Jumat, 22 Maret 2024

Kidung Cinta Sritanjung-Widapaksa

Hai semua pembaca dan penikmat kisah pewayangan, kisah kali ini menceritakan kisah cinta putra dan putri Nakula dan Sadewa yakni Bambang Widapaksa dan Dewi Sritanjung yang melegenda dan kelak di kemudian hari dikenal sebagai kisah Banyuwangi. kisah ini mengambil sumber dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional yang berisi panil-panil kisah Sritanjung di candi Surawana dan Sri Tanjung - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas dengan perubahan dan penambahan.

Selepas kepergian Pandawa ke Gunung Mahameru, Kisah diawali dengan menceritakan tentang seorang ksatria yang tampan dan gagah perkasa bernama Bambang Widapaksa yang merupakan keturunan keluarga Pandawa (Sadewa atau Sudamala )dan seorang gadis cantik bernama Dewi Sritanjung yang juga keturunan Pandawa yakni putri Nakula, saudara kembar Sadewa. Setelah diakui sebagai keturunan Pandawa di Hastinapura, Widapaksa dan Sritanjung memerintah negeri Bumirahtawu. Ia bersahabat dengan raden Sulakrama yang berkuasa di Negeri Sindurejo sejak ia belajar di pertapaan Begawan Tamba Patra. Pada suatu hari Bambang Widapaksa mengundang para raja di seantero Jawadwipa dan Hindustan termasuk pangeran Sulakrama dari Sindurejo untuk memperingati satu tahun berdirinya kerjaan Bumirahtawu. Raden Sulakrama saat itu sudah diangkat menjadi raja bergelar Prabu Sulakrama. Setelah acara selesai, para raja kembali ke negara masing-masing tapi tidak dengan Prabu Sulakrama. Ia memilih untuk tinggal di Bumirahtawu untuk beberapa hari.

Rupanya, Prabu Sulakrama ingin memiliki negeri Bumirtahtawu yang gemah ripah loh jinawi itu dan terlebih lagi, diam-diam  sang raja dari Sinurejo itu terpesona akan kecantikan Sritanjung padahal sebelumnya ini ia biasa saja kepada Sritanjung. Entah setan mana yang merasukinya. Sang Prabu menyimpan hasrat untuk merebut Sritanjung dari tangan Widapaksa yang merupakan sahabatnya sendiri, sehingga ia mencari siasat agar dapat memisahkan Sritanjung dari Widapaksa. Lantas Prabu Sulakrama berkata kepada Widapaksa “Widapaksa sahabatku.... aku sebagai sahabatmu bolehkan aku minta bantuanmu?” “bantuan apa yang kau inginkan, Sulakrama sahabatku?” Prabu Sulakrama mengungkapakan keinginannya kepada sahabatnya itu “sahabatku, kau adalah putra Sadewa yang hebat. Tentunya kau bisa meminta kepada para dewa untuk memberikan obat kepada isteriku yang sedang sakit keras.” Widapaksa pun menyanggupinya “ tentu saja, sahabatku. Aku akan memenuhi permohonanmu kepada para dewa.” Prabu Sulakrama lalu memberikan surat yang dimaksud tapi dengan liciknya prabu Sulakrama berniat menjebak sahabatnya itu dengan isi surat itu ditulis "Pembawa surat ini akan menyerang Swargaloka". Widapaksa lalu mempersilakan Prabu Sulakrama ke wisma tamu yang telah disediakan. Lalu Widapaksa mengungkapkan keinginannya kepada isterinya, Sritanjung. Dewi Sritanjung lalu berkata “suamiku, aku akan membantumu.”

Widapaksa menuju ke kahyangan
Dewi Sritanjung lalu bersemadhi dan mengeluarkan pusaka dari Begawan Tamba Patra yakni Mustika Cindhe. Pusaka berbentuk kain selendang itu diberikan kepada sang suami “pakai selendang dari kakek Tamba Patra ini. Dengan kain selendang ini, kakanda bisa terbang kemana saja.” Tanpa ba-bi-bu lagi, Bambang Widapaksa segera terbang ke kahyangan.

Setibanya di kahyangan, bambang Widapaksa datang menghadap. Di pasewakan itu duduk di atas takhtanya batara Guru dan Batari Durga diapit para dewa lainnya yakni batara Narada, batara Bayu, batara Indra, dan Batara Brahma  “sembah bekti hamba kepada pukulun para dewa yang terhormat.” Batara Guru pun berkata  “sembahmu ku terima. Ada keperluan apa wahai cucuku sampai-sampai kau datang ke kahyangan ini?” bambang Widapksa lalu memberikan surat dari Prabu Sulakrama. Batara narada lalu membaca isi surat itu. “disini tertulis bahwa para dewa yang tehormat. Saya sebagai raja dari Sindurejo sangat takut kepada pembawa surat ini. Surat ini ku tulis agar para dewa membantu hamba. Pembawa surat ini adalh seorang pemberontak yang telah mengkudeta negara saya dan sekarang akan menyerang kahyangan pukulun batara yang terhormat. Hamba mohon agar ia diberikan keadilan.” Sang penghulu para dewa, batara Brahma dan batari Durga nampak sedikit kecut wajahnya namun mereka berusaha tenang saat mendengar isi surat itu namun tidak dengan Batara Bayu dan batara Indra yang tidak sangat marah mendengar isi surat tersebut. Akibatnya, dengan tanpa ampun, Widapaksa dihajar dan dipukuli oleh para dewa yang dikomandoi batara bayu dan batara Indra. Dengan segenap kekuatannya, bambang Widpaksa berusaha meluruskan kesalahpahaman ini namun ia justru makin babak belur. Namun akhirnya, Widapksa berhasil mengatasinya “tolong pukulun yang terhormat, aku adalah Widapaksa. Aku putra dari Sadewa sang Arya Sudamala. Isteriku Dewi Sritanjung juga keturunan pandawa dari pamanku Nakula. Tolong ampuni saya dan kekhilafan saya!!” batari Durga pun melerai dan menjelaskan “tunggu, Bayu! Indra! Jangan gegabah! Aku mengenal Sadewa! Dia yang meruwatku saat menjadi Ra Nini. Keturunannya juga harus dilindungi.” Batari Durga lalu mendekati Widapaksa dan berkata  “Cucuku, kau sebaiknya segera pulang ke bumi.  Kau dijebak oleh Sulakrama! Aku tidak yakin apakah perasaanku ini benar tapi aku merasakan ada sesuatu yang tak baik akan diantara kalian bertiga. Pulanglah, cucuku” maka jelaslah kesalahpahaman itu. Bambang Widapaksa kemudian dibebaskan dan diberi berkah oleh para dewa.

Sementara itu di marcapada (bumi), sepeninggal Widapaksa, Sritanjung digoda oleh Prabu Sulakrama. “Sritanjung, sekarang suamimu sedang tidak ada disini. Ayo ikut aku! kita nikmati malam ini bersama dalam renjana.” Sritanjung menolak “tidak akan, Sulakrama! Aku akan setia pada suamiku!” tetapi Sulakrama memaksa “apa yang kau harapkan dari suamimu Widapaksa. Aku ini lebih ganteng dan lebih kaya dari negerimu ini. Sekarang ini pasti sudah Widapksa habis dihajar para dewa .” Dewi Sritanjung lalu berkata dengan ketakutan “apa yang telah kau lakukan pada suamiku?” Prabu Sulakrama lalu mengungkapkan rencana jahatnya kepada Widapaksa. Dewi Sritanjung lalu menampar wajah Sulakrama. Bukannya marah malah ia semakin benafsu kepada Sritanjung. Dengan meninggalkan kesusilaan dan kesopanan, Sulakrama membuka bajunya dan hendak memeluk Sritanjung. Prabu Sulakrama berbuat tak senonoh di istana sahabatnya sendiri. Dewi Sritanjung merasa jijik lalu ia lari menjauh keluar istana. Kemanapu ia lari asal bisa pergi dari Sulakrama. Makin tertantanglah Prabu Sulakrama. Ia kejar sang permaisuri Bumirahtawu itu hingga sampai di sebuah tepi sungai berair jernih. Lalu dengan paksa, Prabu Sulakrama memeluk Sritanjung, dan hendak memperkosanya. Mendadak datang Widapaksa yang menyaksikan istrinya berpelukan dengan sang Prabu. “Isteriku! Apa yang kau perbuat?!” Prabu Sulakrama yang jahat dan licik, malah balik memfitnah Sritanjung dengan menuduhnya sebagai wanita sundal penggoda “Sahabatku, Isterimu kurang diajari tatakrama! Dia berkelakuan sundal. Dia menggodaku dan hendak berzina denganku! Hukumlah dia sahabatku!” Widapaksa termakan hasutan sang sahabat dan mengira istrinya telah berselingkuh, sehingga ia terbakar amarah dan kecemburuan. “Sritanjung! Biadab betul Budimu! Aku Dipukuli Para Dewa Di Kahyangan sementara Kau Bersenang-senang dengan Sulakrama di Belakangku! Kau harus Kuhukum!” Dewi Sritanjung memohon kepada suaminya agar percaya bahwa ia tak berdosa dan selalu setia. Namun rupanya Widapaksa tidak percaya dan kadung emosi. Maka ia hendak menarik kerisnya.  Dengan penuh kesedihan Sritanjung bersumpah “Suamiku, sebegitu kau percaya pada orang jahat itu hingga membutakan hatimu. Saksikan sumpahku! Sumpah putri dari Prabu Nakula yang sangat berbakti! Demi nama agung Hyang Widhi dan para dewa di kahyangan sana! apabila diriku sampai dibunuh, jika sungai ini berwarna merah darah tandanya aku memang sundal berdosa tapi jika sungai ini menjadi harum dan wangi, maka itu merupakan bukti aku tak bersalah!” Akhirnya dengan garang Widapaksa yang sudah gelap mata menikam Sritanjung dengan keris dan mancampakkan tubuh moleknya itu ke sungai. Maka keajaiban pun terjadi, benarlah sumpah Sritanjung.

Banyuwangi :Widapaksa menyesali perbuatannya
Setelah tubuh Sritanjung dibuang ke sungai, mendadak bukan sungai itu memerah karena darah melainkan air sungai itu mengeluarkan aroma harum wangi semerbak, laksana wanginya bunga tanjung yang sedang mekar. Konon air yang harum mewangi itu menjadi asal mula nama tempat tersebut yang kemudian dinamakan Banyuwangi, yang bermakna "air yang wangi". Melihat hal tersebut, Bambang Widapaksa menyadari kekeliruannya dan menyesali perbuatannya. Tanpa pikir panjang, Widapaksa lalu segera terjun ke sungai beraroma wangi itu mencari jasad isterinya namun tak kunjung ketemu lalu ia terseret arus deras dan membuatnya lemas. Tubuhnya pun ikut terhanyut-hanyut lalu menghilang sama seperti tubuh Sritanjung. Prabu Sulakrama yang menyadari sumpah Sritanjung terjadi segera kabur kembali ke negeri Sindurejo.

Bambang Widapksa lalu terbangun dan mendapati dirinya berada di atas sebuah batu di tepi sungai beraroma wangi itu. Ia sangat berduka dan menyesal kenapa ia tidak mendengarkan isterinya malah mempercayai orang yang tega menusuknya dari belakang. Lalu datang Batara Guru membawa kabar bahwa Sritanjung belum saatnya mati. Ia kini mengembara menuju alam kahyangan demi mendapatkan keadilan. Batara Guru lalu mengajak Widapksa untuk naik ke kahyangan menjemput sukma Sritanjung. Dengan kain Cindhe Mustika, Bambang Widapksa terbang ke kahyangan bersama batara Guru.

Sementara itu Sukma Sritanjung menuju ke kahyangan Setra Gandamayu dengan menaiki seekor ikan tombro (sejenis ikan mas bersisik putih) raksasa. Di tengah perjalanannya, Dewi Sritanjung bertemu Batari Durga. Bersamaan itu juga, Batara Guru datang bersama Bambang  Widapaksa. Widapaksa baru saja menyadari, jika tubuhnya tembus pandang. Ya, Widapaksa datang kepada Sritanjung hanya berwujud atma (jiwa), bukan raga kasarnya. Di saat demikian Widapaksa menyadari baik drinya maupun Sritanjung datang ke kahyangan dengan keadaan mati suri.

Widapaksa dan Sritanjung dipertemukan kembali
Setelah mengetahui kisah ketidakadilan yang menimpa Sritanjung dan kronologi kejadian dari Widapaksa, batari Durga berkata kalau Sritanjung bisa kembali ke alam bumi. Dewi Sritanjung senang mendengarnya namun ia meminta sebuah syarat kepada suaminya.Widapaksa bersedia memenuhi syarat itu. Kini pasangan Widapaksa-Sritanjung pun dipersatukan kembali. Mereka pun segera kembali ke alam bumi dengan menaiki ikan tombro raksasa.

Entah sudah berapa lama, Bambang Widapaksa dan Dewi Sritanjung terbangun dan mendapati diri mereka sudah berada di istana Bumirahtawu. Mereka berduia dikelilingi para keponakan yakni Prabu Parikesit dan patih Harya Dwara, Prabu Pancakesuma, Prabu Sasikirana, Adipati Antasurya, dan Haryapatih Danurwenda. “prabu Parikesit berkata “paman dan bibi, astungkara kalian bisa selamat.” Bambang Widapaksa bertanya “lho anak prabu berdua dan anak-anakku! Bagaimana kami bisa berada di Bumirahtawu?” Patih Dwara berkata “kami mendapat wangsit dari dewa.” Dewi Sritanjung berttanya “wangsit? Wangsit seperti apa.” Prabu Pancakesuma lalu menjawab “kami mendapat wangsit tentang sungai berbau wangi. Kami mendatangi sungai itu. benar saja kami mencium sungai itu mengeluarkan aroma wangi dan setelah kami susuri, kami mendapati tubuh paman dan bibi tergeletak di sana.” Lalu Prabu Sasikirana berkata “paman dan bibi sudah dalam keadaan mati suri selama nyaris sepekan. Tapi berkat kemampuan kakang Danurwenda dan adhi Antasurya, paman dan bibi bisa hidup kembali.” Bambang Widapaksa dan Dewi Sritanjung lalu mengucapkan syukur berterimakasih atas kemurahan dewata. Dewi Sritanjung lalu menagih janji syarat kepada sang suami “suamiku,ingatkah kakanda dengan syarat dariku jika kita kembali?” syarat yang diminta Sritanjung yakni memerintahkan Widapaksa untuk menghukum kejahatan Prabu Sulakrama. Ia membuktikan janjinya. Bambang Widapaksa pun membalas dendam dan berhasil membunuh Prabu Sulakrama dalam suatu peperangan. Negara Sindurejo pun luluh lantak. Mahkota Prabu Sulakrama diambil oleh Bambang Widapaksa dan dipersembahkan kepada Dewi Sritanjung, isteri tercinta sebagai bukti janji mereka.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar