Jumat, 23 Februari 2024

Kisah Cucu Pandawa dan Kurawa (Jumenengan Parikesit)

Hai semua pembaca dan penikmat kisah pewayangan. Kisah kali ini dimulai dari dilantiknya Prabu baladewa sebagai seorang ajar (guru) bergelar Begawan Curiganata, lalu dilanjutkan kisah pelantikan Pancakesuma sebagai raja Amarta, terpilihnya Parikesit sebagai calon raja Hastinapura, dan kemelut menjelang dan ketika pelantikan Parikesit. kisah diakhiri kisah sekilas  tentang para tetua yakni Dewi Kunthi, Dewi Gendari, Adipati Drestarastra dan Arya Widura yang pergi menyepi dan gugur saat hutan terbakar. Kisah ini mengambil sumber dari Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa, rekaman video pagelaran lakon Parikesit Jumeneng Ratu oleh Ki Seno Nugroho dumugi kaswargan jati diengan alamat tautan https://www.youtube.com/live/9U9MA9-nF_Y?si=jMKYs_XSZPMwNwcM, dan blog https://www.gurusiana.id/read/trianto/article/jumenengan-parikesit-672128 dengan penambahan dan pengembangan karakter yang lebih dramatis.

Kisah Mahabarata : Parikêsit Jumeneng Ratu

Tahun-tahun beralih bagaikan kilat. Usia cucu para Pandawa dan Kurawa telah cukup untuk pergi menimba ilmu. Para cucu Pandawa dan Kurawa diantaranya Parikesit, Pancakesuma, Sasikirana, Wiratmaka, Warsaka, Wikrakasana, Wresaketu, Dewakumara, Dursabala, Danurwenda, Jayasena dll sudah waktunya menimba ilmu. Para Pandawa bertanya kepada satu-satunya orang suci besar trakhir kebanggan Hastinapura dan Amarta yakni Empu Krepa kemana kiranya para cucu mereka ini harus menimba ilmu. Datang pula Prabu Baladewa telah berpakaian pendita ditemani cucunya, Raden Wisabajra ke padepokan Empu Krepa “kakang balarama, kau disini. Ada apa kakang berpakaian seperti pendita?” Prabu Baladewa berkata “wah...adik-adikku para Pandawa...aku kemari untuk belajar lepas dari kemelekatan duniawi.” Prabu Baladewa menjelaskan bahwa ia sudah meninggalkan takhtanya di Mandura. Negeri Mandura sekarang dipimpin oleh Prabu Walmuka dan cucnya, Raden Wisabajra. Empu Krepa lalu berkata “aku sarankan kenapa tidak ke Sokalima? Kalian didik saja cucu-cucu kalian di Sokalima. Sejak kakang Dorna meninggal di Kurusetra tak ada pengurusnya. Bahkan cucuku Suwela tidak mau jadi guru disana.” Para pandawa bertanya.”Suwela? siapa itu Suwela, guru?” Empu Krepa menjawab “dia putra Aswatama....aku tidak pernah tau siapa ibunya Suwela. Kata Aswatama dulu, dia anaknya dengan seorang gadis kampung di sekitar sini.” Para Pandawa bertanya kemana perginya Suwela. Empu Krepa berkata kalau Suwela sudah lama meninggalkan Sokalima dan pergi mengembara. Setelah menimbang-nimbang, para Pandawa memutuskan untuk mendaftarkan para keturunan mereka di Sokalima. “guru kami titipkan cucu-cucu kami di Sokalima. Tolong bimbinglah mereka .” Sejak ditinggalkan Begawan Dorna, padepokan Sokalima seakan mati segan, hidup pun enggan. Awalnya setelah ditinggalkan Suwela, padepokan itu diurus oleh Empu Krepa selaku kakak ipar Begawan Dorna tapi Empu Krepa kali ini menolaknya.” maaf, cucu-cucuku. Aku sudah terlalu tua untuk mengajar. Aku ingin menyepi, meninggalkan kenikmatan duniawi. Seluruh kerabatku sudah tiada semua. Aku akan pergi tapi aku akan memberikan tampuk kepemimpinan di Sokalima ini dulu kepada anak prabu Baladewa."

Pelantikan Begawan Curiganata
Untuk mengawali yang baru lagi sebelum benar-benar pergi menyepi, Empu Krepa melantik Prabu Baladewa menjadi guru baru di Sokalima atas persetujuan Prabu Yudhistira Kalimataya. Pada hari yang baik, Prabu Baladewa dilantik sebagai seorang ajar bergelar Begawan Curiganata dan diangkat sebagai guru besar di Padepokan Sokalima. Dengan tangan telaten para Pandawa dan Begawan Curiganata, padepokan kembali hidup. Murid dari berbagai negeri kembali berdatangan. Guru-guru mumpuni dari berbagai negeri pun direkrut kembali.

Hingga tak terasa, Hari telah berganti pekan, pekan berganti sasih, dan sasih pun berganti tahun. Berbagai ilmu diserap dan matangkan. Hari berganti pekan. Pekan berganti sasih dan sasih berganti tahun, kini  genap 10 tahun para keturunan Pandawa dan Kurawa menimba ilmu dan telah siap meniti karir mereka masing-masing. Ke semuanya diwisuda dan mengambil jalan sendiri-sendiri. Parikesit dan Pancakesuma kembali ke Hastinapura. Sasikirana kembali ke Pringgondani bersama ketiga adiknya Suryakaca dan Jaya Sumpena. Danurweda kembali ke Jangkarbumi dan langsung diangkat sebagai adipati baru. Harya Jayasena kembali ke Parangjaladri. Wresaketu, putra bungsu Adipati Karna bersama dua keponakannya yakni Bambang Warsaka dan Bambang Wikrakasana kembali ke Awangga dan Petapalaya untuk menjadi raja. Sedangkan Dewakumara, putra Lesmana Mandrakumara ditemani Dursabala, putra Arya Durcala kembali ke negeri Gandaradesa. Dewakumara pun mengganti namanya menjadi Mangkubumi Sarojakumara. Disana tiga paman mereka yakni Patih Antisura, Prabu Kretiwindu, dan Harya Kertisura telah menunggu. Ketiganya adalah cucu Patih Harya Sengkuni yakni dari putranya, Prabu Uluka. Sayangnya, Prabu Kretiwindu sama seperti kakeknya, orangnya licik dan penuh maksud jahat, berbeda dengan kedua saudaranya yang memilih untuk perdamaian. Kedua cucu para Kurawa itu selalu dihasut agar memusuhi cucu Pandawa dan Adipati Karna. Karena tidak tahan lagi, Harya Kertisura meninggalkan Gandaradesa untuk ke kerajaan Sindhu Banakeling. Di sana ia melayani dua putra Jayadrata yakni Bambang Wisamuka dan Bambang Surata.

Beberapa bulan setelah pulang dari Sokalima, bambang Pancakesuma dipanggil kakeknya, Prabu Puntadewa “Pancakesuma, kemarilah...ada sesuatu yang harus ku bicarakan.” “baik, eyang prabu.” Prabu Yudhistira pun melihat Pancakesuma sudah cukup umur dan ilmunya untuk memimpin sebuah negara. Maka hari itu, Prabu Yudhistira mengajaknya ke Istana Indraprastha. Di sana ia telah disambut oleh Patih Wiwitsuh “lho ananda Pancakesuma, dah besar panjang kau sekarang. Bagaimana persiapannya, kakang prabu.” “sudah siap, kakang Wiwitsuh.” Pancakesuma bertanya “ lho lho....persiapan untuk apa ini, eyang? Eyang berdua telah menyembunyikan sesuatu dariku.” Prabu Yudhistira dan patih Wiwitsuh hanya tersenyum. Lalau datanglah Bambang Parikesit dan dan para eyang Pandawa, eyang putri Sumbadra, eyang putri Drupadi dan bibi suri Utari. Hadir pula eyang Prabu Sri kresna dan kakek Semar disana. prabu Yudhistira berkata kepada Pancakesuma “cucuku, kau sudah siap secara mental, ilmu, dan fisik untuk memimpin. sekarang aku akan melantikmu sebagai raja negara Amarta ini mendampingi eyang patih Wiwitsuh.”

Pancakesuma ditabalkan sebagai raja Amarta
Bukan main gembiranya Pancakesuma dan bersyukur kepada sang eyang. Pada hari yang baik, pelantikan Pancakesuma sebagai raja Amarta digelar besar-besaran. Hari itu Pancakesuma resmi menjadi raja Amarta Indraprtastha bergelar Prabu Diraja Pancakesuma. Seusai acara pelantikan, bambang Parikesit lalu ingin berbicara kepada Prabu Yudhistira dan seluruh kerabat” eyang-eyang sekalian, aku akan pergi dari sini .” seisi pasewakan kaget” lho kenapa, cucuku? Kau tidak puaskan dengan keputusan eyang Prabu melantik kakandamu Pancakesuma?” “bukan begitu, eyang. Saya iingin mengembara memeperdalam ilmu.” Kakek Semar lalu ikut bicara “hmmm blegedag-gedug...putu buyutku....bukankah ilmumu sudah mumpuni?” “justru itu, eyang buyut Semar. Aku merasa ilmuku yang sekarang belum cukup. Bekalku untuk hidup harus kuperbanyak, sekarang aku ingin memperdalam kebatinanku. Aku harap eyang buyut Semar bisa mendampingi, sama seperti eyang buyut mendampingi ayahanda Abimanyu dan eyang Arjuna.” Setelah dipikirkan matang-matang Arjuna dan Yudhistira merestui kepergian Parikesit menimba ilmu. Tanpa menunggu lama, Parikesit bersama Kakek Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong ditemani keturunan mereka  yakni Lengkung Kusuma dan Besut pergi meninggalkan istana Indraprastha. Perjalanan parikesit mengembara pun dimulai. Sebelum pergi ia menjenguk kakak sepupunya, Sasikirana. Bambang Sasikirana masih sama. Ia masih berjuang menyembuhkan traumanya bahkan setelah pulang dari Sokalima “kakang Kaca! Kakang Jayasumpena tolong bantu kakang Sasikirana. Di saat seperti ini ia masih memerlukan bantuan kalian.” “baik, dinda. Pintamu akan kami laksanakan.” Parikesit pun pergi ditelan gelapnya malam.

Setalah pelantikan Pancakesuma, kestabilan di jawadwipa dan hindustan semakin menguat. Hari berganti pekan, pekan berganti sasih dan akhirnya sudah genap lima tahun Pancakesuma menjadi raja bersamaan saat ini genap pula 30 tahun sejak Bharatayudha berakhir. Prabu Yudhistira sudah semakin jompo di usianya yang hampir mencapai kepala sembilan. Singkat cerita, diadakan pasewakan agung di Hastinapura.para raja seluruh tanah Aryawata (Jawadwipa dan Hindustan) diundang. Prabu Pancakesuma dan bambang Parikesit yang masih mengembara pun dipanggil pulang. Di sana Prabu Yudhistira berkata " mulai sasih depan, saat tanggal lima belas di saat tanggal 15 malam kreshnapaksha sasih Manggakala, aku akan mundur dari takhta Hastinapura." Seluruh kerajaan di Jawadwipa-Hindustan kaget mendengarnya. Para raja seluruh Jawadwipa dan Hindustan bertanya-tanya siapakah raja selanjutnya di Hastinapura. Dengan pertimbangan sangat matang dari para sesepuh, pemilihan suara, dan kesepakatan bersama, para raja seluruh Jawadwipa dan Hindustan memilih Bambang Parikesit dijadikan raja Hastinapura berikutnya. Semua orang nampak bersorask sorai namun hanya Prabu Kismaka raja Trajutrisna, Prabu Wesiaji dari Pringgondani, Bambang Wisamuka dari Sindu banakeling, dan Mangkubumi Sarojakumara dari Sarojawinangun yang hanya diam begeming. Nampak dari raut wajah mereka menyimpan rasa tidak puas. Berita tentang terpilihnya Bambang Parikesit sebagai calon raja Hastinapura telah santer hingga ke Gandaradesa. Prabu Kretiwindu yang sengaja tidak ikut kesana melihat ada kesempatan baik dibalik terpilihnya Parikesit sebagai raja Hastinapura “hmmm sepertinya ini akan menarik. Baik aku mencari siapapun yang tidak puas dengan hal ini...hehehehe....” maka disusunlah rencana untuk kudeta Parikesit.

Dengan lidah yang tajam namun manis itu, dipujuklah para raja yang tidak suka dengan para Pandawa. Dimulai dari prabu Kismaka “heh...dengar ini prabu Kretiwindu...menurutku, eyang para Pandawa terlalu menonjolkan anak Abimanyu.dan lagi Parikesit hanya anak ingusan. baik aku saja yang kesana mengingatkannya dulu sebelum menjadi raja tak berguna .” “benar gusti prabu Kismaka. Tapi apa gusti ingat akan sejarah orang tuamu?” “maksudmu Kretiwindu? Yang aku tahu gusti ayahanda Sitija dan ibuku mati sebagai  korban perang” Prabu Kretiwindu bercerita kalau sekitar tiga puluh lima tahun yang lalu, terjadi perang Wangsa Yadawa pertama yakni Perang Gonjalisuta. Perang antara Trajutrisna dengan Dwarawati. Perang itu disebabkan kelakuan pamannya sendiri yakni Samba yang bermadu kasih dengan ibu Kismaka yakni Dewi Hagnyanawati saat Kismaka baru lahir. Karena kelakuann Samba ini, Sitija membunuh Samba dengan dijuwing-juwing (mutilasi) dan Dewi Hagnyanawati bunuh diri. Akhirnya prabu Sri Kresna menghabisi Prabu Sitija dengan Cakra Widaksana. Mendengar kebenaran in, Prabu Kismaka langsung marah dan menggebrak meja takhtanya sampai rusak. “Eyang Prabu Kresna...Tegas benar Kau Membunuh AYAHKU! Dasar Iblis! Akan Ku Lumat Dia sampai Jadi Bubur.” “Maka dari itu, gusti. Untuk membalas kematian ayah dan ibumu, bantu aku juga untuk rekrut raja-raja lainnya. Aku lihat raja Pringgondani, Prabu Wesiaji juga tak suka. Bantu aku untuk membujuknya.” Mendengar nama Pringgondani disebut Kismaka makin naik darah. Teringat diingatannya bagaimana ayah dari Sasikirana, yakni Prabu Gatotkaca selalu menghalang-halangi ayahnya Sitija untuk berada di pihak Pandawa. Maka ia ingin mengadu domba para keturunan Gatotkaca agar saling berperang. Berkirim suratlah Prabu Kismaka dengan Prabu Wesiaji sang raja wakil Pringgondani untukmenyusun kudeta kepada Parikesit. Prabu Wesiaji juga diingatkan kembali bagaimana ayahnya, Brajadentha dulu dikalahkan oleh Gatotkaca saat penobatan sang Prabu Purbaya Karincingwesi (nama gelar Gatotkaca sebagai raja). Prabu Wesiaji teringat luka lama itu dan menjadi kesal. Maka ia pun mengajak salah satu putra Gatotkaca yang paling mungkin untuk diajak yakni Bambang Sasikirana. Di saat kedua adik Sasikirana sedang sowan ke Hastinapura, Prabu Wesiaji dan Kretiwindu mendatangi Bambang Sasikirana di rumahnya di puri Pringcendani. Dengan bujuk rayu manis, Prabu Wesiaji berkata “anakku Sasikirana.....kau masih ingatkan ketika masih kecil kau melihat dengan mata kepala sendiri ayahmu mati jadi tumbal para Pandawa di Bharatayudha? Ingatlah itu...sekarang para Pandawa hendak melantik orang yang jadi musabab kematian ayahmu? Aku harap kau bisa melihat mana yang baik mana yang buruk. Keputusanmu akan paman tunggu.” Prabu Wesiaji pun pergi berlalu. Sementara itu, di alam bawah sadar Sasikirana, tumbuh berontak dua kepribadiannya uyakni Sasikirana dan Megantara. Megantara berkata “sudahlah...lampiaskan dendammu kepada para Pandawa licik itu. Ayahanda juga meninggal gara-gara mereka” Sementara kepribadian lembut Sasikirana yakni Suryakirana menghalangi “jangan Sasikirana, bagaimanapun mereka itu eyangmu, mereka juga sangat menyesali kematian ayah. Ada alasan kenapa ayahanda gugur di Bharatayudha.” Kepribadian Megantara lalu menyerang kepribadian Suryakirana.

Kemarahan Sasikirana
Terjadilah perang dua kepribadian yang amat dahsyat di diri Sasikirana. Semua terjadi di alam bawah sadar. Namun kali ini, kepribadian Suryakirana kalah. Ia disegel dalam penjara amarah Megantara. Ketika kepribadian Megantara berhasil menguasai diri Sasikirana, terjadi kejadian luar biasa. Sasikirana mengamuk tanpa henti. Seisi puri Pringcendani dibuatnya porak poranda. Bersamaan dengan amukan itu,  tubuh Sasikirana tiba-tiba sanggup melayang tanpa sayap dan angin besar memporak porandakan seluruh negeri Pringgondani. Lalu tumbuh sebuah taring sebesar taring harimau pada mulut Sasikirana. “Paman!!! Aku ikut paman!! Mana Paman Wesiaji?!” suara Sasikirana berubah menjadi menggelegar. Prabu Wesiaji dan Prabu Kretiwindu pun datang dan melihat Sasikirana sudah dalam keadaan begitu murka. “Paman! Aku ikut paman mbalela....sakit hati saya melihat ayahanda tewas sebagai tumbal para pandawa itu!! Persetan dengan hubungan Keluarga! Ayo kita Obrak-abrik pelantikan Parikesit!!” Prabu Wesiaji gembira mendengarnya. Lalu diajaklah putra sulung Gatotkaca bergabung untuk mbalela. Singkat cerita, raja-raja yang berhasil dikumpulkan Kretiwindu pun berhasil mencapai lebih dari yang diharapkan. Diantaranya Kismaka dari Trajutresna, Mangkubumi Sarojakumara dari Sarojawinangun, Adipati Dursabala dari Gandaradesa cucu Dursasana, Bambang Wisamuka dari Sindu Banakeling, dan yang ini Prabu Wesiaji dan Sasikirana (Megantara) dari Pringgondani. Kini tinggal satu raja lagi yang akan dia ajak yakni cucu Yudhistira sendiri yakni Pancakesuma dari Amarta Indraprastha.

Syahdan ketika itu Amarta kala itu sedang kosong hanya ada Prabu Pancakesuma sendiri. Patih Wiwitsuh sedang keluar mewakilkan sang raja sowan ke Hastinapura karena Prabu Pancakesuma sendiri lebih suka di Indraprastha daripada ke Hastinapura entah apa alasannya. Lalu datanglah Prabu Kretiwindu “salam gusti anom Prabu.” “salam, kakanda Kretiwindu. Ada apa kau datang kemari.” Kretiwindu pun berbasa-basi “hanya kunjungan kerabat biasa. Melepas rindu pada seoirang raja yang bagaikan bunga di tepi jalan.” Prabu Pancakesuma lalu berkata ‘Hah? Apa maksudmu kakanda? Bunga di tepi jalan...aku jadi bingung.”  Kretiwindu berkata “ya masakah gak tau kau? Sebentar lagi kan adikmu Parikesit akan menjadi raja. Kau ini bagaimana? Kau itu kan cucu langsung Prabu Yudhistira, kok malah adik sepupumu Parikesit yang jadi raja di Hastinapura bukan kamu. Mana logikamu. Aku tidak rela kalau eyang-eyang melakukan ketidak adilan seperti ini...aku sedih jadinya.” Pancakesuma jadi murka “Diam kau, Kretiwindu! Aku tau apa yang dipikirkan eyang. Gak usah ikut campur urusan kami.” Kretiwindu tak kurang akal “Hei! Hei! Jangan marah begitu...sebelum kau marah pada orang yang salah, biar kau tahu sejarahnya” “sejarah? Maksudmu apa?” “akan aku ceritakan kisah kelahiran adikmu si parikesit itu.” Kretiwindu bercerita saat malam kelahiran Parikesit, ayah dan ibu Pancakesuma yakni Pancawala dan Pergiwati sedang tidur bersama paman-paman dan ibinya sesama keturunan pandawa yang tersisa di malam terakhir Bharatayudha. Lalu pada malam itu juga datang pembunuh yang menghabisi mereka bersepuluh. Bukan hanya itu, pamanya, Arya Drestajumena dan bibi Srikandhi turut dibunuh juga Dewi Banowati, janda Prabu Duryudhana turut dihabisi. Tujuan pembunuhan itu untuk menghabisi Parikesit yang saat itu masih dalam kandungan. Mendengar pejelasan itu, Prabu Pancakesuma murka. Ia tahu penyebab kematian orang tuanya karena keberadaan Parikesit “Jadi Begitu Ternyata! Eyang Prabu Kenapa kau sembunyikan ini  Ayah dan Ibu Meninggal gara-gara Parikesit. Aku Akan Balas Kematian Mereka! Biar tau Rasa Dia! Kretiwindu aku akan Membantumu. Akan Kubuat Hastinapura Lebur Menjadi Abu!” Tapi Kertiwindu secara cepat melarang tindakan Pancakesuma. “ee…eeee.e.. sabar… sabar… gusti! Di Hastinapua sedang ada raja-raja dari 1000 negara serta para investor konglomerat yang tengah hadir untuk menyambut diangkatnya Parikesit. Jadi kalau gusti Pancakusuma kesana hari ini pasti akan kalah” ungkap Kretiwindu untuk melerai kemarahan Pancakesuma. “ibarat mancing ikannya tapi sebisa mungkin tetep bening airnya” Kretiwindu menambahi. Dan memberi masukan agar Prabu Pancakesuma menggagalkan pengangkatan Parikesit ketika acara pesta akbar dilakukan di Hastinapura yaitu dengan membunuh Parikesit sementara dia dan para raja lainnya akan membuat kekacauan di luar beteng keraton.Usul tersebut diterima oleh Pancakusuma.

Singkat kata, para raja hasil hasutan Kretiwindu pun bekerjasama membuat keadaan Hastinapura menjadi kacau. Mereka menyebarkan kabar-kabar burung tentang politik kotor Parikesit yang menyuap para tetua Hastinapura bahkan nama-nama Kakek Semar sebagai pamomong yang agung dilecehkan sebagai punokawan gagal, punokawan licik, guru mata duitan, guru ini dan itu dan ujaran kebencian sebagainya. Bukan Cuma berbagai kabar burung, para pemberontak merusak berbagai sumber sadang pangan rakyat, mematikan perekonomian, infrastruktur, menggunduli hutan dan sebagainya atas nama Parikesit sebagai raja baru yang akan menggusur daerah mereka menjadi kawasan elit. Rakyat pun murka,  tumpah ruah kejalan-jalan melakukan protes terhadap pemerintah Astina. Kerusuhan dimana-mana disegala penjuru Hastinapura tidak dapat dielakan lagi, Rakyat melakukan penjarahan, membakar rumah-rumah dan luapan kemarahan lain. Keadaan di istana tak ada bedanya, para pejabat diam saja. Para Pandawa, Prabu Sri Kresna diam saja bergeming seakan membiarkan kericuhan yang ada. Hal ini membuat Semar kecewa dan akhirnya minggat. Parikesit sedih ditinggal para punakawan. Parikesit datang menggugat para tetua “eyang-eyang sekalian, kenapa kalian diam saja ! tidak kah kalian lihat kekacauan yang terjadi saat ini. Sudah jelas ada orang mencatut namaku dan kakek Semar tapi sama sekali kalian tidak membelanya? Mana hati nurani kalian?” apakah sudah matikah? Aku kecewa sekali dengan ini.” Parikesit mengalami kebingunan. Semar yang merupakan penasihat negara di Hastinapura selama ini telah terlanjur minggat. Padahal Semar, Gareng, Petruk & Bagong selalu memberikan masukan-masukan penting dalam menghadapi berbagai masalah di Hastinapura selama ini. Disisi yang lain Semar sangat nggondok atau kuciwo dengan ulah para pejabat Hastinapura yang tak mendengar aspirasi rakyat. Aspirasi mereka bahkan tidak dianggap.

Hari-hari pelantikan Parikesit yang tinggal menghitung hari dan krisis yang semakin membesar, telah membuat Hastinapura diambang kehancuran. Parikesit mengerahkan bala tentara dan para kesatria mereka untuk menangani konflik. Setelah itu diadakan lah rapat darurat antar sesama muda-mudi para keturunan Pandawa dan Kurawa. Rapat itu dilaksanakan di kerajaan bawah tanah di Saptapertala. Mereka yang hadir yakni adik-adik Sasikirana yaitu Suryakaca dan Jayasumpena diiringi sepupunya sesama para cucu Wrekodara yakni Arya Danurwenda, Arya Jayasena, Arya Srenggamurti, dan Endang Pancaseni datang lalu disusul adik-adik sepupu Parikesit sesama cucu Arjuna yakni Wiratmaka putra Irawan , Wisangkara putra Wisanggeni, dan Harya Dwara putra Samba dengan Sunggatawati. Turut datang juga cucu Yudhistira yang lain yakni Endang Yodeyi putra Harya Yodeya, cucu Nakula dan Sadewa yakni Bambang Niramitra dan Bambang Suhatra.

Rapata antara keturunan Pandawa dan Kurawa
Tak lupa pula keturuanan para Kurawa yakni putra Patih Wiwitsuh yakni raden Yuyutsena dan putra Durmagati yakni Harya Darmamitra, juga para putra dan cucu Adipati Karna yakni Adipati Wresaketu dari Petapalaya dan Prabu Warsaka juga patih Wikrakasana dari Awangga. Rapat pun dibuka oleh Harya Dwara “rapat ini saya buka ...melihat kejadian sekarang ini apa tanggapan dan komentar kalian.....negara sekarang kacau ketika berita pelantikan saudara kita Parikesit tersebar....apakah kalian tidak mengetahui sesuatu atau apapun?’ semua orang ribut sendiri-sendiri dan menganggap semua orang ada penyebabnya. Karena rapat tak menemukan titik terang , Parikesit menjadi lesu dan sedih sendiri tiba-tiba sebuah suara lantang terdengar “dinda, ada yang tidak beres.” kata Danurwenda memecah keramaian “bener kakang, jelas onok udang dibalik rempeyek.” Seloroh Jayasena. para cucu Wrekodara lainnya dalam hati “kakang plis ojo nglawak.” Parikesit yang sedih kembali mendapat semangat mendengar lawakan Jayasena “terima kasih Jayasena sudah mau menghiburku. Jujur aku merasa tidak mampu. Negara kacau, para tetua diam, dan eyang buyut Semar minggat. Aku bingung sekarang harus mulai darimana mengurai kekusutan ini.” Hening terjadi sejenak “hmmm...sepertinya ada orang yang tidak suka pada semua ini.....apa kalian tidak ingat sesuatu” ucap Pancaseni putri Sri Pancasena memecah keheningan. “misalnya sepeti apa, kakangmbok?” tanya Parikesit. “menurut pendapatku ada penghasut dan gejolak ketidakpuasan saat para eyang mengumumkan pelantikanmu, dinda. Si penghasut itu sengaja membuat rusuh dan menghasut para raja dan bangsawan yang tidak puas untuk mbalela kepadamu, dinda.” “ Hmm..anku ingat sesuatu.” Seru Srenggamurti putra Srenggini dari Gisiksamodra. ‘aku melihat wajah seakan tidak puas dai wajah kakanda Kismaka, dinda Wisamuka, kakanda Sarojakumara dan paman prabu Wesiaji. Mereka nampak tak puas semacam mereka langsung pergi setelah pengumuman.” “wah wah...iki seng dadi benih ketidakpuasan itu. Mereka harus kita sadarkan kembali.” ucap Jayasena. “tunggu dulu kakang Jayasena bukan kah ini terlalu terburu-buru menganggap mereka tidak puas dengan hanya raut wajah saja.” Sanggah Wiratmaka “ananda punya pendapat lain apa?” “benar, apa mungin ketidakpuasan mereka ada indikasi hasutan atau berita kabar burung yang menyesatkan? Seperti yang kita tahu, sekarang ramai berita tidak benar dan menyesatkan. Ini juga yang harus diselidiki.” ucap harya Darmamitra dan Raden Yuyutsena. “izin interupsi,” terlihat Wisangkara melakukan interupsi “menurut pendapat saya dan kakang Wiratmaka, baik kita kirimkan telik sandi dan pasukan Bhayangkari untuk menyamar dan menyelidiki ini semua... setelah kita tau informasi musuh... bisa kita simpulkan siapa dalangnya dan solusinya.” “mengirim telik sandi bukankah agak beresiko saat ini. Bisa saja saat ini telik sandi yang kita kirimkan nanti menjadi agen ganda untuk musuh.” Sanggah Endang Yodeyi “benar apa kata kakangmbok Yodeyi. Ini masalah yang krusial sekali apalagi di saat seperti ini kepercayaan bisa dibeli dengan harta.” ucap Bambang Suhatra cucu Sadewa. “ benar kata dinda Suhatra. kita harus mencari telik sandi yang kompeten dan amanah.” Sambung cucu Nakula yakni Bambang Niramitra. Suasana kembali riuh rendah. “bagaimana kalau begini saja... kita rekrut untuk saat ini pasukan khusus yang pemimpinnya adalah orang yang kita benar-benar percaya “ucap Prabu Warsaka. Lalu dilakukan pemilihan suara tentang usulan Warsaka dan hasiulnya 80% setuju, 15% menolak, dan 5% abstain. Harya Dwara membacakan hasil rapat dan pembentukan pemimpin dan para wakil nya “baiklah, rapat ini sudah diputuskan untuk pembentukan pasukan telik sandi khusus. Sekarang siapa yang akan jadi pemimpinnya?” Parikesit dan para pejabat muda saling berdiskusi dan akhirnya mencapai kata mufakat bahawa ketua untuk misi ini ialah Wisangkara dan Jayasena, lalu divisi barat yakni Upalawaya dipegang Niramitra dan Damamitra, divisi timur yakni Tirtatinalang dipegang Wiratmaka dan Wresaketu, divisi divisi utara yakni Banjarjunut dipegang Danurwenda dan Suryakaca, divisi selatan yakni Turilaya dipegang oleh Bambang Suhatra dan Jayasumpena dan divisi tengah yakni Panggombakan dipegang Endang Yodeyi dan Endang Pancaseni.

Singkat cerita semua divisi bergerak mengumpulkan informasi. Di tengah kerusuhan mendekati hari pelantikan, mereka sangat membaur. Dari informasi-informasi itu terkumpul satu pola yang sama yakni mereka berkumpul di satu tempat yakni sebuah hutan di perbatasan Gandaradesa. Semua info telah didapat.diadakan lah penggeledahan mereka menemukan ada bekas altar pemujaan kepada iblis dan juga ruangan rapat strategi dan mapaknya mereka sudah pergi lama sekali namun merka berhasil mendapatkan salah satu informan itu bahwa dalang itu semua adalah Prabu Kretiwindu.  Kini tinggal satu hal lagi yakni mencari kemana minggatnya kakek Semar. Kali ini Parikesit sendiri akan ikut mencari memakai nama samaran Paripurna. Setelah pencarian diseluruh penjuru negeri, Kakek Semar berhasil ditemukan di Desa Widarakandang, bersama Dewi Radha dan Dewi Rukmini. namun kakek Semar tidak mau ditemui Parikesit. Singkat cerita diutuslah Endang Pancaseni menemui Semar dirumah Dewi Radha. “salam eyang dewi Radha.” “salam cucuku, Pancaseni. Apa kamu ingin bertemu dengan kakek Semar. Beliau menunggumu di kamar.” Endang Pancaseni lalu datang masuk ke kamar dan berdiskusi.. Kakek Semar pun berkata “cucuku, kamu harus hati-hati. Macan yang terlihat tenang jangan dianggap sedang kenyang. justru dia sedang dalam keadaan berbahaya.” Endang Pancaseni agak binguing namun ia berjanji akan waspada begitupun yang lainnya. Lalu Paripurna masuk ke rumah dan membuka samarannya “eyang buyut, maafkan aku eyang. Aku jujur sedang bingung kemana harus mengadu.” “cucuku, sebenarnya para tetua juga sedang berusaha mencari tahu siapa penyebab dari segala kerusahan ini dan minggatnya aku itu bukan karena tak suka melainkan para tetua mendapat kabar kalau di kerusahan itu ada orang-orang kita yang terlibat.itu sebabnya aku minggat untuk menyelidiki itu” Kakek Semar pun berkata berhasil membawanya.” Kakek Semar lalu menunjukkan siapa korbannya. Ketika memasuki kamar kosong di pojok dekat kamar mandi, ada orang yang sedang diikat dengan rantai dan ditutup kain di matanya. Ketika Parikesit membuka penutup itu, Tak disangka orang itu ialah Bambang Sasikirana. “kakang Sasikirana?” suara Parikesit terdengar membuat berberapa cucu Pandawa datang. Di sana Sasikirana marah-marah dengan tangan terikat  “bajingan kalian, Parikesit...gara-gara bapakmu. Bapakku mati sebagai tumbal Bharatayudha!” Suryakaca segera mentotok tubuh abangnya itu. Setelah Sasikirana sedikit tenang, Suryakaca segera memanggil Jayasumpena untuk melepaskan ikatan abang sulung mereka itu“ Adhiku cepat bantu aku lepaskan ikatan kakang Sasikirana “ teriak Suryakaca kepada Jayasumpena. Baik kakang Kaca! Kakang Sasikirana bertahanlah!” setelah berhasil lepas, rupanya Sasikirana yang sudah dikuasai kepribadian Megantara berpura-pura pingsan lalu segera terbang keluar dan mengobrak-abrik sekeliling desa Widarakandang dengan membawa angin besar.

Keadaan desa benar-benar kacau balau. Dewi Rukmini dan Dewi Radha dibuat kalang kabut. Penduduk Widarakandang dilanda kepanikan. Di angkasa, Sasikiana berkata “Hahahah...Kalian Mudah Sekali Ditipu...Akan Ku obrak-abrik desa ini Lalu Ku Obrak-Abrik Hastinapura..... Kalian Harus Membayar Kematian Ayah Dan Ibuku.” Ucapan Sasikirana itu membuat kesabaran Suryakaca dan Jayasumpena habis. Mereka segera mengeluarkan kekuatan masing-masing. Suryakaca juga ikut terbang menghajar Sasikirana di angkasa. Jayasumpena dengan tangan mengepal, ia mengeluarkan tapak kilat Brajamusthi. Seketika muncul angin dan topan badai dengan halilintar menggemuruh menghantam Sasikirana. Tak terima dikeroyok dua adiknya, Sasikirana terbang berputar-putar dan melambari angin buatannya dengan tapak api Brajadentha. Seketika, muncul angin dengan api panas membakar dan menghanguskan seisi desa Widarakandang. Para cucu Pandawa segerta membantu evakuasi warga. Namun rupanya Danurwenda ikut berang dengan tingkah adik sepupnya itu maka ia bertukar wujud menjadi naga dan mencaplok Sasikirana dan membenamkannya ke bawah tanah. Tak terima diserang dari belakang, Sasikirana balas menyerang Danurwenda dengan berubah menjadi Garudhayaksha. Ia mengangkat Naga Danurwenda dan menghajarnya di angkasa. Diantara keduanya tak ada yang kalah maupun menang.  Hal itu mengingatkan kakek Semar dengan pertarungan Antareja dan Gatotkaca dahulu. Sementara Danurwenda dan Sasikirana bertarung, Suryakaca dan Jayasumpena segera membuat kombo jurus Tapak Cakrabayu dan tapak kilat Brajamusthi.

Sasikirana Mbalela 
Seketika muncul ribuan angin topan kecil berbentuk cakra dengan suara gemuruh guntur menghantam Sasikirana sampai ia jatuh dari angkasa. Semua terjadi terus berulang-ulang. Lalu tak dinyana muncul sebuah gelombang kejut dari diri Sasikirana dan membuat dua saudaranya jatuh terpelanting. Srenggamurti dengan murka lalu menggosok cincin Totoksewu peninggalan ayahnya lalu muncul capit di kepalanya. Capit itu lalu berputar-putar dan muncul darinya cahaya halilintar berbentuk bola dan menyetrum Sasikirana. Sasikirana pun lemas dan jatuh lalu Srenggamurti berteriak “Sekarang Danurwenda! Jayasena!” “Baik, Tirta Himalaya!” Jayasena segera membuat pusaran air yang sangat dingin dan Danurwenda pun melemparkan berbagai macam batu besar ke dalamnya. Sasikirana pun tergulung aliran air dan dihantam bebatuan lalu tangan dan kakinya diikat oleh berbagai tanaman rambat. Rupanya, Endang Pancaseni sudah mengikatnya dengan ajian Penjalin Kencana.

Begitu Sasikirana sudah benar-benar lemah, kakek Semar menjelaskan bahwa ia meracau-racau dan menyerang para saudaranya sendiri karena masih trauma kehilangan bapaknya. Ditambah, kakek Semar juga melihat ada aura gelap melingkupinya. Sepertinya ada orang yang berhasil mengguna-guna dan membuat traumanya bertambah parah bahkan tanpa disadari Suryakaca dan Jayasumpena, kepribadian jahat milik Sasikirana semakin kuat dan menguasai Sasikirana. “Lepaskan Aku! Keparat! Aka  kubunuh penyebab bapakku mati!” tak dinyana Danurwenda menampar adiknya itu “Dinda! Sadarlah! Kau pikir kau sendiri yang kehilangan ayahmu! Adikmu Suryakaca Juga Jayasumpena Mereka Yang Paling Menderita! Bukan Cuma Yatim Piatu, Mereka Juga Kehilangan Figur Kakak Yang Lembut! Biar Aku Beritahu Kau. Bukan Cuma Paman Prabu Gatotkaca Yang Mati Di Bharatayudha! Bapakku Antareja! Pamanda Antasena! Pamanda Srenggini! Pamanda Resi Pancasena! Bahkan  Bapak-Bapak Kita Semua Menjadi Korban Bharatayudha!.” Aku Juga Melihat Bagaimana Ayahandaku Mati Di Depan Mataku! Tapi Aku Tak Punya Dendam Apapun Karena Aku Sadar Itu Sudah Takdirnya Terlepas Dari Campur Tangan Siapa! Itu Semua Demi Kita Yang Sekarang Hidup Lebih Baik!” Sasikirana pun tak mampu lagi menahan kesedihannya lalu menumpahkan segala duka, marah, rindu, dan kecewanya di dalam tangis penyesalan. Seluruh saudara memeluk Sasikirana dan berkata pada Sasikirana.”kakang jangan sedih sendirian! Kami ada di sini bersamamu. Berbagilah semua perasaan itu.” Di dalam alam bawah sadar Sasikirana  perlahan tapi pasti, penjara amarah yang mengurung Suyakirana pudar dan bisa dihancurkan. Kepribadian Megantara berhasil dikalahkan kepribadian Suryakirana. Kemarahan Sasikirana mereda dan taring di mulutnya mengecil. “kakang Danurwenda! Adhi-adhiku Suryakca dan Jayasumpena! Jayasena! Srenggamurti! Pancaseni! Dinda Parikesit! Maafkan aku! aku telah kehilangan rumah dalam waktu lama. Tapi Sekarang Aku Kembali. Aku kembali menemukan rumahku kembali! Kalian adalah rumahku!” semua pun bergembira dan bahagia. Semar pun menyetujui komitmen politik dari Parikesit. Semar bersama Gareng, Petruk dan Bagong bersama rakyat lainnya akhirnya kembali ke Hastinapura dan membantu mengelesaikan krisis yang tengah terjadi disana. Ditempat yang lain bala pasukan Hastinapura menggempur para perusuh setelah mengetahui bahwa mereka yang berulah atas terjadinya krisis di Hastinapura itu. Rupanya yang berhasil ditangkap ialah Bambang Wisamuka, putra Jayadrata dan Sarojakumara putra Lesmana Mandrakumara. Namun malang untuk Prabu Wesiaji. Ia memilih bunuh diri dengan menusuk dirinya sendiri saat terdesak berhadapan dengan seorang pria misterius. Menurut prajurit yang ada di sana, prajurit itu datang dan menakut-nakuti Prau Wesiaji lalu tak dinyana, Prabu Wesiaji menabrakkan diri ke keris yang dipegang pria itu. Lalu sang pria misterius itu pergi entah kemana. Mereka yang tersisa akhirnya dimasukkan ke penjara untuk diadili. Selama di penjara, kepribadian mereka seperti berubah-ubah kadang baik kadang buruk. Melihat pola yang sama dengan Sasikirana dapat disimpulkan bahwa ini bukan sekadar kerusahan fisik saja melainkan juga memakai kata-kata verbal yang dilambari ilmu hitam.

Pas dihari acara pelantikan digelar, kericuhan di Hastinapura sedikit mereka. Pancakusuma dan Prabu Kismaka datang keacara tersebut bersama 1000 pejabat dan konglomerat dari negara lainnya. Ketika mendekati Parikesit untuk menyalami dan memberikan ucapan selamat, Pancakusuma tetiba krodha menjadi raksasa besar. Bumi Hastinapura tergoncang menyambut perubahan wujud dari Pancakusuma. Suaranya lantang bagai angin topan yang menderu-deru. Seluruh isi istana kelabakan. “kau telah menipuku Parikesit, aku yang harusnya berhak atas tahta Hastinapura. Kalian telah menghianati aku. Kau adalah penyebab kematisan ayahanda dan ibundaku.” ujar Pancakusuma yang sedang berupaya memakan Parikesit yang hanya sebesar jempol kakinya. Para cucu Wrekodara segera mengamankan keadaan dengan menyerang raksasa jelmaan Pancakesuma. Kismaka pun ikut menyerang sang eyang, Prabu Sri Kresna. Pertarungan antara cucu dan kakek terjadi sengit di tengha pelantikan. “kakek keparat...kau lebih memilih membunuh ayahku daripada menghukum paman Samba. Lihat Dwara sekarang enak-enakan disini. Ayahku akan sangat bahagia kalau aku bisa membalas kematiannya.” “apa maksudmu? Aku memang membunuh ayahandamu tapi aku punya alasan dan tidak punya pilihan lain.” Begitu mendengar alasan khusus itu, Prabu Kismaka lengah dan bisa dihajar dengan Aji Kesawa milik eyangnya. Seketika itu Kismaka limbung dan jatuh. Lalu Prabu Sri Kresna duduk dan bersemadi. Ia masuk ke alam bawah sadar Kismaka dan memberikan penglihatan kepadanya. “lihatlah itu cucuku.” Munculah gambaran tentang peristiwa Gonjalisuta dulu. Terlihat alasan khusus itu yakni karena Samba menggoda ibu Kismaka begitu pula sebaliknya, ternyata Dewi Hagnyanawati, ibu Kismaka sudah bermain api dengan Samba. Hal itu membuat Sitija murka lalu membunuh Samba dan menyebabkan sang isteri bunuh diri. Kebimbangan Sri Kresna harus menghukum siapa akhirnya ia bertanya pada nenek Kismaka yakni Dewi Pertiwi. Dewi Pertiwi mengizinkan agar anaknya dibebaskan dari dosanya membunuh Samba.” Ayahanada Ibunda...” Kismaka terduduk lemas dan meminta maaf  “Eyang aku sudah salah paham. Kakang Kretiwindhu berkata padaku kalau ayahnda dan ibunda meninggal karena keegoisan seseorang. Ternyata itu bukan karena keigoisan eyang semata tapi juga karena kebimbangan hati eyang dan eyang Pertiwi yang mengizinkan ayahanda dibunuh saja.” Prabu Sri Kresna pun memeluk Kismaka “maafkan eyang ya nak....kalau ada ajian memutar waktu aku ingin memperbaiknya tapi aku sendiri tidak mampu......sebentar lagi dosa dosa yang dilakukan eyangmu ini akan dibayar lunas pada waktunya.” Di alam nyata Sri Kresna memeluk Kismaka dengan penuh kehangatan. Kismaka pun menyesal dan memaafkan sang eyang. Semar datang pada waktu yang tepat. Dengan seketika dia bertukar wujud juga. Semar berukar wujud menjadi Batara Ismaya. Semar berpakaian indah gemelapan ditimpa cahaya seterang matahari. Seluruh istana menghormat kepadanya.

Pancakesuma Mbalela
Prabu Sri Kresna ikut mengimbangi bertukar ke wujud Wisnu. Pancakesuma kemudian dihalangi dan dimarahi oleh Semar. Pancakesuma mencoba melawan Kakek Semar tapi dia bukanlah lawan tanding Semar, dia kalah dengan mudah. Raksasa jelmaan Pancakesuma pun marah-marah “minggir kau, orang tua! Aku mau menghabisi si bedebah itu! Semar dalam wujud Ismaya mengejawantah Pancakesuma dan Parikesit bahwa jangan saling berebut kekuasaan tapi yang terpenting adalah menjalankan Kalimasadha yaitu “dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Kakek Semar lalu masuk ke dalam alam bawah sadar cucu Yudhistira itu “cucuku, lihatlah ini.” Kakek Semar memberi pemandangan retrokognisi di malam kelahiran Parikesit. Terlihat di sana sosok pembunuh dari ayah dan ibu Pancakesuma yakni Bambang Aswatama. “cucuku, kau hanyalah alat untuk melampiaskan dendam seseorang. Orang itu tak lain Kretiwindu dan satu lagi adalah putra dari pembunuh orang tuamu, Dangyang Suwela. Sekarang keputusan ada di tanganmu, mau tetap mbalela atau meminta maaf. Yang lalu biar berlalu,, kau bukan satu-satunya korban dari perang Bharatayudha. Parikesit, Sasikirana, dan para saudaramu bahkan para tetua dan eyang Prabu Sri Kresna juga turut menjadi korban bahkan Sri Kresna menerima semua kutuk pasu yang diberikan eyang buyut Gendari. Berhentilah melihat ke belakang. Tataplah ke masa depan yang cerah.” Akhirnya Prabu Pancakesuma berhasil disadarkan ke jalan yang benar. Ia lalu meminta maaf kepada seluruh tetua dan tentunya kepada Parikesit. Mereka menerima maaf Pancakesuma.

Arjuna merasa kesal karena hasutan seorang Kretiwindu, pelantikan yang harusnya bahagia hampir berubah menjadi sebuah tragedi. Dengan kemarahannya, Arjuna menmbakkan panah ke arah Kretiwindu. Kretiwindu yang melihat itu lari menyelamatkan diri namun terlambat. Panah itu telah menancap di dadanya dan membuatnya jatuh kehilangan nyawanya. Pesalah sudah duhukum namun Dangyang Suwela, orang yang juga dicari itu dari pelacakan raja mbalela sampai saat ini belum juga ditemukan. Ia menghilang bagaikan asap. Setelah prosesi pemakaman Kretiwindu usai, acara pelantikan dilanjutkan setelah sempat tertunda selama beberapa hari. Disaksikan para tetua Hastinapura, prabu Sri Kresna melantik para keturunan Pandawa dan keturunan para Kurawa sebagai penerus kerajaan. Prabu Parikesit, putra Abimanyu dilantik menjadi raja Hastinapura dengan wakilnya yakni Harya Dwara, putra Samba. Prabu Pancakesuma yang berhasil disadarkan lalu kembali dilantik ulang sebagai raja Amarta dan tugas patih tertap dipegang Patih Wiwitsuh dengan didampingi putranya Yuyutsena, Kurawa yang masih tersisa. cucu Nakula yakni Bambang Niramitra dan Endang Pritawati, putra dan putri Pramusinta dengan Rayungwulan dan cucu Sadewa yakni Niken Sayekti dan Bambang Suhatra, putra dan putri dari Sabekti dan Pramuwati dan turut hadir disana . berkat kecerdasan dari para cucu Pandawa atas jasa-jasa mereka menjalankan misi sebelum pelantikan dan pengusutan terhadap pencemaran nama baik Parikesit dan Kakek Semar, Cucu Ajuna yang lain yakni Bambang Wiratmaka, putra Irawan dan Bambang Wisangkara, putra Wisanggeni dilantik sebagai kepala bhayangkari dan telik sandi Hastinapura. Putra pertama Prabu Gatotkaca yakni Prabu Sasikirana dilantik sebagai raja Pringgandani. Kedua adiknya yakni Bambang Suryakaca dan Arya Jayasumpena menjadi patih dan kepala bhayangkari kerajaan. Arya Danurwenda, putra Antareja menjadi raja Jangkarbumi dan Jayasena, putra Antasena, dilantik sebagai Haryapati Parangjaledri bergelar Haryapati Antasurya. Aya Srenggamurti dilantik pula sebagai raja Gisiksamodra dan Endang Pancaseni menjadi kepala Komnas Perempuan se Jawadwipa dan Hindustan
mendampingi Endang Yodeyi. Dibawah kekuasaan Parikesit dan Pancakesuma, Kerajaan Hastinapura dan Amarta memutuskan untuk membentuk poros Indraprastha-Kurugangga-Awangga-Sindu-Dwaraka-Mandura-Madra dengan demikian akan memudahkan segala sesuatunya dan perekonomian mengalir lancar. Sejak rapat darurat itu, Prabu Parikesit semakin akrab dengan Prabu Warsaka, putra Bambang Warsakusuma, cucu Adipati Karna. Selain itu, Prabu Surata, putra Jayadrata dengan Dewi Durshilawati semakin mempererat jalinan persahabatan dengan cucu Arjuna itu. Sesekali Dewi Durshilawati juga datang untuk menjenguk putranya, Wisamuka yang masih direhabilitasi sejak keluar dari penjara sehari setelah pelantikan Parikesit. Nampaknya Wisamuka punya mengalami berat semenjak bertemu Kretiwindu. Kapok rasanya harus berurusan dengan keturunan Sengkuni.

Beberapa hari setelah pelantikan Parikesit sebagai raja baru, Para tetua Hastinapura yakni Dewi Kunthi, Dewi Gendari, Adipati Dretarastra, dan Arya Widura secara bersamaan mendapatkan mimpi melihat cahaya dan terdampar di taman bunga. Karena mimpi itu, mereka memutuskan untuk meninggalkan keraton dan menjalani hidup sebagai seorang pertapa. Singkat cerita, para tetua sampai di hutan di kaki bukit dan mulai bersemadhi. Selama berhari-hari, mereka duduk diam sehinggalah di hari yang teramat terik panas di musim kemarau, hutan tiba-tiba terbakar dan api mengepung mereka dari segala penjuru. Namun semuanya tetap khusyuk bersemadhi sehingga mereka pun lemas kehabisan nafas dan ikut terbakar. Kabar itu terdengar hingga ke telinga para Pandawa, Prabu Sri Kresna, Begawan Curiganata, dan para cucu. Berdukalah seantero Jawadwipa.


Minggu, 11 Februari 2024

Dewi Alakshmi

Hai semua pembaca dan penikmat kisah pewayangan. mumpung ada waktu luang, penulis akan mengisahkan tentang kedatangan sosok dewi yang menakutkan dan membawa petaka di setiap kehadirannya. Sosok dewi itu ialah Dewi Jyeshta atau sering dipanggil Dewi Alakshmi. Kedatangan Dewi Alakshmi membawa bencana dan hampir membuat seluruh dunia mengalami kiamat. Semuanya pun berakhir berkat kerjasama Dewi Sri Mahalaksmi, 8 wujud Astalaksmi dan Batara Kala-Dewi Permoni. Kisah ini mengambil sumber dari Serial Kolosal India Radha Krishna Star Bharat dengan pengubahan, penambahan, dan penyelarasan dengan kisah pewayangan jawa seperlunya.

Dewi Jyeshta Alakshmi

Tepat lima tahun setelah sesaji Aswamedha, terjadi berbagai kejadian luar biasa. Seluruh Jawadwipa dan tanah Hindustan bergetar hebat. Hujan salah musim, tanaman-tanaman pertanian mengalami gagal panen, angin panas menyapu habis dan membakar hutan sehingga kering kerontanglah tempat itu. Tapi disisi lain, datanglah angin yang sangat dingin membawa badai es yang membekukan tanaman-tanaman umbi dan bunga-bunga. Gempa besar melanda seluruh negeri.

Kedatangan sang bencana, Dewi Alakshmi
Tanah laksana masuk ayakan tapis. Para penduduk utamanya para Trah Yadawa penghuni kotaraja Dwarawati bertanya-tanya "ada apa ini? akhir-akhir ini terjadi banyak keganjilan." di istana Dwarawati, keganjilan ikut menjadi-jadi. uang dan emas permata kerajaan mendadak berkurang drastis. Jatah makanan di istana dan lumbung juga cepat sekali habisnya lalu ada pula yang dimakan hama dan membusuk tanpa sebab. Dewi Radha dan Dewi Rukmini bertanya kepada suami mereka "kakanda prabu, keanehan apa yang telah terjadi? kerajaan kita mendadak kenapa jadi begini? banyak Bala bencana terjadi di Dwarawati." "benar kata dinda Rukmini, kakanda. Apa kita telah mendapatkan murka dari Yang Kuasa?" Prabu Sri Kresna memandang ke arah seberang laut dengan tatapan nanar lalu ia hanya bisa menghela nafas dan berkata "Radha! Rukmini, jawaban atas pertanyaan kalian akan terjawab sebentar lagi."

Sementara itu di kahyangan Nusakambana, Batara kala dan Dewi Permoni kalang kabut.”waduh suamiku, Dia berhasil menyelesaikan meditasinya selama puluhan ribu tahun. Pintu gua penjara buatnya telah jebol.” Batara Kala kaget “duh, padahal dia sudah kita kurung sejak peristiwa pengadukan laut hari itu. Tidak bisa dibiarkan, seluruh tanah Jawadwipa dan Hindustan bisa dibuat sengsara. Padahal perang Bharatayudha baru saja selesai.” Dewi Permoni setuju “benar kakanda, baiknya kau segera menghadap ayahanda dan ibunda, Batara Guru dan Batari Durga. Kita perlu penyelesaian dan saran-sarannya sekarang juga. Aku akan berkeliling ke seluruh tanah ini mencarinya. Siapa tahu dia ada di salah satu sudut negeri ini” Mereka pun berbagi tugas. Batara Kala segera menuju ke Jonggring Saloka dan Dewi Permoni berkeliling bersama sebagian pasukan mencari orang yang dimaksud.

Negara Hastinapura pun merasakan apa yang dirasakan di Dwarawati. Kakek Semar diiringi Dewi Dtupadi menemui Arya Wrekodara dan Arjuna untuk bertanya apa yang terjadi. Mereka berdua berkata tidak tahu. Kakek Semar lalu memberikan pendapatnya “hmmm blegedag gedug...dari pada kita berdebat karena ketidaktahuan, mari kita ke kamar pamujan gusti Prabu..” “benar kakek... mari kita kesana...” sementara itu ditengah goncangan alam, Prabu Yudhistira Kalimataya lalu duduk tafakur, melihat apa yang ada di dinia batin. Dewi Drupadi diiringi dua iparnya, Arya Wrekodara dan Arjuna memasuki kamar pamujan. di sana Drupadi kepada suaminya bertanya "kakanda, ada apa gerangan dengan negeri ini? banyak bencana dan petaka begini? Aswamedha Yadhnya telah kita lakukan tapi apa kenapa bencana seakan tak hentinya tiba?" lalu jawaban disambut oleh Arya Wrekodara "Benar kakangku. opo iki murka dewa kepada kita?" Arjuna pun menyela "yang pasti sesuatu yang sangat mengerikan akan segera tiba. Kita harus bersedia apapun itu." "kau benar adikku, Arjuna. Aku melihat di dunia batin, akan muncul sosok mengerikan dengan berpakaian serba hitam membawa segala kemalangan dan bencana ke jawadwipa ini." Wrekodara pun bertanya "waa...sapa iku? apakah Dewi Permoni?" Prabu Yudhistira berkata "aku tak pasti soal itu tapi yang jelas bukan adikku. Dia lebih mengerikan dari Ida dewi Permoni. isteri Gusti batara Kala itu masih lebih baik darinya." Dewi Drupadi pun berkata "apapun itu, aku takut kalau ia akan membuat seluruh negerti ini dalam sengsara." "maka dari itu yunda Drupadi, mari kita berdoa kepada Hyang Widhi semoga yang yunda takutkan tidak terjadi...." Belum selesai Arjuna menyelesaikan kata-katanya tiba-tiba ada suara orang ramai di luar istana. Prabu yudhistira kalimataya pun datang. di sana ia kedatangan dua adiknya yakni Prabu Nakula dan Patih Sadewa juga beberpa penduduk Mandaraka. Mereka nampak panik dan ketakutan. Prabu Yudhistira menyambut kedatangan dua adiknya itu dan bertanya "Nakula! Sadewa! ada apa dengan kalian? kenapa macam tergopoh-gopoh begitu?" Setelah berhasil menenangkan diri, Prabu Nakula bercerita "kakang prabu, Mandaraka dilanda bencana." Prabu Yudhistira bertanya bencana apa yang dimaksud. Lalu sambung Patih Sadewa "Bencana ini tak mampu kami tangani. datang seorang perempuan aneh. pakaiannya serba gelap, hitam legam laksana hitamnya batu bara. Tatapannya seakan mata jahat, siapapun yang dipandangnya akan terkena petaka. Jika sawah atau ladang yang ia lihat, maka sawah dan ladang itu akan kena gagal panen. Kalau hewan, hewan itu akan terkena sampar. tapi jika manusia, manusia itu akan sakit parah sampai mati." Prabu Yudhistira khawatir mendengar cerita itu. ia segera menyuruh adik-adik beserta rakyat mereka untuk masuk ke bale pengungsian di dalam istana. Patih Sadewa lalu berkata "kakang bersiap-siaplah, mungkin sebentar lagi dia akan ke Hastinapura."

Benar saja, prediksi dari Sadewa ternyata tak meleset. Beberapa hari kemudian datang wanita berpakaian serba hitam itu ke Hastinapura. Wajahnya ayu tapi tatapan matanya tajam sekali seperti membawa kejahatan. para penduduk Hastinapura ikut pun mengungsi ke istana. Prabu yduhistira segera mengatur para pengungsi. Tak dinyana, seketika langit tiba-tiba menjadi gelap kelam dengan petir menyambar-nyambar. Istana Hastinapura berguncang hebat. Tanaman-tanaman di sekeliling istaana menjadi layu dan mati. Hewan-hewan ketakutan. Wanita itu lalu muncul di hadapan Prabu Yudhistira dan berkata "Dimanakah Sri Wisnu? aku mencarinya keman-mana tidak berjumpa." "prabu Yudhistira balik bertanya "kau sendiri siapa?dan kenapa kau bertanya seolah-olah aku tau dimana Ida Batara Wisnu?" Wanita berpakaian hitam itu memperkenalkan dirinya"Aku....Alakshmi! aku mencari Sri Wisnu dan adikku Sri Laksmi...." belum selesai memperkenalkan diri, Arjuna segera melawan dewi Alaksmi dari belakang. namun entah kekuatan apa yang dimilikinya, serangan Arjuna mentah bahkan berbalik. Arjuna kalang kabut. Busur Gandewa tiba-tiba menjadi tidak berguna. Arya Wrekodara yang membantu Arjuna ikut terkena. gada Rujhapala tiba-tiba kehilangan kesaktiannya bahkan kuku Pancanaka pun menjadi tumpul seketika. lalu dengan tanpa ampun, Dewi Alaksmi terbang ke angkara dan menurunkan segala bala bencan. Topan badai, hujan deras dan salju lebat, kebakaran, dan gempa melanda seluruh negeri. Orang-orang berlarian kesana-kemari dalam kepanikan. Para Pandawa pun segera mengarahkan orang-orang dan segenap rakyat untuk pergi ke Dwarawati. Setelah seluruh rakyat mengungsi duluan, Para Pandawa beserta seluruh keluarga segera melarikan diri ke Dwarawati. Prabu Yudhistira melihat dari kejauhan, Dewi Alakshmi menumbuhkan tanaman berduri dan onak menuntupi seluruh negeri Hastinapura.

Di Kerajaan Dwarawati, bencana yang melanda juga tak kunjung reda. Prabu Sri Kresna melihat dari kejauhan para Pandawa dan segenap rakyat mengungsi kemari. Prabu Sri Kresna bertanya kepada para Pandawa "adik-adikku, apa yang terjadi?" ada apa kok membawa seluruh rakyat Hastinapura. apa yang terjadi dengan Hastinapura?" Para pandawa bercerita bahwa kerajaan mereka kedatangan Dewi Alaksmi. Prabu Sri Kresna seakan sudah tahu itu semua. Segeralah ia mempersilakan para pengungsi memasuki kotaraja. Belum lama mereka masuk, tiba-tiba istana Dwarawati dilanda gempa besar. laut bergolak dan angin badai berhembus sangat kencang. Orang-orang dilanda kepanikan. Di pinggir laut terlihatlah Dewi Alakshmi. Sang dewi yang menakutkan itu berusaha memasuki Kotaraja Dwarawati namun tidak bisa karena ada dinding penghalang. Maka ia mengeluarkan kekuatannya untuk membuka penghalang itu. Akibat penghalang itu tak bisa ditembus, Dewi Alakshmi murka dan menurunkan segala bala bencana. Kegelapan melingkupi seisi istana. Kebetulan di saat itu, prabu Baladewa yang juga ikut mengungsi tidak tahu dengan kedatangan Alakshmi terkena kekuatan Alakshmi. Prabu Baladewa melihat wajah dan bentuk tubuh Alakshmi sekilas mirip perpaduan Dewi Rukmini dan Dewi Radha. "Radha! kenapa kau lakukan itu?" Dewi Alakshmi berkata "Radha? aku bukan Radha!" Prabu Baladewa lalu berkata "kalau kau bukan Radha, kau pasti Rukmini! Rukmini jangan hancurkan istanamu sendiri!" "kau ini bodoh kah peka?! Aku bukan Radha apalagi Rukmini! Aku....Alakshmi!! aku kemari ingin menjemput Sri Wisnu dan adikku, Sri Laksmi...agar dendamku terbalaskan!" Prabu Baladewa kaget mendengarnya. Tanpa bersiap-siap, tiba-tiba terpelantinglah Prabu Baladewa terkena kekuatan Alakshmi. Dengan sedikit menahan sakit, Prabu Baladewa akan berusaha menghalangi Alakshmi sementara para pengungsi dari Mandura segera menuju kotaraja. Prabu Baladewa mengeluarkan senjata Nenggala. Tombak berbentuk luku (bajak sawah) itu dihantamkan dan seketika tanah yang dipijak Alakshmi bergoncang dan longsor, namun Alakshmi berhasil menghindar. Alakshmi lalu menyebarkan hawa pagebluk dan membuat semua orang terkena sawan dan demam. Para Pandawa, Dewi Radha dan Dewi Rukmini kelabakan menangani para penduduk dan pengungsi yang terkena sawan, bahkan air dari Cupu mayahadi milik Nakula dan Sadewa hanya mengobati sementara saja. Di tempat lain, Prabu Baladewa tak mampu mengalahkan Alakshmi bahkan senjata Nenggala menjadi tak berguna, kesaktiannya menjadi lenyap. Lalu datang Prabu Sri Kresna muncul dan berkata "Alakshmi!!....Hentikan menyebarkan hawa penyakit dan kekacauan!" "haahh...Sri Wisnu telah datang menjemputku. Dimana adikku, Sri laksmi? aku akan membuat perhitungan denganya!" Prabu Sri Kresna lalu berkata "jangan kau sentuh Radha dan Rukmini!" "ohhh rupanya adikku membelah dirinya menjadi dua isterimu! akan kirimkan teluhku padanya." tiba-tiba Dewi Radha dan Dewi Rukmini beserta para Pandawa terkena sakit parah di saat mereka sedang melakukan sembahyang di kamar pamujan. Sri Kresna murka dan hendak melawan Alakshmi namun ditahannya.

Perlindungan Dewi Shitala
Tapi tiba-tiba muncul kekuatan aneh dari arah Dwarawati. Rupanya itu gabungan kekuatan dari Batari Durga dan Dewi Sri Laksmi dalam diri Radha dan Rukmini. Gabungan kekuatan itu membentuk seorang dewi cantik yang membawa sapu lidi. Ialah Dewi Shitala. Dengan sapu ajaibnya, penyakit demam dan sawan yang di derita para penduduk dan pengungsi di Dwarawati sembuh. Dewi Alakshmi pun berkata “hoh...rupanya teluh dan hawa pagebluk ku tak bisa mempengaruhi seisi istana ini. Kekuatan dewi ada disini. Aku penasaran, apa yang dilakukan adik-adikku disini.” “kalau begitu, masuklah ke istanaku. Kau akan tahu segalanya.”

Dewi Alakshmi senang ia diundang sendiri oleh Sri Wisnu. Maka ia masuk ke kotaraja. Begitu memasuki kota, angin kencang dan badai dahsyat berhembus semakin kencang. Disana Alakshmi memperkenalkan diri sebagai Dewi Jyestha. Para isteri Sri Kresna menyambut Dewi jyestha dan menganggapnya seperti saudari muda. Namun berbeda dari para isteri Sri Kresna lainnya, hanya Dewi Radha, Dewi Rukmini, dan Dewi Kalindi yang agak curiga dengan kedatangan Jyestha. Pada suatu hari, Jyestha mengundang para saudari angkatnya yakni para isteri Sri Kresna. Jyestha berkata “aku tadi bermimpi bahawa aku mendapatkan anugerah dewa bisa mengabulkan segala keinginan. Mintalah, akan ku panjatkan doa kalian kepada dewa.”para isteri Kresna saling berebut meminta permohonan “Jyestha aku ingin permata” kata Charuharsini. Lalu Bhadra berkata “aku ingin intan dan berlian.” Mitrawinda tak mau kalah “aku mau segulung kain sutra mahal.” Nagnajiti menyela “aku mau sekarung perhiasan.” Lalu ketika giliran Dewi Kalindi “aku hanya minta air seteguk.” Semua orang tertawa mendengarnya. Lanjut ke Dewi Setyaboma “aku ingin lima ratus ribu tahil emas.” Ketika mendekati giliran Dewi jembawati “maaf aku masih ragu apa yang aku minta. Aku akan meminta kalau Yunda Radha dan Yunda Rukmini selesai membuat permintaan.” Dewi Radha berkata “Jembawati, aku tidak meminta apa-apa.” Sambung Dewi Rukmini “benar, aku sama sepeti yunda Radha. Aku tidak meminta apapun. Kami sudah punya yang kami inginkan..yang tidak terbatas.” Dewi Jyestha berkata kepada Jembawati “jembawati, lihatkan, kedua yundamu tidak ingin apa-apa. Katakan apa keinginanmu!” “baiklah, aku meminta kekayaan Batara Kuwera, yang tidak terbatas. Biarkan kamarku penuh dengan emas.” Semua orang kaget mendengarnya. Para pandawa ikut termangu-mangu mendengarnya. Akhirnya Dewi Jyestha mengabulkan permintaan mereka sesuai keinginan. Kakek Semar lalu berbisik kepada Arjuna ‘ndoroku Arjuna, ini tipu daya Alakshmi semata. Yang ia bawakan bukan anugerah tapi kutukan. Apa yang diminta para isteri Kresna akan menjadi tulah.”

Beberapa hari kemudian kerajaan Dwarawati gempar. Semua yang diminta para isteri Kresna berubah menjadi kutukan. Permata, intan, dan berlian yang disentuh Charuharsini dan Bhadra berubah menjadi batu dan bata. Kain sutra mahal berubah memnjadi kain goni dan kertas daluwang begitu disentuh Dewi Mitrawinda. Air yang diminta Dewi Kalindi membuatnya sakit dan seluruh sungai di sekitaran Dwarawati kering kerontang membawa kekeringan dan paceklik. Segala perhiasan dan emas yang diminta Dewi Nagnajiti dan Dewi Setyaboma berubah menjadi besi berkarat. Tapi itu baru permulaan, apa yang diminta Dewi Jembawati sangat banyak dan akhirnya membuat apapun yang ia sentuh berubah menjadi abu. Emas, perhiasan bahkan benda-benda remeh sekalipun pun menjadi debu atau benda-benad yang menyakitkan dalam sekali sentuh. Seluruh isteri Sri Kresna kalut. Para Pandawa berusaha menenangkan namun tak ada yang bisa menahan kesedihan mereka. Dewi Radha segera menenangkan Dewi Jembawati namun begitu Dewi Jembawati menyentuh pakaian yang dikenakan Dewi Radha, semua yang dikenakannya berubah menjadi kain goni. Gelang, cincin dan giwang bunga miliknya berubah menjadi onak dan duri-duri. Dewi Rukmini kaget melihatnya. Nasib buruk tak hentinya datang. Dewi Rukmini tak sengaja terkena sentuhan Dewi Jembawati ikut bertukar wujud. Pakaiannya berubah menjadi putih lusuh seperti kain kafan kotor. Tampilan wajahnya menjadi seperti nenek tua. Para Pandawa,, Dewi Drupadi, para isteri Arjuna, Prabu Baladewa bahkan Kakek Semar bertukar wujud menjadi sososk seperti pengemis dan peminta-minta yang lemas, sakit-sakitan, dan hina. Prabu Sri Kresna lalu berusaha menenangkan keadaan dengan kekuatan nada seruling Pemikat Rahsa miliknya. Namun bukan nada-nada indah yang keluar melainkan suara-suara menakutkan dan seruling itu berubah menjadi gosong seperti habis terbakar. Segala yang disebut sebagai kekayaan dan kesejahteraan lenyap tak berbekas dari Dwarawati bahkan istana Dwarawati yang megah berubah menjadi kelam...seperti istana terbengkalai nan angker. Kosong, suram, dan menyeramkan. Kesembilan isteri Sri kresna segera berdoa di kamar pamujan. Mereka berdoa namun gangguan tak hentinya datang. Tiba-tiba angin berhembus kencang menerbangkan apa yang ada di kamar pamujan. Para isteri Sri Kresna mendadak jatuh pingsan terkena benda-benda yang beterbangan. Ketika mereka bangun, mereka hilang ingatan dan saling bertanya. “siapa aku...aku dimana sekarang...siapa kamu...aku tidak kenal denganmu...tolong siapa saja...jelaskan kami ini siapa?!” Prabu Sri Kresna lalu mendatangi mereka bersembilan “para isteriku..ingatlah..kalian adalah Sri Laksmi. Hong Sri Mahalaksmi Namaha.....” seketika ingatan para isetri Kresna kembali. “kakanda Prabu Sri Kresna, kami ingat semuanya....” Namun kemarahan dan dendam Dewi Alakshmi semakin memuncak. Bukan hanya Dwarawati yang ditimpa kemalangan, kini Hastinapura , Amarta, Upalawaya dan negeri-negeri lainnya di seantero Jawadwipa dan Hindustan dilanda kemalangan. Bukan cuma panen gagal atau wabah penyakit, kebodohan, kesengsaraan, kelemahan, cahaya ikut menghilang dari dunia. Matahari tak lagi bersinar karena langit diseliputi kegelapan. Bulan pun sama, tak ada lagi terang. Dewi Alakshmi pun medatangi Sri Kresna dan berkata “sekarang kau adalah milikku, Wisnu.” Ketika tangan Alakshmi menyentuh tubuh Sri Kresna, tubuh gelap Sri Kresna jadi semakin gelap menghitam. Namun entah kekuatan dari mana, muncul sembilan cahaya menuju arah Sri Kresna. Delapan cahaya berwarna pelangi menyatu ke dalam cahaya yang paling besar berwarna putih dan bertukar wujud menjadi Dewi Sri Mahalaksmi, bentuk tertinggi dari Dewi Sri Laksmi. Sentuhan tangan Dewi Sri Mahalaksmi membuat sebagin tubuh Sri Kresna bercahaya. Dengan kesaktian Dewi Sri Mahalaksmi, kekuatan Dewi Alakshmi perlahan pudar. “apa-apaan ini Laksmi? Beraninya kau! Akan kukalahkan kau!” adu kekuatan dan kesaktian pun terjadi di angkasa. Awan badai dan cuaca cerah bergerak cepat sekali. Dewi Sri Mahalaksmi mengeluarkan 8 kekuatannya yakni Dewi Adi Laksmi, Dewi Dhanalaksmi, Dewi Dhanyalaksmi, Dewi Gajalaksmi, Dewi Santana Laksmi, Dewi Dhairya Laksmi, Dewi Wijaya Laksmi, dan Dewi Widya Laksmi. Ke delapan wujud Dewi Sri Laksmi itu berperang melawan seorang Alakshmi yang berkekuatan besar. Seketika delapan warna kekuatan menyerang Dewi Alakshmi..

Sri Mahalaksmi, Astalaksmi vs Alakshmi
Pertarungan yang disuguhi berbagai kejadian alam luar biasa. Petir menyambar-nayambar disertai topan badai yang sangat kencang. Kedelapan wujud dewi Sri laksmi itu lalu menengadah ke angkasa dan turunlah Batara Kala dan Dewi Permoni. Dewi Alakshmi ketakutan hendak kabur namun Batara Kala datang. Alakshmi terbang ke arah lain namun dihalangi Dewi Permoni. Pasangan dewa dewi pengendali segala  kemalangan mengeluarkan jerat sakti. Maka terkurunglah Dewi Alakshmi di dalam jerat itu.”terima kasih, delapan Asta Laksmi. Berkat bantuanmu, Alakshmi bisa dikurung kembali ke daunia bawah.” Ucap Dewi Permoni yang juga disebut sebagai Dewi Setesuyara itu. “kami sangat berterima kasih padamu, Dewi Sri Asta Laksmi.”sambung batara Kala “tidak perlu sungkan, Kala! Permoni!”. Batara Kala dan Dewi Permoni pun kembali ke kahyangan Nusakambana dan langsung memenjarakan Dewi Alakshmi. Ke sembilan wujud Dewi Sri Laksmi pun kembali dan terbang ke kamar pamujan para isteri Sri Kresna. Rupanya mereka adalah wujud-wujud dari isteri-isteri Sri Kresna. Perlahan, semua kutukan yang diturunkan kepada para isteri Sri kresna hilang dan memudar. Istana Dwarawati yang tadinya seperti istana kosong terbengkalai kembali seperti semula. Kesejahteraan telah kembali. Segalanya kembali seperti biasanya. Jawadwipa kembali damai dan tentram. Para Pandawa bisa kembali ke Hastinapura.


Sabtu, 10 Februari 2024

Aswamedha Parwa (Sesaji Aswamedha)

Hai semua pembaca dan penikmat kisah pewayangan, kisah kali ini mengisahkan Sesaji Aswamedha atau Kurban Kuda yang dilakukan para Pandawa. Dikisahkan pula kemunculan dan pertemuan kembali para keturunan Pandawa yang sintas dari Bharatayudha. Kisah diakhiri dengan mimpi buruk Sri Krtesna tentang kemunduran Trah Yadawa dan kabar bahawa sebentar lagi sudah habis masanya penitisan Wisnu dan Sri Laksmi di jaman Duparayuga. Kisah ini mengambil sumber Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa dengan pengubahan dan penambahan seperlunya.

Sesaji Aswamedha (Kurban kuda)

Karena baik Hastinapura dan Amarta tidak ada raja yang memerintah, maka pada saat yang baik, Prabu Yudhistira dilantik sebagai  raja wakil Parikesit dan Pancakesuma yang kala itu masih sangat kecil. Sang prabu dilantik dengan gelar abhiseka Kalimataya. Tahun itu Prabu Yudhistira mendapat julukan rajanya para yatim dan janda, karena sebagian besar rakyatnya kehilangan ayah dan suami mereka. Kerajaan Amarta, Hastinapura diseliputi duka dan ratap. Arya Wrekodara memerintah kadipaten Jodipati di Istana Banjarjunut. Arjuna memerintah Madukara di istana Tirta tinalang sementara Prabu Nakula dan Patih Sadewa ditunjuk sebagai raja dan Patih Mandaraka sesuai amanat Paman Salya.  Selain sebagai Patih Hastinapura, Amarta dan Upalawaya masih belum ada pemimpin baru maka diperintahkanlah Patih Wiwitsuh, adik Prabu Duryudhana sebagai yang berwenang dan wakil Prabu Yudhistira di Amarta. Di pringgondani pula, Bambang Sasikirana, putra Prabu Gatotkaca dengan Pergiwa masih bergelut dengan gangguan trauma yang ia alami sebab terkadang ia menangis dan meraung-raung ketika ada yang menyebut nama ayahnya. Disebabkan oleh trauma itu pulalah, Sasikirana memiliki kepribadian ganda bernama Megantara.

Wesiaji menjadi raja wakil Pringgondani
Karakter Megantara ini mempunyai sifat pemarah, sumbu pendek, dan beringas sama seperti sifat kakak dari neneknya, yakni Prabu Arimba. Adik-adik Sasikirana yakni bambang Suryakaca dan Jayasumpena selalu berusaha mensupport kakak mereka agar bisa sembuh dari traumanya. Karena ketiga putra Gatotkaca itu masih belum mampu memerintah negara, kerajaan Pringgondani untuk sementara diperintah Prabu Wêsiaji, putra Arya Brajadentha.

Selama setahun pertama itu, era Duparayuga telah berganti ke era Kaliyuga (Jaman Kalabendu). Kesedihan tak berkesudahan terjadi dimana-mana tapi itu baru awalnya saja. Untuk menanggulangi kesedihan tidak merembet ke seluruh Jawadwipa dan Hindustan, Prabu Yudhistira melakukan sesaji Aswamedha, yakni sesaji korban kuda. Kuda kerajaan dilepaskan dan para prajurit akan mengikuti kuda itu. Barangsiapa yang kerajaan yang dilewati kuda penyelenggara sesaji Aswamedha, maka harus bersedia tunduk dan menjadikan kerajaannya sebagai sekutu. Pada suatu kesempatan, kuda Aswamedha melewat kerajaan Tabelasuket, kuda itu hampir dibunuh oleh prabu Arjunapati dan dewi Citrahoyi. Raden Arjuna yang ikut mengawasi larinya sang kuda, seketika segera menghentikan tindakan prabu Arjunapati. Ia menyerang sang raja Tabelasuket. Prabu Sri Kresna datang menengahi. Namun prabu Arjunapati tidak terima kalau kerajaannya tunduk dan di jadikan mitra Hastinapura. Raden Arjuna yang tadi bertarung kini teralihkan oleh kecantikan paras Citrahoyi. Paras yang mengingatkannya pada Dewi Banowati. Dewi Citrahoyi memohon agara Arjuna tidak melanjutkan pertengkaran ini. Namun sepertinya Arjuna memang tua-tua keladi, sifat masa mudanya tak juga hilang. Ia merayu sang dewi. " Dewi yang cantik bagaikan bunga, tolong rayu suamimu....kalau tidak dia akan celaka, Dewi." Prabu Sri Kresna mengingatkan Arjuna " Parta, jangan kau rayu wanita ini. Usiamu sudah hampir kepala enam, jangan bertindak yang merendahkan martabat wangsa Baharata." Arjuna lalu menjawab " Madhawa, yang kulakukan ini hanya strategi kita.....tidak lebih dari itu."

Drwi Citrahoyi seketika goncang hatinya. Ia lalu memarahi suaminya, berkata bahwa suaminya sekarang tak bisa membaca situasi dan keuntungan. Kalau bisa bermitra dengan Hastinapura, maka pamor kerajaannya ikut terangkat. Prabu Arjunapati marah karena istrinya kini tak setia dan berpolitik untuk urusan cinta. Maka sang raja Tabelasuket menghunuskan panah dan pedang, namun berhasil ditangkis sang Panegak Pandawa. Arjuna menembakkan panahnya dan jrass...leher Prabu Arjunapati terpenggal. Raja itu tewas dan kerajaannya diambil. Singkatnya, Dewi Citrahoyi justru menikahi Arjuna sang Permadi. Putra Citrahoyi dari pernikahan sebelumnya, Raden Arjunawirya dijadikan raja Tabelasuket. Bagaimanapun, Arjuna sangat menyayangi putra sambungnya itu karena di usia yang tak lagi muda, ia  merasa kangen pada Abimanyu yang telah lama gugur. Setelah beberapa waktu, Dewi Citrahoyi dikabarkan mengandung anak Arjuna dan lahirlah adik sambung Prabu Arjunawirya yang bernama Raden Danarcitra.

Setelah hampir setahun sesaji diselenggarakan, kini kuda Aswameda menghentikan langkahnya di  kerajaan Manikpura. Raja disana yakni Bambang Babruwahana. Arjuna dan Kakek Semar tidak tahu karena selama ini Manikpura yang pernah mereka datangi sebelumnya adalah desa kecil kini menjadi negara merdeka. Ia teringat akan salah satu istrinya yakni Endang Citragandawati. Kebetulan ada seorang pemuda bangsawan sedang berpatroli. Arjuna tidak tahu kalau pemuda gagah yang dihadapannya itu raja negara itu. Maka Arjuna berkata dengan seenaknya dan menyuruh anak muda itu menyampaikan pada raja negeri itu "anak muda, Hastinapura telah melakukan Sesaji Aswamedha dan kerajaaan Manikpura telah dilewati kuda sesaji. Maka, kerajaan Manikpura harus bersedia tunduk pada Hastinapura. Jika membangkang, Hastinapura dan Amarta tidak akan segan-segan menyerang Manikpura!!" Sontak saja, pemuda itu kaget dan marah, tiba-tiba kerajaannya dipaksa jadi mitra kerajaan lain. Sang raja muda itu tidak bersetuju dan seketika menantang Arjuna. "Maaf Tuan, aku adalah raja negeri ini dan aku tidak bersedia tunduk kepada negerimu!! Aku menantangmu duel!! Jika aku kalah maka aku bersedia tunduk tapi jika tuan yang kalah, maka bersiaplah negeri tuan yang akan kami gempur habis-habisan!!" Maka terjadilah perang tanding. Kedahsyatan dua ksatria itu tak terukur. Kakek Semar segera memerintahkan telik sandi untuk memberi kabar ke Hastinapura. Maka berangkatlah telik sandi kembali Hastinapura. 

Sementara itu Dewi Drupadi dan para isteri Arjuna berada di taman. Dewi Ulupi di kaputren Hastinapura yang sedang mengasuh cucunya, Bambang Wiratmaka mendapat firasat tidak baik soal suaminya. Ia lalu mengajak Sumbadra dan Drupadi untuk pergi menyusul Arjuna. Dewi Drupadi merasakan ini juga. Bebrapa saat kemudian datang telik sandi yang berkata kalau Arjuna sedang bertarung dengan raja Manikpura. Dewi Drupadi dan para isteri Arjuna kaget mendengar berita itu, sebagai orang yang tau berpolitik, ia menerima ajakan iparnya itu. Di keraton Manikpura, Endang Citragandawati juga mendapat firasat tentang kedatangan orang spesial. Maka ia menyuruh prajurit untuk mengantarnya ke tempat sang raja Manikpura berpatroli.

Perang tanding terjadi begitu sengit sehingga pemuda itu menembakkan panah Narayanastra. Akibat panah itu, Arjuna terkapar tak bernafas. Para Isteri Arjuna, Dewi Drupadi, dan Endang Citragandawati yang baru sampai disitu terkaget histeris ternyata Arjuna terbunuh ditangan putranya sendiri. Dewi Drupadi dengan geram menanyakan siapa yang melakukan semua ini. Pemuda itu mendatangi sang ratu Amarta-Hastinapura itu. Ia memperkenalkan diri " mohon ampuni hamba, Gusti permaisuri....aku Bambang Babruwahana, putra dari Endang Citragandawati. Raja dari Manikpura. Aku tidak bermaksud membunuh pria ini."  ibu Babruwahana berkata dengan histeris "anakku,  kau benar-benar bodoh...orang yang kau bunuh itu ayah kandungmu sendiri!"

Pertemuan kembali Arjuna dengan Babruwahana
Citragandawati bercerita sekitara dua puluh tahun lalu, Arjuna berkelana tapa ngrame demi Prabu Ekalaya dari Paranggelung. Ia menolong ayahnya, Resi Citrasenawa. Sebagai rasa terimakasih, ayahnya menikahkannya dengan Arjuna. Lalu ia melanjutkan tapa ngrame itu dan meninggalkan istrinya itu dalam keadaan hamil besar. Arjuna berpesan jika anak itu lahir, minta diberi nama Babruwahana.

Babruwahana bersedih hati karena tanpa sengaja membunuh ayahnya. Ibu tiri Babruwahana, Dewi Ulupi dan Dewi Sumbadra menyabarkan putra tirinya itu. Dewi Ulupi seketika teringat dulu Irawan pernah membunuh Arjuna sekali saat menjadi raja Rancangkencana. Ia menghidupkan lagi suaminya dengan daun Kastuba. Ia keluarkan daun ajaib itu dan membalukannya ke luka-luka suaminya. Seketika luka tertutup dan Arjuna bisa hidup kembali. Babruwahana memeluk sang ayah dan menceritakan semuanya. Ia juga meminta maaf karena perbuatannya, sang ayah hampir mati. Arjuna memeluk putranya yang telah lama tidak ia temui. Tapi karena terikat kesepakatan sesaji Aswamedha, Arjuna jadi bingung harus bersikap. Dewi Drupadi memberikan jalan tengah pada sang ipar. Kerajaan Manikpura tidak akan dipaksa tunduk namun Hastinapura bersedia menerima persahabatan dan kemitraan dengan Manikpura. Semua pihak akhirnya senang dan bahagia  Masalah kedaulatan negara sudah diselesaikan secara fair. Arjuna pun mengundang putranya Babruwahana untuk ke Hastinapura beberpa hari. Pesta pun digelar demi menyambut kedatangan Babruwahana. Di tengah meriahnya pesta,, beberapa hari kemudian, datanglah rombongan dari negeri Saibipura. Yakni  Arya Yodeya, putra Prabu Yudhistira dari Endang Dewika kembali menampakkan diri. Sudah sejak lama sejak pertemuan dengan sang ayah di Wirata, ia tak sowan bahkan tak ikut dalam perang Bharatayudha karena fokus menjadi pemimpin. “ayahanda, maafkan ananda tak datang sowan dalam waktu lama bahkan ketika kakang Pancawala dan adik-adik gugur,” “anakku, aku merasa bersyukur kamu baik-baik saja. Kemarilah, ini keponakanmu, Pancakesuma. Putra kakangmu dan Pergiwati.” Arya Yodeya gembira hati melihgat wajah lucu dan molek itu. Di gendonglah sang keponaka di pangkuamn Yodeya. “ayahanda, lihatlah juga aku juga membawa cucumu.” Lalu muncullah seorang permpuan mengendong seorang bayi perempuan yang ayu. “perkenalkan, ini istriku, Lilarasmi dan putriku, Yodeyi.” Prabu yudhistira senang sekali dan menggendong cucu perempuannya itu. Ia sangat bersyukur ternyata keturunannya tak hanya Pancakesuma, seluruh Wangsa Baharata ikut berbahagia gembira karena para pewaris mereka tidak sepenuhnya hilang.

Singkat cerita, sesaji Aswamedha telah berhasil dilakukan. Upacara Sesaji berlangsung selama hampir lima tahun. Seluruh daratan Jawadwipa dan Hindustan menjadi sekutu bagi Hastinapura dan Amarta. Kerajaan kembali damai. Namun tidak di negara Dwarawati. Hari itu kerajaan yang berdiri diatas pulau Dwaraka itu sedang tidak baik-baik saja. Beberapa tahun setelah Bharatayuda usai, kerajaan Dwarawati sering dilanda badai dan topan. Entah pertanda apa. Lalu ketika tidur, dalam mimpi Sri Kresna, ia didatangi Batara Kala dan Batari Durga. Mereka memberi kabar kalau tugas avatara Wisnu dan Sri Laksmi akan segera berakhir. Mereka juga membawa kabar bahwa sebentar lagi kejayaan trah Yadawa akan segera berakhir. Prabu Sri Kresna terbangun dengan keringat bercucuran. Isterinya yakni Dewi Rukmini dan Dewi Radha kaget karena sang suami tiba-tiba bangun. Dewi Rukmini berkata " ada apa kakanda suamiku? Kau sangat panik. Apa yang mengganggumu, suamiku? Yunda Radha, bantu aku dan bangunkan Dinda Jembawati dan Sêtyaboma!" Dewi Radha segera membangunkan Dewi Jembawati dan Sêtyaboma " dinda Jembawati! Dinda Setyaboma! Kemari! Ayo kita ke kamar kakanda prabu! Ada hal penting yang ingin diceritakan kakanda prabu!" " Baik yunda, aku akan bangunkan Dinda Kalindi, dinda Nagnajiti, dan dinda  Mitrawinda dulu!" " benar kata yunda Jembawati, semua isteri Sri Kresna berhak tahu apa yang akan diberitahukan kakanda. Aku akan membangunkan Dinda Charuharsini dan dinda Bhadra dulu." Semuanya segera berbagi tugas.

Prabu Sri Kresna menceritakan mimpi buruknya kepada para isterinya
Malam itu di beranda kamar tidur yang besar diiringi hujan badai dan kilat halilintar menggelegar dengan latar laut berombak dan badai besar, prabu Sri Kresna berkata " para isteriku, aku mendapat mimpi dari Gusti Batara Kala dan Ida Batari Durga. Mereka membawa kabar kalau sebentar lagi tugas kita sebagai avatara Wisnu dan Laksmi akan selesai. Aku sudah melihat tanda-tandanya. Trah kita mulai mendekati arak dan tuak...anak muda mulai mendekati maksiat. Kita tidak tau kapan kehancuran besar itu akan terjadi tapi kita harus bersiap-siap akan kemungkinan yang terjadi." Para isteri Sri Kresna bersedih hati namun ini sudah takdir. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa lagi hnaya menanti takdir yang akan datang berikutnya tiga puluh lima tahun lagi.

 

Selasa, 06 Februari 2024

Santiparwa (Dharma Pamungkas)

Hai semua pembaca dan penikmat kisah-kisah pewayangan. Kisah kali ini mengisahkan kegundahan hati para Pandawa sehabis perang Bharatayudha dan Maharesi Bhisma juga Abiyasa menenangkan mereka tentang pengatahuan akan tegaknya dharma kini ada di tangan para Pandawa dan hukum karma. Di kisahkan pula kedatangan para Pandawa kmebali ke Hastinapura dan kutuk pasu Gendari kepada Prabu Sri Kresna dan seluruh wangsa Yadawa. Kisah ini mengambil sumber dari Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa, Serial kolosal India Mahabharat Starplus dan Radha Krishna Starbharat, dan Kematian Kresna - Kumpulan Cerita Wayang

Perang Bharatayudha telah usai...Kurawa telah tumbang dan gugur di medan laga, hanya menyisakan Arya Wiwitsuh dan Kertamarma. Keadaan keduanya sungguh berbeda. Arya Wiwitsuh menjadi orang terhormat sementara Kertamarma hilang ingatan setelah ia dibunuh oleh Arya Wrekodara lalu atas keinginan Sri Kresna ia dihidupkan kembali. Pandawa memang meraih kemenangan namun juga bergelimang kepahitan dan perasaan penuh dukacita. Sisa pengikut Kurawa yakni Aswatama yang pada malam hari sehabis perang membunuh putra dan menantu Yudhistira dengan Drupadi yakni Pancawala dan Pergiwati yang tengah terlelap dan beberpa para putra Pandawa yang tersisa. Bukan itu saja ia juga membunuh janda sang Prabu Duryudhana, junjungannya sendiri yakni Dewi Banowati. Lalu ia menghabisi Arya Drestajumena, pembunuh ayahnya dan salah satu istri Arjuna, adik dari Drupadi dan Drestajumena yaitu Dewi Srikandhi. Di puncak kekesalannya pada Arjuna, ia berniat menghabisi keturunan Arjuna. Hal itu berakhir dengan tragis. Ia dipenggal Prabu Sri Kresna dengan Cakra Widaksana dan dihantam gada Rujakpala Bhima Wrekodara, lalu tewas. Prabu Sri Kresna mengutuknya bahwa kematiannya tidak akan diterima langit, bumi, surga, maupun neraka dan akan terus mengembara di Bumi sampai Mahapralaya (hari kiamat) tiba karena menembakkan panah Kyai Cundamanik ke arah kandungan Dewi Utari, namun untungnya hal itu dapat ditanggulangi dan anak Abimanyu dan Utari lahir selamat. Anak itu diberi nama Parikesit. Sementara itu, anak dari Pancawala dan Pergiwati yakni Pancakesuma akan dirawat oleh Prabu Drestaka, putra Drestajumena yang tak lain ialah pamannya dari Pancala.

Sebelum boyongan, para Pandawa, Dewi Kunthi, Drupadi, Sumbadra, dan Sri Kresna ingin mendatangi dua kakek mereka yakni Maharesi Abiyasa dan Maharesi Bhisma. Kebetulan dua resi bersaudara itu masih di Tegal Kurusetra. Keadaan Maharesi Bhisma makin memprihatinkan. Tubuhnya yang masih tertancap ratusan panah terus mengeluarkan darah. Tapi Maharesi Bhisma sudah bersumpah dia hanya akan kembali ke hadirat Yang Mahakuasa jika waktu yang tiba. Maharesi Abiyasa juga semakin kurus saja sejak perang berlangsung. Sinar matanya kian temaram sejak cucu cicitnya juga semua orang yang ia kenal dan kasihi banyak yang gugur. Keadaan yang membuat serasa remuk redam hati.

Santiparwa (Dharma Pamungkas)
Diantara yang paling merasa remuk hatinya adalah Prabu Yudhistira. Ia merasa bersalah karena sudah menyulut perang ini. Ia mengadu "duh..dua kakek maharesi-kami, para cucumu ini telah melakukan dosa besar tak terampunkan. Kami bantai seluruh keluarga, kaum kerabat, dan saudara kami sendiri dalam perang ini" Arjuna lalu ikut mengadu "benar, kakek....kakek sendiri sudah terluka parah demikian oleh saya dan istriku Srikandhi. Kakang kami sendiri, Kakang Adipati Karna telah saya bunuh dengan tak bermartabat saat memperbaiki roda kereta kencananya. Masygul hati cucumu." Yudhistira semakin sedih hati dan menangis tersedu merutuki dosa-dosanya "Hilang sudah harga diri kami sebagai orang beradab. Dosa kami.....sudah bertumpuk-tumpuk...kini bertambah-tambah lagi...kami tak pantas diampuni...kami seharusnya tak pantas disini meminta wejangan ke hadapan  kakek berdua tapi kami bingung harus mengadu pada siapa lagi....." Prabu Yudhistira semakin tenggelam dalam kesedihannya lalu mengambil segenggam ilalang lalu ia membakarnya. Api pun menyala dan ia memasukkan tangannya ke api itu hingga melepuh terbakar . Keempat adiknya dan juga sang isteri berusaha menghentikannya. Tangan sang Prabu Yudhistira berhasil ditarik dari api namun ia terus menyalahkan dirinya sendiri. Ia merasa tak pantas lagi menjadi pemimpin lagi dan ingin membuang diri ke tengah hutan.

Maharesi Bhisma dan Maharesi Abiyasa mencegah cucunya itu. Maharesi Bhisma lalu memberikan wejangan dan semangat hidup "cucuku Puntadewa, lihatlah kakek! Kakek sudah tercucuk banyak panah masih punya semangat sampai hari ini! Tapi kenapa kau yang tak terluka justru bersedih hati dan merasakan sakit? Kuatkan iman dan hatimu, Darmakusumah. Ingatlah selalu cucuku, beginilah hukum dunia. Siapa yang menabur, kelak akan menuai. Ada sebab ada akibat, ada perbuatan ada balasan. Kakekmu ini telah menerima apa yang ia lakukan dahulu ketika telah mengecewakan Amba saat masih muda dahulu. Kakangmu Karna dahulu pernah mengecewakan gurunya Ramabargawa dengan mengaku-aku sebagai anak brahmana dan sekarang ia telah ikhlas menghadapi takdirnya. Kakangmu Duryudana dan Dursasana dulu saat judi dadu melakukan penghinaan dengan melakukan pelecehan pada istrimu dan mereka menerima apa yang mereka tabur. Karma baik dan buruk telah ditentukan oleh Sang Mahakuasa yang memutar roda nasib kita. Kita sebagai manusia hanya mampu menghadapinya dengan cara-cara kita. Cucuku Puntadewa, apa kau masih ingat? Aku adalah saksimu dulu saat Sesaji Rajasuya. Kau sudah membuktikan diri sebagai raja diraja yang mumpuni. Takhta Amarta dan Hastinapura sudah menemukan orang yang pantas untuk takhta itu diamanatkan, yaitu kamu cucuku." 

Prabu Yudhistira masih ragu apakah ia mampu sekali lagi menjadi raja. Lalu Maharesi Abiyasa memberi juga wejangan "cucuku....kakek yakin, kamu pasti orang yang pantas. Ingatkah kamu kisah leluhur Prabu Palgunadi, sang Bambang Ekalaya yaitu Prabu Nala dan Dewi Damayanti dari Paranggelung. Sang raja juga punya nasib sama sepertimu karena godaan judi hingga membuatnya tertimpa berbagai bencana dan kemalangan juga harus berpisah dengan istrinya. Namun karena itu semua, ia bisa kembali menjadi raja di Paranggelung dan berkumpul kembali dengan anak isterinya. Berbagai kemalangan dan juga perang ini telah menempa iman dan hatimu hingga seperti sekarang. Maka kuatkan semangatmu, hiduplah dengan baik dan yakinlah dibalik sebuah kepahitan ada manis di dalamnya. Sekarang saatnya aku dan kakang Bhisma harus menghadapi takdir kami masing-masing. Nasib negara ini kami serahkan padamu." Tepat hari itu, matahari bergerak ke garis balik utara. Datanglah kereta emas dari angkasa menjemput Maharesi Abiyasa dan Maharesi Bhisma. Para prajurit kahyangan lalu memperlakukan luka Maharesi Bhisma hingga ia bebas dari rasa sakit. Maharesi Abiyasa dan Maharesi Bhisma ditemani sang ibu, Dewi Gangga dan Dewi Amba sang pujaan hati menaiki kereta emas itu lalu kereta itu terbang ke kahyangan. Sebelum pergi, Abiyasa memberikan gelah Dipayana kepada sang putu canggah, Parikesit. Para rombongan Pandawa menangis bahagia melihat kedua leluhur mereka bisa moksa dengan tenang naik kereta emas. Setelah kepergian mereka, mereka memberikan penghormatan.

Di Keraton Hastinapura, adipati Drestarastra, Dewi Gendari, dan Arya Widura ditemani putranya Sanjaya menyambut kedatangan rombongan Pandawa. Adipati Drestarasta begitu kangen dengan para ponakannya lalu berkata " kemarilah keponakanku para Pandawa, pelukalah pamanmu ini." Satu persatu para Pandawa datang memeluknya namun begitu giliran Bhima Wrekodara untuk dipeluk, Prabu Sri Kresna menariknya lalu mendorong sebuah patung sebesar Bhima. Begitu sang adipati memeluknya, patung itu terbakar lalu meledak. Rupanya Adipati Drestarastra ingin melampiaskan dendam ke seratus putranya dengan mengerahkan aji Leburgeni kepada Arya Wrekodara. Namun Drestarastra menyesal lalu Prabu Sri Kresna mengabarkan kalo Bhima selamat “uwa adipati, janganlah sedih hati....sesungguhnya tidak semua putramu habis. Masih ada Wiwitsuh dan Kertamarma. Wiwitsuh kini di hadapanmu...kalau Kertamarma...dia hilang ingatan, sekarang dia ada dalam jagaan saya.”.

Kutuk pasu Gendari kepada Sri Kresna
Lega lah hati bapak Kurawa itu. Namun tidak dengan Dewi Gendari yang kecut begitu melihat Prabu Sri Kresna. Dewi Gendari terus memandangi Prabu Sri Kresna sampai sang prabu dari Dwarawati itu merasa tak nyaman. Lalu ia mendekati sang ratu Hastinapura itu dan menanyakan kenapa ia begitu "bibi permaisuri, kenapa uwa begitu kecut masam? Apakah aku melukai perasaanmu?" Dewi Gendari meluapkan kemarahannya " Ya Aku Marah Padamu, Putra Basudewa! Kalau Saja Anda tidak merencanakan hal ini, anak-anakku pasti akan tetap hidup. Tapi lihatlah mereka semua. Seratus menantuku jadi janda semua berikut anak-anak mereka yang kini jadi yatim." Prabu Sri Kresna lalu menenangkan "bibi permaisuri, perang ini bukan sekadar perang saudara. Ini perang menegakkan kebajikan dan keadilan. Aku pun tak berdaya, tak mampuku mencegahnya. Aku hanya alat Dewata belaka. Aku pun tak lepas dari kitaran takdir" Gendari semakin marah "Anda ini Taraka Brahma, titisan Wisnu. Jika saja anda berkehendak saat itu, pastinya tak akan terkorban ramai putra-putra, saudara, dan kaum kerabat kami....Prabu Sri Kresna berkata kepada Dewi Gendari " sudahlah, bibi permaisuri. Biarlah ini jadi pengajaran di masa depan..." Murkalah Dewi Gendari lalu ia seraya menunjuk ke arah Prabu Sri Kresna mengucapkan kutuk pasu kepadanya "AKU .....PUTRI SUWALA YANG TAAT PADA PERINTAH YANG KUASA.....AKU...ISTRI DRESTARASTRA YANG BERBAKTI!!...AKU...RATU PALING MALANG DARI WANGSA INI!!......AKU MENGUTUKMU, SRI KRESNA!!!! SAMA HALNYA KERABAT DAN ANGGOTA KELUARGAKU YANG TUMPAS DI HADAPANKU, AKU MENGUTUKMU! DENGAN CARA YANG SAMA PULA SEMOGA KELAK 36 TAHUN DARI SEKARANG, SELURUH RAKYAT, KERABAT, DAN ANGGOTA KELUARGAMU MENGALAMI PETAKA YANG SAMA DENGANKU!!  SAMA SEPERTI BINATANG BUAS, SEMUA PRIA YADAWA AKAN SALING MENUMPAHKAN DARAH!!! SEMOGA SETIAP ANAK-ANAKMU DAN ANAK-ANAK WANGSA YADAWA MENJADI SEPERTI ANAK SAPI YANG MERANA! SELURUH ANAK-ANAK YADAWA AKAN YATIM-PIATU MENANGIS PENUH RATAPAN! TANGIS PILU PARA JANDA AKAN MENGGEMA DI SETIAP JENGKAL ISTANAMU! SEPERTI NEGERIKU YANG TENGGELAM DALAM DUKA, KERAJAAN YANG PADUKA PIMPIN SEMOGA TENGGELAM DIHANTAM GELORA SAMUDERA! EMAS DARI DINDING ISTANAMU AKAN MELELEH DIHANTAMNYA!! DAN KAU!!  SEMOGA PADUKA JUGA AKAN TERHINA TERLUNTA-LUNTA DI SISA HIDUP PADUKA DAN MATI MENGENASKAN DIPANAH SEORANG PEMBURU! KUTUKAN DARI IBU YANG KEHILANGAN SEMUA PUTRNYA, TAK AKAN SIA-SIA!!" para Pandawa dan Prabu Sri Kresna kaget mendengarnya.....sedetik kemudian tiba-tiba petir menggelegar pertanda kutuk pasu itu di dengar para dewa. Prabu Sri Kresna merasa ini adalah buah dari karma karena dosa-dosanya dahulu dan kutuk pasu itu pertanda bahwa kejayaan Wangsa Yadawa akan segera sirna. Maka ia meng-aminkan kutuk pasu itu "semoga doa bibi terjadi!" Terkejutlah Hastinapura seisinya begitupun Gendari. Ia langsung menangis minta maaf. Prabu Sri Kresna lalu mengatakan pada Dewi Gendari " bibi Gendari, aku setuju diberi kutukan itu agar dunia bisa tahu bahwa kekuatan moral itu nyata adanya. Dan lagi, ini adalah takdir dari Dewata yang tak bisa dielakkan. Putraku Samba dulu telah dikutuk Batara Narada melahirkan sebilah gada. Gada itu sekarang sudah kami hancurkan. Tapi entah bagaimana kedepannya, tidak ada yang tau. Tapi berkat kutukanmu, takdir yang dibawa Samba telah dipenuhi." Dewi Gendari pun berlutut memohon ampunan. Prabu Sri Kresna pun menyuruhnya berdiri dan menguatkan hati sang ibu para Kurawa. Lalu dilantiklah Raden Parikesit sebagai putera mahkota baru Hastinapura dan Raden Pancakesuma sebagai putera mahkota Amarta namun karena mereka masih kecil, maka Yudhistiralah yang menjadi wakil mereka. Dilantiklah Prabu Yudhistira sebagai raja wakil bergelar Prabu Kalimataya dan sebagai patih, diangkatlah Arya Wiwitsuh sebagai patih Hastinapura.