Selasa, 28 November 2023

Sasrawindu Apus

 Hai semua pembaca dan penikmat kisah pewayangan. Kisah kali ini menceritakan balas dendam anak Prabu Kangsa kepada Prabu Baladewa dan Prabu Sri Kresna dengan menyamar sebagai Sri Kresna dan hendak mengelabui para Pandawa agar Bharatayudha tidak jadi. Kisah ini mengambil sumber dari https://wayang.wordpress.com/2010/07/19/kresna-kembar/, https://caritawayang.blogspot.com/2012/09/kresna-kembar.html dan https://tokohpewayanganjawa.blogspot.com/2014/06/

Tiga hari setelah gagalnya perundingan damai Kresna, datang ke Hastinapura seorang raja dari Sengkapura. Yakni Prabu Sasrawindu, anak Prabu Kangsa musuh bebuyutan Balarama dan Sri Kresna. Kedatangannya yakni ingin bergabung kepada Prabu Duryudhana untuk mengamankan posisi panglima perang Bharatayuda di pihak Kurawa. Prabu Duryudhana terpaksa menerima Prabu Sasrawindu karena ajakan begawan Dorna atas rekomendasi Patih Sengkuni, Prabu Sasrawindu itu termasuk salah satu anak murid dari begawan Dorna yang sangat mengidolakan Patih Sengkuni. Prabu Sasrawindu berkata "aku bersedia membantu kalian para Kurawa untuk memusnahkan Pandawa namun sebelum itu, aku mengajukan syarat. Beri aku kesempatan untuk menangkap musuh bebuyutanku, Prabu Baladewa!" Syarat itu jelas membuat gempar para Kurawa, karena Prabu Baladewa memang dekat dengan Hastinapura. Apalagi dia adalah kakak ipar Prabu Duryudhana dan Adipati Karna, sang raja Awangga. Sang guru, Begawan Dorna berkata " Sasrawindu, jangan membuat masalah dengan kami para Kurawa. Jangan buat koalisi kami dengan negeri-negeri tetangga bubar kucar-kacir untuk menghadapi Bharatayuddha." Tetapi tidak dengan Patih Sengkuni, " tunggu Dorna kawanku. Menurutku yang akan dilakukan Sasrawindu tidak salah. Ananda prabu Baladewa sudah tidak loyal dengan Kurawa, sudah lama ananda Prabu Baladewa sering tidak datang jika ada paseban agung di Hastinapura." Prabu Sasrawindu kemudian meyakinkan "tolong pikirkan sekali lagi, gusti prabu Duryudhana. Permintaanku ini adalah wajar. Karena ayahku, prabu Kangsa gugur di tangan dua gembala licik itu, maka dari itu aku ingin menuntut balas kepada kêparat itu."

Prabu Duryudhana menjadi bingung, maka ia bertanya kepada raja Awangga Adipati Karna, sahabat sekaligus iparnya sesama mantu prabu Salya selain Prabu Baladewa sendiri. Karna berkata "temanku, sebaiknya permintaan Sasrawindu kita luluskan. Tetapi juga dengan syarat, kalau dia tidak berhasil maka Sasrawindu harus menerima hukuman mati karena sudah membuat keributan di kubu Kurawa. Tetapi jika berhasil, maka Sasrawindu akan langsung diangkat menjadi salah satu panglima Kurawa." Hal ini dikatakan Karna sebab Prabu Sasrawindu sendiri sudah mendapat pertimbangan dari sang guru dan menurut pengamatannya bahwa Prabu Sasrawindu jika sudah berkata begitu, berarti dia memang punya kesaktian yang tinggi sehingga berani berkata demikian. Setelah mendapat persetujuan dari Prabu Duryudhana, pasukan Sasrawindu langsung bergerak ke Mandura, diikuti Begawan Dorna. Sedangkan wadya bala Kurawa yang diikuti Patih Sengkuni dan dibawah pimpinan raja Awangga Karna menyusul.

Di tapal batas Mandura, prabu Sasrawindu berdiskusi dengan gurunya tentang cara menangkap Prabu Baladéwa. Begawan Dorna berkata " kalau kamu mau pakai cara keras, kamu akan kehilangan banyak prajurit, muridku. Tapi kalau kamu pakai cara apus-apus atau menipu, kamu akan mendapatkan apa yang kau mau tanpa mengorbankan banyak tenaga dan nyawa. Lagipula kalau Baladewa sampai tewas, adiknya, Sri Kresna akan sangat marah dan sanggup menghidupkan kembali sang kakak pake Cangkok Wijayakusuma." Prabu Sasrawindu lalu memutuskan" baiklah guru. Aku memilih cara apus-apus. Toh aku akan menyiksa si Baladewa itu dulu sebelum ku bunuh."

Sementara di Mandura, Prabu Gatotkaca datang menghadap meminta Prabu Baladewa bersedia datang ke Upalawaya. "Salam, uwa Prabu. Kedatanganku kemari atas permintaan dari ayah dan paman Prabu Yudhistira juga uwa prabu Sri Kresna. Hal ini dimaksudkan agar uwa menggantikan sementara posisi uwa Sri Kresna. Sejak datang dari Hastinapura tiga hari lalu, ia bertapa di bukit Goloka demi mendapatkan wahyu kemenangan bagi para Pandawa dalam Bharatayuddha." Prabu Baladewa setuju menerima ajakan Gatotkaca, dia juga bercerita keadaan Hastinapura " aku merasa bahwa Prabu Sasrawindu, raja Sengkapura sudah mulai mendapat hati di kalangan Kurawa. Susahlah kalau macam ni. Makanya, aku berniat keluar dari lingkup kekuasaan dan persahabatan dengan Kurawa. Kita jangan buang waktu lagi. Ayo kita berangkat!" Belum berapa langkah meninggalkan istana, tiba-tiba datanglah begawan Dorna menghadap, yang didampingi Sengkuni.

Begawan Dorna menghaturkan sembah, dan mengucapkan maksud kedatangannya kepada Prabu Baladewa, yaitu bermaksud mengundang sang Prabu ke sitihinggil Hastinapura untuk menghadiri paseban agung. Prabu Baladewa langsung menolak dan mengutarakan alasannya, bahwa ia sudah mendengar kabar bahwa Prabu Sasrawindu musuh bebuyutannya sudah diangkat menjadi panglima Hastinapura. Begawan yang bernama Kombayana itu berusaha meyakinkan Prabu Baladewa, namun tak berhasil. Akhirnya terjadi pertarungan, yang membuat koncatnya Begawan Drona keluar sitinggil. Prabu Gatotkaca kemudian disuruh oleh Baladewa untuk menghadapi Begawan Dorna, perang terjadi dan berkali-kali sang guru Agung Hastinapura itu harus mundur menghadapi kesaktian sang raja muda Pringgodani. Akhirnya, Begawan Dorna memanggil Sasrawindu, namun Sasrawindu juga terpental jauh ke belakang dan harus mengakui kekuatan Gatotkaca. " Aku akui kekuatanmu ok juga. Tapi itu tak akan lama lagi, putra Bhima!" Sasrawindu akhirnya mengambil senjata pusakanya, yaitu panah Kêmlandingan Seta. Begitu panah dilesatkan, panah itu berubah menjadi rantai super kuat dan melilit tubuh Gatotkaca. Seketika, Gatotkaca menjadi tidak berdaya dan dibawa ke Hastinapura untuk dimasukkan ke dalam penjara. Mendengar Gatotkaca dikalahkan, Prabu Baladewa naik darah dan segera turun laga, dibawanya bajak Nanggala miliknya yang dikenal sanggup menggempur gunung.

Sasrawindu menghadang Baladewa dan Gatotkaca
Mengetahui kedatangan Baladewa dengan membawa Nanggala, membuat Sasrawindu menjadi was-was dan khawatir. Setelah ia berhasil mengambil jarak yang cukup, Prabu Sasrawindu segera menembakkan senjata Kêmlandingan Seta, dan senjata itu melilit tubuh Baladewa. Prabu Baladewa pun ditawan bersama Gatotkaca. Keinginan Sasrawindu berhasil. Namun ia belum puas, ia ingin menangkap Sri Kresna juga karena bagaimanapun, ayahnya gugur juga dengan campur tangan gembala dari Widarakandang itu. Maka ia segera ke Goloka untuk menculik Kresna.

Singkat cerita, Prabu Sasrawindu telah sampai di dekat bukit Goloka. Ketika hendak memasuki gerbang bukit Goloka, datang para isteri Sri Kresna yakni Dewi Radha, Dewi Rukmini, Dewi Jembawati,dan Dewi Setyaboma. Mereka disana untuk mendampingi suami mereka yang sedang bertapa di puncak bukit. Tentunya mereka berempat tak datang sendiri. Keempat istri Sri Kresna itu ditemani oleh Patih Udawa, Resi Hanoman, dan Arya Sencaki. Dewi Rukmini menghadang Sasrawindu" tunggu siapa kau? Berani sekali kau datang ke Goloka." Prabu Sasrawindu berkata dengan nada menghina " apa ini, pengawal Sri Kresna adalah gembala perempuan. Dunia semakin edan ternyata. Gembala secantik kau tak pantas dengan Sri Kresna yang penipu itu." Dewi Radha menepis tangan Sasrawindu "kau kurang ajar! Beraninya kau menghina suami kami. Kami akan melakukan apapun demi kemuliaan suami kami." Dewi Jembawati sudah naik pitam dan berkata "Yunda Radha, sudah cukup beramah tamah dengan manusia sepertinya." Dewi Setyaboma menyahut, " benar yunda, kita lawan raja angkara ini." Ketika keempat isteri Kresna itu hendak maju, mereka dihalangi Patih Udawa " tunggu, adinda semua! Jangan buang tenaga kalian. Biar kami yang melawannya. Kalian lindungi Dimas prabu." Keempat isteri Kresna segera naik ke atas bukit. Patih Udawa, Arya Sencaki, dan Resi Hanoman Mayangkara bersiaga penuh agar tidak terjadi sesuatu yang dapat menggagalkan tapa junjungannya.

Pasukan Sasrawindu sudah tiba langsung mengepung , Resi Hanoman maju dan menghadang pasukan Sasrawindu dengan Gagah. Setelah bertempur sekian lama, akhirnya raja Sengkapura itu terdesak, ia lalu mengeluarkan ajian Pawana Krodha. Keluarlah badai dahsyat yang menghantam Resi Hanoman, terpental sejauh-jauhnya. Melihat Hanoman kontal, Sencaki maju. " Sasrawindu, lawan aku!" Pertarungan antar keduanya berlangsung imbang, hingga akhirnya Sasrawindu mengeluarkan senjata saktinya Kêmlandingan Seta yang membuat Sencaki tidak berdaya dan ia dibawa ke Hastinapura sebagai tawanan. Melihat Sencaki juga kalah, Resi Hanoman memberi perintah kepada patih Udawa dan prajurit Dwarawati untuk menyingkir dan meminta bantuan ke Upalawaya. Resi Hanoman yang tadi kontal segera bertukar wujud jadi cahaya dan sembunyi di balik gelung rambut Dewi Radha.

Sementara di dalam pertapaan Prabu Sri Kresna beserta keempat isterinya yang baru tiba disana duduk menekung, meditasi dan melepaskan sukma sejatinya. Sukma mereka melayang hendak menemui dewata. Namun sebelum ia lepas dari raganya, Prabu Sri Kresna berpamitan kepada raga kasarnya. Begitu empat isterinya. Mereka berlima menuju alam Dewata. Bersamaan dengan itu masuklah Sasrawindu ke dalam pertapaan Bukit Goloka. Dorna kemudian menyuruh Sasrawindu membangunkan Kresna, namun yang ditemukan hanya raga Kresna dan empat isterinya yang sudah kosong tanpa sukma. Begawan Dorna memiliki akal baru " Sasrawindu, cepat ambil pakaian Kresna sekalian senjatanya termasuk senjata Cakra dan cangkok Wijayakusuma. Cepat pakai!" Sasrawindu pun segera memakai pakain Sri Kresna dan seketika Sasrawindu berganti rupa menjadi mirip sekali dengan Kresna, dan pergi ke Upalawaya untuk menipu para Pandawa agar mau mengalah dan menyerahkan kadipaten Upalawaya juga kepada Duryudhana. Namun, raga kasar Kresna dan keempat isterinya ternyata masih terdapat lima anasir dan juga empat nafsu. Maka tiba-tiba kelima tubuh yang dipanggil Raga Jati itu menangis sekaligus marah, kemudian menjelmalah tubuh tanpa sukma sejati itu menjadi seekor macan besar hitam mulus. Macan jelmaan raga Kresna dan para isterinya memiliki keinginan untuk menyelamatkan para Pandawa dari tipu daya Prabu Sasrawindu yang telah berubah wujud menjadi Kresna. Kemudian macan itu pergi istana Kurawa dan bersembunyi di gerumbul semak dekat istana Hastinapura, mengawasi jika Pandawa datang dan terbujuk, dia bermaksud mencegahnya.

Di kadipaten Upalawaya, Udara berkata bahwa datang Prabu Sasrawindu hendak menangkap Sri Kresna. Namun Tak dinyana datang Sri Kresna Gadungan berkata " kakak dan adik-adikku para Pandawa. Wahyu kemenangan untuk kalian hanya satu. Kata Batara Guru, kalian harus menyerah kalah dan menyerahkan kadipaten Upalawaya ini kepada Duryudhana." Seperti terhipnotis, Prabu Yudhistira, Arya Wrekodara dan Arya Nakula setuju " baiklah, kakang prabu. Kami akan menyerah kalah." Namun tidak untuk Raden Arjuna dan Arya Sadewa. Mereka memilih diam karena curiga dan segera meninggalkan sitihinggil. Arya Wrekodara marah "cepat kalian setujui kakang Jlitheng!" Arjuna maju " tidak kakang, ini aneh sekali. Kapan hari, kakang Madhawa berkata kalau perang sudah tidak terhindarkan, kenapa sekarang berbalik begini? Ini sangat tidak masuk akal. Coba pikirkan, tiba-tiba kakang Madhawa menarik kata-katanya lagi." Sadewa menyahut, “betul kakang. Coba kakang semua berpikir jernih. Aku takut ada yang sengaja membuat konspirasi." Namun Arya Wrekodara makin murka seperti kesetanan. Buru-buru mereka berdua lari ke Karangtumaritis, tempat tinggal kakek Semar.

Di tempat kakek Semar, Arjuna dan Sadewa menjelaskan apa-apa yang telah terjadi. Kakek Semar berkata " ada benda tak betul yang telah terjadi. Kalian cepat berlindung ." Belum sempat mereka pergi terlalu jauh, datang serombongan prajurit Upalawaya dipimpin Arya Wrekodara bersama Sri Kresna Gadungan itu. Mereka mengobrak-abrik désa mencari Arjuna dan Sadewa. Arjuna berhasil lari namun nasib tak bagus untuk Sadewa. Ia ketahuan dan Sadewa tetap bersikukuh menolak permintaan Kresna palsu itu, Wrekodara naik pitam dan menghajar adiknya itu dan dilempar jauh. Kakek Semar dan ketiga putranya mengejar ndoro mereka itu. Sementara itu Arjuna kelelahan setelah lari. Ia datang ke sebuah rumah kecil. Di sana ada seorang kakek tua. Kakek itu menghidangkan makanan untuknya namun tiba-tiba, Arjuna jatuh pingsan dan tau-tau ia sudah berada di Hastinapura. Ia tidak ingat apa yang terjadi bahkan ia lupa siapakah dirinya sendiri. Arjuna amnesia dan lupa jati dirinya. Rupanya orang yang dibalik itu adalah Begawan Dorna dan Patih Sengkuni.

Sementara itu, di bukit Goloka, ada seorang pendeta muda Begawan Sukma Lelana, ia didampingi keempat murid perempuannya yakni Endang Radhika, Endang Rukamai, Endang Setyasulasih, dan Endang Setyasuwarna. Begawan Sukma Lelana meninggalkan bukit Goloka dan menuju ke Hastinapura " murid-muridku...ayo kita ke Hastinapura. Ada hal penting yang akan terjadi di sana." Keemapat muridnya menyahut " baik guru....kami akan mendampingimu." Di tengah perjalanan, mereka berlima bertemu para punakawan sedang mencari Sadewa. Semar dan Punakawan mengenali jati diri sebenar dari sang pendeta cuma pura-pura tidak tahu saja. Ketika membantu mencari, Sadewa yang ditemukan menggeletak setelah dihajar kakaknya dalam keadaan tidak bernyawa. Begawan Sukma Lelana mengeluarkan tirta suci dan diadakan upacara. Ajaib, Sadewa kembali hidup berkat Tirta suci Begawan Sukma Lelana dan kesaktian Semar. Mereka semua segera melanjutkan perjalanan ke Hastinapura. Singkat cerita, mereka pun sampai di keraton Hastinapura. Begawan Sukma Lelana berkata " tuanku Begawan Dorna dan Patih Harya Sengkuni. Ampuni kelancangan hamba dan keempat murid hamba. Kedatangan kami yakni untuk memberi selamat dan mengajak bicara Prabu Sasrawindu. Kami ingin memberinya berkat dan anugerah kepadanya."

Begawan Dorna mampu menebak siapa jati diri Begawan Sukma Lelana. Ia takut sekali. Ia lalu berkata pada Patih Sengkuni " rencana ini terancam gagal. Aku merasa Begawan Sukma Lelana akan membuat rencana kita berantakan." Kedatangan Begawan Sukma Lelana jelas membuat geram Sengkuni, ia meminta sang Begawan keluar dan menunggu keputusan di alun-alun Hastinapura." Tuanku Begawan, tunggulah di alun-alun. Kami akan memberikan keputusan kami." Dorna kemudian meminta para Pandawa untuk menghabisi nyawa sang Begawan. Pandawa pun menuruti apa yang menjadi perintah gurunya itu. Arjuna yang masih amnesia disuruh menghadapi sang pendeta muda itu. Sang penengah Pandawa yang juga merupakan murid kesayangan Dorna serta teman yang paling dikasihi Kresna akan menghadapi sang Begawan. Di dalam hati, Arjuna merasa ragu karena dharma ksatria yang ia pegang, yakni tidak menyerang seseorang tanpa alasan apalagi menyerang seorang pendeta atau brahmana. Dan lagi Arjuna merasa Begawan Sukma Lelana tidak berniat jahat kepada siapapun. Arjuna yang masih lupa ingatan masih mengingat dharmanya sebagai manusia dan sekaligus sebagai kesatria, namun ia kembali didoktrin gurunya untuk melawan pendeta muda itu. " Begawan, kau ingin mengajak bicara kakang Sasrawindu kan? Ayo ajak bicara aku dulu!" Terjadi pertempuran sengit. Berbagai senjata ia gunakan, semua ajian dia kerahkan, bahkan Pasopati akhirnya ia keluarkan, namun justru berbalik padanya. Arjuna menyerah dan meminta Wrekodara maju, namun Wrekodara pun tidak kuasa menghadapi Begawan Sukma Lelana. Bukan cuma mengalahkan keduanya, Begawan Sukma Lelana mengembalikan ingatan mereka " waadalah....kok aku ada disini? Jlamprong, kok bisa kita disini." Arjuna berkata " yang aku ingat, aku lari dari kejaranmu dan Sri Kresna Gadungan setelah itu aku makan di sebuah rumah kecil." Begawan Sukma Lelana berkata " kalian telah dicuci otak dan dibuat lupa ingatan. Untunglah aku bisa menyadarkan kalian."

Kresna Kembar
Seketika, Arjuna memandang wajah sang begawan. Ia mengingat siapa jati dirinya. "Aku ingat sekarang, ini konspirasi. Aku Arjuna putra Pandu, sang kusir dharma. Dan kau begawan....bukan kau adalah Madhawa, terima kasih kakang Madhawa." Seisi istana Hastinapura kaget dengan jati diri sang begawan.

Prabu Sri Kresna palsu maju" Hei, Arjuna...aku Kresna yang asli! Dia yang palsu!" Keduanya pun terlibat pertarungan. Terjadilah adu kesaktian dengan begitu hebatnya. Saat itu datang Arya Sadewa dan kakek Semar ke Hastinapura. Arya Wrekodara dan Arjuna gembira melihat adiknya masih hidup. Arya Sadewa lalu bersiul-siul sepertinya sedang bicara dengan binatang lalu ia berkata dalam bahasa manusia“Sardula Ireng keluarlah!” lalu secara ajaib, macan hitam jelmaan tubuh ragawi sang Kresna muncul dan mengaum ke arah prabu Sri Kresna Gadungan itu dan dalam sekejap, macan hitam itu bersatu dengan Begawan Sukma Lelana, maka terbentuklah kembali ke sosok Sri Kresna. Endang Radhika, Endang Rakumai, Endang Setyasulasih ,dan Endang Setyasuwarna kembali ke wujud asli mereka yakni Dewi Radha, Dewi Rukmini, Dewi Jembawati, dan Dewi Setyaboma. Kini Berdiri tegak dua sosok Kresna di alun-alun Hastinapura. Semua yang menyaksikan menjadi tercengang dan tak berkedip memandang. Dua Kresna itu melanjutkan pertarungannya, hingga salah satunya jatuh, kemudian mengeluarkan Cakra Widaksana. Cakra dileparkannya, tetapi justru kembali ke tangan Kresna yang satu. Akhirnya Kresna palsu malih rupa ke wujud aslinya, Prabu Sasrawindu, karena kedoknya tidak mungkin bisa disamarkan lagi.Prabu Sri Kresna yang asli pun berkata " Sasrawindu, kau sama seperti Paundraka......seseorang bisa meniru rupa, pakaian, dan atribut, tapi seorang peniru tetap peniru. Kalian jangan dibodohi oleh penampilan luar . Lihat ke dalam dirinya seperti yang dilakukan Sadewa dan Arjuna." Sasrawindu bersumpah serapah" perduli setan dengan dharmamu! Aku akan membalaskan dendam ayahku pada kau dan juga kakangmu Baladéwa."

Sri Kresna kemudian mengambil jarak agar sanga Prabu Sasrawindu tidak menggunakan senjata Kêmlandingan Seta. Benar, Sasrawindu mengeluarkan senjata andalannya itu, dan ketika ia sudah siap mengarahkan pusakanya kepada Kresna, sang raja Dwarawati berteriak " Hanoman, sekarang!" " Baik Tuanku!" Tiba-tiba Hanoman datang setelah sebelumnya bersembunyi di balik kancing gelung Dewi Radha. Resi Hanoman Mayangkara menyerang Prabu Sasrawindu dengan jurus Angin Garudha dan ajian Pancabayu. Seketika datang angin yang sangat kencang membuat prajurit Sengkapura kucar-kacir dan pertahanan Prabu Sasrawindu buyar. Ketika Prabu Sasrawindu hendak mengarahkan panah Kêmlandingan Seta, sekonyong-konyong panah itu ditarik oleh rantai hitam yang merupakan lawan dari panah Kêmlandingan Seta yakni Kêmlandingan Ratri milik Sri Kresna. Dengan panah Kêmlandingan Ratri, Prabu Sri Kresna menghantam sebongkah batu sebesar puthuk (bukit) ke arah Sasrawindu, hingga akhirnya putra Prabu Kangsa itu mati gepeng berurai menjadi darah.

Sasrawindu Gepeng
Para Kurawa yang melihat hal itu lari pontang-panting menyelamatkan diri. Sri Kresna kemudian menyuruh Hanoman untuk menjaga pusaka Kêmlandingan Seta untuk diserahkan kepada anak keturunan Pandawa kelak. Dan semua tahanan dibebaskan, termasuk Prabu Baladewa, Gatotkaca dan juga Sencaki.


Rabu, 22 November 2023

Kresna Duta

 Hai semua pembaca dan penikmat kisah pewayangan! Mumpung sedang senggang, penulis kali ini menceritakan kisah Prabu Sri Kresna menjadi duta pembawa pesan kedamaian namun berakhir dengan kegagalan. Hal ini mengakibatkan Perang Bharatayuda sudah tak bisa dielakkan lagi. Kisah ini mengambilsumber dari Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa, Serial Kolosal India Mahabharat Starplus dan Radha Krishna Starbharat, https://caritawayang.blogspot.com/2012/09/kresna-duta.html, dan  http://kerajaandongeng.blogspot.com/2011/12/kresna-duta.html dengan pengubahan dan penambahan seperlunya.

Alkisah, Di kerajaan Hastinapura, Patih Sengkuni baru aja datang dari Dwarawati membawa kabar kalau putra Sri Kresna yakni Sitija telah gugur di tangan ayahnya sendiri. Prabu Duryudhana bertanya " bagaimana itu bisa terjadi, paman? Setahuku Sitija sangat menghormati ayahnya dan begitupun Sri Kresna sendiri sangat sayang kepada Sitija?" Patih Sengkuni berkata " aku telah membuat Arjuna bimbang dan ragu tentang keselamatan cucunya sehingga ia membuatnya menyerang Patih Pacadnyana dan menciptakan perang besar tempo hari.....hahaha...sekarang, Pandawa tidak akan bisa berkutik lagi, keponakanku. Mungkin sekarang Kresna yang licik itu kehilangan rasa hormat dari para Pandawa..." Prabu Duryudhana gembira dan bisa membuat alasan untuk tidak menyerahkan Amarta kepada para Pandawa.

Namun tak disangka, beberapa bulan kemudian, Para Pandawa berniat mendatangkan duta perdamaian demi stabilitas dan menagih janji Prabu Duryudhana untuk menyerahkan Amarta setelah hukuman 13 tahun atas usul Sri Kresna. Kabar dari itu telah membuat para Kurawa ketar-ketir. Patih Sangkuni sudah menduga kalau hal ini akan terjadi dan ia sudah menyiapkan banyak cara agar Pandawa tidak mendapatkan Amarta lagi. Patih Sengkuni datang ke Upalawaya lalu berkata " anak-anakku, jangan dulu membawa duta. Kita harus mengadakan jajak pendapat dulu baru setelah itu jika tidak tercapai kesepakatan, kalian bisa mengirimkan duta perdamaian." Para Pandawa awalnya mau saja toh ini demi menghindarkan dari Perang Bharatayudha. Beberapa hari kemudian, Sengkuni membuat tipu hela dengan membuat acara jajak pendapat jadi penuh kecurangan. Ia mengumpulkan rakyat Amarta untuk jajak pendapat, mau memilih Amarta dikuasai Pandawa atau Kurawa. Mayoritas memilih Pandawa. Namun dilaporkan pada para pandawa mayoritas pilih Kurawa. Jelas Pandawa kesal dengan tipu hela itu. Kakek Semar datang menjernihkan keadaan dan ia sudah merundingkan dengan Kresna agar diadakan penghantaran duta perdamaian. Awalnya Prabu Drupada dijadikan duta namun para Kurawa enggan memberikan Amarta bahkan Begawan Dorna kembali menyulut kemarahan Drupada. Lalu datang Dewi Kunthi datang sebagai duta. Namun ucapannya tak digubris para keponakannya yakni Para Kurawa.

Setelahnya duta-duta Pandawa terus menerima kata tidak dari Para Kurawa soal kejelasan Amarta. Para Pandawa sudah mulai kehabisan sabar. Begitupun para putra-putri, menantu, juga rakyat Amarta. Prabu Sri Kresna atas pertimbangan Semar menawarkan diri sebagai duta perdamaian Pandawa yang terakhir. Jika cara ini gagal, maka perang Bharatayudha sudah tak terelakkan lagi.

Sri Kresna berangkat ke Hastinapura sebagai duta pembawa pesan
Maka dari itu, Kakek Semar dengan kapasitasnya sebagai Batara Ismaya meminta kebenaran pada Batara Guru agar para dewa juga turut dijadikan saksi perundingan damai kali ini.

Maka berangkatlah Kresna yang dikusiri Sencaki dan ditemani beberapa dewa yakni Batara Narada sang maharesi kahyangan, Batara Parashurama, avatar/titisan Wisnu sebelum Kresna yang merupakan guru Maharesi Bhisma, Begawan Dorna, dan Adipati Karna. Turut dihadirkan pula Batara Janaka leluhur Kresna yang merupakan ayah Dewi Sinta dan Dewaresi Kanwa yakni Bambang Palasara, ayah Maharesi Abiyasa leluhur Pandawa dan Kurawa.

Prabu Sri Kresna datang Ke Hastinapura sebagai duta para Pandawa setelah masa hukuman pengasingan dan nyamur berakhir. Kedatanagannya menaiki kereta Jaladara diiringi Batara Parashurama, titisan Wisnu sebelumnya sekaligus guru Maharesi Bhisma, Batara Janaka, dan Batara Kanwa sebagai saksi. Dalam sidang itu, Kresna merundingkan masalah sengketa Amarta dan Hastinapura. "adhi Prabu Suyudana, ketahuilah bahwa adik-adik kita, para Pandawa telah menyelesaikan masa hukuman tiga belas tahunnya dan sesuai kesepakatan bersama dahulu setelah peristiwa dadu, hak kemerdekaan Amarta harus diluluskan setelah mereka habis masa hukuman." Prabu Suyudana/Duryudhana tetap keukeuh untuk memiliki Amarta dengan berdalih"tidak bisa, kakang Prabu Sri Kresna. Sewaktu di Wirata, Pandawa ketahuan ikut berperang maka masa hukuman bertambah." "tidak bisa begitu, adhi prabu. Mereka membuka samaran saat masa hukuman selesai tepat satu tahun lewat sehari." Perundingan berjalan alot ditambah lagi Patih Sengkuni yang terus memanas-manasi Prabu Duryudhana sang keponakan tercinta. Menyadari, Prabu Duryudhana masih keukeuh, Prabu Sri Kresna menawarkan saja lima kota di Amarta untuk para Pandawa sebagai ganti seluruh Amarta, namun sang prabu Hastinapura tidak mau. Lalu ditawar lagi lebih rendah dengan hanya meminta lima desa saja berikut kampungnya namun tetap saja tidak diberikan. Akhirnya Prabu Sri Kresna meminta lima hektar tanah di hutan Wanamarta saja, tapi Prabu Suyudana tetap tidak mau "sudahi saja penawaran ini, kakang prabu. Mau sampai kiamat nanti, tidak akan kuberikan Amarta pada para Pandawa walau seujung jarum pun!"

Sri Kresna merasa kesal lalu ia memohon izin untuk kembali ke Upalawaya untuk memberi tahukan hasil perundingan. Prabu Duryudhana merasa tersinggung “Beginikah sikap seorang duta perdamaian? Sopankah kau begitu? Dasar kau gembala hina! Dursasana, cepat rantai Prabu Sri Kresna.!” “baik, kakang prabu!”  Seisi pasewakan kaget “Duryudhana! Apa yang kau lakukan?! Beraninya seorang raja sepertimu memperlakukan duta pembawa kedamaian seperti ini!” bentak maharesi Bhisma. “Paman, biarkan saja dia! Apa yang dilakukan ananda prabu sudah benar.

Arya Dursasana merantai Prabu Sri Kresna
Penawaran Sri Kresna sudah tidak benar!” kilah Adipati Drestarastra demi membela putranya. Maharesi Bhisma berkata dengan nada meninggi” Benar? Ananda sudah dibutakan kasih sayang butamu. Gunakan etika, Drestarastra!” Maka Arya Dursasana membawa seikat rantai besar lalu melempar rantai itu ke arah Prabu Sri Kresna. Sang prabu Dwarawati itu lalu berbalik dan berkata "adhi prabu Duryudhana, seperti ini kah caramu memperlakukan seorang duta pembawa pesan perdamaian? Aku tahu kalau ini semua atas rencanamu dan Patih Sengkuni! Ingatlah satu hal! Aku bernama Kresna Yang Bermakna Gelap, Maka Aku Akan Membawamu ke Keadaan Tergelap dari Hidupmu!" maka Arya Dursasana dengan tertawa-tawa membawa Prabu Sri Kresna ke penjara namun ketika sampai di penjara, tiba-tiba Prabu Sri Kresna menghilang. Malah Duryudhana yang terkurung dalam penjara. Ketika Duryudhana mencari sang Danardana, tiba-tiba ia melihat semua orang di pasewakan itu berwajah mirip Kresna. Prabu Duryudhana ketakutan setengah mati.  Lalu datang suara "kau mau mengurungku kan Duryudhana? Kau mau mengurung seorang dewa. Bodoh! Kau Benar-benar Bodoh." Seketika muncul cahaya amat terang membuat matanya silau. Ketika di dekati, rupanya Prabu Sri Kresna membuat suatu ilusi dimana Arya Dursasana berada dalam air dan dijambak-jambak rambutnya. Ketika membuka mata ia ditarik lagi dan dihempaskan ke tanah. Lalu Duryudhana melihat bayangannya sendiri di air berubah menjadi mirip Prabu Sri Kresna. Bayangan Kresna ada di setiap orang dan hubungan “Ini tidak nyata! Hanya bayangan! Kresna!! Hentikan semua ilusimu!”  tiba-tiba datang suara Adipati Drestarastra “Anakku Duyudhana! Ada apa? Kenapa kau berteriak?!”

Ketika membuka mata, Prabu Duryudana kaget ia masih di dunia nyata dan mendapati Prabu Sri Kresna ada di hadapannya. Maharesi Bhisma lalu berkata “Duryudhana, kesombonganmu sudah mematikan akalmu! Hentikan kebodohanmu! Serahkan apa yang jadi hak para Pandawa!” Prabu Duryudhana murka dan membentak Maharesi Bhisma “ini semua karena ilusi Sri Kresna. Dia menipu pikiranku!” Prabu Sri Kresna semakin murka. Wajahnya memerah padam menahan kemarahan” hati-hati dengan ucapanmu, Duryudhana! Hentikan semua kebebalanmu! Bangkitkan hati nuranimu! kau sudah gagal memenjarakanku! Pikirkan apa yang terjadi ke depannya. Sikap aroganmu akan menghancurkan seluruh Wangsa Baharata.”  Prabu Duryudhana makin murka mendengar ucapan Sri Kresna “Sudah Cukup, Basudewa Kresna! Ilusimu tidak akan membuatku luluh! Bukan wangsa Baharata yang akan hancur tapi Wangsa Yadawa-mu yang akan hancur! Sekarang aku sendiri yang akan merantai dan membawamu ke tiang gantungan!" seisi pasewakan makin ketakutan mendengar niat Prabu Duryudhana untuk menghukum mati Sri Kresna. Prabu Sri Kresna sudah meledak kemarahannya “JIKA KAU BERANI DURYUDHANA, SILAKAN RANTAI DIRIKU! PERGI SANA BAWA RANTAI ITU LALU BAWA AKU KE TIANG GANTUNGAN!” Prabu Duryudhana membawa seikat rantai besar. Ajaib, rantai itu tak cukup besar dan kurang panjang " bagaimana mungkin, rantai ini bisa kurang panjang?" Prabu Sri Kresna dengan mudah dan tenang melepas rantai itu dan berkata "KENAPA KAU BAWA RANTAI KECIL, DURYUDHANA? KAU SUDAH GAGAL UNTUK MENGURUNGKU DI PENJARA, SEKARANG KAU AKAN MEMBUNUH SEORANG DEWA, DURYUDHANA?! PERBUATAN DOSAMU BENAR-BENAR TIDAK BISA DITOLONG!!" Secara tiba-tiba, semua orang di pasewakan itu melihat cahaya yang begitu terang dari tubuh Sri Kresna. Duryudhana kaget dan ketika membuka mata lagi, ia seakan berada di sebuah ilusi dimana ia berada di tengah padang pasir dan berlari melihat wujud raksasa. Lalu ia jatuh terjungkal dan paha kirinya dipukuli berkali-kali. Ketika ia mengerang, ia kembali ke dunia nyata dan mendapati balairung keraton hancur berantakan lalu ketika melihat di depannya ada pemandangan yang sangat mengerikan. Namun seketika matanya silau karena cahaya yang maha terang menyelimuti seisi balairung istana. Prabu Sri Kresna murka luar biasa dengan Cakra Widaksana sudah berada di tangannya lalu ia berubah wujud. Sementara itu, Adipati Dretarastra yang tunantra sejak lahir atas seizin Sanghyang Widhi tiba-tiba bisa melihat di depannya Prabu Sri Kresna sudah bertukar wujud menjadi Triwikrama Brahalasewu. Besarnya tak terkira diseliputi cahaya yang lebih terang dari seribu matahari. Mukanya garang bagai menyimpan kemarahan dengan rambut panjang gimbal yang awut-awutan. Kulitnya hitam legam bagai malam. Tangannya besar berkuku tajam dan memegang banyak senjata di masing-masing tangan. Adipati Dretarastra ketakutan setengah mati melihat betapa ngerinya titisan Batara Wisnu. " Hyang Widhi, apa ini? Sihir apakah ini? pemandangan mengerikan apakah ini? Aku tak sanggup melihatnya. Aku mohon kembalikan saja mataku jadi buta lagi. Tak sanggup aku melihatnya." Maka ia kembali tak dapat melihat seperti sebelumnya. Adipati Dretarastra lalu membujuk anaknya untuk menyerahkan apa yang diminta sang prabu " anakku, serahkan saja lima desa dan kampung kepada Pandawa...patuhi Sri Kresna. Jangan mengundang kehancuran wangsa kita." Prabu Duryudhana tetap tidak mau" Tidak akan, ayah! Aku tidak akan menyerahkannya apapun pada para Pandawa." Maharesi Bhisma memarahi Duryudhana," jangan bodoh, kau Duryudhana! Kesombonganmu telah menghancurkan dirimu. Melawan Sri Kresna sama saja mengundang mautmu sendiri." Begawan Dorna berkata " anakku, jangan membuat kami berdosa. Cepat turuti permintaan Sri Kresna." Meski dibujuk sekalipun, Prabu Duryudhana tetap tidak mau “Tidak Akan! Aku Tidak Akan Menyerahkan Apapun Kepada Para Pandawa! Mau Sampai Aku Mati, Aku Tidak Rela Menyerahkan Apapun Pada Pandawa!”

Triwikrama Prabu Sri Kresna semakin marah. Semua orang ketakutan. Ia berkata pada Duryudhana dan Dursasana "KALIAN SANGAT BEBAL. KALIAN MANUSIA TERBODOH YANG ADA DI ALAM DUNIA INI. KESOMBONGANMU TELAH MENELANMU SAMPAI TAK BERSISA NURANI DI HATIMU. LIHAT AKU! LIHAT AKU BAIK-BAIK." Prabu Duryudana dan Arya Dursasana pun mendongak ke atas. Saat itu mereka melihat Sri Kresna menjadi wujud yang sangat mengerikan. Sang Gopala telah menjadi wujud kemarahan Batara Wisnu.

Prabu Sri Kresna murka dan menjadi Triwikrama
Begitupun para Kurawa lainnya juga Patih Sengkuni, Adipati Aswatama, dan Prabu Anom Burisrawa. Mereka semua berdesakan lari dari balairung mencari tempat perlindungan. Namun secara ajaib, Triwikrama Prabu Sri Kresna menciptakan seribu Wrekodara dengan gada Rujhapala dan Seribu Arjuna membawa Gandewa dan panah Pasopati menghadang para Kurawa. Prabu Duryudhana ngeri sehingga hampir pingsan. Sementara itu, Maharesi Bhisma bersama Mpu Krepa, Adipati Dretarastra, Arya Widura, Begawan Dorna, dan Adipati Karna menyembah hormat tanpa rasa takut mohon pada Gusti kang Murbeng Jagat agar sang titisan Batara Wisnu jangan menampakkan kemurkaannya.

Tak lama kemudian, datang cahaya yang jauh lebih terang lagi. Rupanya itu Batara Dharma. Ia menasehati sang triwikrama jangan terus murka. Triwikrama berkata " AKU TAK AKAN MENGUBAH TAKDIR DENGAN MURKA TERUS. DHARMA, PARASURAMA, KANWA, DAN JANAKA! KALIAN AKAN AKAN JADI SAKSI GAGALNYA PERUNDINGAN DAMAI INi." Batara Dharma dan keempat dewa yang mendampingi Sri Kresna pun kembali ke kahyangan membawa kabar itu. Sang Triwikrama lalu berkata kepada setiap orang di balairung istana "YANG AKU HARAPKAN HANYA KEDAMAIAN. AKU SUDAH MENGUSAHAKAN TAPI TETAP SAJA KEDAMAIAN MASIH SAJA BELUM TIBA DI NEGERI INI! KERAJAAN INI PENUH DENGAN ORANG-ORANG YANG TIDAK BENAR, BUTA, BISU, DAN TULI. PENUH DENGAN PENJILAT SEPERTI SENGKUNI DAN ORANG BEBAL NAN SOMBONG SEPERI KAU DURYUDHANA! . SEKARANG BIARLAH SENJATA YANG AKAN BICARA! PERBINCANGAN TELAH BERAKHIR! DAN PERANG AKAN DIMULAI! INI ADALAH AWAL KEHANCURAN DARI PERANG BESAR. PERANG BESAR BHARATAYUDHA AKAN DIGELAR!" Lalu Triwikrama meniupkan terompet Pancajanya miliknya. Suaranya bergema di seluruh Jawadwipa dan Hindustan. Bahkan Para Pandawa, para raja di seantero negeri, dan para dewa-dewi di kahyangan terkaget-kaget mendengarnya. Setelah meniupkan terompetnya, Triwikrama kembali ke wujud Prabu Sri Kresna semula. Maharesi Bhisma lalu berkata “anakku Sri Kresna, kau sudah meniut terompet Pancajanya, dengan ini tanda peperangan sudah dipastikan akan terjadi.” “karena ini sudah cukup, kakek Maharsi! Duryudhana sangat cinta akan dunianya. Aku sudah berusaha memberinya peringatan tapi dia tetap daam kebebalannya!” meski mereda, Sang Narayana pun masih dalam kemarahannya berkata kepada Prabu Duryudhana “Kalian Semua! Khususnya Kau Duryudhana, Segera Tentukan Waktu Dan Tempat Perangnya! Disitulah Kita Akan Bertemu!” Prabu Sri Kresna pun pergi berlalu seraya meminta maaf pada semuanya karena kekacauan yang terjadi. Maka ia pun kembali ke Upalawaya untuk memberitahukan hasil perundingan yang tidak berhasil itu. Prabu Duryudhana berusaha kembali menahan Sri Kresna “Kau mau pergi kemana Sri Kresna?! Prajurit, cepat tahan dia!” namun entah dengan kekuatan apa, para prajurit tak mampu menahannya.

Di Panggombakan, Dewi Kunthi menerima kedatangan sang putra sulung, Adipati Karna. Adipati Karna mengabarkan bahwa perang antara Pandawa dan Kurawa sudah tak terelakan yang aritnya takdir bahawa dirinya dengan Arjuna akan saling berperang sudah tak terhindarkan. Dewi Kunthi menjadi berduka. Ia memberanikan diri membujuk sang Aradeya supaya membela Pandawa.

“Suryatmaja putra pertamaku, ketahuilah perang besar akan segera terjadi. Namun ini perang saudara, Ibu sangat ngeri.”

“Saya tak pernah bersama Pandawa saudara-saudara mudaku itu. Duryudhana juga saudaraku, kami sama-sama menantu Rama Prabu Salya. Dan yang terpenting, para Kurawa selalu menghargaiku.”

“Tidakkah kau melihat para Pandawa itu telah menderita 13 tahun dan masih saja Kurawa tak mau mengalah sedikitpun?”

“Saya tahu, Ibu. Tapi mungkin itu urusan mereka. Saya hanya merasa harus berterima kasih kepada Duryudana dan para Kurawa atas semua yang dilewati selama ini.”

“Ibu masih membayangkan apa yang terjadi nanti, kengerian yang terjadi. Dan tidak sanggup melihat putra-putra Ibu akan saling bertarung.”

“Ini seperti sudah digariskan dalam takdir, Ibu. Soal itu kita lihat nanti bagaimana kami saling bersikap. Namun aku telah memikirkan apa yang aku pilih.” jawaban sang Suryaputra membuat hari Kunthi agak tenang namun juga perih dan risau tak terkira. Hati ibu mana yang tega rela membiarkan garis takdir yang kejam mengantarkan kedua putranya akan saling membunuh satu sama lain.

Di Upalawaya, para Pandawa juga prabu Matswapati sekeluarga yang juga turut hadir di sana menerima kedatangan Prabu Sri Kresna. Kedatangan sang prabu bersamaan dengan sembuhnya Bambang Irawan. Bambang Irawan mengucapkan selamat atas pernikahan kedua sang kakak, Abimanyu dengan Dewi Utari dan tidak bisa hadir di resepsi pernikahan sang kakak karena serangan Ditya Lembusana tempo hari. Lalu, Prabu Sri Kresna berkata dengan raut wajah yang kesal mengabarkan bahwa perundingan tak berhasil dan tidak mungkin cara damai dipakai. " Perundingan sangat alot bahkan setelah aku memberi kesempatan berkali-kali, Duryudhana tidak mau memberikan Amarta. Perang Bharatayudha sudah tidak bisa dielakkan.." Maka Pandawa segera mengirim utusan ke negara-negara sahabat juga sekutu mereka dan segara membentuk aliansi persekutuan untuk persiapan perang Bharatayudha.


Selasa, 21 November 2023

Gonjalisuta (Samba Juwing)

 Hai semua pembaca dan penikmat kisah pewayangan. Kisah kali ini mengisahkan tentang perang Gonjalisuta, perang antara Prabu Boma Sitija melawan ayahnya, Sri Kresna. Dalam kisah ini juga dikisahkan Samba dikutuk hamil lalu melahirkan sebuah moshala (gada besi) akibat mengejek Batara Narada dan kelak karena gada itulah kejayaan Wangsa Yadawa akan berakhir dan akan menumbalkan nyawa Sri Kresna. Kisah ini juga prolog pertama menuju Bharatayudha.  Kisah ini mengambil sumber dari Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa,  https://albumkisahwayang.blogspot.com/2019/04/perang-gojalisuta.html, https://www.kompasiana.com/jayakardi/550d93d8a33311781b2e3ccc/kisah-boma-2-anak-yang-terbunuh-oleh-ayahnya, https://caritawayang.blogspot.com/2015/05/samba-juwing.html, dan https://www.balipost.com/news/2022/09/24/293961/Samba,Tukang-Onar.html dengan perubahan dan penambahan seperlunya.

Setelah menyelesaikan masalah di Upalawaya, Prabu Sri Kresna kembali ke kerajaan dan mendapati Raden Samba tiba-tiba hamil. Para pemuda Yadawa berkata kalau Samba berbuat nakal dengan berpura-pura jadi wanita hamil dan menggoda Batara Narada yang menyamar menjadi sorang pendeta. Para pemuda menirukan Samba saat itu "Maharesi, aku permaisuri Arya Babru, punggawa Sri Kresna. Apakah aku akan melahirkan bayi? laki-lakikah? atau perempuankah?" Batara Narada marah dan mengutuk Samba "Kurang ajar! kau bukan istri Babru! kau Samba anak Basudewa Sri Kresna! yang kau kandung itu bukan bayi! Kau mengandung sebuah senjata penghancur Trah Yadawa!" para pemuda juga mengatakan kalau Batara Narada juga mengutuk Samba akan mengalami dua kematian yang tragis. Prabu Sri Kresna marah sekali mendengarnya, lalu ia membedah perut Samba secara gaib dan mengambil senjata penghancur itu. Senjata itu berupa gada besi (moshala). Prabu Sri Kresna segera menghancurkan senjata itu dan menyebarkan abunya ke laut.

Samba melahirkan sebilah gada besi
Raden Samba diperintahkan bapaknya untuk bertapa demi merenungi kesalahannya " Samba, Kau Sudah Berbuat Macam-macam dengan Déwa. Sebagai Hukuman, Pergilah dari sini dan bertapa sana !" Samba pun kaget dengan kemarahan sang ayah dan segera pergi ke Astana Gandamadana, tempat tinggal sang kakak, Resi Gunadewa. Selama ia bertapa, ia teringat pada iparnya, Dewi Hagnyanawati. Ia selalu terbayang-bayang akan ayu paras kakak iparnya itu.  Ia jatuh cinta. Maka ia curhat kepada sang kakak " kakang, aku tidak bisa menghilangkan Yunda Hagnyanawati dari pikiranku. Sepertinya aku jatuh cinta padanya. Bantu aku kakang agar akau bisa bertemu dengannya." Resi Gunadewa kaget mendengarnya dan berkata " Samba, kau ini benar-benar gila! Hagnyanawati itu kakak iparmu, isteri kakang prabu Sitija. Buang pikiranmu yang ngeres itu. Kau sendiri punya anak dan isteri. Ingat-ingat Harya Dwara dan Dinda Sunggatawati." Raden Samba tersinggung " kakang tega! Sungguh kau bukan kakangku lagi. Aku akan menjemput Yunda Hagnyanawati baik dengan restumu atau tidak. Persetan dengan itu!." Maka pergilah Samba menuju Trajutrisna meninggalkan sang kakak.

Di kerajaan Trajutrisna, Dewi Hagnyanawati baru melahirkan putranya dengan Prabu Boma Sitija yakni Bambang Kismaka. Setelah selesai masa nifas, Dewi Hagnyanawati kembali tidak mau disentuh sang suami. Prabu Boma Sitija berkata " isteriku, kenapa kau ini? Jangan buat aku berdosa dengan tak memberikan nafkah batin." "Kakanda, aku hanya lelah dengan ini. Tapi rasa lelah ini akan hilang jika kakanda mau membuatkan jalan lurus dari Trajutrisna dengan Giyantipura." Tanpa pikir panjang, Tumenggung Ancakogra dan Tumenggung Yayahgriwa diperintahkan membuat jalan itu. Meski siapapun yang menghalangi, lebih baik disingkirkan saja. Jalan lurus itu rupanya harus memotong Astana Gandamadana. Resi Gunadewa tidak berkenan karena Astana ini adalah tempat leluhur Trah Yadawa bersemayam dan wilayahnya ada di Mandura. Maka ia memanggil sang kakak sepupu yakni Arya Wisatha, putra mahkota Mandura untuk menengahi. Meskipun demikian, tetap tak ada jalan tengah untuk masalah ini. Tumenggung Yayahgriwa tetap memaksa Resi Gunadewa menandatangani akta kontrak pembebasan lahan. Arya Wisatha marah " kau benar-benar tidak beretika, tumenggung. Jangan memaksakan kehendak. Rajamu, Dinda Sitija pasti sedang sakit jiwa karena menuruti keinginan Dinda Hagnyanawati. Kami lebih baik mati berkalang tanah daripada membiarkan leluhur kami tersiksa di akhirat." Tak terima sang raja dihina, terjadilah perang di Gandamadana. Perang tanding tak terelakkan. Tumenggung Yayahgriwa mengabulkan perkataan Resi Gunadewa dan Arya Wisatha. Ia lantas menghantam kepala resi muda dan putra mahkota Mandura itu menggunakan gada di tangannya. Resi Gunadewa pun gugur seketika dengan kepala remuk.

Sengketa Astana Gandamadana
Namun Arya Wisatha yang sudah terluka parah masih bisa membunuh Tumenggung Yayahgriwa dengan meremukkan kepalanya. Setelah berhasil, Arya Wisatha akhirnya gugur menyusul adik sepupunya itu. Patih Pragota segera memanggil bala bantuan dan berhasil mengusir pasukan Trajutrisna dengan kedatangan Arya Sencaki. Arya Sencaki berkata "masalah ini bisa diselesaikan oleh tiga raja negara masing-masing . Kakang Prabu Baladéwa, kakang Prabu Sri Kresna, dan Ananda Prabu Boma harus berunding masalah ini." Mereka pun setuju namun Tumênggung Ancakogra tidak setuju maka ia menyerang Sencaki lalu tak berapa lama, tewaslah Ancakogra bersama Tumênggung Yayahgriwa. Arya Sencaki dan Arya Pragota membawa jasad Gunadewa dan Wisatha juga dua tumenggung Trajutrisna itu untuk segera dikebumikan secara layak.

Sementara itu, Samba bertemu Arjuna dan Prabu Gatotkaca. Arjuna mengajak keponakannya yang masih berduka karena kematian Kalabendana untuk hendak menjenguk isteri dan anak Samba yang tak lain putri dan cucu Arjuna yakni Dewi Sunggatawati dan Harya Dwara. Samba berkata pada mertuanya kalau dia ingin menikah lagi dengan Dewi Hagnyanawati. Arjuna marah besar mendengar " Samba! Kau sungguh tak punya hati! putriku hendak kau madu dan kau akan memadunya dengan iparmu. Kau benar-benar memalukan!" Samba balas menjawab " ayah sendiri apa bedanya? Kau sendiri berapa isterimu? Tak salah buatku untuk menikah lebih dari satu orang!" Arjuna terkena skakmat. Ia sadar kalau ia sendiri isterinya banyak tapi ia berkata "kalau itu mau lakukan lah, tapi aku tetap tidak akan merestuimu merebut isteri saudaramu sendiri!" Gatotkaca segera membawa Samba ke Trajutrisna" nah turunlah, aku hanya bisa mengantar sampai sini. Setelahnya usahakan sendiri. Aku tidak mau terlibat drama ini."

Di tempat lain, Prabu Boma Sitija bertemu ibunya, Dewi Pertiwi. Ia menanyakan tentang kejelasan rumah tangganya. Dewi Pertiwi berkata " anakku, tak perlu kau pusingkan isterimu itu. Dia tidak mungkin setia kepadamu. Hatinya tertambat pada yang lain sekarang. Tepatnya pada Samba, adikmu." " Apa ibu Bilang...? Kurang Ajar Si Samba..." Dewi Pertiwi menyabarkan putranya itu. " Anakku, tunggu dulu....kau ingin menghukum adikmu karena hal ini? Coba pikirkan lagi....Apa gunanya menyalahkan Samba apabila Hagnyanawati ternyata bukan wanita setia? Kecuali jika Samba yang memaksa, boleh kiranya ananda membela istrimu. Namun, Hagnyanawati sendiri juga melayani Raden Samba tanpa mengajukan syarat aneh-aneh segala." Prabu Boma terdiam merenungi ucapan ibunya. Ia lalu mohon pamit kembali ke Kerajaan Trajutresna untuk menceraikan Dewi Hagnyanawati dan menyerahkannya kepada Samba.

Di keraton Trajutrisna, Samba bertemu Dewi Hagnyanawati di taman keputren secara diam-diam. Sang permaisuri yang baru melahirkan itu awalnya cuek dengan Samba. Lama-lama ia luluh dan terjebak rayuan gombal Samba. " Yunda ehh sayang....kalau kau bosan dengan kakang Sitija, ceraikan saja dia lalu menikahlah denganku." " Ahhh dimas....bisa aja." Perbuatan amoral Samba dan Hagnyanawati itu diketahui para dayang dan segera diberitahukan kepada Patih Pacadnyana. Sang patih murka mendapati kabar itu, adik sang raja yang ia junjung tinggi justru bermain asmara dengan istri rajanya itu. Patih Pacadnyana menuju keputren dan menangkap Samba. Sang Patih mars besar dengan berkata " Kau Binatang! Kau Memadu Kasih dnegan Iparmu Sendiri. Benar-benar Kau Aib Trah Yadawa!" Samba berteriak minta tolong ketika hendak diseret oleh Patih Pacadnyana. Suara teriakannya terdengar oleh Prabu Gatotkaca yang masih menunggu di luar istana. Prabu Gatotkaca pun melesat terbang lalu menerjang turun untuk menolong Samba. Patih Pacadnyana ditendangnya hingga jatuh terjungkal. Sejumlah prajurit raksasa pun tewas oleh amukan Prabu Gatotkaca. Namun, Prabu Gatotkaca tidak mau memperpanjang masalah. Ia mengajak Samba untuk segera pulang ke Kerajaan Dwarawati. Dewi Hagnyanawati ingin ikut serta karena ia merasa dirinya sudah menjadi milik Samba. Samba juga tidak mau pulang apabila tidak bersama kekasihnya tersebut. Prabu Gatotkaca terpaksa menggendong mereka berdua dan melesat terbang ke angkasa meninggalkan Patih Pacadnyana yang memanggil bala bantuan. Prabu Boma Sitija yang baru kembali mendapati kabar kalau Samba membawa Hagnyanawati menjadi lega. Ia mengutus Patih Pacadnyana untuk mengirimkan surat cerai kepada isterinya.

Singkat cerita, Prabu Sri Kresna dan Baladéwa bersama Arjuna baru saja melaksanakan upacara ngaben untuk Resi Gunadewa, Arya Wisatha, Tumênggung Ancakogra, dan Tumênggung Yayahgriwa. Di sana juga ada Patih Sengkuni yang ikut berkabung karena bagaimanapun, Wisatha adalah keponakan Prabu Duryudhana. Di sana datanglah Samba dan Dewi Hagnyanawati diturunkan oleh Prabu Gatotkaca di Kerajaan Dwarawati dan mereka langsung menghadap Prabu Sri Kresna. Prabu Sri Kresna sangat marah melihat ulah putranya itu. “Samba! Kau Benar-benar Tak Punya Moral. Kakangmu, Gunadewa dan Wisatha baru saja gugur secara kesatria mempertahankan Astana Gandamadana, Kau Malah Melakukan Hal Nista! Ulahmu sama sekali bukan perbuatan kesatria, Kau Benar-benar seorang pengecut yang memalukan." Dewi Hagnyanawati menyela ikut bicara membela Samba. "Tunggu ayahanda, bukan salah dimas Samba yang membawanku kabur, tetapi aku sendiri yang ingin ikut dibawa kemari.” Prabu Sri Kresna semakin marah dan menyebut Dewi Hagnyanawati perempuan tercela " Hagnyanawati! Kau Benar-benar Jalang!!! Tidak Bisa Menjaga Kehormatan Diri, Maruah Suami, juga Maruah Rumah Tangga!! Karena Keinginan Anehmu, Putraku Gunadewa, Keponakanku Wisatha, dan Tumenggung Yayahgriwa juga Ancakogra tewas karenamu!!" Dewi Hagnyanawati tertunduk malu bercampur takut. Raden Samba yang seumur hidup selalu dimanja oleh Prabu Sri Kresna, baru kali ini ia ketakutan melihat sang ayah marah besar kepadanya. Prabu Sri Kresna menyuruh dua manusia candala itu mandi kembang dan menunggu hukuman selanjutnya.

Lalu tak lama kemudian datang Patih Pacadnyana membawa surat cerai dari Prabu Boma Sitija untuk Dewi Hagnyanawati. Di dalam surat itu bahkan putranya dan Pertiwi itu bersedia membiayai pernikahan mereka. Prabu Sri Kresna terenyuh hatinya dengan kebesaran hati putranya itu dan meminta sang patih menunggu di sana. Ia pun memanggil Raden Samba dan Dewi Hagnyanawati untuk menjelaskan kehendak Prabu Boma kepada mereka. Raden Samba dan Dewi Hagnyanawati merasa takut apabila kembali ke Kerajaan Trajutrisna, namun Prabu Sri Kresna menjamin mereka akan baik-baik saja. Karena sang ayah sudah menjamin demikian, maka Samba dan Dewi Hagnyanawati pun bersedia ikut bersama Patih Pacadnyana. Patih Sengkuni lalu mendekati Arjuna dan memberikan pendapatnya soal ini. "Arjuna...apa kau tidak curiga kok bisa Sitija selegawa itu. Jangan-jangan ada udang di balik batu. Bisa jadi itu hanya alasan untuk menghukum Samba. Apa kau mau kalau cucumu, Dwara jadi anak yatim?" Ucapan Sengkuni menancap di pikiran Arjuna. Ia pun minta izin pada Sri Kresna untuk menyusul Patih Pacadnyana dan berkata kalau ia takut Samba akan dibunuh dan cucunya menjadi yatim. Prabu Sri Kresna kaget mendengar ucapan ipar sekaligus sepupunya itu. Hendak ia mencegah namun terlambat, dengan mengandalkan Aji Sepi Angin, Arjuna berhasil menyusul Patih Pacadnyana. Tanpa banyak bicara ia menendang patih raksasa tersebut, lalu membawa Samba beserta Dewi Hagnyanawati kembali ke Kerajaan Dwarawati.

Patih Pacadnyana merasa dipermainkan oleh drama antara rajanya dan Arjuna. Maka ia menulis sebuah surat palsu dengan darahnya. Ketika ia datang, ia menyerahkan surat itu seolah-olah ditulis oleh Arjuna sebagai tantangan perang dan berkata tak akan menyerahkan Samba kecuali dengan perang. Boma Sitija marah dan merobek-robek surat itu. Sejak tadi ia menahan marah karena istrinya berselingkuh dengan adiknya sendiri. Meskipun ia mencoba ikhlas, namun isi surat yang kabarnya ditulis Arjuna telah menyakiti harga dirinya. "KURANG AJAR SI ARJUNA. KEBAIKANKU DIANGGAP PALSU, INI PENGHINAAN BAGIKU!" Prabu Boma Sitija pun memerintahkan Patih Pacadnyana untuk mempersiapkan semua pasukan Trajutrisna. Bersama-sama mereka berangkat menggempur Kerajaan Dwarawati. Prabu Boma tampak gagah duduk di atas kendaraannya yang berwujud burung garuda berkepala raksasa, bernama Paksi Wilmuna. Dalam perjalanan itu, Prabu Boma melihat Arya Wrekodara seorang diri. Ia pun mendarat menemui pamannya tersebut. Rupanya Arya Wrekodara sedang dalam perjalanan menuju Kerajaan Dwarawati untuk menyusul Arjuna dan Prabu Gatotkaca. Setelah mendengar cerita Prabu Boma tentang perselingkuhan Samba dengan Hagnyanawati, juga tentang Arjuna yang menantang perang dirinya, Arya Wrekodara merasa sangat terkejut. " Lah dalah...si Jlamprong kok sek sempat gawé masalah. Kudu diluruskan pikirane si Jlamprong ki." Dasar watak Arya Wrekodara yang selalu bersikap adil, ia pun ikut bergabung di pihak Prabu Boma untuk menemani keponakannya itu menuntut keadilan. Singkat cerita, perang terjadi sangat sengit. Perang antara saudara terjadi begitu mengerikan. Arjuna berperang dengan kakaknya. "Jlamprong, kau sungguh tega. Ulahmu gawe kerajaan iki banjir darah." " Apa aku salah kakang demi melindungi cucuku agar tak jadi yatim?" Arya Wrekodara menyadarkan Arjuna kalau khawatir itu boleh tapi tidak baik khawatir berlebihan. Arjuna sadar dan kini menyerah dengan sang kakak. Sementara Baladewa dan Gatotkaca melawan patih Pacadnyana dan pasukan Trajutrisna. Arjuna pun melawan Patih Pacadnyana yang telah memfitnahnya. Dengan sekali panah, sang patih Trajutrisna itu tewas.

Dalam kekacauan itu, Prabu Boma tidak ingin terlibat lebih jauh. Ia segera naik ke punggung Paksi Wilmuna untuk kemudian terbang mencari Samba dan Hagnyanawati.

Samba Juwing (Samba Sebit)
Rupanya kedua orang itu sedang berkasih-kasihan di dalam Taman Banoncinawi. Prabu Boma pun turun mendarat di hadapan mereka. Samba yang sedang memeluk Dewi Hagnyanawati dari belakang merasa terkejut. Prabu Boma berusaha ikhlas melihatnya, namun pikirannya terbayang betapa selama ini ia berusaha untuk bisa mendapatkan perhatian Dewi Hagnyanawati, ternyata semuanya sia-sia belaka. Paksi Wilmuna melihat rajanya sedang bimbang. Ia pun berbisik agar Prabu Boma memantapkan hati. Bagaimanapun juga Samba adalah penjahat yang sudah merusak rumah tangga orang lain. Hukum harus ditegakkan. Prabu Boma termakan ucapan Paksi Wilmuna. Ia lalu menarik tangan Raden Samba yang masih memeluk Dewi Hagnyanawati. Raden Samba pun menjerit kesakitan. Rupanya kedua lengannya telah putus akibat tarikan Prabu Boma yang terlalu keras. Dewi Hagnyanawati menjerit ketakutan, sedangkan mata Samba melotot menahan sakit, jangan sampai ia menangis di hadapan sang kekasih. Prabu Boma sebenarnya menyesal telah menarik putus lengan Raden Samba. Namun teringat akan ucapan Paksi Wilmuna, ia kembali terbakar amarah. Dalam amarahnya itu, jari tangan Prabu Boma bergerak kejam mencongkel kedua bola mata Raden Samba hingga terjulur keluar, bergantung-gantung di pipi kiri dan kanan.

Menyadari keadaannya sudah cacat parah, Raden Samba tidak merintih, tetapi justru tertawa pahit karena merasa kutukan yang diucapkan Batara Narada tidak akan lama lagi akan terjadi. Sebaliknya, Prabu Boma justru menangis tersedu-sedu karena telah berbuat sedemikian kejam kepada sang adik. Namun Prabu Boma kembali terbakar amarah dan tangannya pun merobek mulut Samba hingga menganga lebar. Prabu Boma tidak bisa mengendalikan dirinya lagi. Seperti kesetanan, ia menarik kepala Samba hingga leher putus, serta mengeluarkan isi perut adiknya itu hingga berserakan di tanah. Meski demikian Samba masih tetap hidup seakan ia tersiksa. Dewi Hagnyanawati yang menyaksikan peristiwa itu tidak bisa menangis lagi. Air matanya seolah kering dan mulutnya seolah bisu. Prabu Boma berdiri menghampirinya dan mengajak Dewi Hagnyanawati pulang ke Kerajaan Trajutrisna. Namun, Dewi Hagnyanawati berlari mendekati Samba uang sudah sekarat, mengambil keris yang terselip di pinggang kekasihnya itu, lalu bunuh diri menusuk leher sendiri. Seperti orang kerasukan, Prabu Boma Sitija menginjak-injak jasad dua pelaku perbuatan nista itu. Kutukan Samba yakni mengalami dua kematian yang mengerikan yakni dengan cara di juwing (termutilasi) dan diinjak-injak oleh kakaknya sendiri.

Prabu Sri Kresna yang sedang di istana mengamankan orang-orang kaget melihat Samba dan Hagnyanawati sudah tewas bersimbah darah. Lebih-lebih jasad Samba yang telah termutilasi dengan kejam dan remuk diinjak-injak oleh Sitija. Dewi Jembawati pingsan mengetahui fakta itu. Dua putranya tewas. Ia pun dipapah oleh Dewi Radha, Dewi Rukmini, dan Dewi Setyaboma. Jembawati lemas dan menangis " Radha, Rukmini....bencana apa yang telah aku buat....Anak-anakku harus tewas dengan cara begini." Dewi Rukmini sambil menangis menyabarkan madunya itu " tenanglah Jembawati.....tabahkan hatimu......" Dewi Radha memeluk sahabatnya itu " Jembawati.....ini takdir kita....bersabarlah....tabahkan hatimu...." Dewi Setyaboma menyodorkan air untuk menenangkan hati Jembawati " minum lah dulu, yunda...tenangkan hatimu...." Keempat isteri Kresna itu bersujud memohon doa " Dewata, dosa apakah yang menyebabkan bencana seperti ini." Prabu Sri Kresna marah besar. lalu mengajak perang antara ayah dan anak.

Prabu Boma Sitija terjun ke tanah menghadapi Prabu Danuasmara alias Partajumena/Pradyumna dan Arya Saranadewa, putra-putra Prabu Sri Kresna dengan Dewi Rukmini. Kematian Resi Gunadewa dan Arya Wisatha membuat Partajumena tidak lagi menganggap Prabu Boma sebagai saudara tua. Ia pun menghujani Prabu Boma dengan ratusan anak panah. Prabu Boma tidak mampu menghindar dan akhirnya tewas terkena panah-panah itu. Namun, Aji Pancasonya yang dimiliki Prabu Boma membuatnya hidup kembali begitu jasadnya menyentuh tanah. Prabu Partajumena kembali menyerang Prabu Boma dengan panah-panahnya. Prabu Boma berkali-kali tewas, namun selalu saja hidup kembali ketika menyentuh tanah. Pertarungan ini membuat Raden Partajumena letih dan ganti dirinya yang terdesak oleh serangan Prabu Boma. Namun, tiba-tiba Arya Setyaka, putra Prabu Sri Kresna dengan Dewi Setyaboma muncul menyambar tubuh kakaknya dan membawanya kabur. Prabu Partajumena marah karena dihalangi untuk mati "Dimas, Kau Keterlaluan! Aku lebih baik mati daripada meninggalkan pertempuran seperti ini." Arya Setyaka menampar sang kakak dan menjawab "sadarlah kakang, kumohon kakang!!...hiduplah demi aku, demi ayahanda, demi ibu kita, demi yunda Rukmawati dan nanda Anirudha! Aku sudah jengah...sudah cukup kita kehilangan kakanda Gunadewa, kakanda Wisatha, dan kakanda Samba. Aku tidak mau kehilangan satu orang saudara lagi. Prabu Partajumena pun terkejut mendengar Samba sudah meninggal pula. Arya Saranadewa juga berkata " kakang, kumohon kita hidup lebih baik......kita harus bersatu. Berjanjilah kita akan hidup lebih panjang dan lebih mulia." Prabu Boma lalu menerjang Gatotkaca namun kaki ini Gatotkaca memurti menjadi wujud Krodhanya. Tak mau kalah, Boma ikut memurti/krodha menjadi raksasa. Kekuatannya keduanya setara namun karena aji Pancasonya, Gatotkaca kelabakan. Boma melemparkan senjatanya ke arah Gatotkaca namun ia dihalangi panah dari Arjuna. Boma Sitija marah dan menyerang sang panengah Pandawa. Arjuna luka-luka namun ia mampu bertahan.

Prabu Sri Kresna murka karena sang kusir dharma yang ia persiapkan diserang putranya sendiri. Ia lalu mengheningkan cipta dan sukmanya yakni Sukma Wisnuhari bertemu ibu Sitija yakni Dewi Pertiwi. " Dinda aku tau ini berat. Tapi jika terus dibiarkan, Sitija bisa menghancurkan jagat. Kalau itu terjadi Bharatayuda tak akan bisa digelar dan dunia akan tenggelam dalam kejahatan. Aku mohon dengan hati yang paling dalam bantu aku membebaskan putra kita dari lingkaran dosa ini." Dewi Pertiwi sedih. Ia sudah menduga kalau perang ini akan terjadi. Maka ia mengambil jaring Anjang-anjang Kencana dan menyerahkannya kepada sang suami. Seketika jaring yang tercipta dari pecahan Gamparan Kencana dan Topeng Waja itu telah terhampar di tengah medan laga. Di sana Prabu Gatotkaca, Prabu Patajumena/Danuasmara, Arya Setyaka, dan Arya Saranadewa sudah memegangi ke empat ujung jaring ajaib itu. Prabu Sri Kresna menyuruh Gatotkaca menarik perhatian Boma. Di saat yang tepat, Prabu Sri Kresna melemparkan Cakra Widaksana ke arah Boma Sitija. Terpenggallah kepala Sitija dan ia pun roboh. Namun kepala dan badannya tertahan Anjang-anjang Kencana sehingga tak menapak tanah. Aji Pancasonya tak berfungsi lagi. Sebelum ia menghembuskan nafas terakhirnya Sitija bertanya " ayahanda, kenapa bagimu paman Arjuna sangat istimewa?"

Sitija Gugur, Perang Gonjalisuta berakhir
Dengan berlinang air mata, Prabu Sri Kresna berkata " karena dia juga bagian dari diriku. Ketika Aku turun ke dunia bersama kedua ibumu, aku membelah diriku dengannya. Jika aku adalah Wisnu maka dia adalah Jisnu. Jika aku adalah Narayana maka dia adalah Nara. Bagaimanapun, Kami berdua adalah ayahmu." Sitija bersedih hati tapi ia merasa lega bisa kembali ke surga berkat perantaraan dua ayahnya itu. Sitija pun gugur dengan tubuh masih tertahan Anjang-anjang Kencana.

Tidak lama kemudian datang pula Dewi Pertiwi. Ia menemui Prabu Sri Kresna untuk menjemput pulang sukma/jiwa Boma Sitija. Prabu Sri Kresna mempersilakan. Perlahan-lahan sukma Prabu Boma keluar setelah terjebak di dalam Anjang-Anjang Kencana. Bersama sang ibu, sukma Sitija kembali bernama Batara Sitija, mohon pamit kepada Prabu Sri Kresna untuk kemudian kembali ke kahyangan. Kematian Prabu Boma Sitija membuat yang berperang sangat terpukul namun rupanya Sengkuni yang telah menghasut Arjuna justru bahagia. Calon senapati hebat yang mampu membantu Pandawa seperti Sitija telah ia singkirkan. Sementara itu, Arjuna menyalahkan dirinya sendiri. Karena keegoisannya lah penyebab perang ini terjadi. Sekarang ketakutannya yakni Harya Dwara menjadi yatim telah terpenuhi. Maka ia pergi dari sana dan memutuskan bertapa brata untuk beberapa waktu. Gatotkaca yang berniat menghilangkan duka malah kembali menciptakan duka lagi. Arya Wrekodara memeluk putranya itu demi menyembuhkan luka batin di hatinya. Akhirnya, Kerajaan Dwarawati mengambil alih sementara Trajutrisna sampai ahli waris yakni Bambang Kismaka, putra Boma Sitija dewasa. Sejak perang itu, era kemunduran trah Yadawa sudah mulai di depan mata.


Minggu, 19 November 2023

Kidung Sudamala

 Hai semua pembaca dan penikmat kisah pewayangan! Kisah kali ini menceritakan perjalanan Arya Sadewa untuk menyembuhkan ibunya, Dewi Kunthi yang sakit lewan bantuan Batari Durga yang berakhir bukan hanya dewi Kunthi berhasil sembuh, tapi juga berhasil meruwat Batari Durga kembali menjadi cantik. Kisah ini mengambil sumber dari https://caritawayang.blogspot.com/2015/04/sudamala.html dengan perubahan dan penambahan seperlunya.

Suatu ketika, Batara Guru pernah menguji Batari Durga dengan berpura-pura sakit dan minta obat berupa susu sapi putih milik seorang penggembala muda. Batari Durga bersedia. Maka ia memintanya namun sang penggembala meminta syarat yakni harus tidur dengannya. Durga tentu saja tidak mau tapi si penggembala mengancam kalau ia tidak akan mendapatkan susu itu di tempat lain. Mau tidak mau, Batari Durga setuju " baiklah, aku akan memenuhi syarat darimu." Lalu ketika ia dan si penggembala tidur bersama, Si penggembala berubah wujud kembali sebagai Batara Guru. Batara Guru menganggap isterinya itu tidak setia. Batari Durga hendak membela diri tapi tak diberi kesempatan. Maka Batara Guru mengutuk Batari Durga menjadi raksasa bernama Ra Nini. Ra Nini pun tinggal di Alas Krendhawahana ditemani oleh Dewi Kalikamaya.

Di Negara Hastinapura, Prabu Duryudhana kedatangan dua orang raksasa Kalanjaya dan Kalantaka yang bersedia membantu menumpas Pandawa bersama para prajurit Hastinapura. Di tengah perjalanan dihadang oleh Prabu Gatotkaca dan para putra Pandawa, sehingga terjadi pertempuran. Anehnya, kekuatan para putra Pandawa tidak mampu mengalahkan Kalanjaya dan Kalantaka. Pertempuran itu pada akhirnya dimenangkan para Kurawa. Sementara itu di Kadipaten Upalawaya, Para Pandawa yang sedang bermuram durja, dihadapkan Prabu Sri Kresna membicarakan perihal Dewi Kunthi yang sedang menderita sakit dan belum ditemukan cara penyembuhannya, sedangkan Arya Sadewa yang diutus untuk menghadap Maharesi Abiyasa, belum kunjung tiba. Tak lama kemudian datang Arya Sadewa yang menghaturkan sabda Resi Abiyasa " aku menerima kabar dari kakek Maharesi. Penyakit kanjeng ibu jadi seperti ini karena kerasukan. Untuk menolong kanjeng ibu, harus meminta bantuan pada Ida Batari Durga." Prabu Sri Kresna mengusulkan agar para Pandawa mengucapkan nadar (janji) yang ditujukan kepada Dewi Kunthi. Arya Sadewa mengajukan diri untuk memenuhi nadar itu. Arya Sadewa dan Dewi Kunthi pun pergi meninggalkan Upalawaya. Sang kakak, Arya Nakula tidak tega melihat adiknya melakukan ini sendirian. Maka ia mohon pamit untuk menyusul. Bersamaan dengan ini datang musuh yang ingin menumpas para Pandawa hingga terjadi pertempuran, Arya Wrekodara dan tiga Pandawa dapat dikalahkan dan nyaris ditelan oleh raksasa Kalanjaya dan Kalantaka. Untungnya Prabu Sri Kresna menolong mereka. Namun Arya Nakula menghilang entah kemana.

Dewi Kunthi yang sedang sakit jiwanya pergi bersama Arya Sadewa jauh ke tengah Alas Krendhawahana, tempat bersemayamnya Batari Durga.

Arya Sudamala
Di sana kerasukan ibu para Pandawa itu makin parah bahkan Dewi Kunthi dimasuki roh Dewi Kalikamaya utusan Batari Durga yang menyatakan cintanya kepada Arya Sadewa. " Ah kakanda ganteng...nikah yuk....." Arya Sadewa menolaknya maka ia diikat di batang pohon oleh Dewi Kunthi yang tengah kerasukan Kalikamaya. Arya Sadewa bertanya "mana gusti Ida Batari?" Lalu datang sosok Ra Nini. Sosok Ra Nini lalu berkata meminta agar ujudnya kembali menjadi cantik jelita”Hei Sadewa, cepat ruwat diriku!” namun Sadewa menolak permintaan Ra Nini " aku tidak bisa meruwat seseorang. Aku bukan titisan dewa. Aku manusia biasa. Katakan, dimana Gusti Ida Batari?!" Mendengar jawaban itu, maka murka lah Ra Nini." Bodoh! Aku gusti Ida Batari yang kau cari! Cepat ruwat aku kembali seperti sediakala." Arya Sadewa ketakutan namun ia dengan tenang ia berkata tidak. Arya Sedewa terus menolak dan berkata kalau dia tidak bisa. Di saat demikian, Ra Nini makin murka dan berubah menjadi sosok raksasa ganas dengan taring runcing, mata melotot menakutkan, dan raut muka yang marah hendak menelan Arya Sadewa bulat-bulat. Pada saat itu, Batara Guru datang dan memberi kekuatan sakti. Kekuatan itu memasuki raga Sadewa hingga membuat Ra Nini lunglai dan memasrahkan diri. Lalu Arya Sadewa mendekat dan tangannya memerciki sekujur tubuh Ra Nini dengan air dari Cupu Tirtamayadi. Ra Nini pun berhasil diruwat lah oleh Arya Sadewa. Tubuh Ra Nini pun seketika diselimuti asap tebal dan seketika muncul cahaya emas. Ketika cahaya itu memudar, kembali lah wujudnya sebagai Batari Durga, kali ini sang Batari dalam wujud terbaiknya yakni wujud Dewi Uma, dengan wajah ayu dan kepala bermahkota bunga-bunga dengan aroma yang harum wangi. Dewi Kalikamaya pun ikut diruwat kembali sebagai bidadari yang cantik bernama Dewi Mayakresna. Atas keberhasilan Arya sadewa meruwat Batari Durga, Batara Guru memberikan anugerah nama dengan sebutan Arya Sudamala dan kelak memperoleh jodoh putri dari pertapaan Pring Alas bernama Endang Soka, anak dari Begawan Tamba Petra. Sebelum pergi, Batari Durga memberi anugerah kepada Dewi Kunthi “Kunthi, terima kasih untukmu untuk meminjamkan ragamu untuk Kalikamaya. Karena jasamu juga, kau akan kuberi anugerah. Bukan sekadar penyakitmu yang kuangkat., tapi kau akan bisa melihat hal-hal di masa depan. Kumohon terimalah anugerah ini.” “Terima kasih, Gusti Ida Batari.” Ucap Dewi Kunthi berterima kasih. Setelah dirasa cukup, Batara Guru, Batari Durga, dan Dewi Kalikamaya kembali ke kahyangan.

Begawan Tamba Petra dan kedua putrinya, Endang Soka dan Endang Pradapa membicarakan perihal mimpi bertemu dengan seorang kesatria bernama Arya Sudamala. Di tengah pembicaraan, datang Arya Nakula dalam keadaan terluka. Rupa-rupanya, saat menghilang setelah pertarungan dengan dua raksasa, ia berhasil menyelamatkan diri lalu melanjutkan pencarian. Dalam perjalanannya, ia tersasar ketika mencari adik dan ibunya. Endang Pradapa segera menolongnya. “Ki sanak mari, kita masuk ke rumah. Sepertinya ki sanak bukan orang sini” “benar, Ni sanak. Aku Arya Nakula dari Upalawaya sana. Aku tersasar ketika diserang raksasa Kalanjaya dan Kalantaka.” Lalu beberapa hari setelah kedatangan Arya Nakula, datang seorang pengemabara dan ibunya. Mereka ialah Arya Sudamala dan ibunya, Endang Briha. Arya Sudamala berkata bahwa ia akan melamar Endang Soka. Namun Arya Nakula menghalangi niat Sudamala. " Hei orang asing...kau ini barus datang sudah mau melamar anak orang....kau benar-benar murahan." Arya Sudamala marah namun berhasil ditahan oleh ibunya Endang Briha. Namun Nakula terus mengejek Sudamala . Tak tahan lagi, terjadilah pertarungan antara Arya Nakula dengan Arya Sudamala. Keduanya bertarung dengan sangat sengit, tak ada satu pun dari mereka yang kalah ataupun menang. Endang Soka berusaha melerai " kalian berdua hentikan ! Kalau memang pernikahanku jadi masalah! Aku memilih tidak kawin!?" "Kakak, apa yang kau lakukan?! Kau sudah mendapat wangsit Dewata akan menikahi Sudamala. Bagaimanapun aku akan menikahinya." Dalam hati, Endang Soka bahkan sudah jatuh cinta walau belum pernah bertemu pandang. Endang Pradapa menjelaskan kalau benar datang wangsit Dewata kepada kakaknya kalau dia akan menikahi Arya Sudamala. Arya Nakula merasa bersalah. Ia minta maaf pada Sudamala. Sudamala berkata "kakang Pinten tidak perlu minta maaf, aku sudah memaafkan kakang." Arya Nakula kaget bagaimana Sudamala tau nama masa kecilnya " kau memanggilku Pinten?! Kenapa kau bisa tau?" Hanya adikku Sadewa yang memanggilku dengan nama itu." " Arya Sudamala tertawa "hahahaha.... tentu saja kakang. Aku ini Sadewa, adikmu kakang. Dan ini kanjeng ibu. Dia sudah sembuh." Arya Nakula memeluk adik kembarnya itu. Beberapa hari kemudian, acara pernikahan antara Sudamala dengan Endang Soka dan Nakula dengan Endang Pradapa pun digelar mewah. Begawan Tambapetra senang putri-putrinya sudah menemukan jodohnya.

Prabu Sri Kresna, Prabu Yudhistira, Arya Wrekodara dan Arjuna mencari Dewi Kunthi, Arya Nakula, dan Arya Sadewa, yang masih belum kembali. Pada saat itulah datanglah Kalanjaya dan Kalantaka sehingga terjadi pertempuran seru. Kekuatan mereka terdesak, lalu datang rombongan Nakula, Sadewa beserta isteri mereka. Arya Sadewa berdoa kepada Yang Mah Kuasa lalu menyentuh dahi kedua raksasa itu. Terjadi keajaiban, akhirnya kedua raksasa tumbang tak berdaya lalu berubah ujud sebagai wujud asal mereka, yakni Gandarwa Citragada dan Citrasena. Para Pandawa gembira dengan kesembuhan Dewi Kunthi. Namun Prabu Sri Kresna merasa ada tanda alam tidak baik dan arahnya dari kerajaannya sendiri. Prabu Sri Kresna bergegas pergi untuk menyelesaikan konflik di sana.

 


Jumat, 17 November 2023

Gendreh Kemasan (Kalabendana Gugur)

 Hai semua pembaca dan penikmat kisah pewayangan, kisah kali ini mengisahkan pernikahan Abimanyu yang kedua kali dengan Dewi Utari. Di kisah ini juga diceritakan gugurnya Arya Kalabendana karena tidak sengaja ditampar oleh Gatotkaca dan Irawan yang diserang pasukan dari negeri Pagaralun. Kisah ini mengambil sumber dari https://wayang.wordpress.com/2006/10/24/gendreh- kemasan/ dan  https://wayang.wordpress.com/2010/03/11/kala-bendana-gugur/

Setelah Pandawa mendirikan Kadipaten Upalawaya dan Prabu Yudhistira dilantik oleh Prabu Matswapati sendiri, sang raja sekeluarga masih merasa prihatin dan merasa bersalah. Maka demi memperbaiki hubungan, Dewi Utari akan dinikahkan dengan Arjuna. Namun Dewi Utari sudah kadung menganggap guru sekaligus cucunya itu sebagai ayah sendiri. Arjuna lau menceritakan tentang salah satu putranya yakni Bambang Gendreh Kemasan, bahkan menunjukkan lukisan wajah Gendreh Kemasan yang tampan. Seketika Dewi Utari kepincut dan jatuh hati minta dinikahkan oleh Gendreh Kemasan. Arjuna mengiyakan saja. Ia lalu segera membawa kabar ke Dwarawati.

Di Dwarawati, Abimanyu baru saja pulang dari Upalawaya setelah peresmian istana baru para pandawa. lalu Prabu Sri Kresna mendatangi Abimanyu. Dia berkata “Abimanyu, baik kau bersiap ke Wirata.” “memangnya kenapa aku harus ke Wirata? Aku baru saja ingin ke kamar dinda Siti Sundari.” Prabu Sri Kresna berkata lagi “Saat ini ayah dan para pamanmu ada di Wirata untuk membahas sesuatu yang penting. Mereka membahas tentang pernikahan Dewi Utari, putri bungsu eyang Matswapati.”Abimanyu lalu bertanya “lalu apa hubungannya itu denganku, paman?” Prabu Sri Kresna menjelaskan  “Menurut kabar yang telah sampai ke telingaku, bahwa yang akan menikahi Dewi Utari adalah Gendreh Kemasan” Abimanyu pun bertanya siapakah Gendreh Kemasan itu. Prabu Sri Kresna menjelaskan bahwa Gendreh Kemasan ialah orang yang beraura seperti pande emas (kemasan). Dia yang bisa mengeluarkan emas dari bongkahan batu, kiasan untuk orang yang memanggul amanat dari  wahyu Cakraningrat. Abimanyu seketika paham maksud sang paman. Orang yang dimaksud sebagai Gendreh Kemasan adalah Abimanyu sendiri. Abimanyu pun segera bersiap. Di saat menunggu Abimanyu bersiap, Prabu Sri Kresna juga sebenarnya  paham jika kabar ini adalah undangan untuk menentukan tanggal pernikahan Dewi Utari dan Abimanyu yang artinya pernikahan mereka akan dilaksanakan dalam waktu dekat. Maka agar Siti Sundari selaku isteri pertama Abimanyu tidak sakit hati, ia menyarankan agar keponakannya itu berangkat sendiri ke Wirata. Anakku, kau ke Wirata duluan saja. Aku akan menyusul.” “lholho paman, aku kan juga harus minta izin dulu pada Siti Sundari untuk menikah lagi.” Prabu Sri Kresna menyarankan Abimanyu untuk segera menuju ke Wirata “sudah, Abimanyu, kau berangkat saja dulu. Urusan izin dari Siti Sundari, biarlah aku sebagai ayahnya yang menyelesaikan." Abimanyu tidak bisa berkata-kata lagi. Maka ia berangkat dengan hati yang kepikiran.

Singkat saja, Abimanyu berangkat. Di tengah jalan, ia bertemu sepupunya yakni Prabu Gatotkaca dan ibunya, Dewi Arimbi. Tujuan mereka sama yakni ke Wirata untuk acara lamaran Abimanyu. Tanpa banyak waktu, mereka segera pergi bersama-sama.

Abimanyu bersumpah palsu di hadapan Utari
Sesampainya disana, para kakak, adik, dan sepupu yang lain juga datang. Raden Walmuka, Jaya Sanga sanga, Arya Yodeya, Bambang Partajumena, Bambang Setyaka, Pangeran Arya Antareja, Haryapati Antasena, Bambang Wisanggeni, Prabuanom Srenggini, Wasi Sri Pancasena, Arya Pancawala, Bambang Brantalaras, dan Bambang Sumitra ikut ke sana. Yang tidak datang yakni adik Abimanyu, Bambang Irawan dan para sepupu, putra-putri Nakula dan Sadewa. Mereka tak bisa datang karena kadipaten mereka sedang dalam tahap pembangunan masif.

Di istana Dwarawati, Dewi Siti Sundari sedang memikirkan suaminya, Abimanyu yang akan menikah lagi. " Hah.....kakanda. Kau tega sekali. Aku tidak akan marah karena kau menikah lagi, yang aku sesali kenapa kau malah pergi diam-diam tidak minta izin padaku?" gumam putri Prabu Sri Kresna itu. Datang paman Prabu Gatotkaca, yakni Arya Kalabendana. Ia mendengar keluh kesah isteri dari sepupu keponakannya itu. Dengan gaya bicaranya yang lugu ia berkata " anakku, ayo paman antar ke Wirata. Mau bagaimanapun kamu istri pertama Abimanyu. Mari kita pergi." Siti Sundari pun digendong oleh Kalabendana dan terbang menuju negeri Wirata. Agar tidak ketahuan, Arya Kalabendana membuat Dewi Sitisundari tidak kelihatan dengan aji Panglimunan.

Singkat cerita, Abimanyu bertemu dengan Utari. Di mata sang putri bungsu Prabu Matswapati, Abimanyu terlihat seperti seorang Kemasan (pandai emas) yang membawa sebongkah emas murni. Begitu juga Abimanyu, di matanya Dewi Utari seperti bidadari memakai segala perhaiasan emas, perak dan permata yang indah-indah. Keduanya langsung saling jatuh hati dan setelah ditanyai para Pandawa dan Prabu Matswapati, Abimanyu dan Utari sepakat bersedia menikah bahkan sudah menetapkan akad nikah harus secepatnya. Setelah kedatangan Abimanyu ke Wirata, tiga hari kemudian, akad pernikahan antara Abimanyu dan Utari pun digelar....Abimanyu mengalungkan kalung Bunga ke leher Utari, begitu juga Utari mengalungkan juga kalung bunganya di leher Abimanyu. Setelah prosesi akad nikah selesai, Abimanyu dan Dewi Utari berjalan di taman istana. Di sana Dewi Utari bertanya kepada Abimanyu tentang ketulusan cintanya. Abimanyu yang juga jatuh cinta pada Utari mengutarakan ketulusannya. Dewi Utari masih ragu apakah calon suaminya orang jujur atau tidak. Apa dia sudah meminta izin kepada Siti Sundari selaku isteri pertamanya karena ia pernah dengar dari calon mertuanya itu bila Abimanyu si Gendreh Kemasan sudah menikah dengan sang putri Prabu Sri Kresna itu. Maka ia bertanya untuk memastikan "kakanda, aku mau bertanya." Abimanyu berkata " Tanyakan apapun yang nini ingin tanyakan." Dewi Utari lalu bertanya " kakanda, apa kau masih perjaka atau udah menikah?" Jika sudah menikah, sudahkah kakanda minta izin istri pertama?" Abimanyu tercekat dengan jawaban itu. Lalu datang Arya Kalabendana, paman Gatotkaca menceritakan bahwa Abimanyu sudah beristri. Gatotkaca yang kebetulan ada disitu  marah sekali dan menyeret pamannya ke tempat lain. Setelah kepergian Gatotkaca dan pamannya, Abimanyu jadi serbasalah. Utari dapat membaca gelagat jika calon suaminya hendak berbohong. Ia meminta Abimanyu untuk jujur. Abimanyu yang didesak malah melakukan sumpah palsu "Nini, apa yang dikatakan paman Kalabendana tidak benar. Aku masih perjaka. Jika aku bohong, biarlah Yang Maha Kuasa menghukumku. Aku bersedia tubuhku diranjap, ditembaki, dan dihantam banyak senjata jika aku berdusta!" jedar jedar....sumpah palsu penuh tipu daya itu di dengar para dewa. Pertanda hal itu akan jadi kenyataan nanti. Dewi Utari menangis karena calon suaminya itu tidak jujur malah bersumpah palsu. Lalu Dewi Siti sundari muncul di hadapan Abimanyu dan Utari. Ia menampar suaminya "kakang tega! Kakang sudah tidak jujur! " Dewi Utari lalu bersujud di hadapan Dewi Siti Sundari. " Ampun kakang mbok....aku yang bersalah....aku yang sudah meminta kakanda Abimanyu untuk jujur. Tolong maafkan aku." Dewi Siti Sundari segera mengangkat calon madunya untuk berdiri dan berkata " Ni Utari....jangan begitu.... kau tidak perlu minta maaf ... Ini bukan salahmu....mungkin takdir kita yang seperti ini. Pernikahan kita ini telah ditetapkan para dewa dengan noda tipu daya." Abimanyu hanya menunduk malu.

Di sisi lain taman istana, Prabu Gatotkaca bertengkar dengan Kalabendana. Ia memarahi pamannya kerena memberitahu kan hal yang seharusnya rahasia adik sepupunya itu. Kalabendana berkata bahwa rahasia itu menyangkut harga diri Siti Sundari. Prabu Gatotkaca makin marah lalu menampar pamannya itu. Dia lupa bahwa ia masih mematrapkan Aji Brajamusthi. Pukulannya sangat keras sehingga Kalabendana terlempar dan kepalanya membentur batu. Pamannya itu tergelatak sekarat tak berdaya. Prabu Gatotkaca segera mendatangi sang paman dan memeluknya "paman maafkan aku.....tolong ampuni aku. Aku khilaf, aku sudah berbuat dosa. Paman bertahanlah...pelayan...cepat pangil tabib! Cepat!" Kalabendana memegang pipi keponakan tersayangnya. " Anakku.. sudahlah...jangan sedih. Jangan kau sesali...Mungkin begini caraku...untuk menghadap Hyang Widhi.....tapi aku tidak ingin mati begini tanpa keponakanku tercinta.....Ahhh Hyang Widhi mengabulkan doaku....aku akan menunggumu." Tak lama, badan Kalabendana dingin. Hela nafasnya sudah berhenti begitu juga detak jantungnya.  Kalabendana pun meninggal. Prabu Gatotkaca hanya bisa menangisi kepergian pamannya itu. Ia hanya bermaksud menutup mulut pamannya tapi malah ia menutup usia pamannya dengan cara yang tidak ksatria. " Paman....bangun paman! ...Ampuni aku paman....tolong bangun paman!!!...." Tangisan Gatotkaca menyayat hati terdengar ke segala penjuru istana. Para Pandawa, Prabu Matswapati sekeluarga, dan semua orang berkumpul. Abimanyu, Dewi Siti Sundari, dan Dewi Utari yang baru datang langsung memalingkan muka tak mampu menahan pemandangan yang terjadi.

Kalabendana Gugur
Dewi Siti Sundari terjatuh lemas, menangis di hadapan jasad Arya Kalabendana. Dewi Arimbi dengan dipeluk sang suami, Arya Wrekodara hanya mampu terduduk lemas dengan duka di hati. Adik kesayangannya meninggal di tangan anaknya sendiri dengan cara nista dan tidak kesatria. Seisi Wirata berduka di hari akad nikah Abimanyu dan Utari. Upacara ngaben diadakan sesegera mungkin. Keluarga Pandawa dan Wirata hanyut dalam haru biru dan tangis nan pilu. Acara resepsi pernikahan pun ditunda.

Kabar kematian Kalabendana pun terdengar ke telinga Irawan. Ia akan pergi ke acara berkabung. Di tengah jalan ia dicegat oleh Ditya Lembusana, panglima kepercayaan Jatagimbal, raja Pageralun yang pernah dibunuh Arjuna. Ia diserang dan terkena senjata namun ia sempat mengalahkan Ditya Lembusana. Setelah mengalahkan Lembusana, Irawan menjadi lemas karena senjata Lembusana beracun. Irawan segera berlari menuju istana Wirata. Di tengah suasana yang masih berkabung, Irawan datang dengan tubuh sudah berlumuran darah. Arjuna dan Dewi Ulupi segera menggendong putranya itu. Setelah diperiksa oleh Nakula dan Sadewa, Irawan didiagnosis keracunan darah namun untungnya dapat disembuhkan. Ia harus istirahat total selama dua sasih (dua bulan) dan itu artinya Irawan tidak boleh ikut perang Bharatayudha. Irawan kadung kecewa " tunggu ayah! Ibu! Jangan seperti ini. Aku datang juga ingin menunjukkan darmabakti ku. Ayah, jangan anaktirikan aku. Ayah tolong pikirkan lagi." Arjuna mendekati putranya itu " Irawan tolong mengertilah. Ayah senang Irawan mau melakukan darmabakti sebesar ini. Tapi yang paling penting bagi ayah adalah kesehatanmu. " Dewi Ulupi lalu berkatap pada putranya itu "Irawan, dengarkan kata ayahmu. Ini demi kebaikanmu. Lagipula untuk berperang harus sehat jasmani rohani." Irawan pun diam. Ia bisa ditenangkan untuk saat ini. Dewi Titisari datang lalu menyampaikan sebuah pesan dari Nakula dan Sadewa untuk menemuinya. Arjuna dan Ulupi masih risau dengan Irawan. Dewi Titisari menenangkan mertuanya itu. " ayah! Ibu! Jangan khawatir... Penuhi pesan dari paman Nakula dan Sadewa. Biar aku yang jaga kakanda Irawan." Di ruang tengah, Nakula dan Sadewa bertemu dengan Arjuna dan Ulupi. Mereka mewanti-wanti agar Irawan dijaga dan jangan sampai lengah. Sadewa sadar sifat Irawan mirip sekali dengan ayahnya yang tidak suka dikekang atau dibatasi. Makanya ia berani berkata demikian kepada isteri dan orang tua Irawan.

Setelah tujuh hari berkabung,  Prabu Sri Kresna datang ke Wirata menanyakan kapan resepsi pernikahan Abimanyu dan Utari, sebab Siti Sundari sudah menerima izin dari Utari tempo hari. Arjuna berkata segera bahkan kalau bisa dua hari lagi akan digelar. Prabu Sri Kresna setuju. Dua hari kemudian, resepsi pernikahan Abimanyu dan Utari digelar meriah. Abimanyu duduk bersanding dengan dua isterinya yang cantik-cantik itu. Saudara-mara, kakak-adik, sepupu, semua datang tanpa kecuali. Putera-puteri Nakula dan Sadewa yang telah lama terpisah yakni adipati Pramusinta-Dewi Rayungwulan dan adipati Sabekti-Pramuwati datang juga.