Sabtu, 13 April 2024

Begawan Pegatrasa (Kawedaring Bimawan, Bimawati dan Brajasena)

 Hai semua pembaca dan penikmat kisah pewayangan! Kisah kali ini mengisahkan kedatangan seorang pendita aneh yakni Begawan Pegatrasa ke Hastinapura setelah negeri itu dilanda pagebluk. Kisah ini juga menceritakan kemunculan  tiga keturunan Arya Wrekodara yakni Bimawan, Bimawati, dan Brajasena. Kisah ditutup dengan terbukanya jatidiri antara Bimawan, Bimawati, dan Brajasena serta terkuaknya kedok Begawan Pegatrasa. Kisah ini mengambil sumber hasil chatting dengan teman-teman di grup pewayangan di  Whatsapp. Terima kasih buat mas mzk130307, mas afka._.dfs05    dan mas dendykrisnaa untuk saran-saran dan suntingan-suntingannya. 

Di sebuah hutan yang jauh, gelap dan sunyi. Angin berhembus lirih menggelitik dedaunan dan ranting pepohonan, tiada suara hewan lantang terdengar. Kicau burung pun seakan hilang di tengah belantara ini. Suara yang tercipta karenannya menyiratkan kengerian dan kehampaan yang mencekam. Gelapnya hutan membayang-bayang, bahkan saat itu siang sangat terik. Tersebutlah di dalam hutan yang diberi nama Alas Ratrijanggala itu, hidup seorang petapa dengan segala keanehannya. Tak pernah sekalipun ia meminta sumbangan atau derma. Tapi ia selalu berpakaian seperti pendita kerajaan.

Begawan Pegatrasa datang ke Hastinapura
Karena hutan itu jarang dikunjungi manusia, petapa itu dianggap seperti hantu atau dedemit yang menyamar sebagai pendita kaya. Di balik kemisteriusannya, ia pun pergi meninggalkan hutan itu menuju negeri yanga makmur, Hastinapura.

Sementara itu, di Hastinapura, Prabu Parikesit dihadap oleh Patih Harya Dwara, Bambang Wiratmaka, Bambang Wisangkara, Prabuanom Srengganamurti, dan Arya Jayasumpena. Mereka membicarakan permasalahan di hastinapura dimana rakyat mendadak jatuh sakit dan dilanda wabah besar “Ampun kakang prabu, wabah ini semakin menggila. Rakyat banyak jatuh sakit, harga melambung tinggi, korban jiwa tak tertolong juga makin banyak.” Lapor Patih Harya Dwara. Lalu Bambang Wiratmaka melapor juga “Ampun kakang prabu, keamanan negara akhir-akhir ini terusik lagi. Pencurian dan pembunuhan terjadi dimana-mana. Balai kesehatan membeludakj karena kasus ini juga.” Prabu parikesit merasa berdberduka mendengar nasib negeri yang dibangun oleh para leluhur dan diperjuangkan kakek nenek mereka seakan diujung tanduk “ini tidak masuk akal, kakang prabu” ucap Bambang Wisangkara. “tidak masuk akal bagaimana, adhi?”tanya Prabu Parikesit. “tidak masuk akal kerena segala hal telah kita kerahkan. Kualitas sarana dan prasarana sudah kita maksimalkan. Gizi rakyat juga kita perhatikan. Harga barang dan ekspor impor sudah kita periksa dan teliti.”ucap Bambang Wisangkara lagi “benar apa kata adhi Wisangkara “ ucap Prabuanom Srengganamurti “ada sesuatu yang membuat jalannya pemerintahan kacau dan itu bukan karena faktor fisik. Ini disebabkan kekuatan jahat entah dari mana.”. tak berapa lama, datang seorang pendeta bernama Bagawan Pegatrasa. “salam paduka prabu...perkenalkan hamba Pegatrasa, pertapa dari Alas ratrijanggala.” Prabu Parikesit dan para saudaranya menyambut sang pendeta itu. Prabu Parikesit lalu bertanya apa keperluannya datang kemari. Begawan Pegatrasa lalu memberitahukan cara mengakhiri pageblug dan rajapati di hastinapura “nanda prabu kalau ingin bisa mengakhiri pagebluk di Hastinapura hanya ada satu cara.” “apa caranya, bapak begawan?” Begawan Pegatrasa lalu berkata “ananda prabu harus mengorbankan kepala Lengkung Kusuma, anak pamanmu Petruk.” Entah terkena sihir apa atau terpesona dengan kata-kata sang begawan,  Prabu Parikesit dan Harya Dwara manggut-manggut saja, tepengaruh ucapan Pegatrasa yang mengandung sihir itu.  Bambang Wisangkara sebagai tangan kiri sang prabu berusaha menjernihkan pikiran adik sepupunya itu namun ia dihalang oleh kekuatan aneh. Akhirnya sang prabu Parikesit memerintahkan Wiratmaka, Jayasumpena, dan Srengganamurti mencari Lengkung Kusuma. Singkat kata, pasukan hastinapura datang dan berkata “Lengkung Kusuma! Serahkan dirimu...kau harus bersedia ikut kami ke Hastinapura!” “Lengkung Kusuma lalu berkata “Emoh...lebih baik aku mati daripada ditumbalkan sama orang tidak jelas seperti si Pegatrasa!” mendengar nama Begawan pegatrasa dihina, para pasukan yang dipimpin Wiratmaka, jayasumpena, dan Srengganamurti marah dan lalu mengobrak-abrik Karang Tumaritis. Kelauraga Lengkung Kusuma segera mengungsi ke Widarakandang kampung halaman Prantawati, isteri Lengkung Kusuma. Namun tak berapa lama, desa kembali diobrak-obrik. Lengkung Kusuma pun berhasil melarikan diri ke hutan lewat jalur rahasia tapi keluarganya ditahan dan tak bisa keluar desa.

 Ditempat lain, tersebutlah di sebuah desa bernama Sonosekar hiduplah keluarga Dewi Sumekar. Dewi Sumekar adalah pendeta perempuan yang kondang di desa itu. Ia adalah salah seorang isetri Arya Wrekodara selain Endang Sri Giyanti yang dulu menikah dengan cara lewat mimpi sehingga lahirlah raden Bimawan dan  Dewi Bimawati. Lalu beberapa tahun kemudian saat Bimawan dan Bimawati masih berusia 7 tahun datang pula seorang pendeta anak-anak, seumuran dengan dua anaknya.

Jatidiri Bimawan dan Bimawati
Ketika ditanya namanya, anak itu menjawab kalau dia bernama Brajasena. Dewi Sumekar pun memberikannya tempat tinggal dan dirawatnya anak kecil itu dengan penuh kasih sayang. Brajasena pun diaku anak oleh Dewi Sumekar. Setelah sekian lama saat usia Brajasena, Bimawan dan Bimawati sudah dirasa cukup dewasa, mereka ingin mencari ayah mereka. “Ibu, Bimawan dan Bimawati sudah dewasa...beritahukan pada kami siapa ayah kami?” “benar ibu. Telah lama kami menantikannya. Katakan ibu dimana ayah?”   Dewi Sumekar berkata “Bimawan! Bimawati! Ketahuilah, ayah kalian yakni Bhima Wrekodara, pahlawan perang perang Bharatayudha. Dia satu dari dari Pandawa lima putra Prabu Pandu Dewanata. Tapi menurut kabar, ayah kalian sudah lama wafat beberapa tahun setelah penobatan Parikesit, anak Abimanyu cucu dari Arjuna, adik dari ayah kalian sebagai raja baru Hastinapura.”  Mendengar hal itu, Bimawan dan Bimawati merasa sedih. Brajasena pun memeluk kedua saudara angkatnya itu “wes lah adhi-adhiku ! ada kakang Braja disini. Jika ada waktu, kita akan sowan ke Hastinapura.”  Untuk sementara itu membuat keinginan Bimawan dan Bimawati mereda sampai pada suatu hari, keinginan Bimawan dan Bimawati malah makin kuat untuk pergi ke Hastinapura, ingin diakui sebagai keturunan Pandawa. Dewi Sumekar tidak bisa menghentikan keinginan dua putra-putrinya .ia pun berpesan “ Le! Nduk! Kalau tekad kalian bulat, ibu tidak akan menghalangi. Tapi jika ingin diakui sebagai keturunan Pandawa, kalian harus mengabdi kepada sang raja Hastinapura, keponakan kalian itu.”  Bimawan dan Bimawati mematuhi perintah ibunya. Lalu Brajasena datang mengajukan diri untuk mengawal Bimawan-Bimawati. Awalnya hal itu dilarang karena Bimawan dan Bimawati khawatir dengan keselamatan ibunya jika mereka bertiga pergi. Dewi Sumekar berkata bahwa ia tidak apa-apa ditinggal toh selama ini dia tinggal sendirian, tentu bukan masalah jika ketiga anaknya itu pergi. Setelah berpamitan, Brajasena pun mengantar Bimawan dan Bimawati. Ketiga orang itu berjalan melewati hutan yang lebat dan gelap. Namun ditengah jalan mereka bertemu dengan Lengkung Kusuma. Bimawan pun menyodorkan air kepada Lengkung “ini kisanak...minum lah dulu...” setelah menyelesaikan minumnya. Bimawati membuika percakapan “kisanak, kalau boleh tau siapa anda? Dan ada apa seperti terburu-buru?” Putra Petruk itu pun menceritakan memperkenalkan dirinya “Aku Lengkung Kusuma, putra Petruk alias Dawala, cucu Kakek Semar, pamomonge para Pandawa.” Ketiga pemuda dari Sonosekar langsung bersujud mendengar nama Kakek Semar, karena mereka pernah diasuh sang punakawan saat masih kecil bersama Dewi Sumekar. Ketiga pemuda-pemudi itu lalu berlutut “ampun Paman Lengkung, jauhkan kami dari marabahaya dan bala bencana tak mengenalimu. “  “tidak perlu menghormat begitu...aku bukan siapa-siapa...” lalu Brajasena bertanya “apa penyebab paman bisa seperti ini?” Lengkung Kusuma pun menceritakansegalanya. Ketiga orang itu kasihan dengan nasib orang yang sudah memomong mereka dan mempersilakan Lengkung agar ikut mereka dengan jaminan perlindungan.

Di Hastinapura, Begawan Pegatrasa bermain sihir sehingga aura kerajaan menjadi gelap lalu datang lah jin qorin Dursasana dan Aswatama membuat pagebluk menghilang tapi hanya sementara. Begawan Pegatrasa lalu mencambuki dua jin qorin itu.  Putra mahkota Parikesit yakni Raden Janamejaya diam-diam memergoki sang begawan aneh itu. ia merasa ini tidak benar “ini tidfak benar...masa iya begawan mainnya beginian...aku harus bertindak...” gumam Janamejaya dalam hati. Namun sebelum melaksanakan niatnya, Janamejaya kepergok oleh Begawan Pegatrasa. Karena merasa tidak ada yang perlu disembunyikan lagi dihadapannya, janamejaya berkata dengan tegas “hei begawan aneh...sejak kedatanganmu kemari, susanan di kerajaaan jadi makin aneh. Aku memerintahkanmu untuk segera per...”baru saja Raden Janamejaya berkata pergi sang begawan, datang pasukan jin dan setan dari Setra Gandamayu. Begawan Pegatrasa lalu berkata “usirlah aku kalau berani.” Raden Janamejaya hendak melarikan diri pun diseret ke alam jin. Portal alam jin terbuka dan raden Janamejaya pun masuk ke dalamnya. Begawan Pegatrasa pun berpura-pura panik “paduka prabu.... paduka prabu...kabar buruk paduka...” Prabu parikesit yang tengah duduk di atas takhtanya berkata “:ada apa bapa begawan? Kau terlihgat kalut sekali.” Begawan pegatrasa lalu menceritakan bahawa raden janamejaya telah dibawa ke alam jin. Parikesit kalut mendengar kabar itu. begawan Pegatrasa berkata kalau penyebab anaknya hilang karena kemarahan Dewasrani yang kini dibakar di neraka. Satu-satunya cara agar Dewasrani tidak marah lagi ialah dengan menghabisi anak keturunan Wisanggeni yakni Wisangkara. Parikesit terhasut lagi dan merencanakan pembunuhan itu dengan tangan sendiri. Bambang Wisangkara mendengar secara diam-diam dan berkata “tidak bisa begini..sejak begawan aneh itu datang, kelakuan dinda prabu makin menjadi-jadi gilanya. Baik aku pergi dari sini... aku harus menyusun rencana agar bisa mengusir si begawan aneh.” Pada malam hari yang berkabut, Bambang Wisangkara mengerahkan ajian Pedut Wisa. Berkat jurus itu, seisi istana tertidur karena selimut kabut penenang itu. setelah dirasa penjagaan sudah cukup lemah, ia pun pergi dan menghilang di tengah kelamnya malam.

Ketika bangun keesokan paginya, Parikesitu terkejut melihat semua orang disana lengah dan tidak menemukan kemana perginya Wisangkara. Dengan penuh kemurkaan, Parikesit pun menetapkan Wisangkara sebagai pengkhianat negara. Lalu datanglah tiga orang pemuda-pemudi yakni Brajasena, Bimawan dan Bimawati. Mereka menghadap kepada Prabu Parikesit untuk diakui sebagai keturunan Pandawa. Prabu Parikesit mendatangi Bimawan dan Bimawati.

Adu Domba Pegatrasa
Parikesit melihat kedua orang itu memakai pakaian kebesaran peninggalan sang kakek, Wrekodara. Ia mengakui kalau Bimawan dan Bimawati adalah paman dan bibinya namun ketika melihat ke arah Brajasena, ia tak sengaja melihat bahawa dibelakang sang pemuda itu turut membawa Lengkung Kusuma, si calon tumbal, Parikesit memerintahkannya untuk menyerahkan calon korban tumbal itu. “anak muda, kau membawa orang yang kami cari...serahkan orang itu !”  Brajasena secara tegas berkata tidak mau “tidak akan paduka prabu, baru kali ini ada pagebluk harus pakai pengorbanan tumbal manusia? Paduka prabu sudah kehilangan akal sampai harus mendengar perkataan begawan tidak jelas itu!! ” kata Brajasena sambil menunjuk ke arah begawan Pegatrasa. Begawan Pegatrasa melihat ada kesempatan baik, maka ia merapal kembali ilmu sihirnya untuk mengadu domba tiga bersaudara itu. Lalu datang sebuah kekuatan aneh yang membuat Bimawan dan Bimawati terhipnotis dan menyerang Brajasena. Brajasena tidak mau melawan kedua saudaranya maka ia pergi dari Hastinapura sambil membawa Lengkung Kusuma namun mereka dihadang Bimawan dan Bimawati “kakang Brajasena, cepat serahkan Paman Lengkung!” “Yang dikatakan kakng Bimawan benar. Ini demi negeri ayahanda!” Brajasena pun berkata “kalian berdua sadarlah! Kalian terkena pukau..” namun belum selesai Brajasena bicara, terjadi perkelahian antar tiga saudara itu. Bimawan yang sedang terkena pukau mengeluarkan ajian Rengkah Samudra sehingga memancurlah air dari dalam tanah menyerang Brajasena. Dewi Bimawati juga mengerahkan kekuatannya. Dengan menarik selendangnya yang dilambari Ajian Candrasekhara, Brajasena dan Lengkung Kusuma terpencar. Di saat lengah, Bimawan menhantamkan ajian Rengkah Samudra miliknya dan Candrasekhara milik Bimawati. Baamm...Bimawan terpental jauh masuk ke dalam hutan. Lengkung mulai ketar-ketir namun ia teringat pesan dari kakeknya, Sri Kresna “tiup serulingmu lalu pergi ketika mereka lengah” Lengkung Kusuma segera mengeluarkan serulingnya dan memainkannya. Mendadak suara seruling itu seakan memanggil kabut. Kabut pun turun menutupi seisi istana. Semua orang dibuat seperti terpesona. Di saat demikian, Lengkung Kusuma terus meniup serulingnya dan sudah dirasa cukup jauh dari kejaran pasukan Hastinapura, Lengkung Kusuma pun segera melarikan diri sembari mengikuti arah jatuhnya Brajasena. 

Di hutan persembunyian, Wisangkara bertemu dengan ayahnya, Wisanggeni yang sudah menjadi makhluk kahyangan. Wisanggeni menerangkan “anakku, yang membuat kejadian aneh di Hastinapura itu begawan Pegatrasa yang dibantu anak Dewasrani, Sranikumara. Kau harus berhasil menghentikan mereka.” Maka Wisanggeni memberikan pakaian pendita. Mulai hari itu, Wisangkara menyamar sebagai brahmana bergelar Begawan Agnisuci. Selama menjadi brahmana, ia melindungi semua orang dan menyembuhkan orang-orang dari pagebluk. Ketika melewati sebuah hutan, Wisangkara menemukan Lengkung Kusuma bersama Brajasena yang sejak kemarin masih dalam keadaan tak sadarkan diri. Agnisuci segera menerawang apa yang terjadi. Dalam penglihatan, Begawan Agnisuci melihat kondisi Brajasena saat ini mati suri. Sukmanya masih nglembara sedangkan badannya dalam keadaan pingsan seperti tertidur. “Paman, baik kau minggir sebentar. Aku akan bangunkan ki sanak ini.” Dengan menggunakan Ajian Widyagni (api pengetahuan), Sukma Brajasena bisa dikembalikan lagi ke raganya. Sekilas, Begawan Agnisuci melihat jati diri yang tersembunyi dalam diri Brajasena. Ketika masuk kembali pikiran alam bawah sadar, terlihatlah memori kelahiran Brajasena. Setelah keduanya sadar, Agnisuci menanyai Brajasena “ki sanak ini siapa? aku melihat darah kakekku Bratasena alias Bhima Wrekodara dalam darahmu.” Brajasena tidak tahu, yang ia ingat adalah ia mendadak bangun di sebuah hutan dan mendatangai Dewi Sumekar saat berusia tujuh tahun. Agnisuci lalu menceritakan soal  penerawangannya bahwa Brajasena adalah juga keturunan Pandawa. Menurut penerawangan Agnisuci, Brajasena lahir dari kama Wrekodara yang jatuh ke bumi saat pernikahan Wrekodara dan dewi Sumekar. Dahulu ketika pelaksanaan penobatan Parikesit selesai, Arya Wrekodara mencoba sekali lagi keampuhan ajian Rabi Batin miliknya dan rupanya berhasil. Ia bertemu dengam Dewi Sumekar dari desa Sonosekar. Kemudian mereka berdua saling bertemu dan kemudian menikah di alam nyata. Ketika berbulan madu, air kama (benih sperma) Arya Wrekodara muncrat dan tumpah meresap ke tanah yang kemudian diruwat dan menjadi seorang pria dewasa oleh Batara Naga Adisesa, ular suci Sri Batara Wisnu. Setelah cukup dewasa, Brajasena ingin pergi mencari jati dirinya. Batara Naga Adisesa mengizinkannya namun ketika naik ke permukaan bumi, ingatannya itu dihapus dan tubuhnya pun kembali ke usia asalnya yakni tujuh tahun. Itulah sebabnya, Brajasena tidak ingat apa-apa soal kelahirannya. Brajasena pun terharu mendengar bahwa ia bukan sekadar saudara angkat Bimawan dan Bimawati semata tapi saudara seayah. Maka dengan tekat yang kuat, Brajasena pun menjadi pendita di bawah pengajaran Agnisuci demi membebaskan keuda saudaranya dari belenggu sihir Begawan Pegatrasa.

Perlahan tapi pasti, padepokan Agnisuci mulai besar dan membuat pamor Begawan Pegatrasa semakin redup maka sang begawan meminta Parikesit dan saudara-saudaranya agar mengobrak-abrik padepokan itu. Singkat cerita, pasukan sekota Hastinapura datang mengobrak-abrik desa sekitar padepokan namun keajaiban terjadi. Ketika hendak menerobos masuk, para prajurit malah jatuh tertidur di depan pagar padepokan sementara Wiratmaka, Srengganamurti, Jayasumpena, dan lain-lain mendengar suara seruling yang sangat indah mengalun dihembus angin “dinda Wiratmaka, siapa yang bisa meniup seruling seindah ini? suara yang begitu sejuk...” ujar Srengganamurti “benar, kakang Srenggana. Suara ini mengingatkanku pada seruling eyang prabu Sri Kresna.” kata Wiratmaka sambil mengingat-ingat memori masa lalu “Bimawan ikut berkata “suara ini...pernah kami dengar beberapa hari yang lalu...” Bimawati ikut pula bicara “kau benar kakang, aku juga pernah mendengar suara ini.... tapi dimana ya kakang...aku tidak ingat...”  Jayasumpena lalu menangis terharu “duh gusti jagat dewa batara.....mengingat suara ini aku jadi ingat dinda Lengkung , paman Petruk, dan eyang Prabu Sri Kresna.” Seluruh saudara Parikesit pun memasuki padepokan yang menjadi asal suara itu. di dalam padepokan yang sederhana itu, mereka semua melihat Lengkung Kusuma memainkan seruling indah dan Begawan Agnisuci juga Begawan Brajasena sedang bermeditasi. Entah karena kekuatan sihir atau memang aura padepokan itu sangat positif, kesemua saudara-saudara Parikesit begitu pula Bimawan dan Bimawati ikut bermeditasi.dalam meditasi yang begitu hening itu, aura negatif yang memenuhi pikiran dan seluruh tubuh mereka pun perlahan sirna.

Janamejaya berhasil dibawa balik 
Saudara-saudaranya Parikesit berhasil disadarkan malah berbalik melawan Parikesit. Bimawan dan Bimawati begitu juga para saudara lainnya pun bahkan mengetahui jati diri Brajasena. “kakang Brajasena, tolong maafkan kami.” “sudahlah...kalian semua berdiri... kalian sudah ku maafkan...”  Mereka pun berpelukan haru dan meminta maaf.

Lalu datanglah Prabu Parikesit sendiri bersama Begawan Pegatrasa ke padepokan Agnisuci. Prabu Parikesit menggunakan Ajian Lebur Sakethi miliknya untuk meruntuhkan padepokan itu. Padepokan pun bergoncang dahsyat. “tidak bisa dibiarkan, kakang Parikesit harus segera disadarkan.” Begawan Agnisuci mengeluarkan ajian Waringin putih untuk mengimbangi kekuatan jahat yang bersemayam di tubuh Parikesit. Akhirnya Parikesit kalah “apa-apan ini? Aku kalah...sejauh ini tidak ada yang bisa mengalahkan Lebur Sakethi milikku..kecuali dinda Wisangkara...baik aku masuk ke sana” Prabu Parikesit pun penasaran lalu memasuki padepokan Agnisuci. Di dalam padepokan itu, Prabu Parikesit berhasil disadarkan kembali. Namun ia bersedih hati karena putranya Raden Janamejaya masih menghilang. Lengkung Kusuma pun membacakan ajian Lawang Pitu dengan menyebut nama-nama Pandawa, Kurawa, dan keluarga besar Yadawa. Tak lama kemudian, dengan keajaiban, sukma para Pandawa, para Kurawa yang sudah diangkat ke Swargamaniloka berkat bantuan Yudhistira, dan juga Sri Kresna yang sudah menjadi makhluk kahyangan membawa Raden Janamejaya keluar dari alam jin. “cucuku...ini anakmu telah kami bawa pulang...berkat bantuan Lengkung Kusuma membaca ajian Lawang Pitu, kami bisa mengeluarkan Janamejaya dari alam jin.” ujar sukma prabu Yudhistira.” Sukma prabu Sri Kresna yang tak lain adalah Batara Wisnu itu sendiri pun membersihkan seisi padepokan itu itu dari segala ilmu sihir gelap dan negatif.  Arya Wrekodara lalu mendekati ketiga putra-putrinya yakni Arya Bimawan, Bimawati dan Brajasena. Mereka pun melepas rindu dengan ayah mereka meskipun hanya badan halus saja. Begawan Pegatrasa kesal maka ia menyerang begawan Agnisuci dengan main belakang. Akibatnya Begawan Agnisuci terlempar ke sebuah pohon dan badar ke wujud aslinya yakni Bambang Wisangkara. Sukma Wisanggeni berusaha menyembuhkan putranya. Ketika itu, Brajasena pun maju dan menyerang Pegatrasa dengan berbagai kekuatan dan ajian. Sukma ayahnya yakni Arya Wrekodara ikut membantu. Akhirnya badar pula penyamaran begawan Pegatrasa ke wujud semula yakni Danyang Suwela, anak Aswatama yang selama ini dicari-cari Parikesit. “rupanaya kau Danyang Suwela.....aku perintahkan kau menyerah atau kami habisi...” “Dengan sombangnya, Danya Suwela pun berkata “hah...jangan harap!.... kalian semua terutama kau Parikesit! Keberadaanmu Membuat Ayahku Tidak Bisa Mati Dengan Tenang....Sekarang Saatnya Kau Yang Akan Mati!” Danyang Suwela merapal matra dan seketika terbukalah portal alam jin. Pasukan jin itu bersama Sranikumara datang. Danyang Suwela memerintahkan Sranikumara, jin qorin Dursasana, dan jin qorin Aswatama menyerang Brajasena. Lalu sukma/pancer dari Arya Dursasana pun datang membela Brajasena sehingga badarlah jin qorin itu ke wujud aslinya, yakni bangsa setan penghuni Setra Gandamayu. Sranikumara pun bertarung dengan Wisangkara dan sukma Wisanggeni. Dengan ajian Agniwarna, muncullah api berwarna-warni yang menghanguskan tubuh Sranikumara dan berbagain bangsa jin lainnya. Begawan Brajasena pun kembali bertarung dengan Danyang Suwela. Brajasena menyerang Danyang Suwela secara kilat dengan Ajian Sepi Angin. Tapak dan langkah kakinya bergerak sekencang angin. serangannya pun cepat dan beruintun. Danyang Suwela tak mau kalah.

Brajasena melawan Danyang Suwela
Sang putra Aswatama itu mengerahkan ajian Rengkah Bumi milkiknya sehingga ia bisa dengan cepat sembunyi ke bawah bumi, namun Brajasena mampu mengejarnya. Begitu danyang Suwela naik ke angkasa, Brjasena mampu mengimbanginya dan menghajarnya diatas awan. Tak mau kehilangan momentum, Brajasena  pun menyerang titik lemah Danyang Suwela yakni di bagian rambutnya yang mirip kuda (ayah Suwela adalah Aswatama yang berambut seperti kuda). Dengan sangat pintar, Brajasena mengerahkan seluruh kekuatannya dan memangkas rambut danyang Suwela dengan ajian Angin Garudha yang telah dilambari ajian Waringin Putih. Akhirnya Danyang Suwela berhasil dikalahkan dan Sranikumara berhasil dibawa Arya Dursasana  ke neraka agar dihukum bersama ayahnya. Setelah dirasa cukup, roh para Pandawa, Kurawa, dan Sri Kresna kembali ke Swarga. Kerajaan Hastinapura kembali damai. Brajasena, Bimawan, dan Bimawati mendapatkan hak mereka sebagai keturuna Pandawa. Mereka bertiga pun memutuskan untuk mengelaola Padepokan Angisuci. Sedangkan Wisangkara alias sang Begawan Agnisuci sendiri pun mendapatkan kembali nama baiknya. Ia kembali menjadi penasehat utama Prabu Parikesit.

Jumat, 22 Maret 2024

Kidung Cinta Sritanjung-Widapaksa

Hai semua pembaca dan penikmat kisah pewayangan, kisah kali ini menceritakan kisah cinta putra dan putri Nakula dan Sadewa yakni Bambang Widapaksa dan Dewi Sritanjung yang melegenda dan kelak di kemudian hari dikenal sebagai kisah Banyuwangi. kisah ini mengambil sumber dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional yang berisi panil-panil kisah Sritanjung di candi Surawana dan Sri Tanjung - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas dengan perubahan dan penambahan.

Selepas kepergian Pandawa ke Gunung Mahameru, Kisah diawali dengan menceritakan tentang seorang ksatria yang tampan dan gagah perkasa bernama Bambang Widapaksa yang merupakan keturunan keluarga Pandawa (Sadewa atau Sudamala )dan seorang gadis cantik bernama Dewi Sritanjung yang juga keturunan Pandawa yakni putri Nakula, saudara kembar Sadewa. Setelah diakui sebagai keturunan Pandawa di Hastinapura, Widapaksa dan Sritanjung memerintah negeri Bumirahtawu. Ia bersahabat dengan raden Sulakrama yang berkuasa di Negeri Sindurejo sejak ia belajar di pertapaan Begawan Tamba Patra. Pada suatu hari Bambang Widapaksa mengundang para raja di seantero Jawadwipa dan Hindustan termasuk pangeran Sulakrama dari Sindurejo untuk memperingati satu tahun berdirinya kerjaan Bumirahtawu. Raden Sulakrama saat itu sudah diangkat menjadi raja bergelar Prabu Sulakrama. Setelah acara selesai, para raja kembali ke negara masing-masing tapi tidak dengan Prabu Sulakrama. Ia memilih untuk tinggal di Bumirahtawu untuk beberapa hari.

Rupanya, Prabu Sulakrama ingin memiliki negeri Bumirtahtawu yang gemah ripah loh jinawi itu dan terlebih lagi, diam-diam  sang raja dari Sinurejo itu terpesona akan kecantikan Sritanjung padahal sebelumnya ini ia biasa saja kepada Sritanjung. Entah setan mana yang merasukinya. Sang Prabu menyimpan hasrat untuk merebut Sritanjung dari tangan Widapaksa yang merupakan sahabatnya sendiri, sehingga ia mencari siasat agar dapat memisahkan Sritanjung dari Widapaksa. Lantas Prabu Sulakrama berkata kepada Widapaksa “Widapaksa sahabatku.... aku sebagai sahabatmu bolehkan aku minta bantuanmu?” “bantuan apa yang kau inginkan, Sulakrama sahabatku?” Prabu Sulakrama mengungkapakan keinginannya kepada sahabatnya itu “sahabatku, kau adalah putra Sadewa yang hebat. Tentunya kau bisa meminta kepada para dewa untuk memberikan obat kepada isteriku yang sedang sakit keras.” Widapaksa pun menyanggupinya “ tentu saja, sahabatku. Aku akan memenuhi permohonanmu kepada para dewa.” Prabu Sulakrama lalu memberikan surat yang dimaksud tapi dengan liciknya prabu Sulakrama berniat menjebak sahabatnya itu dengan isi surat itu ditulis "Pembawa surat ini akan menyerang Swargaloka". Widapaksa lalu mempersilakan Prabu Sulakrama ke wisma tamu yang telah disediakan. Lalu Widapaksa mengungkapkan keinginannya kepada isterinya, Sritanjung. Dewi Sritanjung lalu berkata “suamiku, aku akan membantumu.”

Widapaksa menuju ke kahyangan
Dewi Sritanjung lalu bersemadhi dan mengeluarkan pusaka dari Begawan Tamba Patra yakni Mustika Cindhe. Pusaka berbentuk kain selendang itu diberikan kepada sang suami “pakai selendang dari kakek Tamba Patra ini. Dengan kain selendang ini, kakanda bisa terbang kemana saja.” Tanpa ba-bi-bu lagi, Bambang Widapaksa segera terbang ke kahyangan.

Setibanya di kahyangan, bambang Widapaksa datang menghadap. Di pasewakan itu duduk di atas takhtanya batara Guru dan Batari Durga diapit para dewa lainnya yakni batara Narada, batara Bayu, batara Indra, dan Batara Brahma  “sembah bekti hamba kepada pukulun para dewa yang terhormat.” Batara Guru pun berkata  “sembahmu ku terima. Ada keperluan apa wahai cucuku sampai-sampai kau datang ke kahyangan ini?” bambang Widapksa lalu memberikan surat dari Prabu Sulakrama. Batara narada lalu membaca isi surat itu. “disini tertulis bahwa para dewa yang tehormat. Saya sebagai raja dari Sindurejo sangat takut kepada pembawa surat ini. Surat ini ku tulis agar para dewa membantu hamba. Pembawa surat ini adalh seorang pemberontak yang telah mengkudeta negara saya dan sekarang akan menyerang kahyangan pukulun batara yang terhormat. Hamba mohon agar ia diberikan keadilan.” Sang penghulu para dewa, batara Brahma dan batari Durga nampak sedikit kecut wajahnya namun mereka berusaha tenang saat mendengar isi surat itu namun tidak dengan Batara Bayu dan batara Indra yang tidak sangat marah mendengar isi surat tersebut. Akibatnya, dengan tanpa ampun, Widapaksa dihajar dan dipukuli oleh para dewa yang dikomandoi batara bayu dan batara Indra. Dengan segenap kekuatannya, bambang Widpaksa berusaha meluruskan kesalahpahaman ini namun ia justru makin babak belur. Namun akhirnya, Widapksa berhasil mengatasinya “tolong pukulun yang terhormat, aku adalah Widapaksa. Aku putra dari Sadewa sang Arya Sudamala. Isteriku Dewi Sritanjung juga keturunan pandawa dari pamanku Nakula. Tolong ampuni saya dan kekhilafan saya!!” batari Durga pun melerai dan menjelaskan “tunggu, Bayu! Indra! Jangan gegabah! Aku mengenal Sadewa! Dia yang meruwatku saat menjadi Ra Nini. Keturunannya juga harus dilindungi.” Batari Durga lalu mendekati Widapaksa dan berkata  “Cucuku, kau sebaiknya segera pulang ke bumi.  Kau dijebak oleh Sulakrama! Aku tidak yakin apakah perasaanku ini benar tapi aku merasakan ada sesuatu yang tak baik akan diantara kalian bertiga. Pulanglah, cucuku” maka jelaslah kesalahpahaman itu. Bambang Widapaksa kemudian dibebaskan dan diberi berkah oleh para dewa.

Sementara itu di marcapada (bumi), sepeninggal Widapaksa, Sritanjung digoda oleh Prabu Sulakrama. “Sritanjung, sekarang suamimu sedang tidak ada disini. Ayo ikut aku! kita nikmati malam ini bersama dalam renjana.” Sritanjung menolak “tidak akan, Sulakrama! Aku akan setia pada suamiku!” tetapi Sulakrama memaksa “apa yang kau harapkan dari suamimu Widapaksa. Aku ini lebih ganteng dan lebih kaya dari negerimu ini. Sekarang ini pasti sudah Widapksa habis dihajar para dewa .” Dewi Sritanjung lalu berkata dengan ketakutan “apa yang telah kau lakukan pada suamiku?” Prabu Sulakrama lalu mengungkapkan rencana jahatnya kepada Widapaksa. Dewi Sritanjung lalu menampar wajah Sulakrama. Bukannya marah malah ia semakin benafsu kepada Sritanjung. Dengan meninggalkan kesusilaan dan kesopanan, Sulakrama membuka bajunya dan hendak memeluk Sritanjung. Prabu Sulakrama berbuat tak senonoh di istana sahabatnya sendiri. Dewi Sritanjung merasa jijik lalu ia lari menjauh keluar istana. Kemanapu ia lari asal bisa pergi dari Sulakrama. Makin tertantanglah Prabu Sulakrama. Ia kejar sang permaisuri Bumirahtawu itu hingga sampai di sebuah tepi sungai berair jernih. Lalu dengan paksa, Prabu Sulakrama memeluk Sritanjung, dan hendak memperkosanya. Mendadak datang Widapaksa yang menyaksikan istrinya berpelukan dengan sang Prabu. “Isteriku! Apa yang kau perbuat?!” Prabu Sulakrama yang jahat dan licik, malah balik memfitnah Sritanjung dengan menuduhnya sebagai wanita sundal penggoda “Sahabatku, Isterimu kurang diajari tatakrama! Dia berkelakuan sundal. Dia menggodaku dan hendak berzina denganku! Hukumlah dia sahabatku!” Widapaksa termakan hasutan sang sahabat dan mengira istrinya telah berselingkuh, sehingga ia terbakar amarah dan kecemburuan. “Sritanjung! Biadab betul Budimu! Aku Dipukuli Para Dewa Di Kahyangan sementara Kau Bersenang-senang dengan Sulakrama di Belakangku! Kau harus Kuhukum!” Dewi Sritanjung memohon kepada suaminya agar percaya bahwa ia tak berdosa dan selalu setia. Namun rupanya Widapaksa tidak percaya dan kadung emosi. Maka ia hendak menarik kerisnya.  Dengan penuh kesedihan Sritanjung bersumpah “Suamiku, sebegitu kau percaya pada orang jahat itu hingga membutakan hatimu. Saksikan sumpahku! Sumpah putri dari Prabu Nakula yang sangat berbakti! Demi nama agung Hyang Widhi dan para dewa di kahyangan sana! apabila diriku sampai dibunuh, jika sungai ini berwarna merah darah tandanya aku memang sundal berdosa tapi jika sungai ini menjadi harum dan wangi, maka itu merupakan bukti aku tak bersalah!” Akhirnya dengan garang Widapaksa yang sudah gelap mata menikam Sritanjung dengan keris dan mancampakkan tubuh moleknya itu ke sungai. Maka keajaiban pun terjadi, benarlah sumpah Sritanjung.

Banyuwangi :Widapaksa menyesali perbuatannya
Setelah tubuh Sritanjung dibuang ke sungai, mendadak bukan sungai itu memerah karena darah melainkan air sungai itu mengeluarkan aroma harum wangi semerbak, laksana wanginya bunga tanjung yang sedang mekar. Konon air yang harum mewangi itu menjadi asal mula nama tempat tersebut yang kemudian dinamakan Banyuwangi, yang bermakna "air yang wangi". Melihat hal tersebut, Bambang Widapaksa menyadari kekeliruannya dan menyesali perbuatannya. Tanpa pikir panjang, Widapaksa lalu segera terjun ke sungai beraroma wangi itu mencari jasad isterinya namun tak kunjung ketemu lalu ia terseret arus deras dan membuatnya lemas. Tubuhnya pun ikut terhanyut-hanyut lalu menghilang sama seperti tubuh Sritanjung. Prabu Sulakrama yang menyadari sumpah Sritanjung terjadi segera kabur kembali ke negeri Sindurejo.

Bambang Widapksa lalu terbangun dan mendapati dirinya berada di atas sebuah batu di tepi sungai beraroma wangi itu. Ia sangat berduka dan menyesal kenapa ia tidak mendengarkan isterinya malah mempercayai orang yang tega menusuknya dari belakang. Lalu datang Batara Guru membawa kabar bahwa Sritanjung belum saatnya mati. Ia kini mengembara menuju alam kahyangan demi mendapatkan keadilan. Batara Guru lalu mengajak Widapksa untuk naik ke kahyangan menjemput sukma Sritanjung. Dengan kain Cindhe Mustika, Bambang Widapksa terbang ke kahyangan bersama batara Guru.

Sementara itu Sukma Sritanjung menuju ke kahyangan Setra Gandamayu dengan menaiki seekor ikan tombro (sejenis ikan mas bersisik putih) raksasa. Di tengah perjalanannya, Dewi Sritanjung bertemu Batari Durga. Bersamaan itu juga, Batara Guru datang bersama Bambang  Widapaksa. Widapaksa baru saja menyadari, jika tubuhnya tembus pandang. Ya, Widapaksa datang kepada Sritanjung hanya berwujud atma (jiwa), bukan raga kasarnya. Di saat demikian Widapaksa menyadari baik drinya maupun Sritanjung datang ke kahyangan dengan keadaan mati suri.

Widapaksa dan Sritanjung dipertemukan kembali
Setelah mengetahui kisah ketidakadilan yang menimpa Sritanjung dan kronologi kejadian dari Widapaksa, batari Durga berkata kalau Sritanjung bisa kembali ke alam bumi. Dewi Sritanjung senang mendengarnya namun ia meminta sebuah syarat kepada suaminya.Widapaksa bersedia memenuhi syarat itu. Kini pasangan Widapaksa-Sritanjung pun dipersatukan kembali. Mereka pun segera kembali ke alam bumi dengan menaiki ikan tombro raksasa.

Entah sudah berapa lama, Bambang Widapaksa dan Dewi Sritanjung terbangun dan mendapati diri mereka sudah berada di istana Bumirahtawu. Mereka berduia dikelilingi para keponakan yakni Prabu Parikesit dan patih Harya Dwara, Prabu Pancakesuma, Prabu Sasikirana, Adipati Antasurya, dan Haryapatih Danurwenda. “prabu Parikesit berkata “paman dan bibi, astungkara kalian bisa selamat.” Bambang Widapaksa bertanya “lho anak prabu berdua dan anak-anakku! Bagaimana kami bisa berada di Bumirahtawu?” Patih Dwara berkata “kami mendapat wangsit dari dewa.” Dewi Sritanjung berttanya “wangsit? Wangsit seperti apa.” Prabu Pancakesuma lalu menjawab “kami mendapat wangsit tentang sungai berbau wangi. Kami mendatangi sungai itu. benar saja kami mencium sungai itu mengeluarkan aroma wangi dan setelah kami susuri, kami mendapati tubuh paman dan bibi tergeletak di sana.” Lalu Prabu Sasikirana berkata “paman dan bibi sudah dalam keadaan mati suri selama nyaris sepekan. Tapi berkat kemampuan kakang Danurwenda dan adhi Antasurya, paman dan bibi bisa hidup kembali.” Bambang Widapaksa dan Dewi Sritanjung lalu mengucapkan syukur berterimakasih atas kemurahan dewata. Dewi Sritanjung lalu menagih janji syarat kepada sang suami “suamiku,ingatkah kakanda dengan syarat dariku jika kita kembali?” syarat yang diminta Sritanjung yakni memerintahkan Widapaksa untuk menghukum kejahatan Prabu Sulakrama. Ia membuktikan janjinya. Bambang Widapaksa pun membalas dendam dan berhasil membunuh Prabu Sulakrama dalam suatu peperangan. Negara Sindurejo pun luluh lantak. Mahkota Prabu Sulakrama diambil oleh Bambang Widapaksa dan dipersembahkan kepada Dewi Sritanjung, isteri tercinta sebagai bukti janji mereka.


Rabu, 13 Maret 2024

Pandawa Swarga

Hai semua pembaca dan penikmat kisah pewayangan. Sebentar lagi segmen kisah Mahabharata akan segera selesai. Setelah perang batin yang panjang, tidak terasa sampai juga di bagian ini, bagian tersakral dari Mahabharata. Kisah kali ini mengisahkan perjalanan suci Para Pandawa mendaki puncak Mahameru demi menggapai swargamaniloka. Kisah ini diawali dengan mengisahkan pertemuan Nakula dan Sadewa dengan kedua putra-putrinya yakni Widapaksa dan Sritanjung, lalu disambung perjalanan panjang ke Mahameru, gugurnya para Pandawa, dan ujian terakhir untuk Yudhistira di swargamaniloka. Kisah ini mengambil sumber kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa, Serial Kolosal India Suryaputra Karna, blog Pandawa Seda - Kumpulan Cerita Wayang , blog LAKON WAYANG: PANDAWA MOKSA, dan blog Banjaran Pandawa (5) Pandawa Muksa | Wayang Indonesia dengan perubahan dan penambahan seperlunya.

Beberapa hari setelah peristiwa diaspora Wangsa Yadawa ke Hastinapura, datanglah sepasang suami isteri yakni Widapaksa dan Sritanjung. Mereka datang ke Hastinapura untuk menemui Prabu Nakula dan Patih Sadewa. Kebetulan di hari itu, Prabu Nakula dan patih Sadewa sedang berada di Hastinapura. Prabu Parikesit pun bertanya “wahai, kisanak dan nisanak, apa tujuan kamu berdua datang ke sini?” “ampun ananda Prabu parikesit....kedatangan kami yang lancang ini ingin bertemu dengan gusti Prabu Nakula dan patih Sadewa.” Prabu Nakula pun bertanya “untuk apa kalian bertemu kami? Apa kami membuat kesalahan?” Dewi Sritanjung lalu berkata “kami ingin sowan sebagai bentuk darmabakti kami sebagai putra-putri beliau.” Prabu Nakula dan patih Sadewa kaget mendengarnya “apa?! Kalian anak-anak kami? Masakah begitu? “ Patih Sadewa lalu bercerita bahwa anak-anak mereka sudah lama meninggal tiga puluh tahun yang lalu dan sekarang hanya meninggalkan beberapa cucu saja. Widapaksa lalu berkata “saya adalah putra gusti Patih Sadewa dengan Dewi Pradapa, anak begawan Tamba Petra.” Lalu Sritanjung ikut bicara “ dan saya putri gusti Prabu Nakula dengan Dewi Soka yang juga anak begawan Tamba Petra.” Lalu Widapaksa bercerita sejak peristiwa kidung Sudamala dan pernikahan Nakula-Sadewa dengan kakak beradik putri Begawan Tamba Petra, Nakula dan Sadewa memboyong para isteri ke istana masing-masing. Nakula membawa Dewi Soka ke Sawojajar sementara Sadewa membawa Dewi Pradapa ke Baweratalun sehingga pecahlah perang Gonjalisuta lalu disusul perang Bharatayudha setelahnya. Nakula dan Sadewa meninggalkan istana demi ikut bersama para saudaranya ke medan perang dan isteri-isteri mereka dalam keadaan hamil besar. Sampai dua perang ini selesai dan isteri-isteri mereka melahirkan, Nakula dan Sadewa tidak kembali ke Sawojajar maupun Baweratalun karena mereka diangkat menjadi raja dan patih di Mandaraka.

Kemunculan Widapaksa dan Sritanjung
Maka Widapaksa dan Sritanjung lahir dan besar tanpa saling mengenal satu sama lain sehingga mereka menikah. Ibu Widapaksa dan Sritanjung selalu menceritakana bahwa ayah mereka adalah pahlawan perang Bharatayudha dan kelak suatu saat mereka harus mengabdi pada mereka sehingga datang hari ini ketika seluruh keluarga Pandawa berbahagia saat penobatan Parikesit dan Pancakesuma. mereka ingin datang ke sana namun dihalangi keadaan Sawojajar dan Baweratalun yang saat itu masih ditimpa kelaparan karena kebakaran hutan. Lalu ketika semua masalah teatasi, mereka berangkat namun sebelum sampai di hastinapura, mereka ingin sowan juga ke Dwarawati untuk bertemu kepada Prabu Sri Kresna namun mereka terlambat karena Prabu Sri Kresna sudah wafat dan istana Dwarawati yang berdiri di atas pulau Dwaraka sudah tenggelam ke dasar samudera.

Prabu Nakula dan patih Sadewa terharu mendengarnya kisah hidup anak-anak mereka itu. Raja dan patih kembar itu lalu memeluk anak-anak mereka melepas rindu. Patih Sadewa meminta maaf diikuti Prabu Nakula karena telah menelantarkan mereka. Lalu kini gantian Prabu Parikesit menghormat pada paman dan bibinya itu diikuti saudara-saudara yang lain. Di hari yang bahagia itu, Widapaksa dan Sritanjung kembali menikah dengan acara meriah. Acara mbanyu mili dan di hari itu juga Widapaksa diangkat sebagai adipati Sawojajar dan Baweratalun dengan Sritanjung sebagai permaisurinya. Karena memimpin dua wilayah sekaligusmaka dua negeri itu digabung menjadi Bumirahtawu.

Beberapa hari kemudian, Prabusepuh Yudhistira memikirkan sesuatu. Terhitung sejak setelah Parikesit putera Abimanyu dan Dewi Utari, yang tak lain adalah cucu Arjuna dinobatkan sebagai raja Hastinapura, para tetua dan Sri Kresna wafat, Para Pandawa merasa sudah semakin tua saja dan sudah saatnya untuk meninggalkan kehidupan duniawi. Hingga pada suatu hari, Prabusepuh Yudhistira merasa bahwa inilah saatnya untuk meninggalkan semua kehidupan duniawi dan berniat untuk mengembara mendaki puncak Mahameru. Para Pandawa yang lain tidak rela bila harus ditinggalkan oleh kakaknya, mereka bersikeras untuk ikut mendaki puncak Mahameru. “kakang Yudhistira, kita ini Pandawa, kemanapun kakang pergi kita akan bersama.....ajak kami semua.” Prabusepuh Yudhistira makin binguing karena isterinya, Dewi Drupadi dan para isteri Arjuna, yakni Sumbadra dan Ulupi turut inginn ikut. Mereka juga ingin ikut dalam perjalanan yang tidak mudah itu. Arjuna dan Yudhistira berusaha mencegah istrinya, namun Drupadi sudah bertekad “suamiku, hanya kau, dan adik-adik ipar saja keluargaku sekarang. Ayah, saudara dan puteraku telah gugur di Bharatayudha.” Sumbadra dan Ulupi juga ikut bicara “benar kata yunda Drupadi, hanya kakanda kulup, abang dan adik semua keluarga kami.” “aku mohon, kakanda Parta...ajak kami...”  Yudhistira dan Arjuna pun tidak bisa menolak permintaan saudara dan istrinya.

Sumbadra, Ulupi, Drupadi dan para Pandawa memulai perjalanan mereka. Prabu Parikesit dan seluruh cucu Pandawa menangisi mereka. Namun sebeluim pergi, para pandawa mewariskan semua ilmu kesaktiannya dan ajian-ajiannya. Prabusepuh Yudhistira memberikan kalung Robyong, payung Tunggalnaga dan Tombak Karawelang kepada Parikesit, Pancakesuma dan Yodeyi. Arya Wrekodara memberi nasihat tentang hakikat kehidupan serta menghadiahkan aji Bandung Bandawasa, Ungkal Bener dan Blabak Pangantolantol kepada Danurwenda. Sedangkan gada Lukitamuka dan tombak Wilugarba diberikannya kepada Sasikirana. Sementara Bargawastra dan gada Rujhapala diwariskan kepada Jayasena alias Antasurya. Arjuna juga menghadiahkan kepada Parikesit keris Polanggeni, keris yang telah membantunya dulu saat hendak lahir juga panah Pasopati. Panah Ardadedali diwariskan kepada Wiratmaka dan Ajian Agneyastra diwariskan kepada Wisangkara. dua cupu Tirta mayahadi dan Tirta Mahusadi milik Nakula dan Sadewa diwariskan kepada Niramitra dan Suhatra. Negara Mandaraka akan dipimpin oleh mereka berdua. Dengan memakai pakaian sederhana tanpa lagi perhiasan dan keagungan, mereka pergi meninggalkan istana yang megah memasuki istana Yang MahaKuasa, istana sang alam. Ketika melewati sebuah desa benama Samahita,  mereka melihat seorang nenek sedang menimba sumur. Nenek itu jauh lebih tua dari para pandawa, mungkin sekitar 120 tahun usianya. Namun ia masih sangat kuat menimba air. Setiap air yang ditimba sampai di atas, kemudian dimasukkan ke dalam sumur lagi. Dewi Drupadi menanyainya. “ampun, nek...siapakah nenek? Dan apa yang nenek lakukan di sumur ini?” perempuan itu berbalik dan memperkenalkan dirinya “aku Ruminta, nak. Aku sedang mencari raja brana milikku di dalam sumur ini.” Prabusepuh Yudhistira bertanya “bagaimana bisa harta raja brana nenek ada di dalam sumur?” Nyai Ruminta pun bercerita bahwa semua harta kekayaan raja brana miliknya dimasukkan ke dalam sumur, sebab sejak perang Bharatayudha ia takut hartanya akan dirampok oleh perajurit Kurawa. Ia menjadi janda dan menjadi salah satu korban perang. Jika Pandawa tidak dapat menemukan dan mengembalikan kekayaannya, pasti akan mendapat hukuman Hyang Widhi. Lalu Arjuna dan Arya Wrekodara maju untuk membantu. Ia berkata “nenek tenang saja. jika Hyang Widhi berkehendak, kami sanggup mengembalikan harta kekayaan nenek.”lalu Arya Wrekodara berkata kepada  Nyai Ruminta sekarang, nenek ke desa. Panggil kabeh wong di desa,  minta bantuan orang se desa untuk mengisi sumur dengan air sampai penuh meluap-luap.” Singkat cerita, Nyai Ruminta berhasil mengajak orang sedesa mengambil air dari berbagai sumur, lalu dituangkan ke dalam sumur yang berisi harta kekayaan itu. Bersama dengan luapan air sumur, Arjuna menembakkan panah Tirta Waruna lalu air membuncah seperti air mancur dan bersamaan itu pula, keluarlah barang-barang emas berlian dari dalam sumur. Nyai Ruminta berterima kasih kepada mereka. Dewi Drupadi minta kepada sang nenek itu agar harta itu untuk semua orang di desa Samahita.

Setelah meninggalkan desa Samahita, Mereka berdelapan bersiap untuk mendaki gunung Mahameru. Saat akan memulai pendakian, di kaki gunung, mereka bertemu dengan anjing putih bersih dan matanya bersinar terang. Anjing itu pun ikut dalam perjalanan itu. ketika sampai di dekat bengawan Gangga, Dewi Ulupi mendengar suara yang memanggilnya dan kitu adalah suara Irawan, putranya yang telah lama gugur. Arjuna dan Ulupi lalu membasuh wajahnya di sungai itu dan melihat di pantulan air, Irawan nampak bahagia di swargamaniloka. Dewi Ulupi lalu berkata “kakanda, aku akan disini bersemadi sampai seluruh tubuhku lenyap dari dunia ini.”

Ulupi Muksa di Bengawan Gangga
Arjuna berusaha meyakinkan isterinya itu namun Ulupi sudah bulat tekadnya. Maka Ulupi pun pergi ke tengah bengawan Gangga, duduk di atas batu dan bersemadhi. Arjuna dengan menghela nafas, melepas Ulupi. Para Pandawa melanjutkan perjalanan. Hari berganti pekan, pekan berganti sasih. Perlahan tubuh Ulupi menyatu dengan sungai dan menghilang bersama derasnya air Bengawan Gangga.

Perjalanan para Pandawa, Drupadi dan Sumbadra pun sampai di sebuah kompleks bangunan  tua seperti candi. Candi itu bernama Candi Sekar. Bangunannya melekat di dinding lereng batu gunung yang sejak awal berlubang ditengah seperti gua dan dibangulah Candi Sekar. Dari celah pintu candi yang tembus, terlihat megahnya puncak Mahameru yang bersalju. Arjuna yang mula-mula memasuki bangunan itu setelah sebelumnya mandi di sendang dekat candi itu. lalu disusul, Yudhistira, Dewi Drupadi, Nakula, Sadewa , lalu Arya Wrekodara. Ketika giliran Dewi Sumbadra, ia memilih untuk bertapa di Candi Sekar “kakanda dan adhi-adhiku, aku akan bertapa disini sampai kematian menjemputku. Kalian lanjutkan perjalanan ke Mahameru” Arjuna susah hati karena kedua isterinya tidak bisa melanjutkan ke Mahameru. maka kini sisa berenamlah mereka deitemani si anjing putih menuju ke Mahameru. Dari kejauhan Arjuna melihat nanar perlahan tubuh Dewi Sumbadra bertukar wujud menjadi batu dan menyatu menjadi arca Dewi Sri Laksmi.

Perjalanan menuju puncak Mahameru yang menantang dimulai. Arjuna yang sudah benar-benar meninggalkan ke duniawian membuang busur dan anak panahnya.

Sumbadra menjadi arca Sri Laksmi di candi Sekar
Pendakian dimulai, udara yang semula sejuk menjadi dingin. Semakin ke atas, udara semakin tipis. Badai es, salju, debu vulkanik, dan angin bertiup semakin kencang. Drupadi semakin lemah namun dengan semangat menggebu, Drupadi terus mendaki “aku harus sampai ke puncak walau harus nyawa ku korbankan.”  Namun akhirnya Drupadi tidak sanggup lagi, ia terjatuh dan meninggal sebelum mencapai puncak Mahameru di pangkuan suaminya. Drupadi tidak bisa mencapai puncak Mahameru karena sebenarnya mulut pedasnya ketika mengejek Duryudhana yang jatuh ke kolam air di saat Sesaji Rajasuya. Setelah mengurus jenazah Drupadi secara layak, Pandawa melanjutkan perjalannya. Namun beberapa waktu kemudian, Nakula terlihat sangat kelelahan dan sempoyongan. Nakula akhirnya jatuh ke jurang saat melihat sebuah tanaman bunga dan hendak dipersembahkan kepada Drupadi. Ia pun gugur sebelum mencapai puncak Mahameru. Hal ini dikarenakan Nakula merasa bahwa dirinya adalah yang paling cakap dan tampan diantara kelima bersaudara. Keempat bersaudara itu kemudian melanjutkan perjalanannya. Namun, tak lama kemudian Sadewa mendengar suara saudaranya “Sadewa! Sadewa tolong aku!” Sadewa lalu melongok ke dasar jurang tempat Nakula terjatuh.Arjuna lalu mendekat dan menyadarkan adiknya “Sadewa sadarlah...itu suara penyesat...sadarlah...!!” namun Sadewa berkata sembari menepis tangan abangnya itu “tidak kakang, itu Nakula... dia masih hidup aku tau itu Nakula...aku kenal suaranya..” Arya Wrekodara segera menghalangi niat Sadewa untuk terjun ke jurang. Namun, terlambat, Sadewa lompat ke jurang dan ikut gugur bersama Nakula.  Ia meninggal sebelum berhasil mencapai puncak Mahameru. Hal ini dikarenakan, ia menganggap bahwa diirnya yang paling tahu dan dan berpengetahuan. 
Mahaprasthanikaparwa

Tiga putera Kunthi ini akhirnya melanjutkan perjalannya. Anjing yang mereka temui di kaki gunung pun masih setia mendampingi perjalanan mereka. Namun tak berapa lama, Arjuna tampak kelelahan dan, tanpa dinyana ia jatuh ke dasar jurang setelah tergelincir ketika melewati padang es. Arjuna tak sanggup melanjutkan perjalanannya. Ini karena kesombongannya, sifat sesumbarnya, dan selalu membanggakan diri bahwa dirinya adalah yang paling tampan dan sakti diantara saudaranya.

Kini tinggal Arya Wrekodara, Yudhistira dan sang anjing putih. Puncak Mahameru sudah tampak, namun ketika Arya Wrekodara hendak melangkah, ia menginjak es yang tipis dan tercebur ke sebuah kubangan air yang sangat dingin dan ketika berusaha menyelamatkan diri, tubuhnya tertarik arus dari dalam kubangan. Ternyata kubangan itu adalah aliran dari sungai bawah tanah. Karena mengalami kedinginan parah dan sudah lemas, Arya Wrekodara sudah tak kuat lagi untuk melanjutkan menuju puncak itu. Ia pun akhirnya menghembuskan napas terakhirnya dan tubuhnya tenggelam ke dasar kubangan..Di dalam hati, Yudhistira berkata bahawa walau adiknya sang Wrekodara alias Raden Bhima itu mendapat pencerahan suci dari Dewa Ruci, adiknya itu menganggap bahwa dirinyalah yang paling gagah perkasa merasa tidak ada yang ditakuti, dan paling tidak ingat orang lain ketika makan.

Tinggal Yudhistira yang dibilang lemah masih tangguh untuk melanjutkan perjalanan menuju puncak Mahameru bersama sang anjing putih. Setelah mencapai puncak Mahameru, seberkas sinar terang muncul dihadapannya. Sinar itu kemudian menjelma menjadi Batara Indra menyambut kedatangan Yudhitira. Batara Indra berkata “Yudhistira kau telah sampai di gerbang swargamaniloka dengan jasad kasarmu, tetapi anjing milikmu tidak diperbolehkan memasuki kahyangan.” Mendengar hal itu, Yudhistira kemudian berkata “ampun pukulun batara...hamba tidak mau masuk ke swargamaniloka kalau tanpa anjingku ini.” Batara Indra lalu berkata lagi “anjing itu binatang najis...tak pantas kiranya barang najis masuk ke Swargamaniloka yang suci dan bersih.” Yudhistira menegaskan kembali ucapannya. Keinginan saya bulat, pukulun batara. Hamba rela tidak ke swargamaniloka bila anjing yang setia menemani perjalanan hamba tidak diijinkan masuk pula.”

Swargarohanaparwa
Seketika, sang anjing berubah menjadi Batara Dharma. Bathara Dharma ternyata sedang menguji budi luhur puteranya, dan memang terbukti bahwa Yudhistira adalah orang yang berbudi luhur tanpa cela. Batara Dharma lalu menjabarkan isi Jamuslayang Kalimahusada kepada Yudhistira dan akhirnya Yudhistira paham isi kitab ajaib itu.

Yudhistira dibawa masuk ke kahyangan. Disana ia ditunjukkan para Kurawa bersama dengan Sengkuni, Kangsa, Jarasandha, Sisupala, Paundraka, Sasrawindu, dan berbagai musuh para Pandawa lainnya bersenang-senang menikmati makanan yang enak, tidur di atasd dipan yang nyaman.  Melihat hal itu, Yudhistira tidak meras iri, ia justru berkata bahwa mereka berhak tinggal di kahyangan karena mereka gugur untuk membela negerinya.

Di tempat lain, Yudhistira mendengar suara jeritan dan tangisan keempat adiknya, kakak sulungnya Karna, istrinya Drupadi, Kakek Bhisma, Begawan Dorna,  dan para ksatria baik hati lainnya. Suaranya sangat memilukan hati Yudhistira pun bertanya “pukulun batara, itu suara ahli keluarga, kerabat, sahabat, dan teman-teman hamba. Izinkan hamba menemui mereka.” Batara Indra pun mengajak Yudhistira ke tempat itu. mereka turun dan melihat tempat yang sangat bau, gelap, penuh darah nanah, dan hewan buas. Udaranya sangat menyiksa karena di satu tempat hawanya begitu panas tak terkira laksana berada ditengah api  dan ditempat lain dinginnya menggigit hingga membuat kulit mengelupas. Banyak penyiksaan terpampang di sana.  Ya, Yudhistira diantarkan batara Indra ke dasar neraka. Yudhistira melihat isterinya disiksa dengan lidah yang ditarik hiongga menjulur. Sebentar kemudian ia melihat Nakula Sadewa dirantai dan dikelilingi oleh api. Di sisi lain, Yudhistira menyaksikan Arjuna dan Bambang Ekalaya disiksa dengan mulut mereka disumpal panah sampai tak mampu lagi ditampung lalu jari-jari mereka ditebas sampai putus secara berulang-ulang. Ketika berjalan ke tempat lain, Yudhistira melihat Karna bolak balik diseruduk lalu ditanduk seekor sapi dan pusarnya dipanah ratusan kali.sebentar kemudian, Yudhistira menyaksikan Kresna dikejar Cakra Widaksana dan kepalanya dipenggal berkali-kali. Tak jauh dari sana, Yudhistira kembali melihat Abimanyu, Kakek Bhisma, dan begawan Dorna dihujani panah sehingga tubuh mereka bagaikan landak. Melihat hal itu, Yudhistira pun tidak bersedih hati, ia berkata bahwa tidak ada manusia yang tidak luput dari dosa, begitu juga dengan dirinya, saudaranya, istrinya, dan semua orang yang ia kenal. Tetapi ia yakin bahwa dosa mereka lebih sedikit dibanding pahalanya, maka ia yakin bahwa itu tidak akan berlangsung lama. Yudhistira juga ditunjukkan seorang wanita cantik dengan berbagai perhiasan, namun disekililingnya tertusuk oleh panah dari emas. Yudhistira pun berkata bahwa sang wanita bersalah karena serakah atas harta. Seharusnya dalam hidup, manusia harus mementingkan budi pekerti daripada harta kekayaan. Batara Indra kemudian menunjukkan Yudhistira kepada orang yang ditarik oleh capitan sehingga mirip seperti bebek. Yudhistira kemudian berkata bahwa salah satu kejahatan yang paling hina adalah fitnah.

Setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Yudhistira, batara Indra kemudian menunjukkan keadaan yang sebenarnya. Diperlihatkannya, Sengkuni tersiksa dengan gembok di mulutnya dan bibirnya dicapit hingga putus. Hal itu karena mulut Sengkuni itulah yang menjadi sumber kejahatan. Tampak pula para Kurawa yang dikelilingi api dan dijaga oleh naga yang selalu menyemburkan api. Dursasana dililit olehkain kemben berkepala naga sebagai hukumannya taas tindakannya kepada Drupadi. Sedangkan Duryudhana dijepit oleh dua batu panas sementara di hadapannya ada sebuah mata air yang sangat jenih dan sejuk. Terlihat pula Kertamarma yang berlari dikejar ribuan batang buluh yang tajam sehingga terburailah isi perutnya. Kangsa, Sisupala, Jarasandha, Paundraka, dan Sasrawindu disiksa dengan dipenggal berkali-kali oleh roda cakra. Lalu Yudhistira bertanya “pukulun batara, aku sudah banyak melihat para kurawa, tapi aku tidak melihat putra guruku Aswatama. Bukankah dia sudah mati tapi kenapa dia tidak ada di neraka ataupun di swarga?” Batara Indra memperlihatkan sebuah gambaran. Disana ia melihat seonggok jasad hidup mengeluarkan darah dan nanah busuk dari setiap pori-pori di tubuhnya. Ia berteriak kesakitan lalu ia jatuh tersungkur dan mati. Terlihat jiwanya terbang lalu datang panah api menembaki jiwa itu lalu ia masuk lagi ketubuh itu. hal itu terjadi terus menerus dan berulang ulang. Batara Indra berkata bahwa itu Aswatama. Sang dewa lalu berkata  “Aswatama telah dihukum atas kejahatannya. Ingat di malam saat pembunuhan di malam setelah Bharatayudha? Saat itu cucumu Parikesit yang akan lahir sekarat dalam kandungan karena dipanah Aswatama dengan aji Brahmastra. Dia juga sesumbar tidak takut akan kematian dan neraka. Karena perbuatan itu, para dewa telah mengutuk Aswatama di sisa nafasnya bahwa tidak ada satu tempatpun di alam ini yang akan menerimanya jiwa dan jasadnya. Dia dihukum dengan sakaratul maut yang menyiksa tapi dia tidak mendapat kematian yang layak. Tubuhnya tidak akan bisa diurai bumi dan menebarkan aroma busuk tak terkira. Jiwanya kan terus berada dlam jasadnya dan membawanya menebar kebusukan. Siapapun yang menyaksikan pemandangan itu akan pingsan. Tempat yang ia singgahi akan menjadi tanah yang gersang. Hukuman itu akan terus dialami Aswatama sampai Mahapralaya besar tiba.” Yudhistira yang mendengar itu merasa ngeri. Maka ia lalu meminta agar Batara Indra menempatkan para Kurawa di bagian swargamaniloka setelah hukuman mereka selesai karena bagaimanapun para Kurawa adalah saudaranya juga dan pasti mereka berbuat kebaikan. Batara Indra menyanggupinya kalau kelak para Kurawa akan diangkat ke swargamaniloka lagi.

Bathara Indra kemudian membawa Yudhistira kembali ke swargamaniloka, disana dia diperlihatkan Drupadi, empat adiknya, sang kakak sulung Karna, Kresna dan semua orang-orang yang ia kasihi yang sedang bercengkerama dengan kakek Bhisma dalam sebuah kamar yang sangat megah. Anak-anak para Pandawa juga bercengkerama dengan indah, bahagia bisa bertemu kembali.

 

 


Selasa, 05 Maret 2024

Mosalaparwa (Bedah Yadawa)

Hai semua pembaca dan penikmat kisah pewayangan. Kisah kali ini menceritakan kehancuran dari Wangsa Yadawa, yakni klan keturunan Prabu Yayati yang juga saudara dari Wangsa Baharata yakni klan para Pandawa. Kehancuran itu dikarenakan perang saudara kedua  setelah Gonjalisuta akibat dari dua kutukan yakni kutukan Samba dan kutukan Dewi Gendari. Kisah diawali dengan dijelaskan detail mokswanya para tetua Hastinapura, kelahiran Bajrawan, cicit Sri Kresna lalu perang besar di Tegal Tirtaprabhasa. Dikisahkan pula wafatnya Prabu Sri Kresna yang disusul Resi Curiganata alias Prabu Baladewa kembali ke alam dewata. Diakhir kisah, diceritakan tenggelamnya istana Dwarawati, ekspansi para Yadwa yang masih selamat dan  Prabuanom Kresnayaka beserta keturunan Sri Kresna yang masih tersisa mendirikan kerajaan pengganti Dwarawati yang tenggelam ke dasar samudera. Kisah ini mengambil sumber dari Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa, Serial Kolosal India Suryaputra Karna, dan blog https://caritawayang.blogspot.com/2012/10/kematian-kresna.html dengan penguabahan dan penambahan, dan penyelarasan seperlunya.

Tiga puluh tahun setelah Bharatayudha, para Pandawa disaksikan para tetua Hastinapura, prabu Sri Kresna dan Begawan Curiganata melantik para keturunan mereka dan keturunan para Kurawa sebagai penerus kerajaan. Prabu Parikesit, putra Abimanyu dilantik menjadi raja Hastinapura dengan wakilnya yakni Harya Dwara, putra Samba. Pelantikan ini sempat terganggu oleh Bambang Pancakesuma, putra Pancawala yang dihasut Kertiwindu, keturunan dari Sengkuni dan antek-anteknya. Namun satu anteknya yakni Danyang Suwela menghilang bagaikan asap. Entah kemana ia pergi. Akhirnya Bambang Pancakesuma berhasil disadarkan dan kembali dilantik sebagai raja Amarta dengan wakilnya Arya Wiwitsuh didampangi Yuyutsena, putranya. Patih Wiwitsuh adalah salah satu dari Kurawa yang masih tersisa selain Kertamarma yang hilang ingatan.. Cucu nakula dan sadewa yakni Bambang Suhatra, Bambang Niramitra, Niken Sayekti dan Endang Pritawati masih-masing memerintah negara Mandaraka, Bulukatiga, dan Cindekembang. Cucu Ajuna yang lain yakni Bambang Wiratmaka, putra Irawan dan Bambang Wisangkara, putra Wisanggeni dilantik sebagai kepala bhayangkari dan telik sandi Hastinapura. Putra pertama Prabu Gatotkaca yakni Prabu Sasikirana dilantik sebagai raja Pringgandani. Kedua adiknya yakni Bambang Suryakaca dan Arya Jayasumpena menjadi patih dan kepala bhayangkari kerajaan. Arya Danurwenda, putra Antareja menjadi raja Jangkarbumi dan Jayasena, putra Antasena, dilantik sebagai Haryapati Parangjaledri. Arya Srenggamurti ikut pula dilantik sebagai raja Gisiksamodra dan Endang Pancaseni, putri Sri Pancasena diangkat sebagai kepala Komnas Perempuan dan anak se-Aryawata bersama Endang Yodeyi, cucu Yudhistira yang lain dari putranya, Harya Yodeya. Dibawah kekuasaan Parikesit dan Pancakesuma, Kerajaan Hastinapura dan Amarta memutuskan untuk membentuk poros Indraprastha-Kurugangga-Awangga-Sindu-Dwaraka-Mandura-Madra dengan demikian akan memudahkan segala sesuatunya dan  perekonomian mengalir lancar. Prabu Parikesit terkenal akrab dengan Prabu Warsaka, putra Bambang Warsakusuma, cucu Adipati Karna. Selain itu, Prabu Surata, putra Jayadrata dengan Dewi Durshilawati semakin mempererat jalinan persahabatan dengan cucu Arjuna itu.

Para tetua Hastinapura yakni Dewi Kunthi, Dewi Gendari, Adipati Drestarastra, dan Arya Widura secara bersamaan mendapatkan mimpi melihat cahaya dan terdampar di taman bunga. Karena mimpi itu, mereka memutuskan untuk meninggalkan keraton dan menjalani hidup sebagai seorang pertapa. Singkat cerita, para tetua sampai di hutan di kaki bukit dan mulai bersemadhi. Pada suatu hari yang cerah di musim semi yang indah, Adipati Drestarastra berduka lara karena terus teringatkan oleh para putranya “anak-anakku...rindunya kau pada kalian semua..” Dewi Gendari dan Dewi Kunthi menenangkannya “kakanda, aku juga rindu pada mereka. Tapi apa boleh buat mereka telah mendahului kita.. kita hanya bisa bersabar. “ “benar kata kakangmbok Gendari, cukup kita doakan agar mereka bisa tenang di alam sana.” Beberapa hari kemudian datanglah para Pandawa dan beberpaa cucu mereka untuk menjenguk. Mengetahui bahwa Drestarastra masih diliputi duka akan kematian putra-putranya, para Pandawa lalu berdoa kepada dewata agar terobati rasa rindu uwak mereka itu. Datanglah sebuah sebuah mukjizat kepada anggota wangsa Baharata yang masih hidup pada saat itu.

Para Tetua Hastinapura terjebak dan terbakar di hutan
Mula-mula terdengarlah suara dari langit menyuruh para tetua berkumpul di tepi Bengawan Gangga, kemudian suara langit itu memanggil roh para kesatria yang gugur di medan perang Kurusetra, dan membuat mereka menampakkan wujud. Drestarastra yang buta pun diberi penglihatan oleh para dewa pada saat itu agar dapat menyaksikan wajah putra-putranya untuk yang pertama kalinya. Pada kesempatan itu pula, roh para seratus Kurawa dan Adipati Karna berdamai dengan para Pandawa. Mereka semua meminta maaf. Jiwa Prabu Duryudhana meminta kepada para Pandawa selalu mendoakannya dan saudara-saudaranya agar dibebaskan dari siksaan api neraka. Adipati Karna pun meminta kepada adik-adiknya itu khususnya kepada Arjuna agar selalu mendoakannya. Setelah hari itu, para tetua semakin khusyuk menjalankan penebusan dosa itu sehinggalah di hari itu, di hari yang teramat terik panas di musim kemarau, hutan tiba-tiba terbakar dan api mengepung mereka dari segala penjuru. Namun semuanya tetap khusyuk bersemadhi sehingga mereka pun lemas kehabisan nafas dan ikut terbakar. Hanya Arya Sanjaya putra Arya Widura yang selamat dari musibah itu dan membawa kabar menyedihkan itu ke Hastinapura. Kabar itu terdengar hingga ke telinga para Pandawa, Prabu Sri Kresna, Begawan Curiganata, dan para cucu. Berdukalah seantero Jawadwipa. Sejak saat itu, Begawan Curiganata semakin sering datang ke Hastinapura untuk membimbing para cucunya.

Pada suatu hari, Prabu Sri Kresna bermimpi ditemui Batara Kala. Dalam mimpi itu Batara Kala berkata “Hyang Wisnu, waktunya telah dekat. Kau harus melihat penglihatanku.” “penglihatan apa itu, Kala?” tanpa banyak bicara Batara Kala menciptakan sebuah gambaran penglihatan. Dalam penglihatan itu, batara Kala dan Batara Wisnu dalam wujud Kresna melihat Kerajaan Dwarawati dan pulau Dwaraka tenggelam oleh air berwarna merah seperti darah. Banyak jasad manusia mengambang dan yang selamat berpegangan dia tas sebilah perahu dari gelagah besar. Batara Kala lalu berkata lagi “Tiga tahun setelah cicitmu lahir, tanda-tanda itu akan terlihat.” Sang Danardana lalu terbangun dan mengabarkan kepada para Pandawa bahwa ia dan begawan Curiganata harus segera kembali ke Dwarawati dan meminta Para Pandawa dan para cucu untuk bersiap pada kemungkinan terburuk.

Keesokan harinya datang kabar kalau Dewi Usha, isteri Anirudha akan melahirkan. Bambang Anirudha bersama ayah yakni Prabu Danuasmara alias Partajumena dan sang kakek, Prabu Sri Kresna beserta ke sembilan isteri utama yakni Dewi Radha, Dewi Rukmini, Dewi Setyaboma, Dewi Jembawati, Dewi Kalindi, Dewi Nagnajiti, Dewi Mitrawinda, Dewi Charuharsini, dan Dewi Bhadra menunggu dengan cemas. Setelah dua belas jam menanti, akhirnya Dewi Usha melahirkan seorang anak yang tampan.  Kerajaan Dwarawati, para Yadawa dan para kerabat sang Prabu menyambut kelahiran cicit Prabu Sri Kresna. Lalu Prtabu Sri Kresna mengangkat cicitnya itu “mulai hari ini, cicitku akan aku beri nama Bambang Bajrawan.” Seluruh rakyat dan para yadawa bersuka cita. Namun bukan dengan pesta melempar bubuk warna-warni melainkan dengan hal-hal tak biasa. Pesta kelahiran cicit Kresna itu diwarnai dengan berbagai perbuatan tak terpuji. Keadaan negara sedang kacau karena kini para Yadawa suka menghamburkan harta dengan mabuk-mabukan, berjudi, dan main serong. Prabu Sri Kresna dan Resi Curiganata prihatin dan menyarankan mereka semua agar berhenti mabuk-mabukan dan main serong. Setelah kelahiran Bajrawan, diadakan pasewakan agung. Datang dari Hastinapura, harya Dwara, putra Samba yang kini jadi patih di sana. Lalu Arya Sencaki beserta putra dan cucunya, Jaya Sanga-sanga dan Arya Nabantara, tak lupa Bambang Lengkungkusuma dari desa Karang Tumaritis dan Prabu Kismaka dari Trajutresna. Sri Kresna dan para kerabat memanggil salah seorang cucunya, Raden Kresnayaka, putra dari Setyaka ke pasewakan agung. Kresnayaka bertanya “ampun eyang Prabu...apakah gerangan yang membuat saya harus dipanggil? Apa saya melakukan suatu kesalahan?” prabu Sri Kresna berkata “tidak cucuku. Tidak ada kesalahan yang kau perbuat. Aku hanya ingin mendengar pendapatmu untuk siapa kelak pelanjut takhta di Dwarawati ini.” “coba eyang prabu tanyakan pada kakanda Dwara dan kakanda Anirudha dahulu. Mungkin juga dengan kakang prabu Kismaka dan Lengkungkusuma” Lalu harya Dwara berkata “aku tidak berkeinginan untuk jadi raja. Aku cukup menjadi patih di hastinapura saja.” “aku juga tidak berkeinginan pula. Cukuplah aku dengan Trajutresna yang sekarang damai tenteram. Aku tidak mau berakhir seperti ayahanda Prabu Sitija.” lanjut Kismaka.” Bambang Anirudha juga ikut memberikan pendapatnya “aku tidak mau menjadi raja. Aku akan melanjutkan tugasku di Dadapaksi sebagai pemimpin disana.” Keributan terjadi sejenak lalu bisa ditenangkan kembali. Kini giliran jaya Sanga-sanga yang bicara “begini saja, kalu menurut usulanku, bagaimana kalau Setyaka saja yang menjadi raja Dwarawati selanjutnya? Secara dalam garis urutan suksesi ia adalah yang pertama setelah kakanda Samba meninggal dan kakanda Partajumena mengundurkan diri dari garis suksesi takhta” Bambang Lengkung Kusuma lalu berbicara “sejak hari terakhir bharatayudha tiga puluhan tahun lalu, kakang Setyaka tidak pernah pulang lagi. Ia memilih mengasingkan diri di Grojogansewu. Kalau pun kita panggil pulang juga, kakang Setyaka tak akan mau kembali.” Lalu kini Wisabajra, putra Nisatha cucu begawan Curiganata yang bicara “benar, dinda Lengkung. Apa kata kita lantik saja Kresnayaka, putra dinda Setyaka?” tak lama kemudian terdengar teriakan  “saya Setuju. Saya sependapat.” Rupanya itu suara Prabu Walmuka, paman Wisabajra. Ia ditemani isteri dan anaknya yakni Dewi Susenawati dan raden Wisandanu. Wisandanu juga memberikan suaranya “saya sependapat dengan ayahnda prabu Walmuka. Saya melihat perkembangan dinda Kresnayaka sejak kami berguru di Sokalima. Dia sudah terbukti menjadi pemimpin. Bahkan ketika pengusutan nama baik Parikesit, ia membantu dengan secara halus dan melalui pendekatannya, rakyat seantero negeri bisa kembali percaya pada dinda Prabu Parikesit.”  Setelah mencapai kata mufakat, maka dicapailah keputusan bahawa Kresnayaka adalah pangeran mahkota Dwarawati selanjutnya. Kini Kresnayaka adikenal sebagai Prabuanom Kresnayaka.

Di bawah kepemimpinan prabuanom Kresnayaka, perjudian dan zina bisa ditekan di Dwarawati. Kegiatan siraman rohani digalakkan kembali setelah lama vakum sejak Bharatayudha berlangsung. Kini rakyat lebih tentram hidupnya. Meski demikian, kebiasaan minum-minum rakyat Dwarawati susah sekali diberantas karena pabrik miras sangat banyak di saantero negeri Dwarawati. Karena masalah ini, Prabuanom Kresnayaka segera melakukan koalisi gabungan dengah Hastinapura dan Awangga untuk pemberantasan miras oplosan. Berkat bantuan dari dua negara itu, pabrik-pabrik miras bisa ditekan pajak yang sangat tinggi dan mengakibatkan harga miras sangat mahal. Rakyatpun susah untuk membeli miras. Namun ada satu pabrik miras lagi yang masih melenggang bebas yakni pabrik milik Harya Kertamarma. Belakangan diketahui, kini Harya Kertamarma sudah sembuh dari hilang ingatannya. Identitasnya sebagai Kurawa sudah kembali. Ia mendendam hati pada Prabu Sri Kresna padahal nyawanya sudah diselamatkan dari maut. “hehehe....akan aku obrak-abrik kerajaan ini hingga tenggelam ke dasar lautan kalau bisa!”

Enam tahun pun berlalu dengan cepat dan hari itu tepat setelah kutukan yang diucapkan Dewi Gendari. Prabu Sri Kresna melihat berbagai tanda alam yang tidak baik. Angin bergemuruh, lautan bergejolak, banjir semakin intens dan perlahan pulau Dwaraka tergerus gempuran air. “sudah waktunya, hari itu sudah tiba.” Lalu Prabu Sri Kresna menuju kepada parta isterinya. “isteri-isteriku, waktunya sudah tiba. Tugas kita sebagai avatara Wisnu dan Sri Laksmi akan berakhir. Jika kabar kematianku telah pasti, aku akan menanti kalian.” Para isetri Sri Kresna bersedih hati. “kakanda, jangan berkata demikian.” Ucap Dewi Radha “benar , kakanda. Kita akan melihat cucu dan cicit kita menjadi raja.” Sambung dewi Rukmini. Dewi jembawati lalu berkata “kakanda, jangan berkata yang tidak-tidak. Kutukan itu pasti bisa kakanda elakkan.” “kata yunda Jembawati benar. Kutukan ini hanya bualan semata seorang yang murka .” lalu para isteri Sri kresna lainnya beramai-ramai berkata  “benar kakanda.” Prabu Sri Kresna hanya bisa menghela nafas panjang. Lalu ia mendatangi Kresnyaka. “cucuku, kakek merasa kerajaan ini akan dalam masalah besar. Sekarang aku dan beberapa rakyat kita akan melakukan kegiatan siraman rohani di Tirtaprabhasa. Jika terjadi sesuatu padaku, cepat bawa nenek-nenekmu, keluarga kita, kerabat kita, dan rakyat kita ke tempat aman.” Prabuanom Kresnayaka tidak mengerti namun ia tak berani bertanya lagi. “baik, eyang Prabu. Perintahmu adalah titah bagiku.” Sama seperti ayahnya Setyaka, Prabuanom Kresnayaka merasa ini sebuah firasat buruk. Singkat cerita, Prabu Sri Kresna dan Begawan Curiganata beserta sebagian besar para lelaki wangsa Yadawa dan rakyat Dwarawati melakukan perjananan suci ke desa Tirtaprabasa. Tak disangka, serpihan gada yang lahir dari kutukan Samba dahulu telah menjelma sebagai rumput gelagah bernama eruka tumbuh di pinggir pantai desa itu. Di Tirtaprabasa, para Yadawa bersama harya Kertamarma dan Sencaki tetap saja bermabuk-mabukan dan mereka pun saling bercanda dengan melempar ejekan. Dalam keadaan mabuk, Kertamarma berkata, "Hei Sencaki...Kau ini Pengecut....Kau kejam, Kau membunuh Saudaraku Burisrawa yang tak bersenjata, yang sedang meninggalkan medan laga untuk memulihkan tenaga" Sencaki berkata juga sambil mabuk, "Kertamarma, Kau Sendiri Apa Tak Sadar Diri? kesatria macam apa kau ini? Dalam Bharatayudha juga, Kau membunuh orang tua Pancakesuma, Drestajumna dan Srikandhi saudara Yunda Drupadi kau cincang-cincang dalam keadaan tidur. Kau Bahkan Memperkosa Iparmu Sendiri... Perbuatan macam apa yang kau lakukan? Kau Laknat! Bajingan!". Ucapan tersebut disambut oleh tepuk tangan dari Partajumena dan Jaya Sanga-sanga yang juga mabuk, yang artinya bahwa ia membenarkan pendapat Sencaki.

Setelah saling melontarkan ejekan, mereka bertengkar ramai. Sencaki mengambil pedang lalu memenggal kepala Kertamarma di hadapan Sri Kresna.

Perang Mosalaparwa, seluruh Yadawa tewas di tangan keluarga sendiri
Melihat hal itu, para Yadawa marah lalu menyerang Sencaki. Partajumena, Anirudha, dan Jaya Sanga-Sanga menjadi garang, kemudian membantu Sencaki. Setelah beberapa lama, Sencaki sang Singamulangjaya yang perkasa tersebut ditewaskan di hadapan Sri Kresna. Tak lama kemudian, Partajumena, Anirudha, dan Jaya Sanga-sanga ikut tewas. Ibarat olok-olok jadi tingkarah, mereka pun saling bertengkar dan bertarung sesama sendiri. Setiap orang berkelahi satu sama lain, dengan menggunakan apapun sebagai senjata, termasuk gelagah eruka yang tumbuh di sekitar tempat tersebut. Tanah di desa itu menjadi sungai darah. Banyak jasad bergelimpangan. Para Yadawa yang masih bertarung saling lemparkan gelagah eruka dan seketika berubah menjadi gada bulat dengan ceracak-ceracak tajam. Dengan memakai senjata tersebut, para keturunan wangsa Yadawa dan rakyat Dwarawati saling membunuh sesama. Tidak peduli kawan atau lawan, bahkan ayah dan anak saling bunuh. Anehnya, tak seorang pun yang berniat untuk meninggalkan tempat itu. Dengan mata kepalanya sendiri, Prabu Sri Kresna memperhatikan dan menyaksikan rakyatnya digerakkan oleh takdir kehancuran mereka. Prabu Sri Kresna melihatnya dengan tatapan nanar penuh kepahitan. Ia segera mencabut gelagah itu dan melemparkannya ke udara seraya menjapa ajian Lebur Sakethi. Seketika itu pula, para Yadawa yang tersisa di sana tewas terkena ledakan gelagah eruka. Dari sini, Prabu Sri Kresna mulai berganti pakaian menjadi pakaian resi dan mengembara. Sementara Begawan Curiganata kembali ke Dwarawati untuk memberikan kabar. Namun sebelum pergi, ia mengutus kedua cucunya yang masih hidup yakni Wisabajra dan Wisandanu untuk segera ke Hastinapura mengabarkan pada Para Pandawa bahwa para Yadawa telah hancur.

Singkat cerita, Prabu Sri Kresna hidup luntang-lantung. Selama bersasih-sasih, Sri Kresna duduk di sebuah batu dibawah pohon, mengenang segala peristiwa Ia tahu bahwa sudah saatnya ia ‘kembali’. Kemudian ia memulai menutup panca indrianya melakukan yoga dengan sikap Lalita Mudra. Bagian dibawah kakinya berwarna kemerah-merahan. Di saat ia tengah bersemadhi di balik semak-semak dan pohon itu, ada seorang pemburu bernama Ki Jara mencari hewan buruan. “Ah, akhirnya kutemukan juga buruanku”, Ia merentangkan busur dan menembakkan panah yang berasal dari sepotong besi yang berasal dari senjata mosala yang telah dihancurkan kemudian panah itu diberi racun. Ia memanah dan panah itu tepat mengenai benda kemerah-merahan itu. Jara, sang Pemburu segera berlari ketempat itu untuk menangkap mangsanya. Ia melihat ada kaki lalu dipanahnya.

Ki Jara memohon Ampun karena memanah kaki Sri Kresna
Ki Jara mendekati kaki itu dan melihat ada Prabu Sri Kresna yang tengah merintih kesakitan karena kakinya kena panah. Ki Jara minta ampun karena keteledorannya.”Gusti Prabu, Tolong Maafkan Aku. aku Tidak Tahu jika Gusti Prabu duduk di sini.. Tolong, Ampuni Aku!”  Prabu Sri Kresna berkata “Kesalahan-kesalahan sedemikian ini jamak dilakukan manusia. Seandainya aku adalah engkau tentu akupun melakukan kesalahan itu. Kamu tidak dengan sengaja melakukannya. Jangan di pikirkan. Kamu tidak tahu sebelumnya aku berada di tempat ini. Kamu tidak dapat dihukum secara hukum maupun moral, Aku mengampunimu. Aku sudah menyelesaikan hidupku. Ini lah takdir yang harus aku alami.” Sang Danardana lalu jatuh tak sadarkan diri. Ki Jara segera membawa sang prabu Dwarawati itu ke keraton.

Raden Arjuna ditemani Raden Wisabajra dan Wisandanu telah sampai di gerbang kota Dwarawati. Arjuna segera ditemui Resi Curiganata. “Arjuna, akhirnya kau datang. keadaannya gawat, para pria wangsa kami saling membunuh satu sama lain di Tirtaprabhasa. Kami yang tersisa disini juga mendapat kabar...kalau Kanha sekarat....” begawan Curiganata tak mampu lagi menahan kesedihannya. Mereka melihat kotaraja dan keraton sudah lengang sekali. Hanya tersisa para janda dan anak yatim. Sesampainya di istana, Arjuna mendapati Prabu Sri Kresna sakit keras akibat luka-luka di kakinya. “madhawa, bertahalah...ini aku Arjuna! Parta mu! Aku akan menyembuhkan kakang Madhawa.” Merasa ajalnya telah dekat, sang Narayana mengabarkan pada Arjuna “Parta, tidak usah repot....tugas kita sebagai avatara Wisnu akan berakhir hari ini. Cepat kau mengungsikan para Yadawa yang tersisa ke Hastinapura karena sebentar lagi Dwarawati akan tenggelam ditelan samudera beberapa jam setelah aku pergi. Aku titip juga...cucu-cucu dan...cicitku...jagalah mereka dengan baik...”. Tak lama sang titisan Wisnu itu wafat. Kesedihan terjadi di antara para Yadawa yang tersisa. Ketika prosesi ngaben dilangsungkan, Kesembilan istri utama Sri Kresna yakni Radha, Rukmini, Jembawati, Setyaboma, Kalindi, Nagnajiti, Mitrawinda, Charuharsini dan Bhadra naik ke atas pancaka ‘kakanda Wisnu, aku akan menyusul kakanda. Kita akan kembali ke Untarasegara. Di istana Bentukaloka.” Lalu mereka menusuk diri dengan keris dan jatuhlah mereka ke dalam api pancaka yang mara. Mereka memutuskan mesatya (labuh geni). Abu Kresna dan kesembilan isterinya disimpan oleh Arjuna. sebagian abunya dilarung ke laut dan sebagian lagi akan dilarung juga di Widarakandang.

Baladewa Mukswa dan Dwarawati tenggelam ke dasar samudera
Resi Curiganata merasa sudah saatnya ia menyusul sang adik, ia memutuskan tak akan ikut ke Hastinapura. Singkat cerita, para Yadawa yang tersisa dipimpin oleh Prabuanom Kresnayaka, Wisabajra, Wisandanu, Harya Dwara, dan Arya Nabantara putra Jaya Sanga-sanga segera mengikuti Arjuna ke Hastinapura. Ketika semua rombongan para Yadawa sampai di di daratan Jawadwipa yang paling atas, tiba-tiba ada gempa besar. Air laut surut sangat rendah tiba-tiba dbarengi hujan angin dan bau garam. Dari tengah laut, ombak setinggi bukit menghantam dan menenggelamkan kerajaan Dwarawati dan pulau Dwaraka. Di antara ombak yang menggulung dengan ganas, Resi Curiganata tengah bersemadhi dan keluarlah dari mulutnya seekor ular naga yang sesungguhnya penjelmaan Batara Naga Adisesa, ular naga sakti yang menjadi ranjang sang Wisnu. Ular naga itu membawa serta Begawan Curiganata kearah samudera nan luas. Para yadawa yang tersisa kaget melihat kerajaan megah itu tenggelam. Arjuna berkata "setelah ini, pasti akan sangat berat. Kerajaan megah akan menjadi kenangan." 

Singkat cerita, para Yadawa yang tersisa selamat. Namun di tengah perjalanan melewati padang rumput yang luas, harta mereka hilang dirampok oleh para penyamun. Arjuna yang hendak menolong kehilangan kesaktiannya. akibatnya, sebagian dari para Yadawa ada yang kabur dan kucar-kacir. Setelah sampai di Hastinapura, Cicit Kresna yakni Bambang Bajrawan diasuh oleh pamannya, Harya Dwara dan Prabuanom Kresnayaka bersama Arya Nabantara mendirikan kerajaan baru di pinggir danau besar di dekat Kurusetra bernama Dwarakapuri bersama para keturunan wangsa Yadawa dan Dwarawati yang selamat. Bebrapa rakyat Dwarawati yang tersisa juga ada yang menetap di Trajutresna dibawah naungan Prabu Kismaka dan ada pula yang tinggal menyepi di Desa Karang Tumaritis bersama Kakek Semar dan cucunya, Lengkung Kusuma dan Besut. Sebagian kecil juga ada yang mengikuti Wisabajra dan Wisandanu kembali ke tanah leluhur yakni di Mandura dan Widarakandang.