Rabu, 16 Juni 2021

Kemelut Jawadwipa : Akhir Kisah Cingkaradewa dan Adhege Kandaparasta

 

Salam semua, para pembaca budiman. Sudah lama penulis tak memposting tulisan baru lagi. Kali ini penulis melanjutkan kisah sebelumnya. Dalam kisah ini, penulis menghubungkan leluhur Pandawa-Kurawa dari versi India dan versi Jawa. Kisah ini menceriterakan masa muda putra Batara Sadana, Arya Suganda dan pernikahannya dengan Niken Raketan, anak Resi Brikhu yang dulu pernah diasuh Dewi Sri, kakak Batara Sadana. Kelak dari pernikahan mereka, akan lahir salah satu leluhur (karuhun) dari Pandawa dan Kurawa dari Trah Wirata. Kisah ini juga dilanjutkan dengan hancurnya negeri Medanggalungan juga berakhirnya riwayat Prabu Cingkaradewa dan penyimpangan seksualnya. Kisah diakhiri dengan datangnya Prabu Nahusa dan berdirinya kerajaan Kandaparasta, salah satu kerajaan leluhur Trah Baharata dan Yadawa yang juga karuhun Pandawa-Kurawa. Kisah ini bersumber dari blog albumkisahwayang.blogspot.com, serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita dan Kitab Mahabharata kara Mpu Vyasa.

Arya Suganda Krida

Arya Suganda, anak dari Batara Sadana dan Dewi Laksmitawahini sejak bayi dititipkan ke Raden Wandu (Srimahawan) sesuai wasiat dengan sang ayah. Kini ia telah beranjak dewasa dan ingin mencari jodohnya. Maka diam-diam tanpa diketahui ayah asuhnya, ia pergi mengembara, ketika melewati Desa Wasutira, desa itu didatangi banyak perampok maka ia menghalau para perampok itu meskipun terlalu banyak Arya Suganda terus menyerang para perampok dengan segala kesaktiannya. Banyaknya rintangan dan cobaan yang dihadapi membuat ia kelelahan ketika berhasil mengalihakn pertarungannya ke pinggir hutan desa Wasutira. Tak ada satupun orang yang berani  menolong karena hutan itu wingit dan angker bahkan di siang hari. Hanya orang yang benar-benar punya nyali yang mau masuk ke dalam hutan. Para perampok berhasil dikalahkan namun Arya Suganda akhirnya pingsan karena terlalu letih dan lelah.

Cinta bersemi di Wasutira

Sang kepala desa Wasutira, Kyai Brikhu bersama putrinya, Niken Raketan baru saja pulang berniaga ke negeri sebrang malam itu melewati hutan desa. Tiba-tiba  mereka terkejut ada pria tergeletak di pinggir hutan desa. Setelah diperiksa, ternyata masih hidup. Mereka segera membopong orang itu. begitu sampai di rumah, Niken Raketan segera merawat pria itu. Beberapa hari kemudian, pria itu bangun lalu ia melihat sekitar lalu karena tak kuat bergerak ia jatuh. Niken Raketan yang hendak ke kamar pria itu kaget  “ehh...sudah bangun ki sanak? Mari ikut aku, sudah dua hari ki sanak tidur dan belum makan.” “terima kasih Ni sanak.” Setelah makan mereka saling berknalan “ni sanak perkenalkan, aku Suganda dari Purwacerita. Aku seorang pengembara. Kalau boleh tau siapa nama ni sanak.” “namaku Raketan, Niken Raketan. Ayahku kepala desa ini. Ki sanak masih kelihatan lelah, beristirahatlah barang beberapa hari disini” “terima kasih, ni sanak.” singkat cerita, Arya Suganda menetap sebentar di desa Wasutira. Di sana ia selain membantu keamanan desa, ia juga membantu Kyai Brikhu untuk berdagang. Kedekatan Arya Suganda dan kelurga Kyai Brikhu semakin rapat terutama dengan Niken Raketan. Setiap kali bertemu pandang, mereka sama-sama tersipu. Agaknya benih-benih cinta muncul diantara Arya Suganda dan Niken Raketan. Kyai Brikhu terkesan sekali dengan rajinnya Arya Suganda. Kyai Brikhu juga nampaknya melihat gelagat sang putri dan Arya Suganda. Akhir-akhir ini mereka kadang berduaan di taman dan di perigi di tengah desa. Dengan melihat hal demikian saja, sang kepala desa Wasutira itu mengajak baik-baik anaknya dan Arya Suganda. Kyai Brikhu dan istrinya akhirnya menyetujui hubungan sang anak dengan Arya Suganda bahkan mempertimbangkan tentang pernikahan mereka kelak.

Pada suatu hari, datanglah pasukan Medang Galungan ke desa Wasutira. Mereka ingin mengambil salah satu pemuda tampan dari desa itu untuk dijadikan pemuas hasrat seksual Prabu Cingkaradewa Purwacandra. Jelas saja tak ada satu pun yang mau anak laki-laki mereka jadi pemuas nafsu bejat raja berperilaku sedeng itu. karena tak ada yang mau, maka pasukan Medang Galungan segera mengobrak-abrik desa. Desa porak poranda dan dibakar pasukan Medang Galungan dengan beringas. lalu terdengrlah suara seseorang “hentikan!” lalu datang sang pemilik suara, Arya Suganda “kalian memaksakan kehendak. Kalau tidak ada yang mau, ya jangn mengganggu ketentraman desa ini. lagipula, bisa-bisanya prajurit-prajurit seperti tuanku semua mau menuruti hasrat rusak prabu kalian. Dosa kalian akan ikut bertambah banyak” Para prajurit hanya diam saja namun salah satu dari mereka berteriak “Persetan dengan dosa, kalau tidak ada yang mau, lebih baik kau saja yang  akan kami bawa!” seketika para pasukan Medang Galungan mengeroyok Arya Suganda. Tak terima dikeroyok,maka ia melawan para prajurit itu. satu dua prajurit berhasil dikalahkan namun karena kalah jumlah, maka terdesak juga ia.

Brahmana Wisaka

Di saat yang bersamaan, datanglah seorang brahmana sakti disertai empat puluh muridnya yang semuanya cantik dan tampan. Sang brahmana yang melintasi desa Wasutira bertanya pada penduduk apa yang terjadi. Para penduduk berkata ada yang sedang bertarung dengan prajurit Medang Galungan yang ingin mencari pemuda pemuas syahwat raja mereka. Sang brahmana melihat seorang pemuda yang dikeroyok tiga puluh orang, maka ia segera membantu pemuda itu dan dengan kesaktiannya ia membuat para prajurit itu limbung dan lari kucar-kacir. Pemuda itu berterima kasih “terima kasih, tuan brahmana. Tuan sudah membantu saya.” “sama-sama, anak muda. Kalau boleh tahu, dimanakah rumah kepala desa ini? saya ingin minta izin untuk mendirikan padepokan di tempat ini.” “saya tahu dimana kepala desa ini. kebetulan saya juga bekerja di rumahnya. Nama saya Arya Suganda.” Singkat cerita, Arya Suganda mengantarkan brahmana itu ke rumah Kyai Brikhu.“saya Brahmana Wisaka dari negara seberang. Saya dan keempat puluh murid saya mendapat wangsit untuk menyebarkan ilmu baca tulis dan pengetahuan dharma di negeri ini. kami mohon kerjasamanya, pak kepala desa” “dengan senang hati, saya akan sangat tersanjung bila tuan brahmana mau mengajar di desa ini, syukur-syukur apabila nanti raja di negeri ini sudi menjadikan padepokan tuan brahmana sebagai pusat pendidikan.” singkat cerita, Brahmana Wisaka mendirikan padepokan dan di sana diajarkan berbagai tata baca dan tulis yang baru. Brahmana Wisaka mengajarkan Bahasa Sangsekerta dan Aksara Kawi, turunan dari aksara Dewanagari dan Pallawa yang dahulu dipakai. Singkat kata, padepokan Brahmana Wisaka semakin besar hingga membuat Prabu dari Wirata yakni Prabu Basupati tertarik dan ingin berguru padanya. Hal itu diikuti dengan Prabu Brahmasatapa dari Gilingwesi beserta putra-putri dan Prabu Srimahawan dari Purwacerita. Prabu Srimahawan yang kebetulan sedang menimba ilmu di sana akhirnya kembali bertemu dengan Arya Suganda, sang putra kakaknya yang minggat berbulan-bulan. Rasa sukacita sang prabu bertambah lagi dengan rencana pernikahan Arya Suganda dengan Niken Raketan. Maka pada hari yang baik, dilangsungkanlah pernikahan putra Batara Sadana dengan anak asuh Dewi Sri itu. Setelah hari bahagia itu, Prabu Basupati meresmikan desa Wasutira naik derajat menjadi karesian Wasutira. Kyai Brikhu dilantik menjadi pemimpin karesian itu bergelar Resi Brikhu dan Brahmana Wisaka menjadi guru agung.

Prabu Cingkaradewa Menculik Para Pemuda Karesian

Prabu Cingkaradewa Purwacandra, sang penguasa tunggal Jawadwipa merasa gusar karena sudah lama tiga raja bawahan yakni Wirata, Gilingwesi, dan Purwacerita tidak menghadap ataupun memberikan pemuda pemuas nafsnya. Hal itu semakin diperkeruh dengan adanya kabar di desa Wasutira ada padepokan besar yang muridnya lebih dari seribu orang. Maka sang maharaja Jawadwipa itu datang sendiri ke tempat itu. diiringi ratusan pengawal yang tampan-tampan dan gagah, ia datang ke desa Wasutira. Ketika sampai di sana, Desa Wasutira kini bukan desa kecil lagi tapi sudah berubah menjadi karesian, pusat pendidikan yang besar. Merasa karesian itu akan merongrong wibawa Medang Galungan, Prabu Cingkaradewa Purwacandra membuat kerusuhan dengan menculik pemuda-pemuda tampan di sana untuk disetubuhi.

Lama kelamaan resahlah para penduduk dan murid karesian Wasutira termasuk keluarga tiga raja Jawadwipa yang sedang menimba ilmu di sana. Brahmana Wisaka segera menerawang dari mata batin. Dalam penglihatannya, ada seorang prajurit yang menculik seorang pemuda tampan dan sang prajurit menyerahkan pemuda itu kepada sorang lelaki dan dengan bejatnya, lelaki itu memperkosa pemuda itu. Brahmana Wisaka, Resi Brikhu, dan Arya Suganda segera mendatangi pria itu. Saat mereka menuju tempat lelaki itu, mendadak mereka diserang prajurit Medang Galungan.

Prabu Cingkaradewa menantang Brahmana Wisaka
 Mereka dikeroyok banyak orang. Karena tak ingin membuat ribut, ketiga orang itu menggunakan aji Pedut Seta, dan segera meninggalkan para prajurit yang terjebak kabut dari ajian itu.  Ketika itu, mereka menyadari bahwa pria itu tak lain adalah Prabu Cingkaradewa Purwacandra. Brahmana Wisaka bertanya pada apa keinginan sang prabu kenapa sampai-sampai menculik para pemuda, sang prabu menjawab untuk memuaskan nafsunya. Ia melihat para pemuda itu sebagai gadis cantik. Sang prabu juga berkata dengan berdirinya Karesian Wasutira ia merasa wibawa Medang Galungan akan jatuh. Karena sang brahmana Wisaka ingin menghindari keributan, maka Brahmana Wisaka mengajak Prabu Cingkaradewa Purwacandra untuk beradu kepandaian. Jika ia kalah, maka ia bersedia menjadi pemuas nafsu sang raja tapi jika sang prabu kalah, maka tiga negara besar Jawadwipa harus dimerdekakan.

Hukuman untuk Raja Homoseks

Dilangsungkanlah adu kepandaian antara Brahmana Wisaka dan Prabu Cingkaradewa Purwacandra di keraton Medang Galungan. Setelah beberapa babak, Prabu Cingkaradewa mengakui kecerdasan dan kepandaian Brahmana Wisaka diatas kepandaiannya. Karena kalah, Prabu Cingkaradewa Purwacandra dengan berat hati memerdekakan tiga negara besar Jawadwipa. Hal ini membuat jiwanya tergoncang hebat. Di saat yang sama tiba-tiba datang seorang jin bernama Jalegi, utusan Batara Kala merasuki Prabu Cingkaradewa Purwacandra dan membuat keonaran. Dengan kekuatan dan kesaktiannya, ia menggunakan tubuh raja homoseks itu untuk menghukum sang prabu yang sedeng itu dengan menghancurkan seisi kerajaan Medang Galungan dan membunuh Brahmana Wisaka. Namun, Brahmana Wisaka berhasil menundukkan jin itu. jin itu lallu berkata lewat tubuh sang prabu “hei, brahmana agung! Ampuni aku tapi Jangan ganggu tugasku. Aku diutus pukulun Batara Kala atas perintah Batara Guru untuk membawa orang ini ke neraka sebagai hukuman kerena sifat sedengnya. Sudah terlalu lama keturunan Watugunung ini merusak tatanan hidup di negeri ini.” “jika itu perintah dari para dewa, maka aku tidak bisa menghalangimu.” Maka Brahmana Wisaka beserta Resi Brikhu dan Arya Suganda segera pergi dari keraton dan kembali ke karesian. Amukan sang prabu kembali menguat bahkan tak terbayangkan dahsyatnya. Bahkan, sang prabu yang sedang kerasukan itu merapal ajian terlarang yakni ajian tapak Agnibrahma yang mampu membuat satu negara terbakar dan lebur menjadi debu.

Berakhirnya Medang Galungan

Ketika sampai di karesian, Brahmana Wisaka, Resi Brikhu dan Arya Suganda melihat dari puncak gunung tanda-tanda tidak baik. Tepat di atas langit kerajaan Medang Galungan, muncul meteor sebesar keraton Wirata berapi hendak menghujam bumi. Brahmana Wisaka dan yang lainnya segera turun dan mengajak semua orang di karesian termasuk Prabu Basupati, Prabu Srimahawan, dan Prabu Brahmasatapa beserta keluarga mereka dan para penduduk untuk sembunyi di bawah tanah dan bersemedi memohon perlindungan Hyang Widhi. Lalu terdengarlah suara yang keras mengguntur.dari celah-celah ruang bawah tanah, mereka melihat cahaya yang sangat terang. Sementara itu, kerajaan Medang Galungan kejatuhan meteor besar dan langsung hancur berkeping-keping. Keratonnya terjungkir balik lalu terbakar hebat bersama Prabu Cingkaradewa Purwacandra di dalamnya. Ini persis seperti kutukan Batara Guru yang pernah diberikan pada sang prabu. Kerajaan tetangga seperti Wirata, Gilingwesi, dan Purwacerita ikut terkena dampak dengan bumi disana ikut bergegar namun untungnya tidak meninggalkan dampak yang parah sehingga selamatlah kerajaan-kerajaan itu. Kini, habislah riwayat Medang Galungan dengan bersama dengan sifat sedeng sang prabu. Selang beberapa hari, keanehan terjadi, Puing-puing  sisa kerajaan Medang Galungan yang hancur mendadak tertutup hutan lebat dan sangat rapat seakan tak pernah ada di dunia. Tiga kerajaan besar Jawadwipa kembali berdaulat sebagai negara merdeka.

Adhege Kandaparasta

Setelah beberapa tahun di Jawadwipa, Brahmana Wisaka merasa sudah saatnya ia kembali ke Tanah Hindustan. Maka ia berpamitan dengan para raja, Resi Brikhu dan Arya Suganda.

Adhege Kandaparasta
 Namun sebelum ia pergi, ia menyuruh salah satu muridnya, Bambang Nahusa untuk tetap tinggal di Jawadwipa ”Nahusa, aku melihat kamu berjodoh dengan Jawadwipa. Maka sebaiknya kamu menetap disini. Dirikanlah kerajaan di tepi bengawan Yamuna dan kelak anak keturunanmu akan menjadi mulia bersama para raja disini.” “jika memang ini perintah guru, aku akan melakukan sebaik yang ku bisa.” Maka ditinggalkanlah Resi Nahusa dan singkat cerita, setelah mempelajari ilmu politik dan tata negara dari para raja, ia mulai membabat hutan di pinggir Bengawan Yamuna. Setelah itu ia mendirikan kota bernama Kandaparasta dan menjadi raja disana bergelar Prabu Nahusa.

Di dekat bengawan Yamuna, hduplah seorang yaksa bernama Ditya Hunda. Ia gemar membuat para dewa kerepotan dan kali ini ia menculik salah satu bidadari yakni putri satu-satunya Batara Guru dan Batari Durga yang bernama Dewi Asokasundari. Dewi Asokasundari mengutuk Hunda “hei raksasa, kamu akan menerima hukuman para dewa. Kelak calon suamiku akan datang menjadi penyebab kematianmu!” Ditya Hunda tertawa-tawa dengan sombong dan berkata “aku tidak taku...akan ku goreng calon suamimu itu kalau dia muncul kemari.” Tahun demi tahun berlalu, lama-lama kota Kandaparasta semakin besar dan mulai membabat sebagiah hutan tempat Ditya Hunda tinggal. Ditya Hunda terganggu dan mulai menculik beberapa gadis untuk dijadikan tumbal ajian peletnya. Prabu Nahusa mulai resah dengan hilangnya beberapa gadis di hutan dan memutuskan untuk mendatangi hutan tempat para gadis sering diculik. Di hutan, ia bersemadi dan mendapat wangsit dari Sanghyang Widhi. Wangsit itu mengatakan di hutan itu ia akan bertemu calon istrinya yang kini diculik sorang yaksa.

Ditya Hunda Perlaya

Sementaraitu, Ditya Hunda melihat ada cahaya pelangi di hutan dekat guanya. Maka ia mendatangi asal pelangi itu dan menemukan seorang pria tampan sedang bersemadi. Ia lalu mencoba mengacau sang pria. Lalu sang pria itu bangu dan berkata “ Hei Yaksa...beraninya kau mengganggu semadiku.” Ditya Hunda berkata dengan ketus “memang itu urusanmu . aku bebas mengganggu siapa saja termasuk para dewa.” “oohh berarti kau juga yang mengganggu ketentraman negeriku dengan menculik beberapa gadis?” “kalau iya, memang kenapa?” “rupanya kau....para dewa telah mempertemukan kita disini. Sebaikanya kau menyerah baik-baik kalau tidak mau hidupmu berakhir.” Ditya Hunda jemawa dan berkata ia tidak takut. Maka terjadilah perang tanding antara Prabu Nahusa dan Ditya Hunda. Ditya Hunda terus brusaha menggigit leher Prabu Nahusa namun sang prabu terus menghindar dan mampu membuat sang yaksa terdesak. Lalu Ditya Hunda mengeluarkan ajian Dityagni yang membakar apa saja. sementara Prabu Nahusa menancapakan tongkatnya dan merapal ajian Tirta Dewani. Maka keluarlah gelombang air raksasa menghancurkan api sang yaksa dan menjebaknya di dalam air. Ditya Hunda tak mudah dikalahkan karena ia mampu keluar dari perangkap air, lalu sang yaksa buas itu segera mengeluarkan ajian Gelap Sewu. Maka muncul berbagai halilintar dan kilat menyambar hutan membuat pandangan dan pendengaran sang prabu menjadi kabur. Di saat demikian, Ditya Hunda berhasil melayangkan pukulan ke wajah sang prabu. Karena sang Prabu terus didesak, maka ia mengeluarkan ajian pamungkasnya. Ia merapa ajian Toyahima dan keluarlah tombak-tombak es dan menyayat seluruh tubuh Ditya Hunda. Tombak terakhir akhirnya menancap ke leher Ditya Hunda dan berhasil membunuh sang yaksa itu.

Pernikahan Nahusa dan Asokasundari

Prabu Nahusa segera menuju gua dan melihat banyak anak gadis disekap dalam kurungan. Sang prabu segera membebaskan mereka. Lalu datang seorang perempuan cantik menyerang Prabu Nahusa. Prabu Nahusa menahannya dan mereka pun bertarung. Meski peremuan, ia bisa membuat Prabu Nahusa kuwalahan namun karena sang perempuan agak lengah, sang prabu akhirnya bisa mendesak perempuan itu. lalu perempuan itu kalah. Lalu mereka saling memandang. Tanpa sadar, prabu Nahusa jadi terpesona, begitu juga si perempuan. Lalu mereka berkenalan “ni sanak, siapakan dikau? Dilihat dari sisi manapun kamu bukan perempuan dari negeri ini.” "aku Asokasundari. Aku bukan dari negeri ini. aku sebenarnya bidadari. Aku putri ayahanda Batara Guru dengan ibunda Durga. Aku disekap Hunda saat ia menyerang kahyangan bersama Prabu Sumba dan Nisumba. Tuanku jua rasanya bukan berasal dari Jawadwipa ini. siapakah tuanku sebenarnya?” Prabu Nahusa lalu mengenalkan dirinya “aku Bambang Nahusa, putra Resi Hayu, cucu Prabu Pururawa dari Hindustan. Menurut penuturan ayahku, Aku masih cucu keturunan Resi Sucandra alias Maharesi Anggiras dari putranya yang bernama Begawan Buda. Menurut penuturan ayahku pula, leluhurku masih darah keturunan Batara Brahma. Walau leluhurku dari Jawadwipa ini, aku lahir di Hindustan lalu guruku, Brahmana Wisaka memerintahkan aku untuk tinggal dan mendirikan kota baru di Jawadwipa ini.”

Prabu Nahusa dan Permaisuri Asokasundari
 Singkat cerita, setelah perkenalan itu, Dewi Asokasundari dan Prabu Nahusa bersma-sama membebaskan para gadis dan membesarkan kerajaan Kandaparasta. Dewi Asokasundari bahkan menjadi kerani (juru tulis) kerajaan. Lama-lama setelah mengenali watak masing-masing, benih cinta tumbuh diantara mereka berdua. Pada akhirnya, mereka jatuh cinta dan akhirnya menikah. Pernikahan itu dihadiri tiga raja besar Jawadwipa, segenap rakyat dan bahkan para dewa turut meramaikan. Para dewa termasuk Batara Guru dan Batari Durga menaburkan kembang dari angkasa dan memerinthkan para dewa menabuh gamelan Lokananta di hari bahagia sang putri.