Sabtu, 30 September 2023

Bhima Maneges

 hai semua pembaca dan penikmat kisah pewayangan. Kisah kali ini mengisahkan pertapaan Arya Wrekodara selama pengasingan dan berubah wujud sebagai arca batu. Arca batu itu sempat akan dihancurkan Prabu Duryudhana namun berhasil diselamatkan. di akhir kisah juga menjadi pembuka lakon Begawan Ciptaning. Kisah ini mengambil sumber dari tulisan Wawan Susetya di laman web https://menaramadinah.com/43963/kisah-lakon-bima-maneges.html dengan pengubahan seperlunya.

Di tengah masa pengasingan Pandawa yang sudah menginjak tahun kelima, Ada fenomena sosial dimana muncul seorang pendeta kharismatik bernama resi Gupala. Ia membangun sebuah padepokan di alas Aldaka, dekat perbatasan Hastinapura. Banyak rakyat negara Amarta datang ke sana untuk belajar berbagai ilmu dan meminta bantuan berbagai hal.menurut kabar yang beredar, Resi Gupala selalu memberi pengajaran dengan duduk bersila di atas sebuah dipan kayu sederhana yang ditutupi kelambu berwarna-warni. Lama-kelamaan, bukan cuma penduduk negeri Amarta yang datang untuk meguru, melainkan dari negeri Hastinapura, Pancalaradya, Cedhi, Dwarawati, Mandura dan negeri-negeri lain di sekitar alas Wanamarta,  Kamyaka dan Aldaka. Keberadaan Resi Gupala tersebut membuat gusar Prabu Duryudhana karena dikhawatirkan akan melakukan kudeta terhadap pemerintahan Hastinapura “haduh...ngelu wes ngelu......kemarin ulah si Gatotkaca sekarang ada resi Gupala.....gak ada gitu hari tanpa masalah di Hastinapura. Paman Patih, Guru Dorna, bagaimana pendapat kalian tentang hal ini? Apa ada cara untuk menghentikan Resi Gupala itu?” “kakang patih sumonggo idenya!” tukas Begawan Dorna. Patih Sengkuni berkata “waduh kakang begawan, aku benar-benar kehabisan ide untuk yang satu ini. Kau lah yang mikir.” “enak saja, aku juga kehabisan cara nih, kakang Patih.” Prabu Duryudhana malah semakin pusing melihat dua orang kepercayaaannya itu malah tunjuk menunjuk mencari solusi.

Di dalam pasewakan agung Hastinapura, datanglah raja entah darimana mencari Begawan Dorna. Sang raja ialah Prabu Kala Teja Lelana dari Negara Slendro Ujung Laut. Ia datang menghadap kepada Prabu Duryudhana “olala...salamku untukmu, Yang Mulia Raja. Saya Prabu Kala Teja Lelana dari Slendro Ujung Laut. Maaf kelancangan saya datang di saat ribut-ribut begini.” “tidak apa, justru kami yang minta maaf tidak menyambut anda dengan semestinya. Katakan apa tujuan anda datang ke negeri ini, Yang Mulia?” Prabu kala Teja Lelana berkata “ampni kelancangan saya. Saya ingin bertemu kepada yang Mulia Guru Begawan Dorna hendak berguru kepadanya. Tujuan saya tak lain hendak belajar Ngelmu Kasampurnan kepada Begawan Dorna.”

Ajar Mayanggaseta menguji Kala Teja Lelana
Patih Sengkuni pun membisiki sesuatu kepada Begawan Dorna. Lalu sang Begawan pun maju dan berkata “Baiklah, anak muridku....anda bisa meguru padaku..Namun ada syaratnya, yakni anda harus dapat menumpas Resi Gupala di alas Aldaka.” Maka berangkatlah Prabu Kala Teja Lelana dengan diikuti para Kurawa ke kawasan Aldaka.

Singkat cerita, sesampainya di wilayah Aldaka, Prabu Kala Teja Lelana dan para Kurawa sampai di padepokan Resi Gupala. Disana ia bertemu dengan seorang pendeta berkulit putih bersih bernama Ajar Mayanggaseta selaku juru kunci yang menjaga padepokan Resi Gupala. Dalam kesempatan itu, Prabu Kala Teja Lelana yang rencananya akan membasmi Resi Gupala, namun memberikan kesempatan tetap di situ bila Ajar Mayanggaseta dapat menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan. Ajar Mayanggaseta pun menyanggupinya.

Pertanyaannya Prabu Kala Teja Lelana yakni:

“Ajar Mayanggaseta....jawablah pertanyaanku....Siapa yang wajib disembah, di mana tempatnya yang disembah itu, apa syaratnya untuk menyembah, dan bagaimana tata cara menyembah yang benar?”

Pertanyaan tersebut dijawab oleh Ajar Mayanggaseta dengan cermat. “Gusti prabu yang wajib disembah yaitu Gusti Sanghyang Widhi yang Maha Agung...Gusti Kang menciptakan jagad raya. Tempatnya yang disembah tak lain di qalbu (telenging ati). Sedang, syaratnya menyembah yaitu bagi orang-orang yang mau membangun watak utama, ikhlas, sabar, ridho, dsb. Sebelum menyembah harus mengerti terlebih dahulu yang disembah.”

Setelah menjawab pertanyaan itu, Ajar Mayanggaseta giliran menanya kepada Prabu Kala Teja Lelana: “aku telah menjawab semua pertaanyaanmu...sekarang jawablah pertanyaanku.....Apa benda yang tajam namun tidak melukai dan apa yang lajunya sangat cepat tanpa menyalip?” Mendengar pertanyaan itu, Prabu Kala Teja Lelana hanya tertawa dan menganggap itu pertanyaan hanya asal saja. “hahahahahahahaha......pertanyaan bodoh apa yang kau tanyakan....tentu saja pisau yang tidak dipaki memotong itu tajam tapi tidak melukai dan kuda yang lomba lari tanpa pesaing itu lajunya cepat tanpa menyalip.”

Ajar Mayanggaseta kemudian memberi penjelasan dengan mengatakan, “Benda yang tajam tapi tidak melukai tegese bicaranya orang yang bijaksana. Ucapan atau lisan itu tajam, bagaikan pisau atau pedang bermata dua, sehingga orang harus berhati-hati ketika berucap. Orang bijaksana juga sama, dia akan diam jika tidakmerasa tidak ada faedahnya dia berbicara tanpa diminta, tapi sekali ia mengeluarkan uneg-uneg, buah pikiran, atau pendapatnya maka akan berdampak yang lainnya.”

“dan yang lajunya cepat tapi tidak menyalip atau mendahului itu orang cerdas tapi tidak menyombongkan diri. Tidak sok pintar atau sok menggurui....Itulah gambaran orang bijaksana yang tidak sok pandai....banyak di negeri ini ...ehh bukan hanya di negeri ini tapi di seluruh belahan bumi ini pasti ada banyak orang cerdas, cerdik pandai tapi hanya sedikit dari mereka yang mampu menahan nafsu dan kesombongannya. Seperti halnya guru anda Yang Mulia, Gusti Guru Begawan Dorna.....dia orang bijak tapi keminter....blangnya dia tahu Ilmu Kasumparnaan nyatanya itu cuma di mulut saja.”

Mendengar hal itu Prabu Kala Teja Lelana menjadi geram lalu menendang tubuh Ajar Mayanggaseta hingga hilang dari pandangan mata. Dalam sekejap tiba-tiba Ajar Mayanggaseta telah sampai di hadapan para anak Pandawa seperti Arya Antareja, Arya Antasena, Prabu Gatotkaca, Bambang Wisanggeni, Prabuanom Srenggini, dan sebagainya. Ajar Mayanggaseta berubah wujud aslinya menjadi Resi Hanoman Mayangkara seraya menyampaikan “gawat.....anak-anak....” Antasena menyodorkan air kepada Resi Hanoman “sek...sek...eyang resi...minum dulu....” setelah cukup tenang, Resi hanoman berkata “anak-anak...kalin bersiap sekarang.... padepokan kedatangan raja yang ku hadang tadi. Namanya Prabu Kala Teja Lelana sekarang ia akan merangsek kesini hendak menyerang padepokan.” Singkat cerita, para putra Pandawa segera bersiap diri.

Sesampainya disana, Prabu Kala Teja Lelana dengan dibantu patihnya, Suta Ayu menyerang para anak Pandawa hingga mereka kewalahan. Saat anak-anak Pandawa tak kuasa menghadapi Prabu Kala Teja Lelana, maka dia leluasa masuk ke dalam padepokan. Ternyata yang dijumpai disana adalah sebuah patung yang wajahnya mirip Bhimasena sang Arya Wrekodara yang didudukan diatas sebuah dipan. Patung tersebut hendak diangkat oleh para Kurawa, tetapi mereka tidak mampu. Lalu Prabu Kala Teja Lelana membaca mantra, tiba-tiba patung Resi Gupala tadi menjadi kecil, hanya segenggam saja.Setelah itu Prabu Kala Teja Lelana membawa patung kecil tadi dihadapkan kepada Prabu Duryudhana.

Sementara itu, Bhimasena alias arya Wrekodara sedang menjalankan semadi (tapa brata). Ia menyadari kewajibannya sebagai seorang ksatria yang bertugas memayu hayuning bawana. Dalam semadi-nya, sukmanya berjumpa dengan Batara Bayu (Dewa Angin) yang kemudian memberikan wejangan, “anakku Bhimasena sang Wrekodara, zaman sekarang itu banyak maling teriak maling. Banyak orang saling menumbalkan kepentingan orang lain demi kepuasan duniawi mereka sendiri. Maka dari itu, janganlah kau terpengaruh dengan gemerlapnya duniawi. Maka yang harus diingat yaitu Siraman Tirta Perwitasari Prawidhi Mahaningsuci (mensucikan diri dan hati). Dengan demikian aku berharap ananda selalu bisa bening pikirannya, menep rasane (tenang), mantep panembahing marang Gusti (mantap dalam beribadah). Hal itu sangat jarang bisa dilakukan oleh kebanyakan manusia karena mereka banyak terlibat dalam pertengkaran dan tidak mau berfikir mendalam.” “ owalah bapa batara......hal kayak ngunu kui sudah kami lihat selama pengasingan empat tahun ini.....fenomena wong-wong apik, tulus, dan ikhlas ditumbalkan untuk kepentingane wong-wong jahat kang durjana. Muga wae aku isok ngelindungi mereka semua.”

Tiba-tiba dari tubuh Batara Bayu memancar cahaya yang sangat terang lalu merasuk ke dalam tubuh Wrekodara. Cahaya itu disebut dengan Cempaka Mulya (Anugerah Wahyu Kamulyan). Hanya orang yang berhati bersih dan bijaksana saja yang dapat menerima anugerah itu. Itulah bekal bagi Arya Wrekodara sebagai pegangan memimpin dan memberi pengayoman kepada rakyat Amarta demi membela dharma dari angkara murka. Ketika sukma Wrekodara kembali ke alas Aldaka, ia mendapati arca Resi Gupala sudah menghilang. Setelah itu datanglah Resi Hanoman Mayangkara. Ia menyadari kalau sukma Wrekodara datang mencari tubuhnya. “waduh, adhiku.....gawat iki gawat......arca Gupala mu diambil orang-orang Hastinapura......” Arya Wrekodara yang masih berwujud sukma/roh tanpa badan jasmani murka...”ancen kakang-kakang para Kurawa selalu mencari gara-gara....” dari penjelasan Resi Hanoman, rupanya arca Resi Gupala adalah wujud tubuh atau raga Arya Wrekodara yang membatu demi menyelesaikan tapa brata mencari wahyu kamulyan untuk para Pandawa dan keturunan mereka. Resi Gupala telah dibawa oleh Prabu Kala Teja Lelana menuju ke Hastinapura. Sementara itu, di tempat berbeda,  seorang pertapa muda bernama Begawan Ciptaning sedang melewati hutan...lalu ada suara memanggilnya “anak muda, kemarilah...” sang petapa muda itu mengikuti arah suara itu dan rupanya ke rumah seorang resi tua bernama Begawan Suya Bawana. Sang begawan adalah pemilik pertapaan Pusar Bumi. “sampurasun! ampun Begawan...ada keperluan apa sampai memanggilku?” Begawan Suya Bawan pun berkata“anak muda , mari ikut denganku....aku ingin ananda melihat kejadian ajaib yang akan terjadi setelah ini...mari ikut aku ke Alas Aldaka menemui sahabatku Ajar Mayanggaseta.” Begawan Suya Bawana sebenarnya tahu siapa identitas asli Begawan Ciptaning namun ia memilih untuk tutup mulut saja. Singkat cerita, Sang Begawan mengajak Ciptaning pergi.

Prabu Kala Teja Lelana telah sampai di pinggir kota Hastinapura seraya menyerahkan patung Resi Gupala yang wajahnya mirip Wrekodara Bhima. Prabu Duryudana berkata dengan sombongnya “hooo...jadi ini resi Gupala...Cuma arca batu begini......apa sih istimewanya.....sudah bawa ini pergi dari hadapanku! Lenyapkan sekalian....” Prabu Duryudhana memerintahkan supaya patung tersebut dilenyapkan. Para prajurit segera menyiapkan kayu bakar dan kapak. Lalu mereka menghnghancurkan patung itu. Namun aneh, kapak tak mampu membelah batu arca itu....bahkan dengan palu godam dan gada Kyai Inten milik Prabu Duryudhana pun mendal....Prabu Duryudhana pun memerintahkan membakar arca itu. Kayu bakar pun dikumpulkan di tengah Tegal Kurusetra lalu para prajurit itu pun mencampakkan batu itu ke tengah kayu bakar. Api pun disulut dan di arahkan ke kayu bakar dan blar...api pun langsung membumbung tinggi seakan menjilat-jilat langit. Ketika api unggun telah menyala, tiba-tiba terlihat cahaya terang (teja) yang masuk ke dalam patung Resi Gupala. Patung itu pun berubah menjadi besar seperti wujud semula. Lalu keluar dari arca itu, sesosok raksasa dengan wujud seperti Arya Wrekodara namun bertangan empat dan memiliki trinetra (mata ketiga) ditengah dahinya. Sang raksasa mirip Arya Wrekodara pun membuat keributan dan menyerang siapa saja “AKU BHAIRAWA....AKU PELINDUNG ARCA BEGAWAN BHIMA GUPALA!!SIAPA YANG TELAH MELUKAI ARCA INI... AKAN AKU LIBAS DAN TEBAS!!” Para Kurawa bubar ketakutan kembali ke istana Hastinapura melihat kebengisan Bhirawa. Namun tidak bagi Prabu Kala Teja Lelana. Ia sama sekali tidak taakut dan menyerang wujud menakukan itu......ia terus menyerang sang raksasa penjaga Arca Resi Gupala. Serangan semakin dahsyat bahkan Bhairawa membelah dirinya menjadi dua. Tak lama kemudian datanglah Begawan Suya Bawana beserta Ciptaning, dan Resi Hanoman,. Begawan Suya Bawana  berkata dengan lantang ...Hei..raja angkara...aku lawanmu!!” sang begawan Suya Bawana pun tanpa tedeng aling-aling, menyepak kakinya ke a Prabu Kala Teja Lelana.

Sukma Arya Wrekodara melerai perkelahian
Maka terjadinya peperangan antara Begawan Suya Bawana dengan Prabu Kala Teja Lelana tak terelakkan lagi. Keduanya bertarung satu sama lain...hingga terjadilah ledakan dahsyat. Lalu tiba-tiba datang seberkas cahaya terang. Rupanya itu sukma Arya Wrekodara “kalian Berdua...Hentikan!!!!....” sukma Arya Wrekodara mematrapkan Aji Cakra Maruta...kekuatan angin berkumpul di tangannya dan menciptakan angin puting beliung berbentuk seperti piring. Piringan angin itu membuat dua orang yang sedang bertarung itu terpental dan tumbang. Akhirnya mereka berubah wujud seperti sedia kala. Dua wujud Bhairawa segera membantu keduanya.

Prabu Kala Teja Lelana berubah menjadi Teja Mantri (Togog), sedang Resi Suya Bawana berubah menjadi Semar. Togog yang tak lain kakak Semar itu adhiku Semar...jangan salah paham dulu....aku melakukan ini hendak mengetahui apakah Begawan Dorna benar-benar dapat mengajarkan Ngelmu Kasampurnan (kebaikan) atau tidak dan rupanya benar, Begawan Dorna berkata hanya dimulut saja...aku juga juga ingin mengetahui langsung betapa Duryudhana benar-benar hanya memikirkan duniawi saja.” Sementara kakek Semar juga mengatakan owalah...ngunu tho kakang...aku juga minta maaf...sudah lancang memakai wujud lain...aku berubah wujud sebagai Begawan Suya Bawana tadi hendak menguji terhadap kepedulian Pandawa terutama Arya Wrekodara dalam menegakkan kebenaran dan keadilan serta memberantas angkara murka”. Kakek Semar mengatakan Wrekodara telah maneges untuk memerangi angkara murka serta melindungi rakyat Amarta dan para muridnya yang lain. Bhairawa pun berkata juga “aku adalah Bhairawa, aku lahir dari rambut batara Guru...aku juga salah satu wujud Gandarwa yang ditugaskan untuk menjaga kahyangan Iswaraloka.. Batara Guru juga dikenal sebagai Bhima yang artinya dahsyat, maka aku pun dikenal sebagai Bhima Bhairawa....aku ditugaskan Batara Guru untuk menjaga arca ini...dan setelah melihat pengorbananmu, aku sudah menganggap kau layak sebagai pemegang wahyu Kamulyan.” Arya Wrekodara paham maksudnya. Setelah semuanya dirasa cukup, Begawan Ciptaning pamit untuk meneruskan perjalanan menuju Gunung Indrakila. Setelah kepergian sang petapa muda itu, Arca Resi Bhima Gupala dikembalikan ke alas Aldaka. Meskipun tanpa wujud jasmani, Arya Wrekodara mampu menggotong patung itu sendirian. Dengan kekuatan gabungan Bhairawa, kakek Semar, dan Togog, Arya Wrekodara kembali mendapatkan tubuh jasmaninya yang keluar dari dalam Arca Resi Bhima Gupala. Sejak ketika itu, kawasan Alas Aldaka menjadi tempat persinggahan orang untuk menyepi, dan bermeditasi demi mencari pencerahan di bawah arca resi Bhima Gupala.


Minggu, 24 September 2023

Aji Narantaka

 Hai semua pembaca dan penikmat kisah pewayangan, kisah kali ini mengisahkan Gatotkaca mendapatkan ajian sakti bernama Aji Narantaka untuk mengalahkan Arya Durcala, putra Arya Dursasana. Kisah ini juga mengisahkan pernikahan kedua dan ketiga kali Gatotkaca dengan Dewi Suryawati dan Dewi Sumpani. kisah ini mengambil sumber dari blog https://wayang.wordpress.com/2010/03/10/aji-narantaka/ dan https://tokohpewayanganjawa.blogspot.com/2014/06/aji-narantaka-1

Di Negara Hastinapura Prabu Duryudhana, Patih Harya Sangkuni dan kerabat kerajaan Hastinapura sedang membicarakan perihal tentang keadaan politik yng tidak menentu pasca para Pandawa diasingkan olehnya selama dua belas tahun dan satu tahun penyamaran. Sekarang ini, keluarga Pandawa yakni para putra mereka sedang berada di sekitar Tegal Kurusetra. Sang raja menganggap hal ini menunjukan bahwa negara Hastinapura segera ingin dikuasai lagi pihak Pandawa. Ditambah lagi mereka datang kesana tanpa mendapatkan izin dari para Pandawa atau pun Kurawa. Yang memubuat Prabu Duryudhana risau bukan sekadar izin, tapi karena Prabu Gatotkaca mengajak saudara-saudaranya, para putra Pandawa, mengadakan latihan perang di Tegal Kurusetra. Latihan perang ini dianggap sebagai provokasi oleh pihak Kurawa dan juga bentuk rasa tidak hormat mereka kepada orang tua yakni para Pandawa dan Kurawa.”ini tidak bisa dibiarkan...Para putra Pandawa tidak menaruh hormat padaku! Paman Patih! Guru Dorna! Bagaimana kerja kalian ini?! Masa’ membereska para putra Pandawa kalian tidak becus? Aku tidak mau tahu! Aku mau tempe...eehh salah...aku mau kalian bereskan anak-anak itu dari Tegal Kurusetra!” Prabu Duryudhana marah-marah kepada kedua orang itu. Lalu ia beranjak dari takhta dan membubarkan pasewakan. Ia segera masuk ke kamarnya. Di dalam kamarnya, ia larut dalam pikirannya tentang mengantisipasi Negara Hastinapura agar tidak diserang para Pandawa. Lama-lama karena Prabu Duryudhana berpikir terlalu keras, ia jadi pusing sendiri tidak bisa menemukan jalannya. Di satu sisi ia merasa sayang dan tidak relakalau Tegal Kurusetra dijadikan sasana untuk latihan perang para keponakannya itu, tapi di sisi lain, ia tidak bisa serta merta langsung menyatakan perang terbuka.

Untuk itu segala daya upaya dicari untuk membinasakan keluarga Pandawa secara halus agar para Pandawa tidak selalu mengusik-usik negara Hastinapura dan Amarta tetap memang menjadi haknya. Patih Sengkuni lalu masuk ke kamar sang keponakan tercinta “Keponakanku gusti prabu...aku ppunya cadangan usul padamu!” “halahh...usulan paman pasti akan blunder lagi! Sudahlah mending aku tidur!” Patih sengkuni pun terus membujuk keponakannya itu “tunggu keponakanku..dengar dulu...kenapa kita harus pusing-pusing cari cara menyingkirkan para  Pandawa kalau solusinya ada disini!” “ maksud, paman ?” patih Sengkuni berkata “kita kan punya Durcala, keponakanmu itu.... anak si Dursasana.” Prabu Duryudhana baru ngeh...”oh iya..si Durcala...lalu apa hubungannya dengan anak-anak Pandawa...emangnya Durcala bisa mengalahkan mereka?” harya Sengkuni berkata bahwa Durcala, putra Arya Dursasana pasti sanggup.

Gatotkaca meguru
Patih Hastinapura yang bergelar harya Suman itu mengusulkan agar arya Durcala diberi tugas tersebut. Ia telah diberi kabar oleh Begawan Dorna kalau sekarang putra Dursasana itu baru saja pulang dari berguru kepada seorang Pisacaraja (makhluk halus) dan ia mendapat ilmu sakti bernama Aji Gineng. Menurut patih Sengkuni, kedatangan Arya Durcala di Tegal Kurusetra untuk memancing keributan dan perkelahian, dan ketika para putra Pandawa saling berperang dengannya, maka Durcala akan menggunakan ajian saktinya yang konon mampu menandingi kesaktian Prabu Gatotkaca itu.

Baru saja dibahas namanya, tak lama kemudian Arya Durcala bersama sang ayah, Arya Dursasana diiringi Begawan Dorna dibelakangnya datang ke pasewakan. Prabu Duryudhana memanggil sang keponakan “ohh Durcala...kau sudah pulang rupanya..kemarilah...aku ada tugasan untukmu.” Merasa dipanggil oleh uwanya, Arya Durcala memenuhi panggilan itu. “Ampun uwa prabu...ada apa kau memamnggilku hwehwehwehwe......” Prabu Duryudhana pun berkata kalau Durcala harus menghentikan latihan perang para putra Pandawa di Tegal Kurusetra. Harapannya, dengan Aji Gineng milik keponakannya itu, Prabu Duryudhana berharap Arya Durcala dapat mengalahkan semua kerabat Pandawa. Arya Durcala merasa senang hati mendapat perintah itu. Maka ia segera berangkat ke tegal Kurusetra.

Singkat cerita di Tegal Kurusetra, Prabu Gatotkaca dan Arya Antareja tengah melatih para adik dan sepupunya. Lalu datanglah arya Durcala bersma para paman Kurawa. Durcala menyampaikan perintah Duryudana untuk bubar “Gatotkaca, tindkanmu berani sekali menggunakan Tegal Kurusetra ini tanpa izin...aku perintahakan dirimu dan saudara-saudaramu pergi dari sini. Jika tidak aku akan menghajarmu!” Gatotkaca dan saudara-saudaranya menolak perintah itu “Hei Durcala, tidak bisa...Tegal Kurusetra ini tanah kosong kekuasaan.....tidak ada negara manapun yang menduduki tempat ini....menurutku bebas-bebas saja kami mau latihan perang disini!” Durcala terus mendesak, namun tetap saja Gatotkaca tidak mau pergi.  Akibatnya pecah perang di antara mereka. Dalam perang tanding, Durcala menggunakan Aji Gineng, Kemampuan Aji Gineng bila digunakan dan mengenai seseorang, maka jika bukan orang sakti, orang yang terkena aji Gineng akan hancur lebur bahkan sebelum mengernai tubuhnya. Prabu Gatotkaca terkena aji Gineng tidak mampu menahanya dan gemetar tubuhnya. “Ajian si Durcala gak main-main....ayo kakang dan adik-adikku gempur Durcala!!” para putra Pandawa terus melawan Durcala namun rupanya kekuatan Aji Gineng membuat mereka terdesak. Gatotkaca makin gemetar seakan tak sanggup lagi melawan aji Gineng.. Melihat Gatotkaca gemetar, Arya Durcala terus mengarahkan aji Gineng itu ke arah Gatotkaca sehingga lama kelamaan Gatotkaca roboh, terluka berat. Para putra Pandawa mengundurkan diri dari gelanggang, sedangkan Arya Antareja, arya Antasena, Prabuanom Srenggini dan Sri Pancasena membawa tubuh Gatotkaca ke tempat yang aman. Keempat saudara Gatotkaca itu lalu mengobati Gatotkaca hingga sembuh. “kakang...kayake awakmu harus meguru lagi....” ujar Antasena. Gatotkaca marah mendengarnya namun dilerai sang kakak “benar apa yang diucapkan adhi Antasena... dengak kekuatanmu yang sekarang, Durcala mustahil bisa dikalahkan.” Srenggini pun bertanya “lalu apa solusimu kakang Antareja? Dimana kakang Gatot harus meguru?” sekian lama mereka berpikir, lalu Sri Pancasena berkata “kakang semua, aku tahu solusi masalah ini.” Gatotkaca bertanya apa solusinya. Pancasena berkata “kakang masih ingat dengan Eyang Resi Seta? Aku pernah berkunjung padanya...kami beberapa kali saling bertukar ilmu dan aku pernah dengar darinya ada ajian yang bisa menjadi tandingan Aji Gineng. Sebaiknya kakang ke Padepokan Cemara Tunggal, ke rumah Eyang Resi Seta...jawabannya ada disana” Setelah sembuh Gatotkaca, dengan sisa-sisa tenaganya Prabu Gatotkaca berpamitan kepada kakak dan adiknya untuk ke Cemara Tunggal.

Singkat cerita, Gatotkaca sampai di Cemara Tunggal. Resi Arya Seta mempersdilakan cucunya itu masuk pertapaan Cemara Tunggal “Lho...Gatotkaca!? tumben kemari.....ada masalah apa sampai-sampai repot-repot datang ke pertapaan di tenah gunung ini?” Resi Arya Seta tak lain adalah putra prabu Matswapati, kakak kembar Dewi Durgandini, nenek canggah dari Gatotkaca sehingga hubungan Resi Arya Seta dan Gatotkaca layaknya kakek dan cucunya meskipun secara usia mereka mirip paman dan keponakan. Dia kakak dari Arya Utara dan Arya Wratsangka. “Begini, eyang Resi...aku ada masalah...Durcala...” Gatotkaca pun menceritakan semua kronologi apa yang ia dan saudara-saudaranya alami di Tegal Kurusetra. Resi Arya Seta mendegarkan dengan saksama. Setelah mendengarkan semuanya dari Gatotkaca, Resi Arya Seta berkata “ hoalah..ngunu tho....menurutku Durcala tidak sepenuhnya salah tapi dilihat dari caranya memberi peringatan padamu dan saudara-saudaramu tidak benar..menggunakan kekuatan saktinya denghan sembrono. Dia melakukannya pasti atas perintah pamannya, Duryudhana....aku melihat tindakan Durcala sebagai bentuk tumbal keserakahan Duryudhana dan para Kurawa lainnya. Sejak bapak, uwak dan para pamanmu dihukum dan diasingkan setelah peristiwa dadu, Duryudhana makin semena-mena pada rakyat Amarta. Aku akan melatihmu dan aku berjanji akan memberimu ilmu saktiku Aji Narantaka.”  Oleh Resi Arya Seta, Prabu Gatotkaca disuruh pergi bertapa brata dengan keras dan latihan fisik tanpa ampun. Selama berbulan-bulan, bahkan hampir dua tahun Gatotkaca melatih dirinya. Latihan fisik, meditasi, kultivasi diri, dan sebagainya dijalani tanpa kenal ampun. Singkat cerita, Resi Arya Seta memberikan padanya Aji Narantaka untuk menandingi Aji Gineng milik Arya Durcala. Setelah mendapatkan kesaktian dan aji Narantaka, Prabu Gatotkaca kembali menemui Durcala dan bertekad untuk membalas kekalahannya.

Singkat cerita, Gatotkaca telah kembali. Disana ia disambut oleh kakak, adik dan para sepupunya. Mereka mengucapkan selamat atas keberhasilan Gatotkaca meguru pada Resi Arya Seta. Di hari berikutnya, Prabu Gatotkaca kembali ke Tegal Kurusetra untuk menantang Durcala “hoii...Durcala ayo kesini!! akan aku balaskan kekalahanku dua tahun lalu....ayo kesini kalau berani..!!!”  Kabar itu terdengar ke Hastinapura, Prabu Duryudhana geram...Gatotkaca yang berhasil diusir dua tahun lalu bertani menantang Durcala, Kembali lah Durcala diutus untuk mengatasinya. Melihat kedatangan Prabu Gatokaca, Durcala sesumbar dan akan kembali mengalahkan Gatotkaca “hwehwehwehwe...berani betul Gatotkaca nantang aku...lupa dia kalau sudah ku percudangi.” Maka datanglah lagi Durcala dan para Kurawa ke Tegal Kurusetra. Tanpa pikir panjang lagi, terjadilah kembali perang tanding antara Gatotkaca dan Durcala. Berbagai ilmu kesaktian dikerahkan.

Aji Narantaka
Terjadi ledakan hebat dimana-mana. Bumi gonjang-ganjing, langit kolap-kalip.para dewa melihat kesaktian dua ajian mematikan itu, lalu batara Indra memerintahkan Batara Shani, putra Batara Surya yang juga hakim para dewa pencatat karmapala menghubungi Prabu Sri Kresna dan isterinya yang kelima yakni Dewi Kalindi. Dewi Kalindi sesungguhnya Dewi Yamuna, putri Batara Surya yang artinya ia adalah saudara Batara Shani. “Sri Kresna ini gawat....keponakanmu Gatotkaca tengah bertarung dengan Durcala. Sekarang Aji Gineng milik Durcala dan Aji Narantaka milik Gatotkaca tengah beradu. Bagaimana pendapatmu soal ini?” tanya Batara Shani. Sri Kresna dan Dewi Kalindi mengamati dari Kaca Benggala milik Batara Indra memberikan pendapatnya “kita lihat apa tindakan Gatotkaca setelah ini. Kalau dia sudah sesumbar kita kirim bala batuan dari sini untuk menyadarkannya.”ujar Sri Kresna. Dewi Kalindi pun memanggil dua adiknya yakni Dewi Sumpani dan Dewi Suryawati “adikku Suryawati dan Sumpani...persiapkan diri kalian... kalian akan menjadi bagian dari kisah Mahabarata yang menakjubkan ini....” “ baik kakang mbok...kami akan sedia menunggu arahan.....’” ucap Sumpani dan Suryawati bersama-sama. Singkat cerita,  Durcala terus menghantam Gatotkaca dengan aji Gineng namun dapat ditangkis dengan aji Narantaka milik Gatotkaca. Benturan Aji Gineng milik Arya Durcala dan Aji Narantaka milik Prabu Gatotkaca menimbulkan suara yang dahsyat. Akhirnya Aji Gineng tidak dapat mengalahkan Aji Narantaka milik Gatotkaca, akibatnya tubuh Arya Durcala hancur lebur terkena hantaman Aji Narantaka. Dengan kematian Arya Durcala, bala tentara Kurawa kucar-kacir dan melarikan diri kembali ke negara Hastinapura untuk memberi kabar kematian Arya Durcala.

Setelah Gatotkaca berhasil menghabisi Arya Durcala dengan Aji Narantaka, ia sesumbar “hahahahaha...aku tidak terkalahkan!!!...hahahahaha...tidak ada yang mampu menahan Aji Narantaka milikku, kalau ada yang bisa jika laki-laki akan ku jadikan saudara kalau perempuan akan aku jadikan istri!!” dengan kekuatannya nya yang bagaikan diluar nalar, Gatotkaca terbang kegirangan sampai-sampai menciptakan badai. Topan badai bercampur debu tebal menutupi seluruh daratan. Tegal Kurusetra nyaris hancur karenanya. Namun tiba-tiba, datang suara perempuan dari langit  “hei Gatotkaca! Jangan angkuh! Jangan sombong..... nanti hidupmu terpesong.. kau lupa Gatotkaca, di atas bumi ada langit dan di atas langit masih ada langit.” Gatotkaca melihat dari langit sepasang bidadari yakni Dewi Sumpani dan Dewi Suryawati. “Hei Gatotkaca...aku Suryawati dan adikku Sumpani akan mengalahkanmu.” Gatotkaca memandang remeh kedua bidadari itu dan berkata “hahaha nona bidadari berdua...kalian tidak akan mampu menahan kekuatanku...baiknya kalian menyingkir.... Dewi Sumpani pun berkata “kau jumawa sekali...ayo serang kami dari mana saja!” Gatotkaca merasa ditantang maka terjadilah perang tanding. Seorang pria melawan dua wanita. Gatotkaca mengerahkan seluruh kekuatannya dan menghantamkan Aji Narantaka ke arah Dewi Suryawati dan Sumpani. Dewi Suryawati berhasil menghindar namun tidak dengan Dewi Sumpani. Ia terkena namun anehnya Dewi Sumpani malah tidak apa-apa. Dewi Sumpani rupanya kuat, mampu menahan Aji Narantaka milik gatotkaca. Di tengah rasa keheranananya, Dewi Suryawati mengeluarkan kekuatan api dan nyaris mengenai Gatotkaca. Gatotkaca pun menghantamkan Aji Narantaka ke arah Suryawati. Ternyata Suryawati juga kuat menahan Aji Narantaka. Di saat lengah, Dewi Sumpani menjerat tubuh Gatotkaca dengan selendangnya, begitu juga Dewi Suryawati. Gatotkaca meronta-ronta namun seakan kekuatannya lenyap. Dewi Sumpani berkata “sekarang kau tidak bisa apa-apa. Selendang kami bisa menetralkan kekuatan apapun.” Gatotkaca pun merasa malu kerena sesumbar. Dewi Suryawati pun mendekat menenangkan Gatotkaca “sudahlah...yang lalu biar berlalu. sekarang kau sudah sadar, kan? Sekarang ayo penuhi janjimu, suamiku!” “Suamiku, maksudnya?” kagetlah Gatotkaca. “hei kalau sudah janji jangan dimungkiri....ayo tepati janjimu.” Suara yang lembut namun keras itu tidak asing . rupanya itu suara Pergiwa, isterinya. Ia sudah mendengar janji suaminya itu dari para iparnya dan Prabu Sri Kresna. “waduh aku kenek gepok iki...” gumam Gatotkaca. “ehehe.... sayangku cintaku manisku Pergiwa.... ini tidak...” “hop......kakanda ini bagaimana? mau ingkar janji...kene ta’gepok...wes ta’ siapne penjalin...!!.” “ hehehe..tolong!”gumam Gatotkaca sambil memelas. alhasil sekujur badan Gatotkaca lebam merah habis dicambuki isterinya dengan rotan. Dewi Pegiwa mendekati Dewi Suryawati dan Dewi Sumpani...”hei bestie....ayo kita sama-sama buat suami kita ini sadar akan sebuah tanggung jawab.....seperti motto ibuku, ayo buat dia bertanggung jawab.....” “yo!! mari kakang mbok...” Singkat cerita, sesuai janjinya, Gatotkaca menikahi Suryawati dan Sumpani.

Pernikahan Gatotkaca yang kedua dan ketiga kali
Di pelaminan, Prabu Gatotkaca nampak gagah dengan ketiga isterinya yang cantik-cantik itu. Kelak dari Suryawati akan berputra Bambang Suryakaca dan dari Dewi Sumpani berputra Jaya Sumpena.


Rabu, 13 September 2023

Bedah Amarta

 Hai pembaca dan penikmat kisah-kisah pewayangan, kisah kali ini menceritakan tahun pertama dan kedua pengasingan Para Pandawa di alas Kamyaka dan Amarta dikuasai oleh Para Kurawa. Pengasingan ini sempat diganggu oleh para Kurawa dan Prabu Kirmira, anak Prabu Baka yang ingin balas dendam kepada Arya Wrekodara. kisah ini mengambil sumber dari blog albumkisahwayang.blogspot.com dan kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa.

Di Keraton Gajahoya, Adipati Dretarastra dan Dewi Gendari dihadap Arya Widura. Hari itu Arya Widura datang untuk memohon kebijaksanaan Adipati Dretarastra agar membatalkan hukuman buang yang dijalani para Pandawa dan Dewi Drupadi. Peristiwa yang terjadi di Kerajaan Hastinapura tempo hari sungguh biadab, di mana Dewi Drupadi dilecehkan dan direndahkan oleh Arya Dursasana dengan disaksikan para hadirin, termasuk para sesepuh negara. Arya Widura merasa sangat malu tidak dapat berbuat apa-apa. Adipati Dretarastra pun saat itu hanya diam saja tidak mencegah anak-anaknya.

Dewi Gendari menyela pembicaraan. Ia berkata “aku telah menghentikan permainan itu. Pelecehan Dewi Drupadi sangat memalukan dan menjadi aib kerajaan kita. Lalu, mengapa adhi Widura masih saja mengungkit-ungkit soal itu?” Arya Widura menjawab, kakang mbok...yang namanya aib selamanya tetap saja menjadi aib. Kakangmbok memang telah menghentikan permainan, namun permainan tetap saja dilanjutkan dengan bentuk taruhan yang berbeda. Akibatnya, para Pandawa pun kalah dan dibuang selama tiga belas tahun.” Dewi Gendari menjawab, taruhan bentuk baru itu sudah disepakati bersama. Barangsiapa yang kalah harus menjalani hukum pengasingan selama tiga belas tahun. Tidak ada lagi perbudakan dan pelecehan, yang ada hanyalah hukuman pengasingan.

Arya Widura berkata hukuman tersebut harus dibatalkan, karena para Kurawa diwakili Patih Sengkuni yang telah berbuat curang. Pihak Kurawa bisa menang karena Patih Sengkuni bermain sihir dalam melempar dadu. Oleh sebab itu, Arya Widura menyarankan agar hukuman dibatalkan saja, dan para Pandawa harus dijemput pulang kembali ke negara mereka. Adipati Dretarastra yang tempo hari diam saja tidak bertindak, maka kini saatnya melakukan sesuatu untuk menghapus aib yang melanda Hastinapura. Dewi Gendari tersinggung mendengar Patih Sengkuni dituduh berbuat curang dan bermain sihir. Ia pun mengadukan hal itu kepada Adipati Dretarastra, dan ia meminta izin agar diperbolehkan pulang bersama Patih Sengkuni ke Kerajaan Gandaradesa daripada dihina seperti ini. Arya Widura menuduh tanpa bukti, itu namanya fitnah belaka. Adipati Dretarastra termakan ucapan istrinya. Ia pun memarahi Arya Widura, menuduhnya sebagai paman yang pilih kasih. “Widura, Selama ini Kau selalu berat sebelah, lebih membela para Pandawa daripada para Kurawa, padahal mereka sesama keponakanmu. Apapun yang dilakukan anak-anakku selalu salah di matamu, sedangkan apapun yang dilakukan anak-anak Pandu selalu terlihat benar. Jika memang kau lebih sayang kepada para Pandawa daripada anak-anakku, mengapa tidak pergi saja menyusul mereka?” Arya Widura terkejut mendengar ucapan kakaknya. Ia pun mohon pamit untuk pergi bergabung dengan para Pandawa di Hutan Kamyaka. Prabu Duryudhana melihat pamannya itu melenggang pergi dari kamar ayah ibunya. Ketika ia masuk, ia bertanya “ayahanda! Ibunda! Kenapa paman Arya Widura pergi begitu saja begitu?” “aku telah mengusirnya, putraku.” Prabu Duryudhana marah besar “Ayahanda! Kenapa Ceroboh Begitu! Ayah tahu kalau Paman Arya Widura itu memihak Pandawa. Kalau dia Ikut Ke sana maka kita akan Kehilangannya sebagai sosok penting! Aku akan membawanya kembali!” tiba-tiba datang Patih Sengkuni “tidak perlu, keponakanku yang mulia raja Duryudhana. Aku sudah membawa seseorang untuk mengurus itu.” “Siapa itu paman patih?” Patih Sengkuni berkata “raja Ekacakra, Prabu Kirmira. Dia punya dendam pribadi pada Arya Wrekodara dan dia akan menggunakan kekuatannya untuk membuat Widura tidak betah bersama para Pandawa.” Prabu Duryudhana semringah mendengarnya. Ia pun memerintahkan adik iparnya, Prabu Jayadrata dari Sindhu Banakeling untuk merebut Amarta. Di tengah jalan, Prabu Jayadrata bertemu dengan raja raksasa. Sang raja memeperkernalkan diri bernama Prabu Kirmira dan akan ikut bersama Jayadrata karena ia sudah diberitahu Sengkuni kalau Jayadrata akan menuntunnya kepada arya Wrekodara.

Sementara itu, Para Pandawa beserta Dewi Drupadi dan para Punakawan telah memulai pengasingannya.

Arya Widura berusah membujuk Yudhistira
Namun sebelum pergi berangkat, Arjuna telah berdoa pada Hyang Widhi agar Amarta tidak dijahili tangan tak bertanggung jawab dan rakyat Amarta merasa aman, tetap seperti saat mereka belum pergi. Maka muncullah pagar dinding dari pepohonan dan semak. Rakyat Amarta pun terlindung oleh maya dan ilusi. Apabila rakyat ingin keluar masuk Amarta, Arjuna dan Wrekodara sudah membuatkan jaringan terowongan bawah tanah ilusi yang hanya diakses rakyat Amarta dan istana Indraprastha sehingga tidak akan diketahui siapapun termasuk Kurawa. Jalannya pemerintahan yang sah tetap dijalankan Prabu Yudhistira sembari dalam hukuman buang dan itu tanpa sepengetahuan Kurawa. Beberapa rakyat Amarta yang merupakan para resi dan agamawan turut menyamarkan diri. Sesaat setelah kepergian Pandawa, tanpa sepengetahuan mereka, Adipati Jayadrata datang menuju Amarta. Namun ia mendapat halangan dari beberapa putra Pandawa, yakni arya Antareja, Prabu Gatotkaca, Prabuanom Srenggini, dan Raden Abimanyu yang memang belum rela jika istana Indraprastha diduduki para Kurawa dengan cara curang. Mereka menghadang  sang raja Sindu Banakeling di depan pintu gerbang kotaraja “hei paman Jayadrata ! pergilah dari sini. Kami disini akan menjaga negeri Amarta ini.” Ujar Arya Antareja “benar! Aku tidak akan segan menyerang siapapun yang mendudukitanah air kami!” kata Prabu Gatotkaca. Ucapan kedua wakil Amarta itu membuat prabu Jayadrata karena para putra Pandawa menuduh tanpa bukti. Ia berkata “Aku Tidak peduli! Kerajaan Amarta dan seluruh isi istana Indraprastha akan diambil alih hari ini juga, mau kalian setuju atau tidak!”. Arya Antareja dan saudara-saudaranya bertekad akan mengukuhi setiap jengkal Kerajaan Amarta. Prabuanom Srenggini berkata “sudah tidak perlu nego-nego lagi... serang saja pasukan Kurawa. Darahku mendidih melihat arogannya paman Jayardrata.” Ketika Prabuanom hendak menyerang Jayadrata, Tiba-tiba datang Prabu Kirmira maju menerjang mereka. Maka, terjadilah pertempuran. Kedua putra Pandawa dan pasukan Amarta bertempur menghadapi Prabu Kirmira dan pasukan raksasa Ekacakra. Setelah bertempur cukup lama, para putra Pandawa merasa terdesak. Mereka tidak mampu lagi mempertahankan Kerajaan Amarta dan terpaksa pergi menyusul orang tua mereka di alas Kamyaka. Prabu Kirmira tidak mau mengampuni. Ia tetap mengejar mereka dan menyerahkan Amarta kepada Prabu Jayadrata. Namun yang dilihat Jayadrata hanyalah hutan lebat dan semak belukar menutupi puing-puing bangunan kuno,. Tak ada lagi rumah dan istana yang megah melainkan tumpukan bata dan istana kosong tanpa penghuni. Menganggap istana Indraprastha sudah dirobohkan para Pandawa, Prabu Jayadrata menancapkan bendera Hastinapura di puncak istana kosong yang telah tertutup pohon dan semak.

Di tengah tahun pertama itu, atas hasutan Sengkuni dan Duryudhana, Prabu Kirmira, putra Prabu Baka raja Ekacakra yang dulu dikalahkan Wrekodara memasuki hutan untuk menyerang rumah gubuk para Pandawa dan Dewi Drupadi di alas Kamiyaka. " Akan kutuntaskan dendam ayah dan adikku. Gara-gara si Bhima itu, Ekacakra tak bisa ku tundukkan." Sementara itu, para Pandawa dibantu para Punakawan membangun rumah gubuk untuk mereka tinggal. Sementara Dewi Drupadi mengumpulkan bahan makanan di sekitar hutan. Mereka hidup penuh prihatin. Lalu tiba-tiba  Arya Widura datang menemui mereka. Mereka heran melihat sang paman hadir di alas Kamyaka. “paman Arya, kenapa kau datang kemari?” tanya Prabu Yudhistira. Arya Widura berkata “aku diusir kakang adipati Dretarastra karena memperjuangkan keadilan kalian yang dicurangi Patih Sengkuni.”  Prabu Yudhistira berkata “tidak ada yang curang dalam permainan tersebut, paman arya. Paman patih bisa menang karena ia memang pandai dalam bermain dadu. Sebaliknya, aku kalah karena memang tidak terampil. Sekarang para Pandawa harus menjalani hukuman, dan itu adalah bagian dari perjanjian. Sebaiknya paman Arya kembali ke Hastinapura”. Arya Widura menggeleng. “Aku belum bisa kembali ke sana.” Belum selesai pembicaraan para Pandawa dengan sang paman, mereka dikejutkan dengan datangnya putra-putra mereka yang mengaku dikejar-kejar raja raksasa bernama Prabu Kirmira. Raden Abimanyu bercerita “ampun ayahanda dan uwa juga paman semua. Aku, kakang Antareja, kakang Prabu Gatot, dan kakang Prabuanom Srenggini berniat mempertahankan Amarta saat hendak diambil alih para Kurawa dan paman Prabu Jayadrata. Ternyata paman prabu Jayadrata datang bersama raja raksasa. Namanya Prabu Kirmira, raja Ekacakra. Dia berilmu tinggi dan menguasai segala sihir, santet, teluh dan guna-guna. Kami terdesak menghadapi kekuatannya dan terpaksa kabur menuju alas Kamyaka.” Prabu Yudhistira berkata “anak-anakku, Kerajaan Amarta tidak perlu dipertahankan karena sudah menjadi bagian dari perjanjian. Selama tiga belas tahun ke depan Kerajaan Amarta dititipkan kepada para Kurawa dan itu harus ditepati.” Prabuanom Srenggini menyanggah “tidak bisa paman prabu! Sudah jelas paman-paman Kurawa mendapatkan Amarta dengan cara culas dan curang. Kami tidak rela menyerahkannya...” “benar kata keponakanmu itu, Yudhistira. Aku tidak akan pulang ke Hastinapura jika ananada prabu tidak meminta keadilan ini!” Namun, Prabu Yudhistira tidak setuju. “tidak paman Arya! Aku telah berjanji untuk menghormati keputusan yang telah disepakati bersama, yaitu harus menjalani hukuman sampai selesai. Jejulukku Dharmaputra dan aku merasa bagiku menepati dharmaku!” “benar kata kakang prabu, kami harus menyelesaikan pengasingan ini dengan jujur.” Betul, itu, kami harusd menyokong kakang Prabu.” Sahut para Pandawa lainnya. Arya Widura merasa para keponakannya itu sudah membulatkan tekadnya.

Tidak lama kemudian datanglah Prabu Kirmira di tempat itu. Tanpa pikir panjang,  Prabu Kirmira dan pasukannya membakar seisi alas Kamiyaka dan menghancurkan rumah gubuk tempat tinggal para Pandawa, Dewi Drupadi, dan para punakawan tinggal. Tak cuma diserang, Prabu Kirmira mengirimkan racun, têluh, guna-guna, dan santet untuk membunuh para Pandawa. Sihir yang ditujukan Prabu Kirmira tak mengenai Pandawa secara langsung melainkan kepada para pendeta dan rakyat Amarta yang ikut mengasingkan diri. Ia mengejek anak-anak Pandawa yang tidak mampu mengalahkan dirinya, lantas meminta bantuan ayah mereka. Ia lalu bertanya “ mana yang bernama Arya Wrekodara? Ak akan membuat perhitungan dengannya!” Arya Wrekodara pun maju menunjukkan diri. Sang Panegak Pandawa geram dibuatnya. WOOOi!!....Sapa Awakmu? Aku dan kakak-adikku tidak pernah berbuat masalah denganmu, tapi teganya kau mengganggu kami!” ‘kau tidak ingat ayahku, Prabu Baka Atau adikku Baranjana? Aku Kirmira, anak dari Prabu Baka! Aku juga kakak dari Baranjana! Kau telah membunuh ayah dan adikku, Sekarang raskan kemarahan dendamku!” “Kurang Ajar, Kuhabisi Kau!”. Arya Wrekodara marah dan menyerang Kirmira. Adu kekuatan tak terelakkan. Karena bermin dengan sihir, beberapa kali Arya Wrekodara terjebak maya dan ilusi. Serangan sihir membuat perutnya sakit dan luka sekujur badan tanpa adanya sentuhan apapun dari sang raja Ekacakra. Melihat kakaknya terdesak, Arjuna segera mendekat “kakang, cepat pakai Lenga ini.”. Dengan cepat, Arjuna dibantu Arya Widura melumuri tubuh Arya Wrekodara dengan Lenga Pranawa. Alhasil semua serangan gaib dan sihir Kirmira bisa dipatahkan.

Kirmira menantang Arya Wrekodara
Setelah bertarung lama, Prabu Kirmira dihantamkan oleh Arya Wrekodara pada batang pohon beringin. Tak butuh waktu lama, Kirmira berhasil dikalahkan. Para prajurit Ekacakra pun lari tunggang langgang. Setelah kepergian pasukan Ekacakra, para Pandawa menyuruh para putra mereka untuk kembali saja ke kadipaten dan rumah mereka kalau tidak mau tunduk pada para Kurawa. Melihat kakek Arya Widura saja sudah kesusahan membujuk pamannya, mereka pun menurut. Prabu Gatotkaca kembali ke Pringgondani, Arya Antareja kembali ke kadipate Jangkarbumi, Srenggini kembali ke kadipaten Gisiksamodra dan Abimanyu kembali Ke Dwarawati bersama ibu dan saudara-saudaranya.

Mendekati tahun kedua pengasingan, Kurawa tak habis-habis mengirimkan godaan. Tak puas dengan kekalahan Kirmira, kini para Kurawa memakai cara dengan mengadu domba Pandawa dengan kaum Gandharwa. Namun nasib Kurawa sial, kaum Gandharwa yang dipimpin Nini Mirahdinebak dan Prabu Citrasena justru membela Pandawa. Bahkan Prabu Duryudhana beserta adik-adiknya justru harus berhadapan dangan Prabu Citrasena, yang juga sahabat Prabu Mayasura, arsitek kepercayaan para Pandawa yang sudah memperindah Amarta. Para Gandharwa membuat berbagai macam ilusi dan maya. Prabu Duryudhana dan adik-adiknya dibuat kebingungan karena terus berputar-putar tak bisa keluar dari alas Kamyaka. Di saat demikian, Para Pandawa justru menolong para Kurawa. Para Kurawa malu sangat dan tidak lagi menggoda Pandawa secara terang-terangan. Para Pandawa sadar kalo mereka terus seperti ini, Para Pandawa tidak bisa tenang. Maka mereka masuk jauh ke tengah hutan Kamyaka ditemani para punakawan. Arya Widura sangat terharu dengan kebaikan hati para Pandawa. Walau sudah dijahati berkali-kali, tetap saja menolong para Kurawa. Kini sudah cukup lama Arya Widura tinggal di alas Kamyaka bersama para Pandawa, hampir 10 bulan lamanya demi membujuk kepoakannya. Namun pendirian Prabu Yudhistira tetap kukuh akan tinggal di hutan selama 12 tahun dan menyelesaikan hukuman nyamur 1 tahun. Merasa tidak ada gunannya lagi membujuk sang keponakan, Arya Widura pun pamit kembali ke Hastinapura. “aku pamit, anak-anakku. aku hanya bisa mendoakan semoga kalian baik-baik saja selama menjalani masa pengasingan ini. Semoga Dewata memberkati kalian” Arya Widura lalu kembali ke Kerajaan Hastinapura dnengan diantar Petruk, Gareng, dan Bagong.

Sabtu, 09 September 2023

Petruk Mantu

 Hai semua pembaca dan penikmat kisah pewayangan. Kisah kali ini adalah kisah pernikahan anak Petruk yakni Bambang Lengkung Kusuma dengan Endang Nalawati. Kisah ini juga menceritakan kedatangan para Pandawa dari hutan Kamyaka ke pernikahan itu hanya untuk meminta hukuman dari kakek Semar sebelum benar-benar memulai pengasingan. Kisah diakhir dengan para Pandawa, Dewi Drupadi, dan para Punakawan berangkat mengasingkan diri ke hutan selama dua belas tahun ditambah satu tahun hidup menyamar sebagai orang biasa. Kisah ini mengambil sumber dari blog kompasiana bapak Hery Santoso yang berjudul Petruk Mantu denghan perubahan dan penambahan dari penulis.

Prabu Duryudhana sedang duduk di atas takhtanya, ia sedang gembira karena berhasil mengusri para Pandawa dari istananya sendiri setelah kalah dadu tapi sesaat raut wajahnya kembali kusut. Ia memikirkan anaknya yang lelaki yakni Lesmana Mandrakumara yang hingga hari ini belum juga menikah. Sekarang dengan ketiadaan para Pandawa yang saat ini berangkat mengasingkan diri di hutan, Lesmana Mandrakumara tak akan merasa ada saingan lagi. Selintas lalu, Prabu Duryudhana tiba-tiba kepikiran untuk menggaet hati Semar dan keluarganya karena ia menyangka kakek Semar sudah sakit hati karena dipertaruhkan oleh Yudhistira saat judi dadu tempo hari “hmmm...kalau anakku nikah dengan cucu Kakek Semar, maka aku bisa mengendalikan para Pandawa ditambah lagi sekarang kakek Semar masih sakit hati karena ia turut dijadikan barang taruhan oleh Yudhistira...hhhmmmm baiklah sudah ku putuskan, akan ku nikahkan putraku dengan cucu kakek Semar, Endang Nalawati.” Prabu Duryudhana pun memanggil patih Harya Sengkuni, Harya Dursasana dan sang putra, Lesmana Mandrakumara. Diaturlah sebuah perjalanan untuk melamar Endang Nalawati. Awalnya Lesmana Mandrakumara enggan tapi setelah dibertahu sang ayah kalau Endang Nalawati itu gadis desa yang sangat cantik jelita, maka tertariklah kembali sang putra mahkota idiot itu. Mereka pun segera berangkat ke desa Karangtumaritis.

Pagi yang cerah ceria, musim sedang beralih dari kemarau dan bediding yang menggigit menuju musim hujan yang penuh kesuburan.... Desa Karangtumaritis ialah sepenggal kahyangan yang jatuh di antara banyaknya daerah di seluruh Jawadwipa, sama asrinya dengan desa Widarakandang dan Warsana, tempat tinggal masa kecil Prabu Sri Kresna dulu. Alam bersenandung melalui suara gemericik air yang sedang membaluri hamparan sawah yang menghijau dan berdendang melalui riang kicau burung-burung yang sedang bermain-main di rimbun dedaunan. Sungai baru saja mengalir dengan banyak air setelah lama debit airnya kecil. Hanya terpisahkan sebuah sungai, Tak jauh dari sawah yang hijau itu berbagai tumbuhan berbunga indah, rumput dan lalang menghampar menciptakan lapangan padang rumput yang sedap dipandang hati. Dengan bau tanah kering yang baru tersiram hujan, Tanah lapang itu disebut sebagai Ara-ara Klampis Ireng oleh warga sekitar, karena di tengah lapangan padang rumput itu tumbuh sebatang pohon klampis besar yang gagah sendirian, hanya rumput lalang dan semak bunga yang menemani pohon klampis jomblo ini. Terlihat disana sapi, lembu, kambing, dan domba merumput dengan riangnya. Sebagian lagi ada yang menyusu bersama anak-anak mereka. Nada seruling para gopala dan gopi (penggembala) mengalun bersama datangnya sang pagi. Desa Karangtumaritis yang asri dipimpin kakek Semar ya ki lurah Badranaya ya ki lurah Janggan Asmarasanta. Desa ini sebenarnya terdiri dari tiga pedukuhan yakni Blubuktiba yang dipimpin Gareng sebagai sang kamituwa, Kembangsore dengan kamituwanya yakni Petruk, dan Karang Kadempel yang dinaungi oleh Bagong.  Kali ini pusat perhatian akan terpusat di dukuh Blubuktiba. Dari jauh, tampak rumah mungil tapi asri pinggir sawah, ditemani rerimbunan pohon bambu, di situ Gareng bersama keluarga kecilnya bernaung. Hari itu, Semar dan Bagong alias Cepot alias Bambang Astajingga alias Mangundiwangsa berkumpul di rumah itu bersama keluarga Gareng. Mereka berunding untuk mempersiapkan rencana pernikahan Endang Nalawati, anak Nala Gareng alias Cakrawangsa alias Bambang Sukodadi alias Pancal Pamor; dengan Lengkung Kusuma, anak Petruk alias Kantong Bolong alias Bambang Pecuk Pecukilan. Mereka tetap optimis dapat menyelenggarakan acara pernikahan itu meskipun dengan segala keterbatasan. Gareng beramah tamah dengan Bagong “lha Gong, endi bojomu karo anakmu? Ko gak melu “ “ ohh bojoku...Lelasari ya Bagawati bersama anakku si Besut neng omahe kang Petruk” Gareng lalu memanggil putrinya “Nalawati mrene, nduk” “Engghi, mo” Endang Nalawati pun mendekati sang ayah. Ayahnya lalu menanyakan kesiapan sang putri “Kamu sudah siap, nduk?”, tanya Gareng. “Ya sudah to, romo. Aku kan sudah lama merencanakan rumah tangga dengan kakang Lengkung”. “Kamu sudah tahu bagaimana seharusnya punya suami?” lanjut Gareng. Bagong nyeletuk, “Apa perlu aku ajari....?” seisi rumah kaget lalu tertawa. Gareng pun berkata sambil menampar kepala sang adik “Maksudmu apa tha , Gong?” “aduh! Lara ki kang Gareng.....aduhhh benjut ki ndasku......ealah talah,  ne’ aku ngomong, ojo dipotong sek......”  Bagong lalu melanjutkan bicara  “ngene kang, ojo salah paham. Pikiranmu ojo ngeres dulu. Maksudku, aku ajari bagaimana menjadi istri yang baik”. Bagong dengan gayanya yang khas, menasehati keponakannya yang akan menikah itu. Kakek Semar melanjutkan, “Begini, begini ya Reng. Walaupun romo ini sudah tua, tidak bisa uwur-uwur, memberi sumbangsih secara materi, ning romo ingin uwur tutur - uwur sembur marang cucuku Nalawati, sebelum janji sucinya.” Kakek Semar mendekati cucu perempuannya itu  “cucuku seng ayu dhewe, Eling yo nduuk pepilinge Eyang. Apa itu yang disebut, pangkat dan derajat kui mung sampiran. Harta benda, rajakaya, anak keturunan seng berbakti mung titipan semana saking seng Maha Kawasa, mung kudu amanah. Yang penting kamu harus bisa menjaga ketenteraman jiwa dalam berumah tangga yo nduuk. Suami dan istri kudu isok nyambung. Nyambung dalam komunikasi, tetap saling mendukung dalam suka dan duka”.“Betul jarene eyangmu, kudu nyambung, nyatu, dan saling mahami....iku kuncine..... penting ojo padu wae (jangan bertengkar melulu)”, sahut Dewi Sariwati, istri Gareng yang tak lain ialah ibu Nalawati.

Rupanya kegayengan keluarga besar kakek Semar tidak berlangsung lama. Bala Kurawa memecahkan suasana musyawarah mereka. Dengan angkuh Sengkuni, Lesmana Mandrakumara, dan Dursasana menghampiri Punakawan yang masih tampak terheran-heran itu. “Selamat datang ndara Patih dan para bangsawan semua”, sambut Semar. “Ya, kakang Semar. Begini ya Gareng, kedatanganku ke sini akan melamar anakmu Nalawati”, datar suara Sengkuni tanpa basa-basi. “Hoi, paman Sengkuni, yang jelas dong ngomongnya! Kok paman yang melamar?! Melamar untuk cucu…, begitu!”, bentak Dursasana sambil menggoyang-goyangkan tangannya yang kekar. “Cepetan kenapa yuuung….”, Lesmana tak sabar. “Sebentar Dur, paman belum selesai bicara. Mono… sabar disik yo lee…”. “Kalau ngomong mbok ya jangan sambil merem gitu to maan, hehehe….”, Dursasana mengingatkan. “Saya akan melamar anakmu, Nalawati, untuk cucuku Lesmana Mandrakumara”. “Njeeeh… kanjeng romo Gareeng…”, suara Lesmana melengking “Beluum! (sambil menabok Lesmana). Kamu ini ya bodoh sekali…. Belum jadi menantu kok memanggil romo Gareng, hehehe…”, bentak Dursasana. “Bukannya sudah disetujui man?” “ Belum!! Ini baru melamar! Byuh, byuh, kok nyocol wae bocah iki to yo, hehehe…”, Dursasana mencoba menenangkan. “Kamu akan hidup mulia dan bahagia, jika mau berbesanan dengan Raja Hastinapura”, Sengkuni mengiming-imingi Gareng.

Belum terjawab tawaran Sengkuni, tiba-tiba datang Boma Sitija, raja Trajutrisna. “Baginda Boma, selamat datang”, Gareng menyambut. “Ya, ya…”. “Bakti hamba baginda”. kata Bagong. “Ya, Bagong”. “Bakti kula gus”, Semar melanjutkan. “Ya, Eyangku Semar, sama-sama”, Sitija menerima sembah bakti Punokawan. “Inikah yang namanya Nalawati?”, tanya Prabu Boma Sitija. “Njiih den…”, Gareng menjawab. “Njanur gunung, paduka rawuh di padepokan Blubuktiba, ada perlu apa ya?”, tanya Gareng. “Begini ya Reng, kedatanganku ke sini dengan membawa berpeti-peti perhiasan dan bermacam-macam rajabrana. Saya ingin melamar anakmu Nalawati, untuk menjadi istriku”. Prabu Boma Sitija menjelaskan kalau dia ingin menikahi Nalawati karena keinginan dari isterinya, Dewi Hagnyanawati. Dewi Hagnayanawati berkata ia mau melayani sang suami lagi kalau dimadu dengan Endang Nalawati. Mendengar maksud kedatangan Sitija seperti itu lantas Dursasana mengingatkan. “Lho-lho-lho, awas Reng, yang datang duluan ke sini Patih Hastinapura, hehehe…”. “Terus terang saya merasa tersanjung. Anak saya dilamar pangeran, pertama: calon raja, yaitu ndara Lesmana Mandrakumara.. Dan ini ada lagi Raja Trajutrisna. Saya seperti kurung munggah lumbung. Namun perlu njenengan berdua ketahui, bahwa saya sudah sepakat akan berbesanan dengan adik saya Petruk”. Harya Dursasana lalu berkata “Wes Reng gak usah basa-basi...urusan Petruk gampang, wes kawinkan anakmu dengan ponakanku.....” “jangan dengarkan dia! Lebih baik nikahkan saja intan payungmu kui denganku, lamaran Petruk dibatalkan saja. Kalau dia marah, aku yang tanggung jawab”, ucap Sitija dengan setengah memaksa. “Untuk aku saja, aku masih perjaka. Dia sudah punya istriii…”, suara Lesmana mendayu-dayu tidak terima. “Gareng! Kamu harus luluskan permintaan kami! Sudah, jangan banyak bicara, hajar saja dia!!”, Dursasana hilang kesabaran. Ditendangnya Sitija hingga terjerembab ke belakang. Pertarungan tak bisa dielakkan. “Wah, wah, wah, bagaimana ini? Ini bisa-bisa menggegerkan Padukuhan Blubuktiba”, kata Bagong. “Sudah, sudah, jangan panik, romo akan selesaikan masalah ini”, kata Semar. “Mongso bodho-a mo, yang penting bagaimana suasana bisa tenteram kembali”, Gareng pasrah.

Situasi tak bisa dikendalikan. Tak hanya Sitija yang meladeni gempuran Dursasana, pasukan Trajutrisna pun bertempur melawan pasukan Hastinapura. Sambil menghunus keris, Sengkuni di pinggir arena mengamat-amati jalannya pertarungan, mencari celah, berharap bisa menghabisi Boma dari belakang. “Sudah, sudah, cukup, cukup, berhenti bertarung deen…, berhenti, berhenti, sabar, sabar, ya ndoroo…”, Semar mencoba melerai. “Boma, kau tamu kurang ajar!”, bentak Dursasana. “Kurawa biang onar!”, Boma tidak terima.“Apa maumu?!”, Dursasana membentak lagi. “Semaumu!”, Boma Sitija tak mau kalah. Entah dengan kekuatan apa, Endang Nalawati mendekati medan laga dan melerai kedua pelamar itu “ Sudah cukup!....kalau ingin mendapatkanku, minimal pake effort...aja mung nggawe otot dan dengkul!” Kedua orang itu kaget dengan ketegasan Nalawati. “Nalawati sudah mulai turun tangan, kalau begini terus bagaimana ini mo?” Gareng bingung. “Lha, terus maumu gimana Gong?”, balas Semar.“Sudah mo, segera urusi yang baik gimana mo, jangan diulur-ulur, nanti ceritanya kepanjangan”, Bagong sambil terengah-engah. Kakek Semar pun memanggil sang cucu “nduk....mrene...eyang arep ngomong.” Endang Nalawati mendekati sang eyang. Keduanya segera berbicara empat mata. Nalawati lalu membisiki apa yang jadi keingiinannya kepada kakek Semar. Semar paham, mereka pun segera berdiri “Begini saja, semuanya, saya tidak berpihak kepada siapapun. Setelah saya bicara empat mata dengan cucu saya, Saya punya permintaan: siapa saja bisa menjadi calon pengantin pria, asalkan bisa mempersembahkan cunduk Sekar Wijayakusuma”, tegas Semar. “Lho, yang punya itu kan Ayahanda Kresna, kalau begitu aku, aku yang akan mendapatkannya”, kata Sitija sambil bergegas pergi. “Paman, … paman, bagaimana ini??”, Dursasana gundah. “Sudah, jangan khawatir. Biar tidak kedahuluan Boma, kita cari jalan pintas Dur”.“Monggo, monggo Man”. Sementara itu, di rumah, Gareng tidak setuju dengan keputusan mendadak sang ayah. “Lha mo...kok malah ngene? Maksud saya, diputuskan supaya tidak ada keributan lagi mo. Lha ini kok ndadak…”.“Mencari masalah baru…”, timpal Bagong. “Lha ini romo justru minta Cangkok Wijayakusuma. Kalau ribut lagi gimana?” protes Gareng. “Ribut tapi kan tidak di sini lagian iki ya keinginan putrimu, Reng”, Semar beralasan.

Bagong membawa kabar dari Gareng
“masalahnya iku sayembara kayak ngene kae harus adil lho mo. Maksud saya begini, … Petruk, adhi Petruk yang juga melamar ini harus mendapatkan syarat yang sama”. “Bener kang Gareng. Kalau terdengar oleh yang lainnya gimana?”, kata Bagong. “Ya iri to…. Daripada saling iri, ya nggak adil itu namanya”, Gareng meyakinkan. “Jadi Petruk juga kena syarat?” tanya Semar “Ya, iya tho mo… Wong syarat perpanjangan kontrak tambang saja harus diworo-woro. Kalau tidak, gak bahaya tha?… ” “Ya, iya juga sih…. Terus bagaimana baiknya?”, Semar bingung. “Romo ini gimana sih, dimintai pendapat kok malah bingung juga?”, Gareng kesal. “Sudah, begini saja, saya akan menulis surat ke Petruk. Nanti antarkan ke dia ya Gong. Masalah transport pakai uangmu dulu, nanti dihitung belakangan”, Gareng tetap pada pendiriannya.

Sore itu Pedukuhan Kembangsore benar-benar anteng. Petruk dan istrinya, Dewi Prantawati, jagong di teras pondok. Lengkung Kusuma, anak mereka, sumringah, karena hari-harinya dilalui dengan hati berbunga-bunga. “Lengkung, kenapa kamu cengar-cengir sendiri?”, tanya Prantawati. “Hatiku senang mbok”.“Senang kenapa?” “Lha aku ditunggui bapak dan simbok”. “Kamu ini kok ya ndak ngerti to, simbok sedang sayang-sayangan sama bapakmu, kamu kok nyela saja”. “Dasar anak tidak tahu malu, ya gini ini”, Petruk membenarkan. “Mbok ya agak ngerti sedikit gitu to le, le…”. “Ya harus sabar dan maklum to mbok” kilah Lengkung Kusuma.“Maklum gimana?”, tanya Petruk. “Bapak sudah pernah jadi saya, tapi saya kan belum pernah jadi bapak. Tegasnya, bapak kan sudah melakoni muda, tapi saya belum melakoni tua seperti bapak. Jadi kalau ada saruning tumindak, salah-salah sedikit ya dimaklumi lah”. “Apiik…. Kamu sekarang kok pandai, nak?” “Ya ini berkat piwulange romo prabu Kantong Bolong. Mbok, kita ini beruntung lho punya bapak Petruk”.“Memang kenapa le?” “Bapak tidak pernah kena kasus korupsi. Sampai saat ini bapak aman-aman saja, tidak bisa diusut kekayaannya”. “Kowe iki piye to? Gimana mau mengusut, lha wong bapak ki kekayaannya mung sak mene wae; kaedus banyu sesiwur (mendapat jatah sedikit dan harus berbagi dengan sesama yang lebih membutuhkan). Makan saja susah, mau korupsi dari mana?”. “Namanya juga Kantong Bolong. Walaupun dapat berapa saja ya bablaas wae. Ning bablas kanggo manfa’ate wong liyo”, sahut Lengkung. “Lha wong nama itu cuma nama julukan saja kok lee…”, jawab Prantawati “Mencontoh pola hidup bapak ini membanggakan. Pola hidup sederhana, bersahaja, prasojo”, lanjut Lengkung.

Tak lama datang sepupu Lengkung Kusuma yakni Bambang Besut Katinja, anak Bagong. Ia datang bersama ibunya, Lelasari alias Bagawati, “sampurasun...kula nuwun..... “ “dewi Prantawati menjemput masuk ipar dan keponakan tercintanya itu. “Owalha Besut...tho...wes gedhe ae ...perasaan terakhir aku ketemu, awakmu sek segedhe layah” yo lha.... uwa Petruk...saiki gedhe sak wetenge bapak Bagong.... ginak-ginuk imut. Timbang uwa...ket aku cilik sampe saiki...sek tetep wae, kuru kaya biting......” Seloroh Besut.....”adududuh..ahahaha....mentala ta’gemplang arek siji ki....wes plek ketipleke Bagong” Besut lalu memberi salam pada Lengkung Kusuma dengan gayanya yang sok cool “ Yo wassap bro...ihik-ihik...arek seng kape nikah rek.....hahahaha.....” “ lho Sut...asyuu kowe....hahaha suwun, Sut...awakmu kapan nyusul?”  “tenang, kang Lengkung....aku wes onok gaetan...iku si Dadapsari, anake Mbok Cangik.. kan lumayan....aku wes confess kari ngenteni tanggale...” keduanya bercengkrama bersama. Lalu Lengkung bertanya pada mboknya “Sebentar mbok, saya mau tanya, sebenarnya betul nggak sih saya ini anaknya bapak?” “Lho, pertanyaanmu kok aneh to le?” “Lengkung! Berani-beraninya kamu ngomong begitu. Memang selama ini wajahmu mirip siapa, hah?!” bentak Petruk dengan gayanya yang lucu. “Pokoknya saya yakin. Akan saya umumkan bahwa mbok hamil tidak sama njenengan”, tantang Lengkung. Petruk gusar, “Lengkung, jelek-jelek begini bapakmu mantunya Raja Dwarawati. Ibumu itu masih termasuk putri keraton. Eyang putrimu iku, Dewi Radha, kembang desane Desa Widarakandang... eyang tirimu, Dewi Rukmini, Jembawati, Setyaboma, Pertiwi, dan 16.000 lainnya cantik-cantik. Ojo salah....Memang bapakmu jelek, tapi ibumu cantik. Harapan bapak menikahi ibumu supaya punya anak bagus, ternyata nongol kamu yang punya wajah malah gabungan bapak karo mbokmu. Gantengmu nurun mbokmu tapi irungmu nurun aku......Banjur kamu ngomong seperti itu, opo karepmu?”. “Pak, mau diapakan juga, mau dikloning atau diapakan, namanya gen saya ini ya begini ini, tetap saja jelek. Tetapi yang pasti, simbok hamil tidak dengan bapak”. “Lantas sama siapaa…??” Petruk kesal. “Simbok itu hamil sendiri. Apa bapak ikut hamil?” “Ya tidak to”. “Saya tadi bilang apa?” “Oooo, begitu to le…” tanggap Prantawati. “Lho, fakta kan, ini fakta…. Jeleknya orang tua itu begini niih. Maunya menang sendiri”. “Benar kamu le. Kang, anakmu pandai, mestinya kamu harus senang, ojo nesu gitu to kang Petruk”. “Yaa, tapi kepintarannya jangan disalahgunakan untuk ngakali bapaknya gitu…hadududh...ancen putune Sri Kresna awakmu iki...pinter ngakali wong”. “Ini kan hanya tukar pikiran pak; sharing gitu lo…hehehe”, Lengkung membela diri. Keluarga Petruk kala itu sangat gembira hati.

Lamat-lamat dari kejauhan, tampak sesosok makhluk kayak genuk berjalan ginak-ginuk, ketebang-ketebong sedang menuju rumah Petruk. “Eee, bagaimana kabarmu adhi Bagong...?” Lho...kakang Bagong...salam kakang” ucap Lelasari.... “Ini Lengkung to? Lengkung yang dulu masih ingusan itu?” “Ya, iya. Ini keponakanmu yang mau nikah sama Nalawati. Saiki wes gagah tho....?”, jawab Petruk. “lho bapak?” Besut pun mendekati bapaknya. Benar-benar Bagong ini memper wajahnya hanya beda di badannya saja. Kalo Bagong badannya lebih bulat, bentuk badan Besut lebih ke arah gempal badannya. Tanpa basa-basi Bagong memulai pembicaraan “Mbakyu, ini ada kabar…”. “Lho, belum hajatan kok kamu sudah ngasih amplop to dik? Sudah, sudah, tidak usah repot. Sudah cukup kok dik Bagong” Prantawati pura-pura menolak. “Mau nyumbang kali mbok…”, Lengkung mencoba menjelaskan. “Yang mau nyumbang itu siapa?” tegas Bagong. “Itu surat untuk siapa?”, tanya Petruk. “Ini dari kang Gareng”. “Ooo, ya, ini memang tulisannya kang Gareng. Senajan tangannya bengkok, ning tulisannya morat-marit”, ledek Petruk. “Wuiih, nulisnya dalam bentuk Sinom, Gong”.“Memang kebiasaan kang Gareng kalau mengirim surat dalam bentuk tembang”.Petruk pun membaca isi surat tu “Bersama surat ini, menjumpai adinda suami-istri. Dinda Petruk yang berbahagia. Pertama-tama saya sampaikan salam sejahtera. Yang kedua, untuk diketahui, tentang rencana kita berbesanan. Perkawinan Lengkung dengan Nalawati. Bisa terlaksana jika Lengkung Kusuma datang dengan bercunduk Cangkok Kembang Wijayakusuma.”

Selesai membaca surat, tiba-tiba saja Petruk nyaduk Bagong. Tentu saja Bagong kaget. “Gong, kamu tahu tidak isi surat tadi. Bait terakhir maksudnya apa? Menyebut cunduk Kembang Wijayakusuma segala?” “Yaa…, Cangkok Kembang Wijayakusuma itu….” Bagong ragu. “Kalau begini caranya, jelas kang Gareng ki esuk tempe – sore dele,  mencla-mencle, clewa-clewo koyo kebo!” “Mencla-mencle gimana?” Bagong pura-pura tidak tahu. “Lho, dulu dia kelihatan apa, sekarang kelihatan apa?” “Dulu jelek, sekarang sama saja”, tanggap Bagong. “Ini hanya akal bulus kang Gareng saja. Ini alasan untuk menolak secara halus. Coba pikir. Makanya gunakan otakmu untuk mikir! Terus aku dimintai bebana, harus datang dengan membawa Cangkok Kembang Wijayakusuma”, Petruk tidak terima. “Ini urusanmu. Kalau pengantin perempuan minta syarat itu sudah lumrah. Kok jadinya aku yang dimarahi??”, Bagong juga tidak terima. “Lumrah jaremu?  lumrah bagaimana?!” “Urusanmu sama Gareng, kok marah sama aku”, sambil lari Bagong menampel surat yang dipegang Petruk. “Sabar adhi, sabar”, Prantawati menenangkan. “Sudah, jangan ikut campur. Lengkung, kamu di rumah saja. Istriku juga, di rumah saja. Biar, akan aku labrak Gareng!” Petruk pergi sambil menghunus kapaknya yakni Kyai Pethel.

Baru tiga langkah Petruk melangkahkan kakinya, dari kejauhan tampak Para Pandawa dan Dewi Drupadi yang akan berangkat ke pengasingan. Namun sekarang, para Pandawa harus datang karena ada pernikahan yang harus mereka hadiri yakni pernikahan Lengkung Kusuma dengan Endang Nalawati. Petruk mengurungkan niatnya. “Petruk”, sapa Arya Wrekodara. “Apa?!”, jawab Petruk ketus. “Ya jangan kasar begitu to mo sama eyang ndoro Wrekodara”, Lengkung mengingatkan. “Kula, Baginda Bhima”. “waaa....Kethokane awakmu nesu ngunu? Sampe menghunus kapak begitu, mau apa? Bukannya sebentar lagi awakmu arep nduwe gawe? Kalau memang onok masalah, mbok ya dirembug baik-baik. Ojo nesu-nesu seperti itu”. “Sinuhun, saya kan akan menikahkan anak saya Lengkung Kusuma dengan Nalawati, anaknya kang Gareng”. “Lha kedatangan kami ke sini ini kan untuk membantu hajatanmu itu. Anggap saja kehadiran kami ingin menebus dosa kami sewaktu di arena dadu tempo hari”. Sambung Prabu Yudhistira “Nggih, kalau itu saya sudah tahu sinuhun, tapi saya menyayangkan mulut Gareng yang tidak bisa diugemi, tidak bisa dipercaya”. Ucap Petruk sambil marah-marah “Petruk!” sahut Arjuna. “Nggih, den”. “Sabarkan hatimu paman. Kalau ada masalah, sebaiknya dibicarakan dulu baik-baik”, Arjuna ikut menasehati. “Tidak bisa! Pokoknya saya akan melabrak Gareng! Dia minta syarat Cangkok Kembang Wijayakusuma. Pokoknya akan saya habisi dia!”ucap kesal Petruk sambil menghunuskan kapaknya “Petruk, berat mana sekarang, KMP atau KIH??!” Bagong kesal menimpali. “Bagong, ini bukan perkara politik”, Dewi Drupadi menimpali sambil tersenyum. “Iki piyee? Gong, jaga mulutmu! Jangan cengengesan! Pokoknya ini tidak sampai setengah jam, Gareng rampung! Mau apa?! Mpun, njenengan diam saja. Paling-paling Semar berpihak ke dia. Nanti kalau Semar membantunya, akan saya kapak juga! Jika Semar tidak terima, lapor Pandawa, Pandawa saya kapak sekalian! Jika Pandawa tidak terima, lapor penasehatnya yang namanya Kresna, ….”, Petruk tetap meletup-letup.

“Mau kau kepras juga, gitu??” timpal Nakula.“Kepras sekalian!”, sela Lengkung Kusuma. “Yang jadi pokok masalahnya adalah Lengkung, jadi… kepras sekalian Lengkungnya!” teriak Besut tak mau kalah. “Sudah, saya selesaikan saja!” Petruk tak sabar. “Sebentar, sebentar pak…”, Lengkung mencegah.  Sadewa lalu berkata “Sik to, bendaramu Madukara mau bertanya kepadamu”  “ok, monggo ndoro!” sahut Petruk “sebentar paman! Masa’aku mau dikepras sisan?” tanya Arjuna. “Kepras sekalian!”, bentak Bagong memanas-manasi.“Ya nggak begitu too….”, jawab Petruk. “Kalau perlu semua Punokawan dikepras sisan!”, Lengkung tak mau kalah. Para Pandawa senyam-senyum saja. “Wonten dhawuh ndoro…”, Petruk mereda. Lengkung pun bertanya kepada Arjuna “ampun eyang ndoro, bapa Petruk emang begini tha?” Arjuna menjawab “ya Lengkung, cucuku sayang. Bapamu emang gitu. Setiap kami pergi bersama, sifatnya sama seperti yang kamu lihat, cucuku. Dia orangnya asik, cuek, tapi kalau sudah urusan harga diri, jangan ditanya. Ngamuknya setara sama kakekmu Prabu Baladewa dari Mandura. Dulu saat mendapatkan ibumu, dia bahkan bisa membuat kakekmu Baladewa, Setyaki, dan Udawa tak berkutik.”

“Nala Gareng minta syarat Kembang Wijayakusuma?”, tanya Arjuna dengan tenang. "Nggih ndoro”. "Yang punya Cangkok Kembang Wijayakusuma tidak ada lain ya hanya kakang Madhawa, Sri Bathara Kresna”. “Awas…, tidak dipinjamkan, keprass!!” tiba-tiba Besut teriak cuek. “Sut, lambemu kebablasan neh, tak kepras sisan mengko”, bentak Petruk. “Wah, Ne’ aku dadi kakang Jlitheng sudah deg-degan lho…”, Arya Wrekodara sambil senyum. “Ndara Arjuna dan ndara Pandawa sekalian, saya sudah tahu kalau Cangkok Kembang Wijayakusuma itu agemipun paduka Ndarawati. Namun, ini hanya alasan Gareng untuk menolak secara halus”. “Apakah tidak bisa diganti dengan kembang lainnya?” tanya Yudhistira. “Kembang apa?” “Kembang gula malah bikiin….”, celetuk Lengkung. “Kembang gula itu bukannya permen, mut-mutan?” tanya Petruk. “Kembang gula aku moh, aku kencing manis”, jawab Besut menolak, walaupun tak ditawari. “Petruk, sudah, kamu tenang saja, aku akan bicara  Lengkung Kusuma”, Arjuna menenangkan. Lalu Arjuna mengajak bicara. Setelah cukup lama, Lengkung Kusuma pun berbalik “Sut, Besut! Ayo melu aku ke Dukuh Blubuktiba. Kita temui Nalawati di sana.” Maka berangkatlah Lengkung Kusuma dan Besut ke Dukuh Blubuktiba.

Petruk kaget “lho ndoro...kok Lengkung disuruh ke Blubuktiba?” “aku suruh kesana karena menurut firasatku, kakang Madhawa sekarang ada di sana sekarang. Kau tahukan siapa kakang Madhawa? Dia kakek dari anakmu, Truk. Masakah kakek tidak akan datang ke pernikahan cucunya?” “Betulkah ndoro??” “Lho, betul, aku percaya pada indria dan firasatku ini”. “Sebentar den, nalarnya bagaimana?” Petruk tak yakin. “Sekarang coba pikirkan, istrimu Prantawati itu siapa?” Tanya Nakula....dia putri keraton Dwarawati. “dan lagi siapa ayah ibunya?” Tanya Sadewa, “dia putri ndoro Prabu Sri Kresna dan Dewi Radha.”ujar Petruk. “nah itu tau” ujar Arya Wrekodara sambil senyam-senyum “Ya juga sih, memang putrinya. Tapi…” “Kalau begitu Lengkung Kusuma ya cucunya sendiri to? Sudah sepantasnya dia berada disana untuk anak-cucunya” jawab Arjuna dengan lugas. “Jadi, dia pasti lahir-batin rela meminjamkan Cangkok Kembang Wijayakusuma?” “Tentu saja, Petruk”. Arjuna meyakinkan sang Kantong Bolong. “Aduh, sinuwun, saya menghaturkan banyak terima kasih sudah membantu sya berpikir jernih. Kalau bisa jangan hanya kembangnya, sukur-sukur sekalian biayanya juga akan saya minta kepadanya”. “Dapuranmu, Truuk, Truk!” cela Bagong. “Nah, ujung-ujungnya perkara itu juga tho? Lihat kondisi tho Truk...ndoro kita para Pandawa sedang kehilangan harta gara-gara acara dadu kapan hari”. Para Pandawa hanya tertunduk mengingat kejadian beberapa hari lalu “aduh, ndoro.  maafakan saya yang tidak peka.” “sudahlah, Paman Petruk. Memang takdir kami begini..... mari kita ke rumah paman Gareng” ajak Yudhistira untuk segera ke Blubuktiba menyusul sang putra Petruk.

Singkat cerita, malam harinya Lengkung Kusuma dan Besut sampai di dukuh Blubuktiba di sana sudah ada Prabu Sri Kresna dan kedua isteri utamanya, Dewi Radha dan Dewi Rukmini. Mereka bersama Gareng dan Kakek Semar“waa... eyang prabu dan eyang prameswari. Wes neng kene wae. Salam, eyang Prabu! Eyang Semar!  Paman eh bapa Gareng!” Prabu Sri Kresna dan Kakek Semar menerima salam mereka “Salam!.” Prabu Sri Kresna memeluk cucunya itu“Lengkung wes gedhe awakmu...sekarang sudah mau nikah.....” Bersama dengan itu, Besut ikut menyalami Prabu Sri Kresnas “Lengkung, Sapa iki...kok mirip Bagong tapi luwih gempal?” tanya Prabu Sri Kresna “ohh iki Besut eyang Prabu, masa gak kenal...anake paman Bagong. Arep nikah sisan....karo Nyai Dadapsari anake Mbok Cangik, tapi rung kelakon...” ejek Lengkung. Gareng tertawa mendengar keponkannya itu bercanda. Besut menimpali “cocotmu, kang Lengkung!” Dewi Radha lalu mendekati cucunya “Lengkung, sekarang kau sudah dewasa. Kerja sudah mapan. Sudah jadi juragan sapi di Kembangsore.”  “benar kata Eyang putri Radha, sekarang Lengkung sudah mandiri...cocok sekali untuk berumah tangga....didikan kakanda Prabu dan Petruk emang gak kaleng-kaleng...”puji Dewi Rukmini. “tapi ada yang kurang nih Yunda Radha” “eh apa dinda Rukmini?” tanya Dewi Radha. “kurang siraman, eyang prameswari.” Sahut Besut. “kakang Lengkung dari Kembangsore belum mandi dan berhias padahal mau nikah.” Seloroh Besut sambil bercanda. “asem koen, Sut...isin ki didepan dua eyang putri ki...” Prabu Sri Kresna lalu berkata “benar kata Besut....dari tadi perjalanan berjam-jam pasti belum mandi dan berhias. Masa’ ketemu calon isteri kucel begitu...ingat Lengkung yang dilihat nanti ya kesan pertama...kalo kata orang daratan besar, First Impression. Mari kita kedalam, bebersih dan istirahat yang cukup. Besok kan kamu mau menikah!” Lengkung menolak dengan halus “nanti dulu, eyang Prabu. Kedatangan ku kemari mau meminjam sesuatu. “apa itu, cucuku?” tanya Sri Kresna “kata paman eh bapa Gareng, dinda Nalawati meminta calon pengantinnya harus membawa cundhuk dari bunga dan yang dimintanya itu Cangkok Kembang Wijayakusuma. Setauku, hanya eyang yang punya bunga itu. Dari kabar beredar, anake gusti Prabu Duryudhana, paman Lesmana sama paman prabu Boma Sitija sedang berusaha memintanya. Nah biar aku gak keduluan makanya aku kesini eh ketemu eyang Prabu disini” Prabu Sri Kresna memuji langkah cerdas sang cucu “Wah wah...pinter juga kamu....kamu memang cucuku...cerdasmu minta ampun....Baiklah, kalau begitu, Lengkung Kusuma, sini mendekatlah, akan saya beri kamu cunduk Kembang Wijayakusuma”. Maka, diselipkanlah Cangkok Kembang Wijayakusuma oleh Prabu Sri Kresna di ikat kepala Lengkung Kusuma.Gareng pun mendekat ke keponakannya dan menyatakan Lengkung Kusuma sebagai pemenang sayembara. Lalu datanglah Prabu Boma Sitija melabrak sang ayah “Ayahanda, ini bagaimana ceritanya? Mengapa Cangkok Kembang Wijayakusuma diberikan kepada anaknya Petruk? Padahal saya sudah memastikan, kalau sayalah yang akan bersanding dengan Nalawati”. “Ananda, istrimu Hagnyanawati adalah wanita yang cantik. Tidak kurang suatu apapun. Mengapa sekarang Ananda masih menginginkan Nalawati? Apakah sudah melenceng kiblatmu, hah?” “Duh, kanjeng romo, justru ini adalah keinginan Hagnyanawati. Dia akan memberikan cintanya kepada Ananda, asalkan Ananda memadunya dengan Nalawati’. “Jagad dewa bathara. Anakku cah bagus Sitija, ketahuilah, sebenarnya Hagnyanawati ingin mengatakan, menolak halus cintamu, karena dia tidak mencintaimu. Sayangnya engkau kurang tanggap, malah engkau mencoreng mukamu sendiri dengan perilakumu yang tidak terpuji ini”. “Aduh, sungguh bodoh saya. Maafkan saya Ayahanda” Prabu Boma pun larut dalam kesedihannya “Paman prabu, sudah, jangan kau larut dalam tangismu di hari bahagia ini. Bersabarlah......mungkin ini adalah ujian cinta paman dengan bibi prameswari...sekarang paman prabu kudu bangga melihat ponakannnya ini...bisa menikahi pujaan hatinya..............apa paman prabu Boma tidak bahagia kalau aku menikah dengan orang yang ku cintai?.” Ucap Lengkung menenangkan sang paman “mesti aku seneng, bahagia.... tapi untuk masalah iki, aku kudu piye, Lengkung?” Prabu Sri Kresna memberi wejangan “Ya mestinya kamu harus sabar karena semua sudah terlanjur. Berusahalah lagi anakku. Batu yang keras bisa berlubang kalau mendapatkan tetesan air terus menurus....Cintamu pasti akan bersambut. Tenang saja”. Prabu Boma Sitija pun mendapatkan semangatnya kembali. Malah ia kini membantu persiapan pernikahan sang keponakan. Tak lama kemudian datang rombongan keluarga Petruk, Bagong dan para Pandawa. Prabu Sri Kresna bertanya “lho adik-adikku para Pandawa dan dinda Panchali kenapa masih di sini? Bukannya kalian harusnya mengasingkan diri.” “kakang Madhawa, awalnya kami sudah berada di hutan Kamyaka tapi kami tidak tenang...apalagi kakang Prabu Yudhistira...berapa hari ini ia tidak bisa tidur.. kakang prabu dibayangi mimpi buruk sepanjang malam.....kakang Prabu merasa sangat bersalah karena permainan dadu itu, kami harus benar-benar minta maaf kepada Bapa Semar atau kami akan terus dikejar dosa seumur hidup karena telah mempertaruhkannya di arena dadu itu.” Kakek Semar menenangkan hati Pandawa“owalah....ndoro, jangan begitu. Aku sudah memaafkan kalian. Hilangkan dulu rasa takut kalian...” “tidak, Kakek Semar. Tolong, beri kami hukuman dulu sebelum kami berangkat mengasingkan diri sehingga tenang hati kami. Anggap saja itu sebagai penebusan dosa kami padamu” mohon Yudhistira sambil berlutut “wes yang, jadikan badut saja!” sahut Bagong “cangkeme, mo” bungkam Besut “ne’ aku mending suruh kasih makanan yang kita ludahi!” Besut rupanya sama saja. Sama-sama tidak bisa direm mulutnya. Semar pun memberikan hukumannya “baiklah, untuk tiga hari kedapan kalian jadilah pelayan dan pramusaji di pesta pernikahan cucuku ini!” Para Pandawa pun lega hati dan dengan Lenga Pranawa milik Arjuna, mereka membalur wajah mereka. Kini orang-orang akan melihat mereka sebagai pelayan dan pramusaji berwajah buruk rupa.

Keesokan harinya,  Di teras rumah Gareng, acara resepsi pernikahan antara Bambang Lengkung Kusuma dengan Endang Nalawati berlangsung meriah. Para tamu bergantian mengucapkan selamat kepada kedua mempelai. Hilir-mudik para pramusaji menjamu para tamu yang datang dan pergi. Di antara para pramusaji itu ada para Pandawa yang sedang dihukum oleh kakek Semar sebagai pelayan. Mereka berhati-hati agar tidak diketahui oleh para Kurawa yang sewatu-waktu bisa datang kapan saja. Benar saja, di tengah acara yang meriah itu, tiba-tiba suasana dikagetkan dengan kehadiran tamu yang tak diundang, rombongan keluarga Kurawa.

Pernikahan Lengkung Kusuma dengan Nalawati
Tanpa ba-bi-bu, dengan arogansinya Sengkuni nyerocos: “Permintaanmu, ternyata mung akal-akalan. Sudah, tak usah wijaya-wijaya’an. Batalkan, batalkan pernikahan ini Gareng!” “Ya, ya, harus batal!! Harus dibatalkan demi hukum, eh, demi putra mahkota kerajaan Hastinapura, Lesmana. Kalau tidak, awas!!”, gemuruh suara bala Kurawa lainnya. Mendengar permintaan Sengkuni ini, Gareng lantas mengajak Lengkung dan Petruk mojok. “Kita bicara baik-baik saja ya. Truk, memang kamu sudah keluar biaya, tapi baru sedikit kan? Suruh ceraikan saja anakmu, daripada nanti rumahku hancur. Kalau melihat begini apa aku tidak deg-degan?”, bisik Gareng. “Enak saja! Aku sampai memutus urat maluku di hadapan ndoro para Pandawa segala, kok kamu mau berbuat macam-macam (sambil meraba-raba kapak di pinggangnya)….”.“lha aku juga dilema ki, aku sudah mengumumkan pemenang sayembaranya iku Lengkung tapi aku wedhi ki...eruh dhewe kan pasukane Kurawa iki wes kemriyek ngene...omahku isok hancur.” Sementara bala Kurawa sudah berteriak-teriak provokatif. “Sinuhun Boma, sudah, silahkan diselesaikan saja…”, Petruk dan Gareng kesal. “Baiklah, akan saya babat mereka semua, Petruk”. “paman Prabu Boma, mau melakukan apa njenengan?” tanya Lengkung. “Mau saya bereskan mereka semua”. “Sudah-sudah”. “Maksud loh?” “Sudah jangan terlalu lama kalau mau membereskan”. “Hai Kurawa, selalu saja kalian membuat rusuh, membuat onar. Ini, hadapi aku, Sitija Boma Narakasura, putra Kresna. Pamannya Lengkung Kusuma”. Prabu Boma pun mengusir rombongan para Kurawa dengan kekuatan saktinya. Angin kencang datang menerbangkan kembali para Kurawa kembali ke Hastinapura. Pernikahan pun dilanjutkan dengan meriah.

Setelah tiga hari tiga malam pesta pernikahan, para Punakawan yakni kakek Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong memutuskan ikut para Pandawa dan Dewi Drupadi mengasingkan diri. “owalah...ndoro eyang para Pandawa, lebih lama dong disini.” “benar, eyang ndoro, aku dan kakanda Lengkung ingin kalian berbahagia untuk sesaat saja sebelum kalian mengasingkan diri.” “tidak bisa cucuku, eyang-eyang dan bapa-bapa kalian harus menjalani ini semua, sesuai perjanjian kami dengan Duryudhana.” Ucap Prabu Yudhistira. “ kami tidak bisa janji dalam dua belas tahun kedepan kami akan baik-baik saja. Doakan kami semoga dimudahkan perkara kami oleh Hyang Widhi. Kalian jaga tali persaudaraan dengan para paman kalian, putra-putra kami, kakang Madhawa dan para keluarga Yadawa. Kami pamit berangkat.” Arjuna dan para Pandawa lainnya beserta Dewi Drupadi pun berangkat ke hutan Kamyaka, disusul oleh Kakek Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Perlahan sosok mereka hilang di telan kegelapan hutan Kamyaka. Sekarang ketiga dukuh di Karangtumaritis diambilalih sementara oleh ketiga putra-putri Punakawan. Lengkung Kusuma dan Endang Nalawati memimpin dukuh Kembangsore dan Blubuktiba sementara Besut memimpin Dukuh Karang Kadempel.