Minggu, 31 Desember 2023

Dornaparwa : Lunasnya Sumpah dan Janji (Satria Gatotkaca)

Hai semua pembaca dan penikmat kisah pewayangan. Kisah kali ini menceritakan bagian kedua babak Dorna Parwa yakni gugurnya Jayadrata dan perang Suluhan yakni perangnya Prabu Gatotkaca melawan Adipati Karna. Kisah ini mengambil sumber dari Serial Kolosal India Mahabharat Starplus, https://tanahmemerah.wordpress.com/wayang/wayang-kulit-2/wayang-kulit/gatotkaca-gugur/, dan https://id.wikipedia.org/wiki/Gatotkaca.

Jayadrata Lena

Sumpah Arjuna yang akan menghabisi Jayadrata menggelegar hingga terdengar pihak Kurawa. Prabu Duryudhana menjadi panik akan keselamatan iparnya itu. Patih Sengkuni lalu membuat siasat "keponakanku, kita bisa selamatkan Jayadrata. Kita sembunyikan di suatu tempat. Lalu ketika Arjuna tidak mampu menemukannya dan akan bakar diri, Jayadrata kita panggil ke medan laga." Prabu Duryudhana gembira dan berkata " ide bagus, paman......kita harus beri kabar ini kepada Jayadrata..."  Duryudhana datang ke kemah Jayadrata dan memberi kabar " adhiku, kau harus sembunyi dari Arjuna sampai matahari terbenam besok. Nanti kami akan panggil kau saat Arjuna akan bakar diri." Jayadrata tertawa licik " hahahaha....baiklah kakang....aku akan bersembunyi dan bila Arjuna akan bakar diri, aku yang merasa paling bahagia "

Keesokan hari di hari keempat belas perang, Arjuna dan Wrekodara mencari-cari keberadaan Jayadrata. Wrekodara ikut karena ia sadar bahwa dulu Prabu Jayadrata sebenarnya bisa lahir berkat Praburesi Sempani dan Rara Drata meminum air rebusan ari-ari sang penegak Pandawa. Rupanya Patih Sengkuni dan Prabu Duryudhana menyembunyikan sang raja Sindhu Banakeling itu di sebuah rumah kecil di pinggir Tegal Kurusetra. Sampai matahari sudah semakin condong ke barat (sekitar jam 3 petang), Jayadrata tak kunjung muncul. Arjuna mulai putus asa dan ingin bakar diri menyusul kematian Abimanyu, Irawan, Sumitra, Brantalaras dan beberapa putranya yang sudah gugur. " Sudah hampir malam, aku akan naik ke pancaka....kakang Madhawa tolong titip anak-anak, Dinda Sumbadra dan cucu-cucuku." Sri Kresna berkata " jangan patah arang, Parta... Kesempatan ini jangan kau sia-siakan." " Tidak, kakang Madhawa, aku telah gagal melunaskan sumpah maka aku harus menepati sumpah ku yang lain." Maka Arjuna segera naik ke atas pancaka yang telah bertumpuk banyak kayu bakar dan disirami dengan berbagai minyak.

Sri Kresna dengan tenang mengamati keadaan sekitar dan ia menyadari sesuatu...sore ini jadi gelap lebih awal. Ketika menengadah , ia melihat terjadi gerhana matahari.

Jayadrata Lena
Sehingga Prabu Sri Kresna terpikir sesuatu. Maka ia melemparkan Cakra Widaksana ke langit dan seketika senjata itu membesar menutupi sinar matahari.....siasat ini ia pakai untuk memperlama waktu gerhana dan membuat Jayadrata lengah. Langit yang sudah gelap karena gerhana kini bertambah gelap karena pendar cahaya dari cincin matahari ikut terhalang.

Mengira gerhana berlangsung bersamaan dengan terbenamnya matahari.....pasukan Kurawa membubarkan diri berhenti berperang. Jayadrata keluar dari tempat persembunyiannya tanpa diberitahu Patih Sengkuni. Ia datang melihat Arjuna akan naik ke pancaka. Ia mengejek Arjuna " hahaha...jagoan para Pandawa Arjuna telah kalah dariku. Sekarang dia akan terhina di hadapan para leluhurnya...hahahahaha..." Lalu datang Patih Sengkuni mengejar Jayadrata dan berkata " Jayadrata, kau ini benar-benar bodoh...ini masih waktu tunggang gunung. Kau lihat itu di langit." Jayadrata lalu mendongak dan melihat langit gelap. Jayadrata berkata " paman, kau lihat langit sudah gelap. Hari sudah malam." Patih Sengkuni kesal " bodoh, kau lihat  baik-baik. Matahari masih belum terbenam tapi terhalang sesuatu." Kagetlah Jayadrata. Ketika melihat ke langit sekali lagi, tanpa dinyana, Prabu Sri Kresna menarik Cakra Widaksana kembali. Matahari kembali bersinar kemerahan akan terbenam. Arjuna lalu berkata " kau benar-benar bagaikan laron masuk ke api, Jayadrata sekarang rasakan panah Pasopati ku!" Sang Permadi serta merta menembakkan panah Pasopati. prabu Jayadrata pun berusaha kabur namun tiba-tiba tubuhnya menjadi kaku. Tanpa ada kesempatan lari lagi, jrass....kepala Jayadrata terlepas dari badannya dan melayang ke arah sang ayah, Praburesi Sempani yang sedang semadi memohon keselamatan putranya.

Praburesi Sempani yang menerima kenyataan bahwa Jayadrata telah dipenggal menjadi sangat murka " kurang ajar! Siapa yang membunuh putraku?! Akan aku bunuh dia dan keluarganya!!" Praburesi Sempani mengirimkan kepala putranya dan sebilah keris yang telah ia lambari sihir untuk membunuh siapa saja yang menghalanginya. Terjadilah teror kepala Jayadrata menggigit keris dan menyebabkan kematian massal di kubu Pandawa. Para putra Arjuna yang tersisa yakni Arya Gandawardaya, Gandakesuma, Wilugangga, Sumbada, dan Kesatradewa gugur terpenggal keris yang bermantra itu. Arjuna tak tahan lagi. Ia kehilangan Abimanyu, Irawan, Wisanggeni, Sumitra, Brantalaras dan beberapa putranya tempo hari. Kini bertambah lagi putra-putranya yang gugur. Nyaris semua putra Arjuna gugur. Arjuna semakin susah hati "Dewata....kenapa kau hukum aku lagi seperti ini?! Kemarin Abimanyu sekarang Gandawardaya, Gandakusuma, Wilugangga, Kesatradewa, dan Sumbada...Kau ambil nyawa mereka yang berharga.....Cabutlah saja nyawaku!" Arjuna terduduk lemas menerima kenyataan itu. Prabu Sri Kresna segera menguatkan hati ipar yang juga sepupunya itu. Sang raja Dwarawati laku segera membaca mantra pembalik sihir. Kepala Prabu Jayadrata yang menggigit Keris itu pun berbalik ke pengirimnya. Lalu Prabu Sri Kresna mengirimkan seekor kumbang untuk mengacaukan mantra Prabu Rêsi Sempani. Praburesi Sempani yang sedang bersemadi tiba-tiba bersin dan mantranya gagal. Ia melihat kepala putranya menuju ke arahnya. Ia dikejar-kejar sampai suatu tempat ia tak kuat lari lagi. Kepala itu meledak bersamaan dengan itu,  Sempani ikut gugur menyusul putranya.

Satria Gatotkaca

Malam harinya setelah terpenggalnya kepala Jayadrata, upacara ngaben untuk para putra Arjuna digelar.... Hadir di sana pula prabu Gatotkaca. Kesedihan begitu nampak di wajahnya. Matanya seakan kosong ia melihat bayangan sang paman, Kalabendana. "Paman, saat inikah kau akan menjemputku?! Aku sudah siap bila hal itu tiba. Kapanpun paman datang, aku akan ikut." gumam Gatotkaca dalam hati. Upacara ngaben baru saja akan dimulai namun Prabu Gatotkaca melihat ada yang tidak beres...pasukan para Kurawa yang besar tanpa komando Duryudhana mengganggu prosesi upacara. Ini jelas melanggar peraturan perang. Prabu Gatotkaca diminta para Pandawa untuk berjaga sementara para Pandawa akan mengamankan tempat itu. Arjuna segera maju berperang. Gatotkaca sedikit kecut, ia hanya ditugasi menjaga tempat prosesi ngaben malam itu. Lalu datang Prabu Sri Kresna. Ia berkata ”Anakku tersayang Gatotkaca….Saat ini Kurawa mengirimkan senopati nya di tengah malam seperti ini. Rasanya hanya kamu ngger yang bisa menandingi senopati Hastina di malam gelap gulita seperti ini”

 ”Waduh, uwa prabu…..terimakasih uwa. Yang saya tunggu – tunggu akhirnya sampai juga kali ini. Uwa prabu, sejak hari pertama perang Bharatayuda saya menunggu perintah uwa prabu untuk maju demi melawan uwa adipati Karna. Uwa prabu Sri Kresna, hamba mohon do’a restu pamit perang. Wo hamba titipkan dinda para istri dan anak kami Sasikirana, Jayasumpena, dan Suryakaca. Hamba berangkat wo, sampaikan pamitku ini pada Rama Wrekodara….” Gatotkaca segera menuju medan laga.  Di sana ia segera menyerang para prajurit itu. Pihak Kurawa tidak terima maka mereka mengeroyok Gatotkaca...sang raja muda Pringgondani segera melakukan krodha dan membuat dirinya menjadi sebesar bukit. Prabu Duryudhana mendapat kabar kalau pasukannya dihadang Gatotkaca. Ia meminta Adipati Karna untuk maju ke medan  laga menghentikan Gatotkaca. Singkat cerita, setelah sampai di sana. Terjadilah perang antara Gatotkaca dan Adipati Karna. Arjuna dan Wrekodara kaget kalau Gatotkaca akan melawan uwanya sendiri. Mereka sadar kalau Gatotkaca akan kalah di tangan Karna. Wrekodara berteriak "Gatotkaca, minggat! Jangan disitu! Ben aku ramamu yang melawan uwamu iki" Gatotkaca berkata " rama tenang saja....ini bentuk darmabakti ku. Semua ini akan segera berakhir." Wrekodara merasa akan terjadi sesuatu pada putranya itu.

Gatotkaca yang berukuran raksasa menciptakan ilusi dan membuat adipati Karna pusing. Prabu Duryudhana meminta sahabatnya itu untuk menggunakan panah Konta Wijaya.

Satria Gatotkaca
Adipati Karna berkata " aku tidak bisa...panah ini hanya akan ku persiapkan untuk melawan adhiku Arjuna." Namun Prabu Duryudhana memaksa "sudahlah, sahabatku...kau masih punya banyak panah sakti. Gatotkaca semakin meresahkan pasukan Hastinapura." Adipati Karna dilema harus menyerang keponakannya atau berdiam diri. Lalu dengan berlinang air mata, terpaksa Adipati Karna menembakkan Panah Konta Wijaya yang hanya bisa sekali pakai ke arah Gatotkaca. Atas perintah Sri Kresna, Prabu Gatotkaca segera terbang menjauh ke atas langit...di sana atma (jiwa) Kalabendana datang "anakku.... aku datang menjemputmu genap malam ini. Apa kau siap?" Prabu Gatotkaca tersentak kaget melihat jiwa pamannya itu duduk di atas panah Konta Wijaya. Sadar akan takdirnya itu, Gatotkaca memasrahkan diri dan membiarkan panah itu menembus tubuhnya. Sebelum panah itu mengenai tubuhnya, Gatotkaca lalu meminta pada sesuatu pamannya  "aku sudah siap, paman. Tapi aku minta satu hal. Biarkan tubuh fanaku bisa menjadi senjata agar darmabakti ku genap." Kalabendana setuju maka ia menyatu dengan panah Konta dan menikam tepat di pusar Gatotkaca. Gatotkaca pun gugur dan badannya jatuh menghempas banyak para prajurit Kurawa. Kereta yang dinaiki Adipati Karna pun ikut hancur berkeping keping. Namun Prabu Duryudhana dan Adipati Karna selamat dari maut malam itu karena sempat menghindar.

Arya Wrekodara segera berlari menuju putranya itu.  Di sana dia meratap sejadinya "Gatotkaca!!! Anakku!! Tangio nak!! Jangan tinggalkan ramamu!!! Kudu ngomong apa aku karo ibu karo bojomu?! Di sisa malam, tangis haru pecah di kubu Pandawa....para putra Arjuna dan Gatotkaca putra Bhima Wrekodara dinaikkan ke atas pancaka (perabuan)..Dewi Arimbi menangisi kepergian putranya, begitu juga tiga isteri Gatotkaca, yakni Dewi Pergiwa, Dewi Suryawati, dan Dewi Sumpani. Begitu juga yang dirasakan Dewi Utari, sungguh susah hatinya. Sudah menjadi janda di usia yang begitu muda. Dia ingin ikut belapati namun dicegah Siti Sundari. Siti Sundari mengingatkan bahwa garis keturunan suami mereka ada di kandungan Utari dan itu harus selamat, sehingga ia berharap agar anak di kandungan Utari bisa lahir. Itu akan sangat membanggakannya dan Abimanyu di swargamaniloka.

Gatotkaca Gugur
Dengan pakaian serba putih, Dewi Arimbi, ibu Prabu Gatotkaca naik lalu menikam dadanya dan jatuhlah ia ke dalam api pancaka. Disusul kemudian Dewi Siti Sundari, lalu para istri Gatotkaca yakni Dewi Pergiwa, Dewi Suryawati, dan Dewi Sumpani. Sebelum naik, Dewi Pergiwa berpesan pada Sasikirana, putra tunggalnya untuk menjaga adik-adiknya yakni  Bambang Suryakaca dan Jayasumpena juga menitipkan takhta Pringgondani padanya. Lima wanita cantik itu yakni seorang ibu, isteri, dan menantu telah pergi demi kehormatan suami dan anak mereka. Belapatinya Pergiwa itu juga menjadikan Arjuna semakin susah hati. Sudah kehilangan para putra kini seorang putri dan menantunya yang harus pergi. Bahkan tangis Arjuna lebih pecah ketika melihat tubuh molek putrinya jatuh dimakan api pancaka yang bergejolak....Sementara itu Sri Kresna justru tersenyum sangat tipis karena dengan matinya Gatotkaca oleh panah Konta Wijaya milik Karna, nyawa Arjuna bisa terselamatkan.


Sabtu, 23 Desember 2023

Dornaparwa : Ranjapan dan Timpalan (Antara Karma dan Dendam)

Hai semua pembaca dan penikmat kisah-kisah pewayangan. Kisah kali ini memasuki babak Dorna Parwa yakni menceritakan gugurnya Abimanyu, sang putra Arjuna yang digadang-gadang akan menduduki takhta Hastinapura bersama ke lima saudaranya, gugurnya Lesmana Mandrakumara putra sulung Prabu Duryudhana, dan gugurnya Burisrawa putra Prabu Salya di tangan Setyaki. Kisah ini mengambil sumber dari Serial Kolosal India Mahabharat Starplus, https://caritawayang.blogspot.com/2012/09/ranjapan-abimanyu-gugur.html dan https://balependidikan.wordpress.com/2019/03/28/cerita-wayang-berjudul-burisrawa-gugur/ dengan perubahan dan penambahan seperlunya.

Kisah Mahabarata : Abimanyu Ranjap

Di hari kesebelas perang, pertahanan Kurawa mulai goyah seiring dengan tumbangnya Maharesi Bhisma. Di hari keduabelas, Pandawa mulai mendapat kemenangan. Adik-adik Prabu Duryudhana sudah pada bertumbangan nyaris separuhnya. Arya Wikarna, Arya Carucitra,  Arya Citraksa dan Citraksi, Arya Widarus, Arya Citrakala, dan beberapa Kurawa sudah ditumbangkan Wrekodara Bhima.

Abimanyu berpamitan kepada dua Isterinya
Begawan Dorna lalu membuat siasat gelar perang Cakrawyuha (siasat roda bergulir). Di hari ketigabelas, Pandawa kewalahan untuk menembus gelaran perang rumit itu. Hanya Arjuna, Prabu Sri Kresna, dan Prabu Drupada yang bisa masuk dan menembus gelaran perang Cakrawyuha.

Waktu itu Abimanyu yang hendak berangkat ke medan laga mampir sebentar untuk berpamitan dengan dua isterinya, Utari dan Siti Sundari. Ketika itu beberapa saudara Abimanyu ikut bersama sang kakak. Mereka bahkan Abimanyu sendiri dibuat heran karena kehamilan Utari yang cepat sekali besar padahal baru berusia tujuh setengah sasih tapi serasa sudah hampir sembilan sasih. Tapi bagi Abimanyu, itu adalah berkah. Pertanda sang calon anak sudah tidak sabar untuk lahir. Ketika menjenguk, Bambang Sumitra, adiknya dari ibu Endang Sulastri mengabarkan bahwa adik mereka, Bambang Brantalaras dan Bambang Wijanarka telah gugur karena terkepung gelaran perang Cakrawyuha milik Kurawa. Abimanyu geram dan hendak membantu pasukan menembus Cakrawyuha. Dengan dikusiri Bambang Sumitra, Abimanyu masuk ke medan laga. Para pamannya sedang berperang di tempat lain, Gatotkaca sedang berperang dengan Lembusana, saudara Alambusa, patih negara Pageralun yang telah menewaskan sang adik, Irawan sedangkan ayahnya bersama Harya Sencaki berperang dengan Harya Burisrawa.

Maka Abimanyu, Bambang Sumitra, Bambang Wijanarka, Bambang Danasalira dan beberapa adik Abimanyu lainnya ikut membantu. Namun datang Prabu Jayadrata, raja Sindu Banakeling menghadang beberapa adik Abimanyu dan membuat mereka kalang kabut. Kini tinggallah Abimanyu, Bambang Sumitra, dan Bambang Danasalira yang menembus Cakrawyuha. Adipati Karna merasa ada yang tidak beres. Maka ia berusaha berteriak agar para keponakannya jangan terlalu masuk." Abimanyu!!! Danasalira !!!! Sumitra!!! Jangan masuk! Ini siasat jebakan!!!" Tapi suara genderang perang dan dentingan senjata mengaburkan suara sang Adipati Awangga. Di saat bersamaan, panah Aswatama melesat ke leher Bambang Danasalira. Ia pun gugur. Tak lama, tombak Begawan Dorna menembus dada Bambang Sumitra yang sedang mengusiri kakaknya. Ia pun ikut gugur sebagai kesuma bangsa. Melihat adik-adiknya gugur, Abimanyu menjadi tidak fokus dan kesulitan menembus gelaran Cakrawyuha. Di saat bersamaan, panah-panah, keris, pecahan pedang, tombak dan berbagai senjata melesat menancap ke badan Abimanyu.

Patih Sengkuni mengibarkan bendera menyerah. Menyangka musuh telah kalah, Abimanyu datang tanpa membawa senjata yang cukup. Kemudian Adipati Karna mendekati Abimanyu kemudian memeluknya dan berkata "anakku, aku bangga kepadamu". Dari belakang, Jayadrata telah siap dengan anak panah Kyai Galih Asem. Tiba-tiba ia dipanah dari belakang...Abimanyu terduduk dengan darah mengucur dari punggungnya. " Uwa Adipati, apa yang kau...."  Adipati Karna menangis tersedu "anakku, maafkan aku. Uwa mu tak bermaksud..." Karena tak tega melihat keponakannya terluka, Adipati Karna segera kembali ke pesanggrahan. Di dalam tangis penyesalan, Adipati Karna memohon agar ia bisa menebus kesalahannya pada Abimanyu. Kembali ke Tegal Kuruksetra, Dorna tersenyum melihat strateginya berhasil sementara Abimanyu marah telah dicurangi dan diperlakukan secara licik. "Curang....!!!!Kêparat!!!! Akan ku habisi kalian!!!"

Dia bangun dan kembali menghajar pasukan Kurawa sejadi-jadinya. Banyak pasukan Kurawa yang menghujamkan panah, tombak dan senjata lainnya ke tubuh Abimanyu.

Tubuhnya bagaikan landak karena dipenuhi anak panah dan tombak, tapi Abimanyu masih sanggup berperang. Ia mencopot roda kereta dan menjadikannya perisai. Meskipun dibantu dengan roda kereta, pertahanan Abimanyu pada akhirnya jebol juga. Ia kembali jadi bulan-bulanan para Kurawa. Bukan hanya dipanah dan ditombak, tapi Abimanyu turut dikeroyok beramai-ramai. Lesmana Mandrakumara yang datang mengejek Abimanyu dan hendak menghunuskan keris "hehehe...akhirnya kalah juga kau, Abimanyu. Sekarang rasakan serangan terakhirku!" " Cuih....persetan dengan serangan terakhirmu! Rasakan tikaman kerisku!" Abimanyu yang masih hidup menyepak kaki sang putra mahkota Hastinapura itu dan menikamnya dengan keris Polanggeni. Melihat keponakannya dihabisi, di saat bersamaan, Prabu Jayadrata menghantamkan Gada Kyai Glinggang ke kepala Abimanyu. “Kurang Ajar! Rasakan Ini....!!” kepala Abimanyu dipukul berkali-kali oleh prabu Jayadrata.

Abimanyu Ranjap
Dengan tanpa ampun,pun remuklah kepala putra Arjuna itu dihantam gada Kyai Glinggang. Sekaratlah Abimanyu, ia teringat akan sumpah palsunya dahulu. Ia tertawa pahit " hehe...sepertinya, ini lah karmaphala ku....benar kata ayah, kabeh wong ngunduh wohing pakarti....dinda Sundari! Dinda Utari! Aku pamit dulu. Aku akan menunggu kalian di kelanggengan." gumam lirih Abimanyu di tengah nafasnya yang kian lemah. Akibat hantaman gada sakti itu, Abimanyu pun gugur bersama dengan tertikamnya Lesmana.

Buriswara Gugur

Di saat Abimanyu gugur, di tempat lain, Harya Burisrawa, putra paman Salya sedang perang tanding melawan Harya Sencaki. Ajian Welut putih membuat kulit Burisrawa menjadi licin dan tidak bisa diserang oleh senjata gada Wesi Kuning milik Sencaki"hahaha...hei Sencaki.... kulitku licin seperti lendir belut...kau tidak bisa mengalahkan aku." Harya Sencaki menjadi jengah dan marah " setan alas! Ku bunuh kau Burisrawa...ingat dendam diantara kita! Dulu pernah kau rebut Dinda Sumbadra dari adhiku Arjuna. Lalu setelah gagal nikah, kau malah hampir  membunuhnya. Sekarang rasakan ajianku. Wesi Kuning, dadi pedang!" Seketika gada Wesi kuning berubah wujud menjadi sebilah pedang emas. Burisrawa tak kalah hebat, ia melumuri pedang miliknya dengan ajian Welut putih. Seketika berang itu menjadi tedhas. Pedang beradu pedang menimbulkan percikan api yang membakar area di sekitar pertarungan Harya Setyaki dan Harya Burisrawa. Tak hanya menjadi pedang, Sencaki mampu mengubah Gada Wesi kuning menjadi pecut. Maka terjadilah adu pecut. Burisrawa segera memanggil pecut kyai Gola. Sabetan kedua pecut begitu menggelegar bagaikan halilintar.

Perang semakin dahsyat saja. Banyak prajurit dari kedua kubu yang gugur. Pasukan Pandawa dan Kurawa semakin lama habis. Salah satu dari keduanya akan kalah, dan terlihat Harya Sencaki mulai kewalahan. Merasa di atas angin, Burisrawa meningkatkan serangannya hingga membuat Harya Sencaki kelelahan. Dari kejauhan, Kresna menyaksikan hal demikian. Sang raja Dwarawati itu menghentikan Kereta Jaladara lalu memejamkan mata dan mencari titik lemah Burisrawa dengan membaca kitab Jitapsara secara gaib. Setelah menemukannya, Kresna berkata pada Arjuna " Parta, mari kita bantu Adhi kita Sencaki. Buat angin yang kencang sehingga air dan benda cair di Tegal Kurusetra ini mengering." Arjuna yang bimbang berkata " Madhawa, apa tidak apa-apa melakukanya? Ini akan membuat perang hari ini lebih cepat selesai karena mengira hari sudah gelap." Prabu Sri Kresna berkata " tidak apa-apa, ini adalah strategi perang bukan kecurangan. Menurut petunjuk dewa, hal ini harus terjadi karena hari ini adalah akhir dari kakangmu Burisrawa." Arjuna merasakan ada hal yang tidak enak. Ia merasakan putranya dalam bahaya namun ia harus membantu Harya Sencaki terlebih dulu. "Baiklah, kakang Madhawa. Aku akan membantu."

Arjuna segera menggunakan panah Bayuwastra........Begitu panah melesat, seketika muncul angin besar dan tercipta badai debu yang mengeringkan segala air dan benda cair di sekitar mereka. Awan debu membumbung tinggi ke angkasa menutupi sinar mentari yang sudah memerah condong ke barat hampir terbenam. Prabu Duryudhana, Harya Dursasana, Patih Sengkuni dan Begawan Dorna merasakan ada hal yang tidak beres. Maka mereka mengikuti arah awan debu itu. Ketika badai dan awan debu itu sampai di tempat pertarungan Burisrawa dan Sencaki, lendir ajian Welut Putih di tubuh Burisrawa menjadi tidak berguna karena mengering menyisakan debu kering. Di saat Burisrawa lengah, Arjuna atas arahan Kresna melemparkan panah ke arah pedang seorang prajurit dan pedang itu terlempar lalu memenggal kedua tangan Burisrawa. Burisrawa yang panik berkata " tunggu, Sencaki.... kita gencatan senjata dulu....biar aku berusaha memulihkan diri baru kita lanjutkan pertarungan kita." Harya Burisrawa pun duduk bersemedi sambil memulihkan tenaga. Karena dibutakan dendam orang tua (karena Salya,l ayah Burisrawa dan Ugrasena/Setyajid, ayah Sencaki bermusuhan memperebutkan dewi Wresini dan dendam pribadi, Sencaki murka "persetan gencatan senjata! Aku harus menghabisimu! Wesi Kuning... kembali dadi gada!" Seketika pecut pun kembali menjadi Gada Wesi Kuning. Sencaki membuang moral dan darmanya. Dengan perasaan murka, ia memukulkan gada Wesi Kuning ke kepala Harya Burisrawa, lalu kepala itu menggelinding jatuh terpisah dari badannya.

Burisrawa Gugur
Ia pun gugur dengan kepala putus dan hancur remuk. Harya Sencaki menjadi kesetanan lalu menginjak-injak jasad Burisrawa. Hal itu dilihat Prabu Sri Kresna. Ia murka kepada sang sepupu itu " kau benar-benar amoral! Karena dendam kau malah menghina musuhmu yang telah gugur!" Harya Sencaki seketika sadar dan ia menangis karena tindakannya yang keterlaluan. Prabu Duryudhana yang datang memeluk jasad adik iparnya itu dan ia berkata " Arjuna! Kau berlaku curang! Sekarang anakmu yang telah menanggung akibat dari perbuatanmu! Kau lihat saja di kemahmu. Derai tangis keluargamu sudah terdengar dari sini...hahahahaha"

Sumpah Arjuna

Arjuna dan Prabu Sri Kresna merasa ada yang terusik di hatinya. Malah tiba-tiba Arjuna menangis tanpa sebab. rasanya dihati ingin segera kembali ke kemah di dekat Upalawaya. Di tengah perjalanan menuju kemah para Pandawa, Harya Wresaya, adik Prabu Duryudhana hendak menjebak mereka di genangan lumpur ciptaannya, namun dengan sigap, Arjuna menghunuskan panahnya dan gugurlah Harya Wresaya. Ketika hampir mendekati kemah Arjuna, Prabu Sri Kresna dan para Pandawa lainnya mencium aroma sangat wangi. Di ekor matanya,  Arjuna melihat bayangan Abimanyu, Bambang Sumitra, Bambang Brantalaras, Wijanarka, dan Danasalira. Mereka melambaikan tangan seakan hendak berpamitan. Arjuna kembali menangis tanpa sebab. Begitu sampai di Mandala Upalawaya, aroma wangi semakin semerbak. Namun di antara aroma wangi itu, derai tangis kerabat Pandawa menganak sungai....ternyata jasad lima putra Arjuna telah terbaring di atas pancaka yang hendak dibakar. Meski berlumuran darah,  lima jasad putra Arjuna itu tidaklah berbau anyir melainkan semerbak wangi, seakan para dewa membawakan bunga-nunga dari kahyangan. rupanya aroma wangi itu lah yang dicium oleh Arjuna dan para pandawa lainnya, sebagai tanda berpamitan. Arjuna menangis sejadinya karena lima putranya telah gugur dan yang paling ia sesalkan adalah Abimanyu. Ia telah menggadang-gadang Abimanyu sebagai raja berikutnya namun nasib berkata lain. Arjuna meraung  " anak-anak! Bangun nak...bangun...Bangun!!!” Tangisannya menganaksungai air matanya.” .......duh dewa.....kemarin Wisanggeni lalu Irawan...kenapa sekarang Abimanyu dan lainnya. Duh Dewata ....inikah hukuman atas karmaphala ku!? Kenapa harus kau renggut masa depanku?!" Para pandawa, lalu sang isteri tercinta, Dewi Sumbadra dan menantunya, Dewi Utari yang masih berduka berusaha menenangkan Arjuna.

Arjuna Bersedih kehilangan lima putranya
Lalu anak-anak Arjuna yang tersisa berkumpul memeluk sang ayah untuk menyabarkan dan menabahkan hatinya. Para putra Arjuna dari Dewi Jimambang dan Dewi Gandawati yakni Bambang Gandawardaya, dan Gandakusuma, memberikan kesaksian "ayah tolong tenanglah...ini semua karena paman Jayadrata." Arjuna lalu bertanya " apa maksudmu, anakku?!"  Gandawardaya berkata " benar ayah, kami dihadang paman Jayadrata saat hendak membantu kakang." Lalu sambung Gandakusuma " lalu paman Jayadrata dia menembakkan panah Galih Asem dari belakang dan ketika ia tidak berdaya lagi, paman Jayadrata memukul kepala kakang sampai kepalanya remuk. Arjuna begitu murka mendengarnya lalu ia bersumpah tanpa pikir panjang "JAYADRATA KEPARAT! AKAN KU HABISI KAU BESOK! KALAU AKU GAGAL MEMBUNUHMU, AKU LEBIH BAIK MASUK PANCAKA BERSAMA PUTRA-PUTRAKU YANG TELAH KAU BUNUH!" Sumpah itu didengar para dewa. Prabu Sri Kresna menjadi khawatir karena bersumpah saat perang akan sangat fatal akibatnya.

Kamis, 14 Desember 2023

Bhismaparwa

 hai semua pembaca dan penikmat kisah pewayangan, kisah kali ini menceritakan kejadian di awal perang Bharatayudha mulai dari gugurnya para putra Wirata, tawur agung Antasena dan Wisanggeni, gugurnya Bambang irawan hingga rubuhnya Maharesi Bhisma. Kisah ini mengambil sumber dari Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa, https://wayang.wordpress.com/2010/03/11/wisanggeni-racut-2/, Serial Kolosal India Mahabharat Starplus dan Radha Krishna Starbharat dengan perubahan dan penambahan seperlunya.

Wisanggeni-Antasena Racut

Perang hari pertama pun digelar. Riuh rendah, hiruk pikuk, pekik memekik erangan orang-orang yang sekarat dan terluka, dan dentingan suara senjata beradu menjadi latar suara dengan darah para prajurit mengalir menganaksungai membasahi daratan gersang Tegal Kurusetra. Di hari pertama itu, Pandawa mengalami kekalahan berat. Arya Wratsangka, adik Arya Utara gugur di medan perang. Hari kedua pun sama, kali ini Arya Utara sendiri yang gugur. Para Pandawa sadar bahwa para dewa belum merestui kemenangan mereka. Antasena dan Wisanggeni lalu menawarkan diri mengorbankan diri, menjadi tawur perang. “ayahanda, kami rela tidak ikut perang, demi kemenangan Para Pandawa...biarkan kaami berdua jadi tawur agung perang...” meskipun sudah dijelaskan, para Pandawa merasa berat hati namun apa daya, keinginan Antasena dan Wisanggeni sudah bulat.

Wisanggeni-Antasena Racut
Maka mereka mengizinkan dua anak terbaik di keluarga Pandawa itu. Berangkatlah Antasena dan Wisanggeni ke kahyangan. Sesampainya di sana, mereka meminta izin kepada batara Guru untuk menemui isteri dan putra sang Batara yakni batari Durga dan Batara Kala.Batara Guru memberikan izinnya. Tak lupa pula, Wisanggeni mengembalikan Cupu manik Gambaring Jagat yang dulu ia pinjam saat menikahi Kencanaresmi. Singkat cerita, Antasena dan Wisanggeni sampai di Setra Gandamayu untuk meminta Batara Kala dan Batari Durga tidak terlalu ikut campur dalam urusan ini. Batara Kala berkata "baiklah, Wisanggeni. Kalian silakan kurung kami di Setra Gandamayu. Kami tidak akan ikut campur dengan perang Bharatayuda." "Sebelum mereka dikurung, Batari Durga memberikan berkah "semoga kalian bisa dikenang sepanjang zaman." Dengan kekuatan mereka, Antasena dan Wisanggeni membuat perisai mengelilingi Setra Gandamayu yang akan terbuka saat perang Bharatayuda usai. Lalu Sanghyang Widhi mengangkat mereka ke swargamaniloka. Mereka berdua pun racut (moksa) beserta badan mereka. Mereka kini telah naik ke swargamaniloka. Batara Narada datang membawa kabar kepada Pandawa, bahwa Antasena dan Wisanggeni telah melakukan darmabakti kepada Pandawa. Mereka sudah moksa ke swargamaniloka. Keluarga Pandawa bersedih hati atas moksanya dua putra terbaik mereka itu namun juga bangga dengan pengorbanan mereka. Keluarga Resi Hijrapa pun ikut mengorbankan diri dengan melompat ke api demi kemenangan Pandawa.

Di hari ketiga, putra bungsu paman Salya, Bambang Rukmarata ikut menjadi korban karena ikut-ikutan mengeroyok Arya Utara. Ia gugur di tangan Arya Rsi Seta, kakak Utara dan Wratsangka. Arya Rsi Seta mengamuk menghajar Maharesi Bhisma, senopati perang Kurawa yang juga sepupunya sendiri. Maharesi Bhisma kelabakan hingga ke pinggiran bengawan Gangga. Ibu Bhisma yakni Dewi Gangga menganugerahinya dengan panah Jungkat Widodari. Panah berbentuk sisir itu mengenai pas uluhati Arya Rsi Seta. Arya Seta pun gugur dalam keadaan berdiri. Maharesi Bhisma hanya bisa bersedih karena sepupunya itu gugur di tangan senjatanya. Sebelum meninggal, Rsi Seta meminta para Pandawa agar abunya nanti dibalurkan ke setiap senjata Pandawa.

Di hari keempat perang, Arjuna berhasil menghabisi Arya Bogadenta, salah satu adik Prabu Duryudhana dan isterinya, Dewi Murdiningsih. Di saat yang bersamaan, Arya Durmagati, Arya Durgempo, Arya Anuwenda, Prabu Naranurwinda, Adya Wiwingsati dan beberapa adik Prabu Duryudhana lainnya gugur di tangan Wrekodara Bhima yang masih berduka karena kehilangan Antareja dan Antasena.

Bab Bhismaparwa

Perang Bharatayuda telah memasuki hari kelima perang. Sudah banyak darah para prajurit dan para sekutu Pandawa tertumpah. Namun rupanya sampai hari ke enam, kemanangan masih belum berpihak pada Pandawa karena masih ada Maharesi Bhisma yang gagah perkasa. Pada hari ke tujuh perang akan dimulai, Bambang Irawan memaksa ingin ikut perang. Ia iri dengan Abimanyu dan para kakak-adiknya yang bisa ikut perang. Titisari kaget saat itu karena di tempat tidur suaminya terdapat secarik kertas berisi surat pamit....."Aku akan pergi ke Medan Kurusetra. Aku seorang kesatria, tak pantas kiranya jika seorang kesatria hanya menunggu takdirnya. Ayah, ibu, dan istriku tercinta dinda Titisari...maafkan aku yang pergi tanpa pamit......semoga aku bisa mengharumkan nama ayah dan ibuku. Salam sayangku, Irawan...." Tanpa sepengetahuan ayah, ibu, dan istrinya, ia minggat dari keraton Wirata menuju Tegal Kurusetra. Dewi Titisari segera mengabarkan hal ini kepada mertuanya, Dewi Ulupi. " Ibu, kakanda Irawan minggat...duh ibu.....hukum aku ibu .....menantimu ini telah lalai...." Ulupi panik, karena merasa lalai pada keselamatan anaknya. Ulupi dan Titisari dengan secepat kilat menaiki kereta menuju Tegal Kurusetra menyusul Irawan.

Sesampainya disana, ia berperang melawan salah satu sekutu Kurawa yakni Prabu Kalasrenggi, raja Pageralun, putra Jatagimbal, raja yang pernah ditipu lalu dihabisi oleh Arjuna.

Irawan Gugur
Kala itu Arjuna berada jauh di tengah medan perang, tidak menyadari kehadiran anaknya dari Dewi Ulupi itu. Perang tanding antar raja Pageralun dengan Bambang Irawan berlangsung sengit. Walau Prabu Kalaserenggi berhasil dihabisi namun ajudannya yakni Patih Alambusa menggigit leher Bambang Irawan. Di saat terakhir, Bambang Irawan melepaskan panah Ardadedali dan menghabisi Patih Alambusa. Irawan berteriak lirih..." ayah...maafkan aku..." Arjuna bisa merasakan putranya dalam bahaya. Ia pun segera mencari Bambang Irawan. Sesampainya disana, Bambang Irawan ternyata sudah dipeluk sang ibu dan sang isteri tercinta dalam keadaan sekarat dengan leher hampir putus. Arjuna segera memeluk putranya tersebut dan berusaha menyembuhkannya. Namun takdir berkata lain. Irawan pun gugur. Arjuna kalut dan susah hati karena setelah Wisanggeni, ia harus kehilangan putra lagi. Lebih-lebih Dewi Ulupi dan Titisari. Karena kesedihannya, kandungan Dewi Titisari berontak dan di Medan laga itu, sang janda Bambang Irawan itu melahirkan di tengah Medan laga yang berkecamuk. Oleh Arjuna, cucunya itu dinamai Wiratmaka. Tak peduli dengan rasa sakitnya, Dewi Titisari memutuskan ikut mesatya (labuh geni) mengikuti suaminya. Ia menitipkan putranya,  Wiratmaka pada ibu mertuanya.

Di hari kedelapan perang, Arjuna berhadap-hadapan dengan Maharesi Bhisma. Maharesi Bhisma menyerang Arjuna dengan sepenuh hati. Tapi Arjuna tidak, ia masih setengah hati menyerang Bhisma karena segan harus menyerang kakeknya sendiri ditambah lagi ia masih berduka dengan gugurnya Bambang Irawan. Prabu Sri Kresna yang saat itu menjadi sais kereta terus berusaha membuat hati Arjuna mantap tapi sepertinya ia terus dihinggapi rasa segan. Selain itu, Bhisma terlampau sakti, susah bagi Arjuna membuat kakeknya itu tumbang. Prabu Sri Kresna pun marah, bertukar wujud menjadi Triwikrama dan mencongkel roda kereta Jaladara hendak menyerang Maharesi Bhisma dengan roda itu. Arjuna segera turun dari kereta dan bersujud dengan tangan menggenggam kaki Triwikrama. Ia berkata "Kakang Madhawa, tolong jangan rusak sumpah kakang untuk tidak angkat senjata....aku berjanji akan memikirkan cara agar kakek bisa dikalahkan." redalah kemarahan Triwikrama dan kembali menjadi Prabu Sri Kresna. Di malam kesembilan perang, Arjuna datang ke kemah kakeknya itu untuk meminta maaf. Maharesi Bhisma menampar Arjuna dan mengingatkan Arjuna agar tidak bersikap setengah hati.

Bhisma Rubuh

Di hari kesembilan perang Bharatayuda, Arjuna datang ke kemah Maharesi Bhisma. Ia dengan rasa campur aduk berkata " kakek, aku tidak sanggup untuk menghabisi mu....sejak kepergian ayahanda prabu sampai sekarang, kau bagaikan ayah bagi kami lima Pandawa. Aku mohon janganlah mati demi kami. Aku bersedia menyerah..." Tiba-tiba Maharesi Bhisma menampar wajah sang cucu dan berkata " Arjuna cucuku....jangan biarkan hatimu lemah...kau kira aku akan marah dan kecewa bila aku terbunuh di tangan anak cucuku? Justru itu sebagai kebanggaanku telah mendidik dan membesarkanmu. Ketahuilah, kalau aku telah terikat janji dengan Dewi Amba. Dia berjanji kepadaku dan dia menunggu sampai hari ini" Bhisma menceritakan bahwa ia sudah menantikan kekalahannya sendiri di tangan Dewi Amba dan ia menitis pada istri Arjuna, Srikandhi. Arjuna bersedih hati karena kakeknya itu sudah meminta mati. Maharesi Bhisma meminta kepada Arjuna " Arjuna, bagiku pantang berperang melawan wanita, seseorang pria yang menyerupai wanita atau wanita yang menyerupai pria. Datangkanlah Dewi Amba kepadaku besok di medan laga. Ketika ia datang, aku akan meletakkan senjataku."

Srikandhi Senopati
Lalu Arjuna undur diri. Setelah kembali dari kémah sang kakek, Arjuna dengan nada bergetar dan berat berkata pada istrinya, Srikandhi " istriku...apa kau siap menjadi senopati perang besok?...besok adalah hari yang ditunggu kakek Bhisma."  Srikandhi berkata " aku siap, suamiku.... waktunya bagi penjagaku,  Dewi Amba menjemput kakek." Dewi Amba yang berada dalam diri Srikandhi merasa sudah saatnya ia menjemput Bhisma. Ia bergumam dalam hati Srikandhi "anakku, Srikandhi. Terima kasih telah menjagaku dalam tubuhmu sampai saat ini."

Di hari kesepuluh perang, Arjuna mendandani Srikandhi menjadi mirip seorang lelaki tangguh. Di hari itu, dengan gagah berani Dewi Srikandhi berperang melawan Bhisma. Lalu Srikandhi berkata dengan lantang  kakek Bhisma, aku datang dengan membawa Sukma nenek Amba. Letakkan lah senjatamu, kakek. Biarkan nenek Amba menjemputmu." Srikandhi segera melepaskan panah Jungkat Panetas miliknya. Di atas panah itu, dengan samar-samar, Maharesi Bhisma melihat sukma Dewi Amba datang menuju ke arahnya. Maka Bhisma segera membuang panah dan busurnya. Ketika panah Jungkat Panetas milik Srikandhi dilesatkan, diam-diam Arjuna juga melepaskan panah Ardadedali. Dua panah itu beradu lalu berubah menjadi ratusan panah. Akhirnya panah-panah itu menancap ke tubuh Maharesi Bhisma. Maharesi Bhisma pun tumbang, rubuh dengan panah menancap menembus dari dada ke punggungnya. Di saat demikian, Bhisma melihat sukma Dewi Amba dengan sangat jelas namun ia belum meninggal. Di dalam hati, Bhisma menumpahkan rindu dengan sang wanita yang telah ia kecewakan dulu " Amba, kasihku. Akhirnya penantian ini telah berakhir. Kau menjemputku sesuai janji kita. Tapi boleh aku meminta sesuatu padamu?" Sukma Dewi Amba pun menyanggupi "tentu kakang Bhisma. Katakan apa yang kakang inginkan?" Maharesi Bhisma berkata "temani aku di sini sampai Bharatayuda ini selesai. Aku ingin melihat para penegak dharma meraih kemenangannya."Dewi Amba pun menyanggupi.

Para Pandawa dan Kurawa berhenti berperang demi melihat kondisi kakek mereka. Maharesi Bhisma meminta diberikan ranjang. Prabu Duryudhana memberikan ranjang berhiaskan kelambu lengkap dengan seprai bersulam benang emas dan sutra. Maharesi Bhisma menolak, ia hanya meminta ranjang untuk para ksatria. Arjuna dan Wrekodara membuatkan ranjang kecil dari panah. Maharesi Bhisma kehausan karena belum minum. Prabu Duryudhana mengambilkan gentong berisi nira dan tuak. Maharesi Bhisma menolak. Para Pandawa mengambilkan air bekas mencuci senjata yang berasal dari bengawan Gangga. Dewi Gangga pun datang, berduka karena putranya telah tumbang. Dewi Gangga pun berkata " Arjuna, apa yang kau lakukan pada kakekmu...kau sangat tidak beradab. Maka aku akan mengutukmu! Kelak kau akan bernasib sama seperti kakekmu saat ini. Kau akan dibunuh putramu sendiri!" Arjuna pun kaget dan meminta maaf kepada nenek buyut nya itu " ampun eyang putri Batari, aku pun tidak berdaya. Aku hanya menjalankan apa yang jadi perintah kakekku. Tolong tariklah kembali kutukanmu, eyang Batari." Maharesi Bhisma menyabarkan ibunya dan berkata " Ibuku, sabarlah. Jangan karena kemarahan, ibu jadi bertindak gegabah. Memang ini takdir yang aku inginkan. Bhisma pun melunakkan sumpah ibunya " Arjuna, aku tak bisa membuat ibuku menarik kutukannya. Tapi aku bisa melunakkannya. Kelak, kau bisa hidup kembali berkat bantuan istrimu nanti." Arjuna pun berterima kasih kepada sang kakek.

Bhisma Rubuh

Sabtu, 02 Desember 2023

Bhagawad Gita

Hai-hai semua pembaca dan penikmat kisah pewayangan. mumpung sedang senggang, kali ini penulis akan mengisahkan salah satu bab terpenting dari Mahabarata. Kisah ini menceritakan beberapa saat sebelum Perang besar Bharatayuda, ketika Arjuna dilanda dilema moral dan bimbang hati kerna harus berperang melawan seluruh saudara, keluarga, guru dan semua orang yang ia kenal. Prabu Sri Kresna pun memberikan penjelasan dan wejangan akan dharma, moral, dan cinta yang disebut Bhagawad Gita (kidung Bhagawan/Ilahi). Kisah ini mengambil sumber kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa, Serial Kolosal India Mahabharat Starplus dan Radha Krishna Starbharat.

Sang surya masih malu-malu berada di bawah garis ufuk timur seakan tak ingin menyaksikan perang besar yang akan menghabisi jutaan nyawa dan cinta. Langit aram temaram berwarna merah tua bercampur biru, jingga, dan galuh kirana yang baru disepuh. Fajar hampir masanya menyingsing di Tegal Kurusetra. Para prajurit koalisi Hastinapura diikuti pasukan Narayani, Sindu Banakeling, Awangga, Gandaradesa, Sokalima, Mandraka berikut sekutu mereka segera berangkat ke medan laga demi membela sang raja Hastinapura, prabu Duryudhana. Begitupun pasukan koalisi Amarta, Pringgondani, Wirata, Pancalaradya, Magadha, Cedinagari dan seluruh sekutu bersiap-siap bertolak untuk menumpahkan darah demi penegakan kembali cinta, dharma, dan keadilan.

Namun sebelum mereka tiba, Arjuna dengan menaiki kereta Jaladara dengan Prabu Sri Kresna sebagai sais keretanya sudah lebih dulu berada di Tegal Kurusetra. Di sana ia tidak naik berdua tapi juga ditemani kakek Semar. Lalu di kejauhan terlihat ada seseorang tengah menunggunya.

Harya Wiwitsuh berpihak kepada para Pandawa
Rupanya Arjuna dan rombongan bertemu dengan Harya Wiwitsuh, satu-satunya Kurawa dari ibu seorang dayang-dayang yakni Nyai Sugada. Ia datang karena telah mantap ikut barisan Pandawa. “kakanda Arjuna, aku berubah pikiran. Walau aku seorang Kurawa tapi aku merasa kakang Prabu Duryudhana tidak benar. Aku mohon padamu agar aku berada dibarisanmu.” Maka Arjuna dengan tangan terbuka mempersilakannya ikut dan memerintahkannya agar menjemput para pasukan di Upalawaya karena para pasukan sudah hampir tiba di Tegal Kurusetra “dengan tangan terbuka, aku dan kakang-kakang juga adik-adikku menerimamu, adhi Wiwitsuh. Sebaiknya kau bergabung sekarang. Sebentar lagi perang akan pecah.” “baik, kakanda, aku mohon pamit.” Setelah perginya Harya Wiwitsuh menjemput para pasukan, tiba-tiba Arjuna masygul hati. Semenjak sang kakak, Adipati Karna mengorbankan anting dan baju tamsir miliknya kepada Batara Indra juga meninggalnya Antareja tempo hari, hatinya sedih dan sangat sesak karena kebimbangan merayapi kalbu dan pendiriannya. Terbayang bagaimana ia akan melawan sang kakek Maharesi Bhisma, gurunya sang Resi Dorna, Adipati Karna sang kakak sulung, para Kurawa ,dan sang paman Prabu Salya. Terbayang pula kematian diantara para putranya, para keponakan, para saudara, para kerabat, mertua, guru, dan kakeknya. Ketika sudah mendekat ke Tegal Kurusetra, tiba-tiba Arjuna berkata " Madhawa, tolong arahkan kereta ini ke tengah tegal....aku ingin melihat Tegal Kurusetra yang suci ini sebelum menjadi lautan darah dan jasad." Kakek Semar dan Prabu Sri Kresna tahu kalau sepupu yang juga iparnya itu sedang bimbang hatinya. Maka ia mengarahkan kereta Jaladara ke tengah tanah lapang yang dulunya milik Prabu Kuru, anak dari Prabu Hastimurti, raja ketiga dari Wangsa Baharata pendiri Hastinapura.

Di tengah tegalan yang gersang itu, Prabu Sri Kresna berkata " apakah yang menjadikanmu ingin ke tengah tanah tegalan ini, Parta?" Arjuna pun berkata dengan berlinang air mata "duhai kakang Madhawa, apa lah arti perang ini, jika pada akhirnya banyak nyawa dan cinta yang meregang dan dikorbankan secara sia-sia .....masygul rasanya hati saya. Entah kenapa sesak sekali begitu terbayang-bayang kematian dan nasib tragis diantara para saudara kita selepas ini. Rasanya dengkulku kosong dan kopong. Tanganku rasanya terlalu lemas, tiada tenaga. Badanku serasa gamang, tak sanggup aku berdiri mengangkut Busur Gandewa. Lebih baik aku menyerah saja atau lebih baik ku mati lebih dahulu sebelum ini" Prabu Sri Kresna lalu menghentikan kereta Jaladara tepat di tengah-tengah tegal Kurusetra. Seketika itu, Prabu Sri Kresna dengan ditemani Kakek Semar menjentikkan jarinya dan "klak" waktu seakan melambat bahkan berhenti bergerak. Semuanya yang ada di sekitar mereka, tumbuhan, hewan, manusia, seakan beku, berhenti mengikuti laju waktu yang menjadi sangat lambat kecuali Arjuna, Prabu Sri Kresna dan kakek Semar. Lalu Prabu Sri Kresna memberikan wejangan "adhiku Parta, jauhkanlah segala kebimbangan dan risau di hati adhi sekarang juga. Apa yang adhi risaukan memang kewajaran bahkan hukum keniscayaan dunia ini tapi jangan karena risau itu membuat semangat adhi melembek. Ketahuilah bahwa di dunia ini tidak ada hal yang kekal abadi. Dimana ada kematian kelak akan tergantikan dengan kelahiran yang baru. Ada perjumpaan ada pula perpisahan. Ada perang dan perdamaian. Ada perbuatan ada pula karma yang dituai. Semua itu berputar sesuai putaran roda nasib dan takdir. Bagi yang bijaksana, akan mengerti hal seperti yang aku wejangkan padamu. Walaupun tidak ada perang ini juga, alamlah yang akan merusak dan menghancurkan kehidupan agar manusia sadar, bahwa ia tak berkuasa apa-apa di dunia ini. Namun ianya akan jauh lebih ganas daripada perang ini" Arjuna bertanya "maksud kakang bagaimana?" Prabu Sri Kresna menjelaskan "Parta, Tegal Kurusetra ini adalah tempat dimana sejumlah orang yang kau kenal akan memetik hasil dari perbuatan mereka di masa lalu. Anggaplah perang adalah api neraka yang akan membakar hal-hal buruk dari dunia ini, tradisi basi dan beracun dari masyarakat saat ini, segala nafsu, segala kebodohan, dan juga menyucikan jiwa orang-orang yang kamu khawatirkan. Mereka yang kelak menjadi martir di perang ini akan mencapai tempat tertinggi di swargaloka dan setlah perang antara Dharma dan cinta melawan Adharma dan kebencian ini, akan melahirkan masyarakat yang baru, tradisi yang baru, dan generasi yang lebih baik lagi." Arjuna masih ragu "benarkah itu kakang Madhawa?" Prabu Sri Kresna lalu berkata "Adhiku Parta, yakinlah bahwa perang ini juga satu jalan orang-orang akan bersatu dengan Sanghyang Widhi yang Maha Benar lagi Maha Mutlak." Arjuna lalu bertanya" Madhawa kakangku....apakah perang seperti ini dibutuhkan sebagaimana di jaman-jaman sebelum ini?" Prabu Sri Kresna menjawab " adakalanya dunia menggunakan cara damai demi tegaknya dharma tapi jika cara damai tak berhasil, maka jalan terakhir yakni dengan perang." Prabu Sri Kresna lalu mengisahkan kisah Bambang Prahlada, putra raja Alengka, Hiranyakasipu. "Parta, ingatkah kau tentang kisah Prahlada? Bambang Prahlada putra Hiranyakasipu dengan Dewi Kayadhu adalah seorang yang sangat mengimani Ida Sanghyang Widhi Wasa, Tuhan yang Maha Agung Sementara sang ayah adalah seorang yang membenci penyembahan kepada Tuhan. Malah ia menganggap dirinya sebagai dewa. Prahlada terus membimbing sang ayah untuk kembali manembah kepada Hyang Widhi namun begitu, sang ayah tetap tak mau menyembah-Nya malah ia berniat membunuh sang putra. Di saat yang genting, Batara Wisnu datang sebagai Narasingha, seorang manusia berkepala macan dan memiliki rambut berupa surai seperti singa, lengkap dengan cakarnya yang tajam membantu Prahlada. Terjadi perang dahsyat dan tepat di saat petang hari, Prabu Hiranyakasipu berhasil dikalahkan oleh Narasingha."

Arjuna sangat terkesan namun ia bertanya " Tapi Madhawa bukankah itu artinya Prahlada adalah anak durhaka karena ia membiarkan ayahnya mati di tangan Narasingha?" Prabu Sri Kresna tertawa kecil dan berkata " tidak, Parta....dalam dunia membela dan menegakkan dharma itu tidak melulu hubungan dengan ikatan biologis, ini lebih ke ikatan batin dan iman. Membela dan menegakkan dharma diharuskan, tak kenal pandang bulu... yang menghalangi tegaknya dharma harus disadarkan dengan cara yang lembut tapi jika ia tidak bersedia disadarkan maka tetaplah dengan pendirianmu. Belalah dirimu dan orang yang membela dharma sambil mengharapkan Yang Maha Kuasa yang akan memberikannya ganjaran dan karmaphala kepadanya." Arjuna benar-benar sangat termakjleb di hatinya dan muncul pertanyaan dalam benaknya." Madhawa, kau sangat berpengetahuan dan bijaksana juga cerdik...secara ikatan, kita ini saudara juga besan tapi sejak awal aku memang sama sekali tidak mengenalimu...tunjukkanlah aku yang candala nan hina papa ini tentang dirimu...siapakah dirimu yang sebenarnya?" Prabu Sri Kresna lalu menjawab pertanyaan Arjuna. "Wahai Arjuna, pandanglah olehmu kemari. Inilah diriku yang sebenarnya” lalu atas seizin Sanghyang Widhi yang Maha Kuasa, Prabu Sri Kresna lalu turun dari kereta Jaladara dan ia seketika bertriwikrama menjadi Batara Wisnu. Cahaya terang melingkupinya Wajahnya tampan meneduhkan. Sungguh sangat indah dengan mahkota emas berhiaskan bulu merak kahyangan. Tangannya empat masing masing memegang senjata dengan sepasang tangan kanan menggenggam Cakra Widaksana dan Cangkok Wijayakusuma sementara ditangan kiri memegang terompet kerang Pancajanya dan Gada Kumadaki.  Sang Danardana lalu berkata “Yada yada Hi Dharmaça, Glanir Bhavati Bharata. Abhyuthanam adharmaça, tadatmanam Çrijanmi aham. Praritranaya Sadhunam, Vinaçaya cha Duçkritam. Dharmasansthapanaya, Sambhavami yuge yuge....Dimana dan bilamana waktu Dharma merosot dan Adharma bermaharajalela, Aku akan datang menjelma wahai putera darah Baharata. Untuk menyelamatkan orang-orang saleh, membinasakan orang-orang durjana dan menegakkan kembali Dharma. Aku sendiri muncul di tiap-tiap jaman....” Sejenak kemudian turunlah para dewa dari kahyangan seakan menjadi saksi tentang apa yang dikatakan Prabu Sri Kresna. Arjuna takjub menengoknya. Arjuna lalu bertanya "Madhawa kakangku, apakah ini ilusi? Apakah ini yang namanya bertemu dewa? Apakah aku ini berada di dalam jagat agung itu...jelaskan kepadaku jagat agung dan jagat alit...agar hatiku bertambah yakin." Lalu Prabu Sri Kresna bertriwikrama sekali lagi sebagai Brahalasewu, bentuk kemarahan dan ketegasan Wisnu. Wajahnya banyak dan garang bak seribu wajah Batara Kala. Tangannya jadi semakin besar dan banyak. Ujung kukunya tajam laksana pedang. Masing-masing tangan itu memegang senjata para dewa. Namun dibalik sorot matanya yang tajam menyeramkan, terdapat sejumlah kasih sayang yang melimpah demi terpeliharanya jagat raya. Batara Wisnu di belakang Sri Kresna berkata " Arjuna, lihatlah dan selamilah dirimu....disana kau akan mendapatkan jawaban atas segala pertanyaanmu." Maka Arjuna melihat ke dalam dirinya. Ia melihat ada sebuah titik kecil yang merekah dan meledak. Ledakan itu menciptakan pancaran yang menjadi seluruh jagat raya. Ia melihat kakek Semar, Batara Guru , kakek Togog , Batara Wisnu dan Batara Brahma muncul mengisi seluruh alam. Ia melihat itu semua dengan sangat terang dan jelas. Arjuna menyaksikan semua orang di sekitarnya dalah kakek Semar, kadang pula sebagai Batara Guru, kadang sebagai kakek Togog, kadang Batara Wisnu dan Brahma. Sejenak kemudian, Arjuna melihat sebuah kolam berair bening. Lalu ketika mendekati itu kolam air, Arjuna melihat pantulan bayangan dirinya sendiri adalah bagian dari Batara Wisnu bahkan ia melihat pantulan wajah dan tubuhnya di air menjadi Kresna. Ia melihat semua orang sebagai Sri Kresna.

Kresna adalah Arjuna dan Arjuna adalah Kresna
Bahkan ia melihat Sri Kresna juga merupakan dirinya. Arjuna menyaksikan dirinya dan Sri Kresna tak ada bedanya. Kresna adalah Arjuna dan Arjuna adalah Kresna. Dengan pemandangan yang sangat menakjubkan itu, Arjuna tak henti-hentinya menangis tersedu-sedu....lalu ia kembali ke alam nyata dan menyaksikan keajaiban. Tegal Kurusetra menjadi danau berair bening dengan kabut yang sangat nampak begitu mistis. Arjuna pun menyaksikan wujud yang begitu di indah tak terbayangkan. Hanya manusia yang telah mencapai penerangan yang mampu mencernanya. Muncul banyak api berwarna-warni melingkupi seluruh Tegal Kurusetra yang telah tergenang air itu, seolah api dan air itu menyatu. Api itu laksana pelangi, indah mancawarna bagaikan pulasan cat di sebuah lukisan, mewarnai dan memberikan rona di Tegal Kurusetra dengan Sri Kresna sedang melakukan triwikrama Wiswarupa yang sangat besar dan agung.

Arjuna dengan tersedu sedan melihat keajaiban itu dan menyadari kekhilafannya "ampun kakang Madhawa. Maafkan adhimu yang bodoh ini. Karena dikuasai rasa kasihan yang tak benar bertempat, hatiku menjadi lemah dan lembap. Kini hati ksatria ku telah mantap untuk berperang." maka Triwikrama pun menghilang kembali sebagai Prabu Sri Kresna.

Wujud Wiswarupa Sri Kresna
Kini hati sang Arjuna mantap menghadapi perang Bharatayudha. Tanpa disadari Arjuna, pasukan kedua belah pihak masih sampai di puncak bukit menuju Tegal Kurusetra. Prabu Sri Kresna dan kakek Semar kembali menjentikkan jarinya dan "klak" Aliran waktu yang berjalan jadi sangat melambat saat sang Madhawa memberikan wejangan, berubah kembali normal... Dari kejauhan, suara genderang perang bertabuh pertanda perang sudah akan dimulai. Tepat ketika itu matahari sudah terbit, Maharesi Bhisma meniupkan tiupan sangkakala pertama dan diakhiri dengan tiupan sangkakala milik Sri Kresna dan Arjuna. Suaranya bergema dengan lantang di penjuru Jawadwipa dan Hindustan. Arjuna pun menembakkan panah pertama kali. Perang besar Bharatayuda pun dimulai.


Kresna Gugah (Antareja Gugur/Karna Danadriya)

 Hai semua, pembaca dan penikmat kisah pewayangan. Kisah kali ini akan menceritakan tiga lakon sekaligus. Yang pertama ialah Kresna yang tidur lalu dibangunkan oleh Arjuna dan Duryudhana, lalu dilanjutkan pengorbanan Adipati Karna dengan memberikan baju tamsirnya kepada Batara Indra, dan kisah terakhir yakni gugurnya Antareja akibat apus-apus dari Prabu Sri Kresna demi menghindarkan kakaknya dari melawan Antareja. Kisah ini mengambil sumber dari Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa, https://caritawayang.blogspot.com/2012/09/kresna-gugah.html, dan Serial Kolosal India Mahabharat Starplus dan Radha Krishna Starbharat.

Kresna Gugah

Hari peperangan sudah mulai mendekat. Setelah pulang dari Hastinapura menyelesaikan masalah Sasrawindu, Prabu Sri Kresna memutuskan untuk beristirahat di taman Banoncinawi. Ia pun tidur terlentang dalam wujud Wisnu. Arjuna dan Prabu Duryudhana datang ke sana untuk mendapatkan bantuan dari Dwarawati karena mereka telah mendengar sang raja Dwarawati secara politik memutuskan netral (tidak akan memihak). Arjuna duduk di sebelah kaki sepupu sekaligus iparnya itu sementara Prabu Duryudhana duduk di samping kepala sang raja Dwarawati.

Kresna Gugah
Mereka juga ikut tertidur. Satu hari, dua hari, empat hari.....sudah sepekan Prabu Sri Kresna, Prabu Duryudhana, dan Raden Arjuna mereka terlelap, tidur seperti orang pingsan. Rupanya ketiga orang itu melakukan tapa brata dalam keadaan tidur lena.

Di antara awan-awan di langit yang biru, sukma (jiwa) Prabu Duryudhana dan Arjuna sedang mencari-cari sukma Kresna yang sedang nglembara ke kahyangan. Sementara itu, di kahyangan, layang (kitab) Jitabsara yang berisi lakon-lakon perang Bharatayudha sedang dikaji ulang. Batara Panyarikan atas izin Batara Guru hendak menambahkan pertarungan Baladewa melawan Antareja, Antasena, dan Wisanggeni. Sebagai avatar/titisan Wisnu, Prabu Sri Kresna telah dihubungi Batara Wisnu lewat tapa tidur bahwa keputusan kahyangan adalah hendak mengubah takdir perang Bharatayudha agar Bharatayuda selesai lebih cepat. Sukma Kresna lalu berubah jadi seekor klanceng (sejenis lebah) bernama Klanceng Suci. Si klanceng menuju ruang kerja Batara Penyarikan. Di sana, sang kerani (juru tulis) kahyangan hendak menulis, menambah kalimat "pertarungan Baladewa dan Antareja, Antasena dan Wisanggeni" di saat demikian, Klanceng Suci menumpahkan tinta Batara Penyarikan sehingga sisa tulisan yang hendak dituliskan Baladewa, Antareja, Antasena, dan Wisanggeni jadi kotor dan tak bisa ditulis lagi.

Klanceng Suci berubah kembali menjadi sukma Prabu Sri Kresna. Dalam wujud halus itu, Prabu Sri Kresna memohon agar perang Bharatayudha tetap berjalan sebagaimana mestinya. " Gusti Batara, perang ini adalah perang suci. Perang yang bukan hanya tentang kemenangan dharma, tapi juga tentang sebab dan akibat sebuah perbuatan. Perbuatan tiap-tiap ksatria yang akan berperang harus mendapat ganjaran. Karmaphala tiap-tiap orang akan dituai sesuai apa yang dilakukan. Kalau perang ini dibuat lebih cepat, tak ada kesucian di dalam perang ini. Tolong pertimbangkan sekali lagi." Batara Guru segera melakukan rapat pleno tentang hal ini. Setelah rapat yang cukup lama, akhirnya sang Batara bersedia "baiklah, kami bersedia. Kami akan membiarkan perang Bharatayuda sesuai yang terjadi tapi harus ada imbalannya. Kau boleh memiliki layang Jitabsara asalkan Cangkok Wijayakusuma milikmu harus dipisahkan daei Wijayamulya dan Cangkok Wijayamulya harus diserahkan kembali ke padaku Jadi ananda tak akan bisa seenaknya menghidupkan orang mati saat Baratayudha. Aku juga meminta Kaca Lopian milikmu. Apa kau setuju, Avatar Wisnu?"

Prabu Sri Kresna setuju. "Baiklah, aku bersedia." Maka dengan disaksikan Batara Wisnu, ayah dewa yang menjadi bagian dari diri Sri Kresna, Cangkok Wijayakusuma akhirnya dipisahkan dari Cangkok Wijayamulya. Setelah dipisahkan, Cangkok Wijayamulya dan Kaca Lopian diserahkan kepada Batara Guru. Batara Guru lalu menyerahkan Layang Jitabsara. Sukma Kresna undur diri dan kembali ke raganya. Di saat yang bersamaan, sukma Arjuna dan Prabu Duryudhana yang menanti sang raja melihat sekelebat cahaya terang menuju Taman Banoncinawi. Kedua sukma kesatria itu segera mengikuti cahaya itu dan kembali ke raga masing-masing. Ketika Prabu Sri Kresna dan semua orang bangun, hal yang pertama dilihat sang Danardana yakni Arjuna. Ia pun menyapa Arjuna "Parta, kau sudah lama menunggu? Kau memang ahli tapa yang hebat. Tak heran nama lainmu juga Parantapa." " Salam, kakang Madhawa. Aku sudah lama menantimu." prabu Duryudhana merasa dilarangi dan berkata " tunggu! Aku juga punya sumbangsih disini. Aku lah yang duduk di dekat kepalamu, Basudéwa. Jangan anggap aku tidak ada di sini." Prabu Sri Kresna pun berkata " maafkan aku, Duryudhana. Aku juga mengucapkan salam untukmu. " sang raja Hastinapura pun luluh dan memaafkan sang raja Dwarawati. Prabu Sri Kresna pun berkata "maafkan aku jika diantara kalian berdua menunggu terlalu lama karena lamanya aku tidur. Maka sebagai gantinya, aku bersedia memberikan bantuan apa saja kepada kalian. Mintalah dan katakan apa keinginan kalian?" Prabu Duryudhana yang berada di dekat kepala sang raja Dwarawati mengutarakan permintaannya. " Basudéwa, aku tahu kalau kau tidak akan berperang tapi tidak dengan tentaramu. Aku meminta darimu bantuan untuk pasukanku. Aku meminta pasukan elite Narayani Dwarawati sebanyak 7 aksauhini untuk membantuku saat perang nanti." Prabu Sri Kresna pun berkata " baiklah keinginanmu sudah aku kabulkan. Sebentar lagi pasukanku akan mengikutimu ke Hastinapura." Prabu Duryudhana gembira dan berpamitan pulang ke Hastinapura. Setelah kepergian sang raja Hastinapura, Kresna berkata kepada Arjuna " Parta, aku sudah tidak punya apa-apa lagi yang bisa diminta sebagai bantuan." Arjuna pun berkata " Madhawa, yang. Aku inginkan bukan dana atau tentara darimu. Bukan pula ketenaranmu yang agung. Aku hanya meminta agar kakang sendiri mau membimbingku. Sudikah kakang menjadi sais (kusir) kereta perangku?" Kresna tersentuh dan berkata "di dalam hati yang telah ditempa kesalahan, kegagalan, dan perasaan berdosa dengan semangat api dharma dan kelembutan cinta yang murni, akan membentuk senjata bagi keadilan untuk memerangi ketidakadilan. Di hatimu ada cinta yang besar dan murni. permintaanmu aku kabulkan." Maka Sri Kresna menjadi kusir kereta Arjuna. Kusir dharma telah meminta dengan tulus kepada sang guru untuk menjadi kusirnya.

 Karna Danadriya

Dalam kurun waktu satu bulan sejak Arjuna dan Duryudhana mendapat bantuan dari Prabu Sri Kresna, kedua kubu Pandawa dan Kurawa sudah mendapat berbagai sekutu. Pihak Pandawa mendapat sokongan kerajaan Pringgondani, Jangkarbumi, Cedhinagari, Wirata, Magadha,dll. Sementara pihak Kurawa telah menerima kedatangan pasukan Narayani, Awangga, Sokalima, Gandaradesa dll untuk bersiap perang.

Tiga pekan sebelum Baratayudha pecah, Adipati Karna sedang melakukan tapa Danadriya. Ia bersumpah akan memberikan apapun yang ia punya. Lalu datang Batara Surya, ayah sang Aradeya ia berkata " anakku, tolong pikirkan sekali lagi. Kau mungkin akan kehilangan uang bisa mengamankan hidupmu." Adipati Karna berkata "ayahanda Batara, aku sudah berprinsip, siapapun yang datang kepadaku dan meminta apapun, aku akan berikan meski itu jiwa ragaku." Batara Surya bangga dengan keteguhan sikap anaknya. Ia mendoakan agar nama anaknya selalu harum dikenang di tiap jaman. Lalu sang dewa matahari itu kembali ke kahyangan.

Selama tapa, Adipati Karna memberikan semua harta dan tenaga kepada siapapun. Banyak orang datang kepadanya meminta berbagai hal dan tenaganya.Setelah tiga hari yakni hari terakhir tapa Danadriya, datang seorang petapa bernama Ki Sakradewa. Ki Sakradewa meminta kepada Karna sebuah benda. Adipati Karna berkata " pandeta, apapun yang kau ingin kan, akan aku berikan. Katakanlah, apa keinginan anda."

Karna Danadriya
Ki Sakradewa berkata " aku meminta anting Suryakundala dan kotang Suryakawaca milikmu." Adipati Karna terkejut karena benda yang sudah berada pada tubuhnya sejak bayi itu sudah melekat, bersatu di bawah kulit di atas daging dan susah sekali dilepaskan dari badannya. Ki Sakradewa memberikan sebilah keris untuk Karna. Adipati Karna sebenarnya tahu jati diri Ki Sakradewa telah bersumpah akan memberikan apapun yang ia punya "baiklah, tuan pandeta. Akan aku berikan anting dan baju tamsirku." Dengan penuh keyakinan, Adipati Karna mengiris sebagian telinga dan dadanya. Keluarlah baju tamsir emas bergambar matahari dan anting matahari itu. Dengan luka yang parah, Adipati Karna menyarahkan dua pusaka yang telah melindunginya sejak kecil kepada Ki Sakradewa. Hal itu dilihat oleh sang adik, Raden Arjuna. "Kakang...apa yang kau lakukan?" Arjuna segera mendekati sang kakak. Dilihatnya, sang kakak sudah bersimbah darah dan sudah membawa sebuah perisai dan sepasang anting. Arjuna memapah sang kakak yang sudah terluka. Ia menggugat sang petapa "ayahanda Batara, apa yang kau lakukan pada kakang Karna? Aku tidak rela jika kakang diambil segala kemampuannya! Bagiku ini tidak adil." Sang petapa itu lalu badar menjadi Batara Indra, ayah angkat Arjuna.

Batara Indra berkata " anakku, justru ini adalah adil bagi perang ini. Dalam perang ini tidak boleh ada barang bawaan dewa. Ini sudah sesuai apa tertulis di keputusan langit. Tapi pengorbanan kakangmu tidak akan sia-sia "

Kerana pengorbanan Adipati Karna, Batara Indra menganugerahinya panah Badaltulak untuk berperang nanti. Sang dewa langit itu menghilang kembali ke kahyangan. Arjuna menangis karena kakaknya telah mengorbankan pusakanya yang setara separuh jiwanya kepada dewa "kakang....adipati....mengapa kau lakukan ini....separuh kekuatanmu telah direnggut...kenapa? "Karna menjelaskan "Adhi....ku mohon kau mengerti....seorang yang bersifat ksatria akan melakukan apapun yang diperintahkan orang yang meminta bantuan." Arjuna semakin sedih. Ia segera mendatangi sang ibu, Dewi Kunthi dan ibu angkat sang kakak, Nyai Rada. Dengan membawa obat, Arjuna, ibu Rada, dan Ibu Kunthi mengobati Karna sampai sembuh. Arjuna lalu memintq sang ibu untuk merahasiakan hal ini dari kakak-kakak dan adiknya. Ia tak ingin seluruh Pandawa goyah. Semakin hari, semakin masygul hati Arjuna. Semangatnya untuk berperang mulai goyah. Hingga sudah dekat hari peperangan.

Hari sudah menghitung satu pekan menuju perang besar Bharatayuda. Beberapa jam sebelumnya keluarga Resi Hijrapa dan keluarga Lurah Sagotra yang pernah ditolong Pandawa datang menyuplai bahan makanan sebagai bentuk sumpah mereka dahulu. Rara Winihan pun datang namun tanpa suaminya. Karena ditengah jalan, Lurah Sagotra dibunuh para Kurawa untuk dijadikan wadal tumbal. Rara Winihan memberikan segala uang ia punya demi kemenangan Pandawa melawan Kurawa.

Antareja Gugur

Tak terasa hari pecahnya perang sudah menghitung lima hari lagi. Antareja sudah siap ikut angkat senjata memihak pihak masing-masing. Di sana, sang adipati Jangkarbumi itu bersama Dewi Ganggi bercengkrama bersama putra mereka tercinta yakni Arya Danurwenda. Sebelum pecah perang, keluarga Pandawa membawa anak cucu mereka. Bambang Pancawala membawa putra tunggalnya, Bambang Pancakesuma. Prabu Gatotkaca bermanja bersama anak-anaknya yakni Arya Barbarika, Bambang Sasikirana, Bambang Suryakaca, dan Bambang Jayasumpena. Di tempat lain, Arya Antasena bersama Dewi Janakawati membawa buah hati mereka yakni Bambang Jayasena. Di sebelahnya Prabuanom Srenggini bersama putranya, Raden Srenggamurti dan Bambang Sri Pancasena bersama putrinya, Endang Pancaseni. Hanya para putra Arjuna saja yakni Irawan, Wisanggeni, Abimanyu, dan beberapa saudara mereka saja yang membawa isteri mereka yang sedang hamil besar. Para Pandawa melihat hal itu dengan getir dan pahit. Mengingat sebentar lagi canda ria itu akan musnah digantikan ratapan pilu para menantu dan putri mereka yang akan menjadi janda, dan tangisan juga rengekan penuh sendu menyayat kalbu cucu-cucu mereka yang akan menjadi anak yatim atau dalam kemungkinan terburuk, yatim piatu.

Di kerajaan Mandura, dihadap putra kedua yakni Arya Walmuka (Ulmukha) dan cucunya, putra Wisatha yakni Raden Wisabajra, Prabu Baladewa sebenarnya netral namun ia ingin melihat jalannya perang. Maka ia segera meninggalkan kerajaan dan menuju ke Dwarawati. Di sana sang raja Mandura menyampaikan keinginannya. " Kanha, biarkan aku melihat jalannya peperangan...tolong sediakan tempat untukku di dekat kemahmu.." Prabu Sri Kresna berkata kepada kakaknya " kakang Balarama.....sebelum melihat jalannya perang, kakang harus pergi tapa brata dulu. Aku akan mengantarmu ke tempat itu...maka berangkatlah dua kakak beradik itu dan sampailah ia di padepokan Grojogan Sewu. Dengan berlatar bukit dan air terjun yang berasal dari sungai yang mengalir di pinggir Tegal Kurusetra, Baladewa harus bertapa sampai jiwanya bersih " kakang ingatlah....kalau kelopak teratai ini mekar, itu tanda perang sudah pecah. Saat itu, aku akan membangunkanmu....sekarang biar putraku Setyaka yang akan menjagamu." " Sendika dhawuh, ayahanda dan paman prabu..." maka dimulailah pertapaan Prabu Baladewa di sana.

Sebenarnya ini siasat Kresna agar kakaknya benar-benar netral tidak berpihak dan ramalan pertarungan dengan para putra Wrekodara tidak terjadi. Suara deru jatuhnya air terjun dan kicau burung akan menyamarkan suara dentingan senjata dan ledakan akibat perang. Bunga teratai itu juga sebenarnya sudah diikat dengan rambut gaib milik Sri Kresna, dan hanya akan terbuka atas kehendak Sri Kresna.

Sementara itu, di Kadipaten Upalawaya, Prabu Sri Kresna menemui Arya Wrekodara. Ia berkata “adhiku, kau harus bersiap untuk segala kemungkinan terburuk setelah ini.”Arya Wrekodara tak mengerti apa maksud Sri Kresna. Lalu Antareja yang sudah bersiap perang mendapat laporan dari Prabu Sri Kresna " Antareja.....ada pencuri......ada pencuri pusaka."

Antareja Gugur
Dengan penciuman yang bagus, Antareja mengendus dimana si pencuri. Sebenarnya Kresna sudah membuat muslihat dengan membuat Antareja mengendus kakinya sendiri. Lalu ketika jejak kaki ketemu, Antareja menjilat jejak itu dengan lidahnya yang mengandung bisa Visacadhara, racun paling beracun di antara semua racun ular. Seketika Antareja tumbang dengan mulut berbusa seperti keracunan. Sang ayah dan sang isteri tercinta, Dewi Ganggi segera memapah Antareja. "Kakang....bertahanlah....anak kita baru saja lahir.....jangan tinggalkan aku dalam keadaan seperti ini...." tangis Dewi Ganggi sambil menggendong Arya Danurwenda, sang buah hatinya bersama Antareja. Namun rupanya waktu Antareja tidak lama lagi. Tak lama Antareja pun meninggal. Tangis pun pecah di keluarga Wrekodara. Bambang Irawan yang masih sakit pun ikut datang ke acara ngaben Antareja. Wrekodara sadar bahwa kematian Antareja karena campur tangan Kresna. Wrekodara kalut. Marah, sedih, kecewa, dan nestapa bersatu dalam hatinya..... "Anakku....nasibmu kok mesakke....bingung aku nak...aku kudu ngomong opo neng ibumu? Duh...dewa, bantulah aku." Seluruh duka itu perlahan membuat Arya Wrekodara tak lagi mampu menahan kesedihannya. Tangis pecah dan seluruh Upalawaya berduka. Datang Dewi Nagagini untuk mengucapkan perpisahannya untuk terakhir kali. Tak disangka, Dewi Nagagini ikut labuh geni, namun sebelumnya ia berkata " kanda, aku titipkan anak kita yang lain...ini anak kita, Sena Pradeksa dan Susenawati. Aku berharap keduanya bisa mengobati rasa rindumu pada Antareja...selamat tinggal kanda.....aku dan Antareja akan menunggu di kelanggengan abadi." Arya Wrekodara menerima dia adik Antareja yang rupanya masih muda itu... Dewi Nagagini pun lompat ke api dan melebur bersama sang putra pertama. Antasena, Gatotkaca, Srenggini, Sri Pancasena, dan Dewi Bimandari juga kalut hati tapi ini sudah suratan dewa. Apa guna yang harus disesali....suatu saat pasti mereka akan gugur juga. Mereka lalu memeluk adik mereka yang masih belia baru berusia lima belas tahun itu.

Di tengah prosesi ngaben, datang seorang raja yang turut bersimpati di sana. Keluarga Resi Hijrapa mengenalinya. Itu adalah Bambang Rawan, putra bungsu Resi Hijrapa. Kini ia telah menjelma sebagai raja yang tampan dan gagah perkasa bergelar Prabu Rawan. Semenjak kepergian para Pandawa dan ayah-ibunya juga beberapa saudaranya memutuskan pergi mengembara menebus dosa, Bambang Rawan diangkat sebagai raja Ekacakra yang sah oleh Prabu Drupada atas persetujuan rakyat. Namun, beberapa tahun setelahnya, kekuasaannya direbut oleh Prabu Baranjana dan Prabu Kirmira, putra dari Prabu Baka, raja Ekacakra terdahulu yang dikalahkan Wrekodara. Namun setelah Prabu Baranjana dikalahkan oleh Sri Pancasena, putra kelima Arya Wrekodara dan berapa tahun kemudian, Prabu Kirmira dikalahkan oleh Arya Wrekodara sendiri saat hukuman pengasingan, Prabu Rawan kembali ke takhtanya. Meski sudah kembali bertakhta, Prabu Rawan putra Resi Hijrapa beserta rakyat Ekacakra sudah bersumpah setia akan mengorbankan apapun demi para Pandawa meski itu nyawa sekalipun.

Taka lama setelah kedatangan Prabu Rawan, datang para putra-putri Nakula Sadewa yakni kadipaten Bulutiga, Prabu Pramusinta beserta isterinya, Dewi Rayungwulan. Lalu disusul Prabu Sabekti dan Isterinya, Dewi Pramuwati dari kadipaten Pandansurat. Mereka juga turut berbelasungkawa atas kematian Antareja. Setelah upacara berkabung usai, Pramusinta dan Sabekti memberikan keputusannya dalam mendukung Pandawa atau Kurawa. Sabekti berkata "ayahanda dan uwa-paman sekalian, kami sudah sepakat kalau kami akan netral." Tegas Pramusinta" Tapi jika salah satu dari kalian memerlukan tempat perlindungan, aku dan dinda Sabekti bersedia memberikan perlindungan." Dengan kata lain, dua kadipaten itu akan menjadi tempat mengungsi para cucu pandawa yang sudah lahir kala itu. Cucuccucu mereka yang baru lahir ialah Pancakesuma, putra Pancawala dan para putra Gatotkaca, yakni Sasikirana, Bambang Suryakaca, Jayasumpena. Namun Arya Barbarika memilih ikut berperang di pihak Kurawa. Dari pihak Kurawa sendiri, ada Raden Dewakumura , putra Lesmana Mandrakumara dengan Dewi Nurwati, puteri Prabu Naranurwinda, raja Purwantara yang tak lain salah satu bagian dari Kurawa. Dia adik nomor dua puluh satu Prabu Duryudhana. Diungsikan juga disana Dursabala, cucu Arya Dursasana dari anaknya Arya Durcala yang pernah dikalahkan Prabu Gatotkaca yang akan diungsikan ke sana.