Jumat, 31 Maret 2023

Gambiranom Maling

 Hai para pembaca dan penikmat pewayangan yang berbahagia, kisah anak muda kadang bikin geleng-geleng kepala. Di pewayangan juga sama. Kali ini, penulis akan mengisahkan kisah Bambang Irawan dalam menjalani masa mudanya dengan penuh kenakalan antara lain pernah menjadi maling, menyerang pasukan Hastinapura, menaklukan negara sekutu Pandawa dan bahkan hendak melamar seorang perempuan yang sudah bersuami yang tak lain Siti Sundari, isteri abangnya sendiri. Kisah ini sebenarnya penggabungan dua lakon yakni Jaganala Maling dan Prabu Gambiranom.Sumber kisah ini berasal dari blog albumkisahwayang.blogspot.com, caritawayang.blogspot.com, dan tulisan-tulisan yang ada di grup Facebook.

Setelah pernikahannya dan pertemuannya dengan Bambang Wisanggeni, Raden Antareja melanjutkan pendidikannya di Yasarata bersama sang isteri dan setelah itu tiada kabar lagi. Hingga suatu ketika, Kerajaan Hastinapura digegerkan dengan hilangnya beberapa hewan kebun binatang dan emas permata milik istana. Bukan cuma itu, para prajurit istana dibuat kalang kabut karena kelihaiannya. Prabu Duryudhana menyusun siasat dengan menawarkan si maling itu putrinya, Dewi Lesmanawati. Singkat waktu, si maling itu datang lagi untuk menculik Dewi Lesmanawati. Siasat jebakan itu berhasil. Para Kurawa mempu menangkap pencuri itu yang ternyata dua orang. Pencuri itu bernama Bambang Jaganala dan Bambang Jayabadra. Wajah mereka tampan dan gagah, mirip wajah Arjuna dan Bhima. Prabu Duryudhana marah mengira Wrekodara dan Arjuna mengirimkan mata-mata kepada Hastinapura. Bambang Jaganala berkata "aku bukan mata-mata Pandawa. Aku dan kakakku ini pengembara yang mencari kemuliaan. Kami terpaksa mencuri demi kebutuhan hidup kami." Patih Sengkuni mendapatkan ide untuk mengadu domba Pandawa dengan negara lain lewat dua pemuda ini. Patih Sengkuni berbisik kepada Prabu Duryudhana "keponakanku, pamanmu ini mendapat ide untuk membuat Pandawa bertekuk lutut pada kita. Kita gunakan dua anak muda ini untuk merebut kekuasaan sekutu Pandawa dan mengobarkan perang. Di saat perang itu, kita bisa serang kapan saja. Maka istana Indraprastha bisa kita rebut." Prabu Duryudhana setuju dan berkata "bangun, anak-anakku, kalian sudah ku ampuni. Tapi ini semua ada bayarannya. Kalian serang negara sekutu Amarta, Rancangkencana. Rebut istananya lalu serang Amarta." Singkat cerita, dengan tanpa pasukan satu pun, Bambang Jaganala dan Bambang Jayabadra berhasil menakluk negara Rancangkencana. Rajanya, Prabu Jayasentika diturunkan paksa menjadi Patih dan Bambang Jaganala yang jadi raja bergelar Prabu Gambiranom.

Prabu Gambiranom
Bambang Jayabadra dijadikannya penasihat bergelar Wasi Nagasambada. Namun, hal tak terduga terjadi. Tak disangka oleh pihak Hastinapura, Prabu Gambiranom justru mengkhianati mereka. Setelah berhasil menakluk kerajaan kecil itu, Prabu Gambiranom memerintahkan pasukan Rancangkencana yakni Ladrangmungkung menyerang kemah para Kurawa. Rencana Sengkuni gagal, pasukan itu terus menghabisi kekuatan Hastinapura. Daripada mereka mati konyol, patih Sengkuni dan para Kurawa beserta prajuritnya mundur kembali ke Hastinapura.

Pada suatu ketika, Prabu Kresna dihadap Prabu Baladewa mendapatkan surat lamaran dari utusan Prabu Gambiranom, Patih Jayasentika. Dalam surat itu tertulis kalau Prabu Gambiranom ingin menikahi Dewi Siti Sundari. Prabu Kresna berkata kalau Dewi Siti Sundari sudah menikah dengan Abimanyu, pangeran dari Amarta. Kalau ingin melamar seperti itu, harus kepada Abimanyu atau Arjuna. Patih Jayasentika berkata “ampun, gusti.  Hamba tidak mau pergi ke sana karena aku diperintahkan rajaku ke Dwarawati bukan ke Amarta. Kalau aku tidak bisa membawa Siti Sundari kepada rajaku, maka sang raja akan menyerang negara Dwarawati ini.” Prabu Baladewa mendapat jawaban demikian. Prabu Baladewa diiringi Patih Udawa dan Arya Sencaki mengusir Patih Jayasentika. Di saat diusir ini, datang Wasi Nagasambada melindungi. Pasukan juga disiagakan. Terjadilah perang antara Dwarawati dengan Rancangkencana. Kesaktian Nagasambada membuat Prabu Baladewa dan para penggawa Dwarawati tak berkutik karena racun yang disemburkan dari ludahnya membuat orang lumpuh seketika. Arya Sencaki segera membawa kakak sepupunya pergi. Prabu Kresna segera memerintahkan segenap rakyatnya untuk segera mengungsi ke Amarta. Ia beserta para isteri dan anaknya, Prabu Baladéwa yang lumpuh, dan penggawa segera naik ke Kereta Jaladara meninggalkan Dwarawati kecuali Raden Samba yang sudah pergi duluan untuk memberitahu Abimanyu. Hari itu Dwarawati ditaklukan Rancangkencana. Prabu Baladewa yang dalam keadaan terbaring segera diusap Cangkok Wijayakusuma dan seketika sembuh. Sang raja Mandura itu bertanya “Kanha, kenapa kau tidak menyerang pasukan Prabu Gambiranom?” Prabu Kresna menjawab “Kak Balarama, bukan takdirku untuk mengalahkan Gambiranom. Aku sudah tahu jatidiri dari Prabu Gambiranom yang sebenarnya tapi biarlah dinda Parta yang lebih dulu tau. Sudah saatnya dinda Parta tahu siapa Gambiranom yang sebenarnya.”

Di tengah jalan, Abimanyu yang ingin berkunjung ke Dwarawati bertemu dengan Samba. Samba punya niat licik untuk mengorbankan Abimanyu supaya kasih sayang ayahnya hanya tertuju padanya. Maka ia memberitahunya “Hei Abimanyu, istrimu dinda Siti Sundari hendak direbut  Prabu Gambiranom, raja Rancangkencana.” Ia lalu memanas-manasi Abimanyu “Prabu Gambiranom itu sudah menghinamu sebagai lelaki mandul, tidak pantas kau membahagiakannya” Memang sifat Abimanyu yang mirip ayahnya tidak suka dihina sontak marah. “apa kau katakan kakang Samba....antar aku kesana...akan kulabrak si Gambiranom itu!” Kakek Semar mengingatkan agar Abimanyu tidak gampang terpancing. Tapi Abimanyu kadung marah maka ia pergi menghadapi Prabu Gambiranom. Semar lalu memarahi Samba jangan melebih-lebihkan berita. Samba tidak peduli dan berlalu pergi. Semar hanya bisa ngelus dada karena Samba belum juga insaf. Dengan berjalan tergesa-gesa, Abimanyu akhirnya memasuki perbatasan Kerajaan Dwarawati. Tiba-tiba ia disergap pasukan wanita Ladrangmungkung yang dipimpin Patih Jayasentika. Karena Abimanyu lengah, ia pun dapat ditangkap menggunakan jala sutra, lalu diikat dan dihadapkan kepada Prabu Gambiranom. Lalu giliran Samba yang pura-pura menyerah di hadapan Prabu Gambiranom. Dengan lidah licinnya, Samba menyatakan siap untuk menjadi babu dari Rancangkencana. Semar dan para putranya kecewa dengan sikap Samba lalu segera pergi dari sana untuk memberitahu Arjuna dan Yudhistira.

Di Amarta, Prabu Yudhistira dihadap patih Tambakganggeng, permaisurinya, Dewi Drupadi, Raden Gatotkaca, dan empat Pandawa lainnya menerima kedatangan Prabu Kresna beserta keluarga dan rakyatnya. Mereka meminta suaka karena serangan kerajaan Rancangkencana. Prabu Yudhistira kaget karena selama ini sekutu mereka itu tidak pernah macam-macam dengan yang namanya penaklukan apalagi negeri itu dikenal damai dan sejahtera. Lalu datang Semar dan para putranya diiringi dengan Dewi Ulupi dan Begawan Jayawilapa. Arjuna menyambut kedatangan permaisuri keempatnya dan mertuanya itu. Dewi Ulupi membawa kabar tidak mengenakkan "kakanda, putra kita.”  Arjuna bertanya penuh keheranan “kenapa dinda? Ada apa dengan putra kita?” Dewi Ulupi lalu bilang “Irawan bareng Antareja minggat. Sudah hampir satu tahun ini tidak ada kabar. Nanda Dewi Ganggi sampai khawatir...risau sepanjang hari sepanjang malam dengan suaminya..... ayahanda begawan sampai harus menitipkannya ke Saptapertala." Arjuna berjanji akan mencari keberadaan putra dan keponakannya itu. Semar lalu gantian menceritakan keadaan Abimanyu. Arjuna makin kalut hatinya. Di satu sisi, ia kehilangan putranya dari Ulupi dan di sisi lain, putranya yang satu lagi ditangkap raja kurang ajar. Arya Wrekodara, Arjuna, dan Gatotkaca bersedia menemui Gambiranom untuk negosiasi pembebasan Abimanyu. Dewi Ulupi merasa kalau perginya sang suami kali ini tidak akan mudah. Maka ia diam-diam mengikuti suaminya dari kejauhan.

Singkat cerita, Arjuna, Arya Wrekodara, dan Gatotkaca sampai di tempat perkemahan Prabu Gambiranom. Mereka melakukan negosiasi meminta Prabu Gambiranom untuk membebaskan Raden Abimanyu. Arjuna bersedia memberikan apapun asalkan putranya dibebaskan. Prabu Gambiranom berkata "Arjuna, ini bukan negosiasi. Aku hanya bersedia membebaskan Abimanyu, asalkan ditukar dengan Siti Sundari. It's final offer!" Arjuna murka lebih-lebih Samba ada di sana tidak membantu Abimanyu malah ikut-ikutan memenjarakan dan menghina sepupunya. Maka berperanglah Arjuna melawan Gambiranom. Sedangkan Gatotkaca melawan Nagasambada, dan Arya Wrekodara melawan Jayasentika. Pertarungan Gatotkaca melawan Nagasambada imbang, tak ada yang kalah atau menang. Kadang Gatotkaca menerbangkan dan menghajar Nagasambada di angkasa. Kadang pula Nagasambada membenamkan kepala Gatotkaca ke bawah tanah. Patih Jayasentika mampu diringkus Arya Wrekodara. Sementara itu, Prabu Gambiranom bertarung terus satu lawan satu. Lama-lama, Prabu Gambiranom terdesak oleh Arjuna. Prabu Gambiranom memerintahkan pasukan Ladrangmungkung yang berisi wanita-wanita cantik menghadapi Arjuna. Bukannya menyerang mereka, Arjuna justru merayu para prajurit wanita itu. Para prajurit perempuan tersebut gemetar sehingga beberapa di antara mereka tak sengaja melepaskan panah. Di saat demikian, Prabu Gambiranom menembakkan panah Ardadedali. Raden Arjuna tidak sempat menghindar dan ia pun roboh di tanah terkena panah-panah itu dengan panah Ardadedali menancap di dadanya.

Pertempuran pun terhenti sejenak karena Arjuna tewas. Pada saat itulah Dewi Ulupi datang bersama Begawan Jayawilapa menyusul. Mereka terkejut melihat Arjuna sudah tidak bernapas lagi dan jantungnya berhenti. Dewi Ulupi segera mengeluarkan pusaka Daun Kastuba untuk diusapkan ke luka-luka suaminya itu. Seketika luka-luka Arjuna sembuh dan ia pun bisa hidup kembali, pulih seperti sediakala. Namun karena belum sepenuhnya sadar, Dewi Ulupi maju dan menantang Prabu Gambiranom " Jika ingin melukai seseorang, maka lukai aku saja." Prabu Gambiranom gemetar mendengar tantangan itu. Namun dengan kekuatannya, ia menggunakan ilmu Nagakawastra dan mengubah wujud jadi naga. Dewi Ulupi segera mematrapkan ilmu serupa dan berubah sebagai naga betina. Kedua naga itu bertarung saling gigit, saling belit, dan saling menyemburkan racun. Dewi Ulupi memang lebih berpengalaman akhirnya ia berhasil mengalahkan naga jelmaan Prabu Gambiranom. Seketika penyamarannya pun ikut terbongkar.

Gambiranom melawan Ulupi
Ia tidak lain adalah Bambang Irawan, putra Dewi Ulupi sendiri dengan Arjuna. Melihat Prabu Gambiranom telah terbongkar penyamarannya dan kembali sebagai Bambang Irawan, Arya Wrekodara menyadari sesuatu, lalu ia segera mendatangi Wasi Nagasambada dan memerintahkannya untuk membuka penyamaran pula. Wasi Nagasambada sangat malu dan ia pun kembali sebagai Antareja. Arya Wrekodara marah menuduh anak sulungnya itu berniat buruk ingin mengacau kedamaian. Ketika Arya Wrekodara hendak memukul Antareja, tiba-tiba datang Prabu Kresna dan Prabu Baladewa melerai. Antareja mohon ampun pada ayahnya " Ramanda, anakmu ini minta maaf atas kesalahannya membantu adhiku Irawan. Aku sebenarnya ikut hanya demi membuktikan kepada kanjeng rama agar aku bisa jadi penggawa seperti halnya Dinda Gatotkaca." Arya Wrekodara akhirnya memaafkan putra sulungnya itu dan akan melantik Antareja sebagai penggawa begitu sampai di Amarta.

Prabu Kresna lalu bertanya kepada Bambang Irawan "Irawan, mengapa kamu menciptakan masalah seperti ini? Apa kamu memang benar-benar ingin memperistri iparmu? Apa kamu tidak tahu kalau Siti Sundari sudah menjadi istri abangmu, Abimanyu?" Bambang Irawan menjawab “ampun uwa prabu...aku sama sekali tidak berniat menikahi yunda Siti Sundari. Lamaran yang ku kirimkan melalui Patih Jayasentika hanyalah settingan belaka. Sebenarnya aku berbuat sejauh ini agar ramanda mencariku dan mengakui keberadaanku.” Irawan juga mengatakan kalau yang tempo hari ia lah yang menjadi maling di Hastinapura. Ia berbuat demikian untuk menggunakan kelicikan Sengkuni buat memuluskan skenario yang ia buat. Arjuna lalu balik memarahi putranya itu karena sudah mengurung abangnya sendiri. Bambang Irawan  menjawab kalau ia harus berpura-pura mau bekerjasama dengan Samba untuk memenjarakan Abimanyu. Namun ada hal yang tidak diketahui ayahnya. Yang terjadi sebenarnya ialah Abimanyu tidak pernah benar-benar dikerangkeng. Orang yang di dalam kerangkeng sebenarnya Raden Samba sedangkan Raden Samba yang bersamanya ialah Abimanyu yang diubah wujud olehnya. Seketika Samba palsu badar jadi Abimanyu dan Abimanyu yang ada didalam kerangkeng kembali menjadi Samba. Abimanyu segera memeluk adiknya tersebut. Irawan meminta maaf pada abangnya atas kekacauan yang ia buat sampai-sampai bukan hanya dia, tapi membuat hampir seluruh negara di Jawadwipa kerepotan.

Arjuna masih saja marah atas kenakalan Bambang Irawan yang berani menyerang Kerajaan Dwarawati dan juga menawan kakak sepupunya sendiri “tetap saja, Irawan...Ramanda tidak suka caramu membuat masalah....sampai harus melawan saudara dan uwamu sendiri...pokoknya kau harus kembali ke Yasarata sebelum aku.....” . Irawan berkata “ampun ramanda...apa yang kulakukan pada kakang Samba itu adalah hukuman yang harus ditanggung Samba sebagai seorang penjilat dan pengkhianat.”  Irawan rupanya masih berbaik hati. Pasukan Ladrangmungkung membebaskan Samba dari kerangkeng. Beggitu keluar dari kerangkeng, Samba marah-marah “Irawan...kau benar-benar licik...dasar tidak tahu adat...tidak tahu sopan santun....kau harus merasakan kemarahanku...” Samba menyerang putra Arjuna dengan Dewi Ulupi itu namun dengan gesit,  Irawan berhasil menghindar. Dengan serangan terakhir, ia pun menotok sang pangeran mahkota Dwarawati itu. Samba tak dapat berkutik lagi. Ia pun dihukum lagi oleh ayahnya dengan kembali mengacak-acak pikirannya dengan ilusi sehingga ia jadi linglung lagi. Prabu Kresna juga menasihati Arjuna “Parta, jangan terlalu menyudutkan Irawan. Ia seperti ini karena merindukan kasih sayangmu sebagai seorang ayah. Jangan pilih kasih apalagi sampai menganakemaskan anak satu diantara anak-anak yang lain.” Arjuna khilaf atas kekeliruannya. Ia pun memeluk Bambang Irawan dan memaafkan semua kesalahan putranya itu. Irawan juga menjelaskan kalau san ibu telah kembali menemukan saudaranya. Dewi Ulupi tak paham apa maksud putranya. Bambang Irawan berkata kalau Patih Jayasentika sebenarnya adalah Bambang Ratnasantika, putra kembar Begawan Jayawilapa yang telah lama pergi jauh untuk merantau. Dengan kata lain, patih Jayasentika yang ternyata saudara kembar ibunya. Dewi Ulupi dan Begawan Jayawilapa berpelukan hangat dengan saudara dan anak mereka yang telah lama pergi. Irawan juga kembali mengangkat pamannya dari pihak ibu itu kembali sebagai raja Rancangkencana.

Prabu Kresna senang semua masalah ini telah selesai. Terus terang ia senang melihat kenakalan Bambang Irawan, karena itu mengingatkan pada kenakalannya di masa muda dulu. Prabu Kresna pun berkata " anakku Irawan. Aku kira berkenan jika aku mengambilmu sebagai menantuku. Biarlah pemuda nakal menjadi menantu dari mertua nakal ini, Kanha si brandal Widarakandang. Rukmini, isteriku yang terkasih punya seorang putri yang tidak kalah cantik dibanding Siti Sundari namanya Titisari. Dia adik dari Partajumena dan Saranadewa." Bambang Irawan dan juga Arjuna berterima kasih atas perjodohan tersebut.

 

Senin, 27 Maret 2023

Gatotkaca Gandrung

 Hai para pembaca dan penikmat wayang sekalian, semoga berbahagia. Kali ini, penulis akan mengisahkan kisah cinta dari Gatotkaca dan Pergiwa yang mendapat tentangan dari kedua belah pihak orang tua mereka karena adanya pihak ketiga yang mencoba menghentikan kisah cinta mereka. Sumber dari kisah ini berasal dari blog albumkisahwayang.blogsopt.com, caritawayang.blogspot.com, dan dari tulisan di grup facebook.

Arjuna dihadap kakaknya, Wrekodara beserta istrinya Dewi Arimbi. Di sana turut hadir para isteri Arjuna yakni Dewi Sumbadra, Larasati, Endang Sulastri, Dewi Ratri, Dewi Manuhara, dan Dewi Srikandhi juga Abimanyu membahas rancangan pernikahan Gatotkaca dengan Pergiwa. Persiapan sudah dibuat di Madukara dan Pringgandani. Undangan telah disebarkan. Bahkan Prabu Kresna sudah mengundang Resi Hanoman Mayangkara untuk turut hadir. Namun tiba-tiba datang Begawan Dorna dan Patih Arya Sengkuni. Mereka menyediakan seserahan lamaran dari Raden Lesmana Mandrakumara yang juga kepincut hati kepada Pergiwa. “anakku Arjuna, mohon terimalah seserahan ini. Kami mewakili kakandamu Prabu Duryudhana, hendak melamarkan putranya, Lesmana Mandrakumara dengan Pergiwa, putrimu.”  Arjuna kaget mendengarnya. Tanpa pikir panjang, Arjuna menerima seserahan itu dan berkata “guru dan paman sebaiknya menunggu di wisma tamu. Aku akan berpikir dulu apa keputusanku.” Sebelum mereka pergi, Arjuna sempat memakan makanan yang ditawarkan Begawan Dorna. Sekepergian mereka, Arya Wrekodara memberikan pendapatnya “ Jlamprong, aku tidak setuju kau menerima pinangan dari guru. Ini acara sudah dekat hari-H. Lalu Gatotkaca kau anggap apa?”  Namun tiada angin tiada hujan, Arjuna tiba-tiba naik darah karena yang menikah itu putrinya, suka-suka dia harus menikah dengan siapa. Malah ia dengan lantangnya, pernikahan Pergiwa dan Gatotkaca dibatalkan saja. Arya Wrekodara marah dan berlalu pergi meninggalkan istana Madukara. Para isteri Arjuna dan Raden Abimanyu kaget dengan sikap Arjuna yang sepihak membatalkan pernikahan.

Di Jodipati, Gatotkaca menyambut kepulangan ayah ibunya. Arya Wrekodara dengan anda berang berkata "Gatotkaca, lebih baik batalkan niatmu menikah dengan Pergiwa. Pamanmu, Jlamprong membatalkan pernikahanmu dan mau menikahkannya dengan Lesmana Mandrakumara." Seakan tersambar petir di siang bolong, hati Gatotkaca remuk redam. Patah hatinya, hancur sukmanya. Bersamaan dengan itu datanglah Resi Hanoman Mayangkara mengunjungi saudara tunggal Bayu nya. Sang resi kera putih itu mendengar ada ribut-ribut berusaha mendamaikan saudaranya itu dengan Gatotkaca. “adhi Bhima, jangan keburu nafsu. Mungkin ada alasan di balik ini semua.” Gatotkaca sendiri juga berusaha membujuk ayahnya untuk membantunya. Kadung marah dengan Arjuna, Arya Wrekodara malah menunjukan sikap masa bodoh dan malah mengusir Gatotkaca dan Resi Hanoman. Makin hancur berkeping keping hati Gatotkaca. Sudah pernikahannya dibatalkan, sekarang ia diusir dari rumahnya.

Walaupun di tenangkan oleh Resi Hanoman, gatotkaca justru mengusir sang kera putih. Gatotkaca benar-benar patah hati. Pikirannya dilanda gandrung. “duh...dinda Pergiwa....aku tidak sanggup harus berpisah bahkan sebelum kita dipertemukan dalam pernikahan.....Mati sajalah aku daripada menanggung derita cinta ini.” Gatotkaca lalu melesat terbang ke angkasa seperti burung yang mabuk. Terbang kesana-sini menabrakkan diri ke batu, gunung, dan bukit. Gatotkaca hendak mengakhiri hidupnya. Namun bukannya mati malah benda-benda yang ditabrak Gatotkaca hancur lebur. Gunung jugrug, bukit longsor, pohon tumbang, batu juga pecah ditabrak Gatotkaca. Merasa sudah putus asa, maka Gatotkaca coba gantung diri tapi malah talinya yang putus. Gagal gantung diri, ia lompat ke sungai tapi malah dia yang ngambang. Karena semua hal gagal, ia menonjok dan menyayat tubuhnya mencoba menyakiti dirinya sendiri disertai derai tangis menganak sungai. Lalu datang suara tawa renyah dari balik pohon. Rupanya itu suara Prabu Kresna dan adik Gatotkaca, Antasena. Mereka dipanggil oleh Hanoman agar bisa memberikan solusi pada masalah Gatotkaca. Antasena dengan lagak polosnya mengejek kakaknya "hahahaha.... Kakang ini cengeng. Masa karena perempuan, kakang jadi selemah ini? Masih banyak gadis cantik selain adhi Pergiwa, kakang." Mendengar perkataan itu, Gatotkaca marah lalu menarik pakaian Antasena " Kurang ajar! Antasena! kamu tau apa soal cinta? Kau tidak akan paham masalah kakangmu ini. Tidak ada orang lain di hatiku yang bisa menggantikan cintaku sama Pergiwa. Antasena dengan tenang menurunkan diri dari cengkraman Gatotkaca lalu berkata “makanya, kakang. Eyang Hanoman sudah manggil aku dan uwa Kresna kemari.” Prabu Kresna lalu memberikan saran "kalau kau ingin tahu seberapa besar cintanya padamu, larikan saja dia. Seperti saat aku melarikan bibimu, Rukmini." Antasena juga memberikan semangat “kakang, cinta bisa dianggap cinta jika diperjuangkan. Jangan kalah dengan Lesmana yang manja...modal harta orang tua doang tapi gak pernah modal keberanian.” Abimanyu juga datang memberikan semangat pada kakak sepupunya itu. "benar apa kata kakang Antasena, cinta harus diperjuangkan jangan mau kalah. Menangkanlah cintamu, kakang. Aku sebagai adik dari yundha Pergiwa sudah merestui cinta kalian." Gatotkaca kembali bersemangat. Iapa yang dikatakan mereka itu harus dilakukan. Prabu Kresna lalu mengatur siasat supaya Gatotkaca dan Pergiwa bisa bertemu.

Singkat cerita, Abimanyu, Antasena, Hanoman, dan Petruk berhasil menyusupkan Gatotkaca ke keputren taman Maduganda. Di sana, Gatotkaca melihat Pergiwa menangis karena dipaksa nikah dengan Lesmana Mandrakumara yang pernah menculiknya. Gatotkaca bertanya "Dinda Pergiwa, kenapa kau menangis?” Pergiwa kaget dan menyuruh Gatotkaca untuk meninggalkan keputren.“kakanda Gatot?! Jangan kemari! Aku sedang dipingit.... kalau kau sampai ketahuan, ayah bisa marah.” Namun ia tetap di sana . Gatotkaca ingin bicara dengan Pergiwa. Akhirnya, Gatotkaca dan Pergiwa saling berbicara berbagai macam hal lalu di akhir pembicaraan itu, Gatotkaca menyatakan perasaannya “dinda, aku sangat mencintaimu... apa kau juga mencintaiku." Pergiwa takut pada sang ayah, maka ia terpaksa berbohong ‘maaf kakanda, aku telah jatuh cinta kepada Lesmana Mandrakumara dan besok aku akan jadi istrinya.” Gatotkaca sedih mendengarnya. Ia pun mohon pamit hendak bunuh diri membenturkan kepala ke arah tembok taman. Pergiwa terkejut dan segera memeluk tubuh Raden Gatotkaca dari belakang. "Hentikan kanda, aku minta maaf sudah berbohong. Aku sungguh mencintaimu sejak kita bertemu. Tapi takdir kita tidak baik. Lupakan aku dan cari wanita lain saja." Tak disangka, cinta Gatotkaca begitu mendalam dan rela bunuh diri daripada patah hati membuat luluh hati Pergiwa. Gatotkaca bahagia mendengarnya. Ia pun mengajak Pergiwa kabur “dinda, ayo kita tinggalkan Madukara. Kita menikah dan hidup di desa terpencil berdua.” Pergiwa bersedia ikut asalkan mereka tidak berpisah lagi. "Kakanda bawalah aku, hidup mati kita bersama." Gatotkaca segera menggendong sang pujaan hati dan membawanya terbang.

Gatotkaca bertemu dengan Pergiwa
Di luar Taman Maduganda, Lesmana Mandrakumara datang menyambangi Pergiwa calon istrinya. Ketika ia mencoba masuk, pangeran manja itu dihadang Petruk dan terjadi perkelahian. Lesmana melihat dari balik sudut matanya Gatotkaca sedang menggendong Pergiwa di tengah taman segera memanggil para Kurawa. “paman! Gatotkaca hendak melarikan calon isteriku.....cepat panggil paman arjuna juga...!” Para Kurawa berang dan segera menyerang taman keputren itu. Gatotkaca yang sedang terbang menggendong Pergiwa mengalahkan semua pasukan Kurawa termasuk Begawan Dorna. Begawan Dorna dan Patih Sengkuni marah maka mereka melapor pada Arjuna kalau Gatotkaca hendak melarikan Pergiwa. Arjuna murka lalu bergegas ke taman dan menyabetkan Cambuk Kyai Pamuk. Tubuh Gatotkaca terkena cambuk itu jatuh terkulai dan ia dicambuki habis-habisan. Pergiwa memohon agar ayahnya berhenti menyiksa Gatotkaca. Namun Arjuna seperti kesetanan. Putrinya juga kena cambuk. “Pergiwa! Biar Aank Wrekodara ini Paham.....Si Wrekodara itu Sudah Gagal Didik Anak...Taunya Cuma Buat Anak.” Petruk dan Antasena segera lari ke Jodipati melaporkan ini kepada sang Bhimasena.

Petruk sampai ke Jodipati dan berusaha membangunkan Arya Wrekodara, tapi dibangunkan berulang ulang tak bangun. Antasena sudah mengguyurnya pakai air setimba tak juga bangun. Pakai keributan juga tak mempan. Petruk lalu ingat kisah Kumbakarna yg bisa bangun ketika bulu kakinya dicabut. Lalu bulu kaki Wrekodara dicabut dan ia pun bangun. Diceritakan anaknya sedang dihajar Arjuna. Arya Wrekodara tenang saja sambil bilang, "ah itu tugas Arjuna sebagai paman untuk mengajari Gatotkaca tentang kebenaran." petruk jadi bingung, lalu dia bilang Gatotkaca bisa mati, sang Bhima bilang "biar saja, ngga masalah. Sudahlah jangan khawatir dengan anak itu. Dia masih manja" Petruk ga hilang akal menghadapi ketenangan Wrekodara. Dia bilang “waduh...gak bisa gitu, ndoro Bhima. Ndoro Arjuna juga sambil memaki ndoro...ndoro Arjuna mengumpat umpat dan menjelekan ndoro ketika menyiksa ndoro Gatot. Ndoro dikatai tukang buat anak...gagal didik anak...dan sebagainya...”  Langsung sang Panegak Pandawa bangkit saking marahnya segera berlari ke Madukara. Petruk ditabraknya sampai terjengkang.

Sampai di Madukara, Arya Wrekodara marah besar mendapati semuanya sudah chaos. Ia mengamuk mendapati putranya sudah dicambuk-cambuk sedemikian parah. Arya Wrekodara naik pitam, lalu memporak-porandakan para Kurawa dan menghajar Arjuna habis-habisan. “Jlamprong!!! Berani Kau Siksa Anakku......Ku Patah-Patahkan Tanganmu.” Arjuna benar-benar dibuat babak belur. Gantian Arjuna yang lari ke rombongan Amarta yg baru saja datang.

Arjuna berlindung karena dihajar Arya Wrekodara
Prabu Kresna, Prabu Yudhistira, dan Antasena mengkondisikan keadaan. Prabu Kresna menjelaskan mengapa Abimanyu, Petruk, dan Antasena melakukan semua hal ini dari merencanakan pelarian Pergiwa hingga membangunkan Wrekodara, semua demi Gatotkaca dan Pergiwa. Prabu Kresna tidak ingin Arjuna salah dalam menentukan masa depan putrinya. Prabu Kresna lalu berkata “Parta...jernihkan pikiranmu dulu sebelum membuat keputusan.” Mendadak, Arjuna kesakitan. Perutnya terasa mual sepertinya hendak mengeluarkan sesuatu dari mulutnya dan pada akhirnya, Arjuna memuntahkan semua makanan yang diterimanya dari pihak Hastinapura. Rupanya, Patih Sengkuni telah menaruh jampi-jampi di makanan itu. Arjuna pun bangun dalam keadaan linglung setengah sadar. Akhirnya Arya Wrekodara berdamai dengan Arjuna. Arjuna menyadari semua kesalahannya. Pergiwa ditanya “cah ayu, bersediakah kamu menikah dengan Gatotkaca.” Pergiwa menjawab “tentu, ramanda. Aku menerima kanda Gatotkaca dengan seluruh jiwa ragaku.”

Pihak Hastinapura kecewa dengan kegagalan mereka menjampi-jampi Arjuna. Lesmana Mandrakumara merengek-rengek, mengamuk ingin merebut Dewi Pergiwa. Namun seperti yang sebelumnya, Gatotkaca berhasil mengusirnya. Rombongan Hastinapura meradang dengan diusirnya Lesmana Mandrakumara. Mereka mengamuk hendak menghancurkan Taman maduganda. Namun mereka semua dihajar Wrekodara dan balik dengan tangan hampa ke Hastinapura. Akhirnya pernikahan Gatotkaca dengan Pergiwa tetap terlaksana. Pesta berlangsung tujuh hari tujuh malam.

Kamis, 23 Maret 2023

Pergiwa-Pergiwati (Abimanyu Palakrama)

 Hai semua pembaca da penikmat wayang yang budiman. Mumpung ada ide bertebaran, kali ini penulis mulai menceritakan kisah petualangan dan dewasanya para putra Pandawa, Kurawa, dan keluarga besar Yadawa. Kisah ini dimulai dengan kemunculan dua puteri Arjuna yakni Pergiwa dan Pergiwati. kehadiran dua putri Arjuna ini akan membantu pernikahan Abimanyu, adik sedarah mereka dengan Dewi Siti Sundari, putri Sri Kresna. Suber kisah ini berasal dari blog albumkisahwayang.blogspot.com, caritawayang.blogspot.com dan beberapa sumber dari grup wayang di Facebook.

17 belas tahun berlalu bagaikan kilat. Kini para putra Pandawa, Kurawa, dan keluarga Yadawa sudah pada besar. Suatu ketika, di pagi yang cerah Kresna dihadap Dewi Radha, Dewi Rukmini, Dewi Setyaboma, Dewi Jembawati, Patih Udawa dan Arya Setyaki. Mereka menyambut kedatangan Prabu Boma Sitija dan Dewi Pertiwi. Kedatangan mereke membawa Dewi Siti Sundari yang sudah berusia 17 tahun. Prabu Boma Sitija berkata " ayahanda, sudah saatnya adhiku yang cantik ini menikah." Bersamaan dengan itu, Patih Madukara yakni Patih Surata dan Patih Sucitra mengabarkan untuk mengingatkan perjodohan Abimanyu dengan Siti Sundari 17 tahun lalu. Prabu Kresna menyambut baik permintaan dari putri dan istrinya juga Patih Madukara itu. Perjodohan dengan Abimanyu 17 tahun lalu harus ditetapkan namun tiba-tiba datang Prabu Baladewa bersama Patih Arya Sengkuni. Mereka ingin agar Dewi Siti Sundari dinikahkan saja dengan Raden Lesmana Mandrakumara, putra mahkota Hastinapura. Prabu Kresna agak bimbang hatinya. Dalam hati ia ingin menepati janjinya dahulu tapi di sisi lain ia tidak ingin kakaknya kecewa. Maka ia berdiskusi dengan sang putri, Siti Sundari. Dewi Siti Sundari lalu berkata "aku hanya akan menikah dengan orang yang bisa membawakan aku dua saudara yang bukan kembar untuk jadi patah manten sakembaranku." Prabu Kresna tidak bisa menolak itu maka ia mengatakan itu kepada rombongan Hastinapura. Raden Samba dan Bambang Partajumena diutus menemani Patih Sucitra dan Surata memberitahukan hal ini kepada Arjuna dan Abimanyu. Di tengah jalan, para Kurawa berusaha menghalangi. Patih Surata dan Sucitra dibantu Raden Samba dan Partajumena berhasil membuat Kurawa kalang kabut.

Di tempat lain, di Desa Andongsumawi Begawan Sidiwacana bersama putrinya, Dewi Manuhara membahas tentang keinginan cucunya, Dewi Pergiwa dan Pergiwati untuk mencari ayahnya, yakni Arjuna. “Manuhara, Pergiwa dan Pergiwati akan memulai perjalanan hidup mereka mulai dari sini. Mereka sudah menanyakan siapa ayah mereka. Beritahulah mereka.” Dewi Manuhara lalu berkata pada putrinya “anak-anakku,sudah saatnya kalian mengetahui dan mengabdi kepada ayah kalian. Ayah kalian yakni Permadi atau lebih sering dipanggil Arjuna. Dia salah satu dari pangeran Pandawa Lima. Sekarang tinggal di Madukara.”. Dewi Pergiwa dan Dewi Pergiwati paham dan berkata “ibunda, aku dan dinda Pergiwati mau pergi mengabdi kepada ayahanda. Restuilah kami, ibunda!  Eyang begawan!.”Dewi Manuhara merestui mereka. Tapi sebelum pergi,  Begawan Sidiwacana meminta muridnya, Janaloka untuk menghantarkan cucunya ke Amarta menemui ayah mereka.

Di Amarta, Raden Abimanyu dihadap ayah dan ibunya, Raden Arjuna dan Dewi Sumbadra. Mereka menerima kedatangan Patih Sucitra, Patih Surata, Raden Samba, dan Raden Partajumena. Mereka mengabarkan bahwa perjodohan Abimanyu telah berubah jadi sayembara. Dewi Siti Sundari yang meminta dibawakan patah manten sakembaran,berupa dua gadis bersaudara bukan kembar tapi berwajah mirip. Arjuna merasa Prabu Kresna berusaha mempermainkannya namun hal itu disabarkan sang permaisuri. Dulu ketika mereka akan menikah diuji begitu sekarang gantian putra mereka yang akan diuji. "Kak Kresna selalu seperti itu, kakanda kulup. Kayak gak tau tabiat kak Kresna saja. Ini adalah bentuk ujian yang harus di hadapi putra kita." " Benar juga, Dinda. Ngger anakku Abimanyu. Kali ini kau harus menyelesaikan ini. Ini pernikahanmu, ayah tidak bisa membantu banyak buatmu." Abimanyu merasa tugas ini akan berat. Maka ia meminta bantuan kakak sepupunya, Gatotkaca. Singkat cerita, Gatotkaca langsung menyatakan sanggup membantu dan berangkatlah mereka berdua mencari sarana sayembara itu.

Pergiwa dan Pergiwati telah pergi jauh meninggalkan desa Andongsumawi. Timbul niat jahat di hati Janaloka. Ia lalu memaksa cucu gurunya itu untuk melayaninya. “anak manis, sini layani pamanmu ini. Sudah lama paman ingin merasakan kehangatan ini” Pergiwa dan Pergiwati berontak. Seakan pertolongan dari dewa datang, tiba-tiba sebuah pohon tumbang menghalangi mereka berdua. Pergiwa segera menggandeng adiknya, Pergiwati dan segera lari menjauh dari kejaran murid kakeknya yang telah cabul itu. Tapi secepat apapun mereka berlari, Cantrik Janaloka dapat menyusul. Karena sudah kepepet, Pergiwa dan Pergiwati segera meninju dan memukul kepala si cantrik mesum itu dengan kendi yang ada di dekat sebuah pohon. Janaloka jatuh tersungkur namun ia lalu menarik selendang dua cucu gurunya itu. Lalu datang para Kurawa menghajar Janaloka habis-habisan sampai tewas. Pergiwa dan Pergiwati susah hati karena meski sudah berbuat kasar namun Janaloka ibarat paman sendiri. Kedua puteri Arjuna itu meminta para Kurawa memberikan pengebumian yang layak kepada Cantrik Janaloka. Para Kurawa menurutinya. Setelah prosesi pengebumian selesai, Pergiwa dan Pergiwati berterimakasih dengan bantuan para Kurawa. Patih Sangkuni lalu bertanya kepada dua gadis itu, apakah mereka saudara kembar. Pergiwa menjawab “tidak, ki sanak sekalian.” Lalu Dewi Pergiwati menjelaskan “aku dan yunda Pergiwa adalah kakak beradik beda usia satu tahun, namun sejak kecil diberi pakaian yang sama oleh ibu kami, sehingga kami terlihat seperti anak kembar.” Sengkuni menawarkan untuk ikut mereka ke Hastinapura demi menuntaskan sayembara yang harus dipenuhi Raden Lesmana Mandrakumara. Pergiwa bersikeras menolak karena mereka ingin ke Amarta menemui ayah mereka, Arjuna. Patih Sengkuni berkata nanti saja diantarkan yang penting ikut ke Hastinapura dulu. Pergiwa dan Pergiwati tidak mau maka para Kurawa memaksa mereka. Arya Dursasana bahkan menyeret mereka.

Pada saat itulah muncul Abimanyu dan Gatotkaca bersama para punakawan. Melihat dua perempuan diseret-seret oleh para Kurawa, Raden Gatotkaca segera maju membantu. Raden Gatotkaca pun mengamuk sambil terbang menendang dan menerjang dari udara. Para Kurawa kelabakan menghadapinya. Begitu Pergiwa dan Pergiwati berhasil diselamatkan, Gatotkaca, Abimanyu, dan para Punakawan segera pergi menjauh. Setelah menemukan tempat yang aman, Abimanyu bertanya "siapa ni sanak berdua? Berbahaya kalau kalian berjalan sendiri saja tanpa pengawal. Mau kemana kalian hendak pergi?" " Ampun Raden, saya Pergiwa dan ini adik saya, Pergiwati mau mencari ayah kami. Ayah kami namanya Arjuna, pangeran dari Amarta. Dulu namanya Permadi. Ibu kami bernama Dewi Manuhara." Abimanyu kaget karena ayah kedua gadis itu ternyata sama dengan ayahnya. Abimanyu bertanya pada Gatotkaca apakah itu benar, tapi malah Gatotkaca malah sibuk melamun memandangi kecantikan Pergiwa. Karena Gatotkaca tidak merespon, Abimanyu bertanya kepada kakek Semar kebenarannya. Kakek Semar menjelaskan “duh ndoro Abimanyu.....ceritanya begini.....sebelum menikahi ibumu, ndoro Sumbadra, ayahmu pernah menikahi Dewi Manuhara. Jadi kedua gadis ini ialah mbakyumu, ndoro.” Abimanyu seketika menyembah hormat kepada dua kakaknya. Abimanyu sangat gembira dan menjelaskan jati dirinya.

Pertemuan Pergiwa dan Pergiwati dengan rombongan Abimanyu
“ampuni atas ketidaksopananku ini, mbakyu Pergiwa!  mbakyu Pergiwati!... aku adik kalian. Aku Abimanyu, putra Arjuna dari ibu Dewi Sumbadra.” Pergiwa dan Pergiwati kaget namun juga gembira bisa bertemu saudara sedarah mereka. Tanpa basa-basi lagi Abimanyu segera mengajak kakak-kakaknya untuk pulang bersama ke Madukara. Ia juga mengajak Raden Gatotkaca untuk segera pulang, sebelum para Kurawa datang mengejar. Di saat mereka berjalan, Gatotkaca sendiri masih melamun memandang Pergiwa dengan tatapan terkesima sampai-sampai ia bolak-balik tersandung. Pergiwa sendiri tersipu malu. Abimanyu tertawa menyadari bahwa kedua kakaknya itu ternyata saling menyimpan rasa.

Arjuna dan para isteri dihadap Prabu Yudhistira, patih Tambakganggeng, Arya Wrekodara, dan arya Nakula dan Sadewa menerima kedatangan Abimanyu dan rombongan. Arjuna bertanya “Abimanyu, siapa dua gadis ini? Abimanyu menjelaskan semua.”ayahanda, ini mbakyu Pergiwa dan mbakyu Pergiwati, putri ayah dari ibu Dewi Manuhara.”  Arjuna terharu dengan kedatangan dua putrinya. Arjuna lalu segera memeluk kedua putrinya itu. Disuruhlah mereka istirahat dulu ditemankan Abimanyu untuk ke kaputren. Arjuna segera mengirimkan surat kepada Manuhara dan Begawan Sidiwacana untuk datang ke pernikahan Abimanyu. Selang tiga hari, Dewi Manuhara dan Begawan Sidiwacana datang. Mereka kini diboyong ke Madukara. Atas pertimbangan dari para Pandawa dan dewan istana, Begawan Sidiwacana diangkat sebagai kepala pujangga dan kasusastraan Negara Amarta. Semula Begawan Sidiwacana menolak namun karena permintaan Arjuna dan memang sejak berdiri Amarta belum punya guru pendeta bidang kasusastraan, maka ia bersedia mengemban amanat itu dengan syarat ia akan tetap tinggal di Andongsumawi. Setelah dirunding kembali, para Pnadawa setuju. Desa Andongsumawi juga diangkat derajatnya jadi tanah perdikan Andongsumawi dengan Dewi Pergiwa sebagai pemimpinnya. Penobatan Pergiwa ini disaksikan semua orang di keluarga Pandawa. Baru kali ini di jaman yang serba lelaki itu ada kadipaten yang dipimpin oleh seorang wanita.

Beberapa hari kemudian, rombongan dari Amarta datang ke Dwarawati. Terlihat Abimanyu berpakaian pengantin lengkap datang ke Dwarawati diapit dua kakak perempuannya, Pergiwa dan Pergiwati yang sudah dirias sebagai patah manten sakembaran. Di belakang mereka yakni ayah dan para ibunya, yakni Raden Arjuna, Dewi Sumbadra, Dewi Manuhara, Dewi Srikandhi, Niken Larasati, Endang Sulatri, dan Dewi Ratri. Lalu di belakangnya lagi keluarga Pandawa lainnya berpakaian serba bagus hendak menjemput menantu baru mereka. Sedangkan di pihak mempelai perempuan, Prabu Kresna bersama Dewi Radha, Dewi Rukmini, Dewi Setyaboma, Dewi Jembawati, dan Dewi Pertiwi berikut 16.005 istri sang prabu lainnya bepakaian serba indah gemerlapan. Dewi Siti Sundari juga sangat cantik penuh kemilau ditemani kakak adiknya yakni Prabu Boma Sitija, Bambang Partajumena, Raden Samba, Dewi Titisari, dan Dewi Prantawati. Semua putra-putri Prabu Kresna datang minus Bambang Gunadewa yang memang lebih suka menyepi lalu Arya Setyaka dan Arya Saranadewa juga tak bisa hadir karena masih pergi menyelesaikan pendidikan. Setelah serah terima seserahan nikah antar rombongan mempelai lelaki dan perempuan, di hadapan Prabu Kresna selaku wali nikah Siti Sundari, Abimanyu menyatakan siap menikahi Siti Sundari. Di tempat yang sama, datang Prabu Duryudhana, Dewi Banowati, Raden Lesmana Mandrakumara, Para Kuawa dan Prabu Baladewa. Raja Mandura yang juga bernama Balarama itu marah-marah kepada Abimanyu karena mendapat laporan dari para Kurawa kalau patah manten sakembaran untuk Lesmana Mandrakumara telah direbut paksa olehnya. Bahkan sekarang Raden Lesmana Mandrakumara ikut bersamanaya. Ia merengek-rengek minta dikembalikan patah manten sakembarannya. “paman Balarama, tolong rebutkan kembali patah manten sakembaranku itu.” Prabu Kresna bertanya pada Pergiwa dan Pergiwati selaku patah manten sakembaran “anakku, apa benar mereka asalnya milik Kurawa?” Pergiwa dan Pergiwati menjawab “tidak, paman prabu. Justru kami yang dipaksa oleh para Kurawa.” Prabu Baladewa lega mendengarnya malah ia merestui pernikahan Abimanyu dengan Siti Sundari.

Para Kurawa kecewa namun Lesmana Mandrakumara yang paling kecewa karena ia yang  gagal nikah. Ia pun melarikan Dewi Pergiwa dan Pergiwati namun dihalangi oleh Gatotkaca. “Gatotkaca, beraninya menghalangi kesenanaganku. Kalau aku tidak bisa menikahi Siti Sundari, maka Abimanyu tidak boleh bertemu lagi dengan kakak-kakaknya.” “Jemawa kau, Lesmana. Sini ku hajar kau!”  terjadilah perkelahian antara Lesmana Mandrakumara dengan Gatotkaca. Dasanya saja sebagai anak cengeng, begitu kena getok kepalanya oleh Gatotkaca, Lesmana Mandrakumara langsung kabur terbirit-birit meninggalkan Pergiwa dan Pergiwati. Prabu Duryudhana benar-benar malu begitu juga dewi Banowati. Maka mereka menyusul putra mereka yang kabur itu. Keributan berhasil diredam, Arya Wrekodara dan Arya Setyaki berhasil mengkondisikan suasana. Singkat cerita, pernikahan Abimanyu dan Siti Sundari akhirnya dapat dilanjutkan. Pestanya pun dilangsungkan dengan sangat meriah lengkap dengan tari-tarian dan musik indah mengalun merdu. Seruling pun ditiup Prabu Kresna menambah syahdunya pernikahan.

Sabtu, 18 Maret 2023

Wisanggeni Lair

 Halo semua pembaca setia, mumpung banyak ide bertebaran di kepala terpikir lagi untuk menulis. Kisah kali ini mengisahkan kelahiran cah ndugal, anak dari Arjuna dengan Dewi Dresanala yakni Bambang Wisanggeni. Kelahirannya sangat istimewa karena ketika dia baru lahir dan lalu dibuang, kesaktiannya bisa dibilang melebihi ayahnya, para pamannya, dan bahkan membuat para dewa ketar-ketir. Kisah ini juga mengisahkan kenakalan Dewasrani yang ingin merebut paksa Dewi Dresanala. Sumber kisah ini ialah dari blog albumkisahwayang.blogspot.com dan beberapa tulisan di grup Facebook yang saya sesuaikan dan ubah seperlunya.

Kisah bermula saat Batara Brahma menghadapi raja Setaketu, raja dari negara Daksinakrodha. Dia ingin meminang Dewi Dresanala, putri sang dewa api suci dengan cara paksa. Terjadilah perang antara para dewa dan pasukan raja Setaketu. Batara Brahma mendapat penglihatan bahawa yang bisa membantunya dalah Arjuna putra Pandhu. Ia segera memanggil Arjuna ke Kahyangan Daksinageni. Singkat cerita, Prabu Setaketu berhasil dihabisi dan Dewi Dresanala dinikahkan dengan Arjuna. Sekarang, Dewi Dresanala sedang hamil besar dan Arjuna sedang pergi dari Kahyangan Daksinageni untuk kembali ke Amarta. Hal ini diambil kesempatan oleh putra bungsu Batara Guru dan Batari Durga, Dewasrani dengan berbuat ulah lagi hendak merebut paksa Dewi Dresanala. “Dulu aku gagal menumbalkan Pandawa sekarang aku akan balas dendam dengan menikahi istrimu, Arjuna.” Dengan licik, Batara Guru dan Batari Durga dijampi-jampi dengan genjutsu (ilusi) gendam yang diciptakan Dewasrani sehingga mereka menuruti seluruh kemauan Dewasrani. Batara Guru menyuruh Batara Brahma untuk menceraikan Arjuna dengan Dresanala. Batara Brahma juga terkena gendam tersebut maka ia menuruti keinginan Dewasrani. Batara Narada sadar bahwa Dewasrani berbuat ulah lagi. Tak ingin terjadi hal yang sama dua kali, Batara Narada menolak ikut-ikutan dalam drama ini lagi. Karena penolakannya, Batara Guru akhirnya mengusir sang kamituwa sekaligus maharesi kahyangan itu dari istana Iswaraloka.

Dewi Dresanala dipaksa datang ke hadapan Dewasrani oleh Brahma. Dewi Dresanala tidak mau. “bapa Batara, aku tidak mau dengan Dewasrani. Bapa sudah tau bagaimana sifat Yang Mulia Dewasrani dan lagi aku sedang berbadan dua. Apa kata anakku nanti?” Batari Durga yang terkena pengaruh ilusi putranya terus merangsek memaksa Dresanala.”tidak bisa, putri Brahma...kau harus menikahi putraku Dewasrani.” Batari Durga terus memaksa Brahma untuk bertindak. Tidak ada pilihan lain, Batara Brahma dengan murka menendang kandungan putrinya. Dewi Dresanala pendarahan dan akhirnya lahir putra Arjuna sebelum waktunya. Dalam keadaan ingsan, Dewasrani membawa Dresanala ke istananya, istana Tunggulmalaya di kahyangan Dandangmangore. Batara Brahma serba salah harus diapakan cucunya itu. Dewasrani lalu menghasut Batara Brahma. “Batara Brahma, kau campakkan saja anak Dresanala ke kawah Candradimukha.” Batara Brahma hanya bisa menurut dan dengan berlinang air mata, ia langsung membuang cucunya sendiri ke tengah kawah api yang bergejolak itu. “Duh cucuku...maafkan kakekmu ini. Semoga kau selalu dilindungi Hyang Widhi.” Jabang bayi itu jatuh terjun bebas ke dasar kawah yang bergolak dan mulai melebur dengan lahar panas kawah. Di alam penantian, Prabu Pandhu dan Dewi Madrim tak kuasa melihat kekejaman yang tidak berperikemanusiaan dan perikedewaan ini. Mereka berdoa kepada Yang Maha Kuasa agar cucu mereka diselamatkan. “Ooo Hyang Agung...tolong selamatkan cucu kami. Dia tidak bersalah.” “Duh.....Hyang Agung selamatkan dia dan berikanlah kekuatan-Mu.” Lalu datang Batara Narada menentramkan hati Pandhu dan Madrim.

Wisanggeni Lair
Ia yang akan menyelamatkan cucu Pandhu itu. Batara Narada segera mencebur ke tengah kawah itu. Tanpa disadari Narada, berkat doa Pandhu dan Madrim, Hyang Widhi Wasa memercikkan sebagian kekuatan suci-Nya ke dasar kawah. Kekuatan itu bersatu ke dalam diri jabang bayi Arjuna dan Dresanala. Berkat kekuasaan-Nya, bayi itu tidak mati di dalam kawah, malah si bayi menyerap kekuatan api seluruh kawah. Secara ajaib, bayi putra Arjuna berkembang menjadi seorang pemuda belia dalam sekejap. Kawah Candradimuka tersebut kemudian menyala berkobar-kobar. Apinya membumbung tinggi hingga ke langit luas. Dari dalam kobaran api tersebut keluarlah seorang remaja tampan yang langsung melompat menerjang Batara Narada. Anak itu menganggap orang tua ini yang telah membuangnya ke kawah. Batara Narada berkata “cucuku, yang membuatmu seperti ini karena ulah dewa yang naik sapi bernama Batara Guru.” Putra Arjuna itu berhenti menghajar Batara Narada dan bertanya “Batara katakan....siapa sebenarnya aku?” Batara Narada berkata “cucuku, kau putra Dresanala dengan Arjuna. Karena itu kau akan kuberi nama Wisanggeni, yang bermakna racun api karena api kawah Candradimukha tak mampu membakarmu malah menghidupkanmu.” Lalu ia menyuruh anak itu untuk mencari Batara Guru dan menghajar siapapun yang tidak memberitahu dimana keberadaan ayah dan ibunya. Sebelum itu Batara Narada mengantarkan Wisanggeni kepada jiwa kakek dan neneknya, Prabu Pandhu Dewanata dan Dewi Madrim yang ada di alam penantian. Di sana Wisanggeni memberikan hormat tapi ia tidak bisa berbasa-basi sehingga Wisanggeni menghaturkan salamnya dengan bahasa sehari-hari, tidak dengan bahasa halus. Prabu Pandhu Dewanata dan Dewi Madrim memakluminya karena ia lahir dan langsung dewasa begitu saja tanpa mengenal basa-basi dunia. Pandhu dan Madrim lalu memberikan restu mereka kepada sang cucu.”cucuku Wisanggeni, segera carilah ayah ibumu. Tuntutlah keadilan yang telah direnggut darimu dan orang tuamu.” “benar, cucuku, kakek dan nenekmu akan mendoakanmu dari sini. Restu kami menyertaimu.” Maka berangkatlah Wisanggeni ke istana Iswaraloka.

Batara Brahma melapor pada Batara Guru bahwa ia sudah menyerahkan Dresanala kepada Dewasrani lalu ia keluar kembali ke Daksinageni. Batara Guru yang masih terkena sihir putranya merasa senang karena Dewasrani berhasil mendapat apa yang ia inginkan. Mendadak diluar istana Iswaraloka terjadi keributan. Para dewa termasuk Batara Brahma segera mengatasi pengacau itu. Tapi tak lama kemudian para dema masuk lagi dengan keadaan babak belur mengatakan ada anak remaja sakti mandraguna menghajar mereka. Ia mencari orangtuanya dan mencari Batara Guru. Tanpa diduga anak itu berhasil masuk ke Iswaraloka. Batara Guru kaget lalu menanyai anak itu siapa namanya dan apa keinginannya "hei anak muda! Siapa kamu? Dan apa keinginanmu?" "aku Wisanggeni, putra Arjuna dan Dresanala, puteri Brahma. Kau kah Batara Guru itu? Dimana ayah dan ibuku?! Katakan cepat!" "Hei anak muda, mana unggah-ungguhmu?! Kau sedang bicara dengan dewa. Lagipula aku tidak tahu dimana mereka berada" "bohong! Kau dusta! Kau sebenarnya tahu...kau bahkan memerintahkan Brahma kakekku untuk memisahkanku dengan mereka lalu membunuhku! Sekarang rasakan api kemarahanku!" Batara Guru diserang Wisanggeni dari segala arah. Batara Guru menyerang juga namun serangan itu berhasil dimentahkan Wisanggeni. Sang Otipati bahkan babak belur karenanya. Batara Guru segera melarikan diri dari kahyangan. Namun kemanapun ia pergi selalu ada Wisanggeni dibelakangnya. Ketika batara Guru bersembunyi di bawah bumi, Wisanggeni bisa masuk ke dalam tanah. Ketika sembunyi di dasar samudera, Wisanggeni bisa menyelam jauh dan menyusulnya bahkan  ketika bersembunyi di balik awan, Wisanggeni mampu terbang dan menghisap awan-awan itu sampai habis semua awan itu. Maka ia memutuskan ke Amarta menemui Arjuna, mungkin ia bisa menenangkan anak itu.

Sementara itu di kerajaan Amarta, di balairung keraton Indraprastha, prabu Yudhistira dihadap Arya Wrekodara beserta ketiga putranya yang kebetulan bisa kumpul bareng, si kembar Arya Nakula dan Sadewa, juga Prabu Kresna menerima kedatangan sang adik, Arjuna dan kakek Lurah Semar. Arjuna murung sejak pulang membantu Batara Brahma di kahyangan. “Parta, ada apa? kau sejak datang kembali ke Amarta hanya murung dan merengut...apa kau menyimpan beban dalam hatimu?” Arjuna berkata “aku mengkhawatirkan nasib istriku, Dresanala dan jabang bayiku di kahyangan. Aku merasa sesuatu yang tidak baik telah terjadi padanya....” Belum selesai Arjuna bercerita, datanglah Batara Guru ke keraton. Semua orang segera menghormat sembah. Batara Guru berkata ia ingin bersembunyi di Amarta dari anak remaja sakti mandraguna bernama Wisanggeni. Belum juga habis lelah sang Otipati, anak yang dimaksud sudah berada di luar keraton menghajar semua prajurit juga patih Tambakganggeng menanyakan dimana Batara Guru. Lalu Arya Wrekodara ditemani ketiga putranya yakni Raden Antareja, Raden Gatotkaca, dan Raden Antasena keluar dari istana Indraprastha. Ia berusaha melerai kericuhan itu namun justru Arya Wrekodara malah ikut tersulut emosi dan bertarung dengan Wisanggeni. “anak ini bikin aku kesal..oiii...lawan aku, Wrekodara yang perkasa.” Terjadilah perkelahian sengit. Arya Wrekodara mulai kewalahan dan mulai Antareja dan Gatotkaca membantu ayahnya. Namun gabungan mereka bertiga bukan tandingannya sehingga mereka juga babak belur. Arjuna lalu turun tangan maka ia menembakkan panah-panahnya. Wisanggeni dengan kesaktiannya berhasil menangkis panah-panah itu malah ia lalu menarik busurnya dan berbalik menembakkan panah-panah Arjuna itu sehingga terjadi hujan panah yang mengurung semua orang kecuali Arjuna sendiri. Arjuna lalu merapal ajian panah Sahasra Sirsha. Wisanggeni lalu mengheningkan cipta dan tanpa disadari semua orang, Wisanggeni juga mampu merapal ajian panah Sahasra Sirsha. Maka keluarlah panah inti api. Karena kedua ajian ini dipatrapkan secara bersamaan, seisi halaman istana Indraprastha ikut terbakar. Para Pandawa, Batara Guru, kakek Semar, dan Prabu Kresna ketar-ketir. Arjuna dan Wisanggeni mulai menembakkan panah-panah api itu dan saling membelah menjadi ribuan panah nuklir di angkasa dan hendak menyerang satu sama lain.

Batara Guru khawatir kalau mereka sama-sama menembakan panah Sirsha itu, maka langit dan bumi bisa terbakar. Prabu Kresna segera melemparkan Cakra Widaksana miliknya namun senjata itu justru melebur. “maafkan aku, Mahadewa. Senjata Cakraku pun tidak mampu menahan ajian Sahasra Sirsha. Jika sudah dipatrapkan, senjata apapun tidak bisa menghentikan bahkan senjata tiga dewa.” Batara Guru semakin takut dengan kehancuran dunia yang akan terjadi. Tanpa disangka, putra ketiga Wrekodara yakni Antasena melerai dengan membuat ombak pasang. Gelombang air itu itu lalu menyapu semua api yang timbul dari panah-panah Arjuna dan Wisanggeni.

Antasena melerai Arjuna dan Wisanggeni
Setelah kebakaran di Indraprastha padam, Antasena segera mengarahkan airnya ke arah panah-panah yang dilontarkan Arjuna dan Wisanggeni. Seketika panah-panah api abadi itu padam. Ajian Sahasra Sirsha gagal dipatrapkan. Walau lugu, Antasena lalu berkata dengan lantang “paman Jlampong! dimas yang di sana!...hentikan!!....kalau ada masalah bisa dibicarakan baik-baik. Kebodohan kalian bisa menghancurkan jagat!” Lalu turunlah Batara Narada dari angkasa melerai Arjuna dan Wisanggeni. Batara Narada mengatakan pada Wisanggeni yang diajaknya bertarung panah tadi itulah ayahnya. Dialah Arjuna yang dicari-carinya dan keempat orang tua itulah para pamannya. Arjuna juga diberitahunya bahwa anak muda bernama Wisanggeni itu putranya dengan Dresanala, yang karena arogansi Batara Guru, ia hendak dibunuh oleh batara Brahma namun berhasil diselamatkan. Wisanggeni dengan perasaan haru memeluk ayahnya. Arjuna bahagia karena anaknya sudah lahir dan menjadi remaja dalam sekejap. Kakek Semar lalu menasehati adiknya itu “Duhh blegedag gedug hemelll....Manikmaya, jangan terlalu menuruti keinginan Dewasrani yang aneh-aneh. Menuruti keinginan anak boleh tapi jangan sampai merusak pagar hayu orang lain.” Namun Batara Guru belum sepenuhnya sadar dari kekuatan sihir Dewasrani. Maka Batara Narada dan Kakek Semar mematahkan mantera sihir yang memengaruhi pemikiran sang Mahadewa. Batara Guru pun sadar dan mengakui kesalahannya. Ia meminta maaf atas kekacauan yang ia dan putranya buat. Sebagai gantinya, Batara Guru memberikan Arjuna izin untuk menjemput isterinya yang diculik Dewasrani itu.

Di kahyangan Dandangmangore di keraton Tunggulmalaya, Dewasrani berusaha merayu Dresanala namun Dresanala tak tergoyahkan. Maka dengan kekuatan sihir ilusinya ia mengubah wujudnya sebagai Arjuna dan merayunya dalam ujud itu. Dresanala hampir saja termakan rayuannya namun datanglah dua orang menghentikannya. “ibu! Jangan dekati dia.” Dresanala spontan mendorong Arjuna jadi-jadian itu. Putri Brahma itu lalu disadarkan oleh putranya, Wisanggeni. “ibu, aku putramu. Putra dari Arjuna yang telah digugurkan paksa oleh kakek Brahma.” Dewi Dresanala memeluk haru putranya itu. Dewasrani terkejut dengan kedatangan Arjuna dan seorang anak remaja.

Arjuna menjemput Dresanala dari Dewasrani
Sang dewa kenakalan dan kekacauan itu tak terima karena Arjuna datang hendak merebut calon istrinya. “beraninya kau mengganggu calon istriku. Aku seorang anak dewa tidak terima dengan hal ini.” Maka terjadilah pertarungan Arjuna melawan Dewasrani. Jelas saja untuk perbedaan kekuatan, Dewasrani jauh lebih unggul. Lalu Wisanggeni maju membantu sang ayah. Tanpa tedheng aling-aling, sang racun api menghajar penculik ibunya. Dewasrani berhasil dibuat babak belur karena ia kalah sakti dengan anak Arjuna itu. Batari Durga yang masih di bawah pengaruh sihir Dewasrani hendak membunuh Wisanggeni namun ia diinsafkan Semar dengan kentut saktinya. Maka ia tersadar bahwa ia disihir anaknya sendiri. “maafkan aku, Arjuna. Karena kasih sayang butaku, aku sampai terpengaruh Dewasrani. Aku berjanji akan menasehatinya lagi lebih keras dan setelah ini tidak peduli lagi dengan apa yang diinginkan Dewasrani.” Arjuna menerima permohonan maaf itu. Sebagai gantinya, Batari Durga sekali lagi menyatukan Arjuna dengan Dresanala. Wisanggeni bahagia karena ayah dan ibunya telah bersatu kembali. Wisanggeni akan membuat istana baru di hutan Wahanageni. Setelah membantu sang ayah, Wisanggeni berkata ingin hidup mandiri. Oleh saran ayahnya, Wisanggeni memili Wahanageni untuk dijadikan istana untuk putranya. Dengan bantuan Batara Wiswakarma, istana itu dalam sekejap sudah jadi lengkap dengan ornamen yang serba merah dan kuning, melambangkan sifat api yang berkobar-kobar. Istana pun rampung dan pada hari yang baik, Wisanggeni dilantik sebagai pemimpin istana itu dengan para Pandawa, prabu Kresna, dan para dewa sebagai saksinya. Oleh Wisanggeni, istana itu diberinama Kadipaten Daksinapati dan ia bersumpah setia akan selalu membela kebenaran dan kejujuran. Siapapun akan dibelanya jika dia memang di pihak yang benar.

 

Kamis, 16 Maret 2023

Wahyu Makutharama

 Hai semua pembaca yang budiman.... Kali ini, penulis akan mengisahkan tentang Begawan Keshawasidhi yang merupakan prabu Kresna mewejangkan isi dari ajaran Astabrata kepada Begawan Wibatsuh yang tak lain adalah Arjuna. Karena Ajaran Astabrata ini awalnya diwejangkan oleh Prabu Sri Rama, avatar Batara Wisnu di jaman Tirtayuga, sebelum jaman Mahabarata (Duparayuga), maka ajaran Astabrata ini juga disebut Wahyu Makutharama. Sumber kisah ini saya olah dari blog albumkisahwayang.blogpot.com dan caritawayang.blogspot.com dengan pengubahan seperlunya.

Alkisah, tanda-tanda alam mulai tidak normal. Hatinapura dan Amarta mulai diterjang berbagai kejadian alam ajaib seperti angin berhembus panas dingin bergantian, hujan salah musim, bunga salah waktu mekar dan berbagai gejolak alam lainnya. Menurut pengamatan Begawan Dorna dan Maharesi Bhisma akan turun sebuah wahyu bernama Makutharama di Kutharunggu. Prabu Duryudhana ingin menggapai Wahyu itu tapi tidak bisa meninggalkan istana barang sesaat. “kakang Prabu, aku minta kepadamu dapatkanlah wahyu Makutharama itu untukku.” Ia mengutus ipar sekaligus sahabatnya, Adipati Karna untuk mendapatkan wahyu itu. “baiklah, adhi prabu Duryudhana. Titahmu adalah perintah bagiku.” Berangkatlah Adipati Karna diiringi Patih Sengkuni dan beberapa Kurawa ke gunung Kutharunnggu.

Sementara itu, di Kutharunggu, Begawan Kesawasidhi sedang duduk santai menunggu dua orang tamu. Sang Begawan juga kala itu dihadap para Kadang Tunggal Bayu, yakni Resi Hanoman Mayangkara, Begawan Maenaka, Naga Kowara, Garuda Mahambira, Macan Palguna, Wil Jajagwreka, dan Leman Situbandha. Mereka sedang belajar tentang berbagai ilmu. Beberapa saaat kemudian, Datanglah Adipati Karna meminta wahyu Makutharama yang katanya turun di Kutharunggu ini. Begawan Kesawasidhi berkata “ampun kisanak. Wahyu itu tidak ada di sini. Dia akan turun dengan sendirinya dan memilih siapa yang pantas dapat wahyu Makutharama.” Adipati Karna dan para Kurawa marah. Mereka menyerang Kutharunggu. Para Kadang Tunggal Bayu membantu Begawan Kesawasidhi. Adipati Karna menembakkan panah Kontawijaya namun dapat ditangkis lalu ditangkap Hanoman. Melihat pusaka andalannya ditangkap lawan, Adipati Karna merasa lemas dan putus asa. Ia pun menarik mundur pasukan Hastinapura dan mengajak mereka untuk mengepung kaki Gunung Kutharunggu. Begawan Kesawasidhi berkata “Hanoman, kau telah melakukan kesalahan. Karena menahan panah sakti milik adipati Karna, kemungkinan moksa untukmu harus tertunda seratus tahun lagi.” Resi Hanoman hanya bisa pasrah. Ia menitipkan panah Kontawijaya kepada sang Begawan. Biar nanti ada orang yang mengembalikannya.

Di tempat lain, Arya Wrekodara melewati pertapaan Cindemalawa menuju Kutharunggu. Katanya ia akan bertemu seseorang disana. Ketika melewati candi pertapaan, ia mendengar ada seseorang memanggilnya. Sang Bhimasena mendekat ke asal suara itu dan rupanya, orang yang memanggilnya ialah Begawan Wibisana, adik bungsu Prabu Rahwana, raja Alengka. Ia dikaruniai usia panjang. Arya Wrekodara kaget karena bukan hanya Hanoman dan Jembawan saja yang panjang umur.”Gusti Akarya Jagat....welah dalah....bukannya kau Begawan Wibisana. Jika benar, terima salam ku. Dunia ternyata sempit. Bukan cuma kakang Hanoman dan paman Jembawan saja yang masih hidup sampai jaman ini.” Begawan Wibisana bercerita “benar, Bhima cucuku. setelah turun takhta dan sudah lima generasiku berganti, aku masih hidup. Karena sentiasa terkenang hati akan perang dan nasib kakandaku, aku menuju ke Jawadwipa ini untuk mencapai keheningan diri. Di tengah perjalananku, aku bertemu dengan berbagai wujud jiwa. Ada yang bergentayangan belum mendapatkan damai sejati sampai saat ini. Ada pula yang bergentayangan karena punya masalah di masa lalu.” Arya Wrekodara menghormat pada sahabat Prabu Sri Rama itu. Lalu sang begawan mengatakan “Bhima cucuku, aku akan memberikanmu satu permintaan. Kakangku, kakang Kumbakarna ingin mengabdi pada kebenaran. Jika kau tidak kebareatan, bolehkah dia ikut denganmu?” Arya Wrekodara berkata “hah? gusti Kumbakarna belum tenang, eyang begawan? Jika benar demikian, aku ingin bertemu dengannya langsung.” Lalu muncul seberkas asap yang membentuk wajah manusia berbadan besar. Itu lah wujud dari jiwa Kumbakarna. Kumbakarna berkata pada Wrekodara “Bhima cucuku. Aku ingin mengabdi kepadamu. Kita akan bisa berjuang bersama-sama membela dharma dan mencapai kedamaian sejati.” Arya Wrekodara tidak tahu caranya tapi jika ingin ikut bersamanya tidak masalah. “jika itu keinginanmu, aku tidak keberatan.” Maka pergilah Arya Wrekodara diikuti jiwa Arya Kumbakarna yang semakin jauh terlihat semakin menipis. Setelah perginya kedua orang itu, Begawan Wibisana melepaskan segala hal dan kemelekatan duniawi. Perlahan tubuh Begawan Wibisana memudar lalu menghilang menjadi debu.

Sementara itu, di balik kegelapan dan sunyinya malam, tanpa sepengetahuan pasukan Kurawa dan Adipati Karna ada seorang petapa muda bernama Begawan Wibatsuh. Ia ingin mendapatkan wahyu Makutharama juga. Ia diiringi oleh empat orang Putut yakni Putut Naya, Putut Nala, Putut Wala, dan Putut Asta. Sepertinya dengan aji Panglimunan, Begawan Wibatsuh datang secara diam-diam tanpa ketahuan dan berhasil memasuki pertapaan Kutharunggu. Begawan Wibatsuh memperkenalkan dirinya “ampun begawan, aku Wibatsuh dan ini pamanku Naya, paman Nala, paman Wala, dan paman Asta. Kedatangan kami untuk mendengar isi wahyu Makutharama. kami siap untuk menerima dan menerapkan isi wahyu Makutharama.” Sejenak kemudian, sang begawan menjentikkan jarinya dan klak, seketika waktu berjalan amat sangat pelahan. Semua yang di sekitar mereka serasa melambat bahkan berhenti bergerak kecuali Begawan Keshawasidhi, Begawan Wibatsuh, dan empat pengiringnya.

Wahyu Makutharama
Bagawan Kesawasidhi pun memulai pengajarannya. Pertama, sebagai seorang pemimpin, Begawan Wibatsuh hendaknya meneladani watak matahari. Matahari memancarkan panas dan cahaya menerangi bumi, menjadi sumber kehidupan dan sebaliknya, panas dari cahaya matahari menghisap air laut secara perlahan-lahan tanpa terasa. Hendaknya seorang pemimpin harus bisa menjadi sumber semangat bagi rakyatnya juga tidak membebankan rakyatnya dengan pajak dan jizyah yang berlebihan. Kedua, Begawan Wibatsuh harus meneladani watak rembulan yang meneduhkan dan memberi cahaya di waktu malam. Pemimpin yang baik haruslah menjadi penghiburan di kala rakyat tengah kesusahan. Wujud rembulan yang berubah sesuai waktu bermakna harus bisa menempatkan diri kapan harus bertindak begini kapan bertindak begitu. Begitu juga dalam menentukan kebijakan. Boleh jika kebijakan diubah tapi harus mengikuti perkembangan negara dan jangan seenaknya diubah mengikuti suasana hati.

Wejangan ketiga yaitu Begawan Wibatsuh juga harus meneladani watak bintang. Bintang yang selalu tetap keadaannya dan jadi pedoman bagi penentu waktu. Bermakna pemimpin harus teguh pendirian dan menjadi pedoman bagi rakyatnya. Yang keempat yakni watak Bumi. Bumi itu kokoh dan kuat namun juga suci dan mampu menumbuhkan apapun yang ada diatasnya. Jika tanam padi maka tumbuh padi, tapi jika menanam ilalang maka tumbuh ilalang pula. Pemimpin yang baik haruslah adil dan kokoh dalam memberikan keadilan, tidak mau disogok atau disuap oleh uang dan harta. Wejangan kelima yakni Begawan Wibatsuh harus meneladani watak langit. Langit bisa bisa cerah bisa mendung. Jika matahari terlalu menyengat maka langit akan menutupi matahari dengan awan mendung. Langit juga akan menurunkan hujan dan salju yang menjadi sumber air. Maknanya, pemimpin harus bisa menempatkan marwah, wibawa, dan ketegasan, bukan sekadar pasang wajah garang dan beringas. Dibalik ketegasan itu juga harus bisa memberikan manfaat dan solusi atas setiap masalah.

Wejangan Keenam yakni meneladani watak angin. Angin bisa memasuki segala ruang kosong dan menyebarkan awan mendung, hujan dan salju ke segala penjuru. Pemimpin haruslah tidak membeda-bedakan rakyatnya. Seorang pemimpin harus bisa merangkul semua rakyatnya dari berbagai kalangan dan berbagai lapisan masyarakat, walau rakyatnya itu suka atau tidak suka. Dengan selalu berada dekat dengan rakyat, maka kemakmuran negara akan lebih mudah untuk dicapai. Selain itu, pemimpin harus pula bisa menyebarkan hasil penarikan pajak untuk biaya pembangunan secara merata. Jangan pilih kasih. Wejangan ketujuh yakni meneladani watak api. Api yang panas namun bisa menjadi pelita. Api juga bisa membabat hutan yang kering tidak peduli apapun yang ada di lintasannya. Maknanya, keadilan harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Ada istilah api kecil jadi kawan, api besar jadi lawan. Begawan Wibatsuh harus dapat meneladani sifat api dalam upaya menegakkan hukum negara. Siapa pun yang bersalah harus dihukum sesuai ketentuan yang berlaku. Tentunya ini demi kemakmuran rakyat pula. Yang dimaksud dengan api besar ialah, seorang pemimpin harus bersikap jahat dan tegas terhadap serangan pihak luar yang mengancam kedamaian negara, baik itu musuh dari luar negara ataupun dari dalam negara itu sendiri. Wejangan terakhir yakni harus meneladani watak air. Air yang menetes sedikit demi sedikit mampu melubangi batu karang yang keras. Selain itu, air jika sudah berkumpul akan menjadi samudera luas yang menampung semua benda yang masuk kepadanya. Maknanya pemimpin haruslah sabar dan tidak grusa-grusu dalam mengambil keputusan dan menetapkan kebijakan. Pemimpin juga harus memiliki hati yang lêgåwå dan bisa menampung segala usulan dan pendapat rakyat. Begitulah Begawan Kesawasidhi mewejangkan isi wahyu Makutharama kepada Begawan Wibatsuh. Isi wejangan wahyu itu sebenarnya ajaran Astabrata yang pernah diberikan Sri Rama kepada adiknya, Prabu Barata saat menjadi raja Ayodya dan juga kepada Gunawan Wibisana saat menjadi raja Alengka.

Begitu selesai memberikan memberikan isi wejangan, Begawan Keshawasidhi menjentikkan jarinya sekali lagi. Waktu yang tadinya melambat pun kembali ke normal. Ia lalu memberikan panah Kontawijaya kepada Begawan Wibatsuh. “wibatsuh, tolong kembalikan panah ini kepada si empunya senjata. Dia ada di bawah bukit sana.” Sang begawan muda kemudian menyerahkan panah Kontawijaya kepada Adipati Karna. Karna menerima senjatanya kembali, kemudian berkata “ terima kasih karena begawan sudah mengembalikan senjataku kembali. Begawan, apa kau telah mendapatkan Wahyu Makutharama?” Begawan Wibatsuh berkata “sudah, tuanku Adipati. Aku sudah mendapatkannya.” Begawan Wibatsuh menjelaskan intisari makna wahyu itu, dan berkata bahwa dirinya yang memilikinya. Adipati Karna ingin merebut wahyu tersebut, maka terjadilah perkelahian di antara mereka. Karna merasa tidak mampu lalu mengundurkan diri. Tak lama kemudian datang Arya Wrekodara datang diiringi dengan jiwa Kumbakarna dibelakangnya bertanya siapa yang ada di Kutharunggu. Namun belumlah Begawan Wibatsuh menjawab, para Kurawa lagi-lagi membuat kacau padepokan itu. Ketika itu Arya Wrekodara terdesak karena tempatnya tidak menguntungkan. Maka ia meminta Arya Kumbakarna membantunya kepadanya. Kumbakarna berubah sebagai cahaya terang dan merasuk ke paha kiri Wrekodara. Dengan tambahan kekuatan dari Kumbakarna, Arya Wrekodara mampu membuat para Kurawa kocar-kacir. Begawan Wibatsuh kembali ke pertapaan Kutharunggu. Wrekodara telah datang menghadap Bagawan Kesawasidhi. Terjadilah pembicaran serius di sana. Arya Wrekodara paham maksudnya.

Tiba-tiba datang lagi gangguan. Ada dua kesatria tidak dikenal bernama Bambang Sintawaka dan Bambang Gandasukma. Mereka ingin bertemu Bagawan Kesawasidhi dan Begawan Wibatsuh. Hanoman dan para kadang Tuggal Bayu menghalangi karena dua begawan itu sedang ada tamu. Bambang Sintawaka dan Bambang Gandasukma tidak mau tahu. Akhirnya terjadi perang tanding. Para Kadang Tunggal Bayu tidak berkenan melawan mereka lalu memanggil dua begawan itu. “ampun tuan. Ada dua orang tidak dikenal hendak merusuh lagi di sini.”Arya Wrekodara ingin melawan mereka namun dihalangi oleh Begawan Wibatsuh. “biar kami saja yang melawan mereka.” Turunlah kedua begawan itu ke tempat dua orang tidak dikenal itu. Terjadilah pertarungan sengit. Bagawan Kesawasidhi melawan Bambang Sintawaka, Begawan Wibatsuh melawan Bambang Gandasukma. Masing-masing dari mereka melepaskan panah bermantra jampi. Dan seketika semua kembali ke wujud asal. Bagawan Kesawasidhi berubah kembali sebagai Kresna. Begawan Wibatsuh juga badar sebagai Arjuna. Bambang Sintawaka menjadi Sumbadra, dan Bambang Gandasukma menjadi Larasati. Arjuna kaget dengan kedatangan dua istrinya itu. Ia bertanya kenapa mereka harus menyamar dan menyerang mereka segala. Dewi Sumbadra berkata “kami mencari kakanda kulup. Sudah lama kakanda tidak pulang.” Lalu dewi Larasati menyambung “kami bisa berubah jadi lelaki karena pertolongan gaib dari Batara Narada.” Apa-apapun, Arjuna bahagia bisa kumpul kembali dengan istrinya yang begitu mengkhawatirkannya. Mereka senang dapat bertemu dan bersatu kembali, kemudian kembali ke negara Amarta.

 

Selasa, 07 Maret 2023

Antasena Takon Bapa

Hai-hai, pembaca dan penikmat kisah wayang sekalian. Dalam tulisan kali ini, penulis akan mengisahkan kisah kelahiran Antasena, putra ketiga Arya Wrekodara dengan Dewi Urangayu sdan perjalanannya dalam mencari bapaknya. Dikisahkan pula pernikahan pertama diantara para putra Pandawa yakni pernikahan Antareja dengan Dewi Ganggi. Sumber kisah ini berasal dari blog albumkisahwayang.blogspot.com, https://id.wikipedia.org/wiki/Antasena, dan beberapa blog pewayangan yang ada di internet.

Pada suatu ketika, Batara Baruna mendatangi kediaman saudaranya, Batara Mintuna. Kedatangannya disambut sang saudara kembar. Batara Mintuna bertanya “kakang, kenapa datang dalam keadaan tergopoh-gopoh?” “adhiku, Mintuna. Kahyanganku sedang gawat. kahyangan Dasarsamodra diserang raja monster. Namanya Dewakintaka.” Belum sempat Batara Baruna menyelasaikan cerita, Prabu Dewakintaka datang mengumumkan perang dan akan menguasai seluruh perairan di seluruh Jawadwipa. Ia menyerang Kahyangan Parangnarmada, kediaman Batara Mintuna. Pasukan monster ikan memberikan serangan telak kepada para dewa air itu. Batara Baruna, Batara Mintuna, beserta putri Mintuna yakni Urangayu mengungsi ke kahyangan atas. Ketika itu, Dewi Urangayu masih merawat Antasena, buah pernikahannya dengan Arya Wrekodara. Putra Bhimasena yang satu ini di luar kewajaran. Antasena baru saja menginjak usia tujuh tahun tapi anehnya ia masih terjebak dalam tubuh bayi baru lahir.

Setelah menaklukan kahyangan dasar laut dan sungai, Prabu Dewakintaka berniat menyerang kahyangan atas. Diumumkan lah perang. Para dewa dan pasukan bidadara-bidadari dipimpin batara Indra, batara Kumara (Kartikeya) Batara Sambu, batara Bayu, dan para putra Semar segera turun ke tangan. Perang di atas samudera terjadi. Ombak bersabung, badai berputar. Namun bagaimanapun mereka menyerang, Prabu Dewakintaka tak terkalahkan dikarenakan kulitnya yang terlindung sisik udang yang kebal. Sang raja monster itu malah jemawa “ahahaha...para dewa tak akan mampu menyerang ku. Kulitku ini keras macam berlian.” Prabu Dewakintaka menyerang balik para dewa. Air dan ombak raksasa pun muntab menyapu para bidadara-bidadari. Para dewa juga ikut terdesak. Pasukan dari kahyangan segera mundur. Lawang Kori Selamatangkep ditutup rapat-rapat. Meskipun demikian

Para dewa dan pasukan kahyangan segera melapor kepada Batara Guru. “ampun Gusti batara, kami para bidadara-bidadari kewalahan dengan raja monster itu. Kulitnya sangat keras tidak bisa ditembus senjata apapun.” Batara Guru segera bersemedi dan membuka prediksinya dari mata ketiganya. Batara Guru lalu bangun dan berkata “ Aku sudah melihat dari Trinetra milikku, yang bisa mengalahkan Dewakintaka hanyalah putra Wrekodara dengan Urangayu.”  Batraa Mintuna dan Baruna kaget mendengarnya begitu juga dengan Dewi Urangayu. Tapi kemudian, Dewi Urangayu berkata “Aku tidak sangka kalau ini harus terjadi, tapi kalau sudah begitu takdirnya, aku bisa apa. Mungkin putraku ini akan mendapatkan jalannya. Gusti Narada, bawa Antasena ke medan perang.” Maka dengan berat hati, Dewi Urangayu memberikan bayinya untuk jadi jago dewata. Batara Narada lalu keluar membawa seorang bayi “hei Dewakintaka, orang ini yang akan mengalahkanmu.” Prabu Dewakintaka kaget dan tertawa-tawa “Batara Narada, kau datang bawa bayi sebagai jago dewata? Jagat tambah edan saja. Para dewa sedang buat guyonan......hahahahahahahaha.” Batara narada lalu berkata “jangan jemawa, Dewakintaka. Dulu pernah ada yang bilang begitu dan endingnya, dia habis juga oleh jago dewata seperti ini.” Sang raja monster ikan itu menyerang batara Narada. Antasena lepas dari gendongan dan mendarat di tangan Dewakintaka. Sang raja monster bersisik udang itu memukulnya anak bayi itu namun bukannya mati, kulit bayi Antasena benar-benar kebal dipukul berkali-kali namun yang terjadi Antasena malah semakin kuat dan bertukar wujud jadi anak kecil yang sudah bisa berjalan dan berlari. Tak cukup dipukul, Antasena dibanting-banting dan disepak. Tapi keajaiban kembali terjadi, bocah Antasena semakin tangguh saja bahkan ia menjadi pria dewasa berusia 20 tahunan dalam sekejap. “Hei Dewakintaka, sudah habis masamu untuk menyerangku. Sekarang rasakan seranganku” gantian Antasena yang menyerang. Pukulan dan serangan Antasena membuat Prabu Dewakintaka lari terbirit-birit. Tapi kemanapun ia lari, Antasena selalu bisa menemukannya. Lari ke bawah tanah, Antasena bisa ambles bumi. Lari ke angkasa, ia tersusul dengan terbang dan perhentian terakhirnya, Prabu Dewakintaka lari ke dasar palung laut paling dalam.

Antasena mengalahkan Dewakintaka
Tapi keputusan itu justru blunder buat Dewakintaka. Antasena justru semakin mudah menemukannya. Antasena mampu menyelam jauh ke dasar laut. Dengan kekuatan air, Antasena menciptakan pusaran arus dan membuat Prabu Dewakintaka terjebak arus laut dan terombang-ambing. Sebagai serangan terakhir, Antasena melakukan krodha, bertukar lah wujudnya sebagai manusia berperisai sisik dan bersungut udang raksasa. Dengan kekuatan sungut udangnya, Prabu Dewakintaka disetrumnya sampai tak berbentuk lagi tubuhnya. Musuh Dewata telah ditewaskan. Ketentraman dunia bawah air kembali tercipta.

Setelah peristiwa itu, Batara Baruna dan Mintuna bisa kembali ke kediaman masing-masing. Raden Antasena kini tumbuh dewasa dalam sekejap namun ia tidak pernah bisa berbahasa halus kepada siapapun termasuk kepada para dewa, mirip seperti ayahnya. Oleh karena itu, para dewa menjulukinya cah ndugal kewarisan. Suatu ketika, Antasena penasaran dengan ayahnya. Sebagai seorang anak, tentunya ia ingin bertemu dengan ayah kandungnya. “Ibu, selama ini aku berwujud bayi, tapi aku selalu mendengar percakapan ibu dan simbah. Yang ta’ dengar dari ibu dan simbah bapakku ialah Arya Wrekodara dari kadipaten Jodipati di Kerajaan Amarta. Apa benar begitu?” Dewi Urangayu membenarkan hal itu “benar ngger...bapakmu namanya Wrekodara atau Bhima, salah satu kesatria Pandawa.” Antasena pun mohon pamit ingin bertemu dengan kesatria Pandawa nomor dua tersebut “ibu, izinkan aku ketemu bapak. Aku kepengen ngabdi padanya.”Dewi Urangayu mengizinkan putranya untuk pergi.

Sementara itu, Kerajaan Amarta gempar. Para Pandawa dalam masalah. Prabu Yudhistira, Arya Wrekodara, Arjuna, Nakula dan Sadewa tiba-tiba lenyap. Lima Pandawa ini bagaikan menghilang begitu saja, tak ada jejak apapun yang ditinggalkan. Isteri Prabu Yudhistira, Dewi Drupadi jadi khawatir akan keselamtan suami dan empat iparnya. Hal yang sama pun dirasakan Dewi Arimbi, Dewi Sumbadra dan para madunya, begitu juga Dewi Suyati dan Dewi Rasawulan, istri Nakula dan Sadewa. Prabu Kresna segera menuju ke Amarta dan mengumpulkan putra Pandawa yang masih ada di sana. Dipanggil juga Antareja yang masih di Yasarata. “kanda Gowinda...ku harap kau tahu apa yang sedang terjadi sekarang ini.” “benar sahabatku, Drupadi. Aku sudah melihatnya dari Kaca Lopian. Pandawa disekap dalam Konggedah milik raja Ganggatrimuka, sekutu Kurawa dari Tirtakadasar untuk ditumbalkan. ” Gatotkaca dan Antareja kaget mendengarnya. “lalu apa langkah kita selanjutnya, pamanda Madhawa?” Benar Paman, kita tidak bisa diam saja saat ayah dan para paman dalam bahaya begini.” sahut Antareja dan Gatotkaca. Prabu Kresna hanya tersenyum tipis saja lalu ia bilang “sebentar lagi orang yang menyelamatkan para Pandawa akan datang. Dia akan membuat kalian berdua tak berkutik. kalian berdua hanya tunggu saja.” Antareja, Gatotkaca dan yang lainnya tidak mengerti maksud sang raja titisan Wisnu itu.

Antasena dengan kekuatan airnya menyelam di dalam ombak menyusuri hilir bengawan Yamuna menuju ke daerah hulu. Air dari Bengawan Yamuna seakan berbalik keatas lalu membanjiri tepi sungai sekitarnya. Pada akhirnya Antasena sampai juga di kerajaan Amarta. Ketika hendak memasuki istana Indraprastha, Antasena justru dicegat dan dikeroyok Raden Antareja dan Raden Gatotkaca. Ia dikira penyusup yang menculik para Pandawa. “hei siapa kalian? Ngeroyok aku padahal aku gak salah apa-apa?” “Diam! kau pasti yang menculik ayahanda dan paman! Gatot, cepat bantu aku.” “baik kakang Antareja!” Terjadilah pertarungan sengit. Kadang Antasena dibawa terbang dan di hajar di angkasa oleh Gatotkaca, kadang dibenamkan ke tanah oleh Antareja. Tapi dengan mudah, Antasena mudah melumpuhkan mereka dengan sungutnya. Lalu ketika hendak menghabisi dua ksatria itu datanglah Prabu Kresna, Dewi Drupadi dan Dewi Arimbi melerai Antasena. Antareja dan Gatotkaca dibebaskan. Prabu Kresna lalu mengamat-amati penampilan Antasena dan ia pun menebak “hmmm setelah kulihat-lihat....kamu itu putranya adhiku, Wrekodara.” Raden Antareja, Raden Gatotkaca, dan yang lain terkejut tidak percaya pada keterangan tersebut. Prabu Kresna pun menjelaskan kalau sepengetahuannya Arya Wrekodara memiliki tiga orang istri. Yang pertama adalah Dewi Nagagini, yaitu ibu Raden Antareja; yang kedua adalah Dewi Arimbi, yaitu ibu Raden Gatotkaca. Adapun istri yang ketiga bernama Dewi Urangayu, dan tentunya wanita itulah yang melahirkan Raden Antasena. Antasena membenarkan, “benar uwaku Prabu Kresna. aku memang putranya bapak Wrekodara dengan ibu Urangayu.”  Dewi Arimbi memeluk putra tirinya itu lalu memperkenalkan dirinya bahwa ia ibu dari Gatotkaca. Antasena bertanya pada ibu tirinya “ibuku, dimana bapak?” Dewi Arimbi hanya bisa bersedih hati. Dewi Drupadi menjelaskan “Antasena, bapak dan paman-pamanmu menghilang diculik orang. menurut kabar dari kakang Gowinda kalau yang menculik para Pandawa adalah sekutu Kurawa, raja Tirtakadasar yakni Prabu Ganggatrimuka. Raja itu mau menumbalkan para Pandawa.” Para putra Wrekodara saling berunding siasat penyelamatan Pandawa“baik...kakang Antareja dan Kakang Gatot...kalian buat keributan di halaman istana...aku yang akan melepaskan bapak dan paman-paman kita. Bagaimana?” dipimpin Raden Antasena bersatu dan mohon izin untuk berangkat ke Tirtakadasar.

Di kerajaan Tirtakadasar, Prabu Ganggatrimuka menerima kedatangan saudaranya, Prabu Ganggapranawa dari Tawingnarmada dan putrinya, Dewi Ganggi. “adhiku tolong hentikan tumbal gila ini. Ini tidak benar!” “benar paman, menumbalkan sesama kita tidak dibenarkan dalam kitab-kitab dan lontar-lontar keagamaan kita. Kita bisa dilaknat para dewa” Prabu Ganggatrimuka tidak mau “tidak kakang! aku sudah dijanjikan oleh Patih Sengkuni kalau bisa menumbalkan Pandawa, maka aku akan mendapat kekayaan sama seperti Prabu Duryudhana, sang raja Hastinapura.” Di tengah perdebatan antar kakak dan adik itu, tiba-tiba tejadi kekacauan di kerajaan. Ada keonaran yang dilakukan Antareja dan Gatotkaca di halaman istana. Prabu Ganggatrimuka segera memerintahkan pasukannya untuk menyerang para pengacau itu. Sementara itu tanpa sepengetahuan raja Tirtakadasar itu, di penjara dasar laut tempat Ganggatrimuka menyekap para Pandawa, Antasena berhasil membawa kurungan yang dinamai Konggedah itu berisi Para Pandawa yang sudah lemas kehabisan nafas ke daratan.

Antasena menyelamatkan para Pandawa
Pintu kurungan yang terbuat dari kaca tebal itu segera dibuka agar udara bisa masuk. Namun Para Pandawa sudah begitu lemas hampir tewas karena dikurunng terlalu lama di dalam air, ditambah lagi tekanan udara yang terlalu tinggi dan tenaga dalam mereka habis. Antasena segera mengeluarkan pusaka miliknya, yakni cupu Madusena yang berisi Tirta Perwitasari, lalu memercikkan air itu ke tubuh para Pandawa. Seketika para Pandawa pun membuka mata, selamat dari maut. Antasena bersyukur sekali lalu ia memperkenalkan diri kepada mereka. “Ampun uwa prabu....aku Antasena. Putrane bapak Wrekodara dari ibu Urangayu. Akhirnya aku bisa ketemu bapak dan paman-paman sekalian. Semoga bapak dan yang lainnya menerima keberadaanku.” Prabu Yudhistira sangat bersyukur dan berterima kasih atas pertolongan Antasena “terima kasih banyak-banyak, anakku Antasena. Berkatmu, kami bisa selamat tanpa kurang satu apapun.” Namun, Arya Wrekodara tidak bisa mengakui anaknya begitu saja. Ia bersedia menerima Raden Antasena sebagai putra asalkan bisa mengalahkan Prabu Ganggatrimuka. “hmmm...nak...aku bukan mau menolakmu. Tapi kalau bisa mengalahkan Prabu Ganggatrimuka, baru bisa ta’ akui awakmu sebagai anakku.”  Mendengar itu, Raden Antasena segera mohon pamit menuju ke tempat pertempuran. “gak apa-apa bapak...wajar jika bapak ngomong gitu....dengan senang hati akan kulaksanakan perintah bapak. Aku mohon diri.”  

Di pelataran istana, Prabu Ganggatrimuka dan pasukannya terus menyerang Antareja dan Gatotkaca. Prabu Ganggatrimuka sendiri sangat kuat dan sulit dikalahkan. Singkat cerita, Antasena segera membantu kedua kakaknya mengalahkan Prabu Ganggatrimuka. Dengan sekali pukulan, Prabu Tirtakadasar itu tewas seketika dengan kepala pecah dan wajah remuk. Prabu Ganggapranawa menyerah baik-baik namun ia diserang Antareja dikira hendak membalas kematian saudaranya. Prabu Ganggapranawa tentu saja membela diri. Terjadilah pertarungan yang sengit lagi. Ketika, Prabu Ganggapranawa sudah terdesak, Dewi Ganggi melerai dan menjelaskan segalanya “ampun Antareja...ayahanda Prabu sudah menyerah baik-baik...tolong ampuni beliau. Beliau tidak terlibat. Ayahanda juga hanya mengigatkan pamanda prabu yang sudah salah langkah.” Antareja luluh dan melepaskan Prabu Ganggapranawa. Namun ada hal lain yang juga membuat Antareja melepaskan raja Tawingnarmada. Ia merasakan ada getaran aneh ketika saling bertatapan dengan Dewi Ganggi. Arjuna paham jika keponakannya itu jatuh cinta pada pandangan pertama. Maka ia menyarankan untuk Antareja segera menikah. Arya Wrekodara setuju mengingat Antareja adalah putra sulungnya. Mendengar itu, Prabu Ganggapranawa sangat bahagia, bisa berbesan dengan para Pandawa. Ia menanyai putrinya bersediakah ia menjadi istri Antareja. Dewi Ganggi hanya tersipu malu. Mereka semua pun tertawa gembira. Permusuhan kini berubah menjadi persaudaraan. Arya Wrekodara adalah yang paling merasa gembira, karena para Pandawa termasuk dirinya telah lolos dari maut, sekaligus mendapat seorang menantu pula. Dan yang lebih penting, ia dapat bertemu dengan putra ketiganya, Antasena. Prabu Yudhistira sekali lagi berterima kasih atas pertolongan Antasena yang telah memimpin upaya penyelamatannya dan para Pandawa lainnya dengan sangat baik. Mereka semua lalu kembali ke Kerajaan Amarta untuk mengadakan syukuran, sekaligus merayakan pernikahan Raden Antareja dengan Dewi Ganggi.

Pernikahan Antareja dan Dewi Ganggi berlangsung khidmat dan sederhana....sungguh sakral pernikahan putra Pandawa ini karena ini adalah pernikahan pertama diantara para putra Pandawa. Setelah pesta pernikahan selesai, Antareja memboyong Dewi Ganggi ikut dengannya menyelesaikan pendidikan di Yasarata. Antareja menceritakan kepada gurunya tentang kedatangan adiknya dari Parangnarmada, Antasena. Di Yasarata, Antareja bersama-sama Dewi Ganggi menimba ilmu dari Begawan Jayawilapa dan tak lupa pula, Antareja mengenalkan Dewi Ganggi kepada Dewi Ulupi juga Bambang Irawan yang masih remaja.