Minggu, 31 Maret 2019

Makar di Negara Mandura : Kangsa Adu Jago


Hai, semua!! Kali ini saya akan menceritakan usaha makar Kangsa terhadap raja Mandura, Prabu Basudewa yang kemudian berhasil digagalkan oleh putra-putri Mandura dengan bantuan para Pandawa yang baru keluar dari Kahyangan Saptapertala. Dikisahkan pula pernikahan Narayana dengan Dewi Radha (Niken Radha), isterinya yang pertama namun harus terpisahkan karena takdir yang pahit, pengejaran Kalayawana, patih Prabu Jarasanda/Jaka Slewah terhadap para pemimpin Wangsa Yadawa yang kemudian dikalahkan oleh seorang pertapa sakti. Kisah ditutup dengan pelantikan Narayana, putra Basudewa sebagai raja Negara Dwarawati. Sumber yang saya gunakan berasal dari Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa yang dipadukan dengan serial kolosal India Mahabharat Starplus dan Kitab Pustakaraja Purwa karya Raden Ngabehi Ronggowarsito lalu saya kembangkan dan ubah seperlunya. Kisah yang saya tampilkan ini mengikut pada versi India namun tetap dengan bumbu-bumbu pedalangan Jawa.
Sementara itu di tanah Mandura, terjadi sebuah kudeta, Adipati Kangsa menawan seluruh keluarga kerajaan di penjara karena mendapat wangsit bahwa dia akan mati jika putra putri Basudewa yang berkulit bule dan gelap masih berkeliaran di sekitar Mandura sekaligus balas dendam karena kematian orang tuanya, Prabu Gorawangsa dan Dewi Maherah. Setelah menawan Prabu Basudewa sekeluarga, Adipati Kangsa menjadikan diri sebagai raja bergelar Prabu Kangsadewa dan menantang adu jago antara putra-putra Mandura dengan paman yang sekaligus patihnya, Suratrimantra. Dia memerintahkan para prajurit Goagra dan Sengkapura mengobrak-abrik Widarakandang untuk mencari para putra-putri Mandura. Aryaprabu Rukma yang selamat dari kudeta itu melarikan diri ke desa Widarakandang untuk menemui Nanda Antagopa dan Niken Yasoda untuk segera memberitahukan tentang keadaan kerajaan saat ini dan menyuruh mereka untuk melarikan diri ke hutan. Tak berapa lama kemudian, pasukan Goagra dan Sengkapura datang dan mengobrak-abrik seluruh desa. Mereka berhasil menangkap Nanda Antagopa sementara Niken Yasoda, Rara Ireng, dan Niken Larasati berhasil melarikan diri dengan naik kuda. Aryaprabu Rukma juga kembali berhasil kabur ke arah menuju hulu Bengawan Yamuna.
Sementara itu di Gunung Untarayana, Narayana yang ditemani Udawa telah menyelesaikan pendidikan dan sudah mendapatkan semuanya dari Resi Padmanaba, termasuk ilmu ramalan, ilmu kawaskitaan, dan jati dirinya sebagai putra Prabu Basudewa serta titisan Batara Wisnu.
Jati Diri Narayana
Resi Padmanaba hendak muksa dan memberikan tiga pusaka pada Narayana “ Anakku, sebelum aku kembali ke alam kelanggengan, aku akan memberikan tiga buah pusaka. Pertama adalah bumerang bulat bernama Cakra Widaksana alias Cakra Sudarsana. Aku telah tanam itu di dadamu. Siapapun yang terkena senjatamu ini, pasti tewas. Hanya orang–orang yang berjalan diatas dharma lah yang dapat selamat. Sentuh dadamu untuk mengeluarkannya. Yang kedua berupa bunga ajaib. Namanya Kembang Cangkok Wijayakusuma. Bunga ini berkhasiat meningkatkan kekebalan dan mampu menyembuhkan luka separah apapun bahkan menghidupkan orang dari kematian. Aku sudah letakkan bunga itu di jamangmu, tepatnya di bawah riasan bulu merakmu. Rabalah bulu merakmu bila ingin menggunakannya dan pusakamu yang terakhir adalah panah Aji Kesawa. Panah itu sudah aku letakkan di belakang punggungmu. Bila kau merabanya, kau akan mampu berubah menjadi raksasa berlengan banyak dan berkepala banyak yang amat mengerikan. Gunakan pusaka-pusaka itu dengan bijak.” Baik, guru. Saya akan menggunakannya dengan baik.” Setelah itu Resi Padmanaba muksa, menghilang dari pandangan kemudian bersatu dengan alam kelanggengan. Narayana dan Udawa kemudian bertolak menuju Mandura. Sebelum sampai ke Mandura, Narayana bertemu dengan Niken Radha yang sedang mengungsi. Niken Radha adalah putri Wresabanu dan Nyai Kirtidha, kembang desanya kampung Warsana, Letaknya di sebelah kampung Gokula, masih di wilayah desa Widarakandang. Itu adalah tempat biasanya Narayana, Udawa, dan Kakrasana biasa menggembalakan sapi dan lembu. Ketika  desa masih aman, Narayana dan Radha sering memadu kasih dan menarikan tarian yang indah bersama-sama.Sejak perginya Narayana berguru ke gunung Untarayana, kisah cinta Narayana dan Radha harusnya terhenti karena Radha sudah dijodohkan dengan Ayan Yadawa (Arya Yadawa). Namun rupanya atas bimbingan para dewa, Narayana dan Radha berhasil menikah, disaksikan para dewa kahyangan di bukit Goloka, seberang desa Widarakandang tempat para lembu sapi dan banteng biasa digembalakan. Namun datanglah Arya Yadawa, suami asli Radha menjemput Niken Radha. Mau tidak mau, Narayana yang sudah melangsungkan pernikahan dewata dengan Radha harus kembali berpisah. Meski raga mereka telah terikat takdir pahit, mereka akan tetap menjadi suami istri di alam ruhani. Sebelum ia pergi, Narayana berjanji akan menjemput Radha suatu saat nanti.
Di lain tempat, di Gunung Waikunta, Kakrasana dan Arya Pragota telah kedatangan Batara Brahma dan telah berguru segala ilmu. Batara Brahma telah memberitahukan jati diri Kakrasana yang sebenarnya lalu memberikan beberapa pusaka padanya. Pusaka pertama yaitu tombak yang berujung bajak sawah atau luku dari baja berkilauan bernama Nanggala yang mampu membuat siapapun yang terkena bisa terbakar bahkan hancur menjadi debu. Yang kedua adalah aji kesaktian Balabadra yang membuatnya bisa memiliki daya tahan sekuat para dewa, mampu mendaur ulang tenaganya sendiri, tahan kantuk, dan tahan berpuasa. Pusaka yang terakhir adalah Gada Alugora yang berbentuk seperti alu penumbuk padi. Batara Brahma kemudian memerintahkan mereka untuk kembali ke Mandura karena kerajaannya sedang di kudeta oleh kakak haramnya, Prabu Kangsadewa.
Jati Diri Kakrasana
Batara Brahma berkata bahwa hanya dirinya dan kedua adiknya, Narayana dan Rara Ireng yang mampu menyelematkan Mandura dari kehancuran. Di tengah perjalanan, Kakrasana dan Arya Pragota bertemu dengan Narayana dan Bambang Udawa. Mereka juga sama ingin ke Mandura untuk menghentikan kudeta.
Sementara itu, Aryaprabu Rukma yang terus melarikan diri bertemu Niken Yasoda, Rara Ireng dan Niken Larasati yang ditolong oleh para Pandawa dan Dewi Kunthi yang sedang mengembara. “Kang Mbok Kunthi, salam.” “salam, Rukma. Ada apa dengan dirimu ? seperti menjadi buronan begitu. Coba ceritakan!” kemudian Aryaprabu Rukma bercerita tentang kudeta di Mandura, nasib keluarga Mandura dan Nanda Antagopa yang di penjara, dan rencana adu jago antara anak-anak Basudewa di alun-alun. Dewi Kunthi sangat sedih dan prihatin mendengarnya. Tiba-tiba Wasi Kusumayuda (Arya Bratasena) berdiri dan mengajukan diri untuk menjadi jago “Paman Rukma, aku bersedia menggantikan kakang Kakrasana dan Narayana sebagai jago. Bawa saja aku. Aku akan bertarung atas nama mereka” tanpa ba-bi-bu lagi, Aryaprabu Rukma dan Wasi Kusumayuda segera berangkat ke Mandura diiringi Wasi Parta (Permadi), Ki Lurah Semar, dan Rara Ireng.
Di alun-alun kotaraja Mandura telah berdiri panggung besar untuk sarana adu jago. Seluru kawula di Mandura berkumpul hendak menyaksikan adu jago. Prabu Kangsadewa berdiri diatas panggung itu bersama Prabu Basudewa, Nanda Antagopa, Arya Ugrasena, dan seluruh anggota keluarga lainnya yang dalam keadaan terikat rantai dan disamping mereka semua terdapat banyak algojo membawa kapak besar. Dari jauh, Prabu Jarasanda alias Jaka Slewah, sahabatnya menonton di kejauhan ditemani Patih Kalayawana. Lalu datang Aryaprabu Rukma dan Wasi Kusumayuda naik ke gelanggang itu “Kangsa, Narayana dan Kakrasana tak ada dimana-mana tapi sebagai gantinya aku bawa seorang brahmana tangguh ini untuk melawan Suratrimantra.” Prabu Kangsadewa sangat marah mendengarnya dan menolak tantangan itu”Apa-apaan ini? Aku yang menentukan pertandingan, bukan kau, Rukma. Aku minta Kakrasana dan Narayana. Bukan brahmana bodoh ini. !!” “heeh ternyata raja agung Mandura badan doang besar tapi nyalinya sebesar tikus. Prabu Kangsadewa ternyata raja penakut berhati lemah” hina Wasi Kusumayuda. Prabu Kangsadewa marah lagi karena dihina oleh seorang brahmana kemudian menyuruh patih Suratrimantra ke gelanggang untuk bergulat.
Pertandingan adu jago dimulai.mereka saling bergulat, saling banting dan saling sikut. Kesaktian mereka sangat dahsyat. Sebaliknya patih Suratrimantra merasa kerepotan melihat brahmana muda itu yang ternyata sangat kuat dan sulit dikalahkan. Setelah cukup lama, Patih Suratrimantra terdesak namun dirinya sempat melihat ada dua pemuda berkulit bule dan berkulit gelap masuk diantara para penonton. Kemudian sang patih itu meronta-ronta dan berusaha mencekik Wasi Kusumayuda namun Kakrasana tiba-tiba naik gelanggang lalu memukul Suratrimantra dengan Gada Alugora hingga keluar gelanggang sampai tewas dengan kepala hancur. Prabu Kangsadewa terkejut melihat sang paman tewas dipukul Kakrasana, lalu naik ke gelanggang lalu menghajar Kakrasana dengan gada Lohitamuka miliknya dan tak lama kemudian, dia mampu meringkusnya dengan mencekiknya di tangan kiri. Narayana berusaha menolong kakaknya tapi juga dapat diringkus pula dengan tangan kanan. Wasi Kusumayuda dan Aryaprabu Rukma yang hendak menolong menjadi kerepotan karena dihadang prajurit Sengkapura dan Goagra.
Disaat demikian, tiba-tiba Wasi Parta, Ki Lurah Semar dan Rara Ireng datang. Di saat melihat mereka, Prabu Kangsadewa menjadi terlena mantra Aji Gendam Pangasihan yang dirapal Rara Ireng. Karena lengah, Wasi Parta menembakkan panah ke dada sang raja lalim itu. Sang raja kesakitan membuat Kakrasana dan Narayana dapat terlepas dari cekikan Kangsadewa. Mereka segera mengeluarkan pusaka masing masing. Narayana kemudian menghajar, memukul lalu memenggal kepala Kangsadewa dengan Cakra Widaksana miliknya lalu Kakrasana menusuk tubuhnya dengan ujung tombak Nanggala sampai tak berbentuk. Sesaat sebelum tewas, Kangsadewa melihat bayangan Batara Wisnu dan Batara Naga Adisesa pada diri Kakrasana dan Narayana.
Tewasnya Kangsa di tangan Kakrasana-Narayana
Keadaan sudah kembali tenang. Prabu Basudewa berhasil dibebaskan dan kembali duduk di takhtanya, begitupula Nanda Antagopa dan anggota keluarga yang lain. Prabu Basudewa sangat bersyukur dengan kembalinya putra-putrinya dan berhasil mengalahkan Kangsadewa. Prabu Basudewa juga berterima kasih pada Wasi Kusumayuda dan Wasi Parta yang ternyata adalah keponakan-keponakannya, putra nomor dua dan tiga Dewi Kunthi. Sebagai bentuk terimakasih, Gada Lohitamuka akhirnya dibawa oleh Wasi Kusumayuda dan diganti namanya menjadi Gada Rujakpala. Bukan hanya itu, Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena dilantik sebagai raja merdeka di Kumbinapuri dan Lesanpura bergelar Prabu Bismaka dan Prabu Setyajid. 

Sementara itu, terjadilah kegegeran di desa Widarakandang. Tiba-tiba Niken Radha melahirkan seorang putri cantik padahal ia tak pernah disentuh sesiapapun setelah perpisahannya dengan Narayana maupun Ayan Yadawa. Para penduduk menganggap ini aib. Mereka mengasingkan Radha dan putrinya. Radha sadar bahwa sang kekasih utama telah menjamahnya secara batin dan mereka bermesraan di sebalik alam khayali. Niken Radha menamai putrinya itu Prantawati alias Kresnawati. Para dewa datang kepadanya dan mengatakan bahwa kelak putrinya itu akan berjodoh dengan salah satu putra Batara Semar dan dia akan dijemput sang suami sejatinya. Di dalam pengasingannya, ia pun pergi menuju Mandura namun Radha dan putrinya kepayahan ketika melewati Bukit Gandamadana. ia diselamatkan oleh Resi Jembawan dan putrinya, Dewi Jembawati. Mereka akhirnya saling bersahabat.

Prabu Jarasanda yang berada di tempat jauh sangat marah mendengar Kangsa telah tewas dan memerintahkan Patih Kalayawana untuk menyerang Mandura dan membunuh pembunuh Kangsa. Patih Kalayawana yang menyerang Mandura terlalu sakti sehingga membuat Narayana, Kakrasana, Wasi Kusumayuda, dan Wasi Parta harus lari. Wasi Kusumayuda dan Wasi Parta segera lari sekaligus membawa ibu, para Pandawa yang lain, dan para Punakawan menuju ke Kerajaan Ekacakra. Mereka bersembunyi di ke desa Kabayakan, sementara Narayana, Kakrasana, Udawa, Pragota, dan seluruh keluarga Mandura yang lainnya untuk sementara melarikan diri ke arah pantai barat ke wilayah kekuasaan Prabu Yudha Kalakresna, raja Dwarakawestri. Mereka mendirikan keraton baru di pinggir hutan pantai. Oleh Narayana, keraton indah bagaikan taman Kadilengleng di Hastina itu dinamai Taman Banoncinawi. Meskipun telah menjauh dari Mandura, tapi Patih Kalayawana sangat sakti dan mampu mengejar mereka hingga ke Banoncinawi. Prabu Yudha Kalakresna yang hendak menyerang kahyangan saat itu bahkan dapat dikalahkan dan dibunuh oleh Patih Kalayawana sehingga Dwarakawestri kosong tanpa penerus takhta.
Praburesi Mucukunda membakar Patih Kalayawana
Kemudian Narayana menjebak Patih Kalayawana di sebuah gua. Narayana pernah mendengar cerita seorang jendral kahyangan bernama Praburesi Mucukunda yang sedang istirahat panjang dan kebetulan dia istirahat di gua di dekat kota Dwarakawestri. Narayana pun masuk dan bersembunyi di celah terdalam gua. Patih Kalayawana kemudian masuk ke gua. Disana dia menemukan seseorang yang sedang tidur. Mengira itu Narayana, dia menampar dan menendangnya sampai jatuh ke lantai. Tak disangka itu ternyata Praburesi Mucukunda yang sedang tidur. Karena tidurnya terganggu, Mucukunda bangun dalam keadaan marah dan begitu memandang wajah Patih Kalayawana, memancarlah Aji Agni Netra berupa sinar panas dari matanya. Sinar panas itu membakar Patih Kalayawana sampai tewas dan hancur hingga abu jenazahnya jadi bertumpuk.

Setelah membakar Kalayawana, Praburesi Mucukunda pingsan lalu ditolong Narayana dan dibawa ke taman Banoncinawi. Setelah siuman, dia bertanya “Terima kasih, anak muda sudah menolongku. Ananda ini siapa. Aku melihat ada cahaya Wisnu di belakangmu?” “Ampun, Praburesi. Nama saya Narayana, putra Prabu Basudewa dari Mandura. Menurut keterangan dari guru saya, saya adalah titisan Batara Wisnu.” Praburesi Mucukunda terkejut ternyata inilah titisan Wisnu yang kelak akan menjadi tanda dia akan kembali ke alam kahyangan dan menjadi dewa.”rupanya kau titisan Batara Wisnu. Berarti ini saatnya aku kembali lagi ke kahyangan setelah sekian lama. Sebelum aku pergi, aku meramalkan kelak akan terjadi sebuah Mahapralaya yaitu perang Baratayudha, perang antara dharma melawan adharma, perang itu terjadi diantara saudara-saudara sepupumu dan kau akan menjadi penentunya. Setelah perang itu selesai, akan ada zaman yang gilang gemilang dan penuh keadilan. Saranku, berusahalah untuk berlaku adil diantara mereka. Permisi, yang mulia Wisnu. Saya akan kembali ke kahyangan.” Tak lama setelah pamitan, Praburesi Mucukunda dijemput para bidadari dan bidadara kembali ke alam kahyangan menjadi salah satu dewa disana.
Setelah menyaksikan Praburesi Mucukunda naik ke kahyangan, Narayana mulai membangun kerajaan peninggalan Prabu Yudha Kalakresna. Kemudian oleh Narayana, dia membangun keraton baru lagi menggantikan keraton Dwarakawestri. Keraton itu konon dibangun di atas sebuah pulau yang lumayan besar mendapat bantuan dari para dewa sehingga keraton itu sangatlah indah. Pulau itu sendiri tidak terpisah jauh dari daratan pulau Jawadwipa, hanya beberapa meter dari bibir pantai. Pintu masuk ke kotaraja sendiri berjumlah sepuluh dengan dinding kota bertatahkan emas, perak, berlian, dan ratna mutu manikam lainnya. Keratonnya berdinding berlapis lempengan emas murni, berbentuk sebuah benteng besar dengan bangunan utama berbentuk sebuah menara tunggal dengan ratusan jendela dan genteng tembus pandang dari kaca dan berlian. Antara keraton dengan taman Banoncinawi maupun daratan Jawadwipa dihubungkan dengan beberapa jembatan besar yang dibangun di atas puluhan pulau kecil dan karang. Di kanan-kiri jembatan-jembatan itu, hutan-hutan bakau dan nipah tumbuh berjajar menciptakan pemandangan yang asri. Setelah jadi, Narayana dilantik oleh ayahnya, Prabu Basudewa atas persetujuan penduduk Dwarakawestri. Dia menjadi raja bergelar Prabu Kresna dengan patihnya, Bambang Udawa, kakak sulungnya dari ibu Niken Yasoda/Sagopi. Kerajaan Dwarakawestri diganti namanya menjadi Kerajaan Dwarawati dengan pusatnya di keraton baru yang dibangunnya diatas pulau yang diberinya nama Dwaraka yang artinya “pulau seribu pintu gerbang.” Disamping itu, Prabu Basudewa juga melantik Kakrasana menjadi putra mahkota Kerajaan Mandura dan mengganti namanya dengan nama pemberiannya waktu kecil yaitu Prabu Anom Balarama.


Kamis, 28 Maret 2019

Cinta Bersemi di Saptapertala

Holla, guys. Karena ada ide untuk melanjutkan yang cerita selanjutnya, jadi saya posting cerita lanjutannya. Kali ini saya akan mengisahkan perjalanan para Pandawa yang selamat dari kebakaran Bale Sigala-gala di kahyangan Saptapertala. Dikisahkan juga pernikahan Raden Arya Bratasena dengan Dewi Nagagini, putri Batara Anantaboga yang kelak akan menurunkan seorang putra sakti mandraguna yaitu Raden Arya Antareja. kisah ini bersumber dari Kisah Kidung Malam karya Herjaka S dan Kitab Pustakaraja Purwa karya Raden Ngabehi Ronggowarsito dengan pengembangan seperlunya dari saya.

Tak seperti kabar yang tersebar di Hastinapura dan negara-negara di sekelilingnya, Dewi Kunthi dan putra-putranya selamat dari kobaran api dendam di Bale Sigala-gala, berkat pertolongan tangan Dewata Agung lewat Kanana dan garangan putih yang menuntun mereka menyusuri terowongan. Setelah lama berjalan berhari-hari, terowongan yang tadinya sempit kini semakin lebar dan semakin terang. Si garangan putih kemudian menghilang di ujung terowongan. Para Pandawa, Dewi Kunthi, dan Kanana memasuki cahaya itu. Tak disangka, mereka sampai disebuah negeri antah-berantah yang sangat asing bagi mereka.
Para Pandawa, Dewi Kunthi, dan Kanana saling terheran.”sampai dimana kita ini? Kok terasa asing ya, gusti ratu?” “aku pun tak tahu, Kanana. Mari kita bertanya pada para prajurit jaga yang ada disana”.
Para Pandawa selamat dari kebakaran Bale Sigala-gala
Merekapun mendatangi para prajurit itu dan Dewi Kunthi bertanya pada salah satu prajurit jaga “permisi, tuan. Ini daerah mana ya? Bisakah anda menunjukkan dimana rumah penguasa daerah ini? Kami ingin beristirahat sejenak sekaligus meminta izin untuk tinggal sebentar” sang penjaga kemudian mengantar mereka “mari ikuti saya.” Tempat asing itu sangatlah indah dan mengherankan. Banyak tanaman disana yang janggal dan tak ditemukan di belahan dunia manapun. Tanaman-tanaman tersebut ada yang tumbuh menggantung pada batu-batu stalaktit, ada pula menjalar di permukaan tanah, dan ada pula tanaman yang mampu bercahaya bak batu kristal. Negeri itu tak mengenal siang ataupun malam namun dapat terang benderang dan gelap temaram oleh pendar cahaya yang dipantulkan oleh batu-batu kristal beraneka ragam warnanya mengikuti perubahan siang-malam di permukaan bumi. Air yang mengalir disana terlihat sangat jernih, sejernih kaca dan sedingin air sumur di pegunungan. Udaranya sangat sejuk segar, menentramkan hati siapapun yang datang ke sana dan yang paling mengherankan adalah para prajurit dan warga yang tinggal disitu kebanyakan bersisik kulitnya dan berbau anyir layaknya bau ular.
Tak lama kemudian, mereka sampai di sebuah istana megah. Istana itu berupa istana yang dipahat pada dinding gua dan berhiaskan batu-batu indah bak dipahat oleh para bidadara di kahyangan di atas langit. Dari dalam istana itu keluarlah sosok yang menjadi sosok raja di daerah itu. Raja tersebut juga berkulit sisik seperti para penduduk dan prajurit di luar istana. Di sampingnya berdirilah putri sang raja. Berbeda dengan ayahnya dan penjaga disana, kulitnya putih bersih. Wajahnya sangat cantik bak bidadari. Badannya sintal dan berisi. Para Pandawa terutama Bratasena tak dapat berhenti menatap sang gadis cantik. Kemudian,sang raja menyambut para Pandawa,Dewi Kunthi, dan Kanana lalu mengenalkan dirinya ”selamat datang, anak-anakku Para Pandawa dan rombongan. Syukurlah, kalian bisa selamat dari kejadian buruk yang hampir menimpa kalian. Perkenalkan, aku Batara Anantaboga, penguasa kahyangan Saptapertala, kerajaan bawah bumi lapis ke tujuh dan ini putriku, Nagagini.” Para Pandawa dan Dewi Kunthi kemudian berlutut. Dewi Kunthi mengucap rasa syukur kepada Batara Anantaboga “Salam, pukulun Anantaboga. Suatu kehormatan bagi kami bisa datang ke kediaman pukulun. Rupanya garangan putih yang telah menuntun kami adalah salah satu punggawa pukulun” “sudahlah, Kunthi. Yang lalu biarlah berlalu, yang penting Hyang Widhi tetap memberikan keselamatan bagi kita. Mari masuk ke dalam istana. Kalian ku izinkan tinggal untuk beberapa waktu. Hitung-hitung untuk melepaskan trauma kedua putra kembarmu.” Kemudian mereka masuk ke istana indah Saptapertala.
Batara Anantaboga tidak berani menceritakan hal yang sebenarnya agar membuat trauma yang dialami para Pandawa dan Dewi Kunthi dapat segera mereka lupakan. Sebelum Bale Sigala-gala terbakar, Batara Guru sudah merasakan panasnya api yang lahir karena dendam membara itu. Oleh sebab itu, Batara Guru mengutus Batara Anantaboga untuk berubah menjadi garangan putih. Garangan putih yang sama saat mengerjai para Pandawa di kuil dan yang menuntun para Pandawa, Dewi Kunthi dan Kanana menuju terowongan penyelamat lalu menuntun mereka menuju ke Saptapertala dengan cara gaibnya.
Di taman istana, Bratasena yang sedang memandangi indahnya tumbuh-tumbuhan dan bunga-bunga yang mekar di sana terkejut dengan kedatangan Dewi Nagagini “Raden, sedang apa disini?” “Ehhh... akuu..  sedang memandangi indahnya negeri tempat tinggalmu. Indah sekali. Tentram rasanya.” Bratasena yang selama ini biasa saja berhadapan dengan wanita kini menjadi kaku dan kelu ketika bersama Dewi Nagagini. Begitupun Dewi Nagagini. Ada getaran hati yang bergelora. Serasa di dalam hati mereka, bunga-bunga mekar dan menari bak padi ditiup angin dalam pikiran. Panah asmara telah menancap pada dua pasangan beda dunia itu. “Raden suka berada di Saptapertala ini?” Bratasena terkejut dan menjawab dengan gayanya yang lugas “Ehhh... senang. Senang sekali!” Nagagini juga membalas “ aku juga dan sejak kedatangan raden sekeluarga, aku makin betah berada disini.” Jawaban Bratasena tadi membuat hati Dewi Nagagini semakin bergetar. Sang dewi kemudian berbaring di pangkuan Bratasena. Lubuk hati Bratasena tak kalah bergetarnya melihat Dewi Nagagini berbaring di pahanya. Rupanya hati mereka telah saling bertautan dan terjalin sebuah rasa.
Nampaknya gelora cinta Bratasena dan Nagagini sudah semakin membahana. Dewi Kunthi kemudian berunding dengan putra sulungnya, Puntadewa dan Batara Anantaboga tentang rencana hubungan mereka. Sebenarnya Dewi Kunthi dan Batara Anantaboga setuju kalau mereka segera menikah namun Dewi Kunthi merasa tidak enak pada Puntadewa yang sampai sekarang belum memperoleh kekasih.”ibuku, aku tidak masalah bila Bratasena menikah dulu. Aku tidak merasa dilangkahi malahan merasa senang dan aku merestui hubungan mereka ke jenjang yang lebih intim.” Pernyataan putra sulungnya itu membuat Dewi Kunthi terharu dan Bathara Anantaboga sudah menyiapkan tanggal yang pas untuk pernikahan putri satu-satunya dengan putra kedua Pandu Dewanata itu.
Hari pernikahan pun tiba, Bratasena dan Nagagini duduk bersanding di pelaminan berhiaskan berbagai bunga dan batu mulia yang mengeluarkan pendar yang menenangkan  bila mata memandang. Nampaklah kebahagiaan di balik senyum dan mata mereka. Pernikahan manusia dan bidadari dari bangsa ular naga itu nampak sempurna.
Pernikahan Arya Bratasena dengan Dewi Nagagini
Tamu-tamu undangan berdatangan dari rakyat Saptapertala sendiri dan datang pula dari kalangan para dewa, bidadara, dan bidadari dari atas bumi. Mereka menjadi saksi perkahwinan suci itu. Kahyangan Saptapertala hari itu memancarkan kemilau indahnya.
Bratasena dan Nagagini telah resmi menjadi suami istri dan sedang berbulan madu. Para Pandawa, Kanana, dan Dewi Kunthi sangat bahagia melihat kebahagiaan mahligai rumah tangga mereka. Tanpa terasa telah empat bulan berlalu. Benih cinta Arya Bratasena dan Dewi Nagagini kini telah manjing di gua garba. Dewi Nagagini telah hamil empat bulan. Namun takdir telah menuntun para Pandawa ke arah lain. Dewi Kunthi, para putra dan Kanana harus kembali ke permukaan bumi demi tercapainya cita-cita para Pandawa. “pukulun, hamba beserta anak-anak dan Kanana harus kembali ke permukaan. Kami berniat mengembara meninggalkan tanah Hastina untuk mencari pengalaman.” Bathara Anantaboga tak ayal mencegah keinginan mereka namun sebelum mereka beranjak, dia memberikan saran “Kunthi, aku tak bisa mencegahmu tapi menyamarlah kalian sebagai brahmana untuk menyembunyikan identitas kalian.” Setelah menanggalkan pakaian kebesaran mereka dan berganti dengan pakaian brahmana, Puntadewa memakai nama Resi Dwijakangka. Bratasena menjadi Wasi Kusumayuda. Permadi menjadi Wasi Parta. Pinten dan Tangsen menjadi Wasi Grantika dan Tripala. Sedangkan Dewi Kunthi memakai nama Nyai Prita. Setelah itu Batara Anantaboga berubah menjadi naga dan mengantar mereka ke permukaan bumi. Dewi Nagagini menatap suami, ibu mertua dan ipar-iparnya itu dengan penuh harap kelak putra mereka akan bertemu lagi dengan sang ayah di lain tempat dan kesempatan.
Bathara Anantaboga mengantarkan mereka hingga di permukaan bumi, tepatnya di pinggir Bengawan Yamuna. Setelah itu, Kanana memutuskan untuk kembali ke Panggombakan untuk memberi kabar pada Arya Widura yang sebenarnya terjadi “Kanana, aku tidak melarangmu untuk kembali tapi kumohon selain kau dan rayi Widura, tolong rahasiakan tentang nasib dan keberadaan kami. Biarkan Sanghyang Widhi dan waktu lah yang akan menyibak keberadaan kami pada waktunya nanti.” “Baik, gusti ratu. Anak-anakku Pandawa, jagalah ibu kalian dan hati-hati di jalan. Tetap waspada karena bisa saja masih ada mata-mata Kurawa yang berkeliaran di sini. Karena kalian sedang menjadi brahmana, maka bersikaplah sebagaimana brahmana yang semestinya agar tak ada yang curiga.” “baik, Paman Kanana.” Setelah Kanana berpisah dengan mereka, Dewi Kunthi dan para putranya mulai mengembara masuk hutan keluar hutan, naik gunung turun lembah, terus berjalan mengikuti kemana arah kaki melangkah, yang jelas menjauh dari tanah Hastinapura. Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan Ki Lurah Semar dan anak-anaknya lalu mereka memutuskan untuk ikut mereka mengembara. Mereka senang sekali melihat bendara-bendara mereka selamat dari api kebakaran.

Rabu, 27 Maret 2019

Api Dendam Bale Sigala-gala


Hallo, gengs. Apa kabar kalian? Semoga baik, ya. Kali ini saya akan menceritakan makar Patih Arya Sengkuni dan Para Kurawa untuk membakar hidup-hidup para Pandawa di Bale Sigala-gala namun berhasil selamat berkat pertolongan dari Dewata Agung. kisah ini bersumber dari Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa yang dipadukan dengan kisah Kidung Malam karya Herjaka S dan Kitab Pustakaraja Purwa karya Raden Ngabehi Ronggowarsito yang kemudian ada beberapa tambahan dan perubahan dari saya sendiri.

Memang benar kata orang bijak, manusia hanya dapat berusaha tapi Yang Maha Kuasa-lah yang menentukan. Begitu pula dengan rancangan jahat Sengkuni dan Suyudana melenyapkan Bratasena tak berhasil malah si Bratasena menjadi semakin kuat, perkasa dan kebal segala racun. Kegagalan rancangannya membuat Sengkuni tak bisa berpikir jernih sehingga dia pergi berjalan jalan keluar kotaraja. Ketika berjalan-jalan untuk menjernihkan pikiran, dia melihat seseorang membakar sampah dengan kayu dan minyak gala-gala, tiba-tiba dia mendapatkan sebuah ide, ide untuk melenyapkan para Pandawa bahkan Dewi Kunthi selama-lamaya dari muka bumi. Sekembalinya dari jalan-jalan, Patih Sengkuni lalu membicarakan idenya itu dengan keponakan kesayangannya, Suyudana. Raden Suyudana sangat setuju dan menyerahkan semuanya pada pamannya itu.
Pada hari yang ditentukan, Patih Arya Sengkuni memanggil Tumenggung Purocana, arsitek nomor satu di Hastinapura untuk membangun sebuah pesanggrahan yang jauh letaknya di luar kotaraja Hastinapura di Warnabrata. “Purocana, aku punya satu tugasan untukmu. Buatkan aku sebuah pesanggrahan megah di Warnabrata. Untuk masalah bahan-bahannya sudah ku kirim, tinggal kau bangun saja. Untuk masalah bayaran, kau bisa tinggal di pesanggrahanmu itu “ tanpa pikir panjang, Tumenggung Purocana langsung setuju dan segera menuju ke Warnabrata bersama para tukangnya. Dia tidak curiga sedikitpun walaupun bahan-bahannya sangat tak lazim, yaitu papan kayu, lak, kain katun bekas, minyak gala-gala, kayu pohon damar, ranting kering, batu belerang, dan tiangnya terbuat dari bambu yang diisi gandarukem. Satu bulan kemudian pesanggrahan itu jadi dan dinamailah pesanggrahan itu dengan nama “Bale Sigala-gala”. Purocana memang menunjukkan kelebihannya dalam membangun sebuah bangunan. Setelah jadi, Tumenggung Purocana memberitahukan pada Raden Suyudana.
Pada suatu hari,Suyudana datang kepada Puntadewa untuk meminta maaf atas kekeliruannya dan sebagai buktinya, Suyudana sudah membuatkan sebuah pesanggrahan khusus untuk para Pandawa dan Dewi Kunthi. Tak disangka, Puntadewa tidak menolak undangan dari Suyudana karena hatinya yang tak suka berburuk sangka “Terima kasih, kakang Suyudana atas hadiah darimu. Aku terima hadiahmu dan sebagai gantinya, kau dan adik-adikmu boleh ikut tamasya bersama kami. Tujuh hari lagi kami akan ke sana“ Gayungpun bersambut, wajah Raden Suyudana terlihat senang.
Arya Widura yang waskita telah mendengar kabar tentang Puntadewa yang menerima hadiah sebuah pesanggrahan mewah bernama Bale Sigala-gala di Warnabrata. Dirinya curiga dengan perubahan sikap Suyudana yang berubah menjadi baik pada Pandawa. Kemudian dengan meraga-sukma, dia melihat detil bangunan pesanggrahan. Setelah dilihat secara detil, Arya Widura menyimpulkan bahwa Bale Sigala-gala itu akan dijadikan alat untuk membuat Pandawa celaka. Sekembalinya dari Warnabrata, Arya Widura memanggil abdinya, seorang ahlinya membuat terowongan, Kanana namanya. “Kanana, aku punya tugas rahasia untukmu. Tugas ini sangat berat dan berbahaya bila sampai ketahuan pihak Kurawa. Pergilah ke Warnabrata secara diam-diam dan buatlah sebuah sebuah terowongan penyelamat di bawah Bale Sigala-gala.” “baik, Tuanku. Saya akan melaksanakan tugas ini dengan amat rapi” Tanpa banyak tanya, Kanana segera menuju ke Warnabrata karena dia dapat menangkap apa maksud junjungannya itu. Kurang dari tujuh hari, Kanana sudah selesai membuat terowongan penyelamat itu. Setelah membuat terowongan, Kanana menyamar menjadi seorang pelayan di Bale Sigala-gala untuk menyembunyikan hasil kerjanya itu dari pihak Kurawa dan Patih Arya Sengkuni.
Tak terasa tujuh hari telah berlalu, pada hari Radite yang cerah ceria, para Pandawa dan Dewi Kunthi pamit hendak menuju Bale Sigala-gala. Sebelum pergi, Arya Widura memberikan sebuah pesan “Kakang mbok Kunthi dan anak-anakku Pandawa, ingatlah satu hal. Ketika sampai disana, jangan sampai meninggalkan kewaspadaaan dan bila terjadi bahaya besar, ikutilah cara garangan* yang masuk ke lubang tanah saat hutan terbakar” para Pandawa dan Dewi Kunthi tak paham maksud Arya Widura kecuali Raden Puntadewa. Dia dapat menangkap makna tersirat dari pesan itu. Setelah menerima pesan itu, mereka berenam pamit meninggalkan Panggombakan menuju Bale Sigala-gala.
Sesampainya di Bale Sigala-gala, para Pandawa dan Dewi Kunthi disambut oleh Patih Arya Sengkuni,Raden Suyudana dan para Kurawa yang lainnya. “selamat datang, ratu Kunthi dan keponakanku para Pandawa. Inilah pesanggrahan yang sudah kami buat untuk kalian. Nah kalian bisa menginap disini selama mungkin yang kalian mau” Dewi Kunthi yang tak pernah berprasangka buruk kemudian menjawab “Terima kasih, rayi Patih dan anak-anakku Kurawa tapi kami disini hanya untuk semalam saja kok.” Di wajah mereka nampak sedikit kecewa namun kekecewaan itu segera dihapus oleh Puntadewa “Tenang, paman patih. Jangan memperlihatkan wajah sedih itu. Sebagai gantinya kalian bisa menyelenggarakan pesta bersama kami disini sampai puas. Toh kami di Panggombakan kami juga merasa sedikit bosan. Apa salahnya sedikit berpesta. Untuk itu apa paman Sengkuni bisa menjadi penyelenggara pestanya?” Patih Sengkuni langsung mengiyakan dan mempersilahkan mereka masuk ke pesanggrahan Bale Sigala-gala. Patih Sengkuni menunggingkan senyumnya menandakan dia terdapat sebuah rencana baru di dalam benaknya.
Didalam pesanggrahan, para Pandawa amat terkesima melihat keindahannya. Pencahayaan di pesanggrahan itu menggunakan pantulan cahaya dari luar menggunakan cermin dan kaca sehingga tak perlu menyalakan api untuk jadi lampu. Interiornya amat rapi dan memukau mata bak ditata oleh para dewa. Pesanggrahannya juga sangat lega dan terdapat sebuah ruangan yang luas yang bisa digunakan untuk pesta. Karena kecapekan setelah menempuh perjalanan cukup melelahkan, malam itu mereka beristirahat di kamar yang sudah ada.
Keesokan harinya, para Pandawa dan Dewi Kunthi meminta izin pada Patih Sengkuni untuk pergi berdoa di kuil di pinggir hutan karena di dekat pesanggrahan tidak ada kuil ataupun padmasari. Untuk masalah pesta, Patih Sengkuni langsung menyiapkannya.
Pertemuan para Pandawa dengan garangan putih
Ketika mereka sedang berdoa memohon keselamatan, tiba-tiba selendang kepunyaan Dewi Kunthi diambil oleh seekor garangan. Garangan itu berwarna putih bersih bagaikan ketumpahan susu. Raden Permadi kemudian mengejar garangan itu. Setelah cukup lama mengejar, garangan itu menghilang dibalik rimbunnya semak-semak dan Permadi menemukan selendang ibunya itu. Setelah mereka berdoa, mereka memutuskan untuk berjalan-jalan melihat keindahan alam Warnabrata
Sementara itu, Patih Sengkuni sudah menyiapkan segalanya untuk pesta nanti malam. Umbul-umbul, bendera, aneka bunga berwarna-warni dan segala makanan-minuman dipersiapkan sedemikian rupa. Sengkuni sudah menyiapkan pesta itu agar bisa seramai mungkin agar para Pandawa menjadi lengah dan terjebak oleh hingar bingarnya pesta ditambah dengan masuknya berbagai minuman memabukkan untuk membuat para Pandawa menjadi mabuk dan limbung sehingga mereka tak akan sadar bahwa mereka akan dibunuh dan dibakar hidup-hidup
 Malam hari pun tiba, para tamu berdatangan, begitupun para Pandawa dan Dewi Kunthi yang baru saja selesai jalan-jalan. Patih Sengkuni menyambut mereka juga dengan penuh keramahtamahan. Pesta sasana andrawina itu sangat meriah, penuh hingar bingar. Rangkaian acaranya bagus, mbanyu mili tak berhenti. Berbagai makanan dan minuman yang terhidang mampu membuat sesiapapun menjadi tergoda untuk mencicipi. Suasana yang menggembirakan menyihir siapa saja tidak waspada dan gampang terlena hedonisme dunia. Satu persatu kewaspadaan para tamu hilang dan justru para Kurawa menjadi mabuk kepayang lebih dahulu sementara para Pandawa tetap mampu mengontrol diri dan tidak terhanyut dalam pesta. Suyudana dan Dursasana sudah tak bisa mengontrol dirinya untuk tetap minum tuak sampai mabuk. Patih Sengkuni yang kebingungan segera menghentikan rangkaian acara itu karena sudah tidak ada perhatian dari para tamu pesta. Dengan hati-hati, Patih Sengkuni dibantu para abdi dalemnya menyadarkan para Kurawa. Di saat yang bersamaan, datanglah sebuah rombongan pendeta, enam jumlahnya, lima lelaki dan satu perempuan datang ke dalam pesta. Kedatangan keenam pendeta itu disambut hangat oleh para Pandawa dan Dewi Kunthi. Mereka dipersilahkan untuk makan dan minum apa yang masih terhidang sepuasnya.
Sementara itu karena pesta telah selesai, Patih Arya Sengkuni mempersilahkan para Pandawa dan Dewi Kunthi untuk beristirahat karena acara pesta telah selesai. Setelah itu dengan hati-hati, Patih Sengkuni dibantu para pelayan memapah para Kurawa. Dewi Kunthi kemudian mempersilahkan keenam pendeta itu untuk beristirahat di kamarnya “Selamat malam, para pendeta kekeasih dewata. Semoga tidur kalian nyenyak.”
Malam mulai merambat menuju subuh, Dewi Kunthi dan para putra yang berjalan menuju kamar bertemu Kanana, abdi Arya Widura yang menyamar menjadi pelayan. “Gusti ratu Kunthi, syukurlah anda dan para putra baik-baik saja. Saya diperintahkan gusti Arya Widura untuk membuat terowongan penyelamat disini bila terjadi bahaya. Terowongannya ada di dekat kamar yang hendak gusti ratu datangi sekarang....” baru saja Kanana hendak melanjutkan kata-katanya, tiba-tiba mereka terkejut melihat cahaya merah merambat dengan cepat. Hawa panas mulai menyeruak. Api mulai membakar pesanggrahan. Kepanikan terjadi. Bratasena yang berbadan besar segera menggendong ibu dan adik-adik bungsunya, Pinten-Tangsen.
Pertolongan dari garangan putih
Para Pandawa dan Kanana segera lari menuju terowongan sambil melompat ke sana-sini menghindari puing-puing api yang berjatuhan. Dalam keadaan sebegitu mengerikannya, tiba-tiba datanglah garangan putih yang mereka lihat di hutan tadi menuntun mereka menuju terowongan. Begitu sampai, Kanana, dan para Pandawa beserta Dewi Kunthi yang digendong Bratasena segera terjun ke dalam terowongan dan terus berlari mengikuti garangan putih tersebut menjauhi lidah-lidah api yang kian panas dan asap yang kian tebal menyesakkan dada.
Sementara itu, api kebakaran terus merambat dan membakar apa saja bahkan rumah Purocana yang terletak di samping pesanggrahan Bale Sigala-gala. Purocana yang tak sempat menyelamatkan diri ikut terpanggang diantara tiang-tiang pesanggrahan yang meledak. “Bakar!! Ayo bakar!! Semua cepat bakar!!” Patih Sengkuni terus menyuruh para Kurawa melakukan pembakaran sampai-sampai tiang-tiang Bale Sigala-gala yang berisi gandarukem meledak ke angkasa. Api kian panas dan asap semakin tebal membuat para kawula yang tinggal didekatnya terkejut . Patih Arya Sengkuni tersenyum puas melihat terbakarnya Bale Sigala-gala yang berisi para Pandawa dan saksi mata juga ikut lenyap. Dengan terbakarnya Pandawa lima, takhta Hastinapura dapat dipastikan akan aman dan dapat dimiliki oleh Suyudana, keponakannya yang tersayang. Keesokan paginya, Bale Sigala-gala sudah tinggal puing-puing.
Di Hastinapura, para petinggi keraton syok berat mendengar kabar bahawa para Pandawa dan ibu mereka meninggal karena peristiwa kebakaran di Warnabrata. Bukti juga ada yaitu terdapat enam jenazah di antara puing-puing Bale Sigala-gala. Sengkuni yakin bahawa keenam jenazah itu adalah Dewi Kunthi, dan anak-anaknya. Bendera setengah tiang berkibar di setiap tempat di Hastinapura. Maharesi Bhisma sangat terpukul atas kepergian para Pandawa sehingga mengurung diri di padepokan Talkanda. Arya Widura masih terlihat syok tapi dia yakin bahwa Puntadewa, Bratasena, Permadi, Pinten, dan Tangsen beserta ibu mereka masih hidup. Prabu Dretarastra di keratonnya menangisi kepergian keponakannya yang disayanginya itu sampai jatuh pingsan karena merasa tak bisa menjaga amanat adiknya, Pandu Dewanata. Dewi Gendari walau nampak dendam pada anak-anak Pandu tapi dalam nuraninya tetap bersedih karena walau bagaimanapun, Dewi Kunthi sudah bersikap baik kepadanya dan anak-anaknya dengan penuh kasih. Tapi bagi Patih Sengkuni, kematian para Pandawa adalah anugerah bagi keponakan tercinta agar bisa mulus dalam bertakhta dan mengangkat derajat orangtuanya. Tapi nampaknya dia tak tahu apa yang terjadi sebenarnya terjadi di saat kebakaran itu. Sekali lagi, Hyang Widhi sudah memperlihatkan kuasa-Nya.
*garangan adalah makhluk sejenis musang pemakan daging yang mampu bersarang dan membuat lubang di tanah. Hidupnya disekitar sawah, kebun, atau hutan.

Selasa, 19 Maret 2019

Bondan Peksajandu


Holla, semua. Baru bisa ngepost pas keadaan begini. Kali ini saya akan menceritakan kisah bagaimana Bratasena mendapatkan kekuatan seratus gajah dan mampu kebal dari segala racun dan bisa setelah diracun oleh para Kurawa dan tubuhnya dibuang ke bengawan Gangga. sumber yang saya pakai berasal dari Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa yang dipadukan dengan serial kolosal Indonesia Karmapala karya Imam Tantowi yang juga saya tambahi dari blog-blog pedalangan, 
Karena kekalahan para Kurawa saat mengalahkan Prabu Drupada dan Arya Gandamana ditambah dengan rasa iri dengki terhadap keunggulan para Pandawa yang berhasil membawa Prabu Drupada dan Arya Gandamana ke hadapan Resi Dorna, para Kurawa terutama Suyudana takut kalau-kalau pada suatu hari para Pandawa akan membuat para Kurawa terdepak atau bahkan terusir dari Hastinapura. Mereka kemudian menyusun sebuah makar untuk membuat para Pandawa keluar dari lingkungan keraton.
Pada suatu hari, ketika para Pandawa sedang bercengkrama dengan para kawula di luar beteng baluwerti, para Kurawa menyerang para kawula yang sedang bersama para Pandawa. Raden Puntadewa berusaha menenangkan para Kurawa “hentikan, kakang-kakang Kurawa, aku tahu kalian kesal pada kami berlima tapi kekalahan kalian di tempo hari saat pendadaran dan saat menangkap Paman Drupada jangan kalian lampiaskan pada kawula yang tidak bersalah.” Suyudana malah membentak Puntadewa “Diam kau, Puntadewa!! Terserah kami mau kami apakan kekalahan kami. Gara-gara kalian, kami gagal dipuji oleh guru, tau tak??” Tiba-tiba Bratasena berkata lantang “Hei Suyudana, Tutup mulut bejatmu itu. Terserah guru mau memuji siapa. Minta maaf sana pada kakakku.....” “Enak saja, gak sudi, c*k. Persetan” Dursasana malah memotong pembicaraan dengan berkata kotor pada Bratasena. Arya Bratasena dan adik-adiknya pun menjadi naik darah mendengarnya. Lalu terjadilah lagi perkelahian diantara para Pandawa dan Kurawa namun kali ini di depan khalayak ramai. Perkelahian itu membuat para kawula takut dan melapor pada para bangsawan keraton. Di tengah perkelahian itu datanglah Arya Widura dan Maharesi Bhisma didampingi oleh Ki Lurah Semar. Maharesi Bhisma kemudian melerai dan mereka pun berhenti berkelahi.“Hentikaaann!! Apa-apaan ini?? Para pangeran keraton berkelahi di depan khalayak ramai?? Memalukan!! Sangat Memalukan!!” Bratasena kemudian menjawab “Suyudana yang mulai, kakek” “Bohong, kek. Dia yang menyerangku duluan” “kau yang bohong. Ku sobek mulutmu kalo kau berbohong, Suyudana.” Maharesi Bhisma kemudian berteriak menghentikan adu mulut mereka “Cukup!!!! Sebaiknya jelaskan nanti dihadapan orang tua kalian. Sekarang kalian harus kembali ke keraton”. Mereka hanya menurut dan segera kembali ke kesatriyan. Hanya para Pandawa yang ditemani Ki Lurah Semar dan para punakawan menemui Dewi Kunthi.
Setelah kejadian itu, Dewi Kunthi bersama Prabu Dretarastra, Dewi Gendari, Arya Widura, Patih Arya Sengkuni, dan Maharesi Bhisma merapatkan perihal cara mendamaikan Pandawa dan Kurawa. “Kanda Prabu, aku melihat hubungan diantara anak-anak kita semakin lama semakin tidak akur dan semakin tak rukun. Ada baiknya kita lebih baik memisahkan mereka. Aku akan membawa mereka ke Panggombakan, ke rumah Arya Widura. Sebenarnya aku sudah memikirkan soal ini sejak lama dan ku rasa inilah saat yang tepat. Bagaimana kanda Prabu? Apakah Anda setuju?” Prabu Dretarastra menjadi gundah hatinya “Tapi, Kunthi. Bagaimana mungkin itu terjadi? Masakah pewaris sah Hastinapura tinggal di luar keraton? Apa kata kerabat keraton nanti?” Dewi Kunthi kemudian mendamaikan hati kakak iparnya itu “Tidak apa, kanda Prabu. Aku yakin mereka pasti mengerti. Lagipula letak Panggombakan sendiri di belakang lingkungan keraton Hastinapura dan jaraknya tidak terlalu jauh. Hanya terpisah tembok kotaraja, alun-alun, dan kebun milik warga saja.” Setelah dirapatkan kembali, usulan dari Dewi Kunthi diterima. “Baiklah, Kunthi aku terima usulanmu. Semoga ini bisa menjadi jalan terbaik untuk mendamaikan putra-putra kita.” “Terima kasih, Kanda Prabu atas kebesaran hati kanda. Saya pamit akan membawa putra-putra saya ke Panggombakan setelah ini.” Didalam hati Dewi Gendari dan Patih Arya Sengkuni merasa senang karena Kunthi dan para putranya sudah tersingkir dari lingkungan keraton. Singkat cerita, Dewi Kunthi dan para Pandawa pergi meninggalkan keraton ditemani Arya Widura dan Ki Lurah Semar beserta para punakawan menuju ke Panggombakan. Begitu sampai di Panggombakan, mereka disambut oleh istri Arya Widura, Dewi Padmarini dan para putra, Arya Sanjaya dan Arya Yuyutsuh. Semenjak para Pandawa, Dewi Kunthi, dan para punakawan tinggal di Panggombakan, berita-berita tentang kebengalan para Kurawa jauh berkurang.
Namun, kebencian dan rasa iri dengki Patih Arya Sengkuni, Raden Suyudana,dan para Kurawa lainnya terhadap para Pandawa sudah tertanam jauh di lubuk hati mereka, terutama pada Bratasena. Suyudana mulai memikirkan cara untuk melenyapkan Pandawa dimulai dari Bratasena yang berbadan besar itu, tiba-tiba, dia digigit seekor serangga beracun sehingga mengumpatlah dia. Begitu mendengar kata beracun, Sengkuni mulai mendapatkan ide untuk melenyapkan Bratasena “Anak mas, Suyudana aku dapat cara untuk melenyapkan Bratasena. Aku tahu kalo Bratasena suka banget makan. Bagaimana kalau kita kasih dia makanan dan minuman beracun lalu kita tenggelamkan dia di Bengawan Gangga. Ku dengar di dasar Bengawan Gangga terdapat makhluk-makhluk beracun hidup didalamnya.” “ide yang bagus, paman. Secepatnya kita harus susun rencana ini.”
Singkat cerita, pada suatu hari datanglah sebuah undangan kepada Para Pandawa. Undangan itu berisi tentang ajakan pesta makan-makan di tepi Pesanggrahan Pramanakoti di pinggir bengawan Gangga untuk mempererat tali persaudaraaan. Para Pandawa yang tak mau menolak undangan baik setuju dan langsung berangkat ke tempat itu.
Bratasena dililit para ular dan naga
Benar saja, di Pesanggrahan Pramanakoti, para Kurawa menyambut mereka dengan penuh keramah-tamahan. Mereka berdua berenang dan berpesta bersama. Kemudian karena lelah, para Pandawa pulang terlebih dahulu kecuali Bratasena yang ingin makan-makan sebelum pulang. Suyudana kemudian menyuguhkan berbagai makanan enak dan sedap. Berbagai minuman yang memabukkan juga disuguhkan padanya. Tak berapa lama, kepala Arya Bratasena berasa pening, pandangannya terasa kabur dan berputar-putar. Dia tak sadar bahwa makanan yang dia makan sudah dibubuhi racun ular kobra dan minuman yang diminumnya adalah tuak yang dioplos dengan racun pohon upas. Setelah itu dia pingsan tak sedarkan diri. Setelah itu Raden Suyudana dan Arya Dursasana mengikat tubuh Bratasena lalu oleh Patih Arya Sengkuni dan para Kurawa laiinya, tubuhnya dilemparkan ke salah satu kedung yang ada di Bengawan Gangga. Setelah itu mereka segera pergi dari tempat itu.
Di dasar bengawan, tubuh Arya Bratasena terus tenggelam ke dasar kedung bengawan yang sedalam 7 meter dan berarus deras itu. Tak berapa lama kemudian, datanglah seekor naga dan ribuan ular berbisa mematuki tubuh Bratasena yang pingsan. Ajaib! Atas kekuasaan Sanghyang Widhi, bukannya mati, justru Bratasena perlahan siuman karena racun yang mengalir dalam urat nadi Bratasena menjadi tawar ketika melawan racun-racun yang dikeluarkan oleh ular-ular berbisa. Setelah para ular pergi, naga yang memimpin ular-ular tadi hendak membelit tubuh Bratasena. Bratasena yang baru siuman langsung bergulat dengan sang naga di dalam air “heeh, naga kenapa kau mau melilitku dan kenapa aku bisa berada didalam air? Jelaskan!”. Sang naga itu kemudian membawa Bratasena ke istana tempat tinggalnya lalu menjelaskan “mohon maaf, cucuku. Perkenalkan, aku adalah Batara Basuki, dewanya para ular di air. Aku datang kesini mendapat perintah dari Sanghyang Girinata untuk menolongmu dari makar para Kurawa.” Seketika, Bratasena teringat akan kejadian yang baru menimpa dirinya. Dia sangat marah dan ingin membalas perbuatan Suyudana namun dicegah oleh Batara Basuki lalu dia menawarkan sebuah kendi berisi air “cucuku, minumlah air dalam kendi itu. Kau pasti lelah setelah tubuhmu berjuang melawan racun.” Tanpa ba-bi-bu, Arya Bratasena meminum air dalam kendi itu sampai habis. Kemudian Batara Basuki menawarkannya kendi yang berisi air itu lagi dan Bratasena mampu menghabiskannya. Batara Basuki terkesan lalu terus menyodorkan kendi berisi air itu sampai di kendi kesepuluh, Bratasena mampu menghabiskannya. Kemudian Batara Basuki menjelaskan “cucuku, aku kagum padamu. Ketahuilah sepeluh kendi berisi air itu sebenarnya adalah air sakti.
Tirta Manik Rasakundha
Namanya Tirta Manik Rasakundha*. Setiap satu kendi, kekuatan air itu setara kekuatan sepuluh ekor gajah. Karena kau sudah menenggak nya hingga sepuluh kendi, sekarang kekuatanmu menjadi setara seratus ekor gajah, air sakti ini jugalah yang akan membuatmu kebal terhadap segala racun dan bisa. Mulai sekarang kau akan dijuluki Bondan Peksajandu yang artinya si kebal racun. Pergunakanlah kekuatanmu dengan bijak untuk melindungi yang lemah dan menegakkan dharma kebaikan. Sekarang aku akan kembali ke wadag penitisanku di Gunung Waikunta.” “terima kasih, pukulun. Ayo kita kembali ke permukaan” Keduanya pun berenang menuju permukaan bengawan Gangga lalu berpisah. Batara Basuki menuju ke gunung Waikunta dan Bratasena kembali ke Panggombakan
Di Panggombakan, para Pandawa dan Dewi Kunthi merasa sangat cemas karena Bratasena belum juga pulang selama tiga hari setelah pesta di Pramanakoti. Puntadewa sudah bertanya pada para Kurawa namun mereka pura-pura tak tahu dan kini giliran si Permadi yang pergi dari Panggombakan tanpa pamit. Karena saking cemasnya, Dewi Kunthi sampai sakit memikirkan putra nomor dua dan tiganya itu. Hingga pada suatu hari, terdengarlah kabar terjadi sebuah kekacauan di pasar kotaraja Hastinapura. Puntadewa dan si kembar ditemani Ki Lurah Semar berangkat menuju kotaraja.
Tak berapa lama, merekapun sampai dan benarlah, di pasar terjadi pertarungan seorang pedagang muda bernama Bondan Peksajandu melawan para Kurawa yang mengacau dagangannya. Para Kurawa tak mampu menandinginya lalu datanglah seorang pengemis bertubuh langsing datang kepada para Kurawa “Tuanku, para pangeran Kurawa. Izinkan saya untuk bergulat buat mengalahkan pedagang yang mengamuk itu.” Para Kurawa yang sudah kalang kabut itu mengizinkan si pengemis itu bergulat setelah itu melarikan diri ke dalam keraton. Antara si pengemis dan si pedagang sama kuatnya dan sama saktinya. Ibarat buku bertemu ruasnya. Kemudian Ki lurah Semar meminta agar Puntadewa melerai mereka berdua “Raden, kau lihat itu akibat mereka bergulat. Pasar menjadi kacau. Damaikanlah mereka” Raden Puntadewa bertanya “apa yang harus aku lakukan, Ki Lurah?” Ki Lurah Semar kemudian mengambil segenggam tepung yang tumpah lalu menyerahkannya pada Puntadewa “ini Raden, sarana untuk mendamaikan mereka. Bacakanlah mantra pada tepung ini. Lalu lemparkan ke arah mereka yang sedang bergulat itu.” Tanpa ba-bi-bu lagi, Puntadewa segera berjalan menuju arena pergulatan itu lalu melemparkan tepung yang sudah dimantrai itu ke arah mereka.
Ajaib! Kedua insan yang sedang bergulat itu langsung lemas dan badar ke wujud asli mereka yaitu Arya Bratasena dan Raden Permadi. Setelah saling mengenali, mereka segera berpelukan. Lalu Raden Puntadewa, si kembar, dan Ki Lurah Semar mendatangi Bratasena dan Permadi yang masih lemas. Puntadewa merasa bersyukur dengan kembalinya kedua adik yang disyanginya itu. Mereka segera kembali ke Panggombakan setelah membantu para pedagang membereskan pasar. Para Kurawa terutama Suyudana kaget melihat Arya Bratasena masih hidup bahkan jadi semakin perkasa. Mereka sangat kesal namun mereka tak berani menyerangnya lagi.
Di Panggombakan, kesehatan Dewi Kunthi berangsur membaik setelah putra-putranya kembali. Lalu di hadapan pamannya, Arya Widura, Ki Lurah Semar dan ibunya, Bratasena menceritakan pengalaman dan kejadian yang dialaminya tempo hari termasuk saat dia diberi makanan dan minuman beracun oleh Suyudana. Arya Widura yang memperhatikan cerita dari Bratasena menjadi kesal dengan tingkah para Kurawa “Hmm... ini sudah keterlaluan. Suyudana dan adik-adiknya harus diberi pelajaran. Anak-anakku Pandawa, mulai sekarang kalian harus berhati-hati” Dewi Kunthi juga membenarkan perkataan adik iparnya itu “ benar itu, rayi Widura. Tapi kita tak bisa menyalahkan para Kurawa mentah-mentah. Mereka seperti itu juga karena hasutan Sengkuni. Siapapun tahu siapa dia. Anak-anakku mulai sekarang kalian tidak boleh lengah. Tingkatkan kewaspadaan kalian tapi tetaplah berbaik sangka pada siapa saja.” Para Pandawa mengerti dan mulai sekarang mereka semakin waspada. Sejak saat itu pulalah Bratasena memiliki kekuatan 100 gajah dan menjadi kebal terhadap segala racun dan bisa.

*Tirta Manik Rasakundha adalah air sakti yang konon siapa yang mampu meminumnya, akan dianugerahi kekuatan sepuluh ekor gajah, mampu kebal segala racun dan bisa, dan mampu bernafas didalam air dan di bawah tanah layaknya bangsa ular

Sabtu, 16 Maret 2019

Balas Dendam Dorna : Kelahiran Putra-Putri Pancalaradya


Hai-hai semua, kali ini saya akan menceritakan bagaimana pembalasan dendam Resi Dorna kepada Prabu Drupada lewat para muridnya, Pandawa dan Kurawa sehingga sebagian wilayah Pancalaradya menjadi wilayah Perguruan Sokalima. Dikisahkan pula Bambang Aswatama yang naik derajat menjadi adipati sebagian wilayah Pancalaradya dengan pusatnya di Perguruan Sokalima dan kelahiran putra-putri Prabu Drupada dan Dewi Gandawati lewat ritual sesaji api. Kisah ini bersumber dari Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa dipadukan dengan beberapa bagian di Kitab Pustakaraja Purwa dan serial kolosal India Mahabharat Starplus dengan unsur-unsur pedalangan Jawa.
Beberapa hari kemudian, Prabu Dretarastra dihadap Maharesi Bhisma, Arya Widura, Mpu Krepa, Patih Arya Sengkuni,dan Resi Dorna. Dikarenakan saat unjuk kebolehan di Tegal Kurusetra tempo hari tidak ditemukan pemenangnya, maka Maharesi Bhisma mengusulkan untuk mengadakan pertandingan ulang agar jelas siapa yang berhak mendapatkan takhta. Resi Dorna mempunyai satu usul “begini, Kakang Bhisma. Aku punya usul. Kita adakan ujian ulang, tapi kali ini bukan adu tanding satu lawan satu tapi pertandingan menangkap musuh. Saya ada musuh, Prabu Drupada dan Arya Gandamana. Barangsiapa yang bisa mendapatkan mereka berdua maka dia yang menang dan berhak menjadi penerus takhta Hastinapura!” sontak seisi pasewakan agung terkejut. Arya Widura tidak setuju “maaf, Resi Dorna. Kali ini saya tidak setuju. Kita juga punya utang budi dengan Arya Gandamana dan Prabu Drupada Walau bagaimanapun, Pancalaradya dan Hastinapura sudah bersahabat sejak lama. Jika uji tanding ini dilangsungkan maka perang akan berkecamuk antara Hastinapura dan Pancalaradya dan hubungan baik antar kedua negara akan rusak.”
Patih Arya Sengkuni yang mendendam pada Arya Gandamana mendukung usulan Resi Dorna. Dia sudah mempersiapkan alasan dibalik usulan tersebut “rayi Widura, ada beberapa alasan kenapa kita tidak lagi menganggap Pancalaradya sebagai sahabat. Pertama, ingat sewaktu unjuk kebolehan tempo hari, tidak ada pihak dari Pancalaradya yang mewakili dan sewaktu saya sampaikan undangan, mereka malah merobek-robek undangan itu dan yang kedua, menurut telik sandi, pasukan Pancalaradya mulai merangsek-rangsek Sokalima yang berada di dekat tapal batas tanpa alasan. Bukan kah itu artinya mereka mau cari gara-gara dengan kita?” Arya Widura merasa curiga karena biasanya Prabu Drupada amat ramah pada tamu, namun sebelum melanjutkan kata-katanya, Prabu Dretarastra sudah mengeluarkan fatwanya “Hmmm.... kali ini juga apa yang dikatakan rayi Patih ada benarnya. Sokalima sekarang terancam kedaulatannya. Kita tak ada pilihan lain, aku izinkan para Pandawa dan Kurawa menyerang Pancalaradya.” Maharesi Bhisma dan Arya Widura tak bisa berkata-kata lagi melihat sang prabu semakin terhasut oleh duo maut Sengkuni-Dorna.
Keesokan harinya, hasil rapatpun diumumkan pada Pandawa dan Kurawa. Para Kurawa yang merasa senang dapat kesempatan membalas dendam pada Arya Gandamana karena sudah tahu bahwa wajah paman mereka menjadi rusak karenanya. Sementara para Pandawa merasa ragu dan bimbang di dalam hati karena bagi mereka, Prabu Drupada dan Arya Gandamana adalah sahabat ayah mereka dan mereka juga tak tega melawan dua sahabat ayahnya yang sudah dianggap sebagai orang tua kedua.
Di kerajaan Pancalaradya, Prabu Drupada sudah merasa bahwa kelak Dorna akan membalas sakit hatinya. “Rayi Gandamana, perketat penjagaan dan kirim prajurit tambahan ke perbatasan Pancala-Sokalima. Telik sandi sudah melihat ada pergerakan dari arah Hastina menuju perbatasan Sokalima. Kali ini temani aku kesana. Akan terjadi perang yang tak terhindarkan. Kita harus berperang sepenuh hati,tapi jangan sampai ada satupun murid Dorna yang terluka” “Baik, Kakang Prabu. ” Di perbatasan, Resi Dorna, Pandawa, dan Kurawa mulai bersiap-siap menyerang Pancalaradya. para Kurawa maju berperang lebih dulu. Mereka berperang tanpa strategi dan asal serang saja tak peduli dengan nasib para prajurit yang sudah tak berdaya. Menyangka mereka telah menang, tiba-tiba Arya Gandamana datang dan mengobrak-abrik mereka dengan Aji Bandung Bandawasa dan Wungkal Bener*. Para Kurawa yang kocar-kacir akhirnya kalah dan Arya Gandamana segera mengurung mereka di dalam kerangkeng. Suyudana mulai kehilangan kontrol dan lengah melihat adik-adiknya kalah satu persatu. Akhirnya, Suyudana kalah dan langsung melarikan diri bersama adik-adiknya yang tersisa.
Setelah melihat para Kurawa yang tersisa kalah, Resi Dorna segera memerintahkan para Pandawa menyerang Prabu Drupada dan Arya Gandamana. Dengan setengah hati dan penuh kebimbangan, para Pandawa segera menuju medan tempur. Tak lama kemudian, setelah sampai di hadapan Prabu Drupada dan Arya Gandamana, para Pandawa menghaturkan sembah kepada mereka. Arya Gandamana segera menyuruh mereka berdiri dan bertanya “ada apa ini, ngger. Kenapa kalian tidak segera menyerang kami?” Puntadewa menjawab “Paman Prabu dan paman Arya, sungguh berat hati kami berlima untuk melawan paman berdua. Walaupun kami tahu bahwa ini perintah guru, kami tak sanggup melawan kalian.kami merasa sangat serbasalah. Apa yang harus kami lakukan?” Prabu Drupada dan Arya Gandamana tersentuh pada kesucian hati putra Pandu itu. Prabu Drupada kemudian menjelaskan “Anakku, para Pandawa. Jangan seperti itu. Walau seperti apapun perintah guru, kalau itu demi kebaikan kalian, tunaikan semampu kalian. Ingat, nak, Derajat seorang guru sama dengan agungnya dengan derajat orang tua. Ridho seorang murid bergantung ridho gurunya. Aku dan rayi Gandamana siap untuk melawan kalian berlima dan satu hal lagi, dalam sebuah perang, hubungan keluarga akan hilang. Yang ada hanya lawan dan kawan saja. Sekarang serang lah kami. Buat bangga ayah kalian yang sudah di alam sana” kemudian Puntadewa mengatakan sesuatu “Tapi paman, perang ini terjadi karena guru menyimpan dendam pada paman Prabu dan paman Arya. Sebaiknya paman Patih Drestaketu dan para prajurit segera mundur. Biar ini menjadi duel. Cukup paman Prabu dan paman Arya yang bertarung melawan dua dari lima Pandawa.” Prabu Drupada terkesan akan kebijaksanaan keponakannya itu. Setelah mereka mundur, Raden Puntadewa memerintahkan Arya Bratasena dan Raden Permadi untuk maju. Duel pun berlangsung sengit. Arya Bratasena dan Arya Gandamana saling serang dan keduanya sama-sama kuat, bagaikan harimau bergulat dengan singa. Sementara Prabu Drupada dan Raden Permadi sangat terampil dalam memanah. Namun setelah beberapa lama, Prabu Drupada kalah dan terkurung hujan panah dari Permadi. Arya Gandamana yang sejak tadi bergulat mulai kelelahan karena faktor usia dan dapat dijatuhkan oleh Arya Bratasena. Mereka pun kalah dan mau ataupun tidak, Raden Puntadewa harus mengikat kedua tangan sahabat ayahnya tersebut dengan selendang putih. Prabu Drupada segera memerintahkan Patih Drestaketu untuk membebaskan Kurawa yang terkurung di dalam kerangkeng.
Prabu Drupada di bawa ke hadapan Resi Dorna
Resi Dorna sudah menunggu di Sokalima di temani putranya, Bambang Aswatama. Samar-samar, dia melihar para Pandawa membawa Prabu Drupada dan Arya Gandamana yang dalam keadaan tangan terikat selendang putih. Para Kurawa termasuk Suyudana merasa amat malu. Resi Dorna merasa sangat gembira melihat kemenangan para Pandawa. Kemudian Resi Dorna melepaskan ikatan Prabu Drupada dan Arya Gandamana, lalu Resi Dorna berkata “sang Prabu, sahabatku. Sekarang dendamku sudah terbayar. Meskipun aku pernah mendendam padamu dan iparmu. Aku tak pernah mau berselisih denganmu. Tapi kau tetap harus tepati janjimu. Kau pernah berjanji padaku akan membagi setiap kemuliaan yang kau punya denganku, sekarang aku meminta padamu tanah Pancalaradya yang ada di selatan bumi Sokalima jadi milikku dan aku ingin menjadikan Sokalima menjadi kadipaten baru dengan putraku Aswatama yang menjadi adipatinya. Sekarang tepati janjimu.” Arya Gandamana yang merasa kesal ingin menghajar lagi tapi dicegah oleh Prabu Drupada. “baiklah, Dorna. Akan aku tunaikan permintaanmu.” Sejak saat itu Pancalaradya sebelah utara yang berdekatan dengan Sokalima merdeka dan menjadi wilayah kekuasaan Resi Dorna. Perguruan Sokalima berubah menjadi pergurunan besar, tanahnya luas, dan memiliki sistem kekeratonan didalamnya dengan Bambang Aswatama sebagai pemimpinnya. Bambang Aswatama yang angkuh berbisik pada Permadi “Heeh, sekarang kita setara kan, Permadi dan aku bahkan lebih mulia daripada kamu,” Permadi yang tak suka dengan kepongahan Aswatama segera pulang kembali ke Hastinapura bersama para Pandawa dan Kurawa. Sementara Resi Dorna sudah dilantik menjadi Mahaguru keraton Hastinapura bersama Mpu Krepa, iparnya.
Kejadian terenggutnya sebagian Pancalaradya ke tangan Resi Dorna membuat hati Prabu Drupada terguncang dan selalu berduka lara. Dirinya iri pada Resi Dorna yang memiliki seratus lima murid dan seorang putra yang patuh tunduk padanya, sementara dirinya tak punya seorang anakpun karena Dewi Gandawati memiliki masalah pada rahimnya. Karena itu, untuk sementara, Prabu Drupada dan Dewi Gandawati ditemani Arya Gandamana pergi menyepi untuk mencari sarana untuk berputra, sementara tampuk jalannya negara di pegang oleh Patih Drestaketu. Mereka bertiga melakukan tapa brata di hutan Daksinapatra hingga setelah empat puluh hari, mereka berdua dibangunkan oleh dua orang pendeta kembar. Mereka bernama Resi Yodaya dan Resi Upayodaya. “Sang Prabu, perkenalkan, nama saya Yodaya dan ini adik saya Upayodaya” “kami mendapat perintah dari Sanghyang Batara Siwa untuk membantu sang prabu berputra. Untuk itu kami akan membuat sesaji api dan saya membawa Manggadewa Tangganingjiwa sebagai sarana benih paduka berdua” Prabu Drupada dan Dewi Gandawati merasa gembira karena telah menemukan sarana untuk memiliki keturunan. Kedua resi itu kemudian meminta mereka kembali mengheningkan cipta. Tak disangka, setelah mengheningkan segala cipta, karsa, dan rasa, dari kelamin Prabu Drupada dan Dewi Gandawati keluar cahaya terang penjelmaan benih keduanya masuk meresap ke dalam daging buah Manggadewa Tangganingjiwa. Kemudian, daging mangga itu dipotong menjadi tiga potong. Ketiga potongan mangga itu dilemparkan ke dalam api pemujaan bersamaan dengan dilemparkannya bunga pemujaan, dan anak panah milik Prabu Drupada.
Sesaat kemudian setelah dua pendeta itu membaca mantra, bumi gonjang-ganjing, mendung bergelayut, petir menyambar-nyambar, angin topan bertiup sangat kencang, dan api pemujaan menjadi menyala berkobar-kobar. Panasnya terasa hingga membuat seluruh tanaman dan pohon layu kepanasan di hutan itu. Atas kuasa dan izin dari Sanghyang Widhi, dari dalam api yang berkobar-kobar itu, keluarlah tiga orang anak muda yang sebaya dengan para Pandawa, seorang pemuda tampan dan dua gadis yang sangat cantik. Sang pemuda tampan tampak sudah memakai baju zirah, sementara salah satu gadis itu membawa anak panah dan gadis satunya, berambut ikal indah dengan berhiaskan jepit rambut berbentuk bunga teratai.
Kelahiran putra-putri Pancalaradya dari kobaran api sesaji
Prabu Drupada, Dewi Gandawati, dan Arya Gandamana sangat gembira meliharnya. Oleh Prabu Drupada, gadis yang berambut ikal dijadikan kakak tertua dan dinamai Dewi Drupadi yang artinya “anak perempuan Drupada” dan oleh Arya Gandamana, diberi nama Dewi Panchali yang artinya “puteri termahsyur dari Pancala”dan dijadikan putri angkatnya. Kemudian si gadis yang membawa anak panah, oleh ayahnya dinamai Dewi Srikandhi yang artinya “si cantik yang kelaki-lakian” dan sang pemuda tampan dinamai Arya Drestajumena sebagai rasa penghormatan pada Patih Drestaketu yang kini sedang membantunya menjalankan pemerintahan. Setelah semua selesai, kedua pendeta kembar itu pamit dan menghilang di balik lebatnya hutan.
Setelah peristiwa kelahiran putra-putri Pancala, Prabu Drupada beserta Dewi Gandawati dan Arya Gandamana memboyong keluarga barunya kembali ke Pancalaradya. Patih Drestaketu menyambut mereka dengan penuh syukur. Pada suatu hari, Dewi Srikandhi hendak berlatih perang-perangan. Ketika melewati balairung istana, dirinya melihat sebuah puspamala yang bercahaya tergeletak di lantai. Kemudian, tanpa rasa takut, Dewi Srikandhi mengambil dan mengalungkan puspamala itu dilehernya. Seketika, sukma Dewi Amba yang terbang diatas langit Pancalaradya kemudian menitis pada diri Srikandhi. Prabu Drupada dan Dewi Gandawati yang kebetulan lewat situ terkejut melihatnya. Prabu Drupada takut akan ramalan mertuanya bahwa siapapun yang memaki puspamala yang pernah dibuang oleh Dewi Amba itu bakal bisa mengalahkan Maharesi Bhisma. Prabu Drupada mengingatkan Srikandhi untuk tidak berlatih perang-perangan lagi dan segera membangun taman baru bernama Maherakaca untuk Dewi Srikandhi agar sisi femininnya keluar. Dasar Srikandhi, walaupun sudah diingatkan berkali-kali, dirinya tetap berlatih perang, malah taman Maherakaca berubah menjadi arena latihan barunya. Melihat perkembangan putrinya yang tomboy itu, timbullah keinginan dari Prabu Drupada untuk mempermalukan Resi Dorna. Maka, Prabu Drupada memerintahkan putranya, Arya Drestajumena untuk berguru pada Resi Dorna.
* Aji Bandung bandawasa adalah ajian yang dapat mengumpulkan tenaga magnetik bumi ke dalam pukulan tangan. Ajian ini harus dipatrapkan bersama Aji Wungkal Bener yang menjadi tombol kendalinya. Ajian Wungkal Bener dapat mendeteksi isi hati seseorang bila diketahui isi hati lawan tak ada niat buruk, pukulan dari Aji Bandung Bandawasa bisa melemah bahkan tidak mempan. Begitupun sebaliknya, bila si lawan memiliki niat atau hati yang tidak baik, maka pukulannya pun menjadi mantap dan kuat.

Senin, 11 Maret 2019

Pendadaran Siswa Sokalima


Hello guys, kali ini saya menceritakan kisah pendadaran para Pandawa dan Kurawa yang baru saja lulus dari pendidikan ilmu perang. Dikisahkan pula kedatangan Aradeya menantang Permadi dan derajatnya kemudian dinaikkan oleh Raden Suyudana. Sumber yang saya gunakan berasal dari Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa yang dipadukan dengan serial kolosal India Mahabharat Starplus dengan sedikit pengembangan dari saya sendiri dan diberi unsur-unsur pedalangan Jawa
Lima tahun telah berlalu, kini para Pandawa dan Kurawa sudah mahir dan menyerap berbagai ilmu perang dari Resi Dorna. Kini saatnya ujian pendadaran untuk mereka sekaligus unjuk kebolehan di hadapan khalayak ramai. Patih Arya Sengkuni mengusulkan untuk mengundang raja dan pangeran negara-negara tetangga. Selain itu, hendaknya unjuk kebolehan ini bukan sekadar pertunjukan namun sebuah adu tanding. “Kakang Prabu, aku punya usul. Kita jadikan saja unjuk kebolehan ini bukan sekadar unjuk kebolehan. Kita jadikan adu tanding. Siapapun yang jadi juaranya, dia yang pantas menjadi putra mahkota Hastinapura.” Awalnya Prabu Dretarastra, Maharesi Bhisma, dan Arya Widura tidak setuju. Namun, Resi Dorna ikut bicara “Hmmm..... aku setuju dengan usul rayi Sengkuni. Tapi untuk format pertandingannya, jangan sampai ada pangeran yang terluka. Pertandingan ini untuk persaudaraan. Yang menang adalah yang mampu bertahan tanpa keluar arena. Siapapun yang menyebabkan lawan terluka parah atau berdarah, dia didiskualifikasi.” Karena itu mereka berunding lagi dan akhirnya mereka setuju dan Patih Arya Sengkuni diserahi tugas untuk mengurus segala persiapan sarana dan prasarananya. Maharesi Bhisma menunjuk Resi Dorna dan Bambang Aswatama sebagai juri pertandingan. Untuk masalah siapa yang akan tampil, Arya Widura meminta agar yang tampil ditentukan lewat undian.
Di waktu yang sama, Aradeya dan Adimanggala telah menyelesaikan pendidikan dari Batara Ramabargawa. Pada suatu hari untuk menguji ketahanan tubuh para muridnya, Batara Ramabargawa mengirimkan sepasang labah-labah. Labah-labah itu menggigit paha Adimanggala dan Aradeya yang sedang terlelap tidur. Meskipun terasa sangat menyakitkan, dalam tetap kondisi tidur pun, mereka mampu menahan rasa sakit sampai paha mereka berdarah.
Aradeya dan Adimanggala selesai menempuh pendidikan
Dari kejadian itu, Batara Ramabargawa menyimpulkan bahwa kedua muridnya adalah keturunan orang-orang linuwih. “anak-anakku, sudah saatnya ku kembali ke kahyangan. Kembalilah kalian ke negara kalian di Hastinapura. Aku mendapat kabar dari para bidadari dan bidadara bahwa sebentar lagi bakal ada adu tanding para pangeran Hastinapura.” Aradeya tertarik untuk datang dan berniat membalas sakit hatinya pada Resi Dorna sekaligus ingin menunjukkkan bahwa dirinya yang seorang putra kusir bisa menjadi pemanah terhebat di dunia. Batara Ramabargawa marah, tidak suka dengan sifat angkuh Aradeya lalu memberikan kutukan padanya “Aradeya, aku ingatkan. Kalau kau tidak bisa mengendalikan sifat angkuhmu, kelak di saat pertarungan antara hidup dan mati, kau akan lupa semua ilmu mu!!!”Aradeya tercekat kaget dan memohon ampun “Ampun, Guru. Saya tak bermaksud demikian. Saya tak tahu cara menghilangkan sifat angkuhku ini. Tolonglah cabut kutukan itu, guru!!” “Meskipun aku seorang dewa, aku tak bisa mencabut kutukan yang telah ku lontarkan tapi aku sarankan bersikaplah dermawan. Sikap dermawanmu akan menjadi penyeimbang sifat angkuhmu.” Aradeya merasa mendapat harapan baru kemudian bersumpah “Terima kasih, guru. Mulai saat ini aku akan menjadi orang yang dermawan dan aku bersumpah, siapapun yang meminta sedekah padaku, siapapun orangnya dan apapun yang dia minta, akan ku berikan dengan penuh keikhlasan” Sumpah itu disertai gelegar halilintar pertanda sumpah itu didengar dewata. Setelah itu, mereka pamit meninggalkan hutan Jatiraga. Di tengah perjalanan, Aradeya dan Adimanggala bertemu dengan ayah mereka, Ki Adiratha. Adiratha kemudian mengajak mereka kembali ke Hastinapura untuk menyaksikan unjuk kebolehan para pangeran.
Hari unjuk kebolehan pun tiba. Unjuk kebolehan itu dilangsungkan di sebuah lapangan raksasa di selatan pegunungan Himayan yang mampu menampang ratusan juta manusia. Lapangan itu oleh kawula Hastinapura dinamai Tegal Kurusetra. Seluruh rakyat Hastinapura, raja dan pangeran negara sahabat datang berbondong-bondong ke tengah lapangan itu bagaikan semut mengerubungi gula. Nampaklah Prabu Matsyapati dari Wiratha, Prabu Salya, kakak Dewi Madrim yang kini menjadi raja di Mandaraka, Prabu Hanggayaksa dari Gandara, dan Pangeran Adipati Kangsa dari Mandura duduk di kursi VIP. Hanya kerajaan Pancalaradya yang tidak ada yang mewakilkan. Di singgasana duduklah Prabu Dretarastra yang disebelahnya ada Arya Sanjaya, putra sulung Arya Widura. Disamping kanan, Dewi Kunthi dan Dewi Gendari duduk bersebelahan dengan Dewi Durshilawati dan di samping kiri, duduklah Maharesi Bhisma, Resi Dorna, Arya Widura, dan Mpu Krepa. Setelah seluruh undangan dan rakyat Hastinapura datang menyesaki tribun, Resi Dorna berdiri memberikan sekilas peraturan pertandingan “pertandingan ini tidak untuk saling menjatuhkan apalagi membunuh. Pertandingan ini adalah duel satu lawan satu hingga didapat satu yang terbaik. Satu yang terbaik adalah dia yang mampu bertahan sampai akhir saat matahari terbenam dan yang kalah cukup dapat dilihat siapa yang keluar dari panggung lebih dulu atau menyerah baik-baik, karena tak boleh ada yang terluka, siapapun yang menyebabkan pihak lawan terluka parah atau berdarah akan didiskualifikasi. Sekian pengumuman dari saya dan mari kita mulai pertandingannya !!”
Begitu Resi Dorna selesai menyampaikan pengumuman, Patih Arya Sengkuni mulai melakukan undian, yang pertama kali keluar adalah Arya Bratasena melawan Arya Dursasana. Mereka saling memukulkan gada. Tak sampai sepuluh menit, Arya Dursasana sudah tumbang dan terlempar keluar arena. Kemuadian diadakan undian lagi. Kali ini keluarlah nama Arya Durmagati dan hasilnya sama, Durmagati jatuh terlempar keluar arena oleh Bratasena. Setelah itu keluar nama Raden Citraksa dan Citraksi dan hasilnya sama juga. Begitulah nama  para Kurawa terus keluar hingga nama Raden Suyudana keluar untuk melawan Bratasena. Raden Suyudana menjalankan siasatnya agar Bratasena didiskualifikasi, bermain gada sambil mencaci Bratasena. “ Hei, Sena. Aku akui kekuatanmu. Maklumlah, kau dan seluruh saudaramu kan anak hasil main-main ibumu dengan para dewa...hahaha!!!” “tutup mulut kotormu. Aku bisa membunuhmu dalam sekejap.” Saking kesalnya, Bratasena memukul gadanya terlalu keras dan menghantam mulut Raden Suyudana membuat mulutnya berdarah. Suyudana semakin kalap dan terus memukul Bratasena tapi Bratasena malah memiting tangannya dan langsung membanting jatuh keluar arena. Para Kurawa yang kesal melihat kakak tertua mereka dilukai naik gelanggang dan mengeroyok Bratasena. Suasana unjuk kebolehan menjadi riuh dan tak terkendali. Para Pandawa lainnya berusaha melerai dan menenangkan Bratasena. Resi Dorna dan Bambang Aswatama turun ke gelanggang dan mendiskulifikasi Arya Bratasena.
Setelah suasang kembali kondusif, Patih Arya Sengkuni kembali melempar undian dan yang keluar adalah nama Raden Permadi. Pertama, Raden Permadi melawan Arya Widandini. Belum sampai lima menit, Widandini terkurung oleh panah-panah yang dilontarkan Permadi dan mengaku kalah. Patih Arya Sengkuni kembali melempar undian lalu keluarlah nama Pinten. Karena segan, Raden Pinten mengundurkan diri. Begitu pula ketika nama Raden Tangsen keluar, belum sampai pertandingan selesai, dia langsung mengundurkan diri. Begitulah, Patih Arya Sengkuni terus melempar undian dengan sulap sehinggalah Raden Permadi melawan kakaknya, Puntadewa. Rupanya hal itu tak membuat Raden Permadi maupun Raden Puntadewa merasa segan. Mereka tetap melanjutkan pertandingan dengan adil dan jujur. Meskipun Raden Puntadewa jarang bertarung namun kemampuannya melemparkan galah dan tombak mampu membuat Permadi cukup kelabakan, malah sebagai pengakhiran dari melawan kakak sendiri, Raden Permadi mengeluarkan Aji Naracabala*1 dan begitu panah ditembakkan ke angkasa, bermunculan hujan anak panah yang menghancurkan seluruh galah dan tombak Puntadewa lalu mengurungnya didalam kurungan panah emas buatannya kemudian Permadi menghaturkan sembah kepadanya “Terima kasih, kakang Puntadewa. Mohon restumu untuk mengakhirkan pertandingan ini” Puntadewa merasa bangga dan merestuinya“Restuku akan selalu bersamamu, adikku. Aku bangga bisa dikalahkan olehmu.”
Kini tinggallah Raden Suyudana yang belum melawan Raden Permadi. Tanpa diundi, mereka langsung unjuk kebolehan. Raden Suyudana berusaha memukul Raden Permadi dengan gadanya, namun Permadi mampu menahan serangan dengan busur panahnya. Berkali-kali Suyudana berusaha memukul Permadi, namun Permadi selalu bisa menghindari pukulannya. Pertarungan mereka bagai harimau yang sedang mengejar merpati yang sedang terbang . Setelah bertahan cukup lama, Raden Permadi mengeluarkan serangan balasan. Raden Permadi kemudian membaca mantra Aji Pangasrepan*2, lalu menembakkan panahnya ke angkasa dan tiba-tiba, udara di seluruh Tegal Kurusetra berubah menjadi dingin lalu muncul pusaran badai es yang mengurung dan menggulung tubuh Suyudana. Suyudana yang tak bisa berkutik hanya meringkuk kedinginan. Resi Dorna bersorak gembira dan segera mengumumkan pemanah terbaik di dunia “Hebat, anakku Permadi. Mulai hari ini aku umumkan Permadi sebagai pemanah terbaik tiada tanding di dunia.”
Tiba-tiba dari tribun penonton, muncullah seorang anak muda berwajah tampan yang naik gelanggang dan menembakkan panah berajian Hanggeniastra*3. Panah itu melesat dan mengeluarkan puting beliung api yang menghangatkan seluruh Tegal Kurusetra dan melenyapkan badai es yang menggulung Raden Suyudana. Semua orang di tribun terkagum-kagum termasuk para bangsawan keraton. Pemuda itu keberatan kalau Raden Permadi ditetapkan sebagai pemanah terbaik di dunia “Aku keberatan kalau tuan guru Dorna menetapkan Raden Permadi sebagai pemanah tanpa tanding di dunia dan dihadapan seluruh penonton, para raja, dan pangeran, aku menantang Raden Permadi untuk adu panah satu lawan satu denganku.” Resi Dorna lalu bertanya pada pemuda itu darimana asalnya. Sang pemuda hanya terdiam. Tiba-tiba datanglah ayah dan adik dari pemuda itu, yaitu kusir Ki Adiratha dan Bambang Adimanggala “Aradeya, cepat kembali kesini. Bikin malu saja. Ehh maaf tuan guru Dorna. Maaf atas kelancangan putra hamba menantang Raden Permadi. Kami benar-benar mohon maaf” “Adiratha, ketahuilah. Dalam berperang atau bertanding pun ada tatakramanya. Semua harus sederajat. Raja harus melawan raja. Pangeran juga harus melawan pangeran. Senopati melawan senopati juga. Putramu Aradeya tidak sederajat bila harus melawan Permadi. Saranku saja ya, sebaiknya pulanglah kembali ke Awangga.” Arya Bratasena yang ada di luar gelanggang juga menyoraki Aradeya sebagai pemuda yang tak tahu tatakrama istana dan menyuruh Ki Adiratha untuk mendidiknya sopan santun. Raden Puntadewa menegur adik nomor duanya itu “Bratasena, tidak seharusnya kamu bicara begitu. Kau mudah sekali ngomong begitu sedangkan dirimu sendiri juga harusnya belajar bersopan santun.” Bratasena hanya terdiam tak berani membantah.
Aradeya merasa sangat kecewa karena hanya karena kedudukannya sebagai orang sudra, dia hanya dipandang sebelah mata. Tiba-tiba Suyudana menahannya pulang “Tunggu, Aradeya. Jangan pergi dulu. Kau sudah menolongku saat terkurung badai es buatan Permadi tadi dan atas persetujuan ayahku Prabu Dretarastra, aku mengubah status Desa Awangga menjadi kadipaten, aku mengangkat ayahmu sebagai Adipati Awangga dan kamu, Aradeya dan saudaramu boleh menyandang gelar raden didepan nama kalian.” Ki Adiratha, Aradeya, dan Adimanggala menunduk dan tak berani menerima anugerah ini. “Maafkan hamba, pangeran. Kami tidak berani menerima hadiah sebesar ini. Kedatangan hamba kesini untuk beradu tanding, bukan untuk mencari hadiah.”  “Bangun, Aradeya. Anugerah ini bukan apa-apa bagiku. Ini adalah bentuk terima kasihku karena kau sudah menyelamatkanku di atas gelanggang tadi dan mulai sekarang kami, Para Kurawa menjadikanmu sebagai saudara tua kami. Kau dan aku sahabat selamanya.” Aradeya kemudian bangun dan berterima kasih kepada Raden Suyudana. “Terima Kasih, raden emm maksudku rayi Suyudana. Mulai sekarang dan seterusnya saya akan melindungi Raden Suyudana. Izinkan saya untuk melanjutkan adu tanding dengan Raden Permadi.” Suyudana memberikan restunya dan Resi Dorna mempersilahkannya masuk gelanggang. Sebelum pergi, Adipati Adiratha memberitahukan bahwa Aradeya lahir dengan nama Suryaputra dan menyuruh Aradeya menggunakan nama itu.
Pertarungan antara Suryaputra melawan Permadi pun dimulai. Panah-panah mereka saling beradu, berdesing, menimbulkan suara riuh dan gaduh di angkasa. Para penonton, para raja negara sahabat, Para Pandawa dan Kurawa saling terkagum-kagum.
Raden Suryaputra/Aradeya vs Raden Permadi
Mereka ibarat Sri Rama dan Laksmana yang saling beradu panah. Kedua-duanya sama hebat dan seimbang. Tak ada yang menang maupun yang kalah. Hari mulai beranjak petang dan tidak ada satupun dari mereka yang menyerah kalah ataupun terjatuh dari gelanggang. Raden Permadi menembakkan panah terakhirnya bersamaan dengan terbenamnya matahari. Dipukullah bende tanda pertandingan harus diakhiri. Raden Suryaputra meletakkan busur panahnya dan tak berusaha menangkis panah itu. Dia menerima panah itu dengan dadanya. Seketika itu pula anting yang dipakai Raden Suryaputra menyala terang dan di dadanya muncul cahaya menyilaukan bagaikan sinar matahari dan brak! Anak panah itu patah menjadi dua saat menyentuh dada Raden Suryaputra.
Dewi Kunthi yang menonton di samping Prabu Dretarastra dan Dewi Gendari terkejut melihatnya. Teringatlah dia kejadian saat dia diperintahkan ayah dan gurunya, Prabu Kuntiboja dan Resi Durwasa untuk membuang putra sulungnya, Karna Basusena yang sejak bayi sudah memakai anting Suryakundala dan baju zirah Suryakawaca di Bengawan Gangga. Seketika Dewi Kunthi terjatuh pingsan setelah menyadari bahwa putra sulungnya telah muncul dihadapannya dan kini melawan adiknya sendiri. Arya Bratasena segera menggendong ibunya disusul Raden Puntadewa dan si kembar Pinten-Tangsen.Raden Permadi dan Suryaputra masih di gelanggang dan saling berjanji untuk melanjutkan pertandingan kelak di hari lain. Setelah Raden Permadi pergi, Raden Suyudana, Arya Dursasana, dan Para Kurawa yang lain menjunjung tinggi-tinggi tubuh Raden Suryaputra bagai pahlawan yang baru menang perang. Sementara itu, di keraton Hastinapura, Resi Dorna dan Bambang Aswatama berniat pamit kembali ke Sokalima namun ditahan oleh Patih Arya Sengkuni.” Tunggu kakang Dorna, anakku Aswatama. Sebelum kalian pulang, baiknya kita saling berfikir jangka panjang. Lebih baik kita bekerjasama saja. Aku sudah meminta pada raka Prabu Dretarastra untuk melantik kakang sebagai penasihatnya bersamaku dan putramu Aswatama mulai sekarang bisa menjadi nayaka praja*4 di rumahku di Palasajenar dan aku sudah mengusulkan kucuran dana yang lebih besar pada raka prabu untuk Sokalima agar menjadikan padepokan kakang menjadi perguruan terbesar di pulau Jawa. Kau boleh menerima murid dari negeri manapun dengan syarat dia harus bisa menjadi sekutu Hastinapura. Bagaimana, Kakang? apa kau tidak tertarik? Pikirkan itu” setelah berpikir dengan matang, Resi Dorna tertarik dan bersedia bekerjasama karena merasa jalan untuk menyerang Drupada dan Arya Gandamana semakin dekat. Bambang Aswatama merasa gembira karena pintu untuk menaikan derajatnya demi menyaingi Permadi semakin terbuka lebar. Mulai saat itu, padepokan Sokalima dibenahi dan diberi kucuran dana dari keraton Hastinapura sehingga berubah menjadi perguruan terbesar di pulau Jawa. Hal itu mulai membuat Prabu Drupada di Pancalaradya semakin khawatir akan perkembangan Sokalima dan akan mengaburkan tapal batas antara negara Hastinapura dan Pancalaradya.
*1 Aji Naracabala adalah ajian yang dimiliki para pemanah handal. Bila ajian ini dirapalkan sambil merentangkan busur panah, maka anak panah yang ditembakkan akan berubah menjadi berlipat ganda bahkan hingga menjadi hujan anak panah. Ajian ini dikuasai terutama oleh Arjuna dan Karna
*2 Aji Pangasrepan, ajian yang mampu mengubah cuaca dalam radius tertentu menjadi dingin/bersalju dan mampu menciptakan badai es/hujan es. Bila dirapal sambil memainkan senjata, maka lawan yang terkena senjata itu akan membeku atau terkurung angin dingin.
*3 Aji Hanggeniastra adalah ajian yang bisa mengeluarkan api atau udara panas dan mampu membuat Aji Pangsrepan menjadi tawar. Bila dirapalkan pada senjata, maka lawan yang terkena akan kepanasan atau bahkan terbakar. 
*4 Nayaka praja adalah jabatan di keraton yang setara dengan juru tulis/sekretaris dan setingkat dengan menteri.