Sabtu, 19 Desember 2020

Empat Anak Istimewa

Matur salam, para pembaca. Kisah yang kali ini akan menceritakan kutukan Batari Durga kepada Batara Guru yang ikut berimbas padanya. Dikisahkan pula kelahiran empat putra mereka yang sejak lahir diiringi dengan kejadian besar dan serangan para raja ke Kahyangan Jonggring Saloka. Kisah ini bersumber dari blog albumkisahwayang.blogspot.com, blog caritawayang.blogspot.co.id, Serat Pustakaraja purwa dan Paramayoga karya Raden Ngabehi Ranggawarsita, Serial Kolosal India Mahakaali, lakon Sapuh Leger, dan kakawin Asmaradhana karya Mpu Dharmaja dengn pengubahan, penambahan, dan penyesuaian dengan imajinasi penulis dan diselaraskan dengan pewayangan jawa. 

Salah Kedaden, Wujud Krodha Raja dan Permaisuri kahyangan

Bertambahnya kekuatan para dewa dengan kelahiran Batara Rewanta, Batara Shani, dan si kembar Aswan dan Aswin rupanya belum mampu membuat para raksasa durjana terdesak. Terlebih lagi para raksasa memiliki pemimpin yang sakti dan berbahaya yaitu dua bersaudara Prabu Nilarudrakala dari negeri Glugutinatar dan Prabu Tarakasura dari negeri Kelambuwaja. Keduanya telah mendapat anugerah kesaktian luar biasa dari Batara Guru sendiri. Hal ini membuat kepala Batara Guru pening dan kesal. Karena pening, Batara Guru ingin mengajak Batari Durga untuk berpelesir sejenak sambil menikmati keindahan alam sambil menaiki sang lembu Andini. Hari itu senjakala sudah hampir tiba. Batara Guru menjadi terlena melihat keindahan lekuk tubuh sang istri yang ditimpa sinar lembayung senja. Batara Guru kemudian mengajak Batari Durga untuk bercinta saat itu juga “istriku, aku sudah lama memendam ini. Marilah ikut aku dalam permainan cintaku.” Batari Durga menolak “tentu saja tidak sekarang suamiku. Bersabarlah. Tunggulah kita sampai di Jonggring Saloka dulu.” “tidak sayangku. Sekarang saja. Aku tak kuat menahannya.” Batari Durga terus menahan keinginan suaminya “Suamiku, kau tidak malu dengan Andini? Dia lembu, sapi kahyangan. Dia itu hewan tapi punya tatakrama. Bercinta ada tatakrama, harus ada tempatnya sendiri, di kamar tempatnya.” Namun Batara Guru tidak peduli. Dia memeluk sang istri kuat-kuat dan memancarlah kama benih sang Batara Guru. Batari Durga meronta-ronta menghindar hingga kama benih itu jatuh ke dalam laut selatan. Kama benih itu bergemuruh dan terus bergemuruh.

Batara Guru dan Batari Durga saling mengutuk
Batara Guru menjadi marah dan menjambak rambut Batari Durga. Batari Durga menangis dan menjerit sekeras-sekerasnya, lalu ia berkata “Istriku! Berhenti berteriak! Teriakanmu seperti teriakan hantu di pekuburan.” Seketika wujud Batari Durga berubah menjadi Mahakali, dewi berwajah mengerikan dengan mata merah menyala, gigi taring mencuat, lidah merah terjulur, rambut gimbal acak-acakan, berkalung tengkorak, bertubuh gelap tinggi besar, dan membawa banyak senjata. Batari Durga menjadi sangat marah dan berkata “Suamiku, tatakaramamu sebagai dewa telah hilang. Sopan santunmu lenyap. Kelakuanmu juga tak lebih dari kelakuan denawa!.” Seketika itu pula gigi taring Batara Guru mencuat dan berubah menjadi raksasa bermata tiga dengan empat lengan. Keduanya pun sama-sama menyesal. Mereka segera kembali ke kahyangan dan mandi di sebuah telaga di belakang istana Setra Gandamayu, pesanggrahan sang Batari Durga yang keangkerannya bagaikan setra/kuburan terseram di jagat raya. Setelah mandi, mereka langsung duduk bersila lalu mengheningkan cipta dan terjadilah keajaiban, wujud Mahakali yang mengerikan hilang, berubah menjadi kesaktian yang dapat digunakan ketika Batari Durga sangat murka. Namun bentuk tubuh sang Batari Durga yang kini menjadi tinggi besar tetap saja tak dapat disembunyikan. Begitupun dengan keadaan sang suami. Wujud menakutkan Batara Guru juga berubah menjadi kesaktian namun gigi taringnya tidak ikut hilang. Nampaknya kutukan taring telah berlaku pada Batara Guru. Ketetapan Sanghyang Maha Kuasa menakdirkan raja dan permaisuri kahyangan mengalami hal demikian sebagai pembelajaran bahwa pria maupun wanita adalah sama.

Lahirnya Batara Kala dan Batara Kartikeya

Bersamaan itu pula benih Batara Guru dan Batari Durga bersatu dalam aliran air dan membentuk cahaya terang lalu terbang. Batara Guru segera menyiramkan Tirta Maolkayat dan seketika cahaya itu kemudian berubah menjadi bayi berwajah enam dan ditangkap oleh para bidadari yang duduk di antara bintang-bintang. Batara Guru memutuskan agar anaknya itu diasuh oleh para bidadari itu dan karena diasuh oleh bidadari yang tinggal di antara bintang-bintang (Kartika) maka diberilah nama putranya itu Kartikeya.

Di waktu yang sama, di tengah laut selatan, muncul suatu keanehan. Laut mendadak bersabung tanpa ada angin. Lalu keluar api dari dasar laut. Lalu dari dalam api itu, benih kama Batara Guru yang tumpah tadinya bergemuruh mulai berubah menjadi raksasa dewa. Raksasa setengah dewa itu mengamuk ingin tahu siapa orang tuanya. Turunlah para dewa yang dipimpin Batara Sambu untuk menghentikan amukannya. Mereka mengerahkan segala kekuatan namun semuanya nampak tak berlaku bagi si raksasa dewa. Hembusan topan badai yang dibawa Batara Bayu tak lebih dari kibasan ekor kera bagi si raksasa. Halilintar yang dilemparkan Batara Indra dirasakannya lebih mirip gigitan semut kecil.

Lahirnya si Kama Salah, Batara Kala
Api yang membara kiriman Batara Brahma bahkan hanya mampu membuat rambut kaki si raksasa kama salah itu terbakar. Batara Baruna dan Batara Mintuna mengerahkan ombak pasang mereka namun yang ada bukannya si kama salah yang jatuh malah ombak itu berbalik pada mereka. Bahkan pasukan para dewa dibuatnya kalang kabut. Porak poranda semua terkena serangan si kama salah.  Batara Resi Narada segera memerintahkan mereka untuk mundur karena si raksasa itu kebal dan kuat. Pasukan para dewa segera kembali ke kahyangan dan Batara Cingkarabala-Balaupata segera diperintahkan untuk menutup Lawang Kori Selomatangkep.

Batara Resi Narada melapor pada batara Guru bahwa ada raksasa ganas dari laut yang mengamuk karena ingin mencari ayah dan ibunya. Namun belum habis bercerita, terdengar keributan. Ketika dilihat ternyata raksasa yang tadi menyerang para dewa kini menapakkan kakinya di Jonggring Saloka. Lawang Kori Selomatngkep berhasil dijebolnya. Para bidadari lari kalang kabut dengan kedatangnnya. Batara Guru yang sudah tahu siapa dia sebenarnya menghadapi raksasa kama salah itu. Dihadapan batara Guru, raksasa itu hendak melancarkan serangan. Namun sebelum itu terjadi, Dirapallah Aji Kemayan oleh Batara Guru. Raksasa itu tidak kuat menghadapi aji Kemayan dan akhirnya limbung dan jatuh bersujud. Lunglai segala otot dan persendiannya. Si raksasa terus menggeram dan memohon ampun. Di hadapan para dewa, Batara Guru berniat untuk menghabisi si raksasa namun Batara Resi Narada melarangnya. Lalu ia berkata “Adi Guru, jangan gegabah. Jangan menghabisi lawan yang sudah tidak berdaya.” Batara Semar kemudian ikut menyindir “benar yang dikatakan adhi Narada. Kalau raksasa ini dianggap mengancam para dewa,kenapa tak sekalian saja biangnya juga dihabisi.” Batara Guru merasa tersindir dan malu lalu mengarahkan Tombak Trisula miliknya ke arah dua gigi taring dan lidah si kama salah. Alhasil terpotonglah kedua taringnya dan keluarlah segala racun dari lidahnya lalu berubah menjadi dua buah keris dan satu panah. Keris itu diberi nama Kalanadah dan Kaladite, sedangkan panahnya diberi nama panah Sirsha. Lalu batara Guru memulihkan segla kesaktian dan kekuatan si raksasa  dan diakuinya sebagai putranya. Oleh sang ayah, si raksasa setengah dewa itu diberi nama Batara Kala. Batara Kala segera diperciki Tirta Maolkayat dan seketika menjadi dewasa. Oleh Batara Guru, Batara Kala diangkat menjadi dewa waktu juga penguasa segala bencana dan malapetaka dan diberi tempat tinggal di Istana Nusa Kambana.

Lelakon Murwakala

Batara Kala telah menjadi dewa waktu dan penguasa malapetaka. Namun menjadi dewa membuat nafsu makannya menjadi terbatas. Dia ingin makan-makan enak tanpa terikat aturan kahyangan. Batara Guru memahami hal itu lalu berkata pada sang putra yang berparas raksasa menakutkan itu “anakku, kalau kamu ingin makan enak. Makanlah manusia Sengkala. Yakni orang-orang yang macam ini : orang yang pergi keluar saat tengah hari tanpa tujuan jelas, orang yang suka bertopang dagu, orang yang doyan makan sesuatu yang haram, orang yang suka menebar fitnah dan membuat kegaduhan, orang yang suka mengincar jalan pintas demi kesuksesan duniawi. Kau juga boleh memakan orang Sukerta, orang-orang yang takdir kelahirannya seperti ini : anak tunggal, anak kembar baik yang seiras maupun buncing, kendana-kendini (dua bersaudara lelaki perempuan), orang yang lahir di saat matahari terbit, tengah hari maupun terbenam, tiga bersaudara lelaki perempuan lelaki atau sebaliknya, lima bersaudara baik lelaki semua maupun perempuan semua, anak yang terlahir dini (prematur), anak cacat, anak beda warna kulit.. Namun itu semua juga ada batasnya. Kalau mereka semua sudah diruwat (dibersihkan malanya), kau tidak boleh memakannya.” Batara Guru kemudian memberikannya golok sakti bernama Kyai Bedama sebagai senjata untuk memakan mangsanya. Batara Guru juga menanamkan rajah Kalacakra dan rajah Carakabalik di tubuh batara Kala dan berpesan siapapun yang bisa membaca rajah itu tidak boleh dicelakai dan harus dihormati.

 Kejar-kejaran Kartikeya dengan Kala

Baberapa waktu kemudian, Batara Kartikeya telah tumbuh besar berkat Tirta Maolkayat. Batara Kala tahu kalau adiknya itu lahir saat matahari terbenam, sama sepertinya. Batara Kala ingin memakannya. “pukulun ayahanda, adhi Kartikeya adalah anak yang lahir saat matahari terbenam, sama seperti aku. Aku harus memakannya.” Batara Guru sigap dan berkata “kalau kamu ingin memakan adikmu, tunggulah dia sampai dewasa.” Batara Kala bersedia menunggu dan menahan nafsu membunuhnya.

Lakon Murwakala
Namun rencana dewa berkata lain, Batara Guru memberikan anugerah pada Kartikeya. Laju pertumbuhannya dihentikan sampai usia 9 tahun agar tetap selamanya menjadi anak remaja. Batara Kartikeya akhirnya dijuluki Rare Kumara, yang berarti selalu kanak-kanak. Batara Kala akhirnya menjadi kesal melihat adiknya itu tak besar-besar. Karena tak tahan lagi, Batara Kala mengejar Batara Kartikeya. Di tengah jalan, Batara Kartikeya memberikan teka-teki kepada sang kakak “kanda batara Kala, kalau ingin memakanku, kau harus jawab teka-tekiku dulu. Artikan kalimat ini. Hong, eka egul, sada grana, dwi srogi, tri nabi, sapta netra, asta pada.” Batara Kala butuh waktu untuk menebaknya sehingga Batara Kartikeya dapat melarikan diri lagi. Setelah berpikir cukup lama, Batara Kala menjawabnya “adikku, arti dari kalimat ini : satu ekor, enam lubang hidung, dua tanduk, tiga lubang pusar, tujuh mata, delapan kaki. Itu gambaran dari ayahanda Batara Guru, bunda Batari Durga, dan Lembu Andini.” Batara Kala menoleh dan mendapati adiknya telah lari lagi. Kesal, batara Kala kembali mengejar Batara Kartikeya. Tibalah Batara Kala di suatu kafilah pedagang. Di kafilah itu banyak orang-orang berakhlak buruk. Mereka doyan mengonsumsi makanan dan minuman haram, malas-malasan, doyan menebar fitnah dan membuat gaduh. Namun Batara Kala tidak memakan mereka karena fokus mengejar Kartikeya. Namun ia tetap membuat mereka celaka dengan “memakan” peruntungan dan keberkahan hidup mereka. Artinya mereka kelak akan selalu mengalami kesengsaraan selama hidup.

Pentas Wayang Ki Dalang Kandabuana

Di kafilah yang sama, Batara Kartikeya akhinya, ada sebuah rumah besar yang menggelar pertunjukan wayang. Dalangnya bernama Ki Kandabuana. Selain pertunjukan wayang, juga digelar pesta besar-besaran. Batara Kala kemudian datang dengan perut keroncongan dan memakan semua makana yang ada disana. Para tetamu menjadi ketakutan. Batara Kartikeya lalu sembunyi di dalam kotak wayang. Ki Kandabuana menjai marah “hei raksasa, kenapa kau merusak pagelaranku?’ lihat para penonton jadi ketakutan.” “hei ki dalang, aku kelaparan karena mengejar adikku. Adikku lari kesini.” Ki Kandabuana minta ganti rugi makanan yang dihabiskan Batara Kala tapi dia tidak bisa memeberikan ganti rugi. Ketika melirik, Batara Kala melihat Batara Kartikeya berada dalam kotak wayang. Ki Kandabuana dengan sigap meminta Batara Kala untuk menyerahkan goloknya, Kyai Bedama kepadanya. Batara Kala lalu menyerahkan Kyai Bedama kepada ki dalang. Namun ia melihat kalau Batara Kartikeya telah lari. Dia meminta golok Kyai Bedama dikembalikan. Ki dalang tidak mau. Karena diliputi rasa kesal, Batara Kala hendak memakan ki dalang. Begitu mulutnya terbuka, ki dalang membaca rajah Kalacakra dan Carakabalik yang ada di mulut dan tubuh Batara Kala. Seketika Batara Kala ingat kalau ada orang yang bisa membaca rajah di tubuhnya tidak boleh dicelakai dan harus dihormati. Batara Kala duduk bersimpuh dihadapan ki dalang. Ki dalang berkata kepadanya “Hai Batara kala, aku memiliki tugas untuk meruwat warga di sini. Jika mereka sudah diruwat maka tidak boleh kamu mangsa. Karena adikmu sudah datang kesini maka dia adalah tamuku yang ingin diruwat juga.” “aku mengerti ki dalang. Aku janji tak akan memakannya.” Setelah diruwat, Batara Kala dan Batara Kartikeya kembali ke kahyangan Jonggring Saloka. Ki dalang mengajarkan kepada masyarakat kafilah cara agar terhindar dari kemalangan dan malapetaka yang dibawa Batara Kala yakni dengan rajin berpuasa baik makan ataupun minum, mengurangi berbicara yang tidak perlu, mengurangi senggama maupun masturbasi, menghindari makan makanan dan minuman yang syuhbat (tidak jelas asal-usulnya), bersabar dengan mengurangi marah dan mengeluh, tidak membuat kegaduhan, dan rajin-rajin bertapa brata.. Ki Setelah seluruh prosesi ruwatan massal selesai, Ki Kandabuana kembali ke kahyangan sebagai Batara Wisnu.

Asmaradhana, Kisah Cinta Kamajaya-Ratih

Serangan demi serangan bangsa raksasa durjana yang dipimpin oleh Prabu Tarakasura dan Prabu Nilarudrakala terus merangsek Gunung Mahameru (Tengguru Kailasa). Di tengah kegentingan itu Batara Guru ingin untuk pergi bertapa brata untuk meningkatkan kekuatan kahyangan. Untuk sementara, Batara Sambu menjadi pemegang tampuk kekuasaan di Jonggring Saloka. Pasukan Dorandara yang dipimpin Batara Indra terus menyerang prajurit Prabu Tarakasura dan Prabu Nilarudrakala. Para prajurit memang dapat dikalahkan dengan mudah namun mengalahkan Tarakasura dan Nilarudrakala rasanya seperti semut menggigit kulit gajah, susah sekali bahkan Batara Wisnu dan Batara Kala sekalipun yang melawan ikut terdesak. Keadaan para dewa semakin genting. Kini pasukan raksasa mulai mendaki Gunung Mahameru. Batara Indra segera memerintahkan Batara Cingkarabala dan Balaupata menutup Lawang Kori Selomatangkep. Batara Sambu segera mendatangi Batara Wisnu “adhi Wisnu, segeralah ke Ondar-Andir Buana, bertanya pada eyang Batara Padawenang apa yang harus kita lakukan sekarang.” “baik, kanda Sambu.” Batara Wisnu akhirnya pergi ke Ondar-Andir Buana ditemani sang paman, yakni Batara Semar. Sesampainya di Ondar-Andir Buana, Batara Wisnu segera meminta petunjuk kepada sang kakek leluhur dewa itu “ohh, eyang Batara, apa yang harus kami lakukan agar pasukan raksasa itu dapat dikalahkan. Hamba yang dikatakan paling sakti diantara para dewa tak mampu mengalahkan kedua raja raksasa itu” Sang Batara Padawenang berkata “Wisnu cucuku, ketahuilah. Ajal mereka telah ditetapkan Sanghyang Maha Agung, Tuhan yang Maha Kuasa. Mereka berdua hanya bisa dikalahkan oleh adik-adikmu. Tarakasura akan kalah oleh adikmu yang berwajah enam dan satunya lagi oleh adikmu yang berkepala hewan. Namun saat ini adikmu yang berkepala hewan itu belum bisa terlahir karena ayahmu masih bertapa di puncak Wukir Pawitra. Bujuklah ayahmu agar mau kembali bersatu dengan ibumu.”

Di istana Cakrakembang yang penuh bunga bermekaran, Batara Kamajaya dan Dewi Kamaratih atau sering dipanggil Dewi Ratih sedang menikmati hari-hari romantis mereka. Lalu datanglah batara Wisnu, sang sepupu dan batara Semar, ayah dari Batara Kamajaya. Batara Semar meminta sang putra untuk membangunkan Batara Guru “anakku, Kamajaya ya Kamadewa. Kahyangan kini dalam keadan gawat. Pasukan raksasa yang dipimpin Tarakasura dan Nilarudrakala berniat merebut kahyangan ini. Hanya Batara Guru yang mampu membuat mereka tewas. Kini dia sedang bertapa brata di Wukir Pawitra. Bangunkanlah ia dengan kekuatan cintamu.” “sendika dhawuh Ayahanda”. Ia pun pamitan dengan sang istri “Ratih, istriku, aku akan pergi. Tugas ini kurasa amat berat. Jagalah dirimu.” “iya kanda Kamajaya. Jagalah dirimu dan cinta kita.” Dikecuplah kening sang istri tercinta. Dipeluknya erat-erat sebelum ia pergi. Sepeninggal sang suami, Dewi Ratih merasa hati kecilnya berkata akan terjadi nasib buruk yang akan menimpa sang suami.

Di keheningan puncak Wukir Pawitra, Batara Guru sedang bersemadi. Gentur tapanya, tak dapat diganggu siapapun. Batara Wisnu, Batara Semar, dan Batara Kamajaya datang mengendap-ngendap mendekati sang penghulu para dewa itu yang sedang memejamkan segala indria sambil duduk bersila. Berkali-kali ia melemparkan batu kerikil dan ranting kayu ke arahnya namun tak berhasil. Bahkan Batara Guru bergeming sama sekali. Panah hujan bunga juga tak mampu membuat sang batara terbangun dari tapa bratanya. Sang dewa cinta mengeluarkan panah andalannya, panah aji Pancawisaya. Panca berarti lima, wisaya berarti kerinduan. Jika panah itu dilesatkan, yang terkena akan merindukan lima macam hal : aroma harum mewangi, lantunan suara merdu, rindu rasa enak, rindu kasih sayang, dan rindu akan keindahan.

Lelakon Asmaradhana
Dilesatkanlah panah gaib itu ke arah Batara Guru. Njalbb masuk ke hati. Seketika Batara Guru merasa rindu pada sang permaisuri, Batari Durga. Perlahan ia terbangun dari tapanya. Begitu membuka matanya, bukan Batari Durga yang ada dihadapannya namun Batara Kamajaya. Murkalah ia! Seketika Batara Guru bertiwikrama menjadi Rudrabirawa, rakasasa tinggi besar bermata tiga dan berlengan empat. Masing-masing tangan membawa senjata. Lalu dari mata ketiga di tengah dahi sang Batara, memancarlah sinar biru menyilaukan yang membakar Batara Kamajaya. Api semakin membumbung tinggi. Lalu datanglah Dewi Ratih yang sedari tadi mengikuti sang suami. Sedihlah ia melihat sang suami tewas terbakar api kemurkaan Batara Guru. “kakandaa......kenapa harus begini. Aku kan menyusulmu , kakanda.”  Dewi kasih sayang itu melakukan labuh geni, bela pati ke dalam kobaran api yang membakar sang suami. Batara Wisnu memohon agar Batara Guru meredakan kemarahannya dan ia menceritakan duduk permasalahannya.. “ohh pukulun ayahanda, hidupkanlah kembali kanda Kamajaya dan Yunda Ratih.” Batara Guru sadar lalu kembali ke wujud semula dan berduka. Lalu ia memercikkan Tirta Maolkayat ke abu jenazah pasangan dewa-dewi cinta itu. terjadilah keajaiban, Batara Kamajaya dan Dewi Ratih hidup kembali namun kini dengan tubuh baru yang lebih halus “ohh Wisnu, aku mampu menghidupkan Kamajaya dan Ratih tapi aku tak mampu mengembalikan jasad kasar mereka. Aku akan menaburkannya abu jasad kasar mereka agar setiap orang tetap bisa merasakan cinta dan kasih sayang.” Batara Guru menyebarkan sisa abu itu ke segala penjuru.

Batara Ganesha dan Batara Kartikeya Pergi Berperang.

Singkat cerita, Batara Guru dan Batari Durga kembali bersatu. Benih kama keduanya menyatu dalam gua garba. Pada suatu hari, di saat mereka sedang bercengkerama di taman kahyangan, datanglah Batara Indra yang sedang menaiki gajahnya, Erawata untuk melapor keadaan para pasukan raksasa. Batari Durga menjadi kaget melihat gajah Erawata datang tiba-tiba. Mendadak benih kama yang dikandung Batari Durga berontak dan lahir sebagai cahaya yang terang. Batara Guru menyiramkan Tirta Maolkayat ke cahaya terang itu lalu mewujudlah cahaya itu menjadi seorang manusia dewa berkepala gajah. Batara Guru menamai putranya yang berkepala gajah itu Batara Ganesha.

Di luar gerbang kahyangan, Prabu Tarakasura dan Prabu Nilarudrakala terus menggedor-gedor gerbang meminta agar kahyangan tunduk pada mereka. Lalu keluarlah dari gerbang itu sepasukan Dorandara. Kali ini pemimpin mereka adalah Batara Kartikeya dan Batara Ganesha. Masing-masing menaiki kendaraan berbeda. Batara Kartikeya mengendarai burung merak raksasa sementara Batara Ganesha menaiki seekor tikus kecil yang anehnya kuat menopang tubuhnya. Prabu Tarakasura dan Prabu Nilarudrakala menertawakan mereka “aduhai, jagat tambah edan. Batara Indra saja tak bisa mengalahkan kita. apalagi ini. Ada bocah berwajah enam dan dewa berkepala gajah dijadikan pemimpin pasukan tentara.” “betul kakang Taraka, para dewa sudah hilang akal rupanya.” Tapi tawa mereka terhenti dengan suara Batara Ganesha “hei kalian raja denawa, ingatlah satu hal. Jangan melihat sebuah buku dari sampulnya. Kejumawaan kalian sudah menyundul langit. Bagaimana kita adu tanding saja. Prabu Tarakasura adu tanding dengan kakakku, Kartikeya dan Prabu Nilarudrakala adu tanding denganku.” Kedua raja denawa itu sepakat.

Pertempuran sengit pun terjadi. Kedua belah pihak sama-sama kuat dan sakti. Pertempuran itu menyebabkan berbagai gejala alam. Angin prahara bertiup kencang, bumi gonjang-ganjing langit kolap-kalip. Sepuluh hari berturut-turut pertempuran itu berangsung. Tarakasura menyerang Batara Kartikeya dengan berbagai senjata namun ia tidak bisa terluka. Begitupun dengan batara Ganesha. Sampai pada akhirnya, Batara Kartikeya melemparkan tombak pusakanya, Tombak Kalaminta dan jrasss, Prabu Tarakasura tewas seketika.

Kumara Ganesha Jayanti
Tewasanya sang saudara membuat Prabu Nilarudrakala kalap dan hendak menyerang Kartikeya namun dihalangi oleh Ganesha. Akibatnya gading kiri Ganesha patah. Batara Ganesha segera melemparkan patahan gadingnya itu ke jantung Nilarudrakala. Akhirnya dia ikut tewas. Para dewa bersorak sorai, gembira karena kedua musuh dewa itu telah berhasil dikalahkan. Oleh Batara Guru, Batara Ganesha dilantik menjadi dewa ilmu pengetahuan dan Batara Kartikeya menjadi dewa pelindung anak-anak. Kerajaan Glugutinatar dijadikan istana Batara Ganesha sementara Kerajaan Kelambuwaja menjadi istana Batara Kartikeya.

Kelahiran Dewasrani

Setelah pertarungan Takasura dan Nilarudrakala, Batara Guru tak tertahan lagi nafsu syahwatnya. Setelah bersanggama, Batari Durga kembali mengandung. Batari Durga kembali mengingatkan sang suami agar bisa menahan syahwatnya “suamiku, kendalikan syahwat kakanda. Menurutkan syahwat liar sama saja menurunkan derajat sendiri dihadapan Yang Maha Kuasa. Sebagai pemimpin para dewa, aku punya permintaan padamu, kanda.” “apakah itu, dinda?” Batari Durga merasa tak nyaman apabila sang suami terus tergoda hawa nafsu bila melihatnya. Tubuh ayu molek, sintal dan berisi. Maka ia memutuskan “kakanda, aku ingin kita pisah rumah. Aku melakukan ini bukan untuk bercerai dengan kanda. Tapi jika hal itu tak dilakukan, maka derajat para dewa akan turun dihadapan Tuhan dan seluruh alam. Biarkan anak kita yang belum lahir ini ikut denganku.” Demi mewujudkan keinginan sang istri, Batara Guru dibantu para dewa lainnya memindahkan Istana Setra Gandamayu dari kompleks Iswaraloka. Diletakaannya istana Setra Gandamayu di bawah Iswaraloka, di dasar Gunung Tengguru Kailasa (Mahameru), tempat yang dekat dengan Istana Argadumilah dimana semua penderitaan dan kesengsaraan berlaku. Batari Durga tetap menjadi permaisuri namun dia juga menjadi Dewi Kekuatan, dewi pelindung orang-orang yang tertindas. Istana Nusa Kambana ikut dipindahkan karena Batara Kala tak bisa jauh dari sang ibu. Sejak saat itu Batari Durga dan Batara Kala menjadi Dewa-dewi dunia bawah bersama Batara Yamadipati dan Batara Shani. Tak lama setelah pemindahan Setra Gandamayu, lahirlah anak bungsu dari Batara Guru dan Batari Durga. Oleh sang ayah, anak itu diberi nama Dewasrani dan sang ibu memberinya nama Nilasrani. Kelahiran sang bungsu diiringi dengan hujan darah dan topan prahara dengan petir menyambar-nyambar pertanda anak ini akan membuat susah para ksatria.

Selasa, 08 Desember 2020

Kisah Shani, Hakim Para Dewa

 Matur Salam, para pembaca. Kisah kali ini menceritakan tentang keluarga Batara Surya dan anak-anaknya. Kisah diawali dengan Dewi Sangya yang mengeluh kesakitan dan menciptakan kembarannya, Chayya. Kisah berlanjut pada kelahiran, pengasingan, dan terungkapnya Shani, putra Surya yang dianggap membawa petaka baginya. Kelak dia kan menjadi hakim para dewa. Kisah diakhiri dengan kelahiran batara Aswan-Aswin, tabib  kembar dan Citragupta sang Suratma, sang pencatat amal perbuatan, siklus siang-malam dan pernikahan Shani dengan Dhamini. Kisah ini bersumber dari Serial Kolosal India Karmaphal Daata Shani yang tentunya telah diubah dan disesuaikan dengan imajinasi penulis dan mengikuti pakem pewayangan Jawa.

Kisah Batara Surya dan istrinya

Batara Guru telah membagi setiap dewa untuk membuat istana sendiri disamping istana Iswaraloka yang berada di pusat kahyangan Jonggring Saloka. Diantaranya istana Suwelagringing milik batara Sambu, istana Daksinageni milik batara Brahma, istana Rinjamaya/Karang Kaendran milik Batara Indra, istana Swargapanglawung milik Batara Bayu, istana Untarasegara yang teletak di Gunung Waikunta milik Batara Wisnu, istana Ekacakra/Suryaloka milik Batara Surya, istana Argadumilah milik Batara Yamadipati, istana Cakrakembang milik Batara Kamajaya dan Dewi Ratih dan lain-lain. Pada suatu hari, para dewa di kahyangan Jonggring Saloka sedang berunding tentang para raksasa keturunan Batara Rudra yang terus membuat kerusakan. Kerusakan itu membuat tatanan hidup di Marcapada menjadi kacau. Akhirnya mereka mulai menunjukkan permusuhan pada para dewa. Terjadilah perang berkecamuk antara para dewa dengan bangsa raksasa durjana. Perang yang sedemikian lama membuat para dewa kewalahan. Para empu kahyangan seperti batara Empu Wiswakarma, Batara Empu Ramayadi dan Batara Empu Angganjali bekerja keras untuk menciptakan berbagai senjata hebat diantaranya Cakra Widaksana untuk Batara Wisnu, Tombak Bajra yang mengeluarkan halilintar untuk Batara Indra, Gada Kaumodaki untuk Batara Wisnu dan yang lain-lain. Batara Empu Wiswakarma berhasil menciptakan sebuah cairan yang bila dituangkan ke sebuah senjata maka akan terbentuk kembaran dari senjata itu.

Di tempat lain, di istana Ekacakra/Suryaloka, Dewi Sangya atau Ngruna, putri Batara Empu Wiswakarma, istri Batara Surya telah dikaruniai sepasang putra dan putri dari sang suami yaitu Batara Rewanta dan Dewi Yamuna. Pernikahannya begitu harmonis namun juga dipenuhi dengan rasa sakit. Ia selalu merasa kesakitan bila berdekatan dengan suaminya, Batara Surya karena perbawa sang suami yang berupa cahaya terlalu kuat. Awalnya rasa sakit itu tak dihiraukannya namun lama kelamaan ia tak tahan lagi. Maka ia pun memutuskan untuk menjenguk ayahnya, di istana Wiswaloka. Di sana ia berkeluh kesah pada sang ayah “ampun ayahanda. Kedatangan putrimu ini karena aku ingin menyepi sejenak. Aku merasa tidak nyaman berdekatan dengan suamiku. Aku memang sseorang dewi tapi tubuhku tidak mampu bertahan dengan perbawa yang dipancarkannya. Sebagai putra Batara Semar, cahaya perbawa suamiku terlalu kuat. Setiap kali ia mendekatiku, tubuhku terasa perih dan kesakitan seperti terbakar. Ayahanda adalah empu para dewa. Apakah ayahanda punya solusi untuk masalah ini?” “anakku, untuk masalah ini mungkin hanya kamu yang bisa menyelesaikannya. Tapi jika kau adalah bayangan, maka bayangan akan mengikuti apa yang dikatakan tubuh.”

Kembaran sang Dewi Sinar

Perkataan Batara Empu Wiswakarma membuat Dewi Sangya merasa tercerahkan. Pada suatu malam secara diam-diam, Dewi Sangya masuk ke dalam ruangan pribadi ayahnya itu, tempat dimana semua pusaka dibuat. Dia melihat ada sebuah cairan yang bertulis “cairan pengganda”. Ia kemudian mengambil sebotol lalu mengambil sehelai rontokan rambutnya dan rambut ayahnya.  Pagi hampir tiba, Dewi Sangya harus segera kembali ke istana Ekacakra tapi dia ingin bertapa untuk membuat tubuhnya lebih kuat.

Dewi Sangya menciptakan Dewi Chayya dari bayangannya
Di tengah perjalanan pulang, ia melihat 
subuh mulai terang, matahari akan segera terbit. Cepat-cepat ia segera menuangkan cairan yang telah dicampur dengan rambutnya dan rambut ayahnya itu ke bayangannya sendiri. Lalu terciptalah kembaran dirinya sendiri. Dewi Sangya menamai kembarannya itu Dewi Chayya atau Ngruni. Lalu ia berkata pada kembarannya itu “layanilah suami kita dengan baik. Jaga baik-baik anak-anaku. Aku berpesan padamu jangan bocorkan rahasia ini pada siapapun. Tutuplah rapat-rapat .” ‘baik saudaraku. akan aku lakukan apa yang kau perintahkan. Aku juga akan menjaga rahasia ini baik-baik tapi aku tak berani menjamin rahasia itu akan selamanya kekal terjaga. Sebab apabila kanda Batara Surya memaksaku dengan kasar, aku harus jujur dan mengatakan yang sebenarnya.”

Lahirnya Shani, Hakim para Dewa

Singkat cerita, Dewi Sangya atau Ngruna pergi bertapa sementara Dewi Chayya atau Ngruni mengurus seluruh istana Ekacakra, menjadi istri batara Surya dan mengasuh Rewanta dan Yamuna yang masih kecil. Batara Surya tidak tahu bahwa istrinya yang ada dihadapannya hanyalah kembarannya. Dewi Chayya benar-benar menjalankan tugasnya dengan baik. Sifatnya yang menyayangi anak-anak bahkan melebihi Dewi Sangya. Bulan berganti tahun, Dewi Chayya melahirkan dan Batara Surya hendak merayakan kelahiran mereka. Anak-anak mereka ternyata kembar buncing gondang kinasih. Anak yang laki-laki berkulit gelap seperti Batara Wisnu diberi nama Batara Shani sedangkan yang perempuan berkulit langsat cerah diberi nama Dewi Tapati. Batara Surya memiliki sifat buruk yakni dia suka membanding-bandingkan. Dia kurang suka dengan orang berkulit gelap karena dianggap tidaklah bagus. Maka marahlah ia dan menganggap Batara Shani itu anak haram istrinya lalu ia mengutuk Batara Shani agar kulitnya akan selalu terbakar bila terkena perbawa cahayanya. Namun kehendak Sanghyang Maha Kuasa berkata lain. Malapetaka terjadi sebaliknya. Seluruh Jonggring Saloka mendadak gelap gulita. Langit mendadak bergemuruh dan tertutup awan yang sangat tebal dan gelap. Batara Surya juga mendadak kehilangan perbawanya. Batara Guru, Batara Semar, Batara Resi Narada, dan Batara Wisnu segera mencari apa penyebab kejadian aneh ini. Lalu mereka datang ke istana Ekacakra. Batara Guru dan Batara Resi Narada memberi peringatan kepada Batara Surya agar tidak melampaui batasannya. Batara Semar lalu mengingatkan putranya itu untuk menarik kutukannya “anakku, ngger Surya. Anak yang dilahirkan istrimu ini memang putramu sendiri. Kulitnaya gelap bukan karena kesalahannya melainkan kehendak Sanghyang Maha Kuasa. Sekarang cepat cabut kutuk pada anakmu yang baru lahir.” Namun batara Surya tetap bergeming. Dia tak mau mencabut kutukan itu. Hatinya masih tertutup oleh perbedaan itu. Cahaya matahari memang menyinari setiap tempat dunia namun rupanya tidak dengan hati Batara Surya, sang dewa matahari itu sendiri. Namun tidak ada hukuman yang melampaui batas. Kekuatan hukuman dari Batara Shani yang masih kecil belum maksimal. Begitu mata kecil Batara Shani berkedip untuk pertama kalinya, barulah langit kembali cerah dan terang. Batara Surya justru menyuruh sang istri untuk membawa pergi Batara Shani jauh-jauh dari istana Ekacakra dan jauh dari jangkauan perbawa Batara Surya. Batara Wisnu mengecam perlakuan dewa matahari itu “Surya! Ingatlah satu hal. Karena kau sudah mengolok-olok dan mengutuk anakmu sendiri karena kulit gelapnya, maka itu sama saja kau mengolok-olok aku juga. Kelak akan ada suatu masa dimana kau akan gelap karena perlakuan tidak adilmu saat ini.” Kata-kata Batara Wisnu itu diiringi dengan guntur dan kilat pertanda itu semua akan menjadi kenyataan.

Pengasingan Shani

Dewi Chayya menangis sedih bayi kecilnya diusir tidak hormat bahkan dikutuk. Batara Semar menyarankan agar Batara Shani agar diasuh olehnya saja “anakku cah ayu, Surya mungkin sedang belum terbuka hatinya. Lebih baik biar aku saja yang mengasuhnya. Aku akan mengasuhnya bersama anakku, Yamadipati di Argadumilah.” Dewi Chayya menyerahkan bayi Batara Shani kepada mertuanya itu. singkat cerita, Batara Shani diasuh batara Semar dan batara Yamadipati di istana Argadumilah yang letaknya jauh di bawah tanah, jauh dari jangkauan perbawa cahaya Batara Surya. Setiap malam, Dewi Chayya datang kesana untuk mengasuh Shani sementara di siang hari, dia melayani Batara Surya dan mengasuh Rewanta dan Yamuna. Batara Shani hidup bahagia walaupun tinggal di bawah tanah yang tidak tersentuh cahaya matahari. Dia tidak pernah kesepian karena dia berteman dengan seekor burung gagak.

Shani bertengkar dengan Rewanta
Burung gagak ini adalah burung gagak alam dunia bawah. Hanya dia yang mengerti perasaan Batara Shani. Namun dalam hati, ia penasaran bagaimana kahyangan yang ada di permukaan atas. Pada suatu hari, Batara Shani sudah mulai beranjak remaja dan ia bertanya pada Semar, eyangnya dan ibunya “eyang! Ibunda! Kenapa aku harus tinggal di istana paman yang gelap.” “anakku, pada suatu saat kau akan tahu alasannya. Dia yang berjalan menuju cahaya kebenaran akan mendapatkan jalannya walau penuh dengan kesakitan.”

 

Dua Putra Batara Surya

Cepat atau lambat, kebenaran yang sebenarnya tak bisa lagi disembunyikan. Datanglah batara Rewanta mencari tahu alasan ibunya selalu pergi setiap malam hari. Batara Rewanta yang mengikuti ibunya akhirnya sampai di sebuah gua, gua pintu masuk menuju istana Argadumilah. Di pintu gua, dia melihat seorang pria muda yang wajahnya mirip dengan Batara Surya namun berkulit gelap. Dia bertanya “hai, kamu. Siapa kamu? Kenapa menghalangi jalanku ke bawah.” “aku Shani, cucu eyang Semar. aku ditugaskan untuk menjaga lorong ke Argadumilah ini,” Batara Rewanta terkejut karena ada cucu Semar yang lain. Lalu dia memaksa Batara Shani untuk membuka jalannya namun ditolak. Batara Rewanta tidak terima dan menyerang Batara Shani. Dewi Chayya merasa sesuatu telah terjadi pada putranya. Dewi Chayya bersama putrinya yaitu Dewi Tapati, Batara Yamadipati, dan Batara Semar segera menuju permukaan bumi, tempat Shani berada.

Dengan mata setajam elang, Shani melompat menghindari pukulan Rewanta. Pertarungan kedua cucu dewa agung itu menyebabkan alam bergejolak. Kahyangan di permukaan bumi maupun di perut bumi bergetar hebat. Selama satu malam pertarungan terjadi hingga mereka tak menyadari hari sudah hampir pagi. Batara Rewanta menyeret Batara Shani keluar dari gua. Pertarungan terus berlanjut. Subuh sudah semakin terang dan matahari pun terbit. Tiba-tiba Batara Shani mengerang kesakitan. Tangannya seketika terbakar begitu terkena cahaya matahari. Matahari semakin tinggi, luka terbakar semakin menyebar hingga ke seluruh tubuh. Batara Shani pingsan karenanya. Dewi Chayya dan Batara Semar yang baru sampai disitu terkejut melihat Shani yang pingsan dengan kulit terbakar. Dewi Chayya menangis sambil memeluk sang putra. Batara Rewanta terkejut dan berusaha menenangkan sang ibu. Namun Dewi Chayya terlalu sedih hingga menolak pertolongan Rewanta hingga ia memakinya “Rewanta, kau menyakitinya. Dia adikmu. Kalian adalah putra Batara Surya. Perlakuanmu akan ditanggang kuda-kuda kesayanganmu. Kelak para kuda akan tunduk kepada bangsa wanara (kera)!” Batara Rewanta terkejut dan kembali ke istana Ekacakra. Dia mengadu kepada sang ayah “ampun ayahanda Batara. Aku, adik Yamuna, dan adik Tapati adalah anak-anak ayah dan ibu, tapi teganya selama ini ayahanda menyembunyikan adik laki-lakiku dari aku. Aku minta pada ayahanda agar membawa pulang adikku, Shani.” Batara Surya tercekat dan segera mendatangi sang istri di istana Argadumilah.

Surya Gugat

Sementara itu, di kamarnya yang berhiaskan bunga-bunga dunia bawah, Batara Shani perlahan sembuh. Dewi Chayya kemudian menceritakan segalanya. Batara Shani berkata “ohh ibunda, tega nian ayahanda mencampakkan aku....” “itu memang benar anakku. Aku membuangmu karena aku tidak pernah bersedia menerimamu sebagai anakku.

Surya menggugat Chayya
Aku tidak sudi punya anak berkulit gelap sepertimu.” Batara Surya yang datang tiba-tiba mengerahkan perbawanya membuat cahaya yang sangat terang dan membuat Batara Shani kembali kesakitan. Batara Semar dan Batara Yamadipati berusaha untuk menghentikan keangkuhan Batara Surya. Dewi Chayya yang tak tega melihat penderitaan anaknya menjadi marah dan mengutuk sang suami “suamiku, orang yang menjadi tumpuan cahaya telah menyiksa anaknya sendiri. Kelak kau tidak akan berdaya karena ulah seekor anak monyet.”  Sambaran halilintar terdengar pertanda doa itu makbul. Tak terima, Batara Surya menjambak dan berkata dengan kasar kepada Dewi Chayya “beraninya kau mengutuk aku. Istriku yang ku kenal tidak pernah mengutuk siapapun. Siapa kau? Jawab!!” “aduh, sakit suamiku. Lepaskan jambaknmu!” namun Batara Surya tak mau melepaskan jambakannya malah semakin kuat. Akhirnya sang dewi mengaku dia bukan Dewi Sangya melainkan kembarannya, Dewi Chayya lalu dia menjelaskan  “suamiku, kau sendiri telah disilaukan cahayamu sendiri. Yunda Dewi sampai kesakitan bila bertemu denganmu. Berada didekatmu, dia merasa perih dan lebam di kulit dan persendiannya. Kalau kanda ingin mencari Yunda Sangya, aku mohon dengan kemurahan hatimu sembuhkan putra kita.” Batara Surya melihat ke arah Shani yang kesakitan dengan luka dan parut terbuka menganga. Sekesal apapun, yang namanaya seorang ayah akhirnya luluh juga hatinya. Lalu diangkatlah kutukan dari tubuh Shani. Batara Shani akhirnya sembuh dan pulang ke Ekacakra. Bukan cuma itu, atas keinginan Batara Guru, Dewi Chayya diperciki dengan Tirta Maolkayat dan ditunjuk menjadi dewi bayangan. Begitupun dengan Batara Shani, ia lalu diangkat sebagai hakim para dewa.

Hukuman untuk Surya

Batara Surya ingin mencari Dewi Sangya yang telah meninggalkannya dalam waktu lama. Untuk sementara, istana Ekacakra akan diurus Rewanta dan Shani. Namun sebelum meninggalkan kahyangan, Batara Surya harus menemui Batara Guru untuk meminta izinnya “ohh pukulun Batara Guru, sang Siwa Girinata. Aku mohon izin untuk mencari istriku di alam marcapada.” “Surya,  aku mengizinkanmu untuk pergi namun sebagai hukuman karena telah menyiksa Shani maka aku dan kakang Semar harus mengambil sebagian perbawamu. Pancaran perbawamu terlalu kuat, harus dikurangi.” Batara Surya menerima hukuman itu dengan hati lapang. Diangkatlah senjata-senjata para dewa lalu dengan Tombak Trisula dan permata Astagina Nirmala, Batara Guru dan Batara Semar menyedot sebagian perbawa milik Batara Surya. Setelah perbawa diambil secukupnya, Batara Surya pamit dan segera turun ke marcapada. Batara Guru kemudian menebarkan perbawa Batara Surya yang diambilnya tadi ke seluruh senjata para dewa termasuk ke Trisula miliknya.

 

Kelahiran Batara Aswan dan Aswin.

Angin bertiup semilir membawa keharuman bunga-bunga. Rumput dan pepohonan menghijau segar. Musim semi menjalari semua tempat di muka bumi. Di tengah padang rumput yang hijau, kuda-kuda liar merumput.

Surya dan Sangya bercumbu dalam wujud kuda
Diantara kuda-kuda itu terdapat seekor kuda betina yang sedang duduk di atas batu seperti sedang bertapa brata.. Lalu datang lah seekor kuda jantan duduk disampingnya. Ketika si kuda betina membuka matanya, dia melihat seekor kuda yang bagus rupanya. Si kuda betina terlena oleh keelokan sang kuda jantan yang disampingnya itu. Begitu pula dengan si kuda jantan. Keduanya telah tertambat hati dan akhirnya mereka saling berlarian bersama-sama dan terakhir, kuda-kuda itu saling menggauli di tengah indahnya padang rumput. Ketika sudah di puncak gairahnya, kedua kuda itu mendadak berubah wujud menjadi sepasang manusia dewa. Kuda betina kembali ke wujud asalnya yaitu Dewi Sangya sementara kuda jantan berubah menjadi Batara Surya. Keduanya sama-sama tersipu malu. “Sangya, rupanya kau ada disini. Aku yakin kamu sudah tahu apa yang terjadi.” Dengan wajah menahan malu, Dewi Sangya mengiyakan “tentu, suamiku. Chayya pasti sudah menceritakannya padamu. Sekarang tapa brataku gagal. Aku bersedia untuk kembali ke Ekacakra.” Keduanya segera terbang kembali ke kahyangan. Beberapa hari setelahnya, Dewi Sangya hamil kembali dan kehamilannya ini rasanya cukup berat dibandingkan saat ia mengandung Batara Rewanta dan Dewi Yamuna. Sembilan bulan kemudian, Dewi Sangya melahirkan sepasang anak kembar. Batara Surya dan seluruh keluarganya bergembira akan kelahiran ini. Batara Surya menamai anak kembarnya itu Aswan dan Aswin lalu dicurahkanlah Tirta Maolkayat yang ia dapatkan dari Batara Guru. Seketika Batara Aswan dan Batara Aswin menjadi remaja. Anak-anak batara Surya kini telah lengkap. Batara Rewanta menjadi dewanya para kuda. Dewi Yamuna dan Dewi Tapati menjadi bidadari-bidadari cantik, dan Batara Shani menjadi hakim para dewa karena kebijaksanaannya. Bersama sang paman, Batara Yamadipati, Batara Shani mengurusi hukum karma manusia. Jika Batara Yamadipati ditugaskan untuk mengadili penghuni Kerak Neraka, maka Batara Shani ditunjuk untuk memberikan pahala dan hukuman bagi yang masih hidup. Sementara si kembar Batara Aswan dan Batara Aswin menjadi ahli pengobatan dan pemimpin tabib bagi para dewa.

Kisah Citragupta Sang Suratma

Beberapa waktu kemudian, jumlah orang mati semakin banyak sedangkan Batara Yamadipati dan Batara Shani mulai kewalahan karena harus berbagi tugas mengumpulkan dan mencatat semua amal dan dosa bukan hanya manusia tapi juga hewan dan makhluk lainnya. Akibatnya, banyak manusia yang masuk ke Kerak Neraka dan Taman Surga semakin tertukar posisinya. Banyak calon ahli surga yang justru mengalami siksaan neraka sedangkan para pendosa yang justru malah menikmati keindahan Taman Surga. Di saat demikian, Batara Guru memerintahkan Batara Brahma agar membantu masalah yang dihadapi Batara Yamadipati dan Batara Shani. Maka Batara Brahma kembali ke Istana Daksinageni dan bersemadi memohon petunjuk. Di saat demikian, Sanghyang Widhi, Tuhan yang maha Berkehendak mencipta keringat Batara Brahma menjadi seorang pria berwajah gahar. Didekatnya ada sebatang kalam dan tinta. Si pria itu bertanya “siapa anda, tuanku dan siapa saya?” Batara Brahma berkata “kamu adalah putra saya maka dari itu kamu dijuluki sebagai Kayastha dan kamu terlahir bersamaan dengan kalam dan tinta itu, namamu adalah Citragupta.” Batara Citragupta menghormat pada sang bapak.

Citragupta sang Suratma
Singkat cerita, Batara Citragupta belajar segala ilmu dibawah bimbingan ayahnya dan sang ibu tiri, Dewi Saraswati. Berbagai hikmah, ilmu kebijaksanaan, ilmu hidup dan mati dipelajarinya hingga pada masanya, Batara Brahma diperintahkan ke Istana Argadumilah, mengabdi batara Yamadipati.”anakku, Citragupta, mulai hari ini kamu akan menjadi jaksa agung para atma (jiwa-jiwa) di sini. Tugasmu menuliskan kembali dan memberikan catatan amalan dan dosa mereka. Matamu tak akan pernah meleng lagi dari segala ketidakadilan.” Sejak saat itu batara Citragupta mendapat julukan Citragupta sang Batara Suratma.

Dewi Neelima dan siklus siang-malam

Setelah diangkat sebagai dewa penguasa karmapala dan hakim keadilan di Trilokabuana, Shani kembali ke kahyangan Ekacakra. Hal ini membuat Dewi Sangya (Ngruna) tidak suka dengan keberadaan anak tirinya. Mengingatkannya dengan Dewi Chayya (Ngruni), saudari kembarnya yang sangat ia benci. Sangya sering menganiaya Chayya sampai-sampai pada satu kesempatan Sangya menganiaya Shani, anak Chayya dan memberinya kutukan kalau kaki Shani akan lumpuh dan dimakan ulat. Benar saja, kaki Shani tiba-tiba lumpuh bernanah dan digerogoti ulat. Batara Surya yang jengah dengan tindakan konyol istri tuanya balik memanggil burung gagak teman Shani. Burung hitam itu meringankan kutukan Shani dengan memakan ulat-ulat yang mengerogoti kaki sang hakim para dewa. Tidak terima dengan perbuatan sang suami, dengan sangat marah ia kembali mengutuk Batara Shani. Ia mengutuk mata Shani, barangsiapa yang terkena pandangan matanya akan mengalami segala karma buruk. Batara Surya makin murka karena ibu tiri mendurhakai anak tirinya sendiri. Ia mengusir Dewi Sangya dari kahyangan Ekacakra. Karena kutuk pasu itu, Batara Shani mendapatkan gelar Kruralochana yang bermakna mata keji. Namun kutuk itu berubah jadi berkah buat Shani. Semakin mudah baginya untuk memberikan pahala dan hukuman bagi setiap orang.

Dewi Sangya yang diusir dari kahyangan jadi semakin mendendam pada Shani. Di tengah jalan, ia membakar hutan dengan kekuatannya. Lalu ia jatuh tersandung batu kristal berwarna biru. Ia lalu mengutuk batu itu kelak akan jadi penyebab kekalahan Shani. Batu itu ketumpahan cairan pengganda milik Sangya dan bertukar wujud sebagai gadis cantik jelita, berpakaian serba biru. Dewi Sangya menyambut gadis jelmaan batu kristal itu. Ia memberinya nama Dewi Nila atau Neelima. Dewi Neelima didoktrin oleh Sangya untuk membenci Shani. Sehingga pada suatu kesempatan, Sangya mengadu domba Neelima dengan Shani. Shani kewalahan dan akhirnya terdesak. Kekuatan Neelima sangat besar. Shani terlempar oleh kekuatan Dewi Neelima. Dewi Sangya kini menduduki kembali kahyangan Ekacakra dan memenjarakan Dewi Chayya. Seketika langit berubah jadi terang sepanjang hari. Seluruh dunia mengalami siang tanpa adanya malam hari. Kekacauan terjadi dimana-mana. Tanpa sosok dewa penguasa karmapala, orang yang masuk ke neraka dan surga jadi tertukar. Orang baik masuk neraka dan orang jahat masuk surga. Batara Yamadipati bingung dengan tingkah iparnya.  Hilangnya Dewi Chayya juga berakibat buruk. Tanpa gelapnya malam hari, semua makhluk hidup tak bisa beristirahat. Makin kacaulah karena makin banyak makhluk yang mati akibat kelelahan memenuhi alam kematian. Setelah beberapa waktu, Batara Shani datang kembali untuk sekali lagi menyadarkan Dewi Neelima. Dengan kekuatan pikiran, Shani berhasil membuat Neelima sadar bagaimana ia bisa terlahir, mengalami berbagai penolakan dan adu domba dari ibu tirinya. Dewi Neelima sadar akan kesalahannya lalu berbalik mengutuk Dewi Sangya. Dewi Sangya dikutuk tidak akan bisa bertemu Batara Surya di saat malam, waktu yang paling diimpikan Dewi Sangya. Sejak saat itu langit cerah siang hari tak pernah lagi bisa menyusul Batara Surya. Siang dan malam tidak pernah bersama. Ketika siang hari, Sangya akan selalu mengejar dan berputar-putar disekelilingnya selepas matahari muncul sebagai cahaya siang hari tanpa bisa bertemu secara langsung. Ketika malam hampir menjelang, Sangya hanya bisa tidur di ruang bunker istana Ekacakra. Sementara itu, Dewi Chayya sekarang yang menggantikan posisi Sangya. Dengan posisi demikian, Dewi Chayya bisa dianggap sebagai permaisuri Batara Surya yang resmi.

Siklus siang malam dan pernikahan Shani-Dhamini

Dia akan bersama batara Surya, menghabiskan waktu malam yang panjang selepas matahari terbenam akan menyelimuti malam dengan bayangan, embun dan angin dingin yang diciptakannya. Siklus ini adalah keniscayaan yang harus diterima keluarga Batara Surya. Dewi Neelima mengembalikan kekuatan Batara Shani dan menerima Shani sebagai suami rohaninya. Ia seketika menghilang dan melebur sebagai batu nilam (safir) di mahkota Shani.

Shani Krama

Suatu ketika, datanglah di Kahyangan Ekacakra seorang putri bidadari bernama Dewi Dhamini. Dia sangat menyukai tarian dan musik. Ayahnya bernama Gandrwaraja Citrarata dan ibunya bernama Dewayanika. Ibunya berubah jadi akyan karena melawan Ditya Sarpanika. Dewi Dhamini diundang ke Ekacakra untuk memperlihatkan tariannya yang anggun. Di tengah tariannya, matanya saling bertatapan dengan Shani. Terasa ada getaran hati diantara mereka berdua. Namun Rewanta juga serasa ingin memiliki Dhamini. Maka Gandrwaraja Citrarata membuat sayembara. Ia lalu membuat kendi ajaib dengan kekuatannya. Barangsiapa yang mampu memegang kendi itu, maka ia akan menerima orang itu. Kalau perempuan dijadikan saudara Dhamini tapi jika laki-laki akan dijadikan suami Dhamini. Semua orang di Ekacakra berusaha memegang kendi itu namun tak ada yang berhasil. Kendi itu seakan menolak untuk disentuh. Termasuk Batara Indra yang secara diam-diam menaruh hati pada Dewi Dhamini. Sekarang tinggal giliran Rewanta dan Shani. Rewanta pertama kali memegang dan ia berusaha memaksakan diri. Kendi itu hampir saja pecah. Lalu tiba giliran Shani. Kendi itu awalnya menolak namun dengan bantuan Dewi Neelima yang bersemayam di mahkota Shani, tiba-tiba kendi itu mendadak tenang dan dapat dipegang oleh Shani.

Hari pernikahan Shani dan Dhamini pun tiba. Para dewa di kahyangan diundang semua. Batara Guru, Batara Brahma dan Batara Wisnu memberkati pernikahan mereka. Ketika acara ngunduh mantu, mendadak kahyangan Ekacakra gelap gulita. Batara Surya menjadi lemah. Sinar matahari menghilang. Bayangan itu bertukar jadi Kala Rahu. Rupanya Kala Rahu sedang memakan cahaya matahari. Terjadi gerhana. Batara Shani mengetahui kalau ini ulah Batara Indra dan Kala Rahu yang mengirimkan awan-awan mendung demi menggagalkan pernikahannya dengan Dewi Dhamini. Batara Shani bernegosiasi dengan Kala Rahu kalau yang dilakukannya tidak benar. Memang tugasnya menciptakan gerhana tapi bukan ini waktu yang tepat. Kala Rahu mau tidak mau menuruti kata Shani. Begitu gerhana usai, Shani mengusir awan mendung dengan kekuatannya. Semuanya kembali normal. Pernikahan pun dilanjutkan dengan meriah.

 

Minggu, 06 Desember 2020

Para Dewa Jonggring Saloka

 Matur Salam, para pembaca. kisah kali ini mengisahkan kelahiran lima dewa keturunan Batara Guru dan batari Durga. Dilanjutkan dengan kisah pengabdian Maharesi Kanekaputra alias Batara Narada dan kisah diakhiri dengan munculnya dua dewa ular naga dari dalam perut bumi yakni batara Anantaboga dan Batara Basuki. Sumber kisah berasal dari serat Paramayoga, dipadukan dengan Serat Purwacerita, blog albumkisahwayang.blogspot.com, dan blog caritawayang.blogspot.co.id dengan pengembangan perubahan seperlunya

Kelahiran Empat Dewa Utama

Suara jangkrik menghias malam. Kunang-kunang menari bersama remang. Kahyangan Jonggring Saloka aduhai syahdu terasa pada malam itu. Batara Guru dan Batari Durga telah menyatukan dua benih masing-masing di dalam haribaan gua garba lewat percengkramaan. Karena mereka adalah dewa maka selang empat bulan setelah bercengkrama itu, nutfah itu keluar lagi dan terbang sebagai cahaya lalu masuk ke dalam empat buah Guci. Benih-benih bercahaya itu membelah menjadi empat buah. Sembilan bulan pertama, terciumlah aroma harum di seluruh kahyangan disertai mendung dan awan berarak sangatlah banyak. Bunga-bunga di taman kahyangan mendadak mekar bersamaan. Guci yang mengeluarkan aroma harum seketika pecah dan muncul cahaya terang membentuk seorang laki-laki remaja dengan wajah teduh. Batara Guru dan Batari Durga segera mengucurkan Tirta Maolkayat ke tubuh "anak" mereka. "Putra pertama" mereka diberi nama Batara Sambu yang memiliki sifat jujur dengan perbawa awan. Dia menjadi dewa musim dan dewa kebijaksanaan. Seiring berjalannya waktu, Guci kedua bergetar hebat dan bersamaan dengan itu, Marcapada dilanda banyak kebakaran dan gunung meletus dahsyat. Kawah Candradimuka ikut bergolak arenanya hingga memuntahkan lahar panas. Guci itu pecah dan muncul cahaya membentuk seorang laki-laki dengan sorot mata merah menyala. Batara Guru dan batari Durga segera menyiramkan Tirta Maolkayat ke tubuh "anak" kedua mereka. "Putra" mereka yang kedua ini diberi nama Batara Brahma. Batara Brahma memiliki semangat yang membara dan membawa perbawa api yang menyala-nyala. Batara Brahma menjadi dewa pelindung api dan kombatan pelatih para padukan Dorandara. Selang beberapa bulan, Guci ketiga tiba-tiba bergetar dan bersamaan dengan itu, banjir terjadi dimana-mana dengan langit bergemuruh disertai kilat halilintar menyambar-nyambar disertai musim hujan tak berkesudahan dan badai salju mengguyur seluruh puncak Himalaya. Bukan hanya itu, gempa bumi dan lindu panon banyak terjadi hingga ikut menggetarkan kahyangan. Lalu keluarlah dari Guci itu cahaya yang mewujud menjadi sesosok laki-laki dengan kulit bersih dan berkilat-kilat layaknya halilintar. Seperti biasa, Batara Guru dan Batari Durga mengucurkan Tirta Maolkayat padanya. Batara Guru menamakan "putranya" yang ketiga itu Batara Indra. Batara Indra memiliki jiwa kemimpinan dan membawa perbawa kilat/halilintar. Batara Indra ditunjuk sebagai dewa langit, dewa cuaca, dan secara khusus menjadi raja para bidadari. Beberapa hari setelah kelahiran Batara Indra, muncul angin topan di seluruh dunia. Angin itu sangatlah kencang hingga membuat puting beliung besar dan sengkayan yang menerbangkan apa saja, mulai dari bebatuan, pohon besar, air sungai dan lautan, bahkan bukit pun hancur karenanya. Guci terakhir milik Batara Guru dibawa terbang oleh angin dan pecah. Lalu dari dalamnya muncul cahaya yang kemudian mewujud menjadi laki-laki berbadan gagah membawa gada dan berkuku jempol panjang dengan kekuatan melebihi seratus juta gajah. Seperti ketiga kakaknya, ia juga disiramkan Tirta Maolkayat oleh Batara Guru dan batari Durga. Batara Guru memberi nama "putra" keempatya itu Batara Bayu. Batara Bayu dianugerahi kekuatan yang besar dan membawa perbawa angin. Batara Bayu menjadi dewa angin dan bersama Batara Indra dan Sambu, ia bertugas untuk mengatur cuaca, musim, dan pergerakan angin.

Kelahiran Batara Wisnu

Kelahiran "para putra" batara Guru berturut-turut ini membuat batara Guru ditegur oleh Batara Padawenang“anakku ngger Siwa Manikmaya. Ketahuilah anakku.....melahirkan keturunan memang ibadahmu demi mempersiapkan penghuni Jonggring Saloka dan keturunan manusia-manusia linuwih namun untuk menghasilkan keturunan yang linuwih tidak cukup dengan bercengkarama disertai doa biasa.” “lalu apa yang harus saya lakukan untuk menghasilkan yang linuwih itu, ayahanda?” Sang batara Padawenang berkata “untuk itu, anakku. Lakumu dalam berolah asmara dengan Durga tidak bisa dengan cara biasa, harus dengan mencapai keheningan. Untuk mencapai keheningan itu, gunakanlah aji asmaracipta, asmaragama, asmaraturida dan amalkanlah laku asmaratantra dan asmaranala.” Batara Guru dan Batari Durga menerima nasihat dari Sang Batara Padawenang. Pertapaan dilakukan di tengah sendang di Sarilaya di atas kembang seroja raksasa. Dengan keharuman kembang setaman dan bau-bauan dati kayu cendana, gaharu, serai, akar wangi, daun pandan, dan kemenyan, dirapallah japa mantra kamasutra itu, dimulai asmaracipta, asmaratantra, asmaraturida, asmaranala, dan asmaragama.

Lahirnya Batara Wisnu
Dari lelaku mereka dari kelamin masing-masing keluarlah setitik cahaya penjelmaan benih mereka. Cahaya itu dua warna putih dan hitam berputar-putar di angkasa lalu menyatu berubah menjadi satu titik cahaya, berkilauan dan beraneka warna bagai pelangi. Cahaya itu kemudian masuk ke dalam sebuah guci berwarna hitam. Selang beberapa bulan, muncul kejadian luar biasa. Terjadi berbagai perubahan alam seperti panas, salju longsor ke dataran rendah, musim hujan berkepanjangan disetai petir, gempa bumi dahsyat, dan angin topan prahara yang sangat kencang selama berhari-hari. Peristiwa alam itu mengakibatkan kahyangan ikut bergoncang hebat. Kawah Candradimuka bergejolak, memuntahkan lahar panasnya. Bahkan Batara Guru ikut terlempar dari takhta Madeprawaka. Guci hitam tempat benih anak Batara Guru akhirnya pecah dan keluarlah cahaya mancawarna terang benderang yang kemudian mewujud menjadi seorang pria tampan menawan, berkulit gelap nan manis lagi eksotis. Batara Guru sangat gembira menyambut kelahiran "putra" kelimanya ini. Batara Guru memberinya nama Batara Wisnu. Sama seperti keempat kakaknya, oleh sang ayah, Batara Wisnu segera dimandikan dengan Tirta Maolkayat dan Batara Wisnu menjadi menjadi sakti seketika. Batara Wisnu menjadi Dewa pemelihara dharma.

Para Dewa Meramaikan Kahyangan

Para putra Batara Guru dan Batara Semar dirasa sudah cukup matang dan sudah masanya untuk menikah. Batara Sambu menikah dengan Dewi Hastuti, putri bungsu Semar. Batara Brahma menikah dengan Dewi Saraswati, anak Maharesi Pancaweda, keturunan Sang Batara Pancaresi. Kakak Maharesi Pancaweda, Maharesi Guruweda memiliki seorang putri bernama Dewi Saci yang kemudian dinikahi Batara Indra. Keturunan Sang Batara Pancaresi yang lain, yaitu Maharesi Wiksmaka memiliki tiga orang anak yaitu Dewi Sri Laksmi atau Dewi Sri Widowati, Dewi Laksmita atau Dewi Pujayanti dan Batara Srita. Batara Srita diangkat menjadi kerani/juru tulis kahyangan oleh Batara Guru bergelar Batara Penyarikan sementara kedua kakak perempuannya menjadi istri Batara Wisnu. Maharesi Soma, cucu bungsu Sang Batara Pancaresi juga memiliki tiga anak yaitu Dewi Sumi, Dewi Ratih dan Batara Wiswakarma. Dewi Sumi kemudian menikah dengan Batara Bayu dan Dewi Ratih menjadi istri Batara Kamajaya. Pasangan Kamajaya dan Ratih ini menjadi pasangan paling cantik dan paling tampan juga paling harmonis di dunia para dewa. Sementara itu, Batara Empu Wiswakarma diangkat menjadi undagi/arsitek para dewa bersama Batara Empu Ramayadi, cucu Sang Dewa Hening/Maharesi Kasyapa. Batara Empu Ramayadi memiliki putra yakni Batara Empu Angganjali yang juga sama-sama menjadi undagi bagi para dewa. Ketiganya membangun banyak bangunan indah dan gemar coba-coba membuat sesuatu yang berguna untuk para dewa. Batara Wiswakarma memiliki putri benama Dewi Sangya atau Saranya atau Ngruna. Dewi Sangya kemudian menikah dengan Batara Surya, putra Batara Semar yang menjadi dewa matahari. Batara Candra, sang dewa bulan, saudara kembar Batara Surya kemudian menikahi Dewi Rohini, putri Daksha. Di tempat lain, Maharesi Kasyapa dan Dewi Aditi telah dianugerahi banyak anak. Selain Batara Empu Ramayadi, salah satu putra mereka yaitu Batara Baruna dan Batara Mintuna. Keduanya menjadi dewa air. Jika Batara Baruna menjadi dewa laut, maka Batara Mintuna ditunjuk menjadi dewa air tawar. Demikianlah para dewa telah meramaikan kahyangan dan akan melahirkan para manusia yang luar biasa.

Maharesi Kanekaputra

Pada suatu hari kahyangan Jonggring Saloka geger. Kahyangan bergoncang, Kawah Candradimuka bergolak memuntahkan lahar dan awan panas. batara Guru melihat dari arah lautan ada sebuah teja (pelangi). Batara Guru menyangka ada orang sakti sedang bertapa. Maka didatangilah sumber cahaya teja itu dan disana ia melihat ada seorang pemuda tampan berpakaian resi sedang gentur bertapa di atas sebuah karang.

Maharesi Kanekaputra
Saking kuatnya bertapa, meski ombak di laut sangatlah kuat dan menhempas tubuhnya, sang pertapa tetap bergeming. Batara Guru kemudian membangunkan resi muda itu “bangunlah, tuan resi. Apapun permintaanmu akan ku kabulkan” sang resi tetap tak bergeming. Batara Guru menjadi sedikit kesal dan berniat menggunakan pusakanya. Lalu resi itu membuka membuka matanya dan memperkenalkan diri dengan gaya bercanda“hahahaha..... mohon ampun, raja para dewa. Perkenalkan nama hamba Kanekaputra, putra dari Sang Dewa Caturkaneka. Hamba seorang maharesi yang telah berkelana dan berkeliling ke seluruh jagat raya dan keinginan saya cuma satu. Hamba ingin menandingi kekuatan dan kecerdasan Tuanku.jika hamba kalah, maka aku akan mengabdi pada Tuanku” Batara Guru merasa ini adalah ujian dan ia pun menerima tantangan Maharesi Kanekaputra. Mereka kemudian beradu kecerdasan dan adu kesaktian. Dalam adu kecerdasan, Batara Guru mengakui bahawa Maharesi Kanekaputra lebih luas wawasannya namun beda cerita jika adu kesaktian. Dalam keadaan duduk, Batara Guru dan Maharesi Kanekaputra beradu kesaktian secara batiniah. Aji Kemayan dipatrapkan. Satu sama lain tidak bisa menjatuhkan. Keduanya tetap imbang. Deru ombak semakin menggila. Saking lamanya mereka beradu, gempa terjadi dan gelombang besar timbul. Tapi seperti kata pepatah “kail sejengkal manalah bisa menduga dalam lautan”, Maharesi Kanekaputra masih kalah pengalaman dalam adu kesaktian. Ia merasa kekuatannya seperti ditarik paksa keluar dari tubuhnya. Semakin lama tubuhnya tambah lemas dan akhirnya, Maharesi Kanekaputra jatuh ke laut dan tergulung ombak. Batara Guru menolongnya lalu memulihkan kesaktian Maharesi Kanekaputra “Maharesi telah membuktikan bahwa dirimu pantas maka mulai sejak saat ini, maharesi bergelar Batara dan kuangkat tuan sebagai orang nomor dua setelah aku dan aku sendiri akan menuakan tuan” Batara Resi Kanekaputra menerima kehormatan itu dan menyerahkan Cupu Linggamanik miliknya. Cupu itu berisi Tirta Mayahadi yang menjadi obat segala obat.

Nasib sang Mahapatih

Batara Resi Kanekaputra diangkat menjadi mahapatih Kahyangan Jonggring Saloka dan menjadi yang dituakan oleh para dewa bahkan oleh Batara Guru sendiri. Batara Resi Kanekaputra memang mahapatih yang bijak dan suka sekali bercanda namun kadang-kadang agak kelewatan kalau sudah bercanda. Hingga pada suatu hari, sang mahapatih melawak tentang Batara Guru yang punya saudara yang berwajah ala kadarnya dan sederhana yakni Batara Togog dan Batara Semar. Lawakannya itu diucapkan sewaktu penghadapan para dewa. Batara Guru merasa merasa sangat tersinggung dan berkata padanya “kakang kalau bercanda tak ada bedanya dengan pelawak gendut.”

Karma karena candaan
Karena Batara Guru mengucapknnya sambil mematrapakan Aji Kawrastrawam tanpa sadar, maka dalam sekejap saja Batara Resi Kanekaputra berubah wujudnya menjadi pria bertubuh gendut, pendek, dan berwajah ala kadarnya, seperti pelawak. Batara Resi Kanekaputra menangis meminta maaf kepada Batara Guru. Batara Guru juga minta maaf karena terburu nafsu namun apa yang telah dikrata tak bisa ditarik. Nasi sudah menjadi bubur. Batara Guru tidak bisa mengangkat ucapannya itu karena ini adalah takdir dari Tuhan yang harus dijalani sang mahapatih. Batara Togog dan Batara Semar menasihati agar sang mahapatih tetap semangat dan untuk Batara Guru, ia diingatkan untuk lebih hati-hati kalau berucap “Manikmaya, berhati-hatilah kalau berkata-kata. Ucapan itu bisa menjadi doa, bisa juga menjadi kutuk. Kau harus bisa lebih bersabar dan mengawal emosi” Sejak saat itu, Batara Resi Kanekaputra menikmati wujud barunya itu dan berganti nama menjadi Batara Resi Narada Muni.

Cupu Linggamanik, Anantaboga, dan Basuki

Pada suatu ketika, salah satu pusaka kahyangan tiba-tiba bergerak sendiri dan terbang. Para dewa coba mengejarnya namun tidak dapat terkejar dan menghilang. Batara Guru memeriksa apa pusaka yang hilang dan yang hilang adalah Cupu Linggamanik milik Batara Resi Narada. Batara Guru segera menerawang apa yang membuat pusaka itu pergi sendiri dan hilang. Setelah ditelusuri, pusaka itu pergi karena menemukan anak-anak keturunan dewa yang hilang dan arahnya menghilang menunjuk ke arah sebuah gua. Batara Guru segera memberitahukan Batara Sambu dan saudara-saudaranya untuk menulusuri gua yang dimaksud.

Sementara itu, di gua yang ternyata adalah pintu masuk ke Kahayangan Saptapertala, hiduplah dua manusia dewa. Perawakan mereka bersisik seperti ular dan kali ini mereka sedang bertapa brata.. Mereka bernama Naga Anantaboga dan Naga Basuki, cucu dari Dewi Suyati yang artinya masih saudara sepupu Batara Guru. Mereka bertapa brata dengan duduk membisu dalam wujud ular naga sambil membuka mulut. Secara bersamaan, datanglah sebuah benda  masuk ke dalam mulut Anantaboga. Anantaboga terbangun dari tapa dan merasa tersedak. Naga Basuki segera menepuk punggung kakaknya itu dan keluarlah dari mulut Anantaboga sebuah benda mirip sebuah cupu (kendi air). Cupu itu bercahaya. Mereka berdua membawa cupu itu keluar dari gua. Di luar gua mereka melihat para dewa berdiri menghalangi jalan mereka. Para dewa menuduh Naga Anantaboga berniat mencuri cupu Linggamanik dengan mengirimkan jin “hai kamu naga . kamu pasti yang berhasil mencuri Cupu milik tetua kami. Kembalikan atau kami paksa” “tidak tuanku semua. Aku tidak mengambilnya. Cupu ini datang sendiri.” “kau pasti bohong. Pasti kau suruh makhluk jejadian tak kasat mata untuk mengambilnya.” Naga Basuki berkilah “Demi nama Sanghyang Maha Agung, Tuhan yang Maha Melihat kami tidak mencurinya.” Namun para dewa tetap tidak percaya dan terus menuduhn mereka membabi buta. Naga Anantaboga tak terima dan terjadilah pertempuran. Sang adik, Naga Basuki membantunya. Naga Anantaboga dan Naga Basuki bertarung dengan mengibaskan ekornya dan terus menyemburkan bisa panas dari mulut mereka. Para dewa menjadi kewalahan dan segera mundur ke kahyangan Jonggring Saloka.

Batara Guru dan Batara Resi Narada melihat para dewa yang pontang-panting. Batara Guru dan Batara Resi Narada harus turun tangan sendiri. Mereka kemudian datang ke gua tempat Anantaboga dan Basuki bertapa brata untuk bertanya baik-baik.

Anantaboga dan Basuki menghadap Batara Guru dan Narada
Di sana Batara Guru dan Batara Resi Narada dijamu baik-baik oleh kedua naga itu. Batara Guru bertanya “tuan Anantaboga, mengapa kamu menyerang para dewa? “ ampun Tuanku Batara, mereka menuduh kami pencuri cupu yng berkilauan ini.” “benar tuanku, kami hanya sedang bertapa brata agar kami bisa menjadi dewa.” Naga Anantaboga dan Naga Basuki kemudian menyerahkan Cupu Linggamanik secara baik-baik. Batara Guru menerima Cupu Linggamanik. Sebagai ucapan terima kasih, Batara Guru menganugerahi mereka gelar Batara dan diangkat menjadi dewa para ular. Keduanya saling berbagi tugas. Batara Anantaboga menjadi pemimpin para ular di daratan sementara Batara Basuki menjadi pemimpin ular yang hidup di air.