Selasa, 26 Januari 2021

Kisah Tiga Titisan Batara Wisnu

 Matur salam para pembaca, kisah kali ini mengisahkan Batara Wisnu yang membuat heboh dunia karenatiga bentuk penitisannya yang tidak biasa yakni Batara Waraha, Batara Narasinga dan Jaka Wamana. Ketiganya mengalahkan para raksasa pendiri kerajaan Alengkadiraja. Kisah ini mengambil sumber dari blog albumkisahwayang.blogspot.com, Serat Pustakaraja Purwa karya Raden Ngabehi Ranggawarsita, dan beberapa kisah legenda Hindu dari India dengan pengubahan dan diselaraskan dengan pewayangan jawa.

Ontran-ontran Hiranyaksa dan Hiranyakasipu

Kedamaian antara para dewa dan para raksasa yang sempat terbangun saat pengadukan Laut Selatan kembali goyah. Pada suatu hari, istri kedua Maharesi Kasyapa (Sang Dewa Hening/Nioya) yaitu Dewi Diti melahirkan sepasang anak kembar bernama Ditya Hiranyaksa dan Hiranyakasipu. Anak-anak itu bertubuh besar dan nafsu makannya begitu banyak. Masa muda mereka pun dinilai penuh kekelaman. Mereka sering mengganggu para resi beribadah dengan menjatuhkan darah dan bangkai di rumah para resi. Hal itu terjadi karena karma buruk yang dilakukan Dewi Diti saat menggoda sang suami yang hendak pergi beribadah. Niat ibadah pun berubah menjadi melampiaskan hasrat yang liar sehingga anak-anak yang lahir pun mengikut kelakuan ibu bapaknya. Setelah mereka dewasa, mereka pergi ke pulau Selongkandi dan mendirikan kerajaan di sana. Kerajaan itu bertatahkan emas, perak, dan mutiara yang kemudian mereka beri nama Alengkadiraja. Di sana sebagian bangsa raksasa membangun peradaban. Peradaban yang maju dan mewah. Atas usulan rakyat dan adiknya, Hiranyakasipu dilantik menjadi prabu di Alengka. Namun, kesejahteraan Alengkadiraja tak membuat Hiranyaksa puas. Ditya Hiranyaksa kemudian pergi bertapa brata memuja Batara Brahma. Tapa bratanya sangatlah keras. Dia makan api dan air selama bertahun-tahun. Setelah bertahun-tahun, Batara Brahma datang menghentikan tapa brta Hiranyaksa “sudahlah cukup, Hiranyaksa. Hentikan tapa bratamu. Aku puas karenanya. katakanlah apa yang menjadi keinginanmu.” “pukulun, yang aku inginkan adalah aku ingin bisa hidup selamanya tanpa mengalami kematian.” Batara Brahma berkata “aku tidak bisa mengabulkan yang itu karena setiap yang bernyawa, yang punya atma pasti harus merasakan kematian.” “baiklah, aku ganti permintaan. Aku ingin kesaktian yang luar biasa hingga seluruh bumi ini bisa tenggelam dalam genggamanku.” Batara Brahma merasa ada yang aneh dengan permintaan Hiranyaksa namun dkarena sudah wajib hukumnya dewa mengabulkan permintaan pemujanya, ia meluluskan permintaannya “baiklah, akan aku kabulkan permintaanmu namun ada satu pantangan yang harus kau ingat. Kesaktianmu tidak akan berguna jika kau gunakan untuk melawan dua makhluk ini, angsa dan babi hutan.” 

Setelah memperoleh anugerah, Hiranyaksa semakin berkuasa dan jadi semakin angkuh lagi sombong. Dia bersama Hiranyakasipu menaklukan banyak negara. Alaengkadiraja semakin ditakuti. Namun Hiranyaksa sangatlah serakah dan tamak. Tak puas menaklukan negara kini ia ingin menaklukan kahyangan. Ambisinya untuk menguasai dunia ohh tidak seluruh jagat raya bagaikan dendam tak sudah. Dia berniat untuk menyamai Sanghyang Widhi Maha Agung, Tuhan Semesta Alam. Hal itu justru diamini oleh Hiranyakasipu, sang saudara kembar.

Hiranyaksa hendak Menyamai Sanghyang Widhi

Dikerahkanlah kesaktiannya yang luar biasa. Kahyangan para dewa ia serang seorang diri. Para dewa, termasuk Batara Guru menjadi kewalahan. Mereka pun mengungsi ke Ondar-Andir Buana, tempat tinggal Sang batara Padawenang. Setelah menjadi penguasa kahyangan, rupanya dia melihat manusia adalah makhluk rendahan “huh...manusia? kenapa Sanghyang Maha Widhi mengagungkan manusia. Mereka hanya makhluk yang rendah. Mereka makan dari bumi dan bumi itu kotor. Lebih baik aku musnahkan saja seluruh bumi ini.” Hiranyaksa yang keangkuhannya menyundul langit itu bertiwikrama menjadi raksasa maha besar, lebih besar dari Bumi. Dia gelincirkan Bumi dari garis edarnya lalu ia tendang kesana kemari. Bumi bergegar hebat. Berbagai bencana terjadi dimana-mana. Para manusia, raksasa, hewan, tumbuhan dan para jin di bumi menangis memohon keadilan Sanghyang Maha Widhi, Tuhan yang Maha Kuasa. Begitupun para dewa mereka mohon petunjuk pada-Nya, terutama Batara Brahma dan Batara Wisnu yang merasa paling bertanggung jawab atas tegaknya dharma dan keadilan bertekad untuk mengalahkan Hiranyaksa. Tirakat mereka semakin kuat sampai pada akhirnya Tuhan yang Maha Kuasa memberikan karomah kepada mereka. Kini kekuatan dan kesaktian Batara Brahma dan Batara Wisnu semakin berlipat ganda dan siap untuk menghukum Hiranyaksa yang jemawa.

Kemunculan Waraha dan Hamsa.

Keadaan bumi semakin genting, kini Bumi hendak ditenggelamkan ke dalam lubang hitam. Datanglah pertolongan dari Tuhan yang Maha Kuasa. Bumi yang sudah hampir tenggelam di lubang hitam kembali terangkat dan yang mengangkatnya adalah seekor angsa raksasa dan seekor celeng (babi hutan) raksasa.

Waraha dan Hamsa mengangkat Bumi
Angsa itu bernama Batara Hamsa, jelmaan dari Batara Brahma dan si celeng bernama Batara Waraha, jelmaan dari Batara Wisnu. Mereka mengembalikan bumi kembali ke garis edarnya. Hiranyaksa menjadi kesal dan memaki kedua makhluk jelmaan dewa itu “hei, kalian makhluk rendah. Beraninya kalian menggangu kesenanganku.” Waraha berkata “hai denawa. Ayahmu adalah resi agung keturunan dewa. Ibumu adalah bidadari baik-baik. Tapi kelakuanmu bahkan melampaui para musuh kahyangan yang dahulu. Kami tak akan memaafkanmu .” Ditya Hiranyaksa semakin jemawa“kalian adalah duri dalam dagingku” Batara Waraha berkata “ “menurutmu, kami adalah duri, tapi tidak! Kamu lah yang duri bagi semesta ini dan kami adalah utusan Tuhan yang akan melenyapkan duri sepertimu!”

Pertempuran pun terjadi begitu dahsyat. Di ruang antarbintang pertarungan antara raksasa melawan angsa dan celeng jelmaan dewa berlangsung. Walau demikian, pengaruhnya begitu terasa di bumi maupun kahyangan para dewa. Bumi gonjang-ganjing, langit kolap-kalip. Bintang-bintang ikut berjatuhan. Pertarungan itu berlangsung selama ratusan tahun tanpa henti. Setelah sekian lama bertarung, Batara Brahma dan Batara Wisnu menemukan titik lemah Hiranyaksa yaitu kepala dan perutnya yang besar. Hamsa (Batara Brahma) segera mematuk kepala Hiranyaksa. Hiranyaksa merasa kesakitan karena kepalanya dipatuki dan disosor sampai berdarah. Di saat lengah, Waraha (Batara Wisnu) segera menyundul perut Hiranyaksa dengan gigi taringnya yang mencuat lalu dilemparkanlah ia ke dasar Kerak Neraka dan tewaslah ia. Atma dari rohnya langsung mendapat siksaan pedih. Jeritannya terdengar keras sekali hingga terdengar oleh Prabu Hiranyakasipu.

Dendam Prabu Hiranyakasipu.

Tewasnya Hiranyaksa di tangan Batara Wisnu yang menjelma menjadi Waraha membuat saudara kembarnya, Prabu Hiranyakasipu terpukul dan sangat marah. Ia kemudian kembali melakukan tapa brata yang sangat kuat. Tapa Brata yang dilakoninya memusatkan diri pada Batara Guru. Agak berbeda dari sang kembaran, Prabu Hiranyakasipu melakukan tapa sembari meminum darahnya sendiri. Dia tak makan apapun, kecuali darahnya sendiri. Sepanjang hari, ia sayat seluruh kaki dan tangannya hingga darah mengalir lalu dihisapnya. Sampai tibalah Batara Guru di hadapannya. Setelah menerima tapa bratanya, Batara Guru meminta berkah apa yang diinginkan prabu Hiranyakasipu. Prabu Hiranyakasipu meminta keabadian tak bisa mati namun batara Guru berkata “Hiranyakasipu, kami para dewa sendiri tidak bisa hidup abadi karena kami ini makhluk fana, ciptaan yang Maha Abadi, Sanghyang Widhi, Gusti pencipta alam semesta.” “baiklah, aku ganti permintaan. Aku ingin semua manusia, raksasa, jin, binatang, penyakit, bahkan para dewa sekalipun tidak bisa mengalahkan aku. Tidak ada yang bisa membunuhku di waktu siang ataupun malam, dan tidak ada senjata apapun yang bisa melukai aku.” Batara Guru akhirnya memberikan berkahnya kepada Prabu Hiranyakasipu.

Jemawanya Hiranyakasipu

Sejak menerima berkah, Prabu Hiranyakasipu menjadi semakin jemawa bahkan melebihi kembarannya. Kesombongannya telah membuatnya menjadikan dirinya sebagai Tuhan yanga patut disembah.. Nama Sanghyang Maha Widhi, Tuhan Semesta Alam tidak boleh disebut. Ibadah kepada Yang Maha Agung dilarang bahkan diganti dengan penyembahan kepada Prabu Hiranyakasipu. Setiap pagi, para raksasa dan manusia yang ada di Alengka harus menghadap tanda menyembah padanya. Jika tidak, maka yang bersangkutan akan dihukum mati atau yang lebih ringan akan diperbudak dengan semena-mena. Alengkadiraja menjadi negeri tanpa tuhan. Selain menuhankan dirinya sendiri, Prabu Hiranyakasipu juga kembali melakukan ekspansi dan penjajahan namun kali ini seluruh negeri di bumi telah diekspansi. Tak main-main, upeti dari berbagai negeri dikumpulkan ke Alengkadiraja. Pajak ditarik sangat tinggi. Rakyat dan para raja negeri bawahan tercekik dan nasib mereka bak makan buah simalakama. Memberontak akan ditumpas habis, tetap loyal juga akan membuat mereka semakin miskin dan melarat.

Meskipun sang raja diraja itu sangat lalim, sang permaisuri, Dewi Kayadhu senantiasa mengingatkan sang suami agar bertobat namun tak dihiraukan. Kedua anak sang prabu, Raden Banjaranjali dan Raden Arya Prahlada juga sama sepeti sang ibu, mereka tetap berdoa kepada Yang Maha Kuasa walaupun secara diam-diam. Dewi Kayadhu selalu menanamkan kepada anak-anaknya itu bahwa hanya ada satu yang patut disembah yaitu Sanghyang Maha Widhi, Tuhan yang Maha Tunggal. Awalnya Raden Arya Prahlada mampu untuk beribadah secara sembunyi-sembunyi hingga pada suatu hari, Arya Prahlada secara terang-terangan dia menolak menyembah kepada ayahnya “ayahku, raja Alengkadiraja yang agung. Anakmu ini memintamu berhentilah untuk jemawa dan mengaku sebagai tuhan. Para dewa yang memberi ayahanda berkah hanya menyembah Sanghyang Maha Widhi, Tuhan yang Maha Tunggal lagi Maha Esa. Engkau hidup karena kuasaNya. Engkau diberikan berkah juga karena kuasa dariNya.” Prabu Hiranyakasipu sangat marah mendengar putranya sendiri adalah pemuja Tuhan Yang Maha Esa “anak kemarin sore, jikalau Tuhanmu itu ada, suruh Dia atau utusannya untuk melenyapkan aku. Aku Maharajadiraja Tribuanaloka yang patut disembah semua makhluk di muka bumi ini.” Arya Prahlada mendoakannya agar senantiasa selamat dalam lindungan Tuhan. Prabu Hiranyakasipu semakin panas hati. Sejak saat itu, hubungan ayah dan anak ini retak. Berkali-kali Prabu Hiranyakasipu berusaha menghabisi anaknya itu namun Tuhan Yang Maha Kuasa selalu melindunginya. Akhirnya kemarahan itu semakin lama semakin memuncak.  

Kabar Gembira untuk Para Dewa

Di waktu yang sama, Batara Guru dan Para dewa di kahyangan Ondar-Andir Buana sedang membicarakan tentang nasib Jonggring Saloka yang kini di tangan Hiranyakasipu. Sang batara Padawenang memberikan wejangan kepada para putra dan cucunya “anak-anakku semua. Sanghyang Maha Widhi telah memberikan pencerahan atas masalah kejemawaan Hiranyakasipu. Diantara segelintir manusia dan raksasa, Prahlada dan adiknya kembali ke jalan Yang Maha Widhi. Sudah saatnya para dewa kembali ke Jonggring Saloka.” Batara Guru senang sekali dan segera memerintahkan semua dewa untuk kembali ke Jonggring Saloka. Sebelum mereka kembali, Batara Guru segera memerintahkan Batara Wisnu segera turun ke marcapada untuk menolong Arya Prahlada dan membinasakan Prabu Hiranyakasipu beserta kejemawaannya.

Menitisnya Batara Narasinga.

Kekesalan Prabu Hiranyakasipu semakin memuncak hingga dia melihat sendiri sang putra sedang berdoa menyebut nama Sanghyang Maha Widhi. Bukan itu saja, permaisuri dan anaknya yang lain, Raden Banjaranjali juga percaya pada Tuhan yang Maha Agung. Marahlah ia dan dicabutlah salah satu tiang keratonnya. Dewi Kayadhu dan kedua putranya pasrah dan menyerahkan semuanya kepada Yang Maha Kuasa. Lalu muncul keajaiban, dari tiang yang tercerabut itu, muncullah sesosok makhluk yang aneh dan mengerikan. Dia bertubuh manusia namun berkepala harimau, rambutnya lebat seperti surai singa, memakai mahkota layaknya para dewa dengan kuku yang tajam bagai pedang. Makhluk mengerikan itu mengaku sebagai Batara Narasinga, titisan Batara Wisnu.

Terjadilah perang tanding antara Prabu Hiranyakasipu dengan Batara Narasinga. Pertarungan amatlah epik. Seluruh marcapada bahkan kahyangan menjadi guncang karenanya. Matahari sudah condong jauh ke barat memancarkan lembayung kuning dan merah. Senja haripun hampir tiba, Prabu Hiranyakasipu akhirnya dapat dikalahkan.

Batara Narasinga menghabisi Prabu Hiranyakasipu
Lalu Batara Narasinga membanting-bantingnya lalu dia mencakar habis perut sang raja jemawa itu sampai isi perutnya terburai keluar.  Dalam keadaan sekarat, sambil merintih prabu Hiranyakasipu berkata “kenapa.....berkah dewaku tidak mempan padamu?...” Batara Narasinga yang terus mencakar-cakar menjelaskan “ingatlah, berkahmu hanya berlaku pada manusia, raksasa, jin, penyakit, binatang, dan para dewa. Lihatlah aku, aku bukan manusia atau pun dewa apalagi binatang. Aku penggabungan dari makhluk-makhluk itu. berkahmu hanya berlaku di saat siang atau malam, namun kau lihat itu. Sekarang ini petang hari, peralihan antara siang dan malam. Berkahmu juga hanya berlaku pada senjata namun lihat apa yang aku gunakan? Hanya kuku cakar.” Prabu Hiranyakasipu sekarat. Ajalnya sudah dekat. Namun ia bersumpah kelak akan ada anak cucunya yang memilik kesaktian yang serupa dengannya. Dialah yang akan membuat titisan Wisnu sekalipun kewalahan. Hanya kera putih yang mampu mengalahkannya. Lalu tewaslah Prabu Hiranyakasipu.Arya Prahlada dan Raden banjaranjali berterima kasih sekali berkat kedatangan Narasinga.  Batara Narasinga segera kembali menjadi Batara Wisnu dan kembali ke kahyangan. Rakyat Alengkadiraja kembali bisa melakukan pemujaan pada Yang Maha Kuasa. Karena Raden Arya Prahlada tidak berniat menjadi raja memilih menjadi begawan, maka yang menjadi raja Alengkadiraja adalah Prabu Banjaranjali. Negeri jajahan dimerdekakan. Adik-adik perempuan Prabu Banjaranjali dan Arya Prahlada menjadi menantu Batara Brahma sebagai bentuk perdamaian dengan para dewa

Prabu Bali menjadi Raja Bidadari

Ratusan tahun berlalu, para dewa bisa kembali ke kahyangan. Dalam jarak ratusan tahun itu cucu dari Resi Prahlada, Raden Bali mendirikan kerajaan baru bernama Medang Siwanda bergelar Prabu Bali. Patihnya adalah putra Kala Rahu bernama Putut Jantaka. Kerajaan makmur dan sejahtera. Raja dikenal sebagai raja yang alim dan luhur budi. Suatu ketika, Prabu Bali yang tengah bersemedi kedatangan batara Indra. Dia mengajak sang prabu melilhat-lihat kahyangan dan istana Rinjamaya miliknya. Prabu Bali terpesona dan meminta satu keinginan pada Batara Indra “pukulun Indra, aku punya satu keinginan.” “katakan apa keinginanmu, cucuku.” Prabu Bali berkata “aku ingin menjadi raja bidadari sepertimu.” Terkejutlah batara Indra karena seakan permintaan itu seperti mengangkanginya sebagai raja bidadari tapi mengingat sang raja adalah orang yang alim maka permintaan itu dikabulkan. Mahkota Batara Indra diserahkan pada Prabu Bali dan ia menjadi raja bidadari disana. Batara Indra dan istrinya kemudian pindah ke istana Iswaraloka.

Di Rinjamaya, Prabu Bali membangun berbagai bangunan indah dan megah dikhususkan untuk para bidadara-bidadari disana. Dengan kebijaksanaannya dan terayominya para bidadara-bidadari, beberapa manusia, dan resi dibawah pimpinannya, perlahan pamor Batara Indra mulai merosot. Batara Indra mulai dihinggapi sifat iri.Maka dalam hati Batara Indra bergumam “Bali semakin mahsyur....bidadara dan bidadari bawahanku sudah semakin menyanjungnya. Mungkinkah nanti dia akan menggulingkanku sebagai raja bidadari yang sebenarnya.” Maka ia mengadukannya pada Batara Guru dan Batara Wisnu. “ampun Ayahanda pukulun dan adhi batara, kegundahan hati saya tentang Bali makin memuncak....saya takut kalau kalau dia benar akan menggulingkan saya.” “aku mengerti anakku. Tapi kita bisa apa. Prabu Bali tidak bisa disalahkan. Dia memang alim dan luhur budi...laksana ludira seta.” Batara Indra terdiam,begitupun Batara Guru dan Batara Wisnu. Kemudian datang suara dari langit berkata “hai Manikmaya, ketahuilah sabda-Ku.....memang betul Bali ialah orang yang alim, luhur budi pekerti tapi dia masih dihinggapi sifat bangga berlebihan. Masih suka meremehkan orang lain....sudah saatnya dia harus diuji....lewat seorang brahmana kerdil putra Dewi Aditi, dia akan tercerahkan kembali,” Batara Guru kemudian memerintahkan Batara Wisnu untuk menitis pada putra Dewi Aditi, menjadi adik bagi Batara Baruna dan Mintuna.

Lahirnya Jaka Wamana

Dewi Aditi, istri pertama Maharesi Kasyapa ingin mengandung lagi setelah sekian lama  sejak kelahiran batara Baruna dan Mintuna. Dia terus berdoa kepada Sanghyang Widhi agar bisa kembali berputra. Lalu datang batara Guru memberi kabar “Bunda Aditi, aku mengabarkan padamu kau akan mengandung titisan putraku, Wisnu. Berbahagialah.. anak titisan itu akan menjadi pendeta yang sangat berbudi luhur, banyak ilmunya, luas pandangan dan wawasannya.” Sebulan setelah suara batara Guru, hamillah Dewi Aditi. Setelah sembilan bulan, kemudian lahirlah anak yag sangat tampan. Ia menamainnya Jaka. Namun setelah usia sepuluh tahun, pertumbuhannya berhenti. maka sang ibu menambahkan namanya menjadi Jaka Wamana. Di usia semuda itu, Jaka Wamana telah mengerti kitab-kitab suci dan lontar-lontar. Dia menjadi pendeta cerdas. Penampilannya pun menggemaskan. Setiap kali mewejangkan ilmu, ia selalu membawa cupu air dan payung cantik.

Prabu Bali mengadakan Perjamuan untuk para Resi

Berita tentang pendeta kecil yang hebat sampai ke telinga Prabu Bali. Kebetulan ia akan membuat perjamuan khusus begi para resi dan pendeta. Ia ngin mengundang Jaka Wamana dan beberapa pendeta ke kerajaan Medang Siwanda agar mau mendo’akannya bisa panjang umur dan sejahtera. Namun Putut Jantaka memperingatkan sang raja “Gusti prabu, aku telah mendapat wangsit bahwa pendeta kecil itu penjelmaan sang Wisnu...jangan pernah mengujinya atau meremehkannya...apabila ia meminta sesuatu jangan diturutkan...” namun Prabu Bali menyanggah ucapan sang patih “lalu unuk apa aku mempersiapkan semua ini? sebagai raja yang mulia dan baik, tidak patut aku berbuat begitu. Apapun yang dia minta, akan aku turutkan.” Mendengar hal demikian, patih Putut Jantaka merasa sang raja mulai jemawa. Ia memilih meninggalkan Medang Siwanda dan kembali menjadi petapa.

Wahyu Nandanajati

Perjamuan pun digelar. Banyak para resi dan pendeta datang mendo’akan sang raja Medang Siwanda. Di tengah pesta itu, datanglah Jaka Wamana. Semua resi dan pendeta senior menghormatinya. Dia lalu duduk bersimpuh di hadapan Prabu Bali. Prabu Bali bertanya “pendeta yang agung, mintalah sesuatu padaku, apapun itu maka akan aku tunaikan..” “wahai Prabu Bali yang agung....keluhuran dan sifat alimmu sama seperti moyang paduka, Dewi Kayadhu dan kehalusan budimu seperti Resi Prahlada, kakek paduka. Ayah paduka, Begawan Wirocana pasti sedang bergembira di alam baka. Aku hanya meminta darimu tanah seluas tiga langkah kakiku.” Berpikir itu hanya permintaan anak-anak, Prabu Bali berkata seakan meremehkan sang pendeta kecil itu “itu sajakah, tuanku? Itu terlalu sederhana. Apa gunanya tanah tiga langkah, padahal tuanku bisa meminta berpetak-petak tanah lengkap dengan istana megah, pelayan yang cantik, makanan yang enak dan sedap,  emas permata segunung, dan mainan yang banyak.” Namun Jaka Wamana menjawab “orang yang bergelimang harta dan kekayaan duniawi belum tentu bahagia dunia akhirat. Harta hanya ujian bagi kita dan indria kita. Kepuasan dan kebahagian yang hakiki akan terjadi bila kita bersyukur dan puas dengan apa yang Sanghyang Widhi, Tuhan yang Maha Memberi berikan pada kita.” Prabu Bali terkesan dengan kata-kata sang pendeta. Maka ia bersedia mengabulkan seluruh permintaan Jaka Wamana.

Mahabali yang Tercerahkan

Ketika Prabu Bali hendak mengukur tanah tiga langkah itu, tiba-tiba ia dikejutkan dengan perubahan wujud Jaka Wamana. Jaka Wamana tiba-tiba berubah kembali menjadi Batara Wisnu dan atas izin Sanghyang Widhi, ia bertriwikrama menjadi raksasa besar. Tingginya nyaris mencapai langit. Keraton Medang Siwanda hancur. Satu langkah kakinya menutupi seluruh bumi. Langkah kedua ia merengkuh kahyangan dan langkah ketiganya ia tak menemukan tempat berpijak, maka Prabu Bali dengan sukarela menyerahkan kepalanya untuk djadikan tempat sang Batara Wisnu berpijak. Maka diinjaklah kepala sang prabu dan pecahlah kepalanya.

Prabu Bali menyerahkan dirinya kepada Jaka Wamana
Sang prabu tewas namun karena pengabdian dan kerendahan hatinya maka oleh batara Wisnu, tubuh Prabu Bali diperciki Tirta Perwitasari. Maka Prabu Bali hidup kembali. Prabu Bali merasa seperti tidur panjang namun setelah terbangun ia telah sadar akan kesombongannya di hadapan yang lainnya. Lalu sang prabu bertobat. Di hadapan semua yang hadir, ia memutuskan menjadi ajar (begawan/resi). Ia berjanji akan sentiasa berbuat atau mengajarkan ilmu tanpa mengharap pamrih apapun bentuknya, tidak akan mengharap kan apa yang didapat, dan tidak akan meremehkan siapapun juga. Oleh batara Wisnu, ia diberi gelar “sang Mahabali” berasal dari kata Mahatma Bali karena jiwa besarnya sang prabu Bali. Maka ia kembali ke dunia menjadi seorang ajar, mengasingkan diri demi lebih mendekatkan diri lagi pada Sanghyang Widhi, Tuhan yang Maha Kuasa dan menyebarkan segala ilmu yang ia punya. Maka ia berganti nama menjadi Mahatmaresi Mahabali. Sementara Kerajaan Medang Siwanda diserahkan pada putranya, Raden Banasura.

Minggu, 17 Januari 2021

Samuderamanthana

 Matur salam, semua. Kisah kali ini mengisahkan pencarian air kehidupan yang baru untuk para dewa. Kisah diawali dengan kelahiran dua burung garuda dan para naga keturunan Maharesi Kasyapa. Kisah dilanjutkan dengan pengadukan lautan danlegenda terciptanya gerhana. Kisah ini kemudian diakhiri dengan perbudakan Dewi Winata dan pembebasannya oleh sang Garudeya Brihawan. Kisah ini bersumber dari bagian Adiparwa Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa, Serat Pustakaraja Purwa karya Raden Ngabehi Ranggawarsita, dan blog albumkisahwayang.blogspot.com

Persaingan Kadru dan Winata

Di suatu masa dahulu, Maharesi Kasyapa (Sang Dewa Hening) sedang menantikan kelahiran anaknya yang dikandung oleh Dewi Kadru dan Dewi Winata, istri ketiga dan keempat sang Maharesi. Selam bertahun-tahun mereka hamil dan kali ini melahirkan. Namun kelahirannya amat pelik. Dewi Kadru melahirkan dua ratus telur sedangkan Dewi Winata melahirkan dua butir telur namun berukuran lebih besar. Maharesi Kasyapa merasa takjub sekaligus heran melihatnya. Lalu ia berdoa kepada Sanghyang Widhi “Hyang Widhi.......lelakon apa yang harus hamba jalani kali ini.dua istri hamba melahirkan bukan bayi melainkan telur . ku mohon petunjukmu.” Lalu datang suara dari langit “kasyapa...,,perintahkan kedua istrimu itu mengerami telur-tekur mereka namun jangan sampai melanggar pantangan dengan membuka paksa telur-telur itu.” singkat cerita, maharesi Kasyapa menyuruh kedua istrinya itu mengerami telur-telur itu selama bertahun-tahun sampai telur-telur itu menetas.

Garuda Haruna, Burung Cacat Sais sang Wiwaswan

Tahun-tahun pun berlalu, akhirnya telur-telur yang dierami Dewi Kadru cepat menetas. Lahirlah dari telur-telur itu berbagai macam ular naga dan mereka pun dinamai, salah satunya yaitu naga Taksaka, naga Ekawarna, dan naga Kaliya. Dewi Kadru pun lalu mendatangi madunya, Dewi Winata sembari berkata “lihatlah dinda.....anak-anakku telah lahir. Maka aku pun memenangkan persaingan ini. kakanda Kasyapa akan gembira sangat.” Dewi Winata tersinggung maka ia semakin keras mengerami kedua telurnya itu namun mereka tak kunjung menetas. Lama-lama Dewi Winata menjadi frustrasi “telur sialan! Mengapa kau terus mengujiku....keluarlah segera.” Maka di tengah kekesalannya, Dewi Winata coba memecahkan salah satu telur dengan membukanya paksa. Lahirlah dari telur itu seekor burung garuda namun cacat, tubuh bagian atasnya dari kepala, sayap dan pinggang ada namun tubuh bagian bawahnya tidak ada alias tanpa kaki. Bukan cuma itu, bulunya yang tumbuh sentiasa kusut. Maharesi Kasyapa kecewa dengan Dewi Winata yang terlalu menuruti iri dan dengki maka ia harus mengerami telur satunya lagi selama bertahun-tahun. Burung cacat itu akhirnya diberi nama sang Garuda Haruna.

Garudah Haruna menjadi sais kereta Batara Surya
Garuda Haruna berhasil tumbuh dewasa namun dalam kondisi kepayahan dan sakit-sakitan. Oleh sang bapak, Garuda Haruna diperintahkan untuk terbang mengarah menuju terbitnya matahari. Di ujung timur, bertemulah ia dengan Batara Surya. Ia lalu memberi salam pada sang dewa matahari “salam kepadamu, sang Wiwaswan” Wiwaswan merupakan nama kehormatan Batara Surya maka Batara Surya merasa tersanjung dan ia mendo’a kan kebahagian tak terkira pada Sang Haruna “burung yang baik, putra Kasyapa dan Winata. Semoga Hyang Widhi memberikanmu kebahagian hakiki. Tumbuhlah ia dalam rupa indah bak dewa.” Sanghyang Widhi mendengar do’a sang Batara Surya dan terjadilah keajaiban. Tubuh sang Garuda Haruna yang cacat berganti menjadi setengah dewa, berwujud manusia setengah burung dengan kaki sempurna dan sayap besar berwarna merah dan keemasan menyilaukan di punggungnya. Batara Surya menawarkannya untuk menjadi sais pribadinya. Gayung bersambut, sang Garuda Haruna mengiyakannya. Sejak saat itu, ia diangkat menjadi sais kereta sang batara Surya. Kereta itu ditarik oleh tujuh ekor kuda perkasa yang mencerminkan tujuh hari sepekan, tujuh warna pelangi, dan tujuh warna aura (cakra) dalam diri manusia. Garuda Haruna juga mendapat julukan sang Fajar karena perbawanya yang kemerahan mendahului terbitnya sang Surya.

Bertahun-tahun setelah kelahiran Garuda Haruna, telur terakhir milik Dewi Winata menetas sempurna. Lahirlah dari telur itu burung garuda yang jauh lebih perkasa dari sang kakak. Rona mukanya putih kemerahan terang bagai purnama, sayapnya besar berwarna merah bagaikan buah delima merekah dan tubuhnya besar gagah dengan bulu berwarna emas. Maharesi Kasyapa memberi nama putra kedua Winata itu Sang Garuda Haruni. Garuda Haruni lahir saat Dewi Winata mengalami cemoohan dan penindasan dari Dewi Kadru yang merasa menang atas kelahiran anak-anaknya yang berwujud ular naga. Maka demi memastikan ia dapat hidup terhormat, maka Garuda Haruni menawarkan diri kepada Batara Wisnu untuk menjadi kendaraannya. Oleh sang Dewa Pemelihara dharma itu, nama Garuda Haruni diganti menjadi Garudeya Brihawan.

Penemuan Air Suci yang Baru

Prabu Tarakasura dan Prabu Nilarudrakala telah dikalahkan dan tewas di tangan Batara Kartikeya dan Batara Ganesha. Namun ancaman kahyangan masih sangat banyak. Terlebih lagi Batara Indra, para bidadara-bidadari, dan para dewa yang dibawah komandonya telah mendapat kutukan berupa kekuatan dan kemakmuran kahyangan akan lenyap oleh seorang pertapa sakti karena Batara Indra tak mampu mengendalikan kemarahan gajah Erawata yang menolak kalung bunga dari sang pertapa. Batara Indra juga tidak mungkin terus meminta Tirta Maolkayat dari Batara Guru, sang ayah. Di saat hati Batara Indra sedang gundah itu, datanglah Batara Guru dan Batara Wisnu ke istana Rinjamaya “Indra, putraku. Aku tau sedang gundah karena kutukan pertapa sakti itu. para dewa dan bidadari dibawah naungamu juga khawatir. Tapi bertenanglah, Indra. Wisnu telah menemukan solusi atas masalahmu.” “begini kakang Batara Indra, aku mendapat sebuah petunjuk tentang air kehidupan yang punya khasiat yang sama dengan Tirta Maolkayat. Namanya air Tirta Perwitasari.  Air itu ada di dasar Laut Selatan/Samudera Hindia. Untuk mendapatkannya, Laut Selatan harus diaduk dengan gunung dengan bantuan para dewa, para naga, dan raksasa.” Setelah mendapatkan petunjuk itu, Batara Indra mengutus Batara Wrehaspati untuk mengumpulkan semua dewa di Jonggring Saloka. Batara Indra juga mengajak damai para raksasa untuk mengaduk Laut Selatan dengan perjanjian akan mendapatkan hadiah yang setimpal.

Kurma Awatara, Penyu Raksasa Titisan Wisnu

Para dewa pun berdatangan, diantaranya Batara Brahma, Batara Bayu, Batara Sambu, Batara Kala, Batara Kartikeya, Batara Ganesha, Batara Kamajaya, Batara Yamadipati, Batara Shani, Batara Rewanta, Batara Aswan dan Aswin, Batara Surya, Batara Candra, dan Batara Srita (Penyarikan). Sementara kaum naga diwakili Batara Anantaboga dan Batara Basuki. Di pihak kaum raksasa, banyak juga para raksasa yang ikut. Diantaranya ada juga para pemimpin mereka yaitu Kala Rahu, dan putranya, Putut Jantaka. Para raksasa juga diwakili Prabu Widyunmalika, putra Prabu Tarakasura. Para dewa dan para raksasa memutuskan memilih Gunung Mandaragiri sebagai gunung yang cocok untuk mengaduk laut. Namun para dewa, naga, dan raksasa kewalahan untuk mengangkat Gunung Mandaragiri. Lalu datanglah Garudeya Brihawan, burung garuda kendaraan Batara Wisnu membantu mengangkat Gunung Mandaragiri. Gunung itu diangkatnya dan setelah menemukan titik yang pas, Gunung Mandaragiri dijatuhkannya ke laut. Namun yang namanya laut pasti punya kedalaman. Masalahnya, titik tempat jatuhnya Gunng Mandaragiri kedalamannya sangat jauh. Gunung Mandaragiri nyaris karam. Batara Wisnu segera membantu. Ia menjelma menjadi Kurma Awatara, yang berwujud penyu bedawang (penyu raksasa) bernama Akupa. Tempurungnya menjadi alas gunung agar Gunung Mandaragiri tidak terus kandas. Tungkai sirip Akupa menjadi kipas pengaduk sementara yang tangkai dan gagangnya adalah Gunung Mandaragiri yang dililit Batara Anantaboga dan Batara Basuki dalam wujud ular naga. Batara Basuki melilitkan ekornya ke gunung Mandaragiri sementara batara Anantaboga menggigit pucuk gunungnya dan menjadikan ekornya sebagai gagang. Para raksasa berada disisi batara Basuki sementara para dewa di sisi Batara Anantaboga. Agar gunung tidak terlempar saat diaduk maka  Naga Taksaka dan Batara Indra duduk di lereng bawah Gunung Mandaragiri sebagai penahan.

Pengadukan Samudera berbuah Racun Mematikan

Pemutaran Gunung Mandaragiri dimulai. Para dewa dan raksasa memutar-mutar Gunung Mandaragiri. Jika para dewa mendorong kearah kiri, maka para raksasa bergerak kearah kanan begitu juga sebaliknya, mirip seperti mengaduk adonan roti. Laut Selatan teraduk-aduk dan semakin mengental. Batara Baruna dan Batara Mintuna juga ikut membantu mengaduk dengan menggerakkan ombak dan arus memutar. Para raksasa yang mendapatkan kepala Batara Basuki kewalahan karena Batara Basuki merasa tercekik dan terus memuntahkan racun.

Samuderamantana
Racun-racun itu tumpah dan bercampur dengan lemak hewan-hewan dan buih lautan yang teraduk itu. Akibatnya, racun itu bersatu dan membentuk racun baru yang jauh lebih mematikan bernama Wisa Halahala. Racun itu membunuh banyak kehidupan baik di laut Selatan maupun di daratan Hindustan dan Jawadwipa. Banyak dari para dewa dan raksasa seketika pingsan karena racun itu. Wisa Halahala semakin lama menyebar membuat khawatir para dewa dan raksasa. Melihat hal itu, Batara Guru segera menghirup dan menelan semua Wisa Halahala tanpa sisa. Berkat bantuan Batari Durga, racun yang ditelan dan dihirup sang suami tidak sampai menyebar ke seluruh tubuh seutuhnya melainkan tertahan di tenggorokan. Hal ini menyebabkan leher Batara Guru berubah menjadi belang berwarna biru. Kutukan leher belang telah berlaku. Maka Batara Guru mendapat julukan baru yaitu Sang Nilakantha, yang berarti Batara Guru yang berleher biru. Batara Guru segera membangkitkan para raksasa dan dewa yang pingsan dengan Kayulata Mahosadi.

Harta Karun dari Pengadukan Samudera

Laut Selatan terus teraduk-aduk selama berhari-hari. Kahyangan dan marcapada menjadi geger. Bumi gonjang-ganjing langit kolap-kalip. Angin topan juga itu andil dalam pengadukan Laut Selatan. Setelah sekian lama teraduk, laut di sekitar Gunung Mandaragiri tersingkap dan muncullah berbagai harta karun dari dalam laut. Diantaranya adalah lembu Surabi, kuda Oncesrawa, permata safir Kastubamulya, praba Ardhacandra, pohon Kalpawreksa, Dewi Sura sang dewi pembuat arak dan tuak, kembang Srigading (parijataka), bunga ratna (bunga kancing ungu), Dewi Permoni (Pramoni) sang dewi kemalangan, Sangkya (terompet kerang ; sangkakala) Pancajanya bertatahkan berlian dan mutiara, busur Harandanu yang sangat kuat, dan yang terakhir adalah Batara Dhanwantari, sang tabib dewata yang membawa cupu (kendi ajaib) berisi semua Tirta Perwitasari. Setelah mengembalikan gunung Mandaragiri ke tempat asalnya, seluruh harta karun dibagi rata. Permata safir Kastubamulya dijadikan hiasan mahkota batara Wisnu. Lembu Surabi di berikan kepada Batara Guru lalu diserahkan kepada para Maharesi, Dewi Sura memilih para raksasa agar bisa membuat mereka merasakan enaknya arak buatannya. Pohon kalpawreksa, bunga srigading, dan bunga ratna dibawa para dewa ke kahyangan, kuda Oncesrawa dijadikan milik para naga, Sangkya diberikan pada Batara Wisnu, busur sakti Harandanu dijadikan milik para raksasa, Dewi Permoni memilih Batara Kala sebagai suaminya dan bersama-sama tinggal di istana Nusa Kambana. Praba (baju kebesaran) Ardhacandra diberikan kepada para raksasa namun para raksasa mempersembahkannya kepada Batara Guru secara sukarela. Kini tibalah Batara Dhanwantari untuk memilih untuk siapa Tirta Perwitasari itu. namun para dewa dan para raksasa tidak sabar. Terjadilah keributan. Cupu berisi Tirta Perwitasari terlepas dari tangan Batara Dhanwantari dan berhasil direbut oleh para raksasa. Para raksasa kegirangan dan segera pergi dari Laut Selatan.

Para Dewa Merebut Kembali Tirta Perwitasari

Para dewa menjadi panik karena jika Tirta Perwitasri jatuh ke tangan orang yang tidak tepat maka akan terjadi bencana. Batara Kala sebagai wakil bangsa raksasa berusaha menenangkan keadaan “tenang, para dewa semua. aku wakil bangsa raksasa mohon pengertian. Saat pembagian, bangsa raksasa hanya dapat sedikit hadiah. Kami merasa berhak dapat sedikit Tirta Perwitasari. Aku berjanji mereka tak akan menyalahgunakannya.” Batara Brahma menyela dengan nada penuh emosi“tapi siapa yang bisa menjamin itu semua? kalau Tirta perwitasari disalahgunakan bagaimana? Kau mau bertanggungjawab, Kala?” Batara Kala tersulut “aku sudah berusaha bicara baik-baik tapi kakang malah menjawab dengan emosi? Mau ngajak rame?” para dewa segera melerai mereka. Lalu datanglah batara Wisnu dan Batara Indra. Batara Indra menenangkan kedua saudaranya itu“Kala! Brahma! Bertenang sejenak. Walau itu menjadi hak milik para raksasa, Tirta Perwitasari harus berada di tangan para dewa. Bangsa raksasa berhak minum Tirta Perwitasari dan tinggal ke kahyangan sebagai dewa apabila mereka ada yang berbudi luhur dan mampu mencapai pencerahan hidup. Aku yang akan menjamin itu semua.” Batara Kala yang tadinya marah akhirnya reda dan menerima jaminan itu. kini Batara Brahma betanya “lalu kalau memang takdir Tirta Perwitasari harus di tangan para dewa, bagaimana caranya mendapatkannya kembali?” keheningan sejenak dua jenak. Lalu Batara Wisnu mendapatkan ide dan mengusulkan agar dirinya saja yang mengambil Tirta Perwitasari“aku yang akan ke sana merebutnya”

Dewi Malini dan Jumawanya Kala Rahu

Para raksasa yang dipimpin Kala Rahu, dan Putut Jantaka bergembira setelah mendapatkan Tirta Perwitasari. Mereka saling berpesta, minum arak dan tuak, dan menari-nari dengan riangnya.. lalu ketika Tirta Perwitasari hendak dibagi-bagikan, muncullah seorang bidadari cantik bernama Dewi Malini. Kecantikannya yang terpancar menjadikan para raksasa terlena dan mabuk kecubung dibuatnya. Mereka yang masih dalam pengaruh minuman keras saling bertengkar dan memperebutkan Dewi Malini. Dewi Malini merasa ini kesempatan bagus. Pada saat itu juga, dia segera mengambil Tirta Perwitasari dan dan membawanya kembali ke kahyangan. Begitu Tirta Perwitasari lenyap, barulah para raksasa sadar dengan kesalahan mereka. Kala Rahu berniat mengejar Dewi Malini namun dilarang oleh Prabu Widyunmalika “tunggu, Kala Rahu. Jangan gegabah. Itu bukan rezeki kita. aku mendapat penerawangan dari pukulun Batara Kala kalau Batara Indra telah menjamin akan memberikan kita Tirta Perwitasari jika kita mau berbuat baik dan memelihara dharma.” “persetan dengan jaminan Indra, aku ingin mendapatkan Tirta Perwitasari sekarang juga. Aku sudah luhur bahkan lebih luhur dari para dewa.” Kata-kata Prabu Widyunmalika tak diindahkan oleh Kala Rahu. Kini giliran sang putra, Putut Jantaka membujuk sang ayah “ayah, berpikirlah sekali lagi. Jangan karena nafsu, hati ayah menjadi buta, menjadi tuli, tidak mampu mendengar kebaikan bahkan kata-kata baik gusti Prabu. Ku mohon pada ayah jangan melampaui batas“ namun Kala Rahu keras kepala. Kata-kata sang putra juga tak diindahkan malah ia menendang putranya sendiri. Ia akhirnya menyelinap diam-diam ke dalam kahyangan.

Legenda Gerhana Matahari dan Bulan

Di kahyangan Jonggring Saloka, tepatnya di alun-alun Suralaya, Batara Indra berniat membagikan Tirta Perwitasari kepada para dewa baru yang belum pernah meneguk Tirta Maolkayat. Para dewa baru itu berbaris mengantri Tirta Perwitasari. Memanfaatkan acara itu, Kala Rahu menyamar dengan berubah wujud menjadi dewa dan menyelinap ke dalam barisan. Batara Surya dan Batara Candra yang sedang mengawasi merasa ada dewa yang aneh. Lalu mereka melapor ada Batara Wisnu yang masih berwujud  Dewi Malini “ampun, kakang Wisnu. Kami melihat ada sesosok dewa yang mencurigakan.” Batara Wisnu segera melihat ke arah antrian. Dilihatnya dengan mata batin dan ternyata dewa yang mencurigakan itu Kala Rahu yang menyamar. Kini tiba giliran dewa jelmaan Kala Rahu meneguk Tirta Perwitasari. Batara Wisnu segera melemparkan Cakra Widaksana ke leher dewa gadungan itu dan jrass...terpenggalah kepala Kala Rahu dari badannya.

Namun keajaiban terjadi. Kepala Kala Rahu tetap hidup karena ia sudah mereguk Tirta Perwitasari. Kepala itu terus melayang-layang di udara dan mengincar Batara Surya dan Batara Candra. Kala Rahu membuka mulutnya lebar-lebar dan menelan tubuh Batara Surya dan Batara Candra hidup-hidup. Mendadak langit menjadi gelap gulita.

Kala Rahu menciptakan gerhana

Matahari dan rembulan kehilangan cahaya. Batara Wisnu segera mengubah tubuh Kala Rahu yang tanpa kepala menjadi lesung lalu memerintahkan para bidadari mengambil alu penumbuk padi dan menabuh lesung itu. Begitu lesung ditabuh, Kala Rahu merasa perutnya tergelitik dan mual lalu ia memuntahkan Batara Surya dan Batara Candra. Batara Surya merasa ini adalah kutukan yang dulu pernah dilontarkan para dewa padanya. Ia sedih karena yang menanggung kutukan itu bukan hanya dia sendiri bahkan Candra yang tak tahu apa-apa harus menaggungnya juga. Kala Rahu mengancam Batara Surya dan Batara Candra “huahahahaha....kelak aku akan kembali menelan kalian lagi dan ku ciptakan gerhana.” Setelah keluar dari mulut Kala Rahu, langit kembali terang. Cahaya matahari dan rembulan telah kembali.

Batara Guru yang kebetulan datang melihat peristawa itu memberikan saran “Indra, sebarkanlah ini pada penduduk di negeri Hindustan, Jawadwipa, dan Nuswantara.” Batara Indra segera mengabarkan jika terjadi gerhana, mereka harus memukul-mukul lesung dan membuat keributan. Dengan cara itu, kepala Kala Rahu bisa merasa mual dan bising lalu mengembalikan sinar matahari ataupun rembulan yang ia curi.

Jengahnya Dewi Winata

Dewi Winata sebenarnya orang yang sabar namun  ia sudah merasa jengah dengan olok dan ejekan Dewi Kadru yang merasa menang atas dirinya. Dia mendengar tentang munculnya kuda ajaib bernama Oncesrawa dari dasar samudera lalu ia mengajak bertaruh Dewi Kadru ”Kanda Mbok Kadru, sudah cukup atas semua olok-olokmu. Mari kita bertaruh tebakan, apa warna kuda Oncesrawa? Yang tebakannya salah, maka yang kalah akan menjadi hamba yang menang” Dewi Kadru menjawab “tentu saja warna si kuda itu putih dengan belang hitam di ekor.” “kamu salah, warnanya putih belaka” Kilah Dewi Winata. Keduanya saling cekcok dan kemudian berusaha membuktikannya besok harinya.

Malam harinya, Dewi Kadru kedatangan salah satu anaknya yaitu naga Taksaka. “Ibunda,aku mengabarkan bahwa bangsa ular naga telah mendapatkan hadiah kuda bernama Oncesrawa dari pengadukan samudera tempo hari.”. Lalu Dewi Kadru bertanya “apa warna kuda itu, anakku?” “warnanya putih bersih bagaikan susu sapi murni. Putih belaka dari ujung kepala hingga ekornya.” Dewi Kadru terkesiap dan cemas lalu meminta Taksaka dan adik-adiknya membantu sang ibu membuat ekor kuda itu mejadi belang hitam supaya ia tidak menjadi hamba Dewi Winata. Namun Taksaka menolak “ibu, itu perbuatan curang, menipu. Tidak baik.” “aku tidak peduli, anakku. Kalau kalian tidak membantu ibu, maka kelak kamu dan anak keturunan kalian akan habis karena upacara kurban ular!” tidak ada pilihan lain, maka naga Taksaka, Kaliya, Ekawarna dan adik-adik mereka terpaksa menuruti keinginan ibu mereka. Mereka sembur semua racun dan bisa ke ekor kuda itu hingga menjadi belang-belang hitam

Dewi Winata menjadi Hamba

Esoknya, Dewi Winata datang dan Dewi Kadru memperlihatkan kuda Oncesrawa dan terkejutlah Dewi Winanta melihat kuda itu ekornya belang hitam di ujungnya. Maka sesuai kesepakatan, Dewi Winata menjadi hamba bagi Dewi Kadru. Selam bertahun-tahun penderitaan Dewi Winata semakan bertambah. Sudah dicemooh, dihina pula bahkan beberapa kali mendapat kekerasan fisik. Selain harus melayani keinginan Dewi Kadru yang aneh-aneh, ia juga harus merawat beberapa adik-adik Naga Taksaka yang masih kecil. Sesekali Garudeya Brihawan datang berkunjung untuk menengok sang ibu. “ibunda, tidakkah ibu capek dan lelah melayani keinginan bunda Kadru dengan keinginannya yang aneh-aneh?” “ ya sebenarnya ibu capek, anakku. Tapi mau bagaimana lagi, ibu ikhlas. Ibu dulu yang memulai bertaruh dengan Kadru dan ibu kalah, aku juga yang harus menanggungnya, toh ini menjadi kesepakatan bersama di awal. Mungkin inilah suratan yang harus ibu jalani saat ini. semoga Sanghyang Widhi memberi ibu kekuatan untuk melewatinya.” Kata Dewi Winata dengan tabah.

Garudeya Brihawan Hendak Mengambil Tirta Perwitasari

Garudeya Brihawan merasa kasihan terhadap nasib sang ibu. Maka ia berusaha merangsek paksa hendak membebaskan Dewi Winata namun para naga menghalangi maka terjadilah perang antara para ular naga dan sang Garudeya, manusia setengan burung elang itu. Selama berhari-hari mereka saling cakar, saling sembur racun, saling gigit dan mematuk. Lalu mereka bersepakat “Garudeya, kami bisa membantumu melepaskan ibumu asal dengan syarat.” Garudeya Brihawan bertanya “katakan apa syaratnya?” “jika kamu bisa membawakan Tirta Perwitasari kepada kami, maka ibumu akan bisa dibebaskan.” Garudeya menyanggupi permohonan itu.” singkat cerita, Garudeya Brihawan harus menghadapi berbagai halangan dan rintangan untuk mencapai Tirta Perwitasari yang disimpan di bale-bale Sarilaya. Mulai melawan hujan badai, salju dan es yang amat dingin, sambaran petir, api dan lahar panas bergejolak, dan yang terakhir menghadapi Batara Indra.

Garudeya sang Gaganeswara

Batara Indra berkata “hai, Wainatanaya, apa yang kamu inginkan sudah sejauh ini sudah melewati akal sehat. Pergilah engkau. Aku hanya bisa memberikan tirta ini kepada mereka yang telah cerah hati, jiwa dan raganya.” “maafkan aku pukulun Indra. Hanya ini satu-satunya cara agar ibuku bisa merdeka.” Terjadilah perkelahian antara batara Indra melawan Garudeya Brihawan. Dengan perbawanya, Batara Indra mengerahkan segala hujan, sambaran kilat, salju dan es juga semburan api untuk membuat Garudeya menyerah namun dengan lincahnya, ia menghindari semua bencana alam yang diarahkan padanya.

Garudeya Brihawan meminjam Tirta Perwitasari
Dengan kibasan sayap emas kemerahannya, Garudeya mampu membuat Batara Indra nyaris tak dapat berkutik bahkan tombak Bajra milik Indra lepas dan tergores-gores lecet karenanya. lalu datanglah Batara Wisnu melerai “tunggu Garudeya. Jaika kamu ingin meminta Tirta Perwitasari, minta saja padaku.pasti akan aku beri” Tidak, pukulun Wisnu. Tidak patut saya minta pada pukulun karena pukulun jauh lebih kuat dan sakti daripada hamba. Karena tirta Perwitasari membuat pukulun awet muda dan berumur panjang, sedangkan saya tidak. Maka dari itu mintalah pada hamba benda yang lain.” Batara Wisnu akhirnya berkata “kalau begitu, minumlah setetes Tirta Perwitasari itu maka kau akan sama sepertiku. Setelah itu baru kamu bisa memberikannya sedikit pada para naga.” Garudeya Brihawan menyanggupi maka ia ambil setangkai daun alang-alang lalu mencelupkannya sedikit ke cupu Tirta Perwitasari. Setelah minum setetes, Garudeya Brihawan menjadi makhluk berumur panjang. Bukan Cuma itu, Batara Wisnu dan Batara Indra menghadiahkan gelar Gaganeswara yang berarti raja angkasa dan menjadi dewa para burung. Garudeya Brihawan mohon izin untuk meminjam Tirta Perwitasari untuk diberikan sedikit pada para naga. Batara Indra berpesan bahwa ia sendiri akan mengambil Tirta Perwitasari begitu sudah selesai

Garudeya memerdekakan Ibunya

Singkat cerita, Garudeya Brihawan datang kepada para naga. Para naga girang bukan kepalang karena akan menjadi makhluk berumur panjang.. tapi Garudeya berkata “adik-adikku para naga. Kalian bisa minum tirta Perwitasari setelah kalian mandi dahulu.” Maka para naga segera berendam di Bengawan Yamuna. Para naga sudah selesai mandi, namun Garudeya mengatakan bahwa tirta itu sudah dibawa batara Indra kembali ke kahyangan. Para naga kecewa namun sang Garudeya menghibur bahwa sisa-sisa tirta Perwitasari masih ada di alang-alang yang dibawanya. Maka merekapun saling berebut dan saling menjilati tirta itu. akibatnya ujung lidah mereka tersayat dan terbelah dua. Meskipun demikian, para naga berhasil menjadi makhluk yang panjang umur dan sudah merasa beruntung bisa menjilati Tirta Perwitasari walau hanya beberapa tetes. Sesuai perjanjian, Dewi Winata dibebaskan, merdeka dari perbudakan Dewi Kadru dan Garudeya Brihawan membawanya ke kahyangan berkumpul dengan Maharesi Kasyapa, sang suami yang merupakan salah satu leluhur para dewa juga.

Selasa, 12 Januari 2021

Kisah Ajisaka menumbal Jawadwipa

 

Matur salam para pembaca. untuk menambut tahun yang baru, kisah kali ini mengisahkan masa lalu Ajisaka, seorang maharesi terkenal yang kelak akan mengisi Jawadwipa. Kisah diawali dengan Pertemuan Batara Angganjali dengan Dewi Saka, berlanjut dengan Maharesi Ajisaka mendapat hadiah Tirta Maolkayat, penciptaan pasaran lima hari, dan diakhiri dengan ditumbalkannya Tanah Jawadwipa agar dapat dihuni manusia. Kisah ini bersumber dari Serat Paramayoga yang telah diubah dan disesuaikan 

Empu Kahyangan dan Maharaja Negeri Najran

Hari itu di negeri Najran di semenanjung Arabia, raja yang duduk disana, Maharaja Sakil dn putrinya, Dewi Saka sedang melakukan pelesir namun badai tiba-tiba datang dan meluluh lantakkan kapal sang raja. Seluruh awak kapal tewas kecuali Maharaja Sakil dan Dewi Saka. Batara Empu Angganjali saat itu tengah duduk di atas ombak laut sedang membuat senjata dan benda pusaka kahyangan melihat dua orang terkatung-katung di tengah laut. Batara Empu Angganjali segera menolong mereka ke daratan negeri Najran. Sebelum pingsan, Dewi Saka sempat melihat sosok pria tampan menolong ayahnya dan seketika jatuh hati padanya.

Singkat cerita Maharaja Sakil dan Dewi Saka sadar dari pingsannya. Mereka berterima kasih pada sang empu kahyangan itu “terima kasih, tuanku. Tuan sudah menyelamatkan nyawa saya dan putri saya. Kalau boleh saya tahu, siapa nama tuanku?” “aku Angganjali. Seorang empu dari Jonggring Saloka di Jawadwipa di sebrang timur samudera ini.” Maharaja Sakil terkejut mendengarnya “berarti anda adalah keturunan para dewa. Matur sembah kami pada paduka batara.” Batara Empu Angganjali tak menampik sembah itu tapi ia menjelaskan bahwa para dewa juga masih keturunan Adam dan Hawa, namun diberi kelebihan dan keistimewaan dari Sanghyang Widhi, Tuhan yang Maha Memiliki. Maharaja Sakil ingin mengajak Batara Empu Angganjali untuk singgah di Najran sebagi ungkapan terima kasih. Tak kuasa menolak, Batara Empu Angganjali segera memapah mereka dan membawa mereka terbang ke negeri Najran.

Angganjali Krama

Sesampainya di keraton Najran, Batara Empu Angganjali takjub melihatnya. Maharaja Sakil menjelaskan bahwa kemegahan negeri Najran ini selain karena jayanya perniagaan tapi juga berkat rahmat Tuhan memberikan tanah yang subur. Namun mata Batara Empu Angganjali seakan fokus ke tempat lain. Ia terus memandangi Dewi Saka, putri sang maharaja. Begitupun Dewi Saka juga kadang tersipu malu melihat wajah tampan sang empu para dewa itu. Pada suatu malam Dewi Saka berterus terang pada ayahnya “ayahanda, aku sudah lama memendam ini. sejak kedatangan kanda Batara, saya selalu terbayang wajahnya.... ia selalu muncul dalam mimpi saya.”  “rupanya gadis kecil ayah sekarang sudah dewasa. Akan aku katakan keinginanmu ini padanya.” Singkat cerita, Maharaja Sakil menceritakan keinginan Dewi Saka. Gayung bersambut, Batara Empu Angganjali juga mengatakan hal yang sama. Maka dengan terbuka, pernikahn antara Batara Empu Angganjali dan Dewi Saka digelar. Namun beberapa tahun kemudian, Batara Empu Angganjali harus meninggalkan Dewi Saka yang sedang mengandung untuk kembali ke mencipta senjata buat para dewa.

Jaka Sengkala Lahir

Kehamilan sang putri Najran itu tidak normal. Sudah nyaris 15 bulan kandungannya namn belum lahir juga si jabang bayi. Tepat di saat 15 bulan kehamilan, Dewi Saka melahirkan. Tak seperti bayi-bayi pada umumnya, bayi yang dilahirkan Dewi Saka begitu tampan. Matanya berwarna biru berkilat-kilat. Kulitnya kuning langsat bersih tanpa setetes darah pun. Anaknya itu diberi nama Jaka Sengkala. Keanehan sejak lahirnya Jaka Sengkala terus berlanjut. Negeri najran menjadi semakin makmur. Bayi Jaya Sengkala tak pernah minum air susu ibunya namun cukup menghisap jempolnya. Ketika usia Jaka Sengkala delapan tahun, ia berhasil semua ilmu dan hikmah dari para ulama seluruh negeri. Di saat yang sama, seorang pendeta bernama Usmanaji dari Yudea/Bani Israil datang untuk menjadi guru baru bagi Jaka Sengkala. Dengan ketekunan dan keuletan, Pendeta Usmanaji berhasil menjadikan Jaka Sengkala seorang ahli kanuragan, kewaskitaan, ahli hikmah. Setelah dewasa, ia memiliki berbagai macam kesaktian seperti mampu terbang di angkasa, menyelam ke dasar samudera, menghilang, dan malih rupa.

Mencari Ayah Kandung

Pada suatu hari, Pendeta Usmanaji mendapat mimpi, ia melihat muridnya mandi air suci dan membawa serombongan orang ke daratan Jawadwipa. Di saat yang sama, Jaka Sengkala datang dan ingin berpamitan dengan sang guru “Guru, aku akan pergi ke Mahameru. Bertemu dengan ayahku. Ibunda telah mengungkapkan bahwa ayahku adalah seorang dewa bernama batara Empu Angganjali. Mohon restumu.” Sang guru merestui kepergian sang murid“Restuku padamu, anka mas Jaka Sengkala. Sebelum kamu pergi, aku akan memberitahukan sesuatu.

Jaka Sengkala bertemu bapaknya
Tadi malam aku bermimpi kamu mandi air suci dan membawa serombongan orang ke Jawadwipa. Aku merasa bahwa kelak kamu akan mejadi orang hebat nanti. Jika umurku panjang, kita akan bertemu lagi di sana.” Berangkatlah Jaka Sengkala dengan sampan mengarungi Samudera Hindia/Laut Selatan. Di sana ia melihat ada seorang dewa yang duduk di atas ombak sedang membuat senjata. Ia lalu terbang dan memperkenalkan dirinya “salam ayahanda batara, aku putramu dengan Dewi Saka. Namaku Jaka Sengkala.” Batara Empu Angganjali merasa gembira bisa bertemu putera tercintanya itu.

Di tengah pertemuan mengharukan itu, Jaka Sengkala kagum dengan cara ayahnya membuat senjata. Cukup dipijit saja, besi menjadi lunak bahkan emas putih yang sangat keras sekalipun bisa lembek. Dia ingin berguru pada sang ayah cara membuat senjata. Batara Empu Angganjali berkata pada putranya “anakku, aku tak lebih hebat dari kakekmu, Batara Empu Ramayadi. Dia bisa membuat emas putih lunak hanya dengan memandangnya saja.” “benarkah demikian, ayahanda? Aku harus berguru padanya. Mohon restumu, ayahanda” Singkat cerita, Jaka Sengkala segera menuju ke ujung timur Jawadwipa ke arah deretan pegunungan puncak Tengguru Kailasa yaitu Mahameru. Di sana ia dihadang oleh Batara Cingkarabala dan Balaupata. Ia menjelaskan bahwa ia cucu dari Batara Empu Ramayadi namun mereka tak peduli. Terjadilah pertarungan cukup sengit. Meskipun masih muda, Jaka Sengkala mampu mempercundangi dua dewa itu. Lalu datanglah Batara Empu Ramayadi bersama Batara Wisnu melerai.

Jaka Sengkala berguru pada Kakeknya

Jaka Sengkala seketika tak mampu melanjutkan pertarungan kerna daya perbawa dua dewa itu. lalu ia bersujud meminta maaf atas kekacauan yang ia buat dan memperkenalkan dirinya “ampuni hamba, kakek Batara dan paman Batara atas kekacauan yang saya dah buat. Perkenalkan saya Jaka Sengkala, putra Empu Angganjali.” Maka seraya, Batara Empu Ramayadi membangunkan cucunya. “bangunlah, cucuku. Permintaan maafmu diterima. Apa hal yang membuatmu kesini?” “kakek Batara, saya ingin berguru cara membuat senjata padamu. Mohon bimbingannya.” Batara Empu Ramayadi menerima cucunya menjadi muridnya. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, ia mampu menciptakan senjata dengan ajaib bahkan melebihi kakeknya. Bukan hanya senjata saja tapi juga bahkan ia berhasil menciptakan kalam (pena) yang bisa menulis tanpa kehabisan tinta. Berbagai aksara berhasil ditulis oleh kalam buatan Jaka Sengkala mulai dari Dewanagari, Brahmi, hingga Pallawa. Setelah berguru pada sang kakkek, batara Wisnu mengajarkan segalah ilmu dan hikmah baru, kesaktian yang baru dan segala sesuatu yang belum pernah diajarkan di negeri Najran.

Batara Guru ingin Mengisi Jawadwipa dengan Manusia.

Kabar kehebatan cucu Batara Empu Ramayadi itu didengar Batara Guru. Ia ingin agar Jaka Sengkala dapat mengajari tulis menulis di tanah Hindustan dan Jawadwipa. Ia juga ingin agar Jaka Sengkala bisa mengisi Jawadwipa dengan manusia-manusia karena sebelumnya daratan Jawadwipa tak bisa dihuni manusia secara menetap dikarenakan banyak makhluk halus yang mengganggu dan mencelakakan siapapun yang tinggal di sana. Maka dipanggillah Jaka Sengkala “cucuku Jaka Sengkala, aku memanggilmu karena ada tugas mulia yang harus kamu tunaikan. Turunlah kembali ke marcapada untuk mengajari para manusia di tanah Hindustan dan Jawadwipa tulis menulis.” Ampun Paduka Batara, bukanka Jawadwipa tempat paduka bertakhta ini tidak ada satupun manusia yang menetap. Kalaupun ada, pasti bakal lari atau di habisi para makhluk halus. Bagaimana saya bisa mengajar disana jika tak ada manusia disana?” batara Guru lalu berkata”cucuku, janganlah risaukan itu. Sanghyang Widhi, Tuhan yang Maha Melindungi akan selalu melindungimu. Sebelum itu kamu harus ke tanah Lulmat di kutub utara. Ada hadiah dari-Nya yang harus kamu ambil dan namamu akan aku ganti. Mulai sekarang dan selamanya namamu akan menjadi Maharesi Ajisaka” “perintah Paduka Batara akan saya junjung tinggi.”

Hadiah Tirta Maolkayat

Singkat cerita, Maharesi Ajisaka terbang menuju Kutub Utara, ke Tanah Lulmat . Sesampainya disana, Ia bertapa dengan tapa lungguh hingga tubuhnya terkubur salju, menahan dinginnya salju dan es yang turun. Sekian lama, turunlah hujan yang melelehkan semua salju yang mengubur Ajisaka. Maharesi Ajisaka menyadari bahwa hujan ini bukan hujan biasa tapi hujan air suci, Tirta Maolkayat. Inilah hadiah dari Sanghyang Widhi yang dijealskan Batara Guru. Maharesi Ajisaka segera meminum Tirta Maolkayat dan sejak saat itu ia menjadi awet muda dan mendapatkan umur panjang. Lalu terdengar suara gaib “Ajisaka ambillah cupu Tirta Nirmala yang ada didekatmu. Niscaya semua tirta Maolkayat akan tertampung semua.” Lalu muncullah sebuah cupu (wadah air kecil) bercahaya. Lalu ia buka tutupnya dan ajaib, semua Tirta Maolkayat tertampung semua. Setelah dirasa sudah cukup, Maharesi Ajisaka segera meninggalkan Kutub Utara yang dingin membekukan itu.

Perjalanan membuka Jawadwipa

Sampailah Maharesi Ajisaka di Tanah Hindustan. Di sana ia mengajarkan baca dan tulis menulis. Muridnya pun kian hari kian banyak. Disana pula ia menikahi wanita dari bangsa Shaka, Ni Dewi Rarasati.  Lalu teringatlah perintah dewa yang dulu harus ke Jawadwipa untuk mengajar disana. Terpaksalah Rarasati ditinggal di Hindustan. Ia kemudian membawa sebagian muridnya dan beberapa penduduk Hindustan dari bangsa Keling, Shaka, Benggala, Siam, Cina-sthana bahkan ada beberapa orang pengembara dari Negeri Rum ikut dalam rombongan Maharesi Ajisaka. Setelah mengarungi laut Selatan, sampailah mereka di Jawadwipa (kala itu tanah genting yang menghubungkan Hindustan dan Jawadwipa sudah nyaris terputus tenggelam oleh air laut) Butuh seratus tiga hari untuk sampai di Jawadwipa. Rombongan memutuskan untuk menetap di Gunung Dihyang. Melewati hutan,bukit dan lembah. Dalam perjalanan itu, beberapa orang jatuh sakit dan ada pula yang meninggal karena diserang makhluk halus dan binatang buas. Benarlah apa yang diisyukan Batara Guru dan orang-orang bahwa Daratan Jawadwipa sangatlh angker. Dengan sisa-sisa orang Keling, Benggala, Siam, Cina-sthana dan Rum yang tinggal seribu orang, Maharesi Ajisaka akhirnya sampai di Gunung Dihyang. Disana ia, rombongan dan murid-muridnya mendirikan kampung bernama Purwapada.

Terbentuknya Pekan Lima Hari

Setelah kampung berdiri, Maharesi Ajisaka segera bertapa. Karena daya perbawa sang Maharesi, tidak ada satupun makhluk halus ataupun binatang buas yang mampu mendekati kampung itu sehingga murid-murid dan rombongan Maharesi Ajisaka tidak celaka. Setelah beberapa hari, datanglah Dewi Srilaksmi alias Dewi Sri Widowati datang dengan cahaya putih bersih “anakku, Ajisaka.aku akan mengajarkan ilmu Asmaragama, Asmaraturida, Asmaranala, dan Asmaratantra. Semoga kamu memahaminya” setelah memahami itu semua, Sang Dewi kembali ke kahyangan. Di hari kedua datang Batara Kala dengan cahaya kuning yang menyala “hei Ajisaka. Aku akan ajarkan segala sihir, sulap, dan gendam. Pergunakanlah baik-baik” Setelah menyerap segala apa yang diajarkannya, Batara Kala segera kembali. Di hari ketiga, datanglah Batara Brahma dengan sinar yang merah merona “anakku, Ajisaka... kemarilah aku akan mengajarimu ilmu ramalan dan penglihatan masa depan padamu.” Setelah memahaminya, Batara Brahma kembali ke kahyangan. Di hari keempat, muncullah cahaya hitam dari angkasa, batara Wisnu datang “Ajisaka, sahabatku...aku datang memberikan wejangan siasat perang, ilmu alam, dan ilmu kesaktian padamu.” Setelah cukup, sang Batara Wisnu kembali ke kahyangan dan di hari kelima datanglah pelangi beraneka warna turun dri langit, Batara Guru telah datang “Cucuku, Ajisaka...aku telah datang. Kedatanganku kemari akan mengajarkanmu berbagai macam hikmah dan ilmu panitisan. Seraplah dengan baik.” Singkat cerita, Maharesi Ajisaka berhasil menyerap semua ilmu dari Batara Guru. Maka setelah pulangnya sang Batara, Maharesi Ajisaka menciptakan suatu penanggalan berdasarkan peristiwa turunnya para dewa padanya. Satu pekannya berjumlah lima hari. Hari-harinya diawali dari Sri, lalu Kala, Brahma, Wisnu, dan terakhir Guru/Siwa. Penanggalan yang diciptakan Maharesi Ajisaka itu ada dua yaitu Candrasengkala yang berdasarkan peredaran bulan terhadap bumi dan Suryasengkala yang berdasarkan peredaran bumi terhadap matahari.

Penumbalan Tanah Jawadwipa

Beberapa tahun kemudian, Pendeta Usmanaji dari Yudea/Bani Israil datang ke Jawadwipa membawa serombongan orang Rum atas perintah Maharaja Oto, Raja negeri Rum untuk mengisi Jawadwipa dengan para manusia. Berkat kesaktiannya, Pendeta Usmanaji mampu mengetahui ada beberapa manusia di tanah angker itu, tepatnya di lereng Gunung Dihyang. Rombongan Pendeta Usmanaji segera mendatangi Gunung Dihyang dan menemukan kampung Purwapada yang dipimpin oleh muridnya dahulu, Maharesi Ajisaka. Sang maharesi terharu bisa kembali bertemu sang guru. Lalu Maharesi Ajisaka berkata “guru, negeri Jawadwipa ini angker sekali. Banyak rombonganku yang jatuh sakit dan meninggal diserang makhluk gaib dan jin jahat.

Maharesi Ajisaka betemu gurunya
Tanah ini harus kita bersihkan agar bisa ditinggali manusia. Apa yang harus kita lakukan sekarang ini?” “menurut hemat saya , anakku. Kita harus memasang kasang dan tumbal balak agar semua makhluk jahat itu pergi dari sini. Setelah tumbal dan kasang dipasang, perintahkan semua murid-muridmu dan keluarga mereka semua agar segera mengungsi dari sini untuk sementara..” singkat cerita, Maharesi Ajisaka dan gurunya segera memasang tumbal kasang di empat penjuru mata angin dan satu di tengah-tengah Jawadwipa. Sesaat setelah tumbal kasang dipasang, rombongan Ajisaka dan Pendeta Usmanaji segera meninggalkan Gunung Dihyang dan Jawadwipa.

Hari berikutnya, terjadi berbagai bencana mengerikan di Jawadwipa. Bumi gonjang-ganjing, langit kolap-kalip. Banjir dahsyat dan ombak tsunami menenggelamkan pesisir, gunung meletus dahsyat memuntahkan lahar panas. Taufan badai dan halilintar bergemuruh. Badai salju turun dahsyat mengguyur dataran rendah. Api dimana-mana membakar hutan tempat tinggal makhluk halus dan jin jahat. Huru-hara terjadi di seluruh penjuru Jawadwipa bahkan kahyangan Jonggring Sloka di puncak Mahameru (Tengguru Kailasa) yang berada di dimensi lain sedikit bergoncang karenanya. Bersamaan dengan ribuan bencana itu, Suara jerit tangis para jin jahat dan makhluk gaib pengganggu terdengar hingga jutaan tombak jaraknya. Mereka semua lari pontang-panting ke Laut Selatan dan namun naas bagi yang menuju ke utara, mereka dihempas ombak dari Laut Utara. Akibatnya, daratan Jawadwipa terpisah dengan daratan Barunadwipa (sekarang pulau Kalimantan) menyisakan Pulau Majeti (pulau Bawean), Pulau Saptaharga (Gunung Muria) dan Pulau Karimun.

Jawadwipa Aman Tentram

Setelah bencana selesai, Maharesi Ajisaka dan Pendeta Usmanaji beserta rombongan mereka kembali menempati Daratan Jawadwipa. Bahkan tanpa diduga, banyak rombongan dari tanah Hindustan dan Rum mengikutinya pindah ke Jawadwipa. Setelah beberapa lama di Jawadwipa, orang-orang yang dibawa Maharesi Ajisaka dan Pendeta Usmanaji beranak pinak dan mulai menyesaki tanah Jawadwipa. Lama-lama banyak pula pendatang pula yang menetap bukan hanya dari Siam, Benggala, Cina-sthana, Rum, ataupun Keling, tapi juga dari Arabia dan Afrika. Jawadwipa telah terisi dan jumlah penduduk Nuswantara mulai bertambah. Setelah seluruh Jawadwipa terisi, Sudah saatnya Maharesi Ajisaka kembali ke tanah Hindustan dan Pendeta Usmanaji kembali ke Yudea. Sebelum kembali, ia menghadap kepada Batara Guru di Jonggring Saloka, di puncak Mahameru buat melapor bahwa Daratan Jawadwipa telah terisi manusia dan semuanya telah menetap. Batara Guru lalu berpesan “cucuku, Ajisaka. Kembalilah kamu ke Hindustan...kelak kamu akan kembali kemari dua kali untuk membinasakan raja zalim yang berkuasa disini sejak dari saat ini. Tapi itu masih lama sekali, ratusan tahun lagi. Sebagai hadiah karena sudah mengisi Jawadwipa ini dengan penduduk, maka pulau Majeti di utara Jawadwipa akan menjadi milikmu.” Maka setelah dirasa cukup, Maharesi Ajisaka kembali ke Hindustan, kembali berkumpul dengan istrinya dan kembali mengajarkan baca dan tulis menulis pada masyarakat yang buta huruf.