Senin, 29 Juli 2019

Jati Diri Karna Suryaputra (Alap-alapan Srutikanti)


Salam readers, penulis kali ini akan menceritakan pernikahan Suryaputra (Adipati Karna) dengan putri kedua Prabu Salya, Dewi Srutikanti. Di sini juga akan diceritakan bagaimana Suryaputra mengetahui jati dirinya sebagai kakak tertua para Pandawa. Di Mahabharata versi India, Karna mengetahui jati dirinya dari Krishna Basudeva saat tiga hari menjelang Baratayudha, namun penulis  akan mengadaptasi versi Jawa dimana Karna dan Arjuna yang sedang bertarung memperebutkan Srutikanti dilerai dan dibabar jati diri mereka oleh Batara Narada. Penulis menggunakan sumber dari Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa, kitab Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita, blog albumkisahwayang.blogspot.com, Serial kolosal Indonesia Karmapala, dan serial kolosal India Mahabharat Starplus yang kemudian sedikit diubah dan dikembangkan dengan imajinasi penulis.
Desa Awangga awalnya hanya sebuah desa kecil di pinggiran Hastinapura. rata-rata penduduk disana bekerja sebagai kusir dan pengrajin kereta kencana. Bahkan kereta Bandhang Angin dari Hastinapura adalah dibuat dari kayu terbaik dari Awangga dan dibuat oleh pengrajin-pengrajin dari Awangga. Kepala desa itu, Ki Adiratha dulunya kusir pribadi Prabu Dretarastra. Putra sulung dan bungsunya, Aradeya dan Adimanggala tak tertarik untuk menjadi kusir kereta. Mereka ingin belajar menjadi ahli perang sehingga bergurulah pada Batara Ramabargawa (Parasurama) di hutan Jatiraga. Sekembalinya dari berguru, Aradeya bertandang ke pendadaran di Tegal Kurusetra. Disana Aradeya menantang Permadi yang digadang-gadang sebagai satria tanpa tanding. Karena masalah kasta, Suyudana, putra sulung dari Prabu Dretarastra membelanya dan membantunya untuk mengangkat derajat orang tua Aradeya menjadi Adipati dan menaikkan status Desa Awangga menjadi Kadipaten. Atas rasa terima kasih, Aradeya bersedia melindungi Prabu Anom Suyudana dan menjadi sahabatnya. Sejak peristiwa itu, Aradeya menggunakan nama kelahirannya yaitu Suryaputra.
Begitulah kisah yang melatarbelakangi berdirinya Kadipaten Awangga. Malam itu, Raden Suryaputra bermimpi didatangi seorang dewa. Dewa itu berkata bahwa dia adalah putra angkat Adipati Adiratha dan Nyai Rada. Dia sebenarnya seorang Wasu (manusia setengah dewa). Setelah itu dia terbangun dengan keringat bercucuran lalu mendatangi ibunya, Dewi Rada “ibu, aku tadi bermimpi didatangi seorang dewa. Dewa itu berkata bahwa ayah dan ibu bukan orang tua kandungku dan berkata bahwa aku adalah seorang wasu yang dibuang. Benarkah itu, ibu?” “tidak, anakku. Kau adalah putraku. Apapun yang terjadi kau tetap putraku. Bahkan dewa pun merestuimu sebagai putra kami saat kau kami temukan hanyut di bengawan Gangga waktu kau masih bayi.” Perkataan Dewi Rada itu membuat Raden Suryaputra terkejut dan meyakinkan diri bahwa dia memang bukan putra kandung Adiratha dan Rada tapi dia masih ada keraguan. Keesokan hainya, Dewi Rada terkejut mendapati Suryaputra dan Adimanggala telah kabur dari kadipaten.
Dewi Rada segera menghadap suami dan kedua putranya, Arya Druwa dan Raden Jaya. Belum selesai Dewi Rada menghadap, datang seorang prajurit membawa berita gawat “Ketiwasan, Adipati. Telah datang seorang pemberontak bernama Kalakarna dan Karnamandra dari hutan Nastiti. Mereka akan menyerang kadipaten ini dan mendudukinya. Kini mereka sudah sampai di gerbang kota” Adipati Adiratha segera memerintahkan prajurit dan putranya, Raden Jaya untuk ke gerbang kota. Sementara dia meminta istrinya dan Arya Druwa mencari suaka ke Hastinapura.”istriku, kau dengan Druwa segeralah ke Hastinapura. kabarkanlah hal ini pada Prabu Dretarastra.” Tanpa ba-bi-bu lagi, mereka segera melarikan diri ke Hastinapura.
Pertempuran di gerbang Awangga berlangsung sengit. Raden Jaya dan Adipati Adiratha berusaha menghalau para pemberontak itu. Namun dua pemberontak itu terlampau sakti sehingga mereka mampu mengalahkan Adirata dan Raden Jaya. Sang adipati dan putranya dimasukan ke penjara. Disana mereka tidak sendiri. Ada Dewi Rada dan Arya Druwa yang kepergok hendak kabur mencari suaka. Kalakarna tertawa kegirangan dan mengangkat dirinya sebagai raja baru Awangga “hahahaha..... mulai hari ini, aku adalah raja Awangga dan panggil aku Prabu Kalakarna. Adikku, Karnamandra akan menjadi patihku. Camkan itu.” Awangga berubah menjadi negeri penuh teror sejak Kalakarna merebutnya dari Adiratha. Para raksasa yang durjana bebas untuk memburu manusia-manusia tak berdosa dan mengacaukan perekonomian di negeri itu. Korupsi dan penyuapan merajalela. Pada suatu hari, Prabu Kalakarana bercerita “adikku, Karnamandra. Tadi aku bermimpi menikahi seorang putri cantik dari Mandaraka. namanya Srutikanti. Kini kita sudah memiliki kekuasaan dan segalanya. Aku ingin kau culik putri itu.’ “baik kakang prabu. Permintaanmu adalah perintah bagiku. ” Singkat cerita, Patih Karnamandra segera bertolak menuju Mandaraka untuk menculik sang putri pujaan kakaknya.

Raden Suryaputra dan Arya Adimanggala yang dicari-cari ternyata minggat dari kadipaten untuk menyepi di hutan Cahyapranawa. Raden Suryaputra sengaja minggat ingin mendapatkan pencerahan soal mimpinya. Hari demi hari berlalu, pekan demi pekan berganti namun mereka tetap bertapa brata. Sementara itu di kahyangan, udara terasa begitu gerah. Kawah Candradimuka bergejolak memuntahkan lahar panasnya. Para bidadari dan bidadara pontang-panting kepanasan, beramai-ramai turun ke bumi. Di bumi juga terjadi huru-hara disekitar tempat Raden Suryaputra dan Adimanggala bertapa. Bumi gonjang-ganjing, langit kolap-kalip. Awan menjadi gelap dan badai turun dengan hebat. Angin bertiup begitu kencangnya sehingga menerbangkan pepohonan, rumput dan kerikil karena tekunnya mereka bertapa. Lalu dari balik awan tebal di langit, turunlah cahaya seterang matahari ke bumi. Lalu cahaya itu memunculkan sosok seorang dewa tampan dan bercahaya.
Batara Surya membeberkan jati diri Suryaputra.
Dialah Batara Surya, sang dewa matahari.“hai Suryaputra, apa keperluanmu datang ke hutan ini dan bertapa disini?” “ampun, pukulan Ida Batara Surya. Hamba hanya ingin mendapat kejelasan atas mimpi hamba. Hamba bermimpi bahwa saya bukan putra kandung Adiratha dan Rada. Mimpi itu juga berkata bahwa saya adalah wasu.” Batara Surya terdiam sejenak lalu berkata “Suryaputra, kau memang bukan putra kandung Adiratha dan Rada. Mereka berdua mandul tak bisa berketurunan. Dulu mereka menemukanmu hanyut di bangawan Gangga saat kau masih bayi. Karena kau ditemukan saat pagi hari,mereka memberimu nama Suryaputra namun karena agar tak membuat curiga tetangga mereka memanggilmu Aradeya.” Raden Suryaputra tertegun menyadari hal itu lalu dia bertanya lagi “ lalu siapakah kedua orang tua kandung hamba, pukulun?” Batara Surya terdiam sejenak karena aib yang Ia tutup rapat harus dibuka lalu melanjutkan ceritanya “anakku, aku adalah ayah kandungmu dan ibumu bernama Prita.” Raden Suryaputra terkejut menyadari bahwa dewa yang diajaknya bicara adalah ayahnya sendiri. Maka dia segera berlutu dan memanggil Romo kepadanya. “ampun, Romo Batara, terimalah sembah sujud dari putramu. Lalu bagaimana Romo bisa bertemu kanjeng ibu?” dengan malu-malu, Batara Surya bercerita “anakku, dahulu ibumu, Prita adalah putri negara Mandura. Dia berguru pada Resi Durwasa yang hebat. Karena ketekunannya belajar, Resi Durwasa memberikannya ajian pemanggil dewa, Aji Punta Wekasing Rahsa Tunggal. Pada suatu pagi, ibumu merapal ajian itu sambil membayangkan rupaku. Akupun datang dalam alam mimpi dan bertanya apa keperluannya namun dia menjawab ingin coba-coba saja. Aku pun marah merasa dipermainkan namun kemarahanku menjadi bumerang buat kami. Tanpa sadar, nafsu mengendalikan kami. Ibumu terpana menatapku, begitupun aku. Pertahanan kami jebol, lalu aku membelainya dalam sinar suciku. Sekembalinya ku ke kahyangan, ibumu hamil. Beberapa hari kemudian, kau lahir dengan selamat atas kemurahan Sanghyang Widhi. Kau lahir dengan memakai anting Suryakundala dan baju tamsir Suryakawaca warisan dariku. Oleh ibumu, kau diberi nama Karna Basusena. Kakekmu, Prabu Kuntiboja merasa malu mendapati cucunya yang lahir didapat dari hasil zina lalu datanglah Resi Durwasa. Resi Durwasa mendapat firasat bahwa kau akan jadi orang besar bila dilarung ke bengawan Gangga. Akhirnya atas perintah kakekmu, ibumu melarungmu ke bengawan Gangga. Ibumu sangat sedih sehingga pingsan. Hingga pada suatu pagi, kau pun ditemukan Adiratha dan Rada yang saat itu sedang membersihkan kereta kuda.”
Suryaputra sangat terharu mendengar cerita itu. selama ini, Adipati Adiratha dan Dewi Rada telah membesarkannya dengan penuh kasih dan sayang. Namun dia bertanya lagi karena kata Batara Surya, kedua orang tua asuhnya itu mandul tapi bagaimana mereka punya putra bernama Druwa dan Jaya. Batara Surya menjelaskan bahwa mereka juga bukan anak kandung mereka. Mereka tercipta dari tembuni dan tali pusar Suryaputra yang hendak dikubur lalu berubah akibat doa Resi Radi, kakek angkatnya. Kemudian Adimanggala bertanya pada Batara Surya “Ampun pukulun Batara, saya mahu bertanya. Dahulu ketika hamba masih di Widarakandang terdengar desas-desus bahwa saya dan Pragota hanya anak tiri ayah Nanda. Apakah itu benar?” Batara Surya menjelaskan pada Adimanggala bahwa dia memang bukan putra kandung Nanda Antagopa “Adimanggala putraku, ketahuilah bahwa itu benar. Kau bukan anak kandung dari Nanda Antagopa. Dahulu ketika setahun kelahiran kakakmu, Larasati. Arya Ugrasena, adik Dewi Prita datang menjenguk Kakarasana, Narayana, dan Rara Ireng. Mereka pun langsung jatuh cinta dan terlibat cinta satu malam. Beberapa bulan kemudian, ibumu Yasoda hamil lalu melahirkan dirimu dan Pragota.” Arya Adimanggala kini mengerti kenapa dia punya banyak saudara dan Suryaputra yang selama ini bersamanya adalah sepupu sendiri. Raden Suryaputra menjadi semakin penasaran “Romo batara, dimanakah ibuku berada sekarang?”  Batara Surya tak ingin mengatakannya karena akan membuatnya syok. Namun Raden Suryaputra terus mendesak. Akhirnya Batara Surya buka suara “baiklah, putraku. Prita adalah nama masa kecil dari Dewi Kunthi, ibu para Pandawa. Ibumu sekarang ada di Amarta.”
Bagai disambar petir, Raden Suryaputra sangat syok dan terkejut bukan kepalang. Teringatlah dia saat dengan pongahnya menantang Permadi di saat pendadaran di Tegal Kurusetra. Dia syok karena telah menantang adiknya sendiri waktu itu. Raden Suryaputra kemudian bersandar di batang pohon dan terisak menahan tangis karena merasa takdirnya telah dipermainkan Sanghyang Widhi. Batara Surya menenangkan hati putranya itu dan berkata bahwa takdir adalah ketetapan bahkan para dewa pun tak luput dari takdir yang telah digaris Sanghyang Widhi. Tak perlulah disesali begitu dalam karena setiap peristiwa pasti ada hikmah dibaliknya. Batara Surya menyarankan putranya itu untuk menikahi jodohnya. Batara Surya menjelaskan bahwa jodoh putranya itu adalah putri kedua Prabu Salya di Mandaraka yaitu Dewi Srutikanti. Tapi raden Suryaputra berkata "tapi ayahanda batara, aku sudah punya isteri benama Wrusali. Apa yang harus aku katakan padanya nanti kalau aku menikah lagi" Batara Surya berkata kalau ia dan Srutikanthi adalah pasangan sejiwa juga karena ia titisan Surya, maka isteri-isteri sang ayah juga ikut menitis kepadanya. Wrusali merupakan titisan Dewi Chayya (Ngruni) sedangkan Srutikanti adalah titisan Dewi Sangya (Ngruna). Meski ia akan berisri dua, cinta Suryaputra kepada tidak akan berat sebelah. Raden Suryaputra bersyukur mendengarnya. ia bejanji akan tetap mencintai Wrusali dan juga menyayangi Srutikanti. Sebelum pergi, Batara Surya memberikan hadiah berupa sebuh kereta kencana bernama Jatisura dan sebuah keris bernama Kaladete. Setelah memberikan kereta itu, Batara Surya naik kembali ke kahyangan para dewa. Raden Suryaputra kemudian Arya Adimanggala segera naik ke kereta. Begitu dilecut, kereta itu bergerak begitu cepat. Kuda-kudanya nampak begitu sehat dan cergas dalam berlari.
Di tempat lain, Raden Permadi bersama muridnya, Arya Setyaki hendak bertandang ke Mandaraka. Mereka mendengar kabar bahwa Prabu Anom Suyudana akan ditunangkan dengan Dewi Srutikanti. Sesampainya disana, telah datang pula kakaknya, Prabu Yudhistira dan adiknya Nakula-Sadewa. Sejak kedatangannya, Permadi dibuat terheran kenapa sejak tadi Suyudana, para Kurawa dan keluarga Mandaraka memandanginya. “itu dia. Dia penculik kakang mbok” teriak Rukmarata dan Burisrawa. Raden Permadi terkejut, baru saja datang sudah dikira penculik “Apa maksud semua ini? Saya baru datang tapi dikira penculik. Ada apa dengan kalian” “tak usah bersembunyi dalam kepolosan, Permadi. Aku mendengar dari Rukmarata dan Burisrawa bahwa kau menculik Srutikanti, calon tunanganku. Mereka melihat bahawa ada seorang pemanah tampan datang kemari membawa lari Srutikanti dan semua orang tau bila kau adalah pemanah yang berwajah tampan. Beritau aku, kemana kau sembunyikan dia!?” Suyudana naik pitam lalu menyerang Permadi. Sedangkan Burisrawa yang kesal karena kakaknya diculik melampiaskan kekesalannya dengan menyerang Setyaki.
Pertarungan mereka sangat sengit. Pukulan gada Kyai Inten milik Suyudana yang mengenai Busur Gandiwa berhasil ditangkis Permadi. Begitupun pukulan gada Wesi Kuning milik Setyaki berhasil melukai Arya Burisrawa dan membuatnya menyerah. Melihat Burisrawa menyerah, Suyudana semakin mendidih darahnya lalu dia merapal ajian Sahashra Maushal lalu dipukulkan gadanya ke bumi dengan keras.
Prabu Kresna dan Ki Lurah Semar melerai pertengkaran Suyudana dan Permadi
Meskipun getaran akibat pukulan gada Suyudana amat kuat, Permadi mencoba bertahan. Keraton Mandaraka ikut bergoncang hebat karenanya. Sebelum hal yang tak diinginkan terjadi, Prabu Salya dan Prabu Yudhistira berusaha melerai namun hal ini tak digubris Suyudana maupun Permadi. Keadaan mereka semakin gawat, baik Permadi maupun Suyudana sama-sama terluka karena perkelahian yang tak perlu. Tiba-tiba Permadi merapal ajian Sahashra Himavarsha dan setelah menembakkan panahnya, beberapa panah berbentuk halilintar es mengurung Suyudana namun rupanya Permadi lupa memperhitungkan dampak yang akan terjadi selanjutnya. Keraton Mandaraka akan ikut terkena dampaknya. Panah-panah halilintar es itu akan menghancurkan seluruh Mandaraka dan menyebarkan udara dingin ke seluruh pulau Jawa selama puluhan pekan. Untunglah di saat itu, Ki lurah Semar dan Prabu Kresna datang. Sebagai titisan Batara Wisnu dan Batara Ismaya yang turun ke bumi, mereka segera menghentikan pertarungan yang tak perlu itu. Setelah memohon diri pada Prabu Salya dan Prabu Yudhistira untuk melerai mereka, Prabu Kresna segera mengeluarkan Cakra Widaksana miliknya dan seketika panah-panah berbahaya itu terserap oleh putaran Cakra Widaksana. Meskipun demikian hujan panah es itu tak henti-hentinya berjatuhan dari langit. Ki lurah Semar lalu meminta Permadi menghentikan panah-panahnya“Permadi, kendalikan dirimu. Jiwa muda boleh bergejolak tapi jangan sampai terbawa emosi yang tidak perlu. Cepat hentikan ajianmu dan tarik panah-panah itu.” Permadi yang terkejut akan kedatangan sang pamong segera menghentikan ajian itu dan seketika panah-panah itu menghilang. Prabu Anom Suyudana pun terbebas dari kurungan panah es.
Walaupun semua masih terkendali, rupanya Suyudana masih menganggap Permadi penculik Srutikanti. Akhirnya Permadi tak mampu menahan marahnya “kakang Prabu Anom, akan ku buktikan kalau bukan akau penculik rayi dewi Srutikanti.” Permadi disertai Setyaki segera meninggalkan Mandaraka untuk mencari siapa yang mencemarkan namanya. Karena dirasa kondisi masih kurang kondusif, Prabu Puntadewa dan si kembar memohon izin untuk kembali ke Amarta. Singkat cerita, mereka telah memasuki hutan Cahyapranawa. Di sana mereka melihat sebuah kereta kencana yang indah cemerlangan melintas. Kereta itu dikusiri Arya Adimanggala dan di kursi penumpang kereta itu duduklah Raden Suryaputra dan Dewi Srutikanti. Baik Dewi Srutikanti maupun Raden Suryaputra, mereka nampak saling mencintai. Mereka duduk bersanding di kursi penumpang sambil saling berpelukan. Mereka segera mengejar kereta itu.
Setelah mencari keberadaan kereta itu, mereka menemukannya dan mencegat mereka. Raden Permadi segera meminta Suryaputra untuk menyerahkan Srutikanti “Suryaputra, kau mencilik rayi Srutikanti. Berikan dia padaku untuk keserahkan ke orangtuanya!” “tidak akan, rayi Permadi! Dia jodohku. Bila kau ingin membawanya kembali, langkahi mayatku!” Permadi marah dengan penolakan itu lantas menyerang Suryaputra. Begitupun Arya Setyaki, dia melawan Arya Adimanggala. Dewi Srutikanti berusaha melerai mereka namun tak bisa. Pertarungan kedua ksatria tampan itu tak dapat dilihat oleh mata biasa karena lajunya. Pertandingan panah, tanding tangan kosong, semuanya sama. Tak ada yang kalah maupun yang menang. Sementara itu di kahyangan para dewa, Batara Guru melihat dari trinetra-nya. Pertarungan kedua saudara se-ibu nampaknya hanya akan berakhir imbang.”kakang Narada lihatlah mereka berkelahi lagi. Lerai dan ingatkan mereka bahwa mereka masih saudara.” “baik, adhi Guru.” Batara Narada segera turun ke bumi melerai mereka. Di tengah jalan, Batara Narada bertemu dengan Ki Lurah Semar yang mencari bendaranya.”Salam kakang Ismaya. Sepertinya kau sedang mencari Permadi. Mari ikut aku. Aku tau dimana dia berada” “ayo, adhi Narada.”
Pertarungan itu terus berlanjut. Kini mereka beradu keris. Permadi menggunakan Keris Pulanggeni dan Suryaputra menggunakan Keris Kaladete. Serangan mereka sangat kilat bahkan tak terlihat mata hingga pada suatu serangan, keris Pulanggeni berhasil melukai pelipis kiri Suryaputra sehingga bagian itu menjadi pitak. Di saat bersamaan itu terdengar suara dari langit “Hentikan!” lalu dari langit turunlah Batara Narada dan Ki Lurah Semar.”Ndoro berdua, jangan berkelahi lagi. Kalian kakak adik haruslah rukun.” “Ki Lurah, Permadi tak mengerti. Bagaimana mungkin Suryaputra adslah kakakku?” Batara Narada kemudian menceritakan pada Permadi “Permadi, ketahuilah. Suryaputra adalah putra tertua ibumu dengan Batara Surya akibat Ajian Punta Wekasing Rahsa milik ibumu. Oleh perintah kakekmu, Kuntiboja dan Resi Durwasa, ibumu melarung kakakmu ke Bengawan Gangga sehingga diambil putra oleh Adiratha dan Rada.” Raden Permadi seketika tercekat mendengarnya. Selama ini orang yang dianggapnya lawan yang harus dibasmi itu kakaknya sendiri. Dengan perlahan-lahan dan sedikit wajah menahan tangis, Permadi sungkem di hadapan Suryaputra “Terimalah sembah sungkemku, kakang. Maafkan kebodohan adikmu ini yang tidak menyadari ini semua.” “ahh sudahlah, adhi Permadi. Mari kita bermaafan agar dendam yang dulu segera luntur.” Mereka kemudian berpelukan dengan erat. Ki Lurah Semar juga melerai Adimanggala dan Setyaki.”Setyaki, ketahuilah yang kau serang itu kakakmu sendiri. Dua puluh tahun yang lalu, ayahmu saat masih sebagai pangeran Mandura bernama Ugrasena mendatangi Niken Yasoda di Widarakandang. Terjadilah hubungan gelap diantara mereka. Sembilan bulan kemudian, kakakmu lahir. Dari hubungan ibu Yasoda, Kau mempunyai dua kakak, Adimanggala yang sedang dihadapanmu dan Pragota yang kini menjadi patih di Mandura. Karena perintah dewa, kakakmu Adimanggala mengabdi pada Adiratha dan menjadi adik angkat Suryaputra.” Baik Setyaki maupun Adimanggala terkejut bahwa mereka masih bersaudara. Merekapun saling meminta maaf sesama sendiri. Batara Narada menjelaskan pada Permadi bahwa Srutikanti adalah jodoh kakaknya. Maka dari itu, Permadi tak perlu untuk menghalangi mereka.
Anugerah untuk Suryaputra
Oleh Batara Narada, Suryaputra dianugerahi busana raja, mahkota indah bernama Bukasri dan jamang emas bernama Kinantipa untuk menutupi bekas pitak di pelipisnya. Setelah tugasnya selesai, Batara Narada segera kembali ke kahyangan Jonggring Saloka.
Setelah Batara Narada menghilang, Prabu Anom Suyudana bersama Patih Arya Sengkuni dan Arya Dursasana datang menemukan mereka. Raden Suryaputra segera berlutut di hadapan Suyudana “ampun, sahabatku. Maafkanlah saya karena sudah menculik calon tunanganmu. Penggallah kepalaku bila kau tidak berkenan memaafkanku.” Arya Dursasana dan Patih Arya Sengkuni memanas-manasi Suyudana”lihat itu kakang. Rupanya sahabatmu sendiri yang menculik calon pengantinmu.” “benar, keponakanku. Kau lihat dia. Dulu kau beri dia hati, dia sekarang merebut jantungmu. Sungguh tak tahu malu. Kau angkat derajatnya, kini dia membalasmu dengan perbuatan rendahan ini.” Mendengar ucapan Patih Sengkuni, Raden Suryaputra menawarkan lehernya untuk dipenggal Prabu Anom Hastinapura itu. Hati Suyudana menjadi bimbang karenanya. Lalu dia duduk dan bersemedi, merenungi apa yang akan menjadi keputusannya.  Jika dia merelakan Srutikanti, maka hubungan sekutu Hastinapura-Mandaraka akan renggang. Tapi bila dia merelakan Suryaputra dipenggal, maka dia akan kehilangan sahabat yang dikasihi dan Hastianpura akan kehilangan sosok pemanah handal yang mengimbangi Permadi. Sungguh pilihannya yang berat baginya. Di akhir semedinya, Suyudana memberikan keputusannya “setelah menimbang, aku memaafkanmu dan aku rela bila Srutikanti diperistri olehmu, sahabatku. Bagiku, persahabatan itu lebih dari segalanya dan sejak awal, pertunangan ini adalah rancangan paman Patih untuk merekatkan persukutuan politik. Pertunangan ataupun pernikahan yang didasari oleh hal semacam itu tak akan berujung bahagia.” Raden Permadi dan Patih Sengkuni terharu pada keputusan yang diambil Suyudana. Raden Suryaputra bahkan meneteskan air mata dan memeluk sahabatnya itu seraya bersumpah “Terima kasih, sahabatku. Mulai detik ini, aku akan tidak mengkhianatimu lagi untuk selamanya. Aku berjanji akan selalu bersedia berkorban jiwa raga demi kemuliaan Hastinapura dan rajanya.” Sumpah itu didengar dewata dengan jatuhnya bunga-bunga.
Tiba-tiba di suasana haru tersebut, terdengarlah teriankan “Tolong, kakang Suryaputra!” Semuanya menoleh ke kereta Jatisura. Mereka meilihat Dewi Srutikanti dibawa terbang oleh seorang raksasa dan mengarah ke arah Awangga. Tanpa banyak bicara lagi, mereka semua segera naik ke kereta Jatisura. Begitu Raden Suryaputra melecutkan kuda-kudanya, kereta itu seketika terbang di angkasa mengejar kemana raksasa itu pergi membawa sang calon istri. Setelah lama mengejar raksasa itu, mereka sampai di Awangga. Suryaputra dan semuanya yang ada disitu terkejut melihat Awangga telah dikuasai oleh pemberontak bernama Kalakarna dan Karnamandra. Suyudana marah pada dirinya sendiri menyadari kelengahannya dalam mengawasi negara. Dilihatnya Adipati Adirata, Dewi Rada, Raden Jaya dan Arya Druwa dikurung dalam kerangkeng dan hendak di eksekusi mati oleh Prabu Kalakarna di hadapan khalayak. Bukan hanya itu,Dewi Srutikanti hendak dilecehkan oleh Prabu Kalakarna. Lalu Raden Suryaputra segera turun dari keretanya dan menantang Prabu Kalakarna “hei, pemberontak. Kalau kau ingin mengeksekusi ayahku, langkahi dulu mayatku. Aku menantangmu tanding satu lawan satu.” “welehh, ada kroco dari adipati tua itu. Mari sini kau, kroco.” Pertarungan satu lawan satu itu berlangsung sengit. Tak mau kalah dari kakaknya, Raden Permadi dan Arya Adimanggala ikut melawan patih Karnamandra. Sementara Suyudana dan yang lainnya melawan para prajurit pilihan Kalakarna. Baru sepuluh menit, Suyudana, Dursasana, dan Setyaki mampu mengalahkan prajurit-prajurit itu. Kekuatan gabungan Permadi dan Adimanggala juga tak bisa dianggap enteng. Serangan keris dan tombak mereka membuat patih Karnamandra terdesak dan akhirnya dia tewas dengan tubuh tertusuk tombak dan keris. Melihat patihnya tewas, Prabu Kalakarna semakin marah besar dan serangannya semakin membabi buta. namun karena dibakar amarah yang ledak-ledak, pertahanannya menjadi terbuka. Raden Suryaputra segera membentangkan Busur Wijaya miliknya dan segera merapal aji Naracabala. Begitu panah ditembakkan, panah itu berbah menjadi puluhan panah. Prabu Kalakarna yang lengah akhirnya terpenggal kepanya dan tubuhnya diranjapi panah. Sisa-sisa prajurit yang membela Prabu Kalakarna segera melarikan diri. Setelah cukup aman, mereka segera membebaskan Adipati Adiratha dan semua orang yang masih setia kepadanya. Prabu Anom Suyudana dan para Kurawa mohon pamit untuk mengantar pulang Srutikanti dan menjelaskan pada Prabu Salya bahawa pertunangan Suyudana dibatalkan.
Setelah para Kurawa pamit, Adipati Adiratha mendatangi kedua putranya. Dia sangat bersyukur kedua putranya telah menyelamatkannya. Karena keadaan sudah kembali aman, Adipati Adiratha merasa usianya telah tua dan segera mengangkat Suryaputra sebagai pemmpin Awangga yang baru. Keesokan harinya, Suryaputra dilantik sebagai adipati yang baru. Disaksikan oleh para Kurawa, Permadi, dan Setyaki, Suryaputra dilantik menjadi sebagai adipati. Suryaputra pun memakai nama yang diberikan ibunya sejak lahir, yaitu Adipati Karna Basusena dan atas pertimbangannya, Adipati Karna menunjuk adik bungsunya, Adimanggala sebagai patih dalam, Arya Druwa sebagai patih luar, dan Raden Jaya sebagai kepala Bhayangkara kadipaten. Sorak sorai rakyat Awangga dan Hastinapura menambut sang adipati baru.
Beberapa hari kemudian, Adipati Karna, Suyudana, dan Permadi datang ke Amarta untuk menemui para Pandawa. Saat itu Prabu Yudhistira dan adik-adiknya sedan brsama Dewi Kunthi. Datangnya Adipati Karna ke Amarta untuk meminta restu Dewi Kunthi “kanjeng ibu, aku putramu Karna meminta restu darimu untuk menikahi putri paman Prabu Salya.” Dewi Kunthi menangis sesegukan terharu dengan kedatangan putra tertuanya itu “putraku. Akhirnya kau telah kembali. Restuku akan selalu menyertaimu.” Prabu Yudhistira, Arya Bratasena dan si kembar keheranan lalu Dewi Kunthi bercerita asal-usul kelahiran dan pembuangan Karna dahulu. Setelah mendengarkan cerita itu dengan saksama, mereka terharu dan segera memberi sungkem pada kakak tertua mereka. Singkat cerita para Pandawa, Dewi Kunthi, dan rombongan Adipati karna segera bertolak ke Mandaraka.
Prabu Salya dihadap oleh putrinya Dewi Srutikanti dan Dewi Banowati. Saat itu datanglah Suyudana, Adipati Karna, para Pandawa dan Dewi Kunthi. “Salam, paman Prabu. Kedatangan hamba untuk menjelaskan alasan saya membatalkan pertunangan. Saya membatalkan karana sahabat saya, Adipati Karna dan rayi Dewi Srutikanti saling mencintai. Karena itu aku ingin paman Prabu menikahkan mereka.” Mendengar hal itu, prabu Salya menghormati alasan itu dan dengan tangan terbuka segera menikahkan Adipati Karna dengan putrinya. Beberapa hari kemudian diselenggarakan upacara pernikahan antara Adipati Karna dengan Dewi Srutikanti. Hari itu, Adipati Karna duduk di pelaminan yang sangat indah gemerlapan, bersanding bersama dua isterinya, Wrusali dan Srutikanti. Mereka bagaikan Batara Surya yang diapit Dewi Sangya dan Dewi Chayya. Prabu Yudhistira, Prabu Baladewa, dan Prabu Kresna turut menjadi saksi atas pernikahan itu. Pesta berlangsung sangat meriah selama beberapa malam di Mandaraka.
*Sahashra Maushal, ajian pukulan seribu gada
*Sahashra Himavarsha, ajian seribu panah hujan es, mampu membuat hujan panah berlapis es dan salju yang mengurung lawan hingga beku dan membuat lawan menyerah karena kedinginan.
*Busur Wijaya, busur sakti milik Adipati Karna. Rentangan dan kesaktian busur ini menandingi Busur Gandiwa milik Arjuna. Busur ini didapat dari gurunya, Batara Ramabargawa (Parasurama).

Kamis, 25 Juli 2019

Arya Setyaki Lahir


Salam semua, penulis kali ini akan menceritakan kelahiran Arya Setyaki, putra mahkota Lesanpura yang kelak mengabdi pada sepupunya, Prabu Kresna dan akan menjadi ksatria hebat di Perang Baratayudha. Sumber yang penulis pakai berasal dari blog albumkisahwayang.blogspot.com dan beberapa sumber lain yang tersebar di internet. 
Pada zaman dahulu kala, di tengah samudera tersebutlah seekor kepiting raksasa. Kepiting ini raja para kepiting, ajudan Batara Rekathatama yang bernama Prabu Yuyudana. Disamping itu, dia adalah pemuja Wisnu yang sangat taat. Menjelang akhir kehidupannya, Prabu Yuyudana bersemedi dan berharap untuk menjadi tangan kanan Batara Wisnu. Karena ketekunannya bertapa, kahyangan Jonggring Saloka bergoncang. Kawah Candradimuka bergolak memuntahkan laharnya. Para bidadari dan bidadara lari pontang-panting karena ada gara-gara. Bumi gonjang-ganjing, langit kolap-kalip. Ombak di samudera bergelora dahsyat. Angin bertiup sangatlah kencang hingga membuat buih-buih samudera berterbangan.
Prabu Yuyudana bertemu Batara Wisnu dan Batara Resi Narada
Lalu turunlah Batara Narada dan Batara Wisnu ke tempat Prabu Yuyudana. “raja kepiting yang hebat. Hentikan semedimu. Tapa brata mu telah diterima Sanghyang Widhi. Apa yang membuatmu keras sekali bertapa brata, tuan raja kepiting?” “mohon ampun, pukulun Sang Narada. Hamba hanya ingin segera moksa, agar bisa menjadi tangan kanan dewa pujaan hamba, Ida Batara Wisnu.” Batara Wisnu kemudian mendekat dan berkata kepadanya “permintaanmu akan kukabulkan tapi tidak di saat ini. Tunggulah aku menitis pada salah satu keturunan Wangsa Yadawa. Kelak kau akan menjadi tangan kananku dalam penitisanku saat itu. Untuk sementara ini tinggalah di alam penantian.” Demikianlah, Prabu Yuyudana kemudian moksa dan jiwanya menunggu di alam penantian, menanti sang Wisnu menitis pada salah satu keturunan Wangsa Yadawa.
Ratusan tahun kemudian, di kerajaan Lesanpura, Arya Ugrasena yang kini menjadi raja bergelar Prabu Setyajid dihadap para menteri, punggawa, dan permaisurnya, Dewi Wresini juga putri sulungnya, Dewi Setyaboma. Mereka membicarakan tentang pesta siraman tujuh bulan yang akan diselenggarakan tiga hari lagi. Tiba-tiba Dewi Wresini menyampaikan permintaannya “maaf, kanda Prabu. Maaf bila memotong tiba-tiba. Aku punya sebuah permintaan. Aku ingin menunggangi seekor harimau putih yang bisa bicara saat siraman besok.” Prabu Setyajid terkejut mendengar istrinya mengidam permintaan itu. Lalu di saat yang tepat datanglah para keponakan Prabu Setyajid. Mereka adalah Prabu Baladewa, Prabu Kresna, Prabu Yudhistira, dan Raden Permadi. Rupanya, Prabu Setyajid masih belu sadar kalau ia Kresna adalah Gowinda yang dulu mengembalikan kalung Shamantaka waktu itu, tapi Prabu Kresna memilih merahasiakannya dan akan ia ungkap nanti. Setelah beramah tamah, Prabu Setyajid menceritakan tentang idaman sang istri yang ingin naik harimau putih yang bisa berbicara. Prabu Kresna mendamaikan hati pamannya “paman prabu, jangan berkecil hati dengan permintaan bibi prameswari. Aku mendapat firasat bila anak yang dikandung bibi prameswari bakal jadi orang besar. Jadi tak salah bila sekarang idamannya tidak biasa.” Kemudian Raden Permadi mendapatkan ide untuk memasang grogol di hutan Harsawana. Siapa tahu harimau itu ada disana. Prabu Setyajid setuju dan segera memerintahkan para prajurit untuk menemani Raden Permadi memasang grogol di hutan Harsawana.
Di tempat lain, di pinggir kerajaan Lesanpura, Kerajaan Swalabumi berdiri. Rajanya bernama Prabu Satyasa atau lebih sering disebut Prabu Tambakyuda sedang gandrung dengan Dewi Wresini dan ingin memboyongnya ke Swalabumi. Sehubungan dengan idaman Dewi Wresini yang ingin menunggangi harimau putih yang bisa bicara,maka Prabu Tambakyuda mengutus patihnya, Singamulangjaya untuk membawa Dewi Wresini mau atau tidak mau. Singkat cerita Patih Singamulangjaya berangkat ke Lesanpura.
Di hutan Harsawana, Raden Permadi, para punakawan dan para prajurit telah memasang jebakan grogol. Lalu dari arah dalam hutan, muncul seekor harimau putih. Beberapa prajurit dikejarnya lalu ketika mengejar prajurit itu, harimau itu masuk ke jebakan dan meronta-ronta dengan bahasa manusia. “Tolong! Tolong! Lepaskan Aku!. Kalau aku dilepaskan, aku akan menurut.” Raden Permadi kemudian memerintahkan para prajurit untuk melepaskannya. Sesuai janjinya, setelah dilepaskan harimau itu menjadi sangat jinak dan mau di bawa oleh Raden Permadi ke Lesanpura.
Beberapa hari kemudian, pesta siraman tujuh bulan di selenggarakan. Pesta berlangsung meriah. Selain dari Amarta ada Prabu Yudhistira dan Raden Permadi, turut datang pula Arya Bratasena untuk memeriahkan. Setelah melakukan prosesi siraman, sang permaisuri Prabu Setyajid itu duduk diatas harimau putih idamannya. Kucing besar itu nampak begitu anteng dan jinak ketika dinaiki Dewi Wresini. Namun, setelah mereka semua lengah, tiba-tiba harimau putih itu kabur membawa Dewi Wresini yang masih ada dipunggungnya. Prabu Setyajid dan tetamu undangan terkejut melihat sang harimau berhasil kabur dan membawa permaisuri Lesanpura. Tanpa banyak bicara lagi, Raden Permadi dan Prabu Kresna meminta izin pada Prabu Setyajid untuk mengejar harimau itu.
Harimau yang melarikan Dewi Wresini terus berlari jauh ke dalam hutan Harsawana. Dewi Wresini ketakutan karena mengira dia akan di mangsa. Rasa takut itu membuat bayi yang dikandungnya berontak. “tuan harimau, tolong berhenti, bayi ku berontak ingin keluar.” Sang harimau mengerti lalu berhenti di tepi sendang didalam hutan. Sang harimau kemudian berubah menjadi patih Singamulangjaya. Rupanya itu hanya siasat untuk membawa kabur Dewi Wresini ke Swalabumi. Tanpa disadari, Batara Narada datang bersama jiwa Prabu Yuyudana yang telah menanti selama ratusan tahun untuk menjadi tangan kanan Batara Wisnu. Dewi Wresini merasa kesakitan perutnya tanda akan melahirkan. Disaat yang sama, jiwa Prabu Yuyudana menitis ke rahim sang permaisuri itu sehingga bersatulah dengan si jabang bayi. Patih Singamulangjaya mencoba untuk menggugurkan kandungan yang akan dilahirkan Dewi Wresini dengan memukul perutnya. Namun semakin dipukul, Dewi Wresini tidak kesakitan dan sang jabang bayi justru lahir dengan selamat. Bayi berkelamin laki-laki itu nampak sehat. Karena berpikir Prabu Tambakyuda hanya butuh Dewi Wresini tanpa bayinya, Patih Singamulangjaya mencoba membunuh sang jabang bayi. Dewi Wresini memohon sambil menangis agar anaknya jangan dibunuh. Namun permintaannya tak dihiraukan. Patih Singamulangjaya mulai memukuli si bayi namun anehnya si jabang bayi kulitnya sekeras kulit kepiting dan kini dapat merangkak. Lalu si jabang bayi diangkat lalu dibantingnya tapi si bayi tidak terluka sedikitpun malah si jabang bayi berubah menjadi anak berusia tujuh tahun yang dapat berjalan dan berlari. Dewi Wresini memanfaatkan lengahnya Patih Singamulangjaya dan berusaha kabur. Karena kesal, Patih Singamulangjaya membanting dan menghajar si anak hingga terpental ke balik semak-semak. Bukannya mati, justru si anak semakin kuat dan justru tangan si Patih kesakitan. Lalu Patih Singamulangjaya berubah lagi menjadi harimau lalu mencakar dan menendangnya hingga terpental jauh. Tanpa disadari, si anak berubah menjadi pemuda berusia sembilan belas tahun berkumis dan berjanggut tebal. Dewi Wresini yang berhasil kabur menyaksikan peristiwa ajaib itu lalu mendekati putranya yang tumbuh dewasa dalam sekejap. Pemuda itu kemudian bertanya “hei, perempuan. Siapa kamu?” “aku ibumu, anakku. Atas perlindungan Dewata, kau telah tumbuh dewasa dalam sekejap.” Sang pemuda itu tak mengerti.
Arya Yuyudana Setyaki
Di saat yang sama, Batara Narada menampakkan diri di hadapan Dewi Wresini dan putranya lalu memakaikan pakaian pada putra Dewi Wresini.” Cucuku Wresini, putramu adalah orang pilihan yang dipilih oleh Batara Wisnu. Didalam tubuhnya telah menitis jiwa raja kepiting pemuja Batara Wisnu yang taat. Dia akan menjadi orang hebat di masa depan bersama keponakanmu, Kresna dan para Pandawa. Namailah dia Yuyudana.” “baik pukulun, Batara Resi Narada.” Setelah Batara Narada menghilang kembali ke kahyangan, Patih Singamulangjaya menemukan Dewi Wresini yang tadi sempat kabur dan hendak menangkapnya. Arya Yuyudana kembali melawan penculik ibunya itu. Setelah sekian lama bertarung, akibat tamparan Arya Yuyudana, sang patih itu tewas seketika lalu ruhnya bersatu dengan Arya Yuyudana.
Dewi Wresini sangat bangga dengan kehebatan putranya itu. Singkat cerita, mereka harus kembali ke Lesanpura untuk memberitahu kabar gembira ini. Di tengah perjalanan, mereka diserang oleh Raden Permadi. Di kejauhan, Prabu Kresna dan Ki lurah Semar hanya mengawasi. Arya Yuyudana memaki mereka “ hei,apa yang kau lakukan. Kau mau melukai ibuku??” raden Permadi  menyangkalnya “Hei tutup mulutmu. kau pasti penculik bibi prameswari Dewi Wresini. Lepaskan dia! Kakang Madawa, bantu aku.” Prabu Kresna tak mau gegabah, lalu nampak berjalan tenang lalu melerai perkelahian mereka. Di saat yang sama Batara Narada dan Ki Lurah Semar kembali muncul dan menjelaskan bahwa mereka itu bersaudara sepupu. Setelah Batara Narada menghilang, Dewi Wresini menceritakan apa yang dialaminya. Raden Permadi dan Prabu Kresna terkesan dengan pengalaman bibi mereka. Mereka pun memeluk Arya Yuyudana dan kembali melanjutkan ke Lesanpura.
Sesampainya di Lesanpura, Prabu Setyajid menerima kedatangan istri dan para keponakannya. Dia bersyukur istrinya dapat diselamatkan.lalu dia bertanya “istiku, siapa pria muda yang disebelahmu? Dia terlihat mirip denganku waktu muda dulu.” “suamiku, ini anak kita.” Prabu Setyajid terkejut dan menanyakan apa yang terjadi sebenarnya. Dewi Wresini menceritakan bagaimana dia diculik patih Swalabumi yang menyamar jadi harimau, bagaimana dia melahirkan dan bagaimana putra mereka bisa tumbuh dewasa dalam sekejap. Prabu Setyajid ragu akan kebenaran cerita itu. Sebelum dia berbicara, tiba-tiba datang seorang prajurit mengabarkan pasukan Swalabumi mengamuk di dekat kotaraja. Prabu Setyajid geram lalu memerintahkan para Prajurit. Namun Arya Yuyudana mendekati ayahnya “ayahanda, biar aku saja yang memimpin dan menghadapi mereka. Bila aku berhasil mengalahkan mereka, jangan ragukan lagi kesaksian ibunda prameswari.”
Arya Yuyudana berangkat ke medan pertempuran bersama Arya Bratasena. Pertempuran di alun-alun antara Lesanpura dengan Swalabumi berlangsung sengit. Dengan bantuan Arya Bratasena, prajurit Lesanpura berhasil memukul mundur prajurit Swalabumi sehingga mereka kucar-kacir. Sementara itu, Prabu Tambakyuda terus memukul-mukul tubuh Arya Yuyudana dengan gada miliknya. Anehnya, bukan tubuh Arya Yuyudana yang jatuh terpental malah gada milik Prabu Tambakyuda yang terpental. Karena tak bersenjata lagi, Prabu Tambakyuda menantang Arya Yuyudana bertanding tangan kosong. Setelah beberapa lama, Prabu Tambakyuda dibanting lalu kepalanya dibentur-benturkan ke sebuah batu besar hingga tewas. Secara ajaib, ruh Prabu Tambakyuda bersatu dengan kekuatan fisik Arya Yuyudana. Prabu Setyajid yang melihat dari kejauhan memeluk Arya Yuyudana dan mengakuinya sebagai putranya. “putraku, kau berhasil. Dikarenakan keberaniaanmu, kau akan dijuluki sang Wresniwira. Hari ini pula, aku mengangkatmu sebagai putra mahkotaku dan ku namai kau Pangeran Setyaki.” Sorak sorai membahana luar biasa diantara para prajurit dan tentara yang ada disana. Arya Yuyudana akhirnya dikenal sebagai Arya Setyaki. Agar kesaktiannya terarah, Prabu Setyajid meminta Raden Permadi untuk membimbing putra mahkotanya itu.


Senin, 08 Juli 2019

Wasi Jaladara


Hai para pembaca budiman, postingan kali ini mengisahkan Prabu Anom Balarama menjadi pendeta muda bernama Wasi Jaladara di gunung Raiwataka dan pertemuannya dengan jodonhnya, Dewi Erawati. Dikisahkan pula bagaimana Arya Bratasena dan Prabu Anom Suyudana berguru adu gada pada Wasi Jaladara. Lakon ini sebenaranya gabungan dua lakon yaitu Kartapiyoga Maling dan Jaladara Rabi. sumber kisah ini berasal dari beberapa blog pewayangan, Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa, dan Kitab Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita.
Di Kerajaan Mandaraka, Bambang Narasoma telah lama menjadi raja bergelar Prabu Salya menggantikan ayahnya, Prabu Mandrapati yang telah mangkat. Pernikahannya dengan Endang Ratna Setyawati telah dikaruniai lima orang anak. Mereka adalah Dewi Erawati, Dewi Srutikanti, Dewi Banowati, Arya Burisrawa, dan Bambang Rukmarata. Semua putri dan putra bungsunya berwajah ayu dan tampan kecuali Arya Burisrawa. Arya Burisrawa jarang tampil di dalam puri dan lebih senang berada di luar keraton karena malu pada wajahnya yang buruk rupa mirip sang kakek, Resi Bagaspati. Kini sang Prabu sedang dirundung masalah karena Dewi Erawati hilang diculik orang.
Sementara itu, di gunung Raiwataka, Wasi Jaladara.yang telah menerima kedatangan adiknya beberapa waktu lalu melanjutkan tapa bratanya. Pada suatu hari, Wasi Jaladara mendapat wangsit dari Batara Brahma “anakku, pergilah ke Mandaraka. Jodohmu ada disana. Dia adalah Dewi Erawati, putri sulung sang Prabu Salya. Sekarang dia menghilang diculik orang.  tolonglah dia” Lalu berangkatlah Wasi Jaladara dan Endang Kendengpamali ke Mandaraka. Di tengah jalan mereka berdua bertemu Arya Bratasena. Arya Bratasena datang karena mendapat wangsit dari Batara Bayu untuk berguru perang gada pada Wasi Jaladara. Wasi Jaladara kemudian menerima Arya Bratasena sebagai muridnya. Lalu Arya Bratasena diperintahkan untuk menunggu di gunung Raiwataka.
Setelah lama berkuda, mereka akhirnya sampai di Keraton Mandaraka. Kebetulan sekali Prabu Salya sedang di keraton dihadap putranya, Bambang Rukmarata. Setelah dipersilahkan oleh para prajurit, mereka masuk dan menyerahkan segala hasil bumi dan segera menyampaikan maksudnya “Mohon ampun, Gusti Prabu. Saya Wasi Jaladara dari gunung Raiwataka dan ini adik saya, Kendengpamali. Hajat hamba datang kemari untuk melamar putri gusti, Dewi Erawati. Sudikah gusti prabu menerima lamaran saya?” disaat yang bersamaan Prabu Anom Suyudana ditemani Patih Arya Sengkuni datang juga untuk melamar Dewi Erawati. Melihat keduanya datang juga untuk melamar Dewi Erawati. Prabu Salya bingung untuk menentukan karena putrinya masih dalam pencarian. Lalu muncul niatan untuk menguji mereka berdua. Prabu Salya memutuskan untuk membuat sayembara lalu menampaikan itu melalui puteranya, Rukmarata“Dengarkan ini saudara Suyudana dan saudara Jaladara. Ayahanda Prabu sudah memutuskan untuk menjadikan ini sebagai sayembara. Barangsiapa yang mampu menemukan kakang mbokku Erawati, mampu menyiapkan sepasang patah manten yang berwajah mirip dan seorang waranggana cantik, dialah yang berhak menikahinya.” Mendengar hal itu, mereka segera melaksanakan sayembara itu.
Beberapa saat kemudian datanglah Raden Permadi ke Keraton Mandaraka.”mohon sembah padamu paman Prabu Salya. Kedatanganku kemari karena mendapat wangsit untuk membantumu sebagai sarana menemukan kakak saya, Bratasena. Sudah beberapa hari ini dia menghilang.” Mendengarnya, Prabu Salya memang angkuh merasa jika Dewi Erawati lebih baik bersanding dengan Permadi daripada dengan Wasi Jaladara. Lalu Prabu Salya berkata “ Anakku Permadi, saat ini sepupumu Erawati hilang diculik orang. Aku minta kau untuk mencarinya?” Raden Permadi mengiyakan perintah paman adik kembarnya itu lalu segera pamit dan mencari Dewi Erawati. Belum sampai keluar keraton, ditengah jalan, dia berjumpa dengan dua adik Dewi Erawati, Srutikanti dan Banowati. Mereka dengan genitnya merayu Raden Permadi. Rayuan Dewi Srutikanti tak dihiraukan Raden Permadi tapi begitu Dewi Banowati mendekatinya sambil merayunya, Raden Permadi justru terlena dan mereka pun saling berasyik masyuk di halaman keputren. Sebelum pergi, Dewi Banowati memberikan sesuatu “ kakang Permadi,sebelum kau pergi terimalah kain selendang ini. Aku sendiri yang membatiknya. Pakailah ini kakang.” “baik, sayang. Selendang ini akan selalu kukenakan di leherku.” Dewi Srutikanti yang melihat pemandangan semacam itu cemburu karena dikecawakan. Karena kecemburuannya itu, dia melabrak mereka berdua lalu bersumpah serapah “Permadi, kau sudah mengabaikan aku. Aku mencintaimu tapi kau lebih memilih adikku yang masih bau kencur. Maka dengarlah sumpahku. Aku bersumpah selama kau masih mencari kakakmu, kau akan selalu kelaparan hari ini.” Karena sumpah tersebut, Raden Permadi disertai Ki Lurah Semar dan anak-anaknya segera pergi.
Sementara itu, sembari mencari keberadaan Dewi Erawati, Wasi Jaladara juga mengajari dan melatih Arya Bratasena perang gada di Gunung Raiwataka. Wasi Jaladara tak sadar bahwa mereka sudah dikuntit dan dimata-matai oleh Prabu Anom Suyudana dan adik-adiknya. Mereka berniat menghilangkan saingan. Disaat yang tepat, mereka menyerang gunung Raiwataka. Para Kurawa secara membabibuta menyerang apa saja dan untungnya berhasil dihadang Bratasena. Sementara itu Suyudana beradu gada Wasi Jaladara. Pertarungan gada itu sangat sengit. Pukulan dan gesekan antara gada Kyai Inten milik Suyudana dan Gada Alugora milik Wasi Jaladara menimbulkan percikan api dan membakar sebagian hutan di sekitarnya. Namun demikian, ilmu bermain gada Suyudana belum sempurna lagi sehingga gadanya terpelanting dan dirinya terkena gada Wasi Jaladara. Akhirnya dihadapan Wasi Jaladara dan Arya Bratasena, Suyudana berlutut mengaku kalah “Ampun Wasi agung, aku mengaku kalah. Tolong ampuni aku. Aku janji tak akan mengusik pencarian Erawati dan bersedia menjadi muridmu.”
Suyudana menjadi murid Wasi Jaladara.
Wasi Jaladara menyuruhnya kembali berdiri dan mengangkatnya sebagai murid bersama Arya Bratasena. Prabu Anom Suyudana kemudian menyuruh adik-adiknya untuk kembali ke Hastinapura. Dasar watak Arya Bratasena yang hati-hati, dia berbisik pada gurunya “Guru, kau yakin mau menerimanya? Dia kan bala Kurawa. Aku takut klo dia punya maksud jahat.” “tidak baik berburuk sangka, Bratasena. Kalau dia punya maksud lain, pasti ku tolak.” Akhirnya Arya Bratasena menerima sepupunya itu sebagai saudara seperguruan sekali lagi.
Sementara itu, Dewi Erawati yang dicari-cari itu ternyata diculik oleh pangeran Kartapiyoga. Pangeran itu tinggal di kerajaan Tirtakadasar dibawah muara Bengawan Jaladatta. Kartapiyoga sangat terpesona oleh Dewi Erawati sehingga meminta ayahnya, Prabu Kurandageni untuk mengirimkan ilmu sihir agar Dewi Erawati bisa dibawa olehnya tanpa kecurigaan. Disana Dewi Erawati terus dirayu olehnya, tapi Dewi Erawati tetap menolak. Karena terus terdesak, akhirnya Dewi Erawati berkata “kakang Kartapiyoga, aku hargai usahamu tapi hatiku tak akan tergoyah. Aku akan bersedia menikahimu kalau kau membawa adik-adikku kemari.” “baik... sayangku. Akan kupenuhi syarat darimu” ucap Kartapiyoga yang sudah termakan cinta butanya. Segeralah Kartapiyoga berangkat ke Mandaraka lagi untuk menculik Srutikanti dan Banowati.
Saat itu musim kering, udara disiang hari begitu terik tapi di malam hari terlalu dingin. Beberapa pepohonan di hutan meranggas menggugurkan daunnya tak menghasilkan buah. Raden Permadi dan para Punakawan sejak meninggalkan Mandaraka sudah kelaparan. Nampaknya sumpah Srutikanti menjadi nyata. Sudah berhari-hari mereka berjalan namun baik di perkampungan maupun di hutan tak ada makanan yang dapat dimakan. Sehingga sampailah mereka di lereng gunung Raiwataka. Demi membantu Permadi, Ki Lurah Semar kemudian meminta izin untuk ke padepokan di puncak gunung itu “ ndoro Permadi, kalau diizinkan, aku dan anak-anakku akan ke padepokan di puncak itu. Siapa tahu disana ada orang yang bisa dimintai bantuan” “baik, Ki lurah. Aku izinkan.” Ki Semar,Gareng Petruk, dan Bagong memutuskan untuk menyamar jadi pengamen. Sesampainya disana, mereka mbarang jantur. Ki Semar menjadi pemain sulap, Gareng menjadi penyanyi, Petruk dan Bagong menjadi pemain gendang dan kecapi. Endang Kendengpamali, pemilik tempat itu datang dan tertarik melihatnya. Melihat para pengamen itu bermain sulap, menyanyi dan menari membuatnya sangat terhibur. “terima kasih kalian sudah menghiburku. Apa makanan  empat bungkus ini cukup...?” Bagong kemudian memotong “ aduhh cah ayu. lihat senyummu sudah cukup kok” “Ngawur kamu, gong. Dari tadi situ lihat senyum terus. Lihat snyum juga butuh makan.” seloroh Petruk sambil mengacak-acak rambut Bagong. Gareng kemudian berkata “ini sudah lebih dari cukup.” Baru saja mereka mau pergi. Raden Permadi menyusul ke puncak. Begitu memandang Endang Kendengpamali, jantungnya seketika berdebar. Tingkahnya menjadi salah. Setelah makan dan menenangkan hatinya, malu-malu Permadi berbincang dengannya “ni sanak. Cantik sekali dirimu. Perkenalkan, aku Permadi. Jika diperkenankan, boleh aku tahu siapa nama ni sanak?” Endang Kendengpamali sedikit kaget bahwa yang datang itu sepupunya lalu dia pura-pura tak tahu“ akuu.... aku Kendengpamali. Aku disini tinggal dengan kakakku. Kebetulan kakak sedang mengajar murid-muridnya jadi padepokan ini sepi.” Terpikat oleh cinta dan ayunya rupa Kendengpamali, Raden Permadi kemudian mengajak Endang Kendengpamali jalan-jalan berkeliling gunung. Lalu sampailah mereka di sebuah padang bunga.
Permadi dan Endang Kendengpamali di padang bunga
Mereka berlari kesana-kemari diantara bunga-bunga hutan layaknya sepasang kumbang. Karena kurang waspada, Endang Kendengpamali jatuh terperosok ke lubang. Untunglah Raden Permadi menolongnya. Kainnya sobek dan betisnya terluka, Raden Permadi mencoba mengobatinya. Karena kesakitan, Endang Kendengpamali merintih dan suara rintihannya terdengar sampai ke tempat Wasi Jaladara. Dengan aji Balabadra, dirinya segera berlari diikuti Suyudana dan Bratasena.
Tak butuh waktu lama, Wasi Jaladara menemukan adiknya bersama seorang pria tak dikenal. Karena sifatnya yang mudah marah, dia labrak pria itu lalu dihajarnya. Sang pria itu terjatuh namun bangkit lagi lalu membela diri dari serangan Wasi Jaladara. Pria itu berusaha menjelaskan bahwa dia bukan musuh, namun tak dihiraukan oleh sang pendeta itu. Karena memang tak berniat melawan dari awal, pria itu terkena pukulan dan jatuh dihadapan Arya Bratasena. Ketika dilihat, Arya Bratasena menyadari bahwa yang dihajar gurunya itu Permadi, adiknya. Lalu datang Ki lurah Semar melerai Wasi Jaladara. “helah dalah..bertenang dulu Jaladara. Tenangkan dirimu. Katanya kau pendeta, tapi kok masih brangasan dan mudah marah? Malu dengan gelar Wasi milikmu. Lagipula yang kau hajar itu Permadi, adik sepupumu sendiri” Wasi Jaladara merasa bersalah lalu minta maaf pada raden Permadi. Lalu datanglah Batara Brahma dengan angsanya. Batara Brahma datang untuk menyampaikan pesan dari Batara Guru “heei anakku, Wasi Jaladara. Segala laku prihatin yang kau lakukan telah diterima oleh Sanghyang Widhi Maha Agung. Aku kesini menyampaikan bahwa Erawati berada di tangan Kurandageni, raja di Tirtakadasar dan kini putranya, Kartapiyoga akan menculik adik-adiknya malam ini. Segeralah kembali ke Mandaraka.” setelah Batara Brahma kembali ke kahyangan, Wasi Jaladara, Prabu Anom Suyudana, dan Arya Bratasena segera bertolak ke Mandaraka sebelum malam tiba, sementara Permadi dan para Punakawan pergi ke arah lain masuk jauh ke dalam hutan untuk menyepi.
Malampun turun. Udara malam itu sangat dingin membuat siapapun bakal terlena dalam selimut. Burung-burung malam dan kelelawar juga terdiam meringkuk kedinginan. Hanya bulan yang terang menemani malam bersama bintang. Namun tidak dengan Kartapiyoga, karena cinta buta dia rela melaksanakan niatnya menculik adik-adik Dewi Erawati dan nampaknya niat Kartapiyoga tidak direstui Yang maha Agung. Disana sudah berjaga Wasi Jaladara, Prabu Anom Suyudana, dan Arya Bratasena. Kartapiyoga yang ketakutan lalu melarikan diri. Tanpa pikir lagi, Wasi Jaladara dan murid-muridnya itu mengejar maling tersebut hingga ke pinggir sungai Jaladatta. Berbekal Aji Balabadra, Wasi Jaladara dan Suyudana mampu bertahan nafas dan berjalan di dalam air sementara Bratasena yang sudah meminum Tirta Manik Rasakundha juga menjadi biasa untuk berjalan didalam air. Disana mereka melihat istana megah di dasar sungai. Begitu memasuki istana itu, suasana istana berubah. Suasananya sama seperti di atas daratan. Mereka segera mencari Dewi Erawati tapi mereka dihadang Kartapiyoga dan para prajurit Tirtakadasar. Pertempuran pun terjadi. Ditengah pertempuran, Dewi Erawati berhasil diselamatkan oleh Dewi Sugandika, permaisuri Prabu Kurandageni. Akhirnya, Raden Kartapiyoga berhasil ditewaskan oleh Wasi Jaladara. Prabu Kurandageni lalu pergi melarikan diri menuju istana saudara seperguruannya, Prabu Sarpaprasanta di Bumirinengga.  Wasi Jaladara segera mencari keberadaan Dewi Erawati. Rupanya Dewi Erawati berada di kamar keputren bersama Dewi Sugandika ”Erawati, ternyata kau ada disini.” Dewi Erawati bertanya “siapakah ki sanak ini? Apa kau hendak menculikku lagi” “tidak, aku dan murid-muridku datang untuk menyelamatkanmu. Aku Jaladara, pendeta dari Raiwataka.” Tanpa memperpanjang waktu lagi, mereka segera ke daratan dan kembali ke Mandaraka. Begitupun Dewi Sugandika. Rupanaya Dewi Sugandika adalah sahabat Ratna Setyawati yang dulu hilang ketika masih muda. Dia berniat menemani sahabatnya itu hingga hari tua.
Sementara itu di hutan tempat Permadi menyepi datanglah Batari Durga, isteri Batara Guru dari Kahyangan Setra Gandamayu untuk menjawab semedi dari Permadi “cucuku, Permadi. Aku tahu isi hatimu. Kau sedang bimbang karena kau mencintai dua orang dalam waktu singkat. Kau jatuh cinta pada Banowati dan Kendengpamali. Kau rindu pada dua-duanya. Namun aku meramalkan kelak jodohmu adalah Kendengpamali. Jadi berusahalah lepaskan Banowati.” Kemudian Permadi berserah diri pada Yang Maha Agung semoga pilihan itu adalah yang terbaik. Batari Durga kemudian berkata “Permadi, untuk mengetahui isi hati Kendengpamali, kau harus berbaur dengannya. Dalam arti ini, kau harus menyamar menjadi perempuan. Kedatanganku kemari untuk meriasmu menjadi perempuan sekaligus menyampaikan pesan dari Kanda Batara Guru. Kelak kalian akan bertemu di sebuah acara besar di Mandaraka. datanglah dan jadilah waranggana di acara itu.” “ Baik Pukulun Ida Batari. Hamba akan laksanakan segala perintahmu.” Setelah terbangun dari semedi, wujud Permadi berubah menjadi perempuan cantik. Begitu juga para punakawan, wajah dan tubuh mereka menjadi tubuh perempuan. Setelah itu mereka berlima segera bertandang ke Mandaraka.
Dalam perjalanan pulang ke Raiwataka, Wasi Jaladara sedang termangu karena belum menyiapkan syarat sayembara yaitu patah manten berwajah mirip dan waranggana cantik. Lalu datanglah Batara Narada dari kahyangan “helah dalah, cucuku Jaladara. Kenapa termangu begitu? Dimana ada kesulitan pasti ada kemudahan. Tak usah kau pikir berat permintaan Prabu Salya itu. Orang berhati mulia pasti mendapatkan jalan. Hari ini aku datang karena Batara Indra meminta pertolonganmu untuk menumpas musuh kahyangan, Prabu Sarpaprasanta. Beberapa hari lalu, Prabu Sarprasanta menyerang kahyangan dengan menjadi naga untuk merebut Dewi Gagarmayang. Pasukan Dorandara bahkan Batara Indra sendiri kewalahan. Maukah kau membantu para dewa?” “baiklah, aku mau. Aku bersedia membantu kahyangan” Karena sudah setuju, Batara Narada, Wasi Jaladara, Suyudana, dan Bratasena segera terbang ke kahyangan.
Wasi Jaladara, Prabu Anom Suyudana, dan Arya Bratsena akhirnya tiba di Kahyangan. Dari cermin dewa, para jago dewa ini melihat Prabu Sarpaprasanta dan juga Prabu Kurandageni yang ikut melawan kahyangan bersama saudara seperguruannya itu. Setelah keluar dari Lawang Selamtangkep, mereka langsung menggempur musuh di Repat Kepanasan. Wasi Jaladara melawan Prabu Sarpaprasanta dan Prabu Kurandageni sedangkan Suyudana dan Bratasena melawan pasuka Bumirinengga. Perang berlangsung sangat sengit. Darah para prajurit bertumpahan di Repat Kepanasan. Banyak para Prajurit yang mampu dikalahkan oleh Bratasena dan Suyudana. Sisanya kucar-kacir melarikan diri keluar dari kahyangan.
Wasi Jaladara menjadi jago dewata
Sementara itu Wasi Jaladara yang sudah mulai kewalahan melawan dua raja angkara itu mengeluarkan tombak Nanggala dan begitu Nanggala di pukulkan, kedua raja itu tewas dengan tubuh terbakar. Suasana hening sebentar. Batara Indra kemudian datang mengucapkan terima kasih pada Wasi Jaladara dan murid-muridnya “terima kasih Wsi Jaladara dan para murid atas bantuan kalian. Sebagai bentuk ucapan terima kasih, aku akan menyerahkan Gajah Kyai Puspadentha kepada pendeta agung Jaladara. Gajah ini anak dari Gajah Erawata, kendaraanku. Selain itu pakailah pakaian ini.” Wasi Jaladara kemudian bertukar pakaian dengan busana pemberian batara Indra. Kini Wasi Jaladara nampak berwibawa dan gagah perkasa. Sebagai tanda kenang-kenangan, Batara Narada memberikan nama baru yaitu Raden Baladewa yang bermakna Dewa yang kuat karena jasanya menumpas musuh para dewa. Setelah dirasa cukup, Wasi Jaladara, Prabu Anom Suyudana, dan Arya Bratasena segera kembali ke Gunung Raiwataka. Diam-diam, Batara Indra memerintahkan empat puluh bidadari pilihannya untuk mengiringi Wasi Jaladara karena Batara Indra mengerti bahwa Wasi Jaladara akan segera menikah sehingga biarlah kedatangan bidadari-bidadari itu menjadi hadiah bonus baginya.
Di gunung Raiwataka, Endang Kendengpamali menyambut kepulangan kakaknya. Tanpa diduga-duga datanglah Prabu Kresna dan istrinya Dewi Radha dan Dewi Jembawati ke gunung Raiwataka. Mereka saling berpelukan dan bertanya kabar “adikku, Kanha. Sudah lama kita tak jumpa. Ada angin apa kau mau datang kemari?” “kakang Balarama, aku mendapat perintah dari suara gaib untuk membantumu dan mengajak istriku ke gunung Raiwataka.” Wasi Jaladara terkagum melihat wajah sahabat masa kecil mereka kini menjadi adik iparnya. Ketika diamati lagi, wajah Radha dan Jembawati mirip sekali dengan Endang Kendengpamali. Wasi Jaladara berterima kasih pada adiknya itu karena syarat Prabu Salya menyiapkan patah manten berwajah mirip telah terpenuhi. “tidak perlu sungkan, kakang. Istriku dan adik kita berwajah mirip karena mereka titisan dewi. Menurut dewata, adik kita Bratajaya, lalu Radha dan Jembawati titisan Dewi Sri Laksmi, istri Sri Batara Wisnu." Begitu penjelasan Prabu Kresna. Singkat cerita, mereka segera berangkat ke Mandaraka. Di tengah perjalanan, mereka bertemu seorang pengamen perempuan yang berwajah cantik dan punakawannya yang berwajah ayu. “hei cah ayu, merdu sekali nyanyianmu. Boleh aku tahu namamu?” “saya Werdiningsih dan mereka adalah kelompok saya. Kami pengamen keliling. Kami hendak bertandang ke Mandaraka” Wasi Jaladara lalu mengajak Werdiningsih dan kelompok musiknya untuk menjadi pengiring pernikahannya di Mandaraka. Werdiningsih menyanggupinya dan bersedia ikut.
Di keraton Mandaraka, Prabu Salya dihadap putranya Bambang Rukmarata dan kali ini Arya Burisrawa juga berada di keraton. Disana juga ada Ratna Setyawati dan Dewi Erawati yang sudah di antar pulang oleh Wasi Jaladara beberapa hari lalu. Dewi Erawati datang ke hadapannya karena tadi malam dia mendapat wangsit berupa mimpi “ mohon maaf ayahanda Prabu bila mengganggu.” “tidak apa putriku. Ada hal apa sehingga kau menemui ayahanda. “ Dewi Erawati kemudian bercerita bahawa tadi malam dia bermimpi menikahi pria gagah berwibawa menaiki seekor gajah diiringi empat puluh bidadari. Setelah menyelesaikan ceritanya, tiba-tiba datang seorang prajurit mengirimkan kabar “ampun, Gusti prabu. Saya datang memberi kabar. Telah datang rombongan pengantin memasuki pintu ibukota Mandaraka. Mempelai pria menaiki seekor gajah diiringi patah manten berwajah mirip malah patah mantennya ada tiga orang, lalu dibelakangnya berjalan seorang waranggana yang sangat cantik yang benyanyi sangat merdu, dan dikelilingi empat puluh bidadari. Di antara rombongan itu ada Prabu Kresna, Prabu Anom Suyudana dan Raden Arya Bratasena. Nama mempelai pria itu Wasi Jaladara.” Prabu Salya sangat terkejut, sama sekali tak menyangka kalau Wasi Jaladara yang diremehkannya mampu menyanggupi semua syarat sayembara. Retna Setyawati kemudian meminta suaminya untuk segera menikahkan putri sulung mereka. Akhirnya Prabu Salya datang menjemput mereka. Prabu Salya kemudian bertanya pada Prabu Anom Suyudana “Anakmas Suyudana, bukannya kamu bersaing memperebutkan putriku tapi kenapa kamu malah menjadi pengiring Jaladara?” “Sekarang ini saya menjadi murid guru Jaladara dan perlu gusti prabu ketahui, guru Jaladara adalah Prabu Anom Balarama, kakak dari Prabu Kresna, putra mahkota negeri Mandura.” Prabu Salya terkejut dan sangat malu mendengarnya. Lalu dia menyambut calon menantunya itu dan meminta agar tidak perlu menyamar lagi menjadi pendeta miskin. Keesokan harinya, diselenggarakan akad nikah dan malamnya pesta besar-besaran dilangsungkan selama tujuh hari tujuh malam. Tamu dari para kawula negeri Mandaraka mbanyu mili, berdatangan tak henti-henti. Pada malam hari terakhir, semua tamu undangan telah pulang. Pesta pun selesai.
Malam hari itu, Werdiningsih menyusup ke kamar Dewi Bratajaya. Mula-mula mereka hanya bercakap-cakap. Dewi Bratajaya bercerita “Werdiningsih,sebenarnya sejak bertemu Raden Permadi, sepupuku dari Amarta tempo hari, aku telah jatuh cinta padanya tapi umur kami belum cukup. Apakah dia akan menungguku sampai cukup umur?” “aku yakin dia pasti mau menunggu” Werdiningsih mengatakan itu sambil memegang tangan Bratajaya dan menatapnya dengan tatapan cinta. Dewi Bratajaya menjadi risih dan menghindar. Lalu Werdiningsih berusaha memeluk Dewi Bratajaya. Karena mengira Werdiningsih tidak normal, Dewi Bratajaya mendorongnya  sehinnga tubuh Werdiningsih membentur pintu. Lalu wujud Werdiningsih badar kembali menjadi Raden Permadi. Dewi Bratajaya menjadi ketakutan melihat sepupunya ada di kamarnya. Lalu dia berteriak minta tolong. Prabu Anom Balarama, Prabu Kresna dan Prabu Salya segera datang dan menciduk Permadi. Balarama meminta maaf karena dia tidak tahu kalau sang waranggana bukanlah wanita asli tapi Permadi yang menyamar. Prabu Salya dan Prabu Kresna tertawa kecil lalu Prabu Salya berkata “ Balarama anakku, sebenarnya aku sudah tahu kalau Werdiningsih ini bukan wanita asli. Adikmu, Prabu Kresna yang pertama kali memberitahuku. Lagipula persyaratan dariku juga sangat ambigu. Aku hanya meminta waranggana cantik jadi bila hal ini terjadi itu bukan bagian dari sayembara. Apa boleh buat.” Prabu Salya memaklumkan kesalahan menentunya itu. Raden Permadi juga minta maaf sudah membuat keadaan menjadi kacau.
Keesokan paginya, datanglah adik patih Udawa, Arya Pragota untuk menjemput kakaknya, Balarama untuk kembali ke Mandura. “mohon maaf kakang Balarama, Gusti Prabu Basudewa, ayahandamu telah mendengar kabar tentangmu memintaku untuk menjemput pulang ke Mandura.” Prabu Salya kemudian bertanya “ Balarama, ketika hari pernikahanmu, aku tidak melihat ayah dan ibumu. Kenapa kau tidak mengabari mereka?” “ampun ayahanda mertua, sewaktu saya menjadi pendeta juga tidak mengabari mereka. Saya sendiri minggat untuk mencari bekal ilmu sebagai raja. Jadi untuk apa saya mengabari mereka. Ayahanda mertua juga dulu pasti juga merasakannya.” Prabu Salya tersenyum mendengar penuturan menantunya yang lugas itu karena teringat masa mudanya dulu, sering diusir ayahnya dan pergi mengembara mencari ilmu. Prabu Salya dan Ratna Setyawati memutuskan ikut bersama putri dan menantunya itu ke Mandura.
Pelantikan Balarama menjadi raja Mandura
Singkat cerita, Prabu Anom Balarama bersama Dewi Erawati telah tiba di keraton Mandura. Begitu juga Prabu Salya, Ratna Setyawati, Prabu Kresna, dan rombongan lainnya. Prabu Basudewa dihadap permaisuri Dewi Rohini, Dewi Dewaki, dan Dewi Badrahini sangat bahagia mendengar kedua putranya telah menikah. “Putraku Balarama, aku sangat bangga atas keberhasilanmu menjadi jago dewata lalu mendapat jodohmu dan putraku Kresna, aku sangat bahagia. Kau telah mewujudkan doa leluhur kita, Dewi Sinta. Di hari bahagia ini, aku, Basudewa putra Kuntiboja, akan menyerahkan takhta ini kepada putraku, Balarama.”  Di hari berikutnya, pesta penobatan diselenggarakan. Prabu Anom Balarama di lantik sebagai raja kerajaan Mandura yang baru dengan nama gelarnya Prabu Baladewa dengan patihnya Arya Pragota, anak ketiga Niken Sagopi sebagai patih dalam dan Arya Prabawa, putra Empu Saragupita sebagai patih luar.