Kamis, 31 Januari 2019

Kelahiran Dretarastra, Pandu, dan Arya Widura


Halo semua. Baru saja nge-post kemarin ehh ada ide untung melanjutkan yang kemarin. Kali ini saya akan mengisahkan kisah kelahiran ayah para Pandawa dan Kurawa, yaitu Dretarastra, Pandu Dewanata, dan Arya Widura . Disini juga menceritakan kematian Prabu Wicitrawirya, pernikahan Maharesi Abiyasa dengan janda adiknya, Ambika dan Ambalika, dan ditutup dengan dilantiknya Maharesi Abiyasa menjadi raja sementara di Hastinapura. Sumber yang saya pakai adalah kitab Pustaka Raja Purwa yang dipadukan dengan Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa dengan pengubahan yang seperlunya

Sudah tujuh tahun Prabu Wicitrawirya menikah dengan Dewi Ambika dan Ambalika, tapi mereka belum dikaruniai seorang putra satupun. Padahal adik perempuannya, Dewi Bandonsari baru menikah dengan Raden Kuntiboja dari Mandura sudah mengandung anak ketiga. Anak pertama mereka adalah Raden Basudewa dan Dewi Sruta sudah berusia 4 dan 2 tahun. Pada suatu ketika, Prabu Wicitrawirya sakit keras dan tak lama kemudian meninggal dunia dalam usia muda. Dewi Satyawati yang sudah semakin sepuh menjadi sedih hingga kurus kering badannya dan merasa ini adalah karma karena sudah serakah dalam hal tahta. Dalam samadi, dia menyesali hal itu “ Duh dewata agung, apakah ini karma karena aku telah mengambil hak anakku, Bhisma. Dulu Citragada kau ambil nyawanya dan sekarang putraku Wictrawirya yang menyusul. Karena aku, dinasti Baharata akan punah dan Bhisma sudah bersumpah tak akan menjadi raja apalagi menikah. Hamba memohon petunjuk-Mu untuk masalah ini”. Didalam sanggar pemujaan yang sunyi, Dewi Satyawati mendengar suara gaib “Satyawati, ketahuilah. Karma yang kau jalani sekarang anggaplah sebagai penebus dosa-dosamu di masa lalu. Kau akan menjad ibu suri yang paling beruntung karena keturunanmu akan menjadi keturunan mulia. Panggillah putra pertamamu, Abiyasa untuk menikahi janda adiknya itu karena darinya lah keturunan Baharata akan bersambung dan akan berjaya”.Dewi Satyawati seketika terbangun dari samadinya. Wangsit itu terngiang-ngiang di telinga sang ibu suri. Lalu ibu suri meminta Bhisma yang kini sudah menjadi pendita untuk memanggil Abiyasa ke Hastinapura “ Bhisma, ibu baru mendapat wangsit bahawa putraku Abiyasa lah yang bisa menyelamatkan dinasti Baharata dari kepunahan. Sekarang panggil lah dia ke sini. Mintalah dia untuk menikahi Ambika dan Ambalika” “ Baik, Ibunda ratu. Hamba akan memanggil rayi Abiyasa kesini”
Di padepokan Saptaharga, Maharesi Abiyasa sedang membaca kitab-kitab Weda dan Purana ditemani abdi setianya, Semar. Tiba-tiba dia mendapat aji Pameling*0 dari Maharesi Bhisma “ Rayi Abiyasa, baru saja ibu ratu mendapat wangsit bahwa rayi diperintahkan dewata untuk ke Hastinapura menikahi nini Dewi Ambika dan Ambalika” Maharesi Abiyasa keberatan “ kakang, bagaimana itu terjadi? Bagaimana mungkin seorang resi menikah dengan janda raja? Apa itu tidak menyebabkan aib dan lagi apakah rayi Ambika-Ambalika mau menerimaku?” Bhisma pun menjelaskan bahwa dulu ibu Ramawijaya, dewi Kusalya yang juga seorang janda sekaligus putri raja Ayodya menikah dengan begawan Dasarata yang juga seorang pendita dan setelah perdebatan yang alot, akhirnya Abiyasa mau menikahi dengan Ambika dan Ambalika.
Didalam kamar, Dewi Ambika merasa kurang sreg dan risau bila menikah dengan resi Abiyasa. “ Dinda dewi, aku keberatan bila harus menikah dengan Abiyasa. Ku dengar dia berkulit gelap, tidak terlalu tampan, dan mengeluarkn bau amis dibadannya. Bagaimana ini, dinda dewi? Apakah dinda mau dengannya saja” Dewi Ambalika menenangkan hati kakaknya itu “ Kanda dewi, seperti yang telah dijelaskan kanjeng ibu ratu, ini adalah suratan dewata untuk kita. Dewata sudah menjanjikan bahawa keturunan kita akan menjadi keturunan mulia. Kita akan menjalankan pernikahan ini dengan hati lapang” Lalu tak berapa lama, Maharesi Abiyasa sudah datang ke Hastinapura. Setelah selesai masa berkabung, Maharesi Abiyasa pun menikahi Dewi Ambika dan Ambalika.
Setahun setelah pernikahan itu hamillah Dewi Ambika dan Ambalika lalu setelah sembilan bulan, merekapun melahirkan. Kelahiran anak mereka bersamaan dengan lahirnya putra ketiga dewi Bandonsari di Mandura yang ternyata seorang perempuan. Dari dewi Ambika lahirlah putra yang tunanetra dan dari dewi Ambalika lahir seorang putra yang berleher tengleng*1 dan berkulit putih. Bhisma pun memberi nama mereka, putra dewi Ambika diberi nama Raden Kuru alias Dretarastra. Lalu putra dewi Ambalika diberi nama Pandu Dewayana dan Dewi Bandonsari memberi nama putri kecilnya itu Dewi Kunthi Nalibrata. Karena cucunya cacat, Dewi Satyawati bertanya bagaimana mereka melayani suami mereka. Dewi Ambika menjelaskan ketika malam pertama, dirinya takut melihat wajah suaminya yang dahsyat sehingga memejamkan mata sedangkan Dewi Ambalika menjelaskan karena melihat suaminya yang berkulit gelap dan baru pulang dari bersamadi, dirinya ketakutan hingga wajahnya menjadi pucat dan berusha memalingkan muka. Lalu sehari kemudian seorang dayang dewi Ambalika, Niken Darti melahirkan seorang putra yang berkaki pincang sebelah. Resi Bhisma heran bagaimana bisa Niken Darti bisa melahirkan padahal belum kawin. Niken Darti menjelaskan bahwa dia juga ikut melayani resi Abiyasa saat malam pertama karena dewi Ambalika memintanya untuk menggantikan dirinya di kamar. Dirinya pun hendak lari dari kamar saat Maharesi Abiyasa tidur dan dia sendiri baru sadar ketika keluar kamar. Akhirnya Bhisma pun memutuskan membesarkan anak Niken Darti bersama para pangeran Hastina pura dan diberi nama Arya Widura. Ibu ratu awalnya kurang stuju untuk membesarkan Arya Widura, tapi setelah meminta pertimbangan dari Abiyasa, dia pun setuju.


Untuk merayakan kelahiran mereka, diselenggarakan lah pesta selapanan*2 di istana, tiba-tiba inu ratu berteriak karena ketiga bayi pangeran menghilang. Menurut saksi mata, ketiga bayi di bawa terbang ke langit. Ki Lurah Semar berpendapat” Sebaiknya Raden berdua segera menghadap ke Kahyangan Jonggring Saloka. Sepertinya adikku, Batara Guru hendak menjadikan mereka jagoning dewa"*9

Para putra Hastina mengalahkan Prabu Nagapaya
Maharesi Abiyasa segera mengajak Maharesi Bhisma“Kakang Bhisma, mari ikut aku. Kita akan menghadap ke kahyangan” Bhisma mengiyakan “Mari, rayi.!” Mereka pun langsung menyusul para pangeran dengan kesaktian masing-masing.

Di kahyangan, para dewa kewalahan untuk mengalahkan Prabu Nagapaya dari Guobarong yang hendak menikahi salah satu bidadari kahyangan, Dewi Warsiki. Karena permintaannya ditolak, Prabu Nagapaya berubah menjadi naga dan menyerang kahyangan. Para dewa ketiwasan dan segera menutup lawang Selomatangkep*3. Tiba-tiba Batara Indra, Batara Bayu, dan Batara Dharma membawa keluar tiga bayi menuju lapangan Repat Kepanasan*4. Tiga bayi itu adalah Raden Kuru, Raden Pandu, dan Raden Arya Widura. Prabu Nagapaya pun mengejek “hahahaha. Para dewa sudah hilang akal. Tiga bayi kecil ini jagoning dewa? Hahahaha duh jagat makin edan” tanpa sadar bayi Raden kuru memegang ekor Prabu Nagapaya dan melemparkannya. Lalu bayi raden Pandu dan Arya Widura melemparinya dengan batu batuan dan api di Repat Kepanasan. Prabu Nagapaya mengerang kesakitan dan menumpahkan bisa panas ke tubuh tiga bayi itu. Bukannya mati, ketiga bayi itu malah berubah menjadi anak-anak berusia 10 tahun yang sudah bisa berjalan dan berlari. Raden Kuru alias Dretrarastra terus mengayun-ayun kan ekor Nagapaya dan Raden Pandu diberi sebuah panah sakti bernama panah Mustikajamus oleh Batara Mpu Ramayadi. Raden Pandu melemparkan panah itu dan tepat menembus jantung Nagapaya. Dia pun tewas dan berubah menjadi sebuah cupu berisi minyak. Maharesi Bhisma dan Maharesi Abiyasa yang baru datang bersyukur karena ketiga pangeran itu selamat bahkan tumbuh besar dengan cepat. Batara Guru merasa berterima kasih karena mereka terbebas dari Prabu Nagapaya. Sebagai hadiah, Batara Indra memberi cupu Lenga Tala*5 jelmaan Prabu Nagapaya dan Ajian Brajadenta-Brajamusti*6. Selain itu Raden Pandu diberi gelar “Dewanata” yang artinya sama dengan nama gelar Batara Indra “Suranata”. Batari Durga, istri Batara Guru memberikan Aji Leburgeni*7 pada Raden Kuru. Batari Durga juga menyarankan Maharesi Bhisma untuk mengganti nama Raden Kuru dan menggunakan nama lahirnya yaitu “Dretarastra” dan untuk Raden Arya Widura diberi ajian Kawidagdan Purnamasidi*8 oleh Batara Narada sehingga Arya Widura menjadi manusia yang bijaksana. Setelah dirasa cukup, Maharesi Bhisma dan Abiyasa mohon diri untuk kembali ke Hastinapura  untuk mendidik para pangeran tersebut.
Setelah kembali ke Hastinapura, ibu suri bersyukur melihat cucu-cucunya tumbuh dengan cepat. Sebagai ungkapan syukur, pesta selapanan itu pun kembali dirayakan. Setelah tujuh hari, Maharesi Bhisma mohon diri untuk membawa Raden Dretarastra, Raden Pandu, dan Arya Widura ke padepokan Saptaharga untuk memulai pendidikan dan belajar berbagai macam ilmu.
Para putra Hastina memulai pendidikan di Gunung Saptaharga
Sementara pemerintahan dipegang Maharesi Abiyasa. Awalnya Abiyasa menolak dan setelah perdebatan yang cukup alot akhirnya Maharesi Abiyasa dilantik menjadi raja semantara sampai para putranya cukup dewasa bergelar Prabu Kresna Dipayana.
*0 Aji Pameling adalah ajian untuk memanggil orang hanya dengan menyebut namanya saja. Seperti sebuah telepati.
*1  Tengleng maksudnya leher yang miring dan selalu terlihat menoleh
*2 Selapanan adalah hitungan 35 harian. Misalnya hari Anggara Kasih akan terulang lagi setelah 35 hari lagi. Biasanya selapanan digunakan sebagai pesta kenduri bagi bayi yang baru lahir
*3 Lawang Selomatangkep adalah pintu gerbang kahyangan. Dijaga oleh dua dewa berujud yaksa, Cingkarabala-Balaupata. Dua dewa berwujud yaksa ini akan menjaga pintu kahyangan dan mencegah siapapun yang hendak masuk ke kahyangan dengan raga kasarnya.
*4 Repat Kepanasan adalah alun-alun di depan kahyangan. Biasanya menjadi arena perang antara  dewa dan para musuh kahyangan.
*5 Lenga tala adalah minyak ajaib. Bila dilumurkan ke senjata, senjata itu menjadi semakin bertuah da bila dilumurkan ke tubuh, maka bagian tubuh yang terkena akan menjadi kebal senjata apapun
*6 Ajian Brajadenta-Brajamusti adalah ajian kesaktian. Siapapun yang memilikinya, kekuatannya akan menjadi setara dengan kekuatan dua raksasa dewasa
*7 Aji Leburgeni adalah ajian pertahanan diri. Siapapun atau apapun yang terkena ajian ini, akan menjadi remuk bahkan hancur berkeping-keping bagai terbakar
*8 Aji Kawidagdan Purnamasidi adalah ajian kecerdasan dan kewaskitaan. Hanya orang tertentu yang memilikinya. Siapupun yang memilikinya, akan menjadi seorang yang selalu waspada, bijaksana, dan bisa menganalisa apapun tanpa melenceng.
*9 Jagoning dewa maksudnya menjadi orang yang membantu para dewa menumpas para musuh kahyangan

Rabu, 30 Januari 2019

Kisah Kasih Bhisma dan Dewi Amba


 Hai semua. I'm comeback. Bisa nulis lagi setelah sekian lamanya. Kali ini saya mau menceritakan kisah kasih Maharesi Bhisma dengan seorang putri bernama Amba. Disini juga dikisahkan kematian  adik kedua Bhisma, Prabu Citragada, sayembara memperebutkan para putri kerajaan Giyantipura dan pernikahan Prabu Wicitrawirya dengan dewi Ambika dan Ambalika. sumber yang diambil dari Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa dan dari serial televisi Karmapala karya Imam Tantowi yang dipadukan dengan unsur pedalangan Jawa

Tak terasa 25 tahun telah berlalu. Prabu Sentanu pun lengser keprabon madeg pandhito*0.Di lain tempat, saudara kembar Dewi Satyawati, Durgandana yang juga ipar sang Prabu baru menjadi raja di kerajaan Wiratha bergelar Prabu Matsyapati menggantikan ayahnya, Prabu Wasuparisara. Kini, tahta Hastina diberikan kepada putra pertamanya dengan Dewi Satyawati, Raden Citragada. Di tahta itu bersebelahan pula dengan kakak dan adik-adik Citragada, Bhisma Dewabrata, Raden Wicitrawirya dan Dewi Bandonsari. Raden Citragada dan Raden Wicitrawirya berbeda sekali perangainya. Citragada bersifat sombong, keras kepala dan cenderung pemarah tapi Wicitrawirya sangat lembut, baik, lagi pemaaf. Didekat Dewi Bandonsari, duduklah sang ibu ratu, Dewi Satyawati. Didalam hati sang ibu ratu, rasa senang, sedih, dan takut bercampur aduk. Senang karena putranya bisa menjadi raja Hastina, sedih jua karena akan berpisah dengan sang suami dan rasa takut menyerapnya ketika Citragada sesumbar untuk menaklukan kerajaan-kerajaan di sekeliling Hastina. Benarlah hal yang ditakutkan Dewi Satyawati, tak lama setelah menjadi raja, Citragada memerangi kerajaan Kausala, Purwanegari, Bahlika, Waranawata dan negara-negara lain di sekitar Kerajaan Hastinapura. Semua dijadikan tanah taklukan dan para penduduknya disiksa habis-habisan dengan upeti yang tinggi. Karena itu, ibu ratu meminta Bhisma berusaha untuk membujuk Citragada“Rayi Prabu, jangan perlakukan penduduk di tanah jajahan seperti budak dan hentikan menaklukan negeri-negeri tetangga. Lebih baik rayi prabu segera menikah demi kelangsungan tahta di negara ini” Mendengar ceramah itu, Prabu Citragada sangat marah “Cuih, apa yang kanda katakan? Aku tidak mau pikiran ku pada negara terpecah oleh urusan anak, isteri, dan hal remeh-temeh macam itu. Aku ingin menciptakan negara ini adidaya bahakan hingga sampai ke puncak Jonggring Saloka dan aku bersumpah selama Jonggring Saloka belum menjadi wilayah kekuasaanku, aku tidak akan kawin!” tiba-tiba petir dan kilat menyambar atap menara istana. Bhisma merasa ini akan menjadi murka dewata mengingatkannya “jangan main-main dengan sumpah. Semoga petir tadi adalah peringatan buatmu bukan murka dewata padamu!”
Pertemuan pertama Abiyasa dan Bhisma
Kesombongan Citragada membuat puncak Candradimuka bergolak dan membuat para bidadari  pontang-panting kepanasan. Dewata sudah gerah dan kesal dengan perbuatan Citragada yang sudah kelewat batas. Batara Guru pun mengutus seorang raja Gandarwa*1 untuk menghukum Citragada dan membawanya ke neraka Candradimuka. Kebetulan Prabu Citragada dan Bhisma sedang berburu di hutan, kemudian raja Gandarwa itu datang dan menangkapnya. Bhisma yang menyadainya segera mengejar Gandarwa itu.Citragada berteriak kesakitan dihajar habis-habisan tanpa diberi kesempatan untuk menyerang. Suara itu membangunkan seorang pertapa muda berkulit gelap yang sedang samadi. Pertapa itu ditemani 4 orang punakawan*2. Mereka adalah Raden Abiyasa, putra petama Dewi Satyawati dengan Resi Parasara dan Ki Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Lalu dia dan punakawannya itu mengikuti asal suara itu. Tak lama mereka berjalan, Mereka menemukan jenazah seorang pria penuh lebam. Tiba-tiba gandarwa datang menyerangnya. Tanpa pikir panjang sang Abiyasa membalas serangan itu. Tak butuh berlama-lama, gandarwa itu kalah dan kembali ke langit. Setelah mengalahkan gandarwa, tiba-tiba Abiyasa diserang lagi oleh seorang lelaki yang berusia sama. Mereka pun bertarung amat sengit, sama-sama kuat dan tangkas menggunakan senjata dewa. Ketika mereka hendak beradu senjata panah, tiba-tiba muncul suara dari langit “Hentikan, sesama saudara jangan betengkar” Lalu turunlah seorang dewa. Dewa itu berbadan tambun dan berwajah ala kadarnya. Dia lah Batara Narada. “Anakku Bhisma, dia yang bertarung denganmu itu saudara mu, dia anak ibu Satyawati. Namanya Abiyasa dan Abiyasa kenalkan ini Bhisma, putra Prabu Sentanu, ayrah tirimu. Ketahuilah, kalian berdua masih berdarah Baharata. Sebaiknya kalian upacarai jasad adik kalian agar mencapai kesempurnaan. Kakang Semar ya kakang Ismaya, kutitipkan dua ksatria bagus ini untuk kau bimbing. Kelak mereka lah menjadi tonggak sejarah Hastinapura” “baik, adi Narada. Titip juga adiku, Manikmaya si Bathara Guru hehehe. Jangan sampai dia salah bertindak seprti peristiwa itu” stelah Semar mengakhiri perbincangan,Tak lama, Batara Narada naik kembali ke kahyangan. Lalu Bhisma dan Abiyasa saling berpelukan dan meminta maaf lalu membawa jenazah Prabu Citragada kembali ke istana. Dewi Satyawati terpukul akan kematian Citragada dan menyarankan Wicitrawirya untuk segera menikah setelah menjadi raja. Kesedihan sang dewi terobati setelah bertemu dengan putra pertamanya, Abiyasa.
Tak lama setelah Wicitrawrirya dilantik menjadi raja, Abiyasa dan Bhisma datang menghadap memberitahu adiknya tentang sayembara tanding di Kerajaan Giyantipura . Siapapun yang bisa mengalahkan putra sulung dan kedua Prabu Kasindra, Ditya Wahmuka dan Ditya Arimuka, berhak menikahi tiga putrinya, Dewi Amba, Ambika, dan Ambalika. Mendengar undangan itu, ibu ratu mengajukan Bhisma saja yang datang untuk menjadi wakil Prabu Wicitrawirya.”anakku Bhisma, ikutilah sayembara di negeri Giyantipura. Jadilah wakil adikmu. Dengan kesaktianmu kau bisa mengalahkan mereka.” “Baiklah, ibu ratu. Ananda akan datang dan memboyong putri-putri itu.”. berangkatlah Bhisma ditemani Ki Semar dan para putranya. Mereka pun sampai di negeri Giyantipura setelah menempuh perjalanan dua hari dan sayembara sudah dimulai. Ditya Wahmuka dan Ditya Arimuka sudah mengalahkan para pelamar. Ketika Bhisma hendak naik gelanggang, Semar membisikkan sesuatu “ Raden, lumuri dulu tangan mu dengan kunyit dan baca doa ruwat saat kalian bertanding. Itulah cara mengalahkan Wahmuka dan Arimuka” “Terima kasih, kakang Semar. Akan kupakai cara dari mu.”
Sayembara Dewi Amba, Ambika, dan Ambalika
Setelah melumuri tangannya dengan bubuk kunyit, Bhisma naik dan bertarung dengan Wahmuka dan Arimuka. Pertarungan amat sengit. Senjata-senjata mereka beradu bagai kilat. Ketika bertarung dengan tangan kosong, Bhisma mulai membaca doa ruwat dan begitu tangannya menyentuh dua raksasa putra Prabu Kasindra itu, kedua raksasa itu tumbang tak berdaya lagi bahkan tewas dan berubah menjadi debu. Bhisma dinyatakan sebagai pemenang sayembara. Tatkala hendak memboyong para putri, datanglah seorang ksatria bagus.”Hei, kisanak. Tunggu sebentar, kau belum mengalahkan aku. Aku Salwa, raja negara Saubalapura, kekasih Dewi Amba. Kudengar kau itu Resi Brahmacarin tapi sekarang kau hendak mengawini adik-adik Amba? Huh, budimu itu tak lebih dari budi raksasa !. Kalau kau ingin membawa adik-adikanya, lawan aku dulu” Bhisma dan para hadirin yang ada disitu terkejut, namun sebagai seorang ksatria pantang menolak tantangan. “Dengar,Salwa. Ketahuilah, aku kesini ikut sayembara untuk mewakili adiiku, Wicitrawirya,tapi karena mulut lancangmu dan kau ingin menantangku,akan ku ladeni tantanganmu!” Bhisma dan Salwa bertarung dengan hebat. Tapi karena sombong, Salwa bisa dikalahkan dengan mudah. Ketika Salwa hendak dipiting, Dewi Amba meminta dengan belas kasih untuk membebaskan Salwa. “Bhisma, tolong lepaskan Salwa. Akulah Amba. Tolong lepaskan dia!” Bhisma tahu diri dan melepaskan Salwa. Salwa pun berterima kasih atas kemurahan Bhisma dan meminta Amba untuk melepas kisah cinta mereka. Setelah memohon diri, Bhisma dan para putri boyongan berangkat ke Hastina. Dewi Amba tidak mau menikahi Wicitrawirya. “Bhisma tolong nikahilah aku. Kau sudah mengalahkan Kakang Salwa.” Bhisma sebenarnya ingin menikahi Amba tapi sudah terikat sumpahnya “ Dinda Amba, aku tak bisa menikahimu. Aku telah terikat sumpahku tidak kawin seumur hidup. Aku ikut sayembara untuk mewakili adikku. Lebih baik menikahinya bersama adik-adikmu” Amba merasa terhina dan marah“ Kakang Bhisma, tak kusangka kau perlakukan aku seperti sampah. Aku tak terima. Aku akan datang lagi untuk membuatmu melepas sumpahmu”. Amba pun pergi meninggalkan Bhisma.
Sesampainya di Hastinapura, Bhisma dan para Punakawan menyerahkan para putri boyongan. Pada hai yang dianggap baik, diselenggarakanlah pesta perkawinan tujuh hari tujuh malam. Di tegah pesta itu, datanglah Dewi Amba dan seorang dewa bertubuh tinggi. Bhisma mengenali dewa itu. Dia Batara Resi Ramabargawa.
Bhisma melawan gurunya sendiri, Batara Resi Ramabargawa
Ramabargawa datang untuk membujuk Bhisma untuk menikahi Amba “ Anakku, Bhisma. Aku kesini datang bersama Amba untuk memenuhi permintaannya. Nikahi dia.”. Bhisma merasa keberatan dan menolaknya “Ampun, guru. Bukan hamba menolak, hamba sudah terikat sumpahku. Aku tidak akan membatalkan sumpahku, siapapun yang memintanya karena inilah bentuk dharma ku sebagai ksatria .”Batara Ramabargawa merasa tersinggung “ Bhisma, kau sudah menelantarkan seorang wanita dan sekarang kau hendak melawan gurumu sendiri. Sekarang rasakan kemarahanku” Bhisma pun diserang oleh Batara Ramabargawa. Pertarungan mereka sengit sekali sampai keluar ibukota Hastinapura. Pesta pun dihentikan. Mereka terus bertarung hingga seluruh alam merasakan pengaruhnya. Hujan turun salah musim. Gempa bumi terjadi dimana-mana. Angin dingin bertiup kencang bahkan sampai ke kahyangan. Tiba-tiba Batara Guru datang melerai “Hentikan pertarungan mu, Parasurama*3, Bhisma. Perbuatan kalian telah membuat kahyangan geger. Parasurama, muridmu ini sudah digariskan oleh Ida Hyang Widhi Wasa*4 membujang selamanya dan kamu, Bhisma. Kelak perlakuanmu pada Amba akan mendapat karmanya. Ingat itu”. Setelah iu Batara Guru menghilang dan Batara Ramabargawa bersumpah tidak akan mengajarkan ilmunya pada para bangsawan.
Dewi Amba merasa kasihnya tak sampai dan gagal membujuk Bhisma, melakukan bunuh diri dengan loncat ke api. Sebelum loncat, Dewi Amba pun bersumpah “ kakang Bhisma, Kasihku padamu memang tak sampai di dunia ini tapi dengarlah sumpahku.. Kelak ada seorang prajurit wanita yang akan mampu mengalahkanmu dan di saat itulah aku akan menjemputmu.”. Bhisma menerimanya dengan lapang dada dan menunggu kesempatan itu.
Permohonan Dewi Amba
Setelah bakar diri, sukma Dewi Amba yang sedang mengembara berdoa pada Batara Kartikeya memohon petunjuk. Tiba-tiba Batara Kartikeya yang juga disebut Batara Rare Kumara muncul “ Amba, permohonanmu akan ku kabulkan. Lemparkan puspamala*5 ini ke balairung istana Pancalaradya. Siapapun yang mengambilnya, dia yang kelak mengalahkan Bhisma. Dia adalah titisanmu.”Dewi Amba menerima puspamala itu dan membawanya ke Kerajaan Pancalaradya. Sesampainya disana, Dewi Amba melemparkannya ke balairung istana dan tak ada siapapun yang berani mengambilnya. Kelak puspamala itu diambil oleh salah satu cucu Prabu Gandabayu, raja kerajaan Pancalaradya.




*0 Lengser dan mulai mempersiapkan diri untuk menghadap kehidupan yang lebih kekal

*1 Sejenis Makhluk halus.
*2 Punakawan adalah pengikut para ksatria. Biasanya mereka sering mengingatkan junjungan mereka bila mereka salah.
*3 Parasurama adalah gelar Ramabargawa setelah diangkat menjadi Dewa. Ramabargawa adalah seorang resi yang hidup sejaman dengan Rahwana dan Harjuna Sasrabahu. Karena kematian ayah dan ibunya ditangan para bangsawan, Ramabargawa melakukan perjalanan keliling dunia sembilan kali untuk menghabisi para bangsawan lalim. Dia adalah titisan Batara Wisnu bersama Harjuna Sasrabahu. Dia dikalahkan oleh Ramawijaya yang juga sesama titisan Wisnu.
*4 Sebutan untuk Tuhan yang Maha Tunggal dalam agama Hindu
*5 kalung bunga teratai