya Sumba dan Ditya Nisumba dimenangkan oleh pasukan para dewi. Namun kedamaian itu tak seberapa lama. Hari itu, Batara Indra dan patihnya, Batara Wrehaspati datang ke istana Iswaraloka, tempat Batara Guru. Sang dewanya para bidadara dan bidadari itu mengabarkan kabar yang agak tidak mengenakkan “ampun ayahanda Batara.... ada kabar tak mengenakkan. Di Marcapada ada dua yaksa kembar, Ditya Sunda dan Upasunda yang tengah tapa brata.” “lalu apa yang kamu risaukan, Indra? Toh setiap makhluk di marcapada ini berhak melakukan tapa brata.” Batara Indra lalu melanjutkan “Tapi Ayahanda batara, tujuan mereka bertapa brata itu untuk menguasai seluruh dunia ini. kakanda batara Brahma mengabulkan permintaan mereka. Mereka meminta kekuatan tiada tara dan kedigjayaan.” Batara Guru terkesiap namun dia tetap tenang. Ia memohon diri sejenak untuk semadi. Dengan pandangan mata ketiga miliknya, ia melihat ke masa depan bahwa dua yaksa kembar itu dikalahkan karena berebut seorang bidadari cantik, keturunan dari Indra dan istrinya, Saci dengan bunga ratna di selipkan di mahkotanya. Lalu Batara Guru terbangun dan memberitahukan apa yang dilihatnya. Batara Guru menyarankan “Indra, putraku....kau harus turun ke marcapada bersama istrimu. Pergilah ke hutan Sunyawibawa dan carilah tujuh buah bunga ajaib. Setelah itu biarkan Sanghyang Widhi yang menentukan takdir untukmu.” Perintah pun ditaati.

Resi Sakra

Tersebutlah di tengah hutan Sunyawibawa, hiduplah sepasang suami istri bernama Resi Sakra dan Nyai Indri. Mereka adalah sepasang tabib dan ahli pengobatan ternama di Kerajaan Purwacerita dan sekitarnya. Para raja begitu hormat padanya, mulai dari Prabu Cingkaradewa Purwacandra dari Medang Galungan yang menyukai sesama jenis, Prabu Brahmasatapa dari Gilingwesi, Prabu Basupati dari Wirata, bahkan Prabu Srimahawan sendiri. Keempat raja itu suka berobat ke sana. Tak sekadar berobat, Prabu Srimahawan bahkan sering bertukar pikiran dengannya.

 

Pencarian Tujuh Bunga Ajaib

Pada suatu hari, tiba saatnya Resi Sakra menjelaskan maksud kedatangannya pada sang Prabu Purwacerita “ampun Sang Prabu. Kedatangan hamba di hutan Sunyawibawa ini ingin mencari tujuh bunga sakti. Bunga-bunga itu akan ku persembahkan pada para dewa. Apakah Sang Paduka tau dimana adanya?” “seperti apa rupa bunga-bunga itu, tuan Resi?” Resi Sakra menjelaskan jenis-jenis bunga itu yakni, bunga padma berwarna emas, bunga tunjung berwarna biru keperakan, bunga gambir hutan terlarang, bunga ratna* bertatahkan biji wijen, bunga mawar merah merona, bunga melati kuning, dan mayang pohon aren paling harum. “hmmm bunga-bunga itu nampaknya susah untuk dicari. Mungkin aku harus meminta bantuan para raja yang lain.” singkat cerita, Prabu Srimahawan, Prabu Basupati, Prabu Brahmasatapa dan Prabu Cingkaradewa Purwacandra saling bertemu dan membicarakan apa yang diinginkan Resi Sakra. Lalu tiba-tiba muncul tujuh cahaya seperti pelangi di penjuru Jawadwipa. Para raja merasa itulah benda-benda yang Resi Sakra cari. Dengan kesaktian masing masing mereka segera melesat pergi. Singkat cerita, Prabu Srimahawan mendapatkan bunga melati kuning dan bunga gambir hutan terlarang. Sementara itu Prabu Basupati mendapatkan bunga mawar merah merona dan bunga padma emas. Prabu Brahmasatapa mendapatkan bunga ratna bertatah wijen dan bunga tunjung biru keperakan sedangkan Prabu Cingkaradewa Purwacandra mendapat mayang aren paling harum.

Kutukan dari Batara Guru

Di tengah perjalanan, Prabu Cingkaradewa Purwacandra bertemu seorang pengembara berwajah tampan. Jelas saja libido sang prabu naik. Lalu ia turun dari kudanya sambil berkata “hei nak bagus.....kemarilah nak. mau ikut denganku?” “tentu tuanku...suatu kehormatan besar bagi saya bisa ikut bersama tuan.” Si pemuda polos itu tidak tahu bahwa ia akan dijadikan pemuas nafsu. Akhirnya sang raja menemukan gubuk kosong dan mereka pun masuk. Sang raja segera membuka bajunya dan membuka paksa baju sang pemuda. Pemuda itu meronta-ronta menolak untuk digauli. Dengan kekuatan gendamnya, Prabu Cingkaradewa Purwacandra membuat si pemuda seakan bertekuk lutut. Lalu datang halilintar menyambar gubuk dan mengenai si pemuda itu. sang pemuda lalu bertukar wujud menjadi Batara Guru. Batara Guru mengutuk perbuatan Prabu Cingkaradewa Purwacandra “hei kamu, manusia bejat. Terimalah kutukanku. Akan datang kepadamu seorang maharesi yang menggulingkanmu dan kau akan terlempar ke neraka dengan terjungkir balik!” terbangunlah Prabu Cingkaradewa dengan bercucuran keringat. Lalu ia menemukan arca emas Batara Guru dan ternyata ia jadikan bantalnya saat tidur tadi. Maka ia segera bergegas menyerahkan mayang pohon aren itu kepada Resi Sakra.

Kelahiran Delapan Bidadari, keturunan Sakra

Setelah semua tumbuhan-tumbuhan itu, Resi Sakra segera meramu obat dari sari semua tumbuhan itu yang lalu dijadikan satu. Setelah obat itu jadi, Resi Sakra dan Nyai Indri segera meminumnya sebelum melakukan hubungan badan. Singkat cerita, empat bulan kemudian, Nyai Indri mengandung dan kehamilannya aneh. Dia tidak merasakan sakit ataupun perut membesar, melainkan hanya mual-mual saja. di masa-masa itu, para raja mengusulkan untuk mengirimkan sepasukan prajurit untuk melindungi sang resi dan istrinya namun Resi Sakra menolak dengan halus. Saat kehamilan bulan ke tujuh ketika mencari jamur hutan, tiba-tiba datanglah harimau besar menakuti Nyai Indri dan ia pun lari terbirit-birit. Saat sampai di rumah, Nyai Indri merasakan sakit perut tak tertahankan petanda akan melahirkan . Tanpa tabib maupun bidan, Nyai Indri bersalin dibantu sang suami, Resi Sakra. Lalu datanglah dari kahyangan para bidadara dan bidadari antara lain Dewi Urwaci dan Dewi Punjisatala. Mereka segera membantu jujungannya itu melahirkan sementara para bidadara mengamankan rumah sang resi. Singkat cerita, akhirnya Nyai Indri berhasil melahirkan dengan selamat. Rupanya ia melahirkan anak kesemuanya ada delapan putri. Mereka pun menamainya putri-putrinya itu. anak pertama bernama Dewi Supraba, yang kedua Dewi Tunjungbiru, lalu Dewi Wilotama atau Nilotama, Dewi Warsiki, Dewi Surendra, Dewi Lengleng Mulat atau Lengleng Mandanu, dan kembar yang bungsu dinamai Dewi Gagarmayang dan Dewi Prabasini. Setelah kelahiran kedelapan putrinya, Resi Sakra dan Nyai Indri kembali menjadi Batara Indra dan Dewi Saci. Sudah saatnya mereka kembali ke kahyangan Rinjamaya. Sebelum pergi, Batara Indra menemui para raja yang telah membantunya. Para raja yang datang yakni Prabu Srimahawan, Prabu Basupati, dan Prabu Brahmasatapa sedangkan prabu Cingkaradewa Purwacandra tak hadir karena ada masalah di kerajaannya. Batara Indra lalu memberikan berkatnya “Dengan perkenan Hyang Widhi, aku memberkati kalian. Semoga kerajaan kalian makmur, anak keturunan kalian banyak dan menorehkan nama mereka dalam sejarah.” Setelah memberikan berkat, Batara Indra, Dewi Saci dan rombongan bidadari-bidadara terbang ke kahyangan.

 

Tujuh Bidadari dan Tiga Bidadari

Sesampainya di kahyangan, Batara Guru dan para dewa lainnya menyambut kedatang keluarga baru batara Indra. Lalu dengan Tirta Perwitasari, kedelapan putri bidadari itu diperciki dan disucikan. Ajaib, kedelapan bayi bidadari itu sekejap menjadi dewasa. Kecantikan mereka terpancar kuat. Karena kecantikan mereka, para dewa terperangah sampai-sampai Batara Brahma bertiwikrama menjadi dewa tampan berkepala empat demi memandangi delapan kemenakannya itu.

Delapan bidadari, putri Batara Indra
Delapan bidadari putri Batara Indra itu masing-asing melambangkan bunga yang dikonsumsi ayah dan ibu mereka. Dewi Supraba memakai subang emas berbentuk bunga padma lengkap dengan selendang jingga dan jarik kain sutra emas di badannya. Dewi Tunjung Biru memakai jarik sutra biru bermotif bunga tunjung dengn selendang berwarna biru samudra.  Dewi Wilotama atau Nilotama yang bersunting dan bermahkota bunga ratna dan buah wijen abadi lengkap dengan selendang sutra ungu, dengan baju yang senada. Dewi Warsiki memakai selendang satin halus berwarna merah jambu dengan sulaman berbentuk bunga gambir, Dewi Surendra memakai kemben dari batik bermotif bunga mawar merah berikut gelang dan giwangnya memakai permata mirah, lalu Dewi Lengleng Mulat memakai syal dari kain cindhe berwarna kuning cerah dengan motif melati kuning melingkar indah di leher dan bahunya dan sikembar Dewi Gagarmayang dan Dewi Prabasini bergelung dengan tusuk konde berhiaskan mayang aren dan berbaju kebaya hijau, yang membedakannya baju yang dipakai Dewi Gagarmayang berwarna hijau muda sementara yang dipakai Dewi Prabasini berwarna hijau tua. Singkat cerita, Dewi Supraba, Dewi Tunjung Biru, Dewi Wilotama, Dewi Warsiki, Dewi Surendra, Dewi Lengleng Mulat, dan Dewi Gagarmayang menjadi tujuh bidadari utama, pembawa pesan para dewa dan penguji keteguhan seseorang, maka mereka turun bersama Naga Andana. Sementara Dewi Prabasini bersama Dewi Urwaci dan Dewi Punjisatala menjadi tiga bidadari pemimpin tarian upacara kahyangan.

Siasat Mengalahkan Sunda dan Upasunda

Di Marcapada, Ditya Sunda dan Upasunda berkelana keseluruh dunia bersama pasukannya menyerang sejumlah negeri dan kota. Setiap negeri yang diserangnya pasti hancur lebur. Bahkan di suatu kesempatan, Batara Indra dan pasukan Dorandara yang membantu mengamankan Kerajaan Medang Galungan,  Purwacerita, Wirata, dan Gilingwesi dibuat kalang kabut, kewalahan menghadapi kesaktian Ditya Sunda dan Upasunda. Lalu Batara Indra segera mengutus salah satu putrinya. “Wilotama, bantulah ayahanda untuk mengalahkan dua yaksa pengacau marcapada itu. saat ini nasib tanah Hindustan dan Jawadwipa berada di tanganmu.” “baik ayahanda Batara. Titahmu akan segera hamba laksanakan.” Maka turunlah Dewi Wilotama ke bumi, tepatnya ke perbatasan empat negara besar Jawadwipa tempat Sunda dan Upasunda berikut pasukannya berkemah. Di sana ia melihat Ditya Sunda dan Upasunda sedang semedi memohon salah satu bidadari kahyangan sebagai kompensasi tidak menyerang kahyangan. Maka Dewi Wilotama membangunkan mereka “Kanda Sunda! Kanda Upasunda! Bangunlah!” kedua yaksa itu terbangun dan bertanya “siapa andika yang cantik ini? kamukah bidadari impian yang dijanjikan para dewa itu?” “benar, kakanda berdua. Aku Wilotama, bidadari yang dijanjikan para dewa pada kalian.” Kedua yaksa itu terpana maka mereka menghentikan semedi lalu Ditya Sunda merayunya “Dinda Wilotama, menikahlah denganku. Apa yang kau inginkan akan aku kabulkan.” Tak kalah dengan kakaknya, Ditya Upasunda ikut merayu “jangan dengarkan kakakku, lebih baik menikahlah dan hidup denganku, maka dinda akan bahagia selamanya.” Lalu Ditya Sunda membentak adiknya, “Upasunda! dimana tatakramamu? Dia itu calon istriku.” Ditya Upasunda lalu balik membentak “kakang yang seharusnya bertatakrama. Dia itu calon pendamping hidupku.” Maka terjadilah perselisihan antara dua saudara kembar.

Ditya Sunda dan Upasunda memperebutkan Dewi Wilotama
Dewi Wilotama berusaha menengahi namun terlambat keduanya terus berselisih, awalnya hanya perang mulut hingga terjadilah pertengkaran. Pertengkaran itu berubah menjadi pertempuran sesama yaksa dua kubu, kubu Ditya Sunda dan kubu Ditya Upasunda. Dewi Wilotama tak tahan melihat pertengkaran itu segera naik ke kahyangan dan menyumpahi bahwa mereka sudah mati tali kekerabatannya. Maka keduanya terus bertengkar sampai akhirnya kedua yaksa itu sampyuh, tewas bersama karena kekuatan mereka setara. Begitu juga pasukan mereka ikut tewas semua. Dengan tewasnya dua yaksa itu, empat negara besar Jawadwipa dan tanah Hindustan aman dari para yaksa itu. sebagai penghormatan atas keberanian sang dewi, bunga ratna sebagai lambang Dewi Wilotama dijadikan salah satu bunga suci yang istimewa bagi masyarakat Jawadwipa.

Tulah Kemarau Panjang karena Menelantarkan Istri

Para dewa senang karena musuh dewata untuk sementara sudah hilang namun Batara Guru mendapat laporan dari Dewi Sri “ampun uwa Pukulun, ananda Prabu Brahmasatapa pernah berbuat sewenang-wenang dengan nanda Dewi Widati dengan membuangnya ke tengah hutan karena termakan siasat istri mudanya. Sampai sekarang nanda dewi masih terbuang di tengah hutan.” Tak terhingga marahnya Batara Guru mka ia berdoa pada Hyang Widhi agar Prabu Brahmasatapa diberi pelajaran. Doa Batara Guru didengar oleh-Nya maka Hyang Widhi yang Maha Kuasa menghukum kerajaan Gilingwesi dengan berkurangnya air sedikit demi sedikit dan pada tahun ketujuh belas akan menjadi puncaknya. Atas perintah Hyang Widhi, Dewi Sri diperintahkan untuk berhenti menyebarkan kesuburan. Sebaliknya, ia bersama Batara Bayu mengirimkan berbagai macam hama penyakit, angin panas, dan angin dingin yang amat sangat ke Gilingwesi. Singkat cerita, angin kencang panas dan dingin menyapu kerajaan sepanjang hari. Kalang kabutlah sang prabu dan seluruh negara. Air di danau, sungai, dan perigi mulai berkurang, tanaman tak kunjung tumbuh dan layu terkena hawa panas dan dingin silih berganti. Sawah dan ladang menjadi bera tak terurus. Pada tahun ke tujuh belas, datanglah hama-hama memakan segala bahan makanan. Kelaparan terjadi dimana-mana.

Kembar Buncing Penyelamat Negeri

 Tujuh belas tahun berlalu, Begawan Rukmawati dan kedua murid sekaligus anak angkatnya, Bambang Parikenan dan Dewi Srini berkelana dari lereng gunung Mahameru ke sebuah desa di negara Gilingwesi yang dilanda paceklik. Penduduk desa itu ingin meminta hujan. Begawan Rukmawati lalu memerintahkan dua muridnya itu untuk membantu “Parikenan! Srini! Mari kita bantu penduduk desa ini agar paceklik di negeri ini hilang.” “baik, guru. Apa yang harus kami lakukan?” tanya Parikenan. Anakku Parikenan, kamu persiapkan sarana sesajiannya. Srini! kamu segera buat bubur panjang dan hijau.” Baik, guru!” singkat cerita bambang Parikenan segera menyiapkan dupa, kemenyan, banten dan sesajian. Sementara Dewi Srini membuat bubur berbentuk lonjong pnjang dan hijau. Bubur itu diberi nama Bubur Cendol Dawet. Bubur itu lalu diserahkan pada Bambang Parikenan untuk didoakan. Setelah didoakan, sebagian bubur itu dimakan oleh para warga dan sebagian lagi ditebarkan ke sawah, ladang dan seluruh penjuru desa. Tak berapa lama kemudian, awan mendung datang menutupi desa lalu turunlah hujan lebat mengguyur. Sungai-sungai, danau-danau, kolam-kolam dan perigi-perigi kembali terisi air, sawah dan ladang kembali basah. Pepohonan dan rerumputan tumbuh menghijau lagi. Warga desa bersukacita. Tulah kemarau panjang telah berakhir.

Pertemuan Dengan Sang Ibu Kandung

Setelah membantu desa, Begawan Rukmawati, Bambang Parikenan dan Dewi Srini melanjutkan perjalanan. Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan seorang wanita cantik namun buta matanya ditemani sepasang anjing.Begawan Rukmawati bertanya “ni sanak, siapakah nisanak? kenapa ni sanak berada disini? Tak adakha ang menolong ni sanak.” Perempuan buta itu berkata “aku Widati. Aku dibuang suamiku selama tujuh belas tahun di hutn ini bersama dua anakku ini.” Begawan Rukmawati lalu mengheningkan cipta dan mendapat penglihatan dari para dewa bahwa Dewi Widati adalah permaisuri Prabu Brahmasatapa yang dibuang karena dituduh melahirkan anjing dan secara kebetulan di hari dibuangnya Dewi Widati, sang biarawati juga menemukan dan memungut dua anak kembar buncing, yakni Bambang Parikenan dan Dewi Srini di tengah hutan dahulu. Bambang Parikenan dan Dewi Srini merasa kasihan dan ingin menyembuhkannya. Begawan Rukmawati mengerti dan segera meramu obat. Atas kemurahan Hyang Widhi, begitu obat dibalurkan ke mata Dewi Widati, mata Dewi Widati seketika sembuh dan ia bisa melihat lagi. Begawan Rukmawati lalu menceritakan segala apa yang dilihatnya dalam semedi. Awalnya Dewi Widati menyanggahnya, namun Begawan Rukmawati meyakinkan bahwa yang dilihatnya adalah dari para dewa. Maka kini yakinlah bahwa anak-anak muda yang bersama begawan Rukmawati itu adalah anak kandungnya yang hilang. Berlinanglah air mata Dewi Widati penuh haru dengan kedua putra-putrinya. Pertemuan ang sangat dirindukan. Begawan Rukmawati mengantar mereka bertiga kembali ke Gilingwesi untuk mengungkapkan kebenaran yang selama ini tersembunyi

Menemukan Jalan Pulang

Dalam perjalanan, mereka bertemu dengan sepasang gadis dan jejaka yang kelelahan.Begawan rukmawati segera menolong. Lalu Dewi Widati bertanya “anak manis, siapa namamu, nak?” “saya Satapi dan ini tunangan saya, Sadaskara. Saya putri Gusti Prabu Brahmasatapa.” “saya Sadaskara putra dari Resi Pujangkara, Pendeta negeri Gilingwesi.” Dewi Widati terkejut bahwa yang ditemui adalah putri tirinya. Maka ia mengenalkan diri “anakku kamu jangan takut. aku Widati, ibu tirimu dan dua anak muda-mudi yang bersamaku adalah kakak-kakakmu. Nama mereka Parikenan dan Srini.” Dewi Satapi terkejut karena baru kali ini ia bertemu ibu dan kakak-kakak tirinya, Ia dan tunangannya itu segera sungkem kepada sang ibu dan kedua kakak tirinya lalu bertanya “kanjeng ibu...kenapa aku tidak pernah tau tentang ini. Kanjeng ayahanda tidak pernah menceritakannya” “ceritanya panjang, anakku dan ini berkaitan dengan ibu kandungmu.” Dewi Widati lalu menceritakan semuanya. Dewi Satapi terkejut namun tidak heran karena ibu kandungnya sendiri kadang terlalu kasar padanya. Lalu Dewi Widati balik bertanya kenapa mereka terlihat kelelahan. Dewi Satapi bercerita bahawa ia diculik oleh raksasa hutan bernama Ditya Singasari dan tunangannya berniat merebutnya kembali namun ia dicurangi maka ia terdesak. mereka berhasil kabur tapi terus dikejar-kejar. Bambang Parikenan tergerak hatinya untuk membantu Arya Sadaskara menumpas raksasa itu. Arya Sadaskara merasa senang karena calon kakak iparnya itu mau membantu. Maka ia mendatangi Ditya Singasari. Tak perlu waktu lama, Ditya Singasari berhasil ada dihadapan mereka. “heyy...manusia...kau kemana kan calon mangsaku...berikan lagi padaku.” “aku tidak sudi menyerahkannya lagi padamu, raksasa bejat.” Marah Ditya Singasari dan ia hendak memukul Arya Sadaskara. Namun berhasil dihadang oleh Bambang Parikenan “heyy...denawa!! kalau ingin mendapatkan adikku, langkahi dulu mayat kami.”  Terjadilah pertarungan sengit antara Arya Sadaskara dan Bambang Parikenan melawan Ditya Singasari. Pertarungan saling sikut, saling terjang,dan saling pukul. Namun dalam waktu tak terlalu lama, Arya Sadaskara merapal aji Gelap Lindu maka bergetarlah tanah dan terperosoklah Ditya Singasari ke dalam lubang. Bambang Parikenan segera memanfaat keadaan dengan menghunus keris Bayu Salaksa. Keris pun menancap ke dada Ditya Singasari dan tewaslah ia. Dewi Satapi gembira karena tunangan dan kakaknya berhasil mengalahkan raksasa yang telah menculiknya. Maka mereka berenam segera meninggalkan hutan dan berangkat menuju kotaraja Gilingwesi.

Kembali ke Gilingwesi

Prabu Bramasatapa dihadap permaisurinya Dewi Rajatadi dan Resi Pujangkara. Mereka sedang kalut memikirkan nasib Dewi Satapi dan Arya Sadaskara yang menghilang entah kemana. Bahkan Dewi Rajatadi bersedih keterlaluan hingga menyinggung perasaan suaminya. Suaminya murka dan tak sengaja mengeluarkan supata “Dinda Rajatadi, sedihmu keterlaluan...air matamu itu seperti air mata buaya...” maka kutukan pun terjadi, Dewi Rajatadi berubah wujud menjadi buaya putih dan langsung menghilang entah kemana. Sang prabu pun terduduk semakin kepikiran. Lalu adatanglah kabar dari penjaga bahwa ada sepasang pemuda-pemudi membawa Arya Sadaskara dan Dewi Satapi disertai Dewi Widati dan Begawan Rukmawati.maka sang prabu langsung berdiri dan menuju keluar keraton. Sesampainya di luar keraton, Prabu brahmasatapa dengan sinis berkata “Dinda Widati...sungguh kau tidak tau malu kamu....kau telah kembali dengan membawa bala bantuan. Itu tak akan berhasil membuatku luluh. Pergi dari hadapanku!.” Dewi Widati lalu berkata “kanda prabu...aku kemari bukan untuk pembelaanku. Aku kesini untuk membawa putra-putri kita yang hilang. Mereka dibesarkan eyang begawan Rukmawati. Inilah mereka, Parikenan dan Srini. Mereka juga yang menyelamatkan negeri ini dari kemarau panjang juga nanda Satapi dan Sadaskara.” “benar, anak prabu...aku bersaksi demi langit dan bumi. Demi nama Hyang Widhi yang Maha Mengetahui,mereka ini putra anak prabu dan anak permaisuri Widati. Mereka dibuang oleh nanda permaisuri Rajatadi dahulu karena iri hatinya pada nanda Widati” tambah Begawan Rukmawati. Namun namun  Prabu Brahmasatapa tetap tak percaya malah menantang putrannya itu”aku tidak percaya..kalau dia putra-putri kita maka buktikanlah.” Dewi Widati semakin sedih dan sakit hati dengan kepongahan suaminya.

Batara Narada melerai pertengkaran Bambang Parikenan dengan ayahnya
Melihat ibunya sedih, Bambang Parikenan lalu menghadap dan menantang ayahnya itu “Gusti prabu! Pongah sekali perangaimu. Kepongahanmu menyundul angkasa, mirip jemawanya Prabu Hiranyakasipu. Aku menantangmu adu kekuatan.” Mendidihlah darah sang prabu dan langsung melayani anak muda itu bertarung. Maka terjadilah pertarungan antara ayah dan anak. Keduanya saling sikut, saling tinju, saling pukul dan saling hunus senjata. Kekuatan mereka sama setara. Karena tak ada yang menang ataupun kalah, maka mereka mengeluarkan senjata pamungkas mereka. Prabu Brahmasatapa mengeluarkan ajian panah Hanggeni Ratri dan Bambang Parikenan mengeluarkan ajian Surya Ratri.maka terjadilah gara-gara dimana-mana. Bumi kembali gonjang-ganjing, langit kolap-kalip. Hawa panas membakar menyebar ke seluruh negeri bahkan ke kahyangan. Lalu turunlah Batara Narada dari angkasa dan melerai pertarungan mereka “haduh...ngger anak prabu...hentikan tindakan bodohmu...jadi orang mbok ya jangan pongah.... dengarkan perkataan orang...benar apa yang dikatakan istrimu dan nanda Rukmawati, parikenan dan Srini ini anak kembarmu yang hilang....nanda Rajatadi yang menukar mereka dengan sepasang anjing waktu mereka lahir....mereka lalu diselamatkan nanda Rukmawati waktu dibuang dulu hingga sebesar ini dan kembali menolong negerimu dari kemarau juga Satapi dan tunangannya dari marabahaya...sudahlah ngger anak prabu...jangan menuruti ego...belajarlah juga untuk mendengarkan kata-kata dari orang lain.” Setelah berkata demikian, Batara Narada kembali ke kahyangan.

Sadarnya Prabu Gilingwesi

Prabu Brahmasatapa sadar bahwa ia terlalu menuruti egonya. Maka ia segera memeluk permaisuri pertamanya dan ketiga anaknya. Mereka kembali berbaikan dan membangun rumah tangga dari awal lagi. Beberapa tahun kemudian, Bambang Parikenan melangsungkan pernikahannya dengan Dewi Brahmaneki, adik Prabu Basupati yang kebetulan sebaya dengannya. Tak hanya itu, Dewi Srini dan Dewi Satapi melangsungkan pernikahan juga. Dewi Srini menikahi putra Prabu Srimahawan, Raden Sriwahnaya dan Dewi Satapi menikahi tunangannya, Arya Sadaskara.

*bunga kancing ungu/bunga kenop

Rabu, 10 Maret 2021

Kesaktian Para Dewi

Matur Salam, Para pembaca sekalian. Kisah kali ini mengisahkan tentang para dewi kahyangan. Para dewi kahyangan dipimpin Batari Durga mengalahkan sejumlah raksasa. Dikisahkan pula kisah Batari Durga yang berhasil mengalahkan para musuh kahyangan dengan dua wujud menakutkan, Durga Katyayani dan Mahakali. Kisah ini bersumber dari serial kolosal India Mahakaali dan Mahadewa yang telah disesuaikan dan diselaraskan dengan pewayangan jawa.

Prabu Mahesha mendapat kesaktian

Kekuatan para dewa sememangnya telah bertambah kuat namun ada saja masalah. Para raksasa dan yaksa keturunan dan titisan Rudra Rancasan selalu membuat keonaran dan selalu merongrong kekuasaan batara Guru sesuai sumpahnya dahulu. Setelah diangkatnya Prabu Watugunung sekeluarga ke surga dan naiknya Sri-Sadana menjadi pasangan dewa-dewi, para raksasa tak henti-hentinya membuat masalah. Alasan mereka untuk menguasai kahyangan dan tiga dunia. Tersebutlah Prabu Mahesha, raja para yaksa di negeri Parwakamudra, keturunan Maharesi Kasyapa dan Dewi Dhanu. Dia bertekat ingin mencapai kehidupan yang baik. Maka ia pun bertapa brata di kaki gunung Kampud dengan makan serangga beracun dan ular berbisa sepanjang hidupnya. Hingga pada akhirnya ketika tubuh dan kesaktiannya sudah tak mampu menawarkan lagi racun, muncullah lagi Batara Rudra Rancasan yang sangat membenci para dewa itu “Mahesha, Sanghyang Widhi telah menerima do’a mu. Aku datang sebagai utusan-Nya akan membantumu mencapai keinginanmu. Katakan, apa keinginanmu?” “hamba ingin menjadi makhluk abadi selamanya.” Batara Rudra Rancasan berkata “Aku tidak bisa mengabulkan yang itu.” Prabu Mahesha mengganti permintaanya “baiklah, aku ingin menjadi makhluk terkuat di jagat raya.” Batara Rudra Rancasan mengabulkannya lalu ia memberikan pesan “keinginanmu akan terwujud namun kau harus ingat, berhati-hatilah pada makhluk terkuat di alam ini selain kamu saat ini. dia adalah kebalikan dari sebuah lingga yaitu yoni.”

Prabu Mahesha ingin Menaklukan Kahyangan

Setelah pulang bertapa brata, Prabu Mahesha menjadi sangat kuat, tak mampu dikalahkan makhluk manapun. Maka ia menjadi sombong dan jumawa. Ia lancarkan serangan demi serangan ke negara-negara di sekitar Jawadwipa bahkan ke Alengkadireja lalu ia menmbiuskan ajaran-ajaran kepada para raksasa untuk menyerang para dewa di kahyangan sana. Maka setelah kekuatannya cukup, ia gempur kahyangan dengan seribu kekuatan raksasa dan manusia-manusia durjana.

Kahyangan sedang kalang-kabut menghadapi kekuatan pasukan Prabu Mahesha. Mereka benar-benar kuat. Pasukan Dorandara tujuh lapis yang dipimpin Batara Indra dan Batara Kartikeya masih belum mampu membuat pasukan itu mundur barang selangkah. Akhirnya kekuatan mereka ditambah dengan tujuh lapis lagi dengan Batara Ganesha dan Batara Shani menjadi panglima apit. Pasukan Parwakamudra bisa mundur namun kini para dewa tinggal berhadapan dengan Prabu Mahesha. Batara Brahma meniupkan nafas berapi daari langit namun sang prabu bergeming saja, tak rasa panas. Batara Bayu membawa topan prahara yang kencang namun seujung kuku sang prabu tak bergeser. Batara Baruna dan Mintuna membuat ombak pasang tak juga mampu membuat sang prabu tenggelam. Batara Indra menurunkan halilintar dan es salju yang membekukan juga tak membuat sang prabu tersetrum ataupun kesejukan, malah terasa bagaikan tergelitik kaki. Lalu sang Prabu Mahesha jumawa dan mengerahkan kekuatannya dan berbaliklah semua serangan para dewa. Keadaan semakin gawat. Batara Guru dan batara Wisnu turun gelanggang. Ia mengendarai Andini, lembunya yang sakti dan berusaha melemparkan senjata dewa ke tubuh Mahesha namun itu semua berbalik kepada sang Batara Guru. Begitupun Batara Wisnu, cakra Widaksana miliknya tak mapu mengiris ataupun memenggal kepala sang raja durjana. Lalu Batara Guru segera merapal Aji Pangabaran dan Kemayan namun tak berkesan juga. Maka Batara Guru segera memerintahkan para dewa segera masuk ke kahyangan. Lawang Kori Selomatangkep segera ditutup.

Batari Durga, Sang Senopati Para Dewi

Melihat kekalahan para dewa, Batari Durga dipimpin para dewi lainnya segera menghadap “suamiku, biarkan kami para dewi yang mengalahkan keangkuhan Mahesha.” “tidak, istriku. Kami para dewa saja dibuat tak berdaya.” Batari Durga meyakinkan suaminya “suamiku, aku mendapat wangsit dari Sanghyang Widhi bahwa kelemahan Mahesha adalah perempuan. Hanya ini lah jalan satu-satunya.” Karena tak ada jalan lain, maka Batari Durga menaiki harimau kesayangannya, Manastala diiringi Dewi Sri Laksmi, Dewi Saraswati, Dewi Permoni, Dewi Sri, Dewi Ratih, dan para bidadari sekethi kurang siji segera keluar dari kahyangan dengan pakaian perang lengkap. Pertempuran terjadi, perang antara kaum pria melawan para wanita. Butuh waktu untuk membut para raksasa sisa pasukan yang belum lari namun berkat kegigihan Durga dan para dewi, para raksasa berhasil dikalahkan. Kini tinggal Prabu Mahesha sendiri beradu satu lawan satu dengan Batari Durga. Prabu Mahesha segera berubah menjadi raksasa betangan empat. Dengan segala senjata, Batari Durga berusaha melukai Prabu Mahesha namun kulitnya sama sekali tak tergores. Kulitnya keras dan liat bagaikan kulit badak. Batari Durga kemudian terdesak namun para dewi dan bidadari segera menolong Batari Durga. Mengalirlah aliran energi yang sangat kuat para dewi menuju Batari Durga. Terjadilah keajaiban, Batari Durga bertriwikrama menjadi Dewi Katyayani, dewi cantik tinggi besar bertangan sepuluh. Setiap tangan memegang banyak senjata.Prabu Mahesha jumawa dan berkata “gusti dewi yang cantik. Kau sudah terdesak dengan kekuatanku. Kini engkau berubah sekalipun tidak akan bisa melawan kehebatan Mahesha. Pulanglah ke suamimu dan rawat harimau milikmu agar jadi kucing penurut.” Batari Durga hanya tertawa dan menjawab “hahaha.....Mahesha! kau kira wanita cantik sepertiku hanya menjadi teman tidur suamiku? Ohh tidak. Wanita sepertiku lebih sekadar itu. Aku lebih berhak bersama pria yang telah mengalahkanku di medan tempur ini!” meledaklah kemarahan Prabu Mahesha, terhina harga dirinya. Rasa kejantanan Prabu Mahesha tertantang untuk segera menundukkan Batari Durga dan menidurinya. Mereka akhirnya saling berperang tanding. Terjadi gara-gara di kahyangan maupun di marcapada.

Durga Mahesasuramardini

Dalam adu kesaktian  kali ini, Prabu Mahesha berhasil terdesak. Maka Prabu Mahesha berusaha mengakali dengan bertukar wujud menjadi berbagai bentuk, mulai dari gajah, burung elang raksasa, leak, badak, babi hutan, burung gagak, manusia, raksasa bajang, hantu, jin tapi semua bisa dikenali sang Batari Durga. Terakhi kali, ia bertukar menjadi kerbau yang ganas lagi sakti mandraguna, sesuai dengan namanya, Mahesha berarti kerbau.

Durga Mahisasuramardini
Singkat cerita, Batari Durga mampu mengalahkan kerbau jelmaan Prabu Mahesha dengan memenggal kepalanya dengan pedang dan keris. Lalu harimau kendaraannya segera menjilati darah yang mengucur dan segera memakan badan kerbau itu. dengan tewasnya Prabu Mahesha, maka para dewa dan dewi menyambut kemenangan sang istri batara Guru itu maka Batari Durga mendapat julukan baru yaitu Mahesasuramardini yang berarti “sang penakluk raja Mahesha”

Ambisi Raktabija

Kekejaman dan ambisi Prabu Mahesha membuat para bawahannya yang masih setia bertekat untuk kembali menaklukan para dewa. Kali ini hal itu kembali dilakukan oleh Patih Raktabija, patih kesayangan sang prabu. Kerajaan Parwakamudra dipimpinnya sepeninggal sang raja. Sang raja yang meninggalkan sepasang anak kembar, Arya Sumbha dan Nisumbha masih cukup muda. Pada hari yang tepat, raja baru dilantik, Prabu Arya Sumbha dan Prabu Arya Nisumbha. Pada suatu hari, keduanya dihasut Patih Raktabija agar memusuhi para dewa, sang patih mengatakan kepada dua anak asuhnya itu “Gusti Prabu Arya berdua, ketahilah bahwa ayah kalian dahulu telah dibantai oleh para dewa. Sebelum ia tewas, ia menitipkan kalian padaku” Murkalah kedua putra mendiang Prabu Mahesha itu. Maka Prabu Arya Sumbha dan Arya Nisumbha memerintahkan Patih Raktabija “Paman patih, segera panggil paman Tumenggung Candha dan Mundha, kita akan ke gunung. Kita minta pada Dewa Rudra Rancasan kekuatan maha hebat!” singkat cerita, Prabu Arya Sumbha dan Arya Nisumbha mendapat kekuatan sepuluh roda gerigi ajaib yang mampu meringkus seluruh senjata dewa, Patih Raktabija mendapatkan aji Sahasrakta yang membuat penggunanya bila terluka dan bercucuran darah maka muncullah pasukan raksasa dari tiap darah yang menetes dan Tumengung Candha dan Mundha mendapat ajian Sirep yang mampu menidurkan bahkan para dewa sekalipun. Setelah mendapatkan kekuatan yang hebat, mereka segera berangkat menggempur kahyangan.

Serangan Sumbha dan Nisumbha

Hari itu cerah ceria di Kahyangan Jonggring Saloka. Batara Guru dihadap Batara Semar, Batara Togog, Batara Narada, dan para dewa lainnya. Mereka sedang membicarakan tentang keadaan para manusia di Jawadwipa setelah serangan Prabu Mahesha. Batara Ganesha mengabarkan sang ayah bahwa para manusia sekarang semakin makmur dan cerdas. Ilmu pengetahuan berkembang pesat dan kehidupan semakin beradab. Batara Guru merasa senang. Namun tiba-tiba cuaca cerah berganti mendung lebat. Gelap dimana-mana. Puncak Mahameru, Tengguru Kaliasa mendadak bergejolak, Kawah Candradimuka membuncahkan lahar panas dan awan wedhus gembelnya. Melihat tanda-tanda itu, Batara Guru tahu bakal ada musuh dewa. Tak lama kemudian, Batara Kala datang mengabarkan bahwa datang sepasukan raksasa dari Parwakamudra. Maka diturunkanlah pasukan Dorandara. Namun pasukan para dewa justru kalah dengan aneh. Mereka pingsan seperti terkena sirep. Maka para dewa lainnya mengerahkan kekuatan mereka. Hujan api, badai petir, badai hujan, salju longsor, gelombang pasang, topan prahara, wabah penyakit diturunkan namun pasukan raja kembar itu tak terkalahkan. Patih Raktabija segara menyayat tangannya dan tiap darah yang menetes berubah menjadi kembarannya. Mereka tumbuh banyak sekali hingga memenuhi seluruh Repat Kepanasan. Kembaran-kembaran Raktabija itu memakan segala wabah penyakit dan melukai banyak dewa. Batara Guru akhirnya turun tangan namn dicegah oleh para dewi. Lalu keluarlah dari barisan para dewi itu Dewi Saci atau Dewi Indrani, istri Batara Indra “Gusti ayahanda batara, aku mendapat penglihatan bahwa sekarang Gusti ibunda Durga sedang dalam masalah. Gusti batara segeralah menolongnya. Biar kami mengulur waktu.” Singkat cerita, para dewi kembali bertarung melawan para raksasa Parwakmudra. Dewi Saci berubah menjadi Dewi Aindri segera melemparkan Bajra dan keris namun jumlah kembaran Raktabija semakin bertambah. Dewi Sri Laksmi segera bertiwikrama menjadi Dewi Waisnawi lalu melemparkan Cakra Widaksana malah muncul Raktabija baru dari tetesan darahnya, Dewi Saraswati bertiwikrama menjadi Brahmani dan melemparkan Gada namun ikut menambah jumlah kembaran Raktabija baru, Dewi Permoni berubah menjadi Niruti dan melemparkan tameng raksasa berhasil menindih bebrapa kembaran Raktabija itu namun tidak efektif. Dewi Sri bertiwikrama menjadi Larasati melemparkan ani-ani dan celurit tapi terlempar oleh daya kesaktian Arya Sumbha.

Prabu Arya Sumbha murka tidak dapat mendekati Batara Guru maka ia suruh Tumenggung Candha dan Mundha untuk menculik Batari Durga agar Batara Guru mau bertekuk lutut dihadapannya.

Batari Durga, sang Dewi Candika

Suasana istana Setra Gandamayu mencekam. Bau wangi bunga kemboja, bunga kantil, dan melati bercampur bau bangkai menyeruak semakin kuat. Angin berhembus kencang turut membawa kewingitan istana berbau kuburan itu. Batari Durga sedang bertapa brata, mengheningkan diri dan membersihkan segala kekotoran. Lalu datanglah bau lain yang aneh seakan-akan membawa aroma mimpi indah. Bau itu ditebarkan oleh Tumenggung Candha dan Mundha. Mereka tergur dengan keelokan tubuh Batari Durga. Tubuh sintal tinggi besar dan wajah yang meneduhkan membuat mereka kepincut namun segera datanglah Batara Guru. Ia segera mematrapkan aji pangabaran dan Aji Kemayan. Namun seluruh ajian itu tawar dengan Ajian Sirep milik dua tumenggung Parwakamudra itu. Batara Guru segera melemparkan trisulanya namun dua raksasa itu berhasil menghindar. Keadaan berbalik semakin gawat. Batara Guru terdesak. Maka naga Andana melepaskan sepotong sisiknya dijadikan perisai dan segera bersemedi mengembalikan kekuatan. Mendengar suara ribut di taman istana, Batari Durga terganggu dan mendapati suaminya sedang duduk bersila namun dengan raut wajah yang lelah dan dilindungi perisai dari sisik yang nyaris hancur. Murkalah sang dewi dan bertukarlah ia menjadi dewi cantik namun dengan raut wajah yang ganas. Tanpa ampun lagi, ia segera memenggal kepala Candha dan Mundha. Maka Batari Durga dijuluki Dewi Candika atau Chamundha. Batari Durga sadar jika sang suami duduk bersila seperti itu maka terjadi sesuatu yang gawat di kahyangan. Maka ia segera berangkat ke Repat Kepanasan.

Dewi Mahakali yang Menyeramkan

Di Repat Kepanasan, para dewa dan dewi terdesak. Para dewa memang tak bisa mati setelah minum Tirta Amerta Perwitasari dan Tirta Amerta Maolkayat namun mereka tetap bisa terluka dan kesakitan. Pasukan klon Raktabija semakin mendekati Lawang Kori Selomatangkep namun datanglahlah Batari Durga dari dalam kahyangan. Dengan raut wajah penuh kemurkaan, dia pun meraung keras. Raungan itu membuat para prajurit Parwakamudra tewas semua. Di saat itu juga, Batari Durga bertriwikrama menjadi Dewi Mahakali, dewi tinggi besar berkulit gelap dengan mata merah menyala, rambut panjang gimbal acak-acakan, berwajah sangat mengerikan bak raksasa dengan taring panjang mencuat, berkalungkan tengkorak,dan di tiap tangan memegang banyak senjata. Patih Raktabija kemudian bertarung dengan Dewi Mahakali. Dewi Mahakali berhasil membuat Patih Raktabija terdesak namun karena luka-lukanya mengucur darah maka terbentuklah Raktabija-Raktabija baru. Dewi Mahakali segera menelan semua Raktabija kembaran dan menghisap seluruh darahnya sekaligus. Maka tinggallah Patih Raktabija yang asli lalu sang dewi berhasil menghabisinya. Sang patih Parwakamudra itu pun tewas dengan badan pucat kehabisan darah. Prabu Arya Sumbha dan Nisumbha marah sekali melihat patih Raktabija tewas maka mereka segera membentuk krodha menjadi raksasa berlengan empat yang membawa gerigi. Dilemparkanlah seribu gerigi tajam itu ke angkasa menuju tempat Dewi Mahakali. Dewi Mahakali segera menangkisnya dengan pedang lalu ditebaslah semuanya selagi di angkasa. Dewi Mahakali segera memukul Arya Nisumbha hingga jatuh tak sadarkan diri. Prabu Arya Sumbha murka saudaranya tak sadarkan diri maka ia serang harimau kendaraan Dewi Mahakali.

Mahakali 
Tak terima, maka ia segera membenturkan kepalanya lalu pingsanlah Prabu Arya Nisumbha. Tapi bersamaan itu Arya Nisumbha justru terbangun dan menyerangnya lagi maka ia balik menyerang mereka dengan melemparkan ribuan keris, bajra, kapak, tombak, gada, kujang, celurit, parang, pedang, tameng, dan panah dari angkasa. Hujan panah, keris dan semua senjata menghujam kedua anak raja itu dan tewaslah mereka berdua dilumat jutaan senjata dari langit.

Mahakali Mangerti

Para musuh kahyangan berhasil ditumpas namun Dewi Mahakali justru semakin menggila. Mahakali semakin haus darah dan tak segan menghancurkan dan membunuh apa saja. Dia bahkan menari-nari seperti orang gila diantara lautan darah dan jasad-jasad para raksasa. Bau anyir darah dan jasad bagaikan bau wangi surga di dalam pandangan sang Dewi. Akibat tariannya itu, Bumi gonjang-ganjing langit kolap-kalip. Topan prahara begitu kencangnya hingga menerbangkan gunung-gunung. Mahameru dan gunung-gunung berapi lainnya bergemuruh dan meletus hebat. Badai petir dan halilintar menyambar-nyambar. Hujan air dan api menghujam tanah. Banjir dimana-mana menenggelamkan seluruh daratan termasuk di Jawadwipa. Para manusia, para raksasa, hewan, tumbuhan, dan para jin ketakutan mengira marcapada kiamat. Para dewa dan dewi berusaha menghentikannya namun tak berhasil. Batara Wisnu pun tak bisa menghentikan kegilaan sang dewi. Para dewa ketakutan karena bukan hanya marcapada yang akan kiamat tapi seluruh kahyangan juga akan hancur lebur. Di saat yang tepat, Batara Guru terbangun dari semedinya dan segera berbaring di Repat Kepanasan membiarkan setiap hentakan kaki istrinya itu menghujam dirinya. Setelah beberapa lama, akhirnya Mahakali tersedar bahwasanya ‘lantai dansa’ tempatnya menari adalah suaminya sendiri. Dengan rasa malu dan sedih , Dewi Mahakali menjulurkan lidahnya. Segera ia hentikan tariannya, melemparkan seluruh senjatanya, dan kembali menjadi sosok Batari Durga, sang Umadewi Parwati sang ratu kahyangan yang lembut penuh kasih. Batari Durga merasa malu dan meminta maaf karena sudah bertindak terlalu jauh. Batara Guru memaafkan sang istri karena khilaf itu. Para dewa dibebaskan dan disembuhkan dari pengaruh sirep. Tirta-tirta suci dikucurkan dan seketika luka-luka mereka sembuh.