Jumat, 05 November 2021

Indrawijaya


Matur Salam,para pembaca sekalian.Karena kesibukan menyelesaikan skripsi, blog ini terbengkalai lama dan tidak mengunggah post baru. Kisah kali ini berkisah tentang Batara Indra dan kisah kepahlawanannya mengalahkan Ditya Writrasura dan menghukum Prabu Nahusa. Sumber kisah ini berasal dari ringkasan Kitab Rgveda, Kitab Mahabharata bagian Adiparwa karya Mpu Vyasa, Kakawin Indrawijaya karya Mpu Madya Mregiwu.

Masa damai setelah angkara Ditya Sunda dan Upasunda berlangsung cukup lama. Hindustan dan Jawadwipa berkembang. Di sisi lain, Adalah seorang yaksa keturunan Maharesi Kasyapa dengan Dewi Danu bernama Writrasura bertapa dengan tekun kepada Batara Brahma. Tapa bratanya kuat sekali sampai-sampai gunung-gunung berapi di sekitar istana Daksinageni meletus dan memuntahkan lahar panas, batu, dan api bersamaan. Maka datanglah Batara Brahma ke hutan tempat Writrasura bertapa “anakku, Writrasura...tapa bratamu telah dijawab. Apa yang andika inginkan dari bertapa brata yang sedemikian berat itu?” “hamba ingin hidup kekal abadi, tidak bisa mati selamanya.” Batara Brahma lalu berkata “setiap makhluk hidup pasti merasakan mati, begitu pula kami para dewa. Di dunia ini tak ada yang kekal abadi kecuali Sanghyang Widhi yang Maha Awal lagi Maha Akhir. Mintalah yang lain.” “baiklah...hamba meminta kekuatan maha hebat.....tidak bisa mati karena benda cair, padat atau gas. Itu saja permintaan hamba.” Batara Brahma merasa sangsi namun akhirnya ia memberikan kekuatan seperti itu pada Writrasura. Lalu setelah pulang tapa brata, Writrasura menjadi jemawa dan menindas para yaksa dan manusia yang lebih lemah.

Alkisah, seorang resi kahyangan bernama Dadichi mendapat tugas untuk menyucikan senjata para dewa dan bidadara dari darah dan energi jahat karena perang melawan para yaksa keturunan Rudra Rancasan. Resi Dadichi mencuci semua senjata itu di kolam di dekat alun-alun Suralaya. Lalu ia mencuci sambil berdoa “Hong wilaheng awighnam astu namah siddham sekaring bawana langgeng....semoga Hyang Widhi melunturkan energi jahat senjata ini, hilang segala keburukannya, dan bagus auranya laksana semerbak bunga sejagat.” Tanpa disadari, sedikit demi sedikit kesaktian senjata para dewa menjadi tawar, berkurang kekuatannya larut ke dalam air kolam. Resi Dadichi lalu meminum seluruh air kolam bekas ia membersihkan senjata-senjata para dewa

Bersamaan dengan itu, Writrasura dan pasukannya mengobrak-abrik tiga dunia. Gunung-ganang meletus dahsyat....angin panas dan angin dingin berhembus kencang. Bumi gonjang-ganjing, langit kolap-kalip. Berkat kekuatan pemberian Batara Brahma, ia tak terkalahkan. Ia mampu krodha menjadi ular raksasa dan menyedot semua air, es dan salju di Jawadwipa dan Hindustan. Seluruh tanah Jawadwipa dan Hindustan dilanda kekeringan dan kekurangan air...tanah pecah-pecah dan panas bahkan sebagian berubah menjadi padang gurun nan gersang....tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia, para yaksa/raksasa dan jin merana lemas kehausan. Para dewa di kahyangan khawatir jika Jawadwipa dan tanah Hindustan kembali tak bisa ditinggali, maka mereka memutuskan mengambil kembali senjata mereka yang dititipkan pada Resi Dadichi.

Ketika para dewa dipimpin batara Indra datang, kekuatan semua senjata itu lenyap sama sekali. Resi Dadichi menjelaskan bahwa sebelumnya ia mencuci semua senjata di kolam dekat alun-alun Suralaya. Batara Indra terkejut dan ia berkata “ampun, bapa resi. Kolam dekat Suralaya itu terkena cipratan Tirta Perwitasari, jadi senjata apapun akan luntur kesaktiannya bila di cuci di kolam itu.”Resi Dadichi terkejut. “waduh, ampuni hamba, pukulun. Maafkan keteledoran hamba......hamba sudah berbuat kebodohan dan sekarang semua kesaktian senjata pukulun semua ada dalam tubuh saya.”  Batara Indra kalut hatinya, begitupun para dewa lainnya. Kini para dewa sedang membutuhkan senjata-senjata mereka tapi malah lenyap kekuatannya. Resi Dadichi lalu bertekat untuk mengorbankan diri “pukulun Indra, seluruh kekuatan senjata para dewa sekarang tersimpan di dalam tubuh hamba, diantara tulang-tulangku. Hamba punya permintaan terakhir, tolong siapkanlah upacara pemakaman untuk hamba. Dengan kematian hamba, pukulun Batara bisa menggunakan sisa-sisa tubuh hamba untuk dijadikan senjata.” Singkat cerita, Resi Dadichi masuk ke pertapaannya dan bersemadi dengan khusyuk. Tak lama kemudian, ia meninggal dunia. Kahyangan berkabung. Upacara pemakaman di langsungkan. Jasad sang resi dibakar. Setelah habis api ngaben, para dewa mengambil abu dan sisa tulang-tulang Resi Dadichi. Batara Empu Wiswakarma, Batara Empu Ramayadi, dan Batara Empu Angganjali segera melebur segala senjata para dewa dan bidadara bersama abu dan tulang-tulang Resi Dadichi. Begitupun Batara Indra, ia ikut meleburkan Tombak Bajra miliknya. Tak lama kemudian, Tombak Bajra milik batara Indra tiba-tiba keluar dari tempat peleburan senjata dan mengeluarkan kilauan yang jauh lebih terang daripada sebelumnya. Kini kekuatan halilintar Tombak Bajra jadi berkali-kali lipat, setara dengan seluruh senjata para dewa yang digabungkan.

Hingga pada saatnya, Writasura kali ini benar-benar mengobrak-abrik kahyangan dengan menghisap seluruh air, es, dan salju di sana. Batara Indra segera mengerahkan kekuatan kahyangan. Pasukan Writasura dengan hebatnya mampu diobrak-abrik oleh pasukan dewa yang dipimpin Batara Bayu. Namun berbalik lagi ketika Batara Bayu menyerang Writrasura. Dengan entengnya, angin prahara yang dilemparkan sang dewa angin berbalik mengenainya karena mendal oleh ekor ular jelmaan krodha Writrasura. Tinggal Batara Indra dan Writrasura saling berhadapan. Kini ia menemui Writrasura di atas langit. Ia berkata pada Writrasura “Writra, jadi beginikah balasan kepada Yang Maha Kuasa, dengan menyakiti dan berbuat semena-mena pada sesama sendiri.” “peduli setan dengan Yang Mahakuasa, aku adalah raja diraja para yaksa dan sebentar lagi aku akan menjadi Yang Mahakuasa. Hanya aku di dunia ini yang patut dijadikan raja segala raja” Murkalah sang raja bidadari itu dan segera ia menghajar Writrasura.

Pertarungan sangatlah menggoncangkan tiga dunia. Kekuatan Writrasura dan Batara Indra setara. Lalu Writrasura mengerahkan wujud krodha terkuatnya, berubah wujud menjadi ular naga hendak mencaplok sang Batara Indra dan menelan Kala Rahu yang saat itu hendak menjalankan tugasnya untuk menciptakan gerhana matahari. Batara Indra segera masuk ke dalam mulut Writrasura dan menolong Kala Rahu. Di dalamnya, Batara Indra segera mengeluarkan ajian Tirta Muru hingga menutupi seluruh mulut Writrasura yang terbuka. Jutaan buih-buih air itu lalu menutupi mata Writrasura. Kala Rahu yang berhasil selamat lalu segera menelan cahaya matahari. Buih-buih yang mengganggu pandangannya itu berhasil disingkirkan namun Writrasura kembali menjadi susah mengetahui keberadaan Batara Indra karena langit gelap karena gerhana. Segeralah sang Batara melemparkan Tombak Bajra ke mulut sang yaksa dan  Duaaaar....kilat pun menyambar, petir menggelegar. Mulut dan seluruh tubuh Writrasura tersambar halilintar dari tombak Bajra.

Batara Indra mengalahkan Writrasura
Bersamaan dengan Kala Rahu mengembalikan cahaya matahari, Writrasura akhirnya limbung dan jatuh... lalu tewaslah ia dengan tubuh hancur. Tak dinyana, tubuhnya menjadi awan mendung yang sangat banyak dan gelap. Tuah dari berkat batara Brahma telah tawar karena ia diserang oleh petir, yang bukan benda padat, cair, ataupun gas melainkan panas dan cahaya yang menggabungkan tiga unsur itu. Awan jelmaan tubuh Writrasura semakin lama semakin gelap, menggumpal menutupi seluruh daratan Jawadwipa dan Hindustan, dan akhirnya hujan yang sangat deras pun turun. Badai salju dan es juga turun di puncak-puncak pegunungan dan kahyangan Jonggring Saloka. Jawadwipa dan Hindustan telah selamat dari bencana kekeringan.

Untuk merayakan kemenangan Batara Indra, sang batara mengundang beberapa yaksa baik ke istana Rinjamaya untuk berpesta diantaranya ada Resi Wiswa, adik Writrasura. Resi Wiswa adalah sahabat karib batara Indra. Walaupun ia sedih karena kakaknya tewas di tangan sahabatnya, Resi Wiswa tetap lapang dada dan memutuskan datang ke pesta batara Indra karena yang ia yakini bahawa itulah jalan yang ditempuh sang kakak demi mencapai alam baka. Kedatangan Resi Wiswa disambut baik oleh batara Indra dan mempersilakan ia untuk memimpin doa sebelum acara dilangsungkan. “Hong wilaheng awighnam astu namah siddham sekaring bawana jagat langgeng.....nuwun amit pasang kaliman tabik....semoga para yaksa dan para dewa tetap seperti ini.....jangan banyak permusuhan..” setelah doa dipanjatkan, pesta kemenangan para dewa diselenggarakan. Saat itu Batara Indra didatangi seorang dewa bernama Batara Dwapara. Sang dewa lalu berkata “Pukulun Indra, nampaknya kamu sangat menikmati pesta kali ini. tapi aku khawatir kalau ini akan berakibat buruk nantinya.” “apa maksudmu, Batara?” Batara Dwapara lalu menghasut batara Indra “begini Pukulun, anda pasti tahu siapa resi Wiswa kan. Dia adik dari Writasura, sudah barang tentu cepat atau lambat, seorang adik akan membalas dendam kakaknya yang tewas apalagi kakaknya tewas di tangan pukulun. Pikirkanlah lagi, Resi Wiswa mungkan akan membuat makar dan membinasakan pukulun kelak di kemudian hari.” Batara Indra mulai goyah hatinya. Lalu ia meminta Resi Wiswa untuk keluar dari arena pesta dan berjalan-jalan bersama.

Batara Dwapara yang tak lain adalah putra dari Batara Rudra Rancasan segera membuat siasat untuk membuat para dewa Jonggring Saloka malu. Lalu ia mendatangi Batara Bayu dan mengadu dombanya dengan Batara Indra “waduh-waduh...pukulun Batara bayu...rupanya pukulun enak sekali menikmati pesta ini...tadi aku bersama Pukulun Indra. Dia mengatakan padaku bahwa beliau kesal pada pukulun. Beliau mengatakan anginmu tak cukup kuat untuk membuat Writasura limbung makanya ia meragukan hasill kerjamu sebagai dewa angin.” Beranglah batara Bayu “beraninya...kakang Indra mengatakan begitu. Dia belum tahu saja kalau angin puting beliungku bia membuatnya menyesal seumur hidup.” Batara Dwapara lalu berkata “aduh....jangan terlalu marah begitu...pukulun Indra tidak mungkin melakukan hal semacam itu tapi aku rasa ia telah termakan kata-kata Resi Wiswa. Resi Wiswa telah mendoktrin pukulun Indra agar beliau bisa segera menjadi ajudan kahyangan disamping pukulun Wrehaspati lalu beliau akan mendepak pukulun.” Makin kesal hati sang batara Bayu. Ia lalu bertanya “dimana si Wiswa itu sekarang?” Batara Dwapara mengatakan bahwa sekarang Resi Wiswa sedang bersma Batara Indra di luar tempat pesta. Maka berangkatlah Batara Bayu. Sementara itu batara Dwapara kembali ke istananya di Kahyangan Tunjungkresna dan tertawa senang karena rasa iri hatinya kepada para dewa Jonggring Saloka telah terlampiaskan. Tak lama lagi dua dari para dewa itu akan saling bermusuhan satu sama lain.

Resi Wiswa dan Batara Indra saling berhadapan di pendapa Bale Marakata. Lalu batara Indra menodongkan keris ke hadapan Resi Wiswa seraya berkata “Wiswa sahabatku...apakah dalam hatimu ada secuil dendam padaku karena aku membunuh kakakmu?” terkejut Resi Wiswa namun dengan santainya Resi Wiswa menurunkan keris sang batara lalu berkata  “sabahabtku pukulun Indra....apakah di mata pukulun, saya terlihat sebagai pendendam? Untuk apa pula saya menaruh dendam pada pukulun, lebih-lebih lagi pada kakak saya yang jelas-jelas ingin menyamakan dirinya dengan Sanghyang Widhi, Gusti kang Murbeng Jagat? Saya sudah berulang kali mengingatkannya agar tidak salah jalan namun ia tetap memilih jalannya sendiri...saya tak berdaya namun saya yakin suatu saat ia akan sadar namun takdir berkata lain...ia justru menemukan kebebasan dri belenggu nafsu dan kotornya alam mayapada lewat tangan pukulun...sejujurnya saya yang iri, kakang Writrasura yang sedemikian jahat dan kejamnya mendapat kehormatan bisa terbebas dari kehidupan fana melalui pukulun sendiri....” tergetarlah hati batara Indra....sahabatnya sendiri terbukti tulus dan ikhlas, tidak ada dendam kepadanya. Batara Indra sadar bahwa Resi Wiswa sudah mencapai pencerahan rohani yang tertinggi. Batara Indra merasa ia telah diperdayakan kata-kata batara Dwapara. Tak dinyana tak diduga, datang angin kencang. Tangan sang batara Indra yang saat itu memegang keris terdorong lalu menusuk dan menggorok leher Resi Wiswa. Seketika itu pula Resi Wiswa roboh. Batara Indra terkejut dan menangis, merasa sangat berdosa. Ia tanpa sengaja membunuh sahabatnya dengan tangannya sendiri. Resi Wiswa dengan sisa-sisa kesadarannya menenangkan sahabatnya “sahabatku...tenangkanlah hatimu...tabahkanlah jiwamu....mungkin ini pula takdirku....bisa mati di tanganmu....aku merasa sangat senang....” tak lama kemudian Resi Wiswa meninggal dunia dengan tenang. Batara Indra menangis keras.... hujan turun dengan lebatnya.....sang batara mencoba membangunkan Resi Wiswa namun tak berhasil. Sahabtnya kini telah pergi. Ia terus merasa berdosa. Tak lama kemudian para dewa termasuk Batara Guru dan Batari Durga datang. Lalu Batara Indra menoleh ke belekang ke arah angin berasal. Rupanya ada Batara Bayu. Batara Indra marah dengan kelakuan adiknya itu “Bayu, apa yang kau perbuat? “ “aku coba membebaskan kakang dari ucapan yaksa busuk itu.” “busuk katamu? Resi Wiswa yang agung dengan legawa berterus terang tentang isi hatinya. Apakah yang telah merasukimu hingga membuat aku membunuh orang tidak bersalah?” perkataan Batara Indra membuat Batara Bayu berang lalu melemparkan angin kencang kearah Batara Indra. 

Karena saking sedih dan marahnya, batara Indra meluapkan segala emosinya kepada Batara Bayu, Keduanya lalu bertengkar dansaling berperang. Alam menjadi murka. Angin topan prahara dan badai halilintar beradu di marcapada. Tiga dunia dilanda kekacauan. Lalu Batara Guru, Batara Semar dan Batara Wisnu melerai pertarungan kedua dewa itu. Batara Semar lalu berkata “Kalian benar-benar memalukan! Kalian mudah sekali diadu musang berbulu ayam hingga tanpa sadar kalian telah membuang dharma dan kesopanan. Kalian bahkan mengabaikan jasad orang suci hanya karena perkelahian tidak penting seperti ini. Ditaruh dimana muka kalian?!” “benar apa yang dikatakan oleh kakang Semar, kalian mudah diadu domba. Saya sangat kecewa dengan perbuatan kalian” tukas Batara Guru. Batara Indra dan batara Bayu sadar. Malu mereka bertarung hingga melupakan persaudaraan dan dharma kesopanan karena hasutan Batara Dwapara. Batara Bayu dan Batara Indra murka dan melontarkan kutuk pasu bahwa kelak batara Dwpara akan menitis dan pada setiap penitisannya akan mati dengan cara yang sangat hina. Lalu para dewa semuanya segera menyiapkan upacara ngaben untuk Resi Wiswa.

Hari demi hari Batara Indra dirundung perasaan bersalah. Ia merasa seakan dikejar dosa. Maka ia sengaja meninggalkan kahyangan dan mengasingkan diri ke dasar danau. Rasa berdosa melingkupi hati sang raja bidadari itu. Langit seakan ikut merasakan rasa itu. Awan mendung berarak-arak menutupi sinar matahari. Di berbagai tempat, hujan turun dengan deras dan banjir tak surut-surut. Badai halilintar dan petir menyambar orang-orang dan hutan. Di tempat lain, badai es dan salju menenggelamkan puncak gunung-gunung dan mengubur dataran rendah di bawahnya sampai membeku. Panen menjadi gagal dimana-mana. Danau tempat Batara Indra mengasingkan diri menjadi sangat angker. Istri Batara Indra, Dewi Saci menjadi khawatir begitu juga penghuni kahyangan yang lain. Di tempat lain, Prabu Nahusa, raja Kandaparasta sudah mulai sepuh dan telah dikaruniai dua putra dari pernikahannya dengan Dewi Asokasundari yakni Resi Yati dan Raden Yayati. Resi Yati tidak berniat menjadi raja, lebih menyukai hidup tenang dan mendalami ilmu kerohanian maka takhta Kandaparasta diserahkan kepada Raden Yayati suatu hari nanti.

Kahyangan sedang kalang kabut karana ketiadaan Batara Indra sebagai dewa cuaca dan raja para bidadari. Tak ada yang tau kapan ia kembali dari pengasingan. Maka diadakan persidangan untuk melantik raja para bidadari yang baru. Batara Bayu mengusulkan agar Prabu Nahusa saja yang menjadi raja bidadari yang baru. Namun Batara Kala lebih mengusulkan agar cucunya yang bernama Prabu Kalayuwana saja yang menjadi raja. Kini gantian Batara Brahma yang berpendapat. Ia mengusulkan agar putranya yang sudah lama kembali ke kahyangan dari alam bumi yakni Prabu Bremana. Akhirnya diadakan undian. Setelah undian tersebut, yang keluar terbanyak adalah Prabu Nahusa. Maka para dewa sepakat bahwa Prabu Nahusa dari Kandaparasta akan dilantik sebagai raja bidadari menggantikan Indra. Maka batara Wrehaspati diutus turun ke bumi menjemput Prabu Nahusa. Prabu Nahusa merasa terhormat untuk dipanggil menjadi pengganti Batara Indra. Maka ia menyiapkan kendaraan untuk naik ke kahyangan. Ia menyiapkan sebuah joli namun dengan semena-menanya, ia memaksa para resi dan pendeta untuk mengangkat joli itu. Walaupun dipaksa, para resi dan pendeta bersedia mengangkat Prabu Nahusa ke kahyangan dengan kekuatan yogi mereka. Di sepanjang jalan, para resi minta untuk istirahat namun Nahusa tidak mengijinkan karena ingin merasakan enaknya kehidupan kahyangan. Maka dengan kepayahan, para resi memanggul itu joli.

Di kahyangan, Batara Wisnu menyaksikan dari kejauhan Prabu Nahusa memaksa para resi memanggulnya dengan joli. Lalu ia melaporkan itu ke Batara Guru dan Batara Semar “Nahusa benar-benar mencobai kesabaran kita, kakang Semar. Sudah mau jadi dewa saja sudah sepongah itu.” “benar dinda Manikmaya, lagipula para resi tidak pantas diperlakukan begitu. Kita harus menghentikannya. Anakku, Wisnu. Cepat bujuk kembali Indra untuk menghentikan Nahusa” singkat cerita, Batara Wisnu mencari Batara Indra di danau. Di sana Batara Indra bersemadhi melakukan tapa memohon ampun kepada Sanghyang Widhi. Batara Wisnu berusaha membangunkan tapa Batara Indra namun ia tak tergetarkan bahakan bergeming pun tidak. Tak ada pilihan lain, Batara Wisnu harus ikut bertapa dan masuk ke dalam pikiran Batara Indra. Di dalam alam pikiran, mereka saling bertarung argumen “kanda Indra, kembali lah ke kahyangan.” “tidak akan Wisnu, dosaku membunuh Wiswa tak terampunkan.” “dosa kakang akan semakin tak terampunkan bila meninggalkan amanah. Sekarang Nahusa sedang mengincar takhta kanda..” Batara Indra berkata tak peduli lagi dengan takhtanya malah merelakannya. batara Wisnu tak kurang akal. Ia mengatakan bahwa Nahusa tak akan menjadi pemimpin yang baik dan suka semena-mena lalu ia memberi penglihatan bahwa saat ini Nahusa sedang memaksa para resi memanggulnya di atas joli sebagai bukti. Batara Indra mulai luluh dan menimbang bahwa yang diperlihatkan oleh Batara Wisnu itu benar. Maka ia segera bangun dari tapa bratanya dan segera

Batara Indra menghukum Prabu Nahusa
memanggil Gajah Erawata. Batara Indra kembali ke takhtanya. Saat Prabu Nahusa sudah sampai di pintu gerbang kahyangan, Batara Indra segera melemparkan kilat dan halilintar ke arahnya. Tak pelak, Nahusa tersambar petir dan ia jatuh dari joli. Ia jatuh lalu lenyap menjadi ular karena di saat demikian batara Indra memberinnya kutuk pasu bahwa ia tak akan diterima di langit, bumi, surga, dan neraka sebagai manusia melainkan sebagai ular. Hanya keturunannya lah yang mampu membebaskannya kelak beratus tahun kemudian. Sekali lagi, Batara Indra berhasil mengalahkan kesombongan dan kepongahan Prabu Nahusa yang telah bersombong diri dengan bertindak semena-mena pada para resi dan pendeta.