Rabu, 09 Oktober 2019

Kisah Asmara dan Kutukan (Leluhur Pandawa dan Kurawa)


Salam sejahtera semua. Semoga pembaca diberi kelimpahan karunia dari Yang Maha Kuasa. kisah kali ini adalah kilas balik (flashback) yang menceritakan tentang leluhur keluarga para Pandawa dan Kurawa. Sumber yang penulis pakai adalah Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa bagian Adiparwa, kitab Mahabharata yang ditulis ulang oleh Nyoman S. Pendit, dan  Kitab Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita. Terdapat dua versi siapa leluhur Pandawa dan Kurawa. Pertama, menurut versi Kitab Mahabharata, leluhur Pandawa dan Kurawa adalah Prabu Yayati namun menurut Kitab Pustakaraja Purwa, leluhur mereka dalah Resi Manumayasa. Disini penulis mencoba menggabungkan kedua  versi dimana kelak salah satu cucu keturunan Prabu Yayati menikah dengan keturunan Resi Manumayasa.
Selama hidup mengasingkan diri dan melakukan tapa ngrame, Raden Permadi sering bertemu beberapa brahmana dan para pendeta. Namun kali ini yang datang sungguh istimewa karena yang datang adalah Maharesi Abiyasa, sang kakek yang jauh-jauh datang dari Saptaharga. Kedatangan sang kakek bagaikan air sewindu yang mengucur dari dalam kendi membasahi tubuhnya. Sejuk, dingin menyegarkan hatinya yang dilanda gundah. Di pertapaan milik Permadi, Maharesi Abiyasa dijamu dan dilayani benar oleh sang cucu. “ulun kakek Abiyasa, ada angin apakah sehingga kakek capek-capek datang kemari?” “begini, cucuku. Kedatangan ku kemari untuk menyampaikan bahwa tapa bratamu telah diterima para dewa. Apa yang telah kau lakukukan sudah menebus dosa-dosamu terutama pada cucu Prabu Palgunadi dan cucu Dewi Anggraini. Melihatmu seperti ini, aku jadi ingat kisah seorang anak muda yang merelakan kemudaannya demi cintanya pada sang bapak. Akan kuceritakan kisah leluhur wangsa kita, wangsa Yadawa dan wangsa Baharata.” Latar cerita berubah kembali ke zaman silam.
Kisah Maharesi Sukra, Sangkacha, dan Dewayani
“Pada zaman dahulu kala, saat itu raja yang berkuasa di Jawadwipa adalah Prabu Basupati, putra dari Basurata (Srinada), putra Batara Wisnu mendirikan kerajaan Wirata, Prabu Yayati, keturunan batara Brahma dari Begawan Atri yang menjadi raja Kandaparasta, dan Prabu Parikenan, anak sulung Prabu Tritusta, seorang raja percampuran trah Batara Wisnu dan Batara Brahma memimpin di negeri Gilingwesi. Sebagai keturunan dewa, mereka bersatu memimpin kemakmuran di Jawadwipa pada masa dulu. Meskipun demikian, mereka nyatanya tak tahu apa yang sebenarnya terjadi di kahyangan dan di luar negara mereka. .
Jauh di atas puncak Mahameru, di Kahyangan Jonggring Saloka, ketegangan antara para dewa dan bangsa Yaksa (raksasa) yang ingin mendapat pengaruh di Marcapada tak terhindarkan. Perang antara para Dewa dan para Yaksa berkecamuk dimana-mana baik di kahyangan maupun di Marcapada. Keseimbangan di tiga dunia goyah dan puncaknya adalah negeri Gilingwesi akhirnya hancur menjadi bawahan Kandaparasta dan Wirata. Setelah mengungsikan ahli warisnya ke Wirata, Prabu Parikenan kemudian moksa dan menjadi salah satu dewa bergelar Batara Parikenan. Keturunan laki-lakinya, Raden Manumayasa memutuskan menjadi pendita di tujuh puncak suci bergelar Resi Manumayasa, sedangkan putrinya yaitu Dewi Kaniraras menikah dengan raja negara lain. Semua ini terjadi karena di pihak bangsa Yaksa ada Maharesi Sukra. Maharesi Sukra sebagai guru bangsa Yaksa sakti mandraguna, arif bijaksana, dan mampu membuat bangsa Yaksa tak terkalahkan.
Di bale-bale Sarilaya, Batara Narada mendatangi Batara Resi Wrehaspati, salah satu putra Semar untuk meminta pertimbangannya soal bangsa yaksa yang tak terkalahkan. Disamping putra Batara Guru yaitu Batara Ganesa yang kini menjadi pendiri perpustakaan kahyangan, Batara Resi Wrehaspati juga sangat bijak dan dijadikan guru beberapa dewa muda.”keponakanku, perang yang sudah tak berkesudahan ini telah merenggut banyak korban jiwa, baik itu manusia maupun para Yaksa sendiri. Bahkan negara Gilingwesi warisan Brahma hancur dan menjadi bawahan negara lain. Di pihak dewata, jua banyak korban luka. Walaupun kita dan para dewa lainnya sudah meminum dan bermandikan Tirta Amerta, namun tetap saja bangsa yaksa tidak dapat dikalahkan. Apa semua ini salah Adi Guru yang telah memberikan ajian gaib Sanjiwani kepada Sukra?” “tidak paman patih, Paman pukulun Batara Guru tidak salah. Dia hanya menjalankan perintah Sanghyang Widhi yang Maha Kuasa. Orang baik yang telah melayani-Nya selama seribu tahun pantas mendapat hadiah agung hanya saja keadaan saat ini yang tidak pas. Untuk masalah ini, Aku akan mengutus putraku Sangkacha untuk berguru pada sahabatku, Sukra.” Singkat cerita, Batara Resi Wrehaspati memanggil Batara Sangkacha untuk berguru pada Maharesi Sukra. Mendapat angin segar, Batara Sangkacha yang haus akan ilmu pengetahuan menuruti perintah ayahnya dan segera turun ke negeri Parwata, negara yang dipimpin Prabu Wresaparwa, tempat Maharesi Sukra tinggal.
Di pertapaan hutan Saraparwata, Maharesi Sukra sedang dibuat bingung dengan putrinya, Dewi Dewayani. Sudah dua hari tiga malam dia melamun, bersusah hati karena kepergian sang ibu, Dewi Jayanti kembali ke kahyangan. Berbagai macam penghiburan tak mampu membuat sang putri gembira ria. Di saat yang sama pula, datanglah Batara Sangkacha mengutarakan keinginannya “Guru, aku putra Wrehaspati, Sangkacha bersimpuh datang di hadapanmu. Izinkan aku menjadi muridmu.” Gayung pun bersambut. Maharesi Sukra yang bijak tak pernah menolak siapapun berguru padanya”baik, anakku. Kamu keturunan yang baik-baik. Ayah dan kakekmu adalah keturunan dewa agung. Aku menerimamu sebagai muridku. Dan ingatlah, anakku. Aku menerimamu sebagai tanda persahabatanku dengan ayahmu akan tetap abadi walau kami bersebrangan haluan.”
Maharesi Sukra merestui Sangkacha menjadi muridnya
Demikianlah, Batara Sangkacha diterima sebagai murid Maharesi Sukra. Semua tugas kewajiban yang diberikan oleh gurunya dikerjakannya dengan sungguh-sungguh. Salah satu tugasnya adalah menghibur Dewi Dewayani, putri sang guru. Sangkacha diperintahkan menghibur Dewayani dengan menyanyi, menari atau mengajaknya bermain. Lambat laun, Dewi Dewayani berhasil melupakan kesedihannya.
Waktu terus berjalan. Hubungan Dewayani dan Sangkacha semakin akrab dan dekat. Mereka tak lagi dekat sebagai kakak dan adik, namun hampir seperti seorang pria dan wanita dewasa yang dimabuk asmara. Benarlah kata orang tua dulu-dulu  Witing tresna jalaran saka kulina,” Lama kelamaan, Sangkacha tertarik kepada putri sang guru. Gayungpun sama-sama bersambut, Dewayani diam-diam juga jatuh cinta pada Sangkacha. Namun, Sangkacha sadar bahwa dia sudah mengambil sumpah sebagai brahmacarin mengikuti jalan hidup Batara Togog (Antaga), kakak Batara Semar. Larangan keras baginya memiliki perasaan suka pada lawan jenis apalagi keinginan untuk berkahwin. Itu sudah jatuh pantangannya. Di lain pihak, para Yaksa murid Maharesi Sukra merasa curiga dan cemas, jangan-jangan Sangkacha tidak tulus berguru dan hanya ingin memenuhi permintaan para dewa. Karena kecurigaan mereka sudah di luar batas wajar, mereka sepakat untuk melenyapkan Sangkacha.
Seperti biasanya, Sangkacha menggembalakan ternak-ternak sang guru di padang rumput selesai menerima pelajaran. Saat itu, Sangkacha sedang lelap tertidur di bawah pohon. Di saat yang sama pula, para yaksa membekap mulut Sangkacha lalu menusukkan pedang ke dadanya. Setelah Sangkacha tewas, jenazahnya dicincang habis lalu dibiarkan menjadi makanan serigala. Sore harinya, ternak-ternak Maharesi Sukra pulang ke kandang tanpa Sangkacha. Dewi Dewayani menjadi cemas “ayah, ternak-ternak kita pulang tanpa kakang Sangkacha. Hari sudah petang. Waktu sembahyang kita sudah hampir. Aku khawatir dia kenapa-napa. Ayah, tolonglah kakang Sangkacha. Aku cinta padanya.” Permintaan sang putri satu-satunya dikabulkan. Maharesi Sukra segera menjapa aji Pameling. Berkat aji Pameling itu, sang maharesi tahu kalau Sangkacha telah tewas dan akan menjadi makanan serigala. Karena itu, untuk menghidupkan kembali dan memanggil pemuda itu, ia menjapa mantra ajian Gaib Sanjiwani. Seketika kemudian, Sangkacha hidup kembali dan langsung berada di antara mereka dengan wajah yang sumringah. Dewayani bertanya kenapa terlambat pulang. Sangkacha menjelaskan bahwa ada beberapa kaum yaksa yang membekap dan membunuhnya saat menggembala. Namun bagaimana dia bisa hidup lagi dia tak tahu.
Para yaksa kecewa melihat Sangkacha hidup kembali. Tapi itu tidak mengendurkan keinginan mereka untuk melenyapkan putra Wrehaspati itu. Hingga pada suatu hari, angin bertiup cukup kencang di pertapaan Saraparwata. Angin itu membawa terbang sekuntum bunga dari hutan dan bunga itu jatuh di pangkuan Dewi Dewayani. “kakang Sangkacha, lihatlah bunga ini. Cantik, harum, dan merona warnanya. Tolong carikanlah bunga ini di hutan kalau bisa pohonnya sekalian. Akan kutanam di bale-bale sebagai penghias pertapaan.” Sangkacha menuruti putri sang guru dan mencari bunga itu. para Yaksa yang tahu bahwa Sangkacha ke hutan mencari bunga melihat kesempatan untuk kembali melenyapkan Sangkacha. Diam-diam mereka membuntuti Sangkacha lalu di saat yang tepat mereka menyergap Sangkacha. Sangkacha yang kekuatan dewanya disegel sang ayah tak bisa melawan lalu dibunuh dan jenazahnya dicincang habis kemudian dibakar dan dibiarkan diterbangkan angin hingga jatuh di sungai.
Berhari-hari Dewi Dewayani menunggu Sangkacha namun sang pujaan hati tak kunjung pulang. Akhirnya sang dewi mengadu pada sang ayah. Sekali lagi, Maharesi Sukra menggunakan ajian Gaib Sanjiwani dan memanggil Sangkacha. Pemuda itu kembali hidup. Para Yaksa semakin kesal dan geram mendapati Sangkacha kembali hidup. Ketika ada kesempatan, mereka membunuh Sangkacha untuk ketiga kalinya. Kali ini mereka sangat cerdik. Setelah membakar jenazah Sangkacha, abu Sangkacha dicampurkan ke dalam tuak nira berkadar rendah yang mereka persembahkan kepada Maharesi Sukra. Tanpa curiga, Maharesi Sukra meminum tuak nira yang manis itu. Petang harinya, ternak-ternak yang digembalakan Sangkacha pulang sendiri. Dewi Dewayani menjdi khawatir dan risau, takut kalau Sangkacha kembali dicelakai para Yaksa. Sekali lagi, Dewi Dewayani menghadap sambil menangis, memohon agar sang ayah menggunakan ajian Gaib Sanjiwani. “Ayah, ternak-ternak kita pulang tanpa Sangkacha. Hatiku yang serapuh kapas di ujung ranting ini tak sanggup kehilangan kakang Sangkacha lagi. Kakang Sangkacha, cucu Semar dan putra paman Wrehaspati adalah pemuda yang tak tahu apa-apa. Dia cuma pemuda belia yang haus akan ilmu pengetahuan. Dia sudah menyerahkan dirinya pada ayah. Aku mohon, ayah. gunakanlah mantra ajian Gaib Sanjiwani sekali lagi.” Maharesi Sukra masih tak bergeming. Sampai pada akhirnya, Dewi Dewayani mulai berpuasa, tak makan dan tak minum selam tujuh hari tujuh malam. Badannya yang semula sintal menjadi kurus kering. Mukanya yang cerah menjadi kisut dan layu.
Maharesi Sukra tak tega melihat putri satu-satunya berduka. Dia marah pada para Yaksa yang tega membunuh seorang brahmacarin yang masih belia itu. Pembunuhan terhadap para pendeta dan resi terutama brahmacarin adalah dosa terkutuk. Kelak mereka akan dibalas dengan siksaan kekal yang setimpal. Sekali lagi, Maharesi Sukra menjapa mantra ajian Gaib Sanjiwani. Sekali lagi, Sangkacha hidup kembali dari tuak nira namun dia berada di tempat yang gelap dan basah. “guru, aku ada dimana ini? Tempat ini gelap, basah dan berlekuk-lekuk.” Maharesi Sukra terkejut dengan kata-kata Sangkacha dan mendapati perutnya tiba-tiba membesar. Maharesi itu terkejut “Hai Sangkacha, bagaimana bisa kamu bisa dalam tubuhku? Apakah karena ulah para Yaksa? Sungguh terlalu mereka telah menipu aku dengan tuak nira. Ingin kubunuh saja mereka namun sebelum itu ceritakan apa yang sebenarnya yang terjadi,” Sangkacha kemudian menceritakan apa yang dialaminya. Maharesi Sukra menyahut, “Kini aku, maharesi Sukra yang konon katanya luhur budi dan suci, arif bijaksana telah ditipu oleh minuman tuak nira yang memabukkan. Karena itu, demi kebaikan manusia dan semua makhluk-Nya, ku peringatkan, siapapun yang menenggak anggur, tuak, arak dan segala minuman memabukkan dengan tak bijaksana, maka kesucian dan keluhuran budi akan meninggalkannya. Dosa akan menyelimuti dirinya. Itulah peringatanku dan kelak akan termaktub dalam kitab-kitab suci sebagai suatu larangan yang tak boleh dilanggar.” Kini maharesi itu memandang sang putri sambil berkata “putriku, kini pilihan ada di tanganmu. Jika kau ingin Sangkacha hidup, relakanlah aku. Dia harus keluar dari tubuhku dan itu artinya aku yang harus mati. Sangkacha hanya bisa hidup di atas kematianku.”
Dewi Dewayani yang mendapati perut sang ayah membesar menyadari bahwa Sangkacha kini berada dalam perut ayahnya akibat ulah para Yaksa. Dan kini dia dihadapkan dua pilihan yang mustahil itu. Dewi Dewayani hanya bisa menangis tersedu-sedan tak bisa memilih. “aduh Jagat Dewa Batara, hyang Jagat Pramudita, ohh Sanghyang Widhi yang Maha Kuasa. Ayah dan kakang Sangkacha adalah dua permata bagiku. Tak sanggup bagiku kehilangan salah satu dari kalian.”
Sembari mencari jalan keluar, Maharesi Sukra berkata pada Sangkacha “anakku, Sangkacha. Kini aku tahu apa penyebab kamu berguru padaku. Kamu akan mendapatkan apa yang kamu inginkan. Satu-satunya jalan yaitu aku harus mengajarkan ajian gaib Sanjiwani kepadamu, anakku. Akan ku ajarkan ajian itu. Tapi kamu harus janji setelah keluar dariku, kamu harus menggunakannya untuk menghidupkanku lagi.” Sangkacha berjanji bahkan bersumpah akan menghidupkan kembali sang guru. Begitulah, Maharesi Sukra kemudian mewejangkan ajian Gaib Sanjiwani kepada Sangkacha. Sangkacha yang cerdas langsung paham dan menyatakan siap keluar dari tubuh sang guru. Sejenak kenudian, Maharesi Sukra mengambil sebilah keris lalu dia menusuk dan merobek perutnya dengan keris itu. Seketika itu juga, Sangkacha keluar dari dalam perut sang guru, sementara sang Maharesi Sukra langsung rubuh, wafat dengan luka besar menganga di perutnya. Dewi Dewayani menangis terisak-isak melihat kondisi sang ayah yang begitu mengenaskan. Sangkacha menepati sumpahnya. Dia kemudian bersimpuh dan memerciki sang guru dengan air Tirta Amerta yang dibawanya dari kahyangan Jonggring Saloka lalu menjapa mantra ajian Gaib Sanjiwani. Sangkacha berkata sambil menahan tangis, “Guruku yang telah ikhlas dan tulus memberikan ilmu pada muridnya bagaikan cinta seorang ayah pada putra-putrinya. Karena aku keluar dari tubuhmu, maka guru juga ayah kandungku.” Seketika kemudian, luka yang menganga di perut Maharesi Sukra langsung tertutup tanpa bekas dan maharesi Sukra terbangun kembali dari kematian. Dewayani dan Sangkacha kemudian memeluk sang Maharesi lalu Maharesi Sukra mengajak mereka untuk bersyukur kepada Sanghyang Widhi yang Maha Pemurah.
Setelah peristiwa itu, Sangkacha tetap menjadi murid sang guru selama bertahun-tahun. Sampai pada saatnya dia harus kembali ke alam kahyangan. Maharesi Sukra mengizinkan sang murid budiman pergi, kembali ke alam kahyangan. Namun tidak bagi Dewayani, hati Dewayani yang sudah terpaut cinta tak sanggup melepas Sangkacha. Di saat itu pula, Dewi Dewayani mengajak Sangkacha ke suatu tempat lalu tibalah mereka di padang rumput yang indah, sunyi dan penuh dengan bunga-bunga indah berwarna-warni.
Sangkacha kembali ke kahyangan
Di hadapan Sangkacha, Dewayani mengutarakan perasaannya selama ini “ kakang Sangkacha, cucu Semar. Telah lama merendam selasih, baru kini mengambang jua. Telah lama ku pendam kasih, baru kini ku utarakan jua. Aku putri Sukra, telah terpaut kasih dan cinta padamu. Kakang jangan pergi. Nikahilah aku dan berbahagialah kita di sini. Hidupku kosong hampa bagaikan lumbung tanpa padi bila tiada kau.” “adhi Dewayani, aku hargai ketulusan dan cinta mu. Aku pun sama jatuh cinta padamu namun cinta tak harus memiliki. Aku sudah bersumpah menjadi Brahmacarin mengikuti eyang batara Antaga dan lagipula aku telah lahir kembali dari tubuh ayahmu seperti halnya lahirnya Citragupta Sang Suratma dari tubuh Batara Brahma. Kini kita adalah saudara kandung. Tak pantas putri seorang pendita linuwih sepertimu menikahi saudara kandungnya.” Dewi Dewayani menjadi berang lalu berkata “kau putra Batara Wrehaspati yang patut kuhormati dan bukan anak ayahku. Aku yang menyebabkan kau bisa hidup kembali, karena aku mencintaimu dan mengharapkan engkau menjadi suamiku. Tidak pantas engkau meninggalkan aku yang tidak berdosa ini tanpa memberiku kesempatan untuk mengabdi kepadamu.” Sangkacha menjawab dengan lembut “ aduh, putri Mahaguru Sukra. Jangan mencoba membujukku untuk melakukan pantangan itu. kau sudah cantik jelita dan sekarang kau sedang marah begini jadi semakin ayu. Tapi aku tetap saudara kandungmu. Abdikanlah hidupmu untuk melakukan kebaikan di bawah bimbingan ayah. Relakanlah aku pergi menghadap ke pada bapakku Batara Wrehaspati. “ Dewayani yang marah sekali melontarkan kutuk pasu “Sangkacha, kau telah mengecewakan aku. Aku mengutukmu agar ilmu yang kau pakai tidak akan berguna pada dirimu.” Batara Sangkacha yang telah mendapatkan kembali kekuatan dewanya berkata “meskipun ilmu yang ku pakai tak akan berguna padaku, namun akan tetap berguna bila aku memberikan dan menularkannya pada orang lain.” Kemudian Batara Sangkacha terbang kembali ke kahyangan. Dewi Dewayani merasa sakit tak terperi lalu mendengar suara dari angkasa “Aku Sangkacha, seorang brahamacarin dan putra Wrehaspati telah dikutuk oleh Dewayani, seorang wanita luhur. Maka aku pun lontarkan kutuk pasu padamu. Keinginan untuk memiliki tanpa mau merelakan akan membuatmu sengsara. Kelak kau akan dikecewakan oleh sahabatmu sendiri lalu kau akan diselingkuhi dan dimadu olehnya. Di saat itu hatimu yang perih akan hancur lebur” Hati Dewayani semakin terasa perih tak tertahankan.
Kisah Dewayani, Sarmista, dan Yayati
Lambat laun, Dewayani mulai melupakan kutuk pasu dari Sangkacha. Dia mulai menjalani kehidupan dengan biasa. Sampai pada suatu hari, dia bersama Dewi Sarmista, sahabatnya, putri tunggal Prabu Wresaparwa raja negeri Parwata mandi di telaga bersama dayang-dayangnya. Awalnya mereka bergembira. Namun tiba-tiba, angin puting beliung datang berembus kencang menerbangkan kain selendang mereka hingga menjadi bertumpuk-tumpuk. Setelah mandi dan berpakaian, ternyata terjadi kekeliruan. Selendang milik milik Dewi Dewayani dikenakan Dewi Sarmista, terjadi lah peristiwa rebutan selendang “ alangkah tak sopannya putri seorang murid memakai selendang milik putri sang guru. Sarmista kembalikan selendangku!” Dewi Sarmista merasa tersinggung dengan kata-kata Dewi Dewayani lalu berkata “lancang kau .apa kau tidak sadar Dewayani, ayahmu selalu meminta belas kasih dari ayahku. Sadar dirilah kau, putri pengemis” Dewi Sarmista kemudian mendorong Dewi Dewayani ke dalam sebuah luweng besar lalu meninggalkannya sendiri.
Dewi Dewayani menjadi sedih. Kutuk pasu Sangkacha yang pertama telah terjadi. Dia telah dikecewakan sahabat sendiri. Dewi Dewayani cemas dan takut karena tak bisa keluar dari luweng besar itu lalu berteriak minta tolong. Kebetulan, datanglah Prabu Yayati, raja Kandaparasta yang kebetulan sedang berburu di hutan dekat dengan tempat Dewayani jatuh. Dia turun dari kudanya dan melihat ke dalam luweng besar itu seorang wanita cantik di dalamnya “siapa kamu, ni sanak? Aku Yayati dari Kandaparasta. Bagaimana bisa kau berada di dalam luweng ini?” Prabu Yayati kemudian mengambil tali tmbang lalu melemparkannya kedalam luweng. Dewi Dewayani sambil meraih tali itu berkata “ Aku Dewayani, putri Maharesi Sukra dari negeri Parwata. Tolong bantu aku.” Setelah memanjat tali itu, Dewi Dewayani meraih tangan Prabu Yayati. Begitu bertatap mata, Dewi Dewayani teringat pada Sangkacha, sang kekasih. Wajah Prabu Yayati yang tampan dan berperawakan gagah mirip seperti Sangkacha membuat sang dewi jatuh cinta lagipada sang raja muda. Dewayani tidak ingin kembali ke kotaraja kerajaan Parwata. Ia merasa tinggal di sana sudah tidak aman lagi, lebih-lebih jika ia ingat perbuatan Sarmista. Karena itu, ia berkata kepada Yayati, “Kau telah memegang tangan kanan seorang putri, berarti engkau harus menikahinya. Aku yakin, dalam segala hal kau pantas menjadi suamiku.” “tunggu dulu, ni sanak. Kau putri seorang pendita, seorang Brahmana dan aku seorang raja ksatria. Kastamu lebih luhur dari kastaku. Apa kata dunia nanti jika kita menikah. Apa mungkin putri Maharesi Sukra yang agung dan setara sang Wrehaspati menjadi istri seorang ksatria sepertiku. Ibarat sebuah kembang putih, tak pantas bagimu mendapatkan lebah tanah sepertiku. Kembalilah ke Parwata, Dewayani”  setelah berkata demikian, Prabu Yayati kembali ke Kandaparasta.
Sepeninggal Prabu Yayati, Dewi Dewayani memutuskan tinggal di hutan yang jauh dari kotaraja Parwata. Dia memilih bertapa di dalam batang pohon yang berlubang. Setiap hari dia duduk bersemedi, bertapa brata merenungi nasibnya yang selalu gagal dengan urusan asmara. Akibat tapa bratanya itu, seluruh marcapada dan kahyangan Jonggring Saloka berguncang hebat. Kawah Candradimuka bergolak memuntahkan lahar panas dan menyelimutkan awan panas di sekitar puncak Mahameru. Para bidadari, bidadara, dan para dewa menjadi kepanasan. Batara Guru segera memerintahkan Batara Indra mendatangi Maharesi Sukra untuk membujuk sang putri agar berhenti bertapa brata.
Batara Indra datang ke pertapaan Saraparwata dan mengabarkan pada Maharesi Sukra “ampun Maharesi yang agung. Ramanda pukulun Batara Guru memerintahkan hamba untuk mengabarkan putri Maharesi, Dewayani bertapa brata sangat kuat hingga membuat kahyangan bergoncang hebat.” Maharesi Sukra menjadi semakin sedih mendengar kenyataan itu. sang putri yang tak balik-balik ke pertapaan kini membuat kahyangan menjadi kerepotan. Dia meminta maaf kepada Batara Indra lalu segera pergi menyusul sang putri. Sesampainya di tempat sang putri tercinta, dia mendapati Dewayani nampak menyedihkan. Kantung matanya gelap dan sayu karena lama menangis. Wajahnya keruh kisut karena marah dan kecewa. Badannya yang berisi kembali kurus kering karena banyak pikiran. Segala kekalutan, kemarahan, kekecewaan, dan kegalauan menyelimuti hatinya. Auranya begitu kelam. Maharesi Sukra kemudian menghibur sang putri kesayangan “Anakku sayang, kebahagiaan dan kesengsaraan seseorang merupakan akibat dari perbuatannya sendiri. Kalau kita bijaksana, kebajikan atau kejahatan orang lain tidak akan mempengaruhi kita.” Dewayani bukannya bangun dari tapa bratanya malah semakin jumawa meneruskan laku tapanya. Alam semakin bergejolak. Tanah mulai bergegar dan terbelah. Angin taufan berembus kencang, hujan turun sangat lebatnya dengan kilat dan halilintar yang mengerikan. Bumi gonjang-ganjing, langit kolap-kalip. Hutan tempat Dewi Dewayani bertapa dilanda banjir dahsyat. Maharesi Sukra menjadi semakin khawatir lalu berkata “ anakku, jangan teruskan. Alam akan murka balik pada kita. Ceritakanlah apa masalahmu padaku. Jangan lampiaskan dengan menyengsarakan makhluk-Nya.” Hati Dewayani pun luluh dan dia segera menghentikan tapa bratanya. Seketika alam kembali tenang. Kemudian Dewi Dewayani menangis dan menceritakan segala yang dialaminya, mulai dari dihinakan Dewi Sarmista hingga ditolong oleh Prabu Yayati dari luweng. Dengan tenang, Maharesi Sukra meyakinkan sang putri “putriku, semua hal di Marcapada ini ujian. segala pujian,olok-olok, dan caci maki juga merupakan bentuk ujian hidup. Sungguh mulia orang yang bisa belajar dan memaafkan segala caci maki. Ibarat seorang sais kereta yang berhasil menaklukan dan mengendalikan kuda-kudanya yang liar. Telah banyak kitab-kitab suci mengatakan bahwa orang yang kuat bukanlah seorng petarung namun orang yang mampu menahan amarahnya, melepaskan egonya dan memaafkan kesalahan dengan tulus ikhlas. Orang yang mampu menahan amarah dan ego lebih mulia derajatnya dibandingkan orang saleh yang beribadah seribu tahun. Kesalehan, kebaikan, teman, keluarga, pelayan, dan kebenaran akan menjauhi sesiapa yang tak mampu menahan nafsu amarahnya.” Dewi Dewayani kemudian memeluk sang ayahanda “Ayah, diriku ini masih terlalu muda untuk paham apa yang ayah ucapkan. Namun yang aku tahu, sungguh tiada pantas bagiku hidup bersama orang-orang yang tidak mengenal unggah-ungguh. Putri gusti Prabu Wresaparwa, Sarmista telah kehilangan unggah-ungguhnya dengan mengambil selendangku lalu mencampakkan aku ke dalam luweng. Aku sangat marah dan kecewa padanya. Segores luka di badan masih bisa sembuh dengan obat dan jamu, namun luka di kalbu ini karena kata-kata cacian Sarmista tak akan bisa sembuh walau telah berlalu seribu tahun, ayah.” Gagal membawa pulang sang putri, Maharesi Sukra mendatangi Prabu Wresaparwa.
Prabu Wresaparwa, raja negeri Parwata, meskipun sang raja berparas Yaksa yang berwajah sangar, dia adalah raja yang saleh, berbudi, dan arif bijaksana. Dia tak pernah membeda-bedakan rakyatnya baik dari bangsa manusia biasa maupun bangsa Yaksa. Hukum di sana dtegakkan dengan adil. Dia dikarunia lima orang putra dan satu orang putri, yaitu Sarmista. Kelima putranya yang berparas Yaksa sangat berbudi, baik perangainya, tenang pembawaannya, dan teguh pendirian tapi berbeda dengan Dewi Sarmista yang berparas bak bidadari, kelakuannya begitu manja dan genit. Walaupun dia putri yang baik, kata-kata yang diucapkannya ceplas-ceplos tak jarang membuat siapapun sakit hati. Sang prabu yang kedatangan Maharesi Sukra segera membri hormat berikut para putra-putri, petinggi, patih dan para menteri. Maharesi Sukra kemudian berkata “ Anak prabu Wresaparwa, sebuah dosa tidak akan menghancurkan manusia seketika namun lambat laun dapat menghancurkan hubungan antar sesama makhluk Tuhan. Sangkacha, putra sahabatku, Batara Wrehaspati sudah bersumpah brahmacarin dan tak akan berlaku serong. Beberapa rakyat anak prabu telah beberapa kali berusaha melenyapkannya namun selalu berhasil kuhidupkan kembali dia. Kini putri anak prabu, Dewi Sarmista telah kehilangan unggah-ungguhnya dengan menghina putri kesayanganku, Dewayani hingga dia jatuh terjerembab ke dalam luweng di tengah hutan. Sekarang dia tak mau kembali ke Parwata dan tapa bratanya telah dirasakan bukan hanya di negeri ini tapi juga sampai ke Jonggring Saloka. Karena dia tak mau balik ke Parwata, aku akan pergi dari negerimu, anak Prabu.”
Mendengar hal itu, Prabu Wresaparwa menjadi khawatir. Dengan perginya Maharesi Sukra, negeri Parwata akan hancur. Lalu dia berkata, “Ampun, bapa Maharesi. Aku tak mengerti mengapa anda melontarkan tuduhan seperti itu. seperti kata pepatah tua, ‘Anak polah, Bapa kepradah,’ hamba bersedia menanggung kutuk dan derita apa yang akan ditimpakan nimas ayu Dewayani pada hamba.” “Hmm...baiklah, anak prabu. Kau kuizinkan untuk membujuk dan menenangkan putriku.” Maka pergilah Prabu Wresaparwa bersama putrinya, Dewi Sarmista untuk melunakkan hati batu Dewi Dewayani. Sesampainya disana, Prabu Wresaparwa dan Dewi Sarmista berlutut dan memohon agar Dewayani tidak meninggalkan negeri Parwata. Namun Dewi Dewayani justru memasang wajah kecut dan berkata, “Sarmista, sahabatku. Dia yang dekat di hatiku telah mengata-ngataiku anak pengemis. Dia harus merasakan bagaimana rasanya menjadi orang hina dan dia harus menjadi dayang-dayangku di rumahku sampai hari pernikahanku nanti. Baru setelah itu dan setelah itu, dia bisa kembali menjadi seorang putri terhormat.” Prabu Wresaparwa menerima tuntutan itu.
Dewi Sarmista menjadi dayang-dayang Dewi Dewayani
Dewi Sarmista yang telah insaf dan tobat dari kesalahannya seketika itu juga segera berganti pakaian. Bukan lagi sebagai putri raja gung binantoro yang terhormat, melainkan sebagai dayang-dayang hina papa, “Dewayani, maafkan kesalahanku. Aku terlalu picik sampai tak menyadari kau adalah putri pendita agung yang harusnya kuhormati. Negeri ayahku tak pantas kehilangan Maharesi kebanggaannya dan inilah balasan atas kesalahanku.” Dewi Dewayani hatinya luluh dan memaafkan kesalahan Dewi Sarmista.
Selama menjadi dayang-dayang, Dewi Sarmista melayani Dewi Dewayani dengan baik dan begitu sebaliknya, dia juga begitu disayang oleh Dewayani dan Maharesi Sukra. Pada suatu hari, Dewi Dewayani kembali bertemu dengan Prabu Yayati. Dia mengulang kembali permintaannya, minta dinikahi sang Prabu dari Kandaparasta itu. Prabu Yayati menolak. Katanya, sebagai ksatria ia tidak dibenarkan mengawini seorang wanita berkasta brahmana. Memang kitab-kitab Sastra tidak membenarkan hal itu, tetapi sekali perkawinan seperti itu terjadi, tak ada yang boleh membatalkannya dan perkawinan itu sah. Singkat cerita, pada akhirnya, setelah mendapat restu dari Maharesi Sukra, Prabu Yayati bersedia menikahi Dewayani dengan syarat Dewayani tak boleh dimadu orang lain. Mereka hidup berbahagia bertahun-tahun lamanya. Dari pernikahan itu, mereka dikaruniai dua orang putra, Raden Yadu dan Raden Turwasu.
Kutuk Pasu Maharesi Sukra
Meskipun masa hukuman Dewi Sarmista telah berakhir dia masih betah mengikuti kemanapun Dewi Dewayani tinggal. Diam-diam dia telah jatuh cinta pada Prabu Yayati. Hingga pada suatu malam, perasaan cintanya tak bisa disembunyikan lagi. Malam itu, Dewi Sarmista bertemu Prabu Yayati yang kebetulan sedang sendirian di tamansari. Dia mendatangi sang prabu sambil merangkulnya dengan genit dan manis manja “ampun gusti prabu, hati yang terpaut asmara tak bisa di lepaskan. Aku jatuh cinta pada gusti. Izinkanlah aku menjadi istri permaisurimu. Kalau tidak berkenan, jadikan selir bahkan selingkuhan juga tak mengapa.” “Aduhai, genit dan manjanya dirimu. Kau ternyata bahkan lebih menggairahkanku, dewiku. Dewayani tak ada apapun bila dibandingkan dengan dirimu. Baiklah aku akan menikahimu secara gandarwa dan diam-diam.” Karena kegenitan Sarmista dan Prabu Yayati yang mulai bosan dengan Dewayani, mereka pun menikah diam-diam. Dari pernikahan itu, Dewi Sarmista dikaruniai tiga orang putra, Raden Drahyu, Raden Hanu, dan Raden Puru.
Awalnya perselingkuhan itu tak terendus dan sangat rapi disembunyikan oleh Prabu Yayati selama bertahun-tahun, namun sepandai-pandainya orang menyimpan bangkai, pasti akan tercium pula busuknya. Itu juga berlaku dengan perselingkuhan itu. Pada suatu hari yang cerah, Dewi Dewayani pergi mengunjungi sang ayah. Di tengah jalan dia dikepung tiga orang pemuda bertopeng. Karena mempelajari ilmu beladiri dari sang ayah , Dewi Dewayani mampu mengalahkan tiga orang pemuda dan membuka topeng mereka. Dia terkejut melihat ketiga pemuda itu. Wajah mereka tampan rupawan dan berwibawa mirip dengan Prabu Yayati, sang suami. Lalu mereka ditanyai “siapa kalian, anak-anak muda? Melihat wajah kalian, kalian mirip sekali dengan suamiku. Katakan siapa orang tua kalian?.” “ampun gusti kanjeng ratu permaisuri, nama hamba Puru dan ini kakak-kakak saya, Drahyu dan Hanu. Kami putra kanjeng ibu Sarmista, putri negeri Parwata. Ayah kami adalah seorang pengembara bernama Yayati.” Terkejut sekali dengan penuturan mereka, namun dia mencoba untuk tetap tenang. Dewi Dewayani segera memerintahkan tiga pemuda itu untuk tinggal di keraton Kandaparasta “Anak-anakku, aku Dewayani, ibu tiri kalian. Ayah kalian adalah raja di Kandaparasta. bergabunglah bersama putra-putraku di sana. Mereka juga saudara kalian. Tuan sais, antarkan mereka ke Kandaparasta. beritahukan pada Yadu dan Turwasu bahwa mereka adalah saudara seayah.” Tanpa banyak bicara, sang sais mempersilakan tiga putra Yayati itu dengan sopan lalu mereka kembali ke Kandaparasta. Sepeninggal mereka, Dewi Dewayani tak henti-hentinya menangis sepanjang jalan menuju negeri Parwata. Kutuk pasu kedua dari Sangkacha telah berlaku. Sang dewi telah diselingkuhi dan dimadu oleh sahabatnya sendiri. Hatinya yang baru mengecapkan bahagia kini kembali hancur ke dalam kepahitan yang tak terperi.
Sesampainya di pertapaan sang ayah, dia mendapati ayahnya sedang bersama sang suami. Mereka terkejut melihat Dewi Dewayani datang dengan wajah sedih dan menangis terisak-isak.. Prabu Yayati hendak memeluk sang permaisuri namun ditampik oleh permaisurinya itu. Maharesi Sukra kemudian bertanya pada sang putri. Dewi dewayani kemudian bercerita “Ayah, kau lihat menantu kesayanganmu ini. Bahkan seekor ayam betinapun tak akan rela bila sang jantan bersama betina lain. Aku telah diselingkuhi dan dimadu oleh Sarmista, putri Wresaparwa, sahabatku sendiri. Buktinya ada. Kini ketiga putra hasil perselingkuhan mereka ada di Kandaparasta. “ Maharesi Sukra menjadi berang, murkanya sudah tak tertahankan lagi. Matanya merah karena marah. Pipi dan telinganya juga merah padam. Giginya bergemeretak. Auranya berubah menjadi merah semerah darah. Aura itu membuat negeri Parwata dilanda huru-hara. Seisi negeri Parwata dilanda banjir dahsyat dan hancur berkeping-keping saking begitu dahsyatnya aura kemurkaan sang pendita agung. Lalu Maharesi Sukra melontarkan kutuk pasu pada sang menantu  “anak Prabu Yayati, kau sudah menduakan hati putriku. Kini dia sakit hatinya tak terperi. Kau telah kehilangan segalanya. Segala wibawa, kesaktian, kehormatan, kemegahan, keperkasaan bahkan keremajaanmu telah hilang musnah dari hadapanku! Semua itu sudah sirna ilang kertaning bumi bersama perselingkuhanmu!” Bukan main hebatnya kutuk pasu yang terlontar dari mulut Maharesi Sukra. Bumi gonjang-ganjing, langit kolap-kalip.
Prabu Yayati mendapatkan kutuk pasu
Seketika itu juga rambut Prabu Yayati menjadi putih beruban. Tubuhnya yang gagah menjadi lemah dan jompo. Kulitnya yang mulus menjadi keriput bergelambir. Prabu Yayati telah terkutuk menjadi seorang kakek-kakek tua bangka bau tanah sebelum waktunya. Prabu Yayati menerima kutuk pasu itu dan menangis sejadinya memohon agar kutuk itu dicabut namun apa yang dikatakan Maharesi Sukra sungguh membuatnya hilang semangat “anak prabu, kutuk pasu yang dilontarkan seorang resi adalah keniscayaan. Sebab sabdo pandita ratu, sabdo resi tan keno wola-wali. Aku tak bisa mencabut kutuk-ku kecuali ada seseorang yang sukarela menukarkan keremajaannya dengan ketuaanmu.”

Prabu Yayati Ingin Muda Kembali
Prabu Yayati memang masih belum puas dengan gairah masa mudanya. Dia ingin menukar wajah tuanya dengan wajah muda seseorang. Akhirnya dipanggillah kelima putranya ke balairung keraton. Lalu berkatalah ia dengan lembut “putra-putraku, aku telah mendapat kutuk pasu dari Maharesi Sukra, kakek kalian. Aku berubah menjadi orang tua lemah dan renta sebelum masanya. Padahal aku masih ingin menikmati kegairahan masa muda dan mengecap kenikmatan duniawi. Ketahuilah, para putraku, sejak muda aku hidup dengan mengekang hawa nafsu, menolak semua kesenangan duniawi walaupun kesenangan itu wajar dan tidak melanggar aturan kitab-kitab suci. Setelah menikah, belum lama mengecap kebahagiaan, tahu-tahu aku menjadi jompo dan renta. Sebab itu, salah seorang dari engkau hendaknya membantuku memikul beban azabku, mengambil ketuaanku dan memberikan kemudaanmu padaku. Siapa di antara kamu yang bersedia menolongku akan kuangkat menjadi raja negeri ini.”  Pertama-tama dia bertanya pada Raden Yadu, sang putra sulung. Raden Yadu kemudian berkata dengan lembut “duh, ayahanda Prabu. Seluruh dayang-dayang dan pacarku bisa terkejut dan menertawaiku bila aku menjadi tua renta di usiaku yang muda ini. Aku tak sanggup memikul bebanmu, ayahanda. Coba tanyai adik-adik. Mungkin salah seorang dari mereka mau.”
Prabu Yayati kemudian bertanya pada Raden Turwasu lalu Raden Turwasu menolak dengan halus “ Ayahanda Prabu, Jikalau saya menjadi tua berarti keamanan dan kekuatan negara ini juga di ujung tanduk. Siapa yang akan menjaga negara sementara salah satu panglima perangnya menjadi tua jompo.” Prabu Yayati walau kesal dengan penolakan Turwasu, tapi masih menerima alasan penolakan itu. Lalu dia bertanya pada Raden Drahyu, putra ketiga. Lalu Raden Drahyu berkata ”mohon ampun Ayahanda Prabu, jikalau saya menjadi tua bicara jadi gemetar, naik gajah atau berkuda juga susah. Saya tak sanggup menanggung ketuaan itu sebelum masanya.” Prabu Yayati mulai tak sabar dengan penolakan itu namun ditahannya lalu dia mendekati Raden Hanu dan bertanya, “Hanu, putraku. Mahukah kamu menukarkan kemudaanmu dan menggantikan aku menanggung azabku ini?” “Duh ayahanda Prabu, yang aku tahu orang tua tak akan bisa mandiri lagi. Bahkan untuk buang air saja harus dibantu. Aku terpaksa juga harus meminta bantuan orang lain. Aku tak sanggup menjadi tua untuk saat ini dan merepotkan orang lain.” Prabu Yayati menjadi kalut hatinya. Amarahnya yang ditahan tak mampu dikendalikan lagi. Lalu dia melontarkan kutuk pasu pula pada keempat putranya “duhh jadi anak kok tidak mau berbakti. Kalian berempat ingin memang ingin dapat tulah dariku.. Hei Yadu, kelak tanah negerimu tandus sehingga kau, anak keturunanmu, dan rakyatmu jadi gembala ternak. Hei Turwasu, kelak ada anak turunanmu yang tak akan berbudi. Hei, Drahyu, kelak negerimu bakal sering dilanda banjir dan harus pindah ke gunung sehingga anak keturunanmu menjadi raja di gunung dan hei Hanu, kelak akan mati dalam usia muda dan anak turunanmu terusir dari tanah kelahirannya sendiri.” Sesudah melontarkan kutuk pasu itu, Prabu Yayati yang tua jompo menjadi lemah dan lelah karena mengeluarkan kutuk pasu. Lalu dia dipapah oleh Raden Puru, sang putra bungsu lalu Raden Puru berkata “Ayahanda Prabu, aku sanggup menukar keremajaanku dengan ketuaan milik ayahanda. Dengan senang hati aku menerima azab dari kutuk pasu milik kakek Maharesi.” Seketika itu juga, wajah Raden Puru berubah menjadi tua jompo sementara Prabu Yayati kembali menjadi muda belia.
Seakan tak menyadari kesalahannya, Prabu Yayati bukannya bertobat malah melampiaskan segala hawa nafsunya. Sepanjang malam, dia berpesta pora sampai mabuk dan bukan hanya mabuk minuman saja tapi mabuk wanita. Dia kemudian pergi ke Taman Batara Kuwera, pergi bersenang-senang melampiaskan nafsu supiah dan aluamah. Dia reguk segala kenikmatan duniawi tanpa kenal ampun dan tanpa kenal puas. Dewi Dewayani menjadi semakin sedih. Kemudian dia memutuskan pergi dari Kandaparasta mengasingkan diri di pertapaan Saraparwata bersama ayahnya, Maharesi Sukra sampai akhir hayat. Begitupun Dewi Sarmista, dia memilih kembali ke negeri Parwata yang telah hancur lebur dan hidup menyendiri sebagai petapa selama sisa hidupnya. Anak-anak sang prabu juaga meninggalkan sang prabu kecuali raden Puru. Raden Yadu meninggalkan Kandaparasta dan mengawali hidup menjadi peternak lembu di pinggir bengawan Yamuna. Dari hasil usahanya dia membabat hutan dan mendirikan negeri para peternak dan penggembala bernama Kerajaan Woja (kelak bernama negeri Mandura) dan menjadi pemimpin disana bergelar Prabu Yadu. Keturunan Prabu Yadu menamai diri mereka dengan Wangsa Yadawa. Raden Turwasu juga mendirikan kerajaan Giribajra di gunung Citayaka (kelak salah satu keturunan Prabu Turwasu ada yang tak berbudi dan sesat yaitu Prabu Jarasandra alias Jaka Slewah). Raden Drahyu yang meninggalkan keraton dan tinggal di lembah sebagai petani selalu dilanda kebanjiran sehingga dia dan keluarganya mendirikan desa di Pegunungan Gandara. Setelah desa itu besar, desa itu berubah kota lalu berubah lagi menjadi negara berdaulat bernama Kerajaan Gandara (negara asal Dewi Gendari dan Patih Arya Sengkuni). Sementara Raden Hanu meninggal muda dan anak-anaknya menjadi terusir dari tanah Jawadwipa tersisih dari pergaulan. Mereka mendirikan negara di Jazirah Atasangin dan sebagian menjadi bangsa Mleccha. Sementara itu Raden Puru tetap tinggal di Kandaparasta dan menghabiskan hidupnya mendekatkan diri pada Sanghyang Widhi yang Maha Agung dan melatih olah kanuragan. Meskipun terjebak dalam tubuh pria tua, Raden Puru masih terkenal sakti mandraguna.
Lima puluh tahun telah berlalu, Prabu Yayati telah lelah dan jenuh. Dia merasa hidupnya hampa dan tak berarti karena hanya mengejar kenikmatan. Akhirnya ia sadar, semua itu sia-sia belaka. Istri-istrinya sudah wafat semua, anak-anaknya telah mandiri dan meninggalkannya. Dia kembali ke Kandaparasta dan menemui Raden Puru lalu dia berkata “putraku, kini aku sadar apa yang telah aku pelajari dalam kitab-kitab suci adalah benar adanya. Kenikmatan dan hawa nafsu kalau dituruti terus tak akan habis. Ibarat api yang disiram minyak, semakin lama semakin besar dan tak terpuaskan. Tak satu pun dapat membuat manusia merasa damai. Kita hanya dapat mencapai kedamaian dengan keseimbangan jiwa yang mengatasi segala kesenangan dan ketidaksenangan. Ketenangan jiwa dan perasaan damai yang sejati adalah karunia mulia dari Sanghyang Widhi Yang Maha Kuasa. Kemarilah, Puru. Warisilah negeri kita ini dan jadilah raja yang arif bijaksana dan penuh kebajikan. Ambillah keremajaanmu kembali. Aku ingin kembali menjadi orang tua jompo dan renta agar bisa semakin dekat dengan-Nya” Seketika itu pula, ketuaan yang ditanggung Raden Puru berganti dengan keremajaan. Raden Puru menjadi muda belia kembali smentara Prabu Yayati kembali tua dan jompo.
Hari pelantikan raja segera dilaksanakan. Kini Raden Puru menjadi raja Kandaparasta bergelar Prabu Puru. Prabu Puru punya anak bernama Prabu Hastimurti. Prabu Hastimurti punya putra bernama Prabu Dusyanta. Prabu Dusyanta menikahi Dewi Shakuntala, putri begawan Wiswamitra yang diasuh Resi Kanwa. Dari pernikahan itu lahirlah Raden Sarwodamono yang kelak bergelar Prabu Baharata/Baroto. Raja yang memindahkan kotaraja dari kota Kandawa ke desa Kurugangga. Lalu nama Kurugangga diganti menjadi Hastina, untuk merayakan lahirnya sang cucu, Raden Hasti. Sejak saat itu nama kotaraja Kandaparasta tenggelam berganti menjadi Hastinapura. Dari Hastinapura inilah, Prabu Baharata memperlebar sayapnya hingga ke Tanah Hindustan. Prabu Baharata punya putra dan putri bernama Bumanyu dan Dewi Nilawati. Dewi Nilawati menjadi istri Bambang Satrukem, putra tertua Resi Manumayasa (leluhur Maharesi Abiyasa dari pihak ayah).”
Demikianlah Maharesi Abiyasa menceritakan kisah itu pada Permadi. Permadi terkesan sekali dengan kisah itu. Maharesi Abiyasa setelah itu menasihati cucunya untuk segera kembali ke Amarta, di sanalah darma baktinya harus ditunaikan. Jodoh sejati Raden Permadi akan segera menanti.