Sabtu, 24 Agustus 2019

Kresna Pujangga


Salam para pembaca, semoga pembaca mendapatkan rahmat dari Yang Maha Kuasa. Kali ini penulis akan mengisahkan perjuangan Prabu Kresna untuk merebut kembali negara Dwarawati dari tangan Prabu Narasingamurti. Kisah ini juga menceritakan pernikahan Prabu Kresna dengan Dewi Setyaboma dan kedatangan Resi Hanoman Mayangkara ke pulau Jawa untuk mengabdi pada Prabu Kresna. Kisah ini menggabungkan lakon Alap-alapan Setyaboma dan lakon Wahyu Purbasejati. Sumber kisah ini berasal dari kitab Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita dan blog albumkisahwayang.blogspot.com dengan pengubahan dan pengembangan seperlunya.
Pada suatu hari, permaisuri negeri Mandura yaitu Dewi Erawati sedang sakit karena habis melahirkan putra pertamanya dengan sang suami yaitu Raden Wisatha. Sudah banyak tabib dan dukun mengobati namun belum ada satupun obat yang manjur. Di saat yang sama, Kerajaan Dwarawati diserang seorang yang datang dari negeri seberang bernama Narasingamurti. Dia datang bersama patihnya, Singamundarang. Dengan kesaktiannya yang tak bisa dilukai senjata biasa dan bantuan ki Togog Tejamantri yang tak lain adalah kakak Ki Lurah Semar, Narasingamurti dan Singamundarang membuat pasukan Narayani kucar-kacir. Prabu Kresna, dan patih Udawa beserta setengah pasukan Narayani segera melarikan diri mencari suaka di Mandura. Sementara itu, para permaisuri Prabu Kresna, Dewi Jembawati dan Dewi Rukmini diungsikan ke kampung halaman mereka. Dewi Rukmini diungsikan ke Kumbinapuri sedangkan Dewi Jembawati yang sedang mengandung diungsikan ke padepokan Gandamadana. Patih Udawa kemudian bertanya pada sang adik sekaligus junjungannya itu “adhi prabu, kenapa kau malah memerintahkan para pasukan mundur? Kau kan titisan sang Wisnu yang punya senjata Cakra Widaksana yang sakti.” “kakang Patih, aku memilih mundur karena aku sudah mendapatkan firasat kalau kita tak akan menang hari ini. Para dewa memberi firasat kalau kedua orang dari negeri seberang itu hanya bisa kalah dengan  senjata tak biasa.” Patih Udawa mengerti alasan itu dan segera bertandang ke Mandura.
Sementara itu di kerajaan Dwarawati yang telah diduduki , Prabu Narasingamurti mendapat mimpi bertemu dan menikahi Dewi Setyaboma, putri sulung Prabu Setyajid. Prabu Narasingamurti kemudian bertanya pada Ki Togog “Anak prabu, Dewi Setyaboma itu salah satu putri kebanggaan Wangsa Yadawa. Menurut pepesten dewata, Dewi Setyaboma digariskan berjodoh dengan Prabu Kresna, raja negeri ini yang barusan kau usir dan kau ambil negaranya. Anak prabu, jangan pernah main-main dengan Prabu Kresna. Walaupun hari ini dia berhasil kau usir, tapi suatu saat dia akan kembali dan merebut kembali negerinya.” Namun Prabu Narasingamurti tak mengindahakan ki Togog dan tetap bersikeras ingin menikahi Dewi Setyaboma. Lalu dia memanggil patihnya, Singamundarang “Singamundarang, aku perintahkan kau untuk mendapatkan Dewi Setyaboma bagaimanapun caranya. Culik saja kalau perlu.” “perinta kanda Prabu adalah kehormatan bagiku” patih Singamundarang segera bertolak ke Lesanpura.
Di Mandura, Dewi Erawati yang sedang terbaring sakit segera diobati oleh Prabu Kresna. Berbagai tanaman herbal pilihan dan tentu saja, percikan air Cangkok Wijayakusuma diramu lalu diberikan kepada Dewi Erawati. Setelah beberapa jam, Dewi Erawati sembuh. Di saat yang sama, Dewi Setyaboma dan Arya Setyaki baru datang ke Mandura untuk menjenguk Dewi Erawati dan keponakan mereka yang baru lahir. Mereka hanya diizinkan menjenguk selama satu hari saja oleh ayah mereka karena Dewi Setyaboma harus menjawab lamaran dari Resi Dorna. Prabu Kresna dan Prabu Baladewa sudah mendengar kabar bahwa Resi Dorna ingin melamarkan Prabu Anom Suyudana dengan Dewi Setyaboma. Dalam hati yang paling dalam, Prabu Kresna jatuh hati pada Dewi Setyaboma ditambah lagi Dewi Jembawati berpesan pada sang suami bahwa dia ingin menjadikan Dewi Setyaboma sebagai madunya. Sehinggalah Prabu Kresna meminta bantuan sang kakak “kakang prabu Balarama, aku butuh bantuanmu. Tolong buat adhi Setyaki sibuk. Ulur waktu sepanjang mungkin. Aku ingin bicara dengan Dinda Setyaboma.” Prabu Baladewa mengerti dan mengabulkan permintaan adiknya itu. Prabu Baladewa memepersilakan Dewi Setyaboma masuk ke kamar istrinya sedangkan Arya Setyaki diajak oleh Prabu Baladewa untuk minum-minum. Di saat yang sama, Dewi Bratajaya membawa Dewi Erawati yang asli ke taman dan Prabu Kresna menyamar menjadi Dewi Erawati yang sedang sakit.
Di ruang makan, Arya Setyaki benar-benar dijamu dengan makanan dan minuman serba enak. Oleh Prabu Baladewa, dia disodori air legen khas Mandura “adhi Setyaki, minumlah ini. Ini legen khas negara Mandura. Enak banget rasanya. Bisa meningkatkan tenagamu setelah berjalan seharian.” Tanpa curiga, Arya Setyaki meminum air legen itu. Setelah Arya Setyaki meminumnya, kepalaya mulai pusing dan dia minta nambah lagi. Semakin ditambah, tubuhnya semakin limbung dan dia mulai meracau-racau tak keruan. Rupanya air legen yang diminum oleh Arya Setyaki telah dicampur dengan tuak berkadar tinggi. Prabu Baladewa yang juga ikut meminumnya justru tidak mabuk karena pengaruh aji Balabadra di tubuhnya yang membuatnya mampu menetralkan segala racun dan minuman keras. Akhirnya, Arya Setyaki mulai sadar bahwa dirinya dialihkan perhatiannya. Kemudian dia segera duduk bersemedi, mengheningkan segala cipta untuk membersihkan dan memusnahkan pengaruh tuak itu dari dalam darahnya. Di saat Prabu Baladewa lengah, Arya Setyaki segera melarikan diri untuk menyusul kakaknya di kamar Dewi Erawati. Prabu Baladewa sadar bahwa Arya Setyaki telah kabur segera mengejarnya.
Didalam kamar, Dewi Setyaboma melihat Dewi Erawati yang sedang berbaring lemah. Dewi Erawati tiba-tiba duduk dan berkata bahwa kesembuhannya itu hanya dengan kedatangan Dewi Setyaboma. Seketika Dewi Setyaboma merasa gembira namun dia harus segera pergi menjawab lamaran Resi Dorna. Dewi Erawati palsu kemudian berkata “ Adhi Setyaboma, aku tahu kau bimbang karena lamaran Resi Dorna tapi kau sendiri sudah memilih pasanganmu sendiri. Dia sedang mencari suaka disini.” Dengan wajah malu-malu, Dewi Setyaboma mengutarakan isi hatinya “hah? Maksud kakang mbok, kakang Narayana? Prabu Kresna? Sebenaranya aku juga jatuh hati pada kakang Prabu Kresna sejak lama tapi itu mana mungkin? Dia sudah beristri tiga. Aku tak ingin menyakiti hati Yunda Dewi Radha, Dewi Jembawati dan Dewi Rukmini.” “tidak apa. Aku mendengar dari adhi Prabu Kresna bahwa adhi Jembawati dan Rukmini sudah setuju. Niat adhi prabu juga bukan untuk mengumbar nafsu tapi untuk menyatukan para titisan Dewi Sri Laksmi. Sekarang aku bertanya. Siapa yang akan kau pilih, adhi Prabu anom Suyudana atau adhi Prabu Kresna?” dengan wajah memerah padam menahan malu, Dewi Setyaboma menjawab bahwa dia menjatuhkan pilihannya pada Prabu Kresna tapi ia berkata ia ingin melihat sang pujaan hati sebagai Brandal Gowinda. Secara gaib, tiba-tiba muncul asap dan asap itu memunculkan bayangan Dewi Radha, Rukmini, dan Jembawati. “Dinda Setyaboma, aku dan yunda Radha merestui kakang Kresna menikahimu karena kamiyang memintanya sendiri” “aku pun sama dengan kakak Jembawati, semoga Sanghyang Widhi menyatukan kita bertiga.” Saat Dewi Setyaboma menoleh, Dewi Erawati sudah menghilang dan berubah kembali menjadi Prabu Kresna yang berpakaian sebagai Brandal Gowinda. Dewi Setyaboma kemudian memeluk Prabu Kresna. Tak dinyana, Arya Setyaki masuk ke kamar dan menyaksikan kakaknya berpelukan dengan Brandal Gowinda. Arya Setyaki menyadari kalau Brandal Gowinda sebenarnya adalah wujud penyamaran Prabu Kresna. Ia kemudian marah-marah namun Brandal Gowinda berkata “Setyaki, hentikan kemarahanmu. Aku mencintai kakakmu dan aku ingin menikahinya dengan cara baik-baik.” “ehh bukan begitu, Gowinda. Aku sendiri bahagia bila kakang mbok bisa bahagia dan aku menjadi iparmu tapi Resi Dorna juga melamarnya untuk dinikahkan pada Prabu Anom Suyudana dan karena sekarang pelamar ada dua, aku akan membuat sayembara tanding.” Karena sudah menemukan jalan tengah atas masalah perjodohan Setyaboma, Arya Setyaki dan Dewi Setyaboma segera memohon diri untuk pulang ke Lesanpura lebih dulu. Sementara itu, Prabu Baladewa, Patih Udawa dan Brandal Gowinda ikut bertandang ke Lesanpura belakangan.
Di kerajaan Lesanpura, Resi Dorna bersama Prabu Anom Suyudana dan para Kurawa telah menunggu. Begitu Arya Setyaki dan rombongan datang, Arya Setyaki mengutarakan niatnya untuk melakukan sayembara tanding karena Prabu Kresna juga ingin melamar kakaknya itu. Prabu Setyajid setuju lalu mengabarkan ini pada Resi Dorna. Setelah mendapat kabar itu dan berembug cukup lama, Prabu Anom Suyudana tak keberatan bila diadakan sayembara tanding. Karena kedua belah pihak setuju maka sayembara bisa digelar. Gelanggang pun digelar. Begitu gelanggang selesai digelar, Arya Setyaki naik gelanggang dan menantang Resi Dorna. Resi Dorna kemudian mengeluarkan jurus-jurus andalannya namun semua itu telah berhasil dipatahkan oleh Arya Setyaki. Kemudian Arya Dursasana maju mewakili gurunya itu. Walaupun badannya kecil, Arya Setyaki mampu mengalahkan Arya Dursasana dalam beberapa gebrak saja. Satu persatu Kurawa mulai dari Prabu Anom Suyudana sendiri, Arya Kartamarma, Arya Durmagati, Raden Wikarna, Arya Durjaya, Arya Durmukha, Arya Carucitra semuanya tak mampu mengalahkan Arya Setyaki, sang pangeran Lesanpura.
Kebetulan pula, Raden Permadi datang bersama para Punakawan untuk berkunjung ke Lesanpura. Dia berkunjung karena mendengar ada suara riuh dari alun-alun kotaraja. Resi Dorna yang mengetahui itu menyambut kedatangan murid kinasihnya itu. “ohh Permadi, kebetulan sekali. Apa kau datang untuk melamar Setyaboma?” “Tidak, guru. Aku hanya ingin menonton saja.” Gayung pun bersambut, Resi Dorna meminta Permadi untuk mewakilinya bertanding dengan Setyaki. Raden Permadi merasa tak enak hati bila harus bertanding dengan muridnya namun perintah sang guru tak bisa ditolaknya. Maka, Raden Permadi pun naik gelanggang menantang Setyaki. Walaupun harus melawan gurunya sendiri, Arya Setyaki tetap melawan Raden Permadi tanpa rasa segan lagi. Setelah sekian lama bertarung tak ada satupun yang kalah ataupun menang, Raden Permadi mengeluarkan ajian Sepiangin. Arya Setyaki juga tak mau kalah. Dia mengeluarkan ajian Singamulangjaya yang mampu membuat suara teriakan sekeras dua ribu harimau dan singa yang mengaum bersamaan. Suara teriakan Arya Setyaki berubah mengelegar bagai halilintar. Para penonton sayembara menutup telinga mereka kuat-kuat karena tak mampu menahan suara yang sedemikian kerasnya. Saking kuatnya, Keraton Lesanpura berguncang hebat dan kaca-kaca jendela pun pecah. Bahkan gelombang kejutnya saja membuat hewan-hewan di hutan yang jauh dari kotaraja menjadi ketakutan dan tak sedikit yang pingsan. Akibat dari teriakan itu, Raden Permadi kehilangan konsentrasi dan ajian Sepiangin yang dipatrapkannya menjadi buyar. Karena tak kuat lagi dengan ajian teriakan maut yang dikeluarkan muridnya itu, Raden Permadi menyerah kalah. Melihat jago gurunya kalah, Prabu Anom Suyudana kecewa dan marah-marah ingin menculik paksa Dewi Setyaboma. Namun Resi Dorna menyabarkan Suyudana dan menyarankannya untuk legawa, ikhlas dengan kekalahan. Karena merasa sudah tak ada urusan lagi di Lesanpura, Prabu Anom Suyudana, Resi Dorna dan para Kurawa mohon diri untuk kembali ke Hastinapura.
Bersamaan dengan itu, Brandal Gowinda dan rombongan telah tiba di Lesanpura. Arya Setyaki menyambut mereka. Dirinya melihat Raden Permadi yang terduduk di pinggir gelanggang di temani para punakawan dan nampak seperti orang linglung. Ketika ditanyai, Raden Permadi tak mau menjawab. Lalu, Brandal Gowinda mengeluarkan Cangkok Wijayakusuma dan mengusapkannya ke tubuh Permadi. Raden Permadi seketika sembuh dan mau bercerita “kakang Madawa, jangan melawan muridku. Ajian yang dikeluarkannya terlalu kuat. Aku pun hampir mati karenanya.” Arya Setyaki kemudian minta maaf karena hampir membuat sang guru celaka. Raden Permadi memaafkannya namun tetap memohon pada Madhawa untuk tidak melawan Setyaki. Prabu Kresna meyakinkan Permadi bahwa dia tak akan kalah “ adhi Parta, tenanglah. Heningkan pikiranmu. Aku yakin tak akan kalah dari adhi Setyaki.” Setelah memberi hormat, pertandingan antara Arya Setyaki melawan Prabu Kresna dimulai. Pertandingan berlangsung cukup sengit namun lama kelamaan Arya Setyaki terdesak. Akhirnya Arya Setyaki menggunakan Ajian Singamulangjaya lagi. Teriakan Arya Setyaki sangat kuat memekakkan telinga bahkan membuat dua titisan batara Wisnu menjadi kewalahan karenanya. Namun Permadi memilih menyerah sedangkan Gowinda tidak. Brandal Gowinda kemudian meraba panah Aji Kesawa dan berubah menjadi raksasa. Kaki raksasa jelmaan Gowinda bergerak dan menghentak gelanggang hingga roboh. Akibatnya, Arya Setyaki hilang fokus dan ajian Singamulangjaya yang mengenai kaki raksasa itu menjadi berbalik menyerang Setyaki. Setyaki terkena ajiannya sendiri dan akhirnya menyerah kalah. Seketika, raksasa itu kembali ke wujud Brandal Gowinda lagi. Arya Setyaki yang kupingnya hampir tuli karena ajiannya sendiri itu kemudian disembuhkan sang Madhawa. Setelah sembuh, Arya Setyaki menyatakan bahawa Brandal Gowinda adalah pemenang sayembara tanding. Prabu Setyajid turun dan mengumumkan putrinya akan menikah dengan Brandal Gowinda. Hari itu juga Brandal Gowinda membabar jatidirinya yakni kembali sebagai Prabu Kresna. Kagetlah Prabu Setyajid, selama ini ia tidak mengenali keponakannya sendiri dan sudah melupakan janjinya untuk menjodohkan putrinya degan Gowinda. Ia minta maaf, namun Prabu Kresna memaafkannya. Namun terdengar suara jeritan minta tolong “ Tolong! Tolong aku, kakang!” ketika menoleh, Dewi Setyaboma diculik oleh Patih Singamundarang dan dibawa lari menuju ke arah Dwarawati.
Ketika hendak mengejarnya, muncul suara dari langit “Kresna, sebagai titisan Wisnu, kau sudah melakukan beberapa hal untuk menekan angkara. Kelak tugasmu akan semakin berat. Aku sudah mendengar bahwa negerimu telah direbut Narasingamurti dan Singamundarang. Untuk memerdekakan negerimu kembali, para penjajah itu harus dengan dikalahkan dengan beberapa benda tak biasa. Aku akan memberikan beberapa benda pusaka yang mampu membuat mereka kalah.” Tiba-tiba dari langit, meluncur sebuah kereta kencana yang ditarik empat ekor kuda berbeda warna, sebuah terompet kerang, dan sebuah cermin. Suara dari langit yang tak lain adalah Batara Guru itu menjelaskan kereta kencana itu bernama Kereta Jaladara. Kereta itu adalah hasil karya para dewa, terbuat dari baja pilihan tahan karat dan dilapisi emas. Kuda-kudanya juga kuda pilihan dewata. Kuda berwarna hitam bernama Ciptawalaha dari Mandala Samali ( benua utara) mampu tembus bumi membawa seluruh rombongan. Kuda yang putih bernama Sonyasakti berasal dari Mandala Masriki (benua timur), mampu berjalan dan menyelam ke dalam air membawa seluruh rombongan. Kuda yang merah bernama Abrapuspa berasal dari Mandala Janubi (benua selatan), mampu masuk dan berjalan ke dalam kobaran api membawa seluruh rombongan dn kuda yang kuning bernama Abrasukanta berasal dari Mandala Garibi (benua barat), mampu terbang ke angkasa membawa seluruh rombangan.
Pusaka-pusaka untuk Prabu Kresna
Lalu Batara Guru berkata “ terompet kerang itu bernama Sangkakala Pancajanya. Terompet ini adalah terompet pusakamu sebagai Wisnu. Bila kau tiup sekali, maka akan mendatangkan mendung gelap dan sambaran halilintar yang mengganggu penglihatan. Bila ditiup dua kali, akan mampu mendatangkan kobaran api di langit dan di bumi. Bila ditiup tiga kali, mampu memunculkan angin topan dan badai yang sangat kencang. Bila ditiup empat kali, maka akan mendatangkan hujan lebat dan air bah. Bila ditiup lima kali, mampu mendatangkan guncangan gempa dahsyat dan bila setelah hitungan masih tetap ditiup, maka gabungan semua malapetaka itu akan menimpa siapa saja yang terkena suara terompet itu. Pusaka terakhir yang berupa cermin itu bernama Kaca Lopian. Dengan kaca itu kau bisa melihat apa saja yang ada dan apa yang terjadi di Marcapada, Mayapada bahkan kahyangan sekalipun.” Prabu Kresna berterima kasih sekali pada suara dari langit itu. Ketika melihat kaca Lopian, Prabu Kresna melihat Dewi Setyaboma sedang dirayu oleh Prabu Narasingamurti dan patih Singamundarang. Mereka semua segera naik ke kereta Jaladara dan Raden Permadi menjadi kusirnya. Segeralah Prabu Kresna berangkat ke Dwarawati untuk membebaskan sang calon istri dan merebut kembali negerinya. Kereta pun melesat dengan cepatnya lalu melayang ke angkasa.
Sementara itu, di pulau Sailan, Hanoman si wanara berbulu putih yang sudah berada di puncak gunung Ungrungan selama ratusan tahun atas perintah Sri Rama untuk menjaga batu Sondara-Sondari tetap menghimpit jiwa Prabu Rahwana yang terkurung agar tak keluar ke alam Marcapada membuat kekacauan telah kecolongan. Jiwa Prabu Rahwana terlepas dari kurungan Sondara-Sondari dan berkeliaran mencari titisan Dewi Sri Laksmi. Karena merasa berdosa, Hanoman hendak bunuh diri, namun itu semua dicegah oleh Batara Narada “Helah dalah Hanoman, jangan lakukan tindakan bodoh itu. kalau kau bunuh diri sekarang, Rahwana akan merajalela lagi. Aku tahu dimana keberadaan Rahwana. Dia sekarang berada di pulau bernama Jawadwipa. Pulau itu di selatan samudera ini. Pergilah kesana dan mulai sekarang sembari menjaga Rahwana, mengabdilah pula pada seorang raja titisan junjunganmu. Namanya Prabu Kresna.” “Baik, Narada. Aku akan segera berangkat.” Sebelum berangkat, batu Sondara-Sondari diubah wujudnya oleh Batara Narada menjadi kendi ajaib. Dengan Aji Sepiangin warisan dari Batara Guru, Hanoman terbang melintasi Laut Kidul dan melompati gumpalan-gumpalan awan.
Di kerajaan Dwarawati, Prabu Narasingamurti dan Patih Singamundarang mencoba untuk merayu Dewi Setyaboma. Namun Dewi Setyaboma menolak rayuan mereka. Karena nafsu sudah diujung ubun-ubun, mereka hendak memperkosa sang putri Lesanpura itu. Dewi Setyaboma berusaha kabur keluar keraton Dwarawati. Ketika sampai didepan pintu gerbang, tiba-tiba langit mendung hitam dan halilintar saling sambar menyambar. Ketika melihat samar-samar ada sebuah kereta kencana meluncur turun dari langit. Di lihatnya wajah Prabu Kresna, Raden permadi, Arya Setyaki dan Prabu Baladewa diatas kereta.
Kresna melawan Narasingamurti
Kereta pun turun dan membukakan pintu untuk Dewi Setyaboma. Kereta pun kembali bergerak. Prabu Narasingamurti dan Patih Singamundarang kemudian menggunakan ajian terbangnya dan berperang di angkasa. Adu pedang tak terelakkan. Lalu, Prabu Kresna meniup Sangkakala Pancajanya enam kali. Alhasil hujan badai, kegelapan, angin topan dan kobaran api menyerang raja beserta patih penjajah itu dan membuat mereka jatuh ke bumi dan seketika bumi ikut bergegar menghimpit tubuh mereka. Di saat yang sama, kuda-kuda kereta Jaladara yang turun menyeruduk mereka sampai kepala mereka gepeng dan hancur berkeping-keping. Merekapun tewas dan jasad mereka menghilang berubah menjadi tiga titik cahaya berwarna kuning, putih, dan hitam. Cahaya berwarna hitam menitis pada Prabu Kresna, cahaya putih pada Prabu Baladewa, dan cahaya kuning pada Raden Permadi. Lalu muncul wuhud Batara Guru “Kresna dan semuanya, ketahilah. Sebenarnya Narasingamurti dan Singamundarang adalah penjelmaan dari roh Sri Rama dan Lesmana. Ketiga titik cahaya yang masuk  itu berasal dari mereka bernama Wahyu Wahdat Purbasejati. Cahaya hitam adalah wahyu Purba, penjelmaan inti atma Sri Rama telah menitis padamu, Kresna. Cahaya putih dan kuning adalah inti atma Lesmana yang membelah diri bernama Wahdat dan Sejati. Si Wahdat yang berwarna putih menitis padamu, Baladewa. Kau akan mampu mengekang hawa nafsu supiah yang berlebihan seperti halnya Lesmana yang telah bersumpah wahdat.” Prabu Baladewa senang tapi juga khawatir dengan Dewi Erawati, istrinya“berarti apa aku harus wahdat? aku tak bisa hidup dan menafkahi istriku lagi, Pukulun?” Batara Guru melanjutkan penjelasannya “ jangan takut, kau hanya tak akan bernafsu pada wanita lain. Perihal hubungan rumah tangga kalian, kau masih bisa menafkahi birahi dan batin istrimu, hanya saja tak di bisa umbar sembarangan. Sifat supiah akan selalu ada pada setiap manusia termasuk aku sendiri.” Batara Guru lalu mendekati Permadi “Permadi, cahaya kuning yang merasuk pada dirimu adalah si Sejati, penjelmaan sifat taat azas dari Lesmana. Lesmana terkenal orang yang kurang sabaran namun pemaaf dan taat azas. Yang benar dikatakan benar. Salah dikatakan salah. Kau ditakdirkan sebagai ksatria pembela kebenaran yang hakiki.” Setelah menjelaskan, Batara Guru langsung menghilang kembali ke kahyangan Jonggring Saloka. Mereka pun segera memasuki Keraton Dwarawati dan Prabu Kresna mengumumkan bahwa negeri Dwarawati telah merdeka kembali.
Bebrapa hari kemudian, pernikahan Prabu Kresna dengan Dewi Setyaboma diselenggarakan di Dwarawati. Seluruh keluarga Pandawa dan keluarga Yadawa berkumpul memeriahkan pesta. Pesta berlangsung tiga hari tiga malam. Rakyat Dwarawati bersukacita atas pernikahan ketiga sang raja sekaligus gembira karena telah terlepas dari penjajahan. Kini lengkaplah empat wanita penitisan Dewi Sri Laksmi dan mereka semua berkumpul bersanding bersama Prabu Kresna, sang titisan Wisnu. Di malam selesai pesta, terdengarlah suara teriakan “Tolong! Kangmas Balarama! Kangmas Kresna!” suara itu datang dari kamar Dewi Bratajaya. Ketika didatangi, mereka melihat Dewi Bratajaya diculik oleh hantu berwujud raksasa besar. Ketika menerawang kaca Lopian, Prabu Kresna mendapat informasi bahwa yang menculik Dewi Bratajaya itu jiwa Prabu Rahwana yang lepas dari kurungan di pulau Sailan. Karena pesta sudah selesai, Prabu Kresna memohon izin pada empat istrinya untuk mengejar Dewi Bratajaya.
Arya Wrekodara yang sedang berkeliling hutan mencari keberadaan Dewi Bratajaya melihat seekor wanara/ kera besar berkulit putih sedang duduk diatas pohon sambil memakan setandan pisang. Pakaian yang dipakai si wanara juga sama dengan dirinya.
Perjumpaan Hanoman dengan Wrekodara Bima
Lalu dia mengejek wanara itu dengan logatnya yang tak kenal basa-basi “hei kera putih, berani sekali memakai pakaian mirip denganku. Lepaskan! Gak ada pantes-pantesnya kau memakainya.” Hanoman yang melihat tingkah Wrekodara yang berlogat polos apa adanya itu menjadi kesal “Hmmmm jaman memang sudah berubah. Hei anak muda, gak ada sopan-sopannya dengan orang yang lebih tua.. Lagipula pakaianku ini berasal dari bapakku. Gak berhak buatmu memaksaku.” “aku gak peduli. Cepat lepaskan!”Keributan pun berubah menjadi pertengkaran. Adu kesaktian dan adu gada terjadi sangat sengit hingga menjelang pagi. Keduanya sama-sama kuat, sama-sama digdaya ibarat buku bertemu ruasnya. Kesaktian yang mereka gunakan juga sama.
Arya Wrekodara akhirnya menghentikan perkelahian karena teringat sesuatu “tunggu, monyet seta. Aku sepertinya teringat sesuatu. Aku pernah mendengar kalau ratusan tahun lalu Romo batara Bayu mempunyai putra berwujud wanara putih bernama kapi Hanoman. Apa kau tau itu?” “hahahahaha.....baru tau kau ternyata. Wanara putih yang kau bicarakan ada dihadapanmu sekarang. Akulah Hanoman, putra angkat Romo Batara Bayu.” Arya Wrekodara tak percaya karena seharusnya Hanoman sudah lama meninggal ataupun jika masih hidup, tubuhnya pasti sudah ringkih. Jangankan roboh dihajarnya, terkena angin saja pasti sudah gemetaran. Hanoman kembali tertawa lalu duduk bersila. Dia mengheningkan cipta lalu merapal Aji Maundri. Seketika, tubuh Hanoman yang tadinya sebesar Wrekodara berubah menjadi kera putih raksasa yang jauh lebih tinggi dan lebih besar dari Wrekodara. Arya Wrekodara merasa ngeri sekaligus kagum bahwa salah satu saudara tunggal Bayu yang sangat dikaguminya itu masih hidup bahkan masih sangat perkasa. Hanoman kemudian kembali ke ujud semula dan segera memeluk Arya Wrekodara. Arya Wrekodara kemudia memperkenalkan dirinya “Ahh maafkan kelakuanku tadi, kakang Hanoman. Nah perkenalkan ,aku Bima biasa dipanggil Wrekodara. Aku putra Prabu Pandu, raja Hastinapura dan Dewi Kunti dari Mandura. Aku salah satu Pandawa lima dari Amarta. Kedatanganku kesini untuk mencari sepupuku, Bratajaya. Menurut kakang Cemani, dia diculik oleh roh Prabu Rahwana, raja Alengkadiraja yang pernah kau kalahkan.” “kebetulan sekali, aku ditugaskan oleh Batara Narada untuk mencarinya ke pulau Jawadwipa dan mengurungnya lagi. Sudah lama aku duduk di puncak gunung Ungrungan di pulau Sailan untuk mengurungnya atas perintah junjunganku, Sri Rama dan kini dia berhasil kabur. Menurut penerawanganku, Sepupumu itu dibawa oleh Rahwana ke padepokan Gandamadana.” Arya Wrekodara kemudian mengatakan “padepokan Gandamadana tak jau dari sini. Padepokan itu sebenarnya di puncak bukit yang menjadi makam leluhur Yadawa, keluarga ibuku. Disana ada seorang juru kuncinya berwujud sama seperti kakang. Namanya Resi Jembawan dan istrinya Trijatha.” Hanoman terkejut mendengarnya. Tak disangkanya, Resi Jembawan yang tak lain pengasuh ibu dan para pamannya yakni Resi Subali, Prabu Sugriwa, dan Dewi Anjani ternyata masih hidup. Rupanya Sanghyang Widhi yang Maha Kuasa juga memberikannya umur panjang. Tanpa banyak bicara lagi, mereka segera berangkat ke Padepokan Gandamadana.
Di padepokan Gandamadana, Prabu Kresna, Prabu Baladewa, dan Raden Permadi meminta pada Resi Jembawan untuk membuka penghalang gaib bukit Astana Gandamadana. Beberapa saat kemudian, datanglah Prabu Rahwana yang berwujud hantu membawa Dewi Bratajaya. Prabu Kresna dan Prabu Baladewa berusaha membebaskan adiknya itu dengan berbagai senjata yang mereka miliki. Namun seperti halnya hantu, tubuh Prabu Rahwana tembus pandang dan tak bisa dilukai dengan senjata nyata. Raden Permadi kemudian merentangkan Busur Gandiwa dan merapal Panah Agneyastra. Panah pun melesat ke arah Prabu Rahwana yang sedang terbang itu. Meskipun begitu, Prabu Rahwana yang berwujud hantu itu tak takut dengan panah api malah membuat panah itu berbalik arah. Hampir saja Raden Permadi tak selamat kalau saja tidak segera melompat menghindari jatuhnya panah. Prabu Rahwana merasa diatas angin dan tertawa “hahahahahaha.....akhirnya aku bebas dan kini Widowati-ku telah ku dapat kembali.” Dewi Bratajaya berusaha meronta melepaskan diri namun walaupun berwujud hantu, Prabu Rahwana masih bisa menggenggam kuat Dewi Bratajaya walau tangannya tembus pandang. Sifat jumawa Prabu Rahwana memang tak pernah hilang. Namun, tiba-tiba kepala Rahwana kesakitan karena dilempari batu bertuliskan rajah “Wisnu.” Batu-batu itu dilemparkan oleh Hanoman dan Wrekodara yang baru saja datang. Bebatuan yang terus dilemparkan mereka membuat Rahwana hilang fokus sehingga Dewi Bratajaya yang digendongnya terlepas dan jatuh dari angkasa. Dengan sigap, Raden Permadi segera merapal Aji Sepiangin, melompat setinggi mungkin dan berhasilah dia menangkap Dewi Bratajaya. Setelah turun, Raden Permadi menyuruhnya bersembunyi didalam Kereta Jaladara. Prabu Kresna yang melihat bebatuan itu seketika ingat bahwa di kehidupannya sebagai Sri Rama, dia pernah memerintahkan para pasukan wanara membangun tambak dari Pancawati menuju Alengkadiraja dengan batu-batu bertuliskan rajah Wisnu untuk mencegah Rahwana menyerang Pancawati melalui tambak itu. Prabu Kresna, Raden Permadi dan Prabu Baladewa segera duduk membentuk segitiga dan mulai mengheningkan cipta. Muncullah sebuah batu dari angkasa bertuliskan rajah Wisnu. Batu itu jatuh melesat ke arah Prabu Rahwana. Tak berapa lama, Hanoman membuka kendi ajaib penjelmaan batu Sondara-Sondari. Jiwa Prabu Rahwana yang terus mengecil terkena batu itu kemudian masuk kedalam kendi bersama batu itu. setelah Prabu Rahwana masuk, batu yang menimpa jiwa Prabu Rahwana itu mengecil berubah menjadi tutup kendi sehingga Prabu Rahwana tak bisa keluar lagi. Di dalam kendi, Prabu Rahwana terus memaki-maki Hanoman minta dilepaskan.
Prabu Kresna, Prabu Baladewa, dan Raden Permadi berterima kasih pada Arya Wrekodara dan Hanoman yang berhasil mengacaukan fokus Rahwana sehingga dia bisa kembali terkurung. Resi Jembawan dan Dewi Trijatha juga datang menyambut kedatangan Hanoman dengan penuh sukacita. Hanoman kemudian menghormat pada wanara tua yang sudah susah payah mengasuh ibu dan paman-pamannya pada masa dahulu. Kepada Dewi Trijatha, Hanoman saling berpelukan pada sahabatnya itu dengan perasaan haru karena sudah ratusan tahun tak berjumpa. Lalu Hanoman menghadap pada Prabu Kresna “Gusti Prabu, perkenalkan aku Hanoman. Aku telah diperintahkan oleh gusti Sri Rama untuk menjaga Rahwana agar tidak kabur dan kini dia sudah kembali ke dalam penjaranya. Aku diberitahu Batara Narada untuk menangkap Rahwana di Jawadwipa dan aku juga diperintahkan untuk mengabdi pada gusti karena menurutnya jiwa Gusti Sri Rama telah menitis pada diri gusti.” “tugas yang kau emban berat juga. Kau telah dianugerahi usia panjang untuk menjaga Rahwana dan karena kini kau telah berada disini, aku bersedia menerimamu. Buatlah penjara baru di gunung Kandali sekaligus jadilah pendeta disana.” “tapi gusti, dimana letak Gunung Kandali?” Prabu Kresna kemudian meminjam sapu lidi milik Resi Jembawan. Dia mengambil sebatang saja dan langsung melemparkannya dengan aji Kesawa. “Ikutilah lidi itu. Dimanapun lidi itu menancap, disitulah Gunung Kandali.” Hanoman mematuhi dan segera terbang mengejar lidi itu diikuti Arya Wrekodara di belakangnya.
Setelah menempuh perjalanan cukup jauh, lidi itu turun dan menancap di antara bebatuan sebuah bukit. Mereka yakin bahwa bukit inilah Gunung Kandali. Gunung itu indah sekali. Berbagai pohon buah-buahan dan tanaman bunga tumbuh dengan suburnya di sepanjang lereng bukit itu. Di puncak bukit itu ada sebuah tanah lapang. Cocok sebagai tempat bersemadi. Hanoman dibantu AryaWrekodara segera membangun penjara gaib untuk mengurung kendi berisi jiwa Prabu Rahwana. Penjara itu berupa sebuah gua kecil satu arah yang pintu masuknya diberi penghalang gaib berlapis-lapis dan hanya bisa dibuka atau dimasuki oleh Hanoman dan Wrekodara. Setelah beres, mereka menemukan sebuah gua yang cukup besar disampingnya. Gua itu dijadikan rumah oleh Hanoman. Mulai hari itu, Hanoman memulai kehidupan barunya sebagai pendeta wanara bergelar Resi Hanoman Mayangkara. Dengan disaksikan oleh saudara tunggal Bayunya, Wrekodara, pertapaan Gunung Kandali dinamainya pertapaan Kendalisada yang bermakna pertapaan di gunung kandali yang tertancap sada (lidi).

Jumat, 09 Agustus 2019

Bambang Tetuka (Gatotkaca Lahir)


Salam semua, semoga Tuhan Yang Maha Kuasa melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya. Kali ini penulis akan menceritakan kelahiran ksatria yang berjulukan otot kawat tulang besi. Yuts, dia lah si Gatotkaca. Dikisahkan pula secara singkat pertemuan tak sengaja antara Permadi dan Dewi Manuhara, yang kelak melahirkan Dewi Pregiwa dan kelak akan berjodoh dengan Gatotkaca. Kisa ini bersumber dari Kitab Pustakaraja Purwa, blog albumkisahwayang.blogspot.com dan beberap sumber lainnya di internet yang sudah di ubah dan dikembangkan oleh imajinasi penulis seperlunya.
Para Pandawa dan Pringgandani telah menjadi sahabat sejak sebelum negara Amarta berdiri. Para raksasa Pringgandani telah membantu para Pandawa membangun Amarta. Terlebih semenjak pernikahan Arya Bratasena dengan Ratu Arimbi, ratu Pringgandani yang baru, , hubungan mereka semakin erat. Kini Ratu Arimbi sedang mengandung dan akan melahirkan. Baik para Pandawa maupun para Kadang Braja menggadang-gadang putra yang dikandung Ratu Arimbi menjadi pewaris takhta Pringgandani dan ksatria hebat sakti mandraguna. Di depan bilik istrinya, Arya Bratasena harap-harap cemas menanti kelahiran putranya. Setelah lama menunggu, terdengar suara tangisan bayi. Suara tangisannya terdengar ke seluruh Pringgandani. Arya Bratasena segera masuk dan melihat keadaan istri dan anaknya.” Kanda, anak kita laki-laki yang sehat.” Arya Bratasena melihat putranya itu. Putranya itu seperti bayi pada umumnya. Tampan dan gagah hanya saja sejak lahir telah dianugerahi sepasang taring kecil. Arya Bratasena kemudian memberi nama sang putra dan mengganti namanya. “Hari ini putraku telah lahir. Akan kunamai dia Bambang Tetuka dan mulai sekarang namaku sang Wrekodara Bima.” Kabar gembira itu segera diumumkan ke seluruh Pringgandani, Amarta, Mandura, dan Dwarawati.
Sebulan kemudian, kemudian diselenggarakanlah pesta selapanan untuk memotong tali pusar Bambang Tetuka. Seluruh keluarga Pandawa, keluarga Yadawa, kadang Braja, dan para sesepuh datang. Tak ketinggalan juga Ki Lurah Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong datang di acara itu. Setelah peresmian nama Bambang Tetuka, Arya Wrekodara mulai memotong tali pusar putranya itu. Tapi aneh sekali, tali pusar Bambang Tetuka alot sekali, tak bisa dipotong dengan pisau. Arya Wrekodara mencoba dengan kuku Pancanaka namun juga tak bisa. Alot sekali. Arya Wrekodara menjadi gusar karenannya. Kemudian Permadi mencoba memotongnya dengan Keris Pulanggeni dan Kalanadah, lalu panah Sangkali, panah Panah Sarotama, namun tetap tidak bisa terputus. Prabu Baladewa juga mencoba memotong tali pusar keponakannya itu dengan ujung tombak Nenggala yang konon merupakan mata bajak terkuat yang mampu membuat tanah terbelah menjadi jurang dalam sekali tebas. Namun mata tombak Nenggala juga tak bisa memotong bahkan senjata itu terlempar. Prabu Yudhistira kemudian mencoba dengan mata tombak Kyai Karawelang, tapi hasilnya juga sama. Cakra Widaksana yang dikeluarkan Prabu Kresna juga hanya menciptakan percikan-percikan api dan kilat. Semuanya termangu bengong melihat keajaiban itu. Ratu Arimbi merasa khawatir “Kanda bagaimana ini? Aku tidak mau putra kita tetap membawa tali pusar sampai besar nanti.” “Tidak ada sesuatu yang tidak bisa dipotong, cucuku.”  Suara eyang Abiyasa membuyarkan kekhawatiran cucu mantunya itu. Semua orang menghaturkan sungkem padanya. Arya Wrekodara mendekati kakeknya itu, meminta solusi untuk masalah ini “lalu , apa solusinya, eyang?” “ tali pusar putramu itu ulet. Tak bisa dipotong dengan senjata biasa. Yang bisa memotongnya hanya senjata kahyangan yang hanya dibawa oleh Batara Narada. Nah cucuku, Permadi. Bertapabrata lah di pinggir Bengawan Yamuna. Kelak Batara Narada akan datang di sana.” Raden Permadi segera menjalankan perintah sang kakek.
Sementara itu nun jauh di puncak gunung Mahameru, di Kahyangan Jonggring Saloka, Batara Guru, raja para dewa dan Batara Indra, raja para bidadari kedatangan seorang patih dari kerajaan Kiskandamatra, yaitu patih Sekipumantra. Dia datang menghadap “sembah pada pukulun berdua. Hamba Sekipumantra dari Kiskandamatra menyampaikan surat dari raja hamba, Prabu Naga Kalapercona untuk melamarkan Dewi Surendra, salah satu bidadari kahyangan kesayangan Pukulun Indra.” Batara Indra membaca isi surat itu. surat itu ternyata berisi ancaman jika bidadari itu tidak diberikan, maka Dewi Surendra akan diambil paksa dan kahyangan akan dirusak dan dihancurkan oleh Naga Kalapercona sendiri. Setelah membaca isi surat itu, Batara Indra merah wajahnya tandanya marah. Seketika sebuah kilat menyambar Patih Sekipumantra dan melemparkannya kembali ke Kiskandamatra. Halilintar yang dikeluarkan Indra menandakan dia tak setuju dan menolak lamaran itu. Singkat cerita, Patih Sekipumantra mengabarkan pada rajanya itu bahwa lamaran mereka ditolak. Prabu Naga Kalapercona murka luar biasa dan langsung bertolak dan menyerang kahyangan beserta para prajuritnya. Pasukan Dorandara dan Batara Indra sudah bersiap sedia dan mereka mulai bertempur di Repatkepanasan. Awalnya pertempuran berjalan imbang sehinggalah Prabu Naga Kalapercona mulai kut bertempur. Dia berubah menjadi naga raksasa dan menyerang pasukan Dorandara dengan api dan bisa panasnya. Pasukan Dorandara kewalahan bahkan halilintar-halilintar yang ditembakkan Batara Indra tak ayal hanya gelitikan kecil baginya. Api yang dilontarkan Batara Brahma hanya seperti batu kerikil panas. Topan badai yang di hembuskan Batara Bayu juga tak lebih seperti kibasan ekor domba, tak mampu membuat tubuhnya goyah sedikitpun. Bahkan gelombang tsunami yang dibawa Batara Baruna dan Batara Mintuna juga tak mampu membuat raja itu berpindah tempat satu jengkalpun. Malah semua itu berbalik pada mereka. Para dewa menjadi terdesak mundur. Mereka segera masuk kembali ke Jonggring Saloka dan Batara Indra segera memerintahkan Batara Cingkarabala dan Balaupata menutup Lawang Selomatangkep.Prabu Naga Kalapercona semakin murka dan terus menyemburkan apinya ke atas kahyangan. Batara Guru dan Batara Indra menjadi khawatir kahyangan akan dirusak oleh raja yaksa buas itu. Lalu Batara Narada berbicara pada mereka “Adhi Guru dan Indra, menurutku Prabu Naga Kalapercona tidak ditakdirkan kalah oleh para dewa. Dia hanya ditakdirkan kalah oleh putra kedua Arya Wrekodara Bima, kini dia menunggu pusarnya dipotong dan yang bisa memotongnya hanya senjata kahyangan yang dibuat dari pohon Kastuba.” Batara Guru segera memerintahkan Batara Empu Ramayadi untuk menebang pohon Kastuba dan menjadikannya senjata. Tak butuh berapa lama, senjata pun jadi. Senjata itu berbentuk panah panjang bagai tombak dan oleh Batara Empu Ramayadi senjata itu dinamai Konta Wijaya. Senjata itu diserahkan ada Batara Guru lalu diberi daya kesaktian. Batara Guru segera menyerahkan itu pada Batara Narada “ini senjatanya kakang Narada. Serahkan ini pada paman dari putra Bima itu. Menurut trineta-ku, kini paman dari anak itu sedang bertapa brata di pinggir bengawan Yamuna.” Singkat cerita, Batara Narada mulai turun ke bumi dan mencari orang yang dimaksud Batara Guru.
Sudah lebih dari dua tahun Permadi bertapa di tepi bengawan Yamuna sampai-sampai tak menyadari jika di sisi lain bengawan, ada ksatria lain yang juga bertapa brata disana. Ksatria itu adalah Adipati Karna. Dia bertapa karena mendapat sebuah wangsit dari ayahnya, Batara Surya untuk mendapatkan senjata sakti dari Batara Narada. Kebetulan sekali, Batara Narada datang ke tepi bengawan Yamuna.
Panah konta Wijaya
Demi kejayaan putranya, Batara Surya mengelabui Batara Narada dengan mendatangkan mendung dan membuat sinar matahari menjadi remang-remang bagaikan senja. Mata sipit Batara Narada tak mampu melihat dengan jelas di tengah suasana yang remang-remang itu sehingga bukannya menuju tempat Permadi, malah ia mengarah ke tempat bertapa brata Adipati Karna. Wajah Permadi dan Adipati Karna yang sama-sama tampan jadi semakin samar dengan suasana remang dan cahaya perbawa yang dipancarkan mereka. Batara Narada kemudian membangunkan Karna yang dikiranya Permadi itu“ Bangunlah cucuku, aku serahkan senjata ini untukkau gunakan melawan angkara.” “terima kasih, pukulun Narada.” Selepas memberikan senjata Konta, langit kembali terang. Batara Narada menyadari bahwa dia memberikan senjata itu pada orang yang salah. Dia menyadarinya saat melihat ada ksatria lain dari atas di tempat yang berbeda. Lalu Batara Narada mendatangi ksatria itu, Dilihatnya itu adalah Permadi. Lalu Batara Narada segera membangunkannya “Permadi, bangunlah” “hormat pada Pukulun Narada. Ada apa tergopoh-gopoh? Apa yang terjadi, pukulun?” Batara Narada menceritakan semuanya. Raden Permadi segera mengetahui siapa yang mendapatkan senjata sakti. Dia menyimpulkan bahwa kakaknya, Adipati Karna yang telah mendapatkan senjata Konta Wijaya. Singkat cerita, Permadi segera mengejar Adipati Karna. Dengan aji Sepi Angin, Karna yang menaiki Kereta Jatisura dapat tersusul adiknya itu “Kakang Adipati, aku ucapkan selamat atas senjata sakti yang baru kau dapat. Tapi aku mohon bantuanmu. Pinjamkan senjatamu itu untuk memotong tali pusar keponakan kita.” “tidak bisa, adhi. Ini senjata sakti. Mana mungkin senjata sakti digunakan untuk memotong pusar bayi. Saru sekali.” Raden Permadi memohon agar kakaknya itu sudi meminjamkannya bahkan warangkanya saja tidak mengapa, namun Adipati Karna tetap tidak mau dan tak peduli soal nasib keponakannya. Raden Permadi menjadi berang dan hilang kesabaran. Dia pun menyerang kakaknya itu dan berusaha mengambil senjata Konta Wijaya. Perang tanding pun terjadi begitu seru sampai suatu ketika, Permadi berhasil memegang warangka sementara Adipati Karna memegang gagang panah Konta Wijaya. Mereka saling tarik sehinggalah mereka berdua terjerembab karena senjata Konta telah lepas dari warangkanya. Adipati Karna yang bangun lebih dahulu segera menaiki kereta dan melecut pergi meninggalkan Bengawan Yamuna. Dengan perasaan sedih, Permadi bersama Ki Lurah Semar segera kembali ke Pringgandani.
Sesampainya Di Pringgandani, tampak Arya Wrekodara dan Ratu Arimbi sedang bersama Bambang Tetuka. Di sana pula Prabu Yudhistira , Raden Nakula-Sadewa, Prabu Baladewa, dan Prabu Kresna telah menunggu. Mereka segera mendatangi Permadi dan Semar dan menanyakan dimana senjata sakti dari Batara Narada. Raden Permadi menyerahkan warangka senjata Konta. Hadirin yang disana terheran kenapa cuma warangkanya saja. Kemudian Permadi menceritakan pengalamannya “ Sewaktu Batara Narada menyerahkan senjata Konta, pukulun salah kirim. Pukulun malah memberikannya pada kakang Adipati Karna. Aku berusaha meminjam baik-baik padanya tapi dia tak mau. Akhirnya kami berebut senjata Konta. Aku mendapat warangka dan kakang Adipati tetap dapat panah Konta. Tapi, menurut penuturan pukulun Narada, keseluruhan senjata itu mampu memotong pusar Tetuka.“ arya Wrekodara mengijinkan Permadi untuk memotong tali pusar putranya itu. Ajaib, baru sekali tebas, tali pusar Bambang Tetuka yang terkenal alot terlepas seketika. Oleh Arya Wrekodara, tali pusar itu di hanyutkan di bengawan Narmada. Keajaiban tak berhenti sampai disitu. Warangka Konta Wijaya menghilang dan masuk ke pusar Bambang Tetuka. Arya Wrekodara dan Ratu Arimbi khawatir terjadi apa-apa pada Bambang Tetuka. Prabu Kresna segera menenangkan mereka “ adhi Bungkus! adhi Arimbi! jangan khawatir. Warangka itu hanya bersatu dengan putra kalian. Putra kalian hanya menjadi semakin kuat. Hanya saja kelak suratan hidup matinya ada di tangan pemilik Konta Wijaya sekarang. Dia tak boleh sampai bertarung dengan Karna.” Arya Wrekodara dan Ratu Arimbi tenang kembali. Pesta digelar keesokan harinya untuk merayakan terlepasnya pusar Bambang Tetuka. Namun di tengah suasana bahagia itu, Batara Narada datang lagi dan menyampaikan bahwa Bambang Tetuka harus menjadi jago dewata melawan patih Sekipumantra dan Prabu Naga Kalapercona. Awalanya kedua orang tua Tetuka tak setuju tapi setelah Semar dan Permadi meyakinkan mereka bahwa hanya Tetuka yang mampu melawan mereka, Arya Wrekodara mengijinkannya dan beritahu dia bila terjadi apa-apa pada Bambang Tetuka.
Di kahyangan, Raden Permadi yang sambil menggendong keponakannya, Bambang Tetuka melawan para raksasa prajurit Kiskandamatra. Banyak juga para raksasa yang kalah dan tewas di tangan penengah Pandawa itu. Melihat beberapa prajuritnya tewas, Patih Sekipumantra menyerang Raden Permadi secara curang. Patih Sekipumantra melemparkan panah Guntur Magunung dan membuat Raden Permadi dan Bambang Tetuka yang masih bayi terlempar dari kahyangan. Sebelum terjatuh, Raden Permadi sempat melepas gendongan Bambang Tetuka. Ki Lurah Semar dan Batara Narada segera menolong mereka. Batara Narada segera menggendong Bambang Tetuka yang terlepas dari gendongan sedangkan Ki Lurah Semar mencari keberadaan Raden Permadi.
Tersebutlah di sebuah hutan di timur bengawan Yamuna, terdapatlah sebuah desa bernama Andong Sumawi. Penghulu di desa itu adalah seorang resi bernama Resi Sidiwacana. Dia memiliki seorang putri. Namanya Dewi Manuhara. Parasnya cantik jelita, perangainya ramah dan menyenangkan. Pada suatu hari, Dewi Manuhara bercerita pada ayahnya “ ayah, aku tadi bermimpi tentang seorang ksatria tampan rupawan. Namanya Permadi. Aku dan dia berjalan bersama di sebuah kebun bunga yang indah. Kami bermesraan di sana. Ingin rasanya aku mengabdi padanya.” Tanpa disangka-sangka, Raden Permadi yang dimimpikannya tiba-tiba melayang jatuh dari angkasa. Resi Sidiwacana terkejut dan sigap berusaha menangkap sang ksatria. Dengan kekuatan yang dimilikinya, dia melompat terbang dan menggendong Raden Permadi yang pingsan. Dewi Manuhara gembira namun juga kasihan. Sang pujaan hati kini pingsan dan terluka cukup parah. “Ayah, kita rawat dia sampai dia sembuh. Pasti dia pingsan karena luka akibat pertarungan. Kasihan bila di biarkan. “ “baik, putriku. Ayo bantu aku untuk membopongnya ke dalam padepokan.” Demikianlah, Raden Permadi dirawat oleh Resi Sidiwacana dan Dewi Manuhara sampai dia pulih kembali.
 Patih Sekipumantra tertawa terbahak-bahak dan sesumbar “hahahaha. Tak ada yang bisa mengalahkanku di dunia ini bahkan Sanghyang Widhi sekalipun. Hei para Dewa, serahkan Dewi Surendra pada junjunganku, wahahaha...” Lalu Batara Narada yang terbang sambil membawa bayi Bambang Tetuka “Hei, Sekipumantra. Jangan sesumbar! Ucapan bisa menjadi balak dan malapetaka. Sanghyang Widhi yang Maha Agung sudah memilih bayi ini untuk mengalahkanmu dan rajamu. Kalau bayi ini kalah, kami selaku para dewa akan serahkan Dewi Surendra.” Ia pun segera meletakkan bayi Bambang Tetuka di tanah kahyangan dan mepersilakan Patih Sekipumantra untuk menghajar bayi itu. Patih Sekipumantra maju dengan lagaknya yang pongah campur kasihan. Dia memukul Bambang Tetuka dengan satu pukulan. Bukannya mati, Bambang Tetuka malah diam saja dan tak terluka sedikitpun. Patih Sekipu memukulnya lagi dan lagi, tapi bukannya mati babak belur, Bambang Tetuka justru bisa berjalan dan berlari. Di puncak kekesalannya, Patih Sekipumantra menendang Bambang Tetuka sekuat tenaga. Alhasil Bambang Tetuka terlempar jauh dan masuk ke Kawah Candradimuka. Para dewa yang melihat itu terkejut dan takut kalau bapak si anak itu akan ngamuk bila tahu anaknya itu mati di Candradimuka. Lalu para dewa melemparkan segala senjata mereka ke dalam kawah. Semua senjata semacam gada, pedang, keris, perisai, godam, panah, busur, parang, kujang, dan yang semacam itu semua masuk semua ke dalam kawah yang panas membara, melebur dengan lahar dan tubuh Bambang Tetuka.
Bambang Tetuka keluar dari Kawah Candradimuka
Di dalam Kawah Candradimuka, berkat senjata-senjata dilemparkan para dewa, tubuh Bambang Tetuka yang hampir telah lebur dengan lahar bisa terbentuk kembali. Bambang Tetuka yang belum waktunya mati dibawa Batara Empu Ramayadi. Atas seizin Sanghyang Widhi yang Maha Kuasa, atma Bambang Tetuka kembali memasuki tubuhnya dan Bambang Tetuka berhasil dihidupkan lagi. Oleh Batara Empu Ramayadi, Bambang Tetuka langsung digembleng dengan kuat di dalam kawah yang panas membara itu. Lalu air sisa leburan senjata para dewa itu diminum oleh Bambang Tetuka. Terjadilah sebuah keajaiban. Setelah Bambang Tetuka minum air kawah hasil peleburan senjata para Dewa, kawah Candradimuka bergolak kuat. Api menyala berkobar-kobar. Laharnya meluap-luap dan muncullah seorang pemuda berbadan gagah dari dalam kawah. Demikianlah, Bambang Tetuka berubah menjadi dewasa dalam sekejap. Berbagai senjata pusaka milik para dewa telah menyatu dalam tubuhnya, membuatnya menjadi bertambah kuat dan gagah perkasa.
Batara Guru lalu datang menyambut Bambang Tetuka “Selamat datang kembali, cucuku. Kau walau telah digembleng bahkan lebur dalam Candradimuka, kau tetap kuat dan ulet. Oleh sebab itu, kau akan ku beri nama baru, sang Gatotkaca. Gatot bermakna ulet atau kuat dan Kaca berarti cermin atau pengilon.” “terima kasih, Pukulun Batara Guru, Batara Siwa sang Girinatha.” Oleh Batara Guru, Raden Gatotkaca diberi tiga kekuatan istimewa berbentuk pakaian pusaka. Pertama Caping Basunanda yang memiliki kekuatan menahan efek cuaca seperti apapun. Kedua adalah Kotang Antrakusuma. Baju perisai dengan bintang di dada itu bisa membuat Gatotkaca terbang tanpa sayap, bergerak secepat kilat menyerang sedahsyat halilintar, dan mengendalikan udara disekitarnya. Yang terakhir adalah Terompah Padakacarma. Terompah atau sepatu yang terbuat dari selongsong bekas kulit Batara Anantaboga ini memiliki kekuatan yang bisa membuat Gatotkaca bisa mengawal kekuatan udaranya dan membuatnya kebal serangan juga mampu mendeteksi apapun bahkan serangan berupa sihir atau balak dari tempat yang paling angker sekalipun. Ketiga pakaian itu segera dipakaikan ke Gatotkaca. Di luar kahyangan, Patih Sekipumantra menggedor-gedor lawang Selomatangkep minta agar para dewa menyerahkan Dewi Surendra. Dengan ditemani batara Narada, Gatotkaca mohon diri untuk melawan lagi Patih Sekipumantra.
Patih Sekipumantra terkejut, dari dalam kahyangan muncul seorang pemuda gagah. “Hei, Sekipumantra! Kau masih ingat pada anak bayi yang kau lempar tadi? Aku, akulah anak bayi yang barusan kau lempar ke dalam kawah. Sekarang aku akan membinasakanmu dan junjunganmu.” Raden Gatotkaca menyerang Patih Sekipumantra tanpa ampun. Apapun yang dilakukan Patih Sekipumantra, pasti bisa ditiru oleh Gatotkaca. Pada puncaknya, Gatotkaca menendang Patih Sekipumantra dengan kekuatan anginnya lalu dihempaskannya lagi ke tanah. Karena terdesak, Patih Sekipumantra menggigit leher Gatotkaca. Raden Gatotkaca kesakitan lalu meronta melepaskan diri. Begitu berhasil melepaskan diri, Gatotkaca membalas menggigit leher patih Kiskandamatra itu dengan taringnya yang runcing. Saking kerasnya gigitan dan koyakan Gatotokaca, Patih Sekipumantra akhirnya tewas dengan leher yang hampir putus. Di saat yang sama Patih Naga Kalapercona datang dan mendapati patihnya tewas mengenaskan. Marah karena patih andalannya telah terbunuh, Prabu Naga Kalapercona mengamuk dan menyemburkan racun panasnya ke arah Gatotkaca. Bukannya membunuh Gatotkaca, racun itu malah berbalik kepada Prabu Naga Kalapercona. Gatotkaca yang setelah membinasakan Patih Sekipumantra masih mengamuk malah bertambah dahsyat amukannya terus menyerang Kalapercona dengan membabi buta. Nasib sang raja itu tak jauh beda dengan patihnya. Dia juga tewas dalam keadaan isi perut terburai dan kepala yang hampir putus karena digigit Gatotkaca. Selepas menghabisi Praba Naga Kalapercona, Gatotkaca tak mampu mengendalikan dirinya. Nafsu membunuh dan sifat bawaan bangsa raksasa yang mendarah daging dalam diri Gatotkaca sudah tak dapat dibendung. Gatotokaca terus mengamuk dan menyerang pasukan Kiskandamatra yang tersisa. Amukan sang ksatria otot kawat tulang besi itu semakin menjadi-jadi bagaikan badai topan. Bukan hanya para prajurit Kiskandamatra saja yang dihabisi, beberapa dewa yang mencoba menenangkannya tak luput dari serangannya, bahkan bebatuan di Repat Kepanasan juga diserangnya sampai bebatuan yang panas itu beterbangan dan membuat beberapa bangunan kahyangan rusak. Batara Narada khawatir kalau Gatotokaca tak bisa mengendalikan amukannya, seluruh Marcapada dan kahyangan akan rusak dibuatnya.
Di saat yang bersamaan, ayah dan paman dari Gatotkaca, Arya Wrekodara dan Prabu Kresna datang ke kahyangan. Batara Narada segera mendatangi mereka dan meminta bantuan menenangkan Gatotkaca. Prabu Kresna mengerti duduk perkaranya lalu segera mengheningkan segala ciptanya. Seketika, langit di atas kahyangan mendung gelap dan diiringi halilintar menggelegar. Angin bertiup menderu bagai badai raksasa dan awan-awan pun berputar-putar membentuk bumerang bulat raksasa keemasan seterang sepuluh matahari. Prabu Kresna telah merapal ajian Maha Cakrabhaskara. Begitu Prabu Kresna membuka mata, dia segera melemparkan Maha Cakrabhaskara kearah Raden Gatotkaca. Raden Gatotkaca yang sedikit lengah akhirnya terkena Maha Cakrabhaskara. Gatotkaca pun jatuh dengan mulut berdarah.
Terpotongnya taring Gatotkaca
Meskipun Gatotkaca tidak tewas, kedua taring panjangnya terpotong oleh Maha Cakrabhaskara. Kedua taring itu lenyap dan merasuk kedalam tubuh Gatotkaca, berubah menjadi kesaktian tersembunyi. Kesaktian yang hanya akan keluar di saat Gatotkaca sangat marah atau dalam kondisi terdesak.
Setelah di bawa ke balai-balai di dalam kahyangan, Gatotkaca pun tersadar dari pingsannya karena percikan air dari Cangkok Wijayakusuma. Dirinya melihat sudah dikelilingi banyak orang. Batara Narada membantu Gatotkaca duduk lalu menjelaskan siapa yang bersamanya “Cucuku, Gatotkaca. Perkenalkan merka adalah keluargamu.yang bertubuh tinggi besar itu Bima Wrekodara, ayahmu. Ayahmu adalah salah satu Pandawa, lima putra Pandu Dewanata. Yang kulitnya agak gelap dan bermahkota bulu merak itu Kresna, dia adalah sepupu ayahmu.” Gatotkaca kemudian sungkem pada mereka berdua. Prabu Kresna. Arya Wrekodara merasa senang  putranya baik-baik saja dan kini telah menjadi permuda dalam waktu singkat. Prabu Kresna kemudian menasehatinya untuk berhenti menggunakan sifat bangsa raksasa “Gatotkaca, ketahuilah. Tadi kau pingsan karena aku memotong keberingasanmu. Taringmu telah terpotong oleh senjataku. Maka dari itu, jinakkanlah sifat-sifat raksasamu.”Gatotkaca hanya terdiam dan mematuhi nasehat pamannya itu. Batara Guru dan para dewa lainnya senang dengan keberhasilan Gatotkaca menumpas musuh kahyangan satu ini. Bahkan karena kelewat senangnya, Batara Guru berjanji untuk menjadikan Raden Gatotkaca menjadi raja kahyangan selama sehari. Para dewa terkejut namun ikut senang dengan janji junjungan mereka itu. Arya Wrekodara kemudian bertanya Batara Guru “ Batara Guru, sang Siwa! Dimana adikku Jlamprong sekarang?” “Bima Wrekodara, adikmu telah dicurangi patih Sekipumantra saat menyelamatkan putramu hingga terjatuh dari kahyangan. Kau tak usah khawatir. Keselamatannya terjaga dan sekarang adikmu berada di desa Andong Sumawi, dirawat Resi Sidiwacana, tetua desa itu. Kelak adikmu akan menikahi Dewi Manuhara, putri sang resi dan dari pernikahan iu, akan lahir jodoh putramu Gatotkaca” Arya Wrekodara merasa bahagia dan lega mendengarnya. Karena sudah dirasa cukup dan musuh telah dikalahkan, Raden Gatotkaca, Arya Wrekodara, dan Prabu Kresna memohon pamit untuk kembali ke Pringgandani.
Maha Cakrabhaskara : salah satu bentuk ajian peningkatan dari Cakra Widaksana, mampu mengubah Cakra Widaksana menjadi cakram (bumerang bulat) raksasa yang mampu menutupi matahari. Bentuk ini adalah bentuk kedewaan dari Cakra Widaksana.

Sabtu, 03 Agustus 2019

Kresna Kembang (Danardana Maling)


Salam semua, semoga diberi kelimpahan rahmat Tuhan. Kali ini, penulis akan menceritakan kisah cinta Prabu Kresna dengan Dewi Rukmini yang berujung peristiwa kawin lari. Dikisahkan pula bagaimana Prabu Supala alias Sisupala yang dahulu disembuhkan Prabu Kresna menjadi musuh abadi. Kisah ini disusun mengikuti versi India namun tidak meninggalkan ke-khas-an pedalangan Jawa. Sumber yang digunakan penulis berasal dari Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa, Kitab Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita, kakawin Hariwangsa karya Mpu Panuluh, dan Serial kolosal India Mahabharat Starplus dengan sedikit perubahan dan pengembangan seperlunya.
Dikisahkan bahwa pada zaman kuno, Batara Wisnu sudah beberapa kali menitis ke Marcapada. Pada penitisan pertama, Batara Wisnu berubah menjadi penyu raksasa untuk menopang gunung Mahameru saat para dewa dan bangsa ashura mengaduk Laut Kidul untuk mencari Tirta Amerta. Di penitisan kedua, Batara Wisnu turun ke bumi menitis pada raja di Purwacarita bergelar Prabu Makukuhan. Sepeninggal Prabu Makukuhan, Batara Wisnu dalam bentuk manusia setengah babi hutan bernama Waraha dan Batara Brahma dalam wujud angsa menghabisi Ditya Hiranyaksa, pangeran Alengka yang hendak menenggelamkan Marcapada ke dalam lubang hitam. Setelah Marcapada selamat dari lubang hitam, muncul masalah lagi. Prabu Hiranyakasipu, kakak Hiranyaksa, mendapat kesaktian tak bisa dibunuh apapun dan siapapun. Kesaktiannya ini digunakan untuk menaklukan negeri lain dan hendak menghancurkan Jawadwipa. Batara Wisnu tak tinggal diam. Dia turun sekali lagi ke Marcapada menjadi manusia berkepala harimau bernama Narasingha dan berhasil membunuh Hiranyakasipu. Yang kelima, Batara Wisnu lahir kembali menjadi Jaka Wamana, seorang pendeta cebol, putra Dewi Aditi dan Maharesi Kasyapa untuk menyadarkan Maharaja Bali. Di zaman berikutnya, Batara Wisnu menitis pada dua orang, Prabu Harjunasasrabahu, raja Mahespati dan Begawan Ramabargawa (Parasurama) dari Padepokan Dewashana. Setelah sepeninggal Harjunasasrabahu dan setelah Ramabargawa menjadi dewa, Batara Wisnu menitis lagi pada Sri Ramawijaya, sedangkan Dewi Sri Laksmi (Sri Widowati) menitis pada Dewi Sinta. Beratus-ratus tahun kemudian, dari percampuran keturunan Wangsa Yadawa dan Wangsa Baharata, Batara Wisnu menitis kembali sebagai Nara-Narayan menjadi Kresna (Narayana), anak Basudewa dan Arjuna (Permadi), anak Pandu Dewanata. Sementara Sri Laksmi, isteri Wisnu menitis menjadi Sumbadra, adik Kresna. Istimewanya di penitisan kali ini, selain kepada Sumbadra, Dewi Sri Laksmi juga menitis belah menjadi empat wanita lainya. Pertama Dewi Jembawati, putri Resi Jembawan. Yang kedua pada Dewi Rukmini, putri bungsu Prabu Bismaka (Harya Prabu Rukma), yang ketiga pada Dewi Setyaboma, putri sulung Prabu Setyajid (Ugrasena) dan yang keempat kepada Dewi Radha, putri Lurah Wresabanu dan Nyai Kirtidha dari Warsana, penggembala dan juragan lembu terkenal dari Widarakandang.
Pada suatu hari, di kerajaan Kumbinapuri, Prabu Bismaka di hadap putra sulungnya, yaitu Arya Rukmana sedang dirundung masalah karena kedatangan Prabu Supala dari Cedi dan Resi Dorna dari Hastinapura yang ingin melamar Dewi Rukmini. Namun Dewi Rukmini masih mikir-mikir dulu siapa yang ingin dinikahinya. Lalu Arya Rukmana memberikan usulnya “Ayahanda, aku punya usul. Kita jadikan ini sebagai sayembara. Siapa yang bisa mengalahkan aku, maka dialah yang berhak menikahi rayi dewi.” “aku tidak setuju, kakang Rukmana. Aku sudah memikirkan sayembara apa yang cocok. Siapa yang bisa menebak ‘sejatinya pria, sejatinya wanita’ dia yang bisa menikahiku” potong Dewi Rukmini. Sebenarnya Rukmini jatuh cinta pada Prabu Kresna, sepupunya sendiri. Namun nampaknya, kakaknya itu tak suka pada Kresna. Jadi dia ingin membuat sayembara sendiri. Kedua kakak-beradik itu terus bersilang pendapat. Akhirnya Prabu Bismaka memberikan keputusannya “cukup, anak-anakku. Karena kalian berdua ingin pendapat kalian diambil, aku akan membuat dua sayembara sekaligus. Siapapun yang bisa melawan Rukmana dan mampu menebak ‘sejatinya pria, sejatinya wanita’, dia yang berhak menikahimu, Rukmini.” Segera saja, undangan sayembara disebarkan ke seluruh negeri dan negeri tetangga oleh Arya Rukmana. Hanya Kerajaan Dwarawati yang tidak diberi undangan. Benar saja, Arya Rukmana memang tak suka bahakan sangat benci pada Kresna karena menurut penilaiannya, kelakuan Prabu Kresna di masa lalu bagai begundal yang suka merampok dan membegal, tak pernah berperilaku yang mencerminkan seorang pangeran atau raja, bahkan menikahi Dewi Radha yang jelas sudah bersuamikan Arya Yadawa sehingga menurutnya, Prabu Kresna tak pantas bersanding dengan adiknya.
Sementara itu, Prabu Kresna di Dwarawati dikunjungi Permadi dan para Punakawan. Setelah beramah tamah, Raden Permadi membicarakan tentang Dewi Rukmini. Prabu Kresna seketika teringat tentang keinginan Dewi Jembawati dan Dewi Radha yang ingin dimadu. Lalu Prabu Kresna ingin bertandang ke Kumbina untuk mewujudkan impian kedua isterinya itu. Raden Permadi dan para punakawan ikut menyertai. Beberapa hari kemudian, sampailah mereka di negara Kumbinapuri. Mereka melihat keramaian di kotaraja “kakang Madawa, lihat ada ramai-ramai di kotaraja. Sepertinya akan diadakan acara besar.” “Benar, Parta. Ayo kita ke sana tapi kita harus menyamar.” Singkat cerita,  Prabu Kresna kmudian menyamar menjadi tukang roti bernama Danardana, Permadi menjadi penari perempuan bernama Wrehanala. Sementara ki Lurah Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong menjadi penabuh gamelan.
 Sesampainya di kotaraja, Danardana melihat adanya persiapan sayembara. Danardana kaget bahwa ada sayembara dan dia tak diundang. Akhirnya Danardana masuk ke situ dan menawarkan roti pada Prabu Bismaka. Prabu Bismaka berkenan dengan rotinya dan mempersilakan roti buatannya dihadirkan sebagai jamuan. Disana, telah diundang Prabu Baladewa dari Mandura, Prabu Setyajid dan Arya Setyaki dai Lesanpura. Prabu Yudhistira dan Arya Bratasena dari Amarta. Dipihak Resi Dorna, datang Prabu Anom Suyudana, Patih arya Sengkuni, Arya Dursasana, Arya Kartamarma, Bambang Aswatama dan beberapa Kurawa lainnya. Sayembarapun digelar. Baik Resi Dorna maupun Prabu Supala berhasil mengalahkan Arya Rukmana yang sombong lalu kini tiba menjawab pertanyaan dari Dewi Rukmini. Prabu Supala atau sering dipanggil Sisupala menjawab “Dinda Rukmini, sejatinya pria itu kuat dan sejatinya wanita itu lembut. Perempuan itu penuh sifat lembut dan pria itu harus menjadi pelindung bagi si lembut.” Dewi Rukmini sebenarnya tak berkenan dengan jawaban Prabu Supala tapi ditahannya. Dewi Rukmini segera mempersilahkan Resi Dorna untuk maju. Sebelum menjawab pertanyaan, Resi Dorna berkata “nak Rukmini, kehadiranku ikut sayembara hanya mewakili Prabu anom Suyudana tapi aku akan menjawab pertanyaan itu semampuku. Menurut hemat saya, pria sejati itu mengayomi, memenuhi nafkah lahir batin, dan mampu menentramkan si perempuan. Sedangkan wanita sejati itu tak hanya cantik lahiriah tapi juga cantik batiniyah. Maksudnya, wanita itu jangan hanya bermodal kan ayunya rupa, kemolekan tubuh, dan genitnya tingkah tetapi juga memupuk sifat baik, ikhlas dalam keadaan susah dan senang bersama pasangan, dan kesabaran.” Dewi Rukmini masih ragu-ragu akan dua jawaban itu dan meminta sang ayah untuk menghentikan sementara sayembara. Dia ingin ke candi Dewi Durga untuk merenung sejenak.
Dewi Rukmini merenung di candi Dewi Durga
Karena ini permintaan dari putrinya, akhirnya Prabu Bismaka akhirnya menghentikan sementara sayembara. Tetamu dan peserta sayembara disilakan untuk menikmati jamuan dan pertunjukan yang sudah digelar. Kresna yang masih menyamar menjadi tukang roti secara diam-diam segera mengikuti Dewi Rukmini.
Sementara itu, Wrehanala diperintahkan Arya Rukmana untuk menghibur tetamu undangan dan peserta sayembara. Para punakawan yang menjadi penabuh gamelan memainkan musik dengan sangat merdunya. Meskipun dikenal sebagai ksatria yang mahir menggunakan senjata, Permadi sebagai Wrehanala juga pandai dan jago dalam menari. Gerakannya sangatlah lemah gemulai mengikuti alunan musik. Hingga pada suatu gerakan, seekor nyamuk hinggap di badan Wrehanala. Dengan sambil menari, dia berusaha menepuk nyamuk itu. Berkali-kali ditepuk, nyamuk itu tetap bisa lolos. Lalu nyamuk itu hinggap dan masuk ke lubang hidungnya. Tak ayal, hidung Wrehanala gatal dan dia pun bersin. Tanpa disangka-sangka, rambut palsu yang dipakai Wrehanala terlepas dan samarannya terbongkar. Wrehanala badar kembali menjadi Permadi. Arya Rukmana marah “hei, kau rupanya Permadi, Pandawa antek-antek Kresna. Apa yang kau lakukan disini?” Permadi dan para punakawan pun dibela oleh Arya Bratasena dan Prabu Yudhistira. Tanpa disangka-sangka pula, terdengar bunyi teriakan menggelegar dan barang rusak dari arah keraton. Rupanya di kejauhan ada raksasa besar dan raksasa itu membawa lari Dewi Rukmini dari candi Dewi Durga. Patih arya Sengkuni segera memanas-manasi Arya Rukmana”Pangeran Rukmana, sepertinya itu makhluk yang di bawa oleh Permadi. Kita cukup tahu kalau Permadi itu sakti dan berteman dengan berbagai makhluk bahkan raksasa.” Arya Rukmana terprovokasi dan menyuruh Permadi untuk membawa makhluk yang menjadi raksasa itu. Permadi yang tak terima dengan provokasi Rukmana segera mengejar raksasa itu.
Dengan ajian Sepi Angin, Raden Permadi berhasil menyusul si raksasa. Dewi Rukmini kemudian diturunkan dengan lembut oleh raksasa dan raksasa itumemberikannya sekuntum bunga melati kepadanya “Rukmini, bersembunyilah dan bawa sekuntum bunga melati ini. Dia akan menjadi penjagamu.” Setelah berkata demikian, bunga melati itu berubah menjadi Prabu Kresna palsu. Demikianlah, Prabu Kresna jelmaan bunga melati membawa Dewi Rukmini sembunyi. Tanpa dikira-kira, Arya Rukmana yang membuntuti Permadi melihat adiknya bersama Kresna. Lalu diseretnya Prabu Kresna itu. Dewi Rukmini terkejut dan meminta untuk melepaskan kekasihnya itu namun tak digubris. Dihadapan adiknya itu, Arya Rukmana menghajar Prabu Kresna lalu memanah tubuh Prabu Kresna sampai tewas. Dewi Rukmini berlari sambil menangis menyusul si raksasa. Di saat bersamaan Prabu Baladewa melihat tubuh adiknya tewas di tangan Rukmana. Dia marah besar dan berniat membunuh sepupunya itu. Karena ketakutan, Arya Rukmana lari dan menyusul adiknya.
Sementara itu, Permadi terus menyerang si raksasa secara membabi buta. Raksasa itu mulai kewalahan dan berubah menjadi Maha Brahalasewu, bentuk triwikrama Batara Wisnu yang sangat menakutkan.
Maha Wisnurupa-Maha Brahalasewu
Permadi menjadi ketakutan dan tiba-tiba berubah menjadi Maha Wisnurupa, bentuk dewata agung dari Batara Wisnu. Prabu Yudhistira yang melihat dari kejauhan melihat dua wujud Batara Wisnu, yang satu berwujud dewa dan yang satu lagi bentuk triwikramanya. Prabu Yudhistira secara spontan berlari lalu tanpa sengaja tangannya meraba Kalung Robyong Mustikawarih di lehernya dan berubah menjadi raksasa putih. Raksasa putih yang telah disusupi Batara Dharma itu berusaha melerai “Hentikan, Wisnu. Sesama titisan Wisnu janganlah bertengkar karena provokasi dan wanita, berdamailah.” Setelah itu ketiga wujud kebesaran itu kembali ke keadaan semula. Raksasa putih kembali menjadi Yudhistira. Maha Wisnurupa kembali menjadi Permadi, dan Maha Brahalasewu kembali menjadi Prabu Kresna. Dewi Rukmini yang ada di situ memeluk Prabu Kresna. Tak disangka, Arya Rukmana yang mengejar adiknya itu terkejut bukan kepalang karena mengira Kresna telah mati bisa hidup lagi. Merasa dipermainkan, Arya Rukmana kembali marah, lalu mengumpat dan memaki “ Hei, Kresna. Kau titisan Wisnu tapi kelakuanmu bagai maling. Kau bahkan lebih hina dari maling atau pezina. Kau rebut adikku yang sudah disayembara....” Arya Rukmana berniat menyerang Prabu Kresna lagi. Prabu Kresna yang marah atas penghinaan Rukmana mengeluarkan Cakra Widaksana dan melemparkannya ke arah Rukmana. Di saat yang sama Baladewa yang marah pada Rukmana mengeluarkan tombak Nanggala dan melemparkannya juga ke arah Rukmana. Alhasil bagian kepala Rukmana yang terkena tebasan Cakra Widaksana menjadi botak dan tubuh Rukmana hampir semuanya gosong terbakar terkena tombak Nanggala. Rukmana menjadi koma karenanya. Dewi Rukmini memohon pada kekasihnya untuk mengampuni dan menghidupkan lagi kakaknya “kakang Kresna tolong ampuni kakakku. Ayah hanya punya satu anak lelaki. Nasib kelangsungan takhta Kumbina bergantung pada kakak.” Prabu Kresna tergerak hatinya. Kemarahannya mulai mereda dan memaklumi Rukmini lalu berkata “baik , Dinda Rukmini aku akan memaafkan kakakmu.” Prabu Kresna meraba riasan bulu meraknya dan keluarlah Cangkok Wijayakusuma.
Arya Rukmana menuai karma karena menghina titisan Wisnu.
Setelah bunga ajaib itu dibasahi air, lalu bunga yang masih berair itu dikipat-kipatkan ke seluruh tubuh Rukmana. Berkat percikan air cangkok Wijayakusuma, Rukmana hidup kembali. Rukmana menyadari kesalahannya kemudian menghormat pada Prabu Kresna “maafkan aku, Kresna. Aku telah menghinamu. Kau telah membuka mata dan hatiku yang tertutup kesombongan. Karena kau sudah berhasil mengalahkan aku, aku menyetujui hubunganmu dengan Rukmini, adikku tercinta.” Prabu Kresna dan Prabu Baladewa memaafkan Arya Rukmana. Mereka pun berbaikan.
Lalu mereka semua kembali ke alun-alun. Prabu Bismaka bahagia putrinya telah kembali. Atas keinginan dari Prabu Bismaka, Prabu Kresna diizinkan ikut sayembara oleh pamannya itu. Prabu Kresna kemudian menjawab pertanyaan siapakah sejatinya pria, sejatinya wanita.”sejatinya pria dan wanita adalah pasangan hidup, kawan hidup. Mereka saling melengkpi. Pria tak bisa berada diatas wanita. Wanita juga tak bisa berada di bawah pria. Terdapat sebuah kisah dimana pria sekaligus manusia permata diciptakan dari tanah oleh Sanghyang Widhi lalu setelah itu wanita diciptakan dari tulang rusuk pria. Makna dari kisah ini adalah wanita diciptakan sebagai kawan yang diperlakukan dengan lembut naman tegas, bukan diperlakukan sebagai majikan apalagi budak para pria. Sejatinya derajat, tanggung jawab, hak dan kewajiban antara pria dan wanita pada dasarnya sama. Pelayanan juga diantara keduanya haruslah sinkron dua arah. Kedua belah pihak sama- sama mendapatkan hak sekaligus kewajiban masing-masing. Demikianlah pada dasarnya, sejatinya pria dan wanita adalah komplementer, diciptakan berbeda dan sama-sama tak sempurna, namun ditakdirkan bisa saling melengkapi sehingga sebuah terbentuklah kerjasama yang indah berupa terjalinlah kasih dan sayang, kehidupan yang selaras, harmoni, dan berimbang. Setiap manusia yang tahu hakikat ini, maka mereka akan menemukan kebahagian yang sejati.”
Jawaban dari Prabu Kresna membuat Prabu Bismaka dan hadirin menjadi terharu. Dewi Rukmini telah menetapkan pada siapa dia akan memilih. Dewi Rukmini memilih Prabu Kresna lalu mengalungkan puspamala di lehernya. Tepuk tangan membahana memuji Prabu Kresna. Prabu Supala yang gagal mendapatkan Dewi Rukmini menjadi kesal lalu menghasut Prabu Anom Suyudana dan Patih Arya Sengkuni untuk menyerang mereka saat hari pernikahan mereka. Hari itu para Kurawa, Resi Dorna, dan Prabu Supala pura-pura mohon diri untuk kembali.
Beberapa hari kemudian, pernikahan diselenggarakan. Di pelaminan, Prabu Kresna bersanding dengan tiga istrinya, Dewi Radha, Dewi Jembawati dan Dewi Rukmini. Dewi Jembawati senang sekali karena suaminya bisa mengabulkan keinginannya untuk dimadu. Namun di suasana bahagia itu ada gangguan. Prabu Supala dan para Kurawa menyerang mereka sebagai bentuk kekecewaan mereka. Di saat seperti itu, Arya Setyaki dan Arya Bratasena segera turun tangan. Tak butuh berapa lama, Prabu Supala dan para Kurawa berhasil dikalahkan. Namun sebelum kemabli diri negara Cedi, Prabu Supala bersumpah serapah “Hei, Kresna. Kau manusia tak berbudi. Dasar maling, pezina, penyihir!. Mulai saat ini kita musuh abadi!” Prabu Baladewa hendak membunuh Prabu Supala namun dicegah oleh adiknya yang sedang berbahagia itu. Setelah pesta selesai, Prabu Kresna memboyong tiga istrinya itu itu ke Dwarawati.