Selasa, 16 Januari 2024

Rubuhan Duryudhana

Hai semua pembaca dan penikmat kisah pewayangan, kisah kali ini adalah akhir dari perang Bharatayudha, yakni pertarungan terakhir Bhima Wrekodara dengan Prabu Duryudhana yang berakhir dengan kekalahan Duryudhana dan balas dendam Aswatama kepada Para Pandawa. Kisah ini mengambil sumber kitab mahabharata karya Mpu Vyasa, Serial Kolosal India Mahabharat Starplus, Blog Kerajaan Dongeng: Duryudana GugurDuryudana Gugur | Budaya Jawa, dan Bharatayudha (8) Rubuhan – Duryudana Gugur | Wayang Indonesia dengan penambahan dan perubahan seperlunya.

Masih di hari yang sama, Di Grojogan sewu, Prabu Baladewa melihat air terjun telah berubah memerah darah bercampur bau amis. Prabu Baladewa sadar bahwa perang telah berlangsung. Bunga teratai yang dikatakan Sri Kresna akan mekar rupanya sudah mekar dengan sempurna. Bambang Setyaka, putra Kresna yang ditugaskan ayahnya untuk menjaga pamannya itu mengungkapkan yang sebenarnya. Setyaka menjelaskan bahwa perang sudah berlangsung dan hampir berakhir. Menurut kabar dari ayahnya, Setyaka bercerita " uwa prabu, sekarang Bharatayuda sudah berlangsung, tinggal menunggu antara uwa Prabu Duryudhana atau paman Arya Wrekodara yang jadi pemenang."

Baladewa marah kepada Arya Setyaka
Prabu Baladewa marah sekali karena Kresna tidak memberitahu sedari awal. Ia kecewa karena Kresna tak percaya dengan posisi netralnya. Cepat-cepat Prabu Baladewa menuju Tegal Kurusetra meninggalkan Bambang Setyaka disana. Di tengah perjalanan tiba-tiba turun hujan es dan badai hebat. Prabu baladewa lalu bergumam “walah... udan es ngene....aku jadi ingat kisah bibi Kunthi kalau dulu ketika Bhima dan Duryudhana lahir dibarengi hujan besar begini.” Tak ingin lama-lama bergumam, Prabu baladewa segera mempercepat langkah gajah Puspadentha.

Di tempat lain,  Di sebuah kubangan kolam darah, Prabu Duryudhana mandi berendam untuk mengingat-ingat dan merenungi segala dosanya kepada Pandawa setelah menyaksikan kematian Sengkuni. Di saat yang sama Prabu Baladewa yang baru tiba segera mengajak salah satu murid kinasih sekaligus iparnya itu ke medan laga. “adhi prabu, ayo kita selesaikan perang ini....kalah atu menang biarlah dewa yang akan menentuan.” Tapi sebelum itu, Prabu Duryudhana akan ke kemah perang dulu untuk berpamitan kepada keluarganya “Tentu saja, kakang guru, tapi biarkan aku ke kemah dulu...aku mau pamitan kepada Eyang Krepa dan dinda dewi banowati.”Prabu Baladew setuju dan segera menuju kemah.

Di balairung kemah perang, Prabu Duryudhana datang lalu memanggil Resi kerajaan Mpu Krepa. Duryudhana mewasiatkan kepada mereka " bopo Rsi Krepa...aku titipkan Hastinapura kepada bopo dan jagalah adinda intan payungku Banowati. Aku merasa waktuku sudah tak lama lagi. Aku akan beradu gada melawan Bhimasena. Barangsiapa diantara kami yang menang, bopo harus menjaga Hastinapura segenap jiwa raga dan taatilah siapa pemenang perangnya karena dia yang dibawah lindungan Hyang Widhi." Prabu Duryudhana pun mengunjungi kemah istrinya itu dan berpamitan "dinda Banowati....tak lama lagi entah aku atau dindamu Bhimasena akan gugur sebagai kusuma negara. Sudah habis semua pepunden harta dan persediaan makanan, beserta orang-orang terkasih telah gugur dalam peperangan ini. Eyang Bhisma, telah tumbang membela negeri. Guru kami Dorna, pun telah tiada lalu suami dari kakakmu Srutikanti, sahabatku Kakanda Karna, pun gugur setelah menjadi senapati Hastina melawan dinda Arjuna. Kakakmu Surtikanti, mati bela pati, setelah melihat kematian suaminya.begitu juga ayahanda Salya juga gugur beberapa jam lalu....” geram Duryudhana membayangkan gugurnya para jagoan-jagoan andalannya dalam pertempuran itu. Apabila aku menyerah nanti , sia-sia  perjuangan adik-adikku, kakanda Karna, guru Dorna, dan Eyang Bhisma lalu akan mengutukku di akhirat nanti. Maka dari itu, selama aku masih bernafas, tak akan ku menyerah sejengkal pun."

Banowati menghela nafas dan berkata dengan lirihnya “Bukankah Pandawa itu kan masih saudara kita sendiri toh, kakanda? Kakanda cukup memberikan hak-hak mereka dari sepenggalan tanah di Hastinapura yang kakanda rebut, bukankah Ayahanda Prabu Salya pun telah bersedia memberikan negeri Mandraka bila kakanda menghendakinya, jadi perang saudara ini pun tidak perlu diperpanjang lagi kan?” pedih hati Banowati tidak berdaya.“Ooooh dinda Banowati, mengapa dinda tidak mengerti bagaimana perih hati ini menyaksikan kemenangan sedikit demi sedikit diraih Pandawa. Meskipun itu tidak diperolehnya dengan cuma-cuma. Sudah banyak prajurit, penggawa bahkan anak-anak kami baik di pihak Pandawa maupun pihakku yang gugur demi negara masing-masing. Tapi Pandawa tetap lima sedangkan Kurawa sudah nyaris pupus. Karenanya restuilah suamimu ini untuk maju ke medan laga. Perang hanya menghasilkan dua pilihan. Antara menang… atau kalah sebagai pecundang, antara hidup… atau mati meregang nyawa. Itu yang kanda sadari dan tentunya dinda tahu bagaimana cinta kakanda kepadamu. Dari awal kita menikah hingga kini tiada berkurang, bahkan terus bertambah dari waktu ke waktu. Cintaku memang buta, tidak peduli akan terpaan, hinaan, tertawaan, ejekan sindiran, cibiran bahkan kejadian buruk apapun itu dan sekalipun itu datang dari gejolak di hatimu, yang setidaknya aku sudah ketahui semuanya.” Dengan lembutnya Duryudhana mengungkapkan hal itu. Sungguh pamitan yang mungkin saling tak bersambut. Banowati menjadi sedih karenanya namun mau apa dikata ia tak mampu mencinta setulus hati kepada suaminya. Cintanya hanya mampu tercurah pada Arjuna. Dalam lamunan, Banowati memikirkan kenapa takdir cintanya begitu rumit, derita cinta ini tiada akhir.

Singkat kata, semua orang berkumpul di tegal Kurusetra. Sebagai wasit ialah Prabu Baladewa, orangnya jujur dan menjunjung tinggi keadilan sementara pendiriannya tidak memihak Kurawa maupun Pandawa walau dirinya masih bersaudara dengan mereka. Wrekodara yang juga mengharapkan dirinya mendapat kesempatan untuk melawan Duryudhana segera maju ke depan membawa gadanya yang sebesar kepala. Baladewa memberi ketentuan bahwa pertarungan ini adalah antara dua ksatria dan tidak boleh ada pihak ketiga. Prabu duryudhana punberkata dengan lantang kepada Arya Wrekodara “Bhima, kau telah menghisap dan merobek-robek dada adikku Dursasana dan menghabisi adik-adikku yang lain...bersiaplah kau untuk kalah!” Arya Wrekodara pun membalas kata-kata Duryudhana “salahmu Dhewe kakangku......awakmu seng buat gara-gara dengan merebut kerajaan kami dan menghina Yundaku Drupadi! Saiki rasakno kemarahanku!”

Pertarungan Bhima vs Duryudhana
Di bawah guyuran hujan es dan angin kencang, Perang Gada pun bermula. Ketika mulai, tampak pertarungan berlangsung dengan seimbang, Duryudhana yang biasanya pengecut kali ini bertarung mati2an. Lama kelamaan terlihat bahwa Wrekodara lebih unggul, mahkota Duryudhana telah hancur terhantam kemudian tubuh Duryudhana terkena pukulan langsung sehingga terpental. Perang gada yang sungguh dahsyat. Walau bagaimanapun kehebatan sang Bayusuta, Bhima Wrekodara mulai kewalahan karena kulit sang sepupu itu seakan sekeras berlian bahkan pukulan gadanya tak berkesan. Arjuna dan para Pandawa lainnya mulai ketar-ketir. Namun Arjuna dengan tenang membuat isyarat. Ia membiarkan nyamuk menggigit paha kirinya. Lalu dipukullah nyamuk itu dengan lidi daun kelapa. Sang Bhima yang melihat hal itu paham bahwa apesnya Duryudhana ada di pahanya yang sebelah kiri. Seketika sang  panegak Pandawa itu menghantamkan gada Rujhapala miliknya ke paha kiri Duryudhana. Pukulan Arya Wrekodara kena tepat pada paha kiri Duryudana dan Duryudhana segera terjatuh sambil berteriak kesakitan. Bhima kemudian menghentikan serangannya karena Duryudhana sudah tidak berdaya. Prabu Baladewa marah dan kalap melihat tindakan tak terpuji murid sekaligus besannya itu (raden Walmuka putra kedua Baladewa menikahi Dewi Susenawati, putri Wrekodara). Bahkan Prabu Baladewa hendak menghantamkan tombak Nenggala miliknya. Senjata yang berupa bajak (luku) itu akan menyerang kepala sang Wrekodara itu namun Prabu Sri Kresna menyabarkan sang kakak dan berkata "kakang Balarama,  tolong jangan hakimi Dinda Wrekodara. Ini adalah karma Duryudhana yang pernah menghina Drupadi. Ingatkah di sidang istana Hastinapura dulu, Duryudhana pernah berkata akan memangku Drupadi yang tidak berpakaian di pahanya." Prabu Baladewa luluh. Prabu Duryudhana berteriak minta dihabisi karena dirinya sudah tak berdaya, namun sebagai ksatria sang Wrekodara pantang menyerang orang yang tidak berdaya. Prabu Duryudhana pun sadar. Ia menangisi semua dosa-dosanya dan bersedia menyerahkan Istana Indraprastha juga beramanat kepada Yudhistira untuk menjaga Hastinapura.

Pada sore hari ke delapan belas itu, Bharatayudha resmi diakhiri. Bhima telah berhasil mengalahkan sang raja Hastinapura pemimpin seratus Kurawa. Dalam keadaan sekarat, Duryudhana menyatakan bahwa dirinya siap mati jika ditemani pasangan hidupnya, Banowati. Atas nasihat Kresna, Bhima pun mengambil Sengkuni yang masih sekarat untuk diserahkan kepada Duryudhana. Prabu Duryudhana yang sudah kehilangan penglihatannya akibat luka parah segera menggigit leher Sengkuni yang dikiranya Banowati. Akibat gigitan itu, Sengkuni pun tewas seketika. Prabu Duryudhana lalu tak sadarkan diri. Para Pandawa pun memerintahkan para prajurit yang masih tersisa untuk menyiapkan upacara ngaben kepada sang raja Hastinapura. Para Pandawa lalu meninggalkan jasad Duryudhana di sana untuk bersiap-siap. Namun Duryudhana yang masih bertahan terus memanggil-manggil sahabatnya Bambang Aswatama dan adiknya yang terakhir, Kartamarma. Ia tahu kalau baik Aswatama maupun Kartamarma masih di sekitar Tegal Kurusetra.

Berita kemenangan Pandawa dan kalahnya Duryudhana terdengar oleh Aswatama yang mengembara menunggu waktu untuk pembalasan dendam kepada para Pandawa. Bambang Aswatama mencari keberadaan sang raja Hastinapura itu. Sayup-sayup terdengar suara teriakan yang lirih dari tengah lapangan yang telah banjir darah dan abu jenazah itu. Di tengah Tegal Kurusetra, Aswatama menemukan Duryudhana yang sudah sekarat menunggu ajal. " sahabatku, Duryudhana. Bertahanlah aku akan menyembuhkanmu." Di sisa tenaganya, Prabu Duryudhana berkata " tidak usah, sahabatku. Aku....sudah mengakui kekalahanku. Sekarang, kau...harus tunduk kepada....saudara kita, para Pandawa......aku berharap....para Pandawa akan mendoakan ku sehingga....... dosa yang ku perbuat selama hidupku.... diampuni Dewata....sekarang kau harus ke kemah Pandawa di Upalawaya sana.....menyerahkan baik-baik....ini permintaan terakhir......dari sahabatmu!" Setelah berkata demikian, prabu Duryudhana pun gugur. Aswatama menangis meraung -raung. Kematian para Kurawa khususnya Prabu Duryudhana telah menjadi alasan kuat untuk menyerang kemah Pandawa malam ini.

Rabu, 10 Januari 2024

Salyaparwa : Salya Gugur, Sengkuni Lena

Hai semua pembaca dan penikmat kisah pewayangan, kisah kali ini menceritakan gugurnya Prabu Salya dan Patih Sengkuni. Kisah ini memadukan cerita asli Mahabharata dengan pewayangan. Sumber yang diapaki ialah dari Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa, blog Lakon Salya Gugur dan Sengkuni Lena, dan Serial Kolosal India Mahabharat Starplus.

Pada tengah malam, mendekati hari kedelapan belas, Prabu Duryudhana datang memenuhi panggilan ibunya, Dewi Gendari. Namun  ibunya meminta agar ia datang bertelanjang bulat. Saat itu Prabu Sri Kresna sedang berjaga malam melihat pemandangan tak senonoh itu. Maka ia berkata kepada Prabu Duryudhana " aduh adhiku, gusti prabu...kau ini anak durhaka, tidak tahu sopan santun, masa' mendatangi ibumu dengan telanjang seperti orang gila." Prabu Duryudhana berkata " diam kau, Basudewa...kau tidak paham apa maksudku melakukan begini!" Prabu Sri Kresna berkata " maksudmu untuk mempermalukan ibumu. Kalau kau seorang raja dan anak berbakti, seharusnya pertanyakan dulu motif ibumu menyuruhmu datang telanjang." Prabu Duryudhana goyah hatinya maka ia mencari apapun untuk menutupi auratnya. Ia menemukan daun pisang. Ketika sampai di istana Hastinapura, Dewi Gendari berkata ia telah menutup mata di siang hari dan hanya membuka tutup mata itu di kala malam hari saja. Ini bukan semata-mata sumpah kesetiaan pada suami namun bentuknya dalam tapa brata. Kini kekuatan itu telah terkumpul. Ketika membuka matanya, kekuatan ajaib keluar dari matanya menyinari sekujur tubuh Prabu Duryudhana dari ujung kepala hingga ujung kaki. Namun ketika melihat ke bawah, Dewi Gendari mendapati Prabu Duryudhana menutupi aurat dan pangkal pahanya. Dewi Gendari kecewa namun tetap mendoakan putranya itu agar selalu berada di jalan yang ia pilih....

Pagi hari ke delapan belas perang dimulai. Prabu Yudhistira dihadapkan dengan kemampuan perang pamannya, Prabu Salya. Pasukan raksasa Candhabirawa pamannya mampu melumat habis sebagian pasukan Pandawa. Mau tidak mau, Prabu Yudhistira harus melawan kakak dari ibu Madrim itu. Selama pertarungan itu, raja Amarta yang bernama kecil Puntadewa itu seperti ragu-ragu. Semua lemparan tombaknya meleset.  Prabu Salya marah " ada apa ini, putra Pandhu?" Prabu Yudhistira berkata " ampun uwa prabu....aku tak maksud hati ingin menyerangmu....uwa adalah kakak dari ibu Madrim, sama seperti orang tuaku...aku tidak mau, uwa prabu." Prabu Salya berkata kepada Yudhistira "jangan bertindak setengah hati, Dharmaputra! Lawanlah uwamu ini." Paman Salya seketika menembakkan panah Rudrohasta yang ia lambari dengan Aji Candhabirawa. Seketika raksasa-raksasa muncul dari dalam panah dan menyerang raja yang bernama kecil Puntadewa itu. Bimbang hati Yudhistira sehingga datang atma Begawan Bagaspati, mertua Salya yang sudah lama pergi itu membantu Yudhistira. Seketika, sang raja Amarta melemparkan Layang Jamus Kalimahusada ke angkasa. Kitab itu melayang-layang lalu bertukar wujud menjadi tombak dan mengarah ke arah raja Mandaraka itu.

Prabu Salya melihat tombak itu telah ditunggangi atma Begawan Bagaspati hendak menjemput sang menantu ke alam kelanggengan. Prabu Salya meletakkan senjatanya seakan ia telah siap menerima ajalnya hari ini. Tangis haru pecah ketika tombak jelmaan Jamus Kalimahusada itu menancap di dada prabu Salya. Prabu Yudhistira segera turun dari kereta dan memangku pamannya itu. Lalu disusul Arya Nakula dan Sadewa. Di tengah sekaratnya, Prabu Salya menitipkan Mandaraka dan berpesan padanya agar Nakula Dan Sadewa dijadikan raja dan patih Mandaraka menggantikannya.

Salya Gugur
Tak lama, Prabu Salya gugur. Tangis Yudhistira, Nakula, dan Sadewa pecah. Kabar gugurnya Prabu Salya terdengar Dewi Setyawati, istrinya dan patih Tuhayata. Ketika sampai di medan laga, permaisuri Mandaraka mendapati suaminya gugur di pangkuan Yudhistira. Permaisuri berpesan kepada Yudhistira agar amanah pada pesan terakhirnya pamannya. Tak perlu waktu lama, Dewi yang bernama lain Pujawati itu melakukan belapati disusul patih Tuhayata. Arya Sadewa menjadi marah kepada Patih Sengkuni karena dialah, uwa Salya harus gugur di tangan keponakannya. Maka ia menuju ke tempat pertarungan Arya Wrekodara dengan Patih Sengkuni.

Sesampainya disana, Arya Wrekodara dan Arya Sadewa saling menyerang Patih Sengkuni. Namun kulit sang patih yang merangkap sebagai raja Gandaradesa itu kebal tan tedhas palu ning pandhe. Semar memberikan isyarat membelah daun dari bawah. Arya Wrekodara paham bahwa untuk mengalahkan sang Arya Suman, ia harus menyobek dubur sang patih. Patih sengkuni yang sudah mulai terdesak dibanting-banting lalu disobek duburnya dengan kuku Pancanaka. Lenyaplah kekebalan Sengkuni yang ia dapat dari Lenga Tala itu. Patih Sengkuni mengerang kesakitan. Di saat demikian, Arya Sadewa yang telah dibalut dendam menusukkan keris Purnamacandra ke mulut sang patih "Uwa Sengkuni, gara-gara mulutmu, kami harus menderita dan gara-gara mulutmu juga, uwa Prabu Salya harus bergabung dengan pasukan Kurawa. Sekarang Rasakan tikaman Kerisku!!" Sadewa tanpa ampun menusuk-nusuk dan mencabik-cabik seisi mulut Sengkuni sehingga lidahnya pun terpotong terbelah, bibirnya pun terkelupas sampe memperlihatkan rahangnya yang remuk. Seketika Sengkuni yang sudah lemah makin terkulai lemas. Sengkuni kesakitan meraung-raung" Ampun, Sena...Keponakanku! Ampun! Duryudhana, Tolong ak....wu...!!" teriak Sengkuni yang lalu hilang karena lidahnya hancur. Arya Wrekodara yang masih dendam kepada Sengkuni tanpa belas kasih mengiris kulit Sengkuni sambil berkata" Uwa Sengkuni....BIYEN PAS YUNDAKU DRUPADI DILUCUTI, UWA YO PODHO NAFSU NENG IBUKU....GARA-GARA AWAKMU AREP NGEROGOH AWAKE SAMPE KLAMBINE ROWEK....BANJUR SUMPAH RA KLAMBENAN KEBAYA NGANTI GAWE KULITMU, UWA. SAIKI SUMPAH IKU BAKAL KELAKON!!!" tanpa ampun lagi, Sengkuni dikuliti dari atas sampai bawah menggunakan Kuku Pancanaka. Prabu Duryudhana yang melihat hal demikian segera lari meninggalkan Medan laga. Sadewa belum puas. Ia lalu membantu kakaknya menusuk-nusuk tubuh Sengkuni sampai-sampai ia menggelepar seperti ikan yang kepanasan. Setelah kulit Sengkuni lepas dari tubuhnya, kulit itu dijahit dengan urat tangan dan kaki Sengkuni untuk dijadikan kebaya. Dewi Kunthi datang dengan hati yang di gin dan mata yang sayu " anakku, sudah nak.....jangan siksa uwamu Sengkuni... sekarang dia sudah mendapat balasannya." Arya Wrekodara lalu menyelesaikan kebaya dari kulit manusia terjulid itu lalu ia persembahkan kepada ibunya, Dewi Kunthi. Ibu para Pandawa yang berjuluk Dewi Prita itu memakai kebaya kulit manusia itu seraya ia teringat kejadian saat dipermalukan Sengkuni sehingga kebayanya sobek. Namun setelah diperlakukan demikian dengan penuh siksaan  sampai rasanya mau mati, sang patih masih hidup bahkan sempat berguling-guling menahan sakit yang terasa bagaikan azab dari dewa. Sakti betul patih satu ini. Arya Wrekodara dengan penuh kemurkaan mencari-cari larinya Prabu Duryudhana, sang pemicu perang ini sekaligus sang Kurawa terakhir.

Sengkuni Lena


Selasa, 09 Januari 2024

Karna Tanding

Hai semua pembaca dan penikmat kisah pewayangan. Kisah kali ini menceritakan pertaruangan akhir antara Arjuna melawan Adipati Karna. Kisah ini juga menceritakan gugurnya Patih Hadimanggala, para isteri Karna dan orang tua angkat Karna. Kisah ini mengambl sumber dari Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa, Serial Kolosal india Mahabharat Starplus, dan https://wayang.wordpress.com/2010/07/28/bharatayudha-7-karna-tanding/ dengan pengubahan dan penambahan seperlunya.

Di petang hari keenam belas perang setelah gugurnya Harya Dursasana dan Begawan Dorna, Arjuna dan Karna saling bertemu namun mereka tak saling menyerang...diantara seperti terjadi dilema. Dilema akan perang yang ditakutkan ibu mereka, Dewi Kunthi. Meski demikian, adik-adik Prabu Duryudhana yang tersisa sudah hampir habis, kini menyisakan Duryudhana, Kertamarma dan Wikarna. Namun Wikarna akhirnya gugur juga. Kertamarma juga sudah lari dari medan perang. Perang berakhir imbang. Di tengah malam, Arjuna dan Karna saling merenung di tempat berbeda. Merenungi apalah arti perang ini. Perang ini hanya akan membawa duka dan jerit tangis pilu para janda dan anak yatim piatu...lebih-lebih tangis pilu Dewi Kunthi. Karna akhirnya membulatkan tekat. Ia meminta ayah mertuanya, Prabu Salya menjadi saksi perangnya dengan Arjuna dengan menjadi sais keretanya. Prabu Salya sebenarnya enggan namun ia memilih menuruti keinginan sang menantu. Selain keduanya adalah kakak bagi keponakannya, Nakula dan Sadewa, keengganan Salya dikarenakan baik Karna maupun Arjuna juga adalah permata hati bagi Prabu Salya setelah gugurnya Burisrawa dan Rukmarata. Di hari ketujuh belas, Arjuna dan Karna saling berperang tanding, perang mempertahankan hidup dan mati. Hari itu Arjuna menaiki kereta dikusiri Kresna dan memakai mahkota Kiritin pemberian ayah angkatnya, Batara Indra. Namun sebelum perang terjadi, Atas permintaan Arjuna, Sri Kresna mengarahkan kereta ke arah kereta Adipati Karna lalu Arjuna menghampiri dan menemuinya untuk mengaturkan sembah dan hormatnya. Dengan menahan tangis sesenggukan Arjuna menghampiri kakak tertuanya ”Kakang Aradeya salam hormat saya untuk Kakanda. Kakang, jangan dikira saya mendatangi Kakang ini untuk mengaturkan tantangan perang. Kakang, dengan segala hormat, marilah Kakang saya iringkan ke perkemahan Pandawa kita berkumpul dengan saudara pandawa yang lain layaknya saudara Kakang…kanjeng ibu Kunthi sudah menunggu di dalam kemahku untuk berjumpa dengan kakang....”

Adipati Karna pun mendekati Arjuna ”Aduh adikku, Parta…Kakang rasakan kok kamu seperti anak kecil yang kehilangan mainan. Menahan tangis sesenggukkan, karena perbuatan sendiri. Adikku yang bagus rupanya, tinggi kesaktiannya, mulya budi pekertinya. Sudah berapa kali kalian, ibu Kunthi, dan Kakang Prabu Sri Kresna membujuk aku untuk meninggalkan Hastinapura dan bersatu dengan kalian Para Pandawa. Aduh..adikku, jikalau aku mau mengikuti ajakan dan permintaan itu, Kakang tidak ada bedanya dengan burung dalam sangkar emas. Kelihatannya enak, kelihatannya mulia, kelihatannya nyaman.

Tapi adikku, kalau begitu, sejatinya Kakang ini adalah seorang pengecut, seseorang yang tidak dapat memegang omongan dan amanah yang telah diniatinya sendiri. Adikku…bukan dengan menyenangkan jasad dan jasmani Kakang jikalau kalian berkehendak membantu Kakang mencari kebahagiaan sejati. Adikku..Parta, jalan sebenarnya untuk mendapatkan kebahagiaan sejatiku adalah dengan mengantarkan kematianku di tangan kalian, sebagai satria sejati yang memegang komitmen dan amanah yang Kakang menjadi tanggung jawab Kakang. Oleh karena itu Adikku, ayo kita mulai perang tanding ini layaknya senopati perang yang menunaikan tugas dan tanggung jawab yang sejati.

Ayo adhiku Parta, perlihatkan keprigelanmu, sampai sejauh mana keprawiranmu, keluarkan semua kesaktinmu. Antarkan kakangmu ini memenuhi darma kesatriaannya. Lalu sesudah itu, mohonkanlah pamit Kakang kepada ibunda Dewi Kunthi. Mohonkan maaf kepadanya, dari bayi sampai tua seperti ini belum pernah sekalipun mampu membuatnya mukti bahagia meskipun hanya sejengkal saja.”

”Aduh Kakangku Aradeya yang hamba sayangi, adinda mohon maaf atas segala kesalahan. Silakan Kakang kita mulai perang tanding ini”

Setelah saling

Karna Tandhing
hormat antara keduanya, perang tanding kedua senopati perang yang mewakili kepentingan berbeda namun demi prinsip yang sama secara substansi itu dimulai. Keduanya mengerahkan segala kemampuan perang darat yang dimiliki. Sekian lama adu jurus kanuragan ini berlangsung. Saling menerjang, saling menghindar dan berkelebat. Perang terjadi begitu dahsyat.

Panah pun dilesatkan dan meledak di angkasa raya. Ajian-ajian bertabrakan menimbulkan daya ledak yang nyaris seperti ledakan nuklear. Panah Adipati Karna hampir mengenai Arjuna tapi meleset karana kereta sang Adipati Awangga tiba-tiba terjebak ke kubangan lumpur. Sepertinya Prabu Salya masih menyayangi keponakan dan anak mantunya itu maka ia sengaja mengarahkan kereta ke lumpur. Saat hendak memanah lagi, Adipati Karna lupa ajian Naracabala. Karma sang Adipati sudah berlaku. Maka ia meminta Arjuna untuk tidak memanah dulu sementara ia mengangkat roda keretanya dari lumpur. Arjuna mengiyakan namun diprotes Kresna. Kresna lalu memprovokasi Arjuna tentang penghinaan iparnya, Drupadi yang dikatai sebagai wanita murahan "Parta, apa kau ingat bagaimana Yundamu Panchali dihinakan kakangmu  sebagai wanita murahan?! Apa itu contoh kakak yang baik?!" Perang batin terjadi di dalam hati Arjuna. Tanpa disadari, tangan Arjuna berkeringat dan panah Pasopati miliknya lepas melesat ke arah Karna. Suara teriakan Karna terdengar patih Hadimanggala. Sang patih lalu mendekati asal suara dan mendapati junjungan yang juga sepupunya itu telah terkulai lemas berdarah darah dan Prabu Salya yang pingsan karena terlalu menangisi Karna.. ia langsung lari ke kemah para isteri karna. Ia membawa kabar “ampun yunda prameswari berdua...kakanda adipati,,,, telah seda...” Sementara itu, para isteri Karna yakni Dewi Srutikanti dan Dewi Wrusali yang mendapat kabar bahwa Adipati Karna telah seda (gugur) dari Patih Hadimanggala segera menyusul ke Tegal Kurusetra. Setelah para isteri Karna pergi, patih Hadimanggala menangis . ia merasa gagal sebagai adik dan patih, tak bisa melindungi orang yang ia junjung tinggi “kakang Aradeya......maafkan aku kakang....aku gagal melindungi kakang! Aku mau ikut kakang...ayah Nanda...ibu Yasodha...ayah Adirata...ibu Rada.....aku pamit!” Sang patih lalu melakukan bela pati dengan menusuk keris ke lehernya. Sementara itu di kemah Upalawaya, Dewi Kunthi sedang menyalakan lampu-lampu karena hari sudah hampir gelap. Lalu ketika hendak mendakit salah satu lampu, salah satu dari lampu itu tumpah dan mengenai sekuntum bunga teratai, minyak yang terbakar itu menyambar bunga itu dan menghanguskannya tak bersisa. Dewi Kunthi merasa salah satu anaknya dalam bahaya. Ia pun meminta prabu yudhistira untuk mengantarnya ke medan laga. “anakku...cepat antar ibu ke Kurusetra. Ibu merasa kakang atau adhi kalian dalam bahaya.” Tanpa banyak bicara, Prabu Yudhistira dan tiga adik-adiknya bersama Dewi Kunthi berangkat menuju Tegal Kurusetra.

Sesampainya para isteri Karna di Tegal Kurusetra, Adipati Karna telah dalam keadaan sekarat. Panah menancap di kepala dan lehernya. Karna lalu mengulurkan tangannya dan ingin memeluk Arjuna untuk terakhir kalinya " adhiku, Parta....kemarilah....kakangmu ini ingin berpamitan...." Dari atas kereta, Sri Kresna melarang Arjuna turun. "Jangan turun, Parta. aku takut bila Karna hendak menikammu." Tangis pilu Arjuna tak tertahan lagi. Bukan karena ia telah membunuh kakaknya, tapi karena dilarang orang terdekatnya untuk meminta maaf dengan tulus pada kakaknya. Di saat demikian, Dewi Kunthi dan empat Pandawa diiringi Adipati Adirata dan Nyai Rada, orangtua angkat sang Aradeya datang. Dewi Kunthi menangis sesegukan lalu memeluk Karna diiringi Prabu Yudhistira, Arya Wrekodara, Arya Nakula, dan Arya Sadewa. Walaupun ia tau hal ini harus terjadi kenapa harus sepahit ini, itu yang dirasakan Dewi Kunthi.  Dalam rengkuhan peluknya, Dewi Kunthi lalu memanggil Karna dengan sedih ”Basukarna anakku...lihatlah..ini ibu Rada dan aku datang...nak ...bangunlah sebentar....saja nak... “ “Adipati Karna membua matanya sejenak...”ibu Rada...Ibu Kunthi.......aku....minta maaf.....atas segalanya...maafkan...aku...aku tak bisa...jadi anak...baik...kakak teladan....bagi adik..adikku.....” Nyai rada lalu berkata “nak...Aradeya anakku.....kamu kakak yang berhasil nak....kamu adalah anak ibu yang baik....lihatlah adik-adikmu....berhasil semua...anakku bertahanlah...sebentar lagi tim medis datang...” namun nampaknya waktu seperti sudah berkehendak. Tak lama kemudian, Adipati Karna wafat. Seluruh keluarga Pandawa berduka. Adipati Adirata dan Nyai Rada sangat berduka. Nampaknya pula awan kelabu kesedihan tak hentinya menutupi para Pandawa dan keluarganya.  Datanglah seorang telik sandi Awangga membawa kabar duka “ampun tuanku Adipati Adirata..... hamba membawa kabar yang buruk....Gusti patih Hadimanggala telah meninggal....dia bela pati atas kematian gusti Adipati Karna....”  Kesedihan di keluarga Karna dan Pandawa bertambah-tambah.....sudah kehilangan Karna kini Hadimanggala menyusul. Adipati Adirata dan Nyai Rada sangat terpukul. Mereka berdua ikut bela pati menyusul dua anak angkat yang sangat mereka sayangi. Para isteri tidak membenci Arjuna namun mereka menyayangkan sikap Arjuna yang tidak memberi penghormatan terakhir pada sang kakak “adhiku Arjuna...aku menyayangkan sikap adhi tidak mau memenuhi permintaan kakanda Karna.”ucap Dewi Wrusali. “Benar kata yunda Wrusali, adhi tidak punya perasaan.” Timpal Dewi Srutikanti.

Batin Arjuna meledak. Tangisnya pun pecah. Ia pun turun dan memeluk tubuh sang kakak yang telah dingin dan kaku itu, memohon ampun minta maaf. Namun nasi telah menjadi bubur. Sang Aradeya telah pergi ke hadirat Hyang Widhi. Dewi Wrusali dan Dewi Srutikanti semakin menangis terisak-isak. Dewi Wrusali lalu meminta maaf karena ia tak bermaksud menyakiti hati Arjuna, begitupun Dewi Srutikanthi.berpesan pada Arjuna untuk mendidik putra bungsu Karna yakni Wresaketu dan cucu mereka, Warsaka dan Wikrakasana. Dewi Kunthi lalu menggugat Kresna karena tidak membiarkan Arjuna turun dari kereta. Ia tidak tahu rasanya kesepian. Maka Dewi Kunthi menyumpahi Kresna bahwa kelak ia akan mati dalam kesendirian, sama halnya dengan Karna, putranya. Sumpah itu makbul ditandai dengan petir yang menyambar-nyambar. Malam itu api pancaka menyala mengiringi kremasi Adipati Karna. Para isteri Karna lompat ke dalam api pancaka, bela pati menyusul suaminya.


Senin, 01 Januari 2024

Dornaparwa : Jambakan (Pusaran Dendam)

 Hai semua pembaca dan penikmat kisah pewayangan. Di awal tahun baru, penulis melanjutkan babak Dorna Parwa bagian akhir yakni gugurnya Harya Dursasana dan Begawan Dorna. Kisah ini mengambil sumber dari Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa, Serial Kolosal India Mahabharat Starplus, http://ki-bambang-asmoro.blogspot.com/2006/10/dursasana-jambak.html, https://www.meneerpangky.com/2022/11/jaya-jambakan.html, https://tokohpewayanganjawa.blogspot.com/2014/06/dorna-gugur.html, dan https://caritawayang.blogspot.com/2012/10/durna-gugur.html, 

Dursasana Jambak

Perang pun berlanjut. Kini yang jadi senopati di pihak Kurawa adalah begawan Dorna, Adipati Karna dan Harya Dursasana. Meskipun demikian, dari hari ke lima belas hingga hari keenam belas, para Kurawa terus mengalami kekalahan. Bahkan Harya Kertamarma, salah satu adik sang raja hastinapura yang berkedudukan di Tirtatinalang memilih lari dari medan laga.  Hati Prabu Duryudhana diliputi ketakutan. Senjata Adipati Karna yang sakti lenyap sudah untuk menghabisi keponakannya. Harya Dursasana segera melaksanakan upacara Tawur Agung lagi....kini ia menumbalkan tukang perahu di Bengawan Kelawing yakni Tarka dan Sarka.  " Hahahaha...setelah aku korbankan kalian, aku pasti menang." Sementara itu di kemah para Pandawa, Arya Wrekodara kedatangan putrinya yakni Dewi Bimandari. Dewi Bimandari berkata " bapa, aku sudah memutuskan. Aku....akan mengorbankan diriku demi kejayaan bapa dan paman-paman Pandawa." Arya Wrekodara kaget dengan pernyataan sang putri. Lalu datang Prabuanom Srenggini dan Sri Pancasena, putra nomor empat dan lima. Selama ini mereka tidak pernah berperang namun kali ini, mereka akan menyusul sang kakak, Gatotkaca. " Rama, restuilah kami berperang." Arya Wrekodara tidak tau harus berkata apa lagi. Namun di raut wajahnya terpancar kesedihan....." wooo anak-anakku.... tiga kakang kalian wes menghadap Yang Kuasa. Gak kuat bapa iki kudu kelangan anak-anak bapa maneh." Namun putra-putri Wrekodara itu menyakinkan kalau ini adalah bentuk darmabakti mereka kepada negara dan kehormatan orang tua. Karena sudah memaksa, mau tidak mau, Wrekodara mengizinkan ketiga anaknya berperang.

Singkat cerita, ketiga putra-putri Wrekodara itu berperang melawan pasukan Kurawa. Prabuanom Srenggini dan Sri Pancasena berperang melawan Arya Dursasana. Namun karena Arya Dursasana baru saja melakukan tawur (pengorbanan), maka dengan mudah Arya Dursasana menghabisi dua putra Wrekodara tersebut. Dewi Bimandari bersedih hati. Atas komando Bimandari, sebagian prajurti diperintahkan mundur “prajurit! Kita berundur dulu!...”

Bimandari mengorbankan diri
Arya Wrekodara nmpak gemetaran melihat dua putranya telah gugur sebagai kusuma negara. Namun ia bersyukur Bimandari masih selamat. Lalu di hadapan sang ayah, putri Wrekodara itu melakukan labuh geni demi membela kematian dua saudaranya. " Bapa! Paman-pamanku para Pandawa sekalian! Uwa Prabu Sri Kresna! Uwa Drestajumna! Uwa Dewi Drupadi! bibi Sumbadra! Dinda Utari! Jadilah saksi atas kejadian ini..... prajurit! Tolong persiapkan pancaka untuk kakang Srenggini dan Pancasena!" Para prajurit yang masih kuat segera mengumpulkan kayu-kayu bakar dan bekas patahan senjata. Singkat cerita, pancaka pun telah siap....Dewi Bimandari memang punya kekuatan fisik yang bersar melebihi wanita pada umumnya, mirip seperti sang bapak. Ia mampu mengangkat jasad kedua kakaknya yang telah membujur kaku lalu naik ke atas pancaka sambil membawa obor. Setelah meletakkan jasad dua kakaknya itu, ia menyiramkan minyak ke sekeliling. Ia lalu duduk seraya melakukan sumpah...."Dengan disaksikan ibuku Ida Batari Durga, bapaku Arya Wrekodara, keluargaku Para Pandawa, dan jasad kedua kakangku, Srenggini dan Pancasena...... Aku, Bimandari! Putri dari Arya Wrekodara yang sangat berbakti.... telah bersumpah akan mengorbankan diriku sendiri.....demi kemenangan keluargaku para Pandawa!"  Dewi Bimandari pun menyalakan api dan seketika api membumbung tinggi dengan jilatannya yang begitu panas membara. Arya Wrekodara semakin bersedih hati. Sudah kehilangan lima putranya kini sang putri kesayangannya ikut melakukan bela pati demi kemenangannya.

Sementara itu, di Setra Gandamayu, Batara Kala melihat jalannya peperangan dan menyadari, bahwa Arya Dursasana telah membunuh Srenggini dan Pancasena. Sang dewa waktu memanggil ibunya, Batari Durga. Batari Durga pun ikut menyaksikan dan kaget kalau putrinya dengan Arya Wrekodara, yakni Bimandari telah melakukan labuh geni. Tiba-tiba seluruh kahyangan goncang. Pengorbanan yang dialkukan Bimandari telah membuat seisi kahyangan takjub. Batari Durga yang menyadari hal itu meminta suaminya, Batara Guru untuk mengangkat sang putri, menjadikannya seorang bidadari dan menyatukannya dengan para saudaranya di Swargamaniloka. Batara Guru memerintahkan Batara Narada untuk menjemput sukma Bimandari. Singkat cerita, Di tengah maraknya api, ia segera mengangkat sang putri ke kahyangan. Setelah sampai di Setra Gandamayu , Batari Durga memeluk putrinya itu dan berkata "putriku...pengorbananmu kepada keluargamu tidak akan sia-sia...segala doamu telah di jawab para dewa di kahyangan. Aku sendiri akan merestui kemenangan para Pandawa”. Sang dèwi kekuatan dan kemenangan itu memberikan pakaian yang indah dan cantik. Setelah itu Bimandari dipertemukan dengan para kakangnya, yakni Antareja, Gatotkaca, Antasena, Srenggini, Pancasena, Abimanyu, Irawan, Wisanggeni dan beberapa putra Arjuna lainnya. Mereka sekarang telah bahagia di atas swargamaniloka.

Restu para dewa rupanya telah sampai kepada para Pandawa. Kemenangan memang ditakdirkan untuk yang menegakkan dharma dan keadilan. Arya Dursasana mendatangi Wrekodara yang masih berduka. Ia mengejek sang Panegak Pandawa itu " kalian benar-benar sial.....para Pandawa sudah mati sejak kematian Irawan dan Abimanyu. Sekarang pula kematian Gatotkaca, Srenggini , dan Pancasena karena karmamu yang terus mengganggu kami para Kurawa....hahahaha..." Sang Bhima gelap mata dan kalap. Ia ingat sumpahnya saat permainan dadu yaini menjambak rambut sang panegak Kurawa dan meminum darahnya " Dursasana! Mrene Koen! Koen Njalok Mati!"  Arya Dursasana segera lari melihat Wrekodara yang mengamuk dan mencebur ke Bengawan Kelawing. Ketika hendak mencebur, tangan Wrekodara ditarik Semar dan Kresna. Mereka memberi isyarat agar sang Bhima menunggu Dursasana naik ke darat lagi. Ketika penantian yang panjang, Dursasana naik ke darat dan menggoda Wrekodara lagi. Kali ini Dursasana terkena karmaphala nya. Jiwa Tarka dan Sarka yang tidak tenang dan rela hati menjegal kaki Dursasana sehingga ia jatuh sebelum tersentuh air bengawan Kelawing.

Wrekodara dengan murka menjambak dan menyeret Dursasana. Arya Dursasana berteriak sangat kencang " kakang ku Prabu Duryudhana... tolong aku!....lepaskan Sena! Tolong lepaskan aku! Ampuni aku!" Suara teriakan Dursasana terdengar sehingga Prabu Duryudhana segera menuju ke tempat sang adik. Ia, Patih Sengkuni, dan Adipati Karna memohon merengek-rengek agar adiknya dilepaskan tapi ia tak gubris. Ia terus seret hingga ke hadapan Drupadi, kakak iparnya.

Dursasana Jambak
Di hadapan Dewi Drupadi, Bhima menjambak Dursasana tanpa ampun lagi " DURSASANA! ELINGÅ DINÅ PAS AWAKMU NYENTUH DAN NJAMBAK RAMBUT YUNDAKU DRUPADI! DINÅ IKU BAKAL KULAKUKAN HAL SING PÅDHÅ!" Rambut Dursasana dijambak sampai terlepas dari kepalanya. Lalu dengan sangat kejamnya, Arya Wrekodara menebas dada Arya Dursasana dengan kuku Pancanaka dan jrass...dada Arya Dursasana di robek-robek, dimutilasi sedemikian rupa, hingga darah pun muncrat kemana-mana. " DURSASANA! DURYUDHANA  INGATLAH SUMPAHKU SING KEPUNGKUR. AKU BAKAL NGOKOP GETIHE! TA' PERSEMBAHKAN GAWE YUNDAKU DRUPADI!!" Prabu Duryudhana memohon agar adiknya diampuni " Sena tolong maafkan adikku...lepaskan dia! Aku janji akan kulepaskan Amarta setelah ini!!" Arya Wrekodara murka "AKU GAK PEDULI RENGEKAN MU! MARINGENE AWAKMU BAKAL DADI KURBAN KU!!" Dengan tanpa rasa takut dan jijik, darah Dursasana diminumnya. Di sinilah nama Wrekodara begitu melegenda....Arya Bhimasena berjuluk Wrekodara si perut serigala.....Sang Wrekodara telah menuntaskan sumpahnya saat main dadu dahulu, yakni menjambak dan meminum darah Dursasana. Sebagian darah Dursasana disiramkan ke kepala Drupadi. Dengan kucuran darah, Dewi Drupadi berkeramas lalu menggelung kemvali rambutnya. Tuntas juga sumpah Drupadi bergelung dengan darah Dursasana. Lalu Dewi Sumbadra memberikan jepit rambut berbentuk bunga teratai pada saudari iparnya setelah rambut Drupadi dibersihkan dari darah Dursasana. Arya Wrekodara girang dan berkata " hahahaha....hei Duryudhana kakangku ......maringene bakal onok seng mati manèh neng kubumu..." Prabu Duryudhana menyadari di sudut matanya, ia melihat gajah Haswatama telah hilang. Akan terjadi sesuatu yang gawat. Maka sang raja Hastinapura itu mencari gajahnya itu.

Dorna Gugur

Bersamaan dengan gugurnya Dursasana, prabu Drupada yang merupakan ayah Drupadi, Srikandhi, Drestajumena yang juga mertua Prabu Yudhistira gugur setelah melawan begawan Dorna. Bukan Cuma itu, Prabu Matswapati juga gugur di tangan Dorna. Karena keberingasan Dorna sebagai senopati sudah mengkhawatirkan, maka di buatlah sebuah siasat. Prabu Sri kresna memancing Gajah Haswatama dan ketika gajah Haswatama menghilang langsung dihabisi oleh gada Rujhapala milik Bhima Wrekodara oleh Harya Sencaki. Lalu datang bertebaran dengan cepatnya berita bahwa Aswatama, putra Begawan Dorna telah gugur. Padahal sebenarnya gajah Haswatama yang merupakan milik adik Duryudhana yakni Gardapati telah dibunuh para prajurit Pandawa dan Harya Sencaki. Begawan Dorna langsung   "deg" mendengar kabar itu sehingga linglung....ia berteriak-teriak mencari sang putra. Di tengah pencariannya, ia menghabisi orang-orang tanpa pandang bulu.. sambil berteriak.." Aswatama....Aswatama.....jangan tinggalkan bapakmu...." Di tengah linglungnya, Begawan Dorna teringat pada Prabu Yudhistira, muridnya yang dikenal sangat jujur dan tak pernah berbohong. lalu datang kepada Yudhistira. Kebetulan di sana juga ada Arjuna dan Sri Kresna.

Dengan nada panik bergetar, Begawan Dorna bertanya "anakku, ngger Arjuna! Ngger Prabu Yudhistira...bbbbenarkah kalo anakku Aswatama mati?" Arjuna terpaksa berbohong berkata " benar guru, Aswatama putra bapa guru telah gugur.." makin kaget lah Begawan Dorna. Tapi ia yakin kalau Arjuna sudah berbohong...lalu ia menanyakan hal yang sama kepada Yudhistira " Ngger prabu.....adikmu sudah berbohong....tolong jawab gurumu ini dengan jujur, apa benar Aswatama telah gugur?!" Jawab, ngger!!" Disini Prabu Yudhistira dilema...ia dipaksa harus berbohong tapi ia tidak bisa melakukanya karena ia raja dharma...Prabu Sri Kresna berkata dalam hati Yudhistira. " tidak apa-apa, adhiku....katakan saja yang sebenarnya,  Haswatama gugur...." meski terus didesak Prabu Sri Kresna untuk berbohong namun Prabu Yudhistira tetap pada pendiriannya. Ia harus menerapkan kejujurannya. Prabu Sri Kresna lalu bersiasat. Dengan tangan menghadap belakang ia memerintahkan pasukan menabuh genderang perang dengan sangat kencang.

Begawan Dorna terus mendesak Yudhistira untuk berkata yang sebenarnya. Lalu Raja Amarta itu berkata "benar, guruku....Haswatama sudah gugur! Tapi entah itu gajah atau putra bapa." ketika Yudhistira berkata "Haswatama " dan "entah gajah atau putra bapa", suaranya tersamar karena suara tabuhan genderang perang pihak Pandawa yang terdengar lantang. Siasat Prabu Sri Kresna yang menyuruh para prajurit menabuh genderang perang lebih kencang rupanya berhasil. Begawan Dorna makin linglung dan ia berteriak merarap "Aswatama!!!! Kenapa Kau tinggalkan Bapakmu!!!!"  Begawan Dorna pun lemas selemas-lemasnya....ia termakan hoaks lalu terduduk hendak melepas sukmanya. Ia merasa tidak berati hidup tanpa putranya dan ingin segera mati....

Dorna Gugur
Di saat begitu, ia berteriak memanggil arwah muridnya yakni Prabu Ekalaya alias Palgunadi yang dulu pernah ia curangi" muridku, Ekalaya.....kemarilah...penggal kepalaku sekarang. Hidupku tanpa putraku....tidak ada artinya lagi ....!!!!" Lalu datanglah titisan Prabu Ekalaya yakni Drestajumena saudara Dewi Drupadi. Sang ksatria Pancalaradya itu  memenggal kepala Begawan Dorna. Gugurlah sang Kombayana itu dengan kenistaan. Ia gugur karena sifat jujur Yudhistira yang setengah-setengah. Tuntas pula kutukan dari Ekalaya yakni Begawan Dorna terpenggal oleh muridnya yang lahir dari dendam orang tuanya (Drestajumena, Drupadi, dan Srikandhi lahir dari api sesaji karena dendam Drupada kepada Dorna).

Berita tentang gugurnya Begawan Dorna terdengar pula ke telinga Aswatama. Aswatama sangat marah dan mengamuk luar biasa. Di saksikan jasad sang aya, ia bersumpah " Para Pandawa...kalian membunuh ayah sekaligus guru dengan kedustaan, maka aku bersumpah akan membunuh orang-orang yang jadi kebanggaan kalian. Aku juga bersumpah akan membuat kehancuran dunia."  Bambang Aswatama pun pergi dari Tegal Kurusetra tanpa pamitan dulu pada Prabu Duryudhana dengan membawa dendam dan rasa cinta buta yang membara.