Kamis, 20 Juni 2019

Isi Hati Dewi Jembawati (Narayana Krama)


Hai semua, readers.Kisahkali ini adalah kisah pernikahan pertama Prabu Kresna dengan Dewi Jembawati, putri Resi Jembawan dan Dewi Trijatha. Konon pernikahan ini adalah buah dari doa Dewi Sinta pada Dewi Trijatha yang dikutuk oleh Prabu Rahwana, uwanya sendiri. Pernikahan ini sempat hampir digagalkan oleh keturunan Harjunasasrabahu. Dalam kisah ini juga diceritakan diruwatnya Raden Supala (Sisupala) yang kelak akan jadi musuh abadi Prabu Kresna dan awal mula Prabu Anom Balarama menjadi pendeta. Sumber yang saya pakai adalah dari Kitab Mahabharata, Kitab Pustakaraja Purwa, dan kisah lakon Narayana Krama dari blog caritawayang.blogspot,com, yang kemudian saya olah dan ubah seperlunya.
Syahdan, di Pertapaan Gandamadana. Dewi Jembawati, putri Resi Jembawan dan Dewi Trijatha ditemani sahabatnya, Dewi Radha sedang merindukan kekasihnya, Raden Narayana. Dahulu ketika masih tinggal di Widarakandang, mereka sering bertemu karena Narayana berguru pada Resi Jembawan. Karena diantara mereka ada perasaan cinta, oleh Resi Jembawan mereka ditunangkan. Namun setelah Narayana kembali ke Widarakandang lalu menjadi raja di Dwarawati bergelar Prabu Kresna, dia belum kembali ke Gandamadana “Aduh, kakang Narayanaku. Prabu Kresna, bila kamu akan kembali untuk menikahiku.?” Begitulah yang dirasakan Dewi Jembawati. Resi Jembawan dan Dewi Trajatha yang melihat kegundahan putri mereka menjadi resah. Sebagai sahabatnya, Dewi Radha pun mendoakan agar Jembawati dan Narayana bisa bersatu. Sementara itu, di Kerajaan Lesanpura sedang mengadakan acara berburu tahunan. Sepupu Dewi Wresini yakni Raden Prasena ikut serta. Ia meminjam kalung permata Shamantaka milik Prabu Setyajid. Prabu Setyajid mengizinkan iparnya itu memakainya. Singkat cerita, rombongan Prasena bukan pergi berburu malah berpesta pora. Tanpa mereka sadari sepasang singa putih jantan mengawasi mereka. Singa itu lalu menerkam rombongan Raden Prasena dan menghabisi mereka semua. Salah satu singa mengambil kalung permata Shamantaka. Ketika sampai di sebuah bukit, sepasang singa itu bertemu seorang brahmana yang tak lain Resi Jembawan. Resi Jembawan bertarung dengan dua singa itu. Salah satu singa berhasil dihabisi sedangkan singa lainnya lari kabur. Sang resi mengambil kalung Shamantaka itu dan membawanya ke gubuk. Pada suatu hari, Resi Jembawan terkejut mendengar teriakan putrinya. Rupanya Dewi Jembawati diculik seorang raja dari Sriwedari. Raja itu bernama Prabu Waudaya. Ketika hendak dihadang, Prabu Waudaya memukul Resi Jembawan hingga pingsan. Begitu sadar, ia mendapati putrinya telah menghilang. Dewi Trijatha dan Dewi Radha menenangkan sang resi. Mereka lalu memasuki sanggar pamujan mendoakan keselamatan Dewi Jembawati.
Di sisi lain, Kerajaan Dwarawati sedang dirundung masalah. Prabu Kresna dan Dewi Bratajaya yang kebetulan berkunjung tiba-tiba menghilang dari kerajaan. Satu kerajaan mencarinya dan untuk sementara, Patih Udawa menjalankan pemerintahan. Rupanya Prabu Kresna dan Dewi Bratajaya sedang menyamar menjadi begal bernama Brandal Gowinda dan Brandal Maduraya.di hutan Karajaya. Mereka membegal dan merampok para pejabat kaya dan korup yang lewat lalu harta rampasannya dibagikan kepada rakyat miskin. Di tengah jalan, mereka bertemu sepasukan prajurit jaga dari kerajaan Cedi. Mereka kemudian ditangkap dan dibawa ke kerajaan Cedi. Ketika sampai Prabu Damagosa sedang dihadap permaisurinya, Dewi Sruta yang sedang menggendong anak lima tahun yang bertubuh aneh. Tubuh anak itu bertangan empat, bermata tiga dan berkaki lemah seperti ekor belut. Prabu Damagosa menjadi gusar karena mendengar banyak pegawai kerajaannya yang dibegal di Karajaya. ketika digeledah, topeng yang dikenakan mereka dibuka. Baru sadarlah Prabu Damagosa bahwa yang membegal ternyata adalah keponakan sendiri yaitu Prabu Kresna dan Dewi Bratajaya. “Aduh, para keponakanku. Kenapa kalian datang sebagai begal di negaraku?” “Begini paman Prabu, kedatangan kami membegal karena melihat banyak rakyat Cedi yang menderita. Banyak para pejabat kotor dan suka makan rasuah di negeri paman prabu. Aku dan adikku, Bratajaya hendak mengakhiri penderitaan ini.” Prabu Damagosa akhirnya mengerti dan mengeluarkan fatwa untuk menindak para pejabat korup. Lalu bersamaan, sambil menangis Dewi Sruta datang ke hadapan Kresna untuk mengenalkan putranya yang bernama Raden Supala “keponakanmu, perkenalkan ini sepupumu, Supala. Tubuhnya menjadi demikian sejak lahir. Karena kutukan seorang resi, bibi melahirkan Supala dengan penuh kecacatan. Tangannya empat, matanya tiga dan lumpuh layuh kakinya bagai ekor belut seperti ini.” Kresna merasa kasihan lalu menggendong Supala di pangkuannya. Tiba-tiba muncullah keajaban. Satu mata di dahi Supala lenyap. Begitu juga dengan dua tangan tambahannya, langsung jatuh bagaikan ranting kering. Kedua kaki Raden Supala yang tadinya lumpuh layuh menjadi kuat. Bukan hanya itu, Raden Supala yang tadinya anak-anak berumur lima tahun berubah menjadi remaja dua puluh tahun.
Prabu Damagosa dan Dewi Sruta merasa senang melihat putra mereka berubah menjadi anak normal dan tumbuh dewasa sekejap saja. Namun tiba-tiba Prabu Damagosa menyabetkan parang kepada Prabu Kresna. Terjadi keajaiban, Prabu Damagosa tiba-tiba lemas setelah melihat aura Batara Wisnu keluar dari Prabu Kresna. Seketika mereka bertiga bersujud lalu Dewi Sruta memohon pada Prabu Kresna “keponakanku, tolong jangan lukai suamiku. Kanda prabu Damagosa hanya melindungi Supala.” “tapi kenapa, bibi. Kenapa harus mengacungkan senjata?” “Begini ceritanya. Sewaktu aku masih muda pernah menertawakan seorang resi yang sedang mandi. Sang resi mengutukku memiliki anak cacat dan hidup mati anakku ada pada orang yang mampu menyembuhkannya. Aku mohon keponakanku, ampunilah Supala apabila dia melakukan dosa dan kesalahan besar di depanmu.” Prabu Kresna kemudian bersumpah “baiklah, bibi. Aku akan mengabulkan permintaanmu. Aku, Prabu Kresna, sang Harimurti* akan selalu memaafkan dan mengampuni segala kesalahan Supala sampai seratus kali. Bila putramu berbuat salah lebih dari seratus kali atau melakukan kesalahan besar di hadapan lebih dari seratus raja, maka aku tak akan mengampuninya lagi.”
Raden Supala sembuh dari kutukan dan dewasa dalam sekejap
Sumpah itu disambut dengan bumi gonjang ganjing dan halilintar menggelegar pertanda di dengar oleh para dewa di langit. Karena duduk perkara pembegalan telah usai, Prabu Kresna dan Bratajaya dibebaskan dan mereka segera meninggalkan Kerajaan Cedi. Mereka tetap menyaru menjadi rakyat jelata. “kakang Kresna, kita akan pergi kemana setelah ini?” tanya Dewi Bratajaya. Lalu Prabu Kresna menunjuk ke arah barat  “kita akan ke Gandamadana, Bratajaya. Aku mau bertemu kakek guru Jembawan dan nini Jembawati.” Perjalanan pun dilanjutkan. Sebelum sampai, mereka singgah di gunung Raiwataka. Disana mereka bertemu Prabu Anom Balarama yang sedang menjadi pendeta muda bernama Wasi Jaladara. Walaupun hanya berpakaian sederhana dan kumal, Kresna dan Bratajaya masih mampu mengenalinya. Semenjak kejadian makar Kangsa dan berdirinya Dwarawati, Prabu Anom Balarama memutuskan untuk menyepi di gunung Raiwataka yang terletak di tengah pegunungan Kendan. Dewi Bratajaya memeluk kakak sulungmya sambil bertanya “kakang Balarama, rupanya kakang disini.. Aku dan ayahanda prabu mencari-carimu. Kenapa kau tak pulang kembali ke Mandura?” “walahh adikku Kresna dan Bratajaya, aku sedang menyiapkan bekal ilmu. Setelah penobatanmu sebagai raja, ayahanda ingin aku segera menggantikannya.
Prabu Kresna bertemu Wasi Jaladara
Tapi aku memutuskan untuk minggat dari keraton dan bertapa disini unuk mencari bekal itu.” Dewi Bratajaya merasa kakak sulungnya itu kesepian jadi dia memutuskan untuk tetap bersama Wasi Jaladara dan mengganti namanya menjadi Endang Kendengpamali. Setelah itu, Kresna meninggalkan gunung Raiwataka.
Ketika akan sampai di Pertapaan Gandamadana, Brandal Gowinda bertemu dengan pasukan dari Lesanpura. Ia lalu ditangkap dan dihadapkan kepada Prabu Setyajid. Prabu Setyajid berkata kalau karena iparnya tak kunjung pulang dan ketika sampai di hutan, ia mendapati Raden Prasena dan rombongan telah dihabisi sesuatu. Prabu Setyajid curiga kalau Brandal Gowinda telah menghabisi saudara iparnya dan mengambil kalung Shamantaka. Berkali-kali Gowinda menjelaskan bahwa ia bukan pencurinya namun mereka tidak percaya. Demi membersihkan namanya, Bambang Gowinda akan mencari pencuri itu. 

 Sesampainya di Pertapaan Gandamadana, Kresna mendapati Resi Jembawan dan Dewi Trijatha. Di sana ada juga Dewi Radha. Kresna bahagia bisa bertemu kembali dengan Radha setelah sekian lama, bahkan ia bahagia dengan putri mereka yang telah lahir sehat. Prabu Kresna pun bertanya kabar Radha. Radha menjelaskan "Kresna, kabar ku baik. anak kita juga sihat. tapi ada yang lebih penting. Bapa resi sedang berduka. baik kau datang padanya." Kresna pun mendatangi gurunya itu “Guru, kenapa ini. Dimana nini Jembawati?” Resi Jembawan kemudian bercerita bahwa putrinya itu telah diculik raja Sriwedari bernama Prabu Waudaya. Prabu Kresna kemudian bersumpah untuk menemukan sang calon istri lalu pamit untuk ke Sriwedari. Di tengah jalan dia bertemu dengan Raden Permadi, Ki Lurah Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong. “kakang Prabu Kresna, sedang apa disini? Aku telah mendengar kabar hilangnya kakang prabu dari Kakang Yudhistira. Marilah kita kembali ke Dwarawati.” “tidak sekarang, Permadi. Aku harus ke Sriwedari. Calon istriku, Jembawati diculik raja Sriwedari.” Raden Permadi terkejut lalu minta izin padanya untuk ikut dengannya. Prabu Kresna gembira mendengarnya. Kakek Semar yang berwawasan luas memberitahu informasi tentang Sriwedari kepada Prabu Kresna” Mbelgedag-mblegedug elehh... Prabu Kresna. Sebelum kita berangkat, ada satu hal yang harus anda tahu. Sriwedari adalah negara asal salah satu leluhur Maharesi Abiyasa, masih trah Saptaharga. Sriwedari juga awalnya kerajaan Mahespati, negerinya raja Harjunasasrabahu di jaman kuno. Jadi kita akan menyerang keluarga sendiri. Apakah ndoro Permadi dan yang mulia Prabu bersedia?” Permadi merasa yakin dan mantap“ aku bersedia, Kakek Semar.” Setelah dirasa cukup mereka berenam segera berangkat ke tanah seberang. Setelah beberapa hari, merekapun sampai.
Sementara itu di kerajaan Sriwedari, Dewi Jembawati tak mau menikah dengan Prabu Waudaya walaupun dibawakan segala emas permata. Karena kesal dan berang, Prabu Waudaya memutuskan agar Dewi Jembawati tinggal di tamansari. Tamansari itu sangatlah membuat mata menjadi manja dan terlena. Bunga-bunga yang mekar menebarkan bau harum. Buah-buahan di pepohonan yang ranum menyebarkan aroma manis. Berbagai jenis tanaman tertata indah. Kolam sangat luas bagaikan telaga dipenuhi bunga-bunga tunjung dan padma. Benar-benar bagaikan kepingan taman di kahyangan yang jatuh ke bumi. Tamansari itu adalah Taman Sriwedari. Dahulu kala, taman ini adalah mas kawin prabu Harjunasasrabahu untuk Dewi Citrawati yang dibawakan dari gunung Untarayana oleh Patih Suwanda dan Bambang Sukrasana. Disana Dewi Jembawati sedang duduk termenung memikirkan sang kekasih dengan wajahnya yang terlihat lesu. Tiba-tiba datanglah seekor singa putih masuk ke taman Sriwedari dan mengaum ke sana-sini, membuat takut dayang-dayang dan membunuh beberapa prajurit yang berjaga disana.
Tak disangka, sang singa putih bertemu dengan Dewi Jembawati. Dewi Jembawati tak takut sedikitpun bahkan menghampiri sang singa dengan tenang. Sang singa terus mengaum dan mengeram memperlihatkan gigi dan taringnya yang tajam. Namun Dewi Jembawati justru memegang kepala sang singa sambil berkata”Duhh, tuan singa terkamlah aku. Lebih baik aku mati daripada menikahi orang yang tak ku cintai.” Lalu sang singa bertanya “ lho, kenapa? Calon istri raja berkuasa mau minta mati?” Dewi Jembawati terkejut ada singa yang bisa bicara lalu dia menjawab “hatiku telah tertambat padanya” lalu sang singa bertanya lagi “siapa yang telah menambatkan jangkar cinta di hatimu” Dewi Jembawati menjawab dengan malu-malu “Kakang Prabu Kresna, sang Raden Narayana. Dia lah tambatan hatiku.” Lalu terjadi percakapan diantara mereka. “ohh aku pernah mendengar namanya dari pulau seberang. Dia adalah raja yang tak jelas asal-usulnya. Dia hanya anak Nanda Antagopa dan Niken Yasoda. Dia hanya anak gembala yang hobinya kelayapan. Dia udah jelek, kulitnya gelap, kastanya tak jelas. Dia hanya anak Widarakandang yang kebetulan hidup mujur. Tak sepadan denganmu. Kau adalah keturunan Prabu Gunawan Wibisana yang agung. Kakek dan ayahmu adalah penasehat Prabu Sri Ramawijaya, raja Pancawati. Ibumu adalah penolong istri Sri Ramawijaya, Dewi Sinta. Sungguh sayang bila kau menikahi Prabu Kresna yang hina rendah itu” Dewi Jembawati kemudian menjawab dan mengutarakan isi hatinya sebelum dia diterkam sang singa “tuan singa, kau hanya salah paham. Kakang prabu Kresna memang bagimu hanya anak angkat Nanda Antagopa dan Yasoda yang hina. Tapi dia hakikatnya anak kandung Basudewa dan Dewaki, penguasa negara Mandura. Dulu hobinya memang suka kelayapan tapi dia kelayapan untuk mencari ilmu dan pencerahan rohani. Aku tak pernah mempermasalahkan rupanya yang berkulit gelap. Aku tak memandang rupa, harta dan jabatan. Asal kau tau, junjungan kakek dan ayahku, Sri Rama menurut cerita juga berkulit gelap sama seperti kakang Prabu Kresna.Walaupun penuh teka-teki dalam hidupnya, dia orang baik-baik.”
Sang singa kemudian tak kehabisan akal untuk berkilah “menurutmu memang begitu, tapi aku mendengar bahwa kekasihmu itu pernah membegal dan merampok bahkan setelah menjadi raja. Itukah yang kau sebut orang baik-baik? Sudahlah, Dewi Jembawati yang agung. Putri Resi Jembawan yang mulia lebih baik menikahlah dengan Prabu Waudaya yang jelas-jelas keturunan Harjunasasrabahu yang hebat”
Dewi Jembawati mengutarakan isi hatinya pada singa putih
Dewi Jembawati kemudian meluruskan pikiran sang singa “tuan singa putih, aku hargai setiap bujuk rayumu, tapi hatiku tak akan goyah. Kakang Prabu Kresna yang membegal dan merampok itu adalah jalannya untuk menggapai pencerahan rohaninya. Orang lain tak berhak memaksakan pendapatnya seperti tuan tadi. Aku hanya percaya Kakang Prabu Kresna lah pelabuhan bahtera cintaku. Aku percaya cinta sejati tak akan luntur keduniawian. Hanya Sanghyang Widhi lah yang berhak memisahkan kami dan inilah saat yang tepat. Tuan singa putih, sekarang terkamlah aku. Biar lah cinta ini ku bawa sampai ke nirwana.” Tanpa diduga, singa putih itu menangis lalu membawa lari Dewi Jembawati keluar dari taman Sriwedari dan berlari ke tengah hutan. Prabu Waudaya yang melihatnya gusar dan marah lalu memerintahkan para prajurit  untuk mencari mereka.
Dewi Jembawati yang berada dipunggungnya yakin bahwa singa itu akan ke sarangnya dan dia bisa dihabisi disana. Sang singa terus berlari menembus lebatnya hutan. Tanpa dinyana, mereka bertemu Raden Permadi dan para punakawan. Dewi Jembawati segera turun dari punggung sang singa putih. Sang singa putih kemudian bertarung dengan Raden Permadi. Pertarungan berlangsung sengit. Lalu setelah medapatkan saat yang tepat, Raden Permadi menarik busur Gandiwa dan menembakkan panah. Jrass, singa putih itu tertembak panah. Tiba-tiba, tubuh sang singa badar ke wujud semula menjadi Prabu Kresna.
Dewi Jembawati seketika lemas dan hampir pingsan melihat sang kekasih hati muncul dihadapannya. Prabu Kresna lalu memeluknya “Jembawati, aku telah mendapat pencerahan dari isi hatimu. Mulai sekarang, aku akan terus berusaha memperbaiki akhlakku agar menjadi lebih baik dari sekarang.” Raden Permadi senang karena tadinya dia kehilangan sang prabu. Prabu Kresna menjelaskan bahwa dia sengaja menghilang dan berubah wujud menjadi singa putih untuk menguji keteguhan hati dan kesetiaan sang calon istri. Mereka segera kembali ke pulau Jawa. Sesampainya di pulau Jawa, mereka bergegas ke Dwarawati. Rakyat Dwarawati dan Patih Udawa gembira karena sang raja telah kembali. Prabu Kresna memutuskan untuk menikah dengan Dewi Jembawati di Gandamadana. Lalu undangan pun disebar ke berbagai negara sahabat.
Hari pernikahan pun tiba. disaksikan para raja dan perwakilan tiap negara sahabat, para resi, dan keluarga Pandawa. Resi Jembawan telah menikahkan putri satu-satunya dengan Prabu Kresna di halaman pertapaan Gandamadana. Meskipun sederhana, pernikahan berlangsung sangat khidmat. Hari itu juga Radha bahagia karena sang kekasih berhasil menikahi Jembawati. Prabu Kresna sebagai menepati janjinya. Ia akan memboyong Radha dan Prantawati, begitu juga Dewi Jembawati. Prabu Kresna dalam wujud Brandal Gowinda duduk bersanding dengan dua wanita pujaannya itu. Para tetamu berbahagia atas kebahagian mereka. Tapi tiba-tiba Prabu Waudaya sepasukan datang melabrak hendak merebut Dewi Jembawati. Arya Bratasena dan Raden Permadi membela sepupu mereka yang berbahagia itu. Peperangan terjadi di Gandamadana, anehnya Bratasena dan Permadi beserta bala bantuan mereka kesulitan menghadapi Prabu Waudaya dan pasukannya. Tak lama kemudian, datang rombongan dari Lesanpura menagih janji kalung Shamantaka. Prabu Kresna yang masih menyamar sebagai Brandal Gowinda berjanji akan menyerahkan kalung itu bila pasukan Lesanpura bisa mengalahkan Prabu Waudaya. Gowinda juga membongkar bahwa kejahatan Prabu Waudaya lah yang membuat rombongan Raden Prasena tewas, karena dia lah yang mencuri kalung Shamantaka dalam wujud singa. Pertempuran pun terjadi. Pasukan Sriwedari menyerang pasukan Narayani dan Pasukan Lesanpura sedangkan Arya Bratasena dan Permadi menyerang Prabu Waudaya dan patihnya. Setelah beberapa saat, Prabu Waudaya tewas dan pasukan Sriwedari mundur membawa jasad junjungan mereka. Setelah kondisi aman, acara pernikahan kembali di lanjutkan. Setelah acara pernikahan selesai, Brandal Gowinda lalu berbisik pada kakak sekaligus patihnya, Patih Udawa “Kakang patih, aku akan tetap di Gandamadana untuk menimba ilmu sekaligus untuk berbulan madu. Aku titipkan Dwarawati di tanganmu untuk saat ini.” “baik, adhi Prabu. Titah darimu akan ku laksanakan.” Sejak saat itu, Prabu Kresna tetap tinggal di Gandamadana untuk melanjutkan pendidikannya beberapa bulan lamanya ditemani dua istrinya. Prabu Setyajid yang masih belum tau dengan jatidiri Brandal Gowinda menerima kembalinya kalung Shamantaka.  Prabu Setyajid gembira dan berkata ia akan menikahkan putrinya, Setyaboma dengan Gowinda.
*selain nama Narayana, Prabu Kresna memiliki beberapa dasanama, antara lain Harimurti dan Wisnumurti yang artinya titisan sang Wisnu, Danardana/Janardhana yang berarti penyelamat, Gopala (si penggembala sapi), Madawa (panggilan dari Permadi/Arjuna yang artinya pembawa musim semi), Cemani (panggilan dari Bratasena/Bima yang artinya hitam), dan lain-lain, Arti Kresna sendiri adalah gelap.

Jumat, 14 Juni 2019

Wahyu Dharma (Jumenengan Puntadewa)


Holla semua, setelah libur akhirnya bisa menulis lagi. Kali ini sya melanjutkan kisah sebelumnya. Dalam kisah ini akan diceritakan penobatan Puntadewa sebagai raja Amarta bergelar Prabu Yudhistira yang sempat akan digagalkan oleh siasat licik Sengkuni. Dikisahkan pula pernikahan Arya Bratasena dengan Dewi Urangayu dan Dewi Rekathawati. Disini sumber yang saya pakai dari Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa, Kitab Pustakaraja Purwa, dan Lakon Peksi Dewata dengan pengembangan saya sendiri dan dipadukan dengan kisah Mahabharata versi Banyumasan.
Hari penobatan Raden Puntadewa menjadi raja negara Amarta semakin dekat. Undangan-undangan telah disebar ke berbagai negeri, termasuk ke Hastinapura. Hari itu Arya Widura yang baru pulang dari Amarta melaporkan keberhasilan para Pandawa membabat Kandaparasta menjadi negara yang makmur sekaligus datang dengan sukarela membawakan undangan dari keponakan-keponakannya kepada Prabu Dretarastra untuk memenuhi upacara pelantikan Puntadewa menjadi raja Amarta. Diantara hadirin yang berada di pisowanan agung itu, Patih Arya Sengkuni malah nyinyir pada Arya Widura “rayi Widura, dirimu kok mau banget ya diperintah para keponakanmu yang tak mau datang sendiri kesini. Nampaknya mereka sudah kehilangan unggah-ungguh sehingga memerintahkanmu” Arya Widura menimpali “Kakang Sengkuni, jaga bicaramu. Menurutku wajar saja aku menghantarkan undangan itu. Para keponakan kita, para Pandawa juga sangat sibuk menyiapkan sarana dan prasarana untuk hari penobatan. Lagipula aku menghantarkannya dengan sukarela tanpa paksaan.” Prabu Dretarastra merasa senang mendengarnya. Pada awalnya dia ragu akan keberhasilan para Pandawa, akan tetapi setelah mendengar dari Arya Widura, dirinya bangga dan akan segera datang ke Amarta “rayi Widura, panggilkan putramu Sanjaya. Kita akan segera berangkat Amarta.” Tanpa panjang lebar, setelah membubarkan pisowanan, Prabu Dretarastra, Maharani Dewi Gendari, Maharesi Bhisma, Resi Dorna beserta Arya Widura dan Arya Sanjaya, putra sulungnya segera berangkat ke Amarta karena perjalanan dari Hastinapura ke Amarta butuh dua hari perjalanan, sedangkan hari penobatan dilangsungkan empat hari lagi.
Patih Arya Sengkuni yang memutuskan tak ikut ke sana datang ke kesatriyan, menemui para Kurawa. Di sana Prabu Anom Suyudana yang mulai sembuh dari sakit bertanya “Paman Sengkuni! Bagaimana laporan dari paman Widura? Pasti kabar duka tentang para Pandawa yang tewas ketika membabat hutan... atau jangan-jangan para Pandawa mati ketika menyebrangi alam gaib di Kandaparasta....ohh aku tak sabar untuk bisa menaiki takhta ini dengan tenang!” “duhh....anak mas Suyudana,bukan kabar duka seperti itu yang aku dapatkan tapi kabar gembira. Arya Widura melaporkan kalau para Pandawa baik-baik saja bahkan sudah berhasil membabat Kandaparasta, malahan oleh Prabu Matsyapati diberikan tanah hutan Wanamarta yang luas, bahkan kini dua wilayah ini menjadi negara yang makmur. Kini sudah seperempat penduduk kita sudah pindah ke negara baru itu.” seketika setelah mendapat laporan itu, Prabu Anom Suyudana menjadi terkejut dan marah. Lalu Arya Dursasana menyabarkan kakak tertuanya itu “tenang, kangmas Prabu Anom. Kita seharusnya bersyukur karena para Pandawa  sudah pergi dari Hastinapura. Lagipula luas Amarta yang gabungan Kandaparasta dan Wanamarta masih sepertiga dari Hastinapura.” Bukannya berterima kasih, Prabu Anom Suyudana malah membentak adik nomor duanya itu “ Dursasana, kok situ malah membela Pandawa. Mau membuat makar?” Patih Sengkuni berusaha menyabarkan dua keponakannya itu. Kemudian, Patih Sengkuni mendapatkan sebuah ide untuk menggagalkan penobatan itu. “Anak mas Suyudana....hehehe jangan khawatir. Bukan namanya Patih Sengkuni kalau tidak  mempunyai ide-ide. Aku mendapat laporan dari telik sandiku bahwa dahulunya Hutan Wanamarta itu milik seorang raja raksasa dari Keraton Goawindu, Prabu Wisapati dan kebetulan dia kerajaannya tak jauh dari Amarta. Aku akan menghasutnya untuk menggagalkan penobatan itu, keponakanku.” Setelah berkata demikian, Patih Sengkuni mohon pamit pada sang keponkan tercinta dan segera menuju Keraton Goawindu diiringi para Kurawa yang lain.
Tersebutlah di sebuah gua besar menganga lebar namun didalamnya megah, mewah, dan indah bak istana raja di utara hutan Wanamarta. Itulah Keraton Goawindu yang berupa istana ilusi. Di atas singgasana yang terbuat dari batu kristal dan berlian duduklah Prabu Wisapati dan disebelahnya patih Mayasura yang kedatangan Patih Sengkuni. “heii, Patih Sengkuni. apa keperluanmu datang ke keratonku?” patih Sengkuni kemudian berbicara “Mohon ampun, gusti Prabu. Kedatangan hamba hanya memberitahukan bahwa Wanamarta milikmu telah diambil oleh para Pandawa dan kini dijadikan sebuah negara baru sainganmu” Prabu Wisapati seketika memalingkan muka karena tak ada urusan dengan para Pandawa dan berkata bahwa hutan Wanamarta bukan menjadi miliknya lagi. Patih Sengkuni tak hilang akal. Kemudian berkata bahwa dia tahu kalau Prabu Wisapati bersahabat dengan Prabu jin Yudhistira dan mengabarkan saat para Pandawa membangun Amarta dan membabat sebagian Wanamarta, mereka menghabisi Prabu jin Yudhistira bersaudara. Lalu Patih Sengkuni bertanya pada Prabu Wisapati “Apakah gusti prabu tega dan diam saja mengetahui bahwa sahabat gusti dimusnahkan begitu saja oleh Puntadewa bersaudara itu? Berarti gusti Prabu bukan orang yang tahu tentang arti persahabatan!” mendengar kata-kata itu, Prabu Wisapati sangat gusar dan marah lalu memerintahkan Patih Mayasura untuk menggempur Amarta. “Mayasura, segera siapkan pasukan. Kita gempur Amarta sekarang juga. Kita tangkap Puntadewa hidup-hidup dan akan ku eksekusi dengan tangan ku!” “Siap, gusti Prabu.” Patih Sengkuni tersenyum senang melihat kemarahan Prabu Wisapati.
Sementara itu, Kotaraja Indraprastha dan kerajaan Amarta benar-benar menampakkan kemilaunya. Raden Puntadewa kini sedang mempersiapkan penobatan dirinya sebagai raja dan dibantu oleh empat Pandawa dan para Kadang Braja dari Pringgandani. Semenjak hari pengabenan dan pemakaman Prabu Arimba, mereka belum balik ke Pringgandani dan membantu para Pandawa dengan membangun rumah-rumah untuk para penduduk, membangun jalan raya baru, menghias alun-alun kotaraja, serta taman-taman yang ada di kotaraja tanpa pamrih. Mereka juga membantu mengantarkan para penduduk baru yang berpindah dari Hastinapura dan negara-negara sekitarnya yang ingin tinggal di Amarta. Satu-satunya yang tak ada disana hanyalah Raden Permadi, Ki Lurah Semar, Nala Gareng, Petruk dan Bagong. Mereka berlima menyebarkan undangan kepada Maharesi Abiyasa di Saptaharga, Resi Durwasa di Banjarpatoman, Prabu Basudewa di Mandura, Prabu Matsyapati di Wirata, dan Prabu Salya di Mandaraka.
Tiba-tiba datanglah sepasukan raksasa menyerang dan merusak pembangunan di kastil terluar kotaraja. Rupanya itu mereka adalah pasukan dari Keraton Goawindu yang dipimin oleh patih Mayasura dan Prabu Wisapati sendiri. Arya Bratasena dan si kembar, Raden Pinten-Tangsen segera membantu para Kadang Braja. Arya Brajadentha segera memerintahkan adik-adiknya untuk membawa bala bantuan dari Pringgandani. Tak lama, Arya Brajamusthi dengan kekuatan sihirnya menciptakan pasukan ilusi untuk menyerang para raksasa Goawindu. Patih Mayasura tak menyangka bahwa para Pandawa dibantu oleh Pringgandani sehingga banyak pasukan Goawindu yang tewas dan lari menyelamatkan diri. “Gusti Prabu, izinkan saya yang menangkap Puntadewa itu dengan sihirku.” “lakukan lah bila hal itu bisa menekan mereka, adhi patihku.” Patih Mayasura yang juga menguasai sihir bahkan lebih tinggi dari Arya Brajamusthi menyelinap masuk ke keraton Indraprastha dan masuk ke sanggar pemujaan. Dilihatnya Raden Puntadewa yang sedang duduk bersila, bersemadi memohon restu dari Sanghyang Widhi. Tanpa banyak kata lagi, Patih Mayasura mematrapkan ilmu sihirnya kepada Raden Puntadewa. Seketika tubuh Raden Puntadewa berubah menjadi setitik cahaya lalu cahaya itu bergerak keluar dari sanggar yang gelap dan langsung menghilang di balik pintu yang terang benderang. Patih Mayasura berusaha mencari arah hilangnya cahaya itu.
Di tempat lain, tiba-tiba muncul seekor burung di keraton Indraprastha. Burung itu berbulu emas, merah, dan kuning di sayap dan ekornya bagaikan jubah pelindung. Wajah burung itu berwarna hijau bagai zamrud. Dada burung itu ditutupi bulu hitam yang pekat bagaikan arang di malam yang gelap dan paruhnya putih bagaikan gading. Kicauannya merdu sekali. Burung itu terbang berputar-putar di atas keraton Indraprastha lalu turun ke bawah mendekat ke tamansari.
Dewi Drupadi bertemu burung Paksi Dewata
Kebetulan burung itu terbang lalu hinggap di bahu Dewi Drupadi yang sedang bersantai-santai di tamansari. Sang calon maharani Amarta itu nampak senang melihat kedatangan burung itu. Tiba-tiba burung itu bercakap-cakap bagai manusia “Dewi Drupadi, permaisuri Puntadewa,  perkenalkan aku Paksi Dewata.....cuit..cuit...cuit” Dewi Drupadi terkejut melihat burung itu bisa bercakap “Astaga kau bisa bicara. Siapa kau sebenarnya? Apa kau makhluk kiriman orang jahat?” sang burung kemudian berkata “jangan takut, Drupadi. Aku bukan makhluk kiriman orang. Aku burung surgawi dari kahyangan...cuit...cuit. Kedatanganku kemari untuk memberitahukan sesuatu. Suamimu kini diculik oleh raksasa dari Goawindu. Beritahukan ipar-iparmu untuk mencarinya di Goawindu...cuit..cuit...cuit” Dewi Drupadi terkejut mendengarnya lalu mengecek sanggar pemujaan dan mendapati sang suami telah menghilang. Lalu burung yang tadi hinggap di bahunya itu juga ikut menghilang. Rupa-rupanya Patih Mayasura sudah mencuri burung cantik itu dengan aji Panglimunan dan membawanya ke Goawindu. Dewi Drupadi terkejut dan segera keluar keraton untuk memberitahu Arya Bratasena dan si kembar. Merasa kecolongan, Arya Bratasena dan Dewi Arimbi segera berangkat ke Goawindu. Sementara Raden Pinten dan Tangsen segera menyusul Raden Permadi.
Di tengah hutan di lereng Gunung Saptaharga, setelah menghantarkan seluruh undangan, Raden Permadi dan para punakawan bertemu dengan Maharesi Abiyasa. “Salam, Eyang Abiyasa. Kedatangan kami kemari untuk menjemput eyang ke Amarta untuk pelantikan kakang Puntadewa.” Tiba-tiba datanglah Raden Pinten dan Raden Tangsen “ Salam Eyang Abiyasa, Kakang Permadi dan Ki Lurah Semar. Ketiwasan, kakang Permadi. Kakang Puntadewa diculik orang dari Goawindu.....” “dan mengenai keadaan di keraton, saat ini keadaan keraton aman-aman saja. Tapi menurut keterangan kakang mbok Drupadi, kemungkinan si penculik menyelinap ke keraton menggunakan ilmu sihir.” Raden Permadi terkejut mendengarnya lalu dia pun meminta kedua adiknya, Petruk, dan Bagong untuk mengantar sang eyang ke Indraprastha, sementara dirinya, Ki Lurah Semar dan Nala Gareng akan mencari sang kakak. Sebelum pergi, Maharesi Abiyasa memberikan petunjuk “tunggu, Permadi cucuku. Aku akan memberitahu sesuatu. Keraton Goawindu berada di utara hutan Wanamarta. Keraton Goawindu sendiri bukan sembarangan keraton. Keraton ini berupa gua raksasa namun penuh dengan jebakan dan perangkap sihir. Akan banyak ilusi dan fatamorgana yang siap menjebakmu Jadi berhati-hatilah dan gunakan penangkal sihir.” Setelah itu, Raden Permadi segera menuju ke Goawindu dengan Aji Sepiangin diiringi Ki Lurah Semar dan Nala Gareng di belakangnya.
Sementara itu di hutan Jatigraha, Arya Bratasena dan Dewi Arimbi masih mengejar penculik yang membawa Raden Puntadewa. Tiba-tiba, Dewi Arimbi disambar oleh seekor naga raksasa. Dewi Arimbi yang tiada menduga dirinya diserang oleh naga raksasa segera merapal Aji Kawastrawam lalu berubah menjadi raksasi sehingga terjadilah pertarungan antara naga melawan raksasi. Raden Arya Bratasena tertegun dan berusaha melerai pertarungan itu. Lalu tak lama kemudian datang lagi seorang perempuan cantik dan kali ini diiringi seorang pria tampan berwibawa. Arya Bratasena mengenali mereka. Mereka adalah Dewi Urangayu dan sang ayah, Batara Mintuna, sang dewa air tawar. “Kakang Bratasena, Aku telah mendengar bahwa kalian bersaudara telah membangun kerajaan baru bernama Amarta. Jadi kedatanganku dan ayahku kemari ingin menagih janjimu hari itu di tepi bengawan Serayu. Nikahilah aku.” “Urangayu, aku gak pernah lupa janjiku itu, tapi sampai sekarang kakangku Puntadewa belum jadi raja dan kali ini dia ngilang diculik orang. Jadi aku belum bisa memenuhi janji kita. Saat ini istriku sedang berantem dengan seekor naga. Aku minta bantuanmu, tolong lerai mereka.” Dewi Urangayu menyanggupinya. Lalu sang dewi mengheningkan segala ciptanya lalu bertiwikrama berubah menjadi bidadari bersungut udang. Sungut itu melambai-lambai dan tangannya mampu menggerakkan air menciptakan ombak besar. Dewi Urangayu maju lalu mencambukkan sungut udang miliknya dan menggerakkan tangannya. Seketika muncul ombak raksasa dan sungut itu menyetrum naga dan raksasi yang bertarung.
Dewi Urangayu melerai naga dan raksasi yang bertarung
Keduanya langsung berhenti bertarung dan tergulung ombak. Setelah ombak itu sirna, keduanya makhluk itu terbaring lemas di tanah dan berubah wujud kembali menjadi wanita cantik. Sang raksasi kembali menjadi Dewi Arimbi sedangkan sang naga berubah menjadi Dewi Nagagini.
Raden Arya Bratasena terkejut bahwa sang naga yang menyerang Dewi Arimbi adalah Dewi Nagagini. Arya Bratasena dan Dewi Urangayu segera mendatangi Dewi Nagagini dan Dewi Arimbi lalu bertanya “Hei Nagagini, kenapa kau serang Arimbi?” “Kanda, kedatanganku kemari karena telah mendengar bahwa kau dan saudara-saudaramu telah berhasil membangun negeri Amarta dan kehamilanku ini sudah lewat dari sembilan bulan tapi belum lahir. Aku bersemadi dan mendapat wangsit agar anak kita bisa lahir, aku harus bermadu kasih lagi dengan kakanda. Jadi aku menyusul kanda ke Amarta. Tiba-tiba aku melihat kanda jalan dengan wanita lain, jelas-jelas aku cemburu jadi aku menyerangnya dengan wujud naga.” Dewi Arimbi terkejut mendengarnya lalu mohon maaf pada Dewi Nagagini  sembari berlutut dengan sopan“Ampun, kakak. Aku tak tahu kalau sebelumnya kanda Sena sudah menikah denganmu sebelumnya. Kalau saja aku tahu itu sejak awal, aku akan minta izinmu dahulu” Dewi Nagagini pun luluh hatinya dan ganti minta maaf karena telah menyerangnya. Lalu Dewi Nagagini bertanya lagi “kanda, siapa wanita yang tadi melerai kami?” “Ohh, perkenalkan. Saya Urangayu, putri Batara Mintuna. Saya calon istri ketiga kakang Bratasena. Kami dulu bertemu di saat kakang Bratasena dan saudara-saudaranya membangun Bengawan Serayu. Kakang Bratasena berjanji akan menikahi saya setelah kakang Puntadewa menjadi raja.” Dewi Arimbi menggerutu cemburu menyebut sang suami seorang pengobral janji. Dewi Nagagini yang tadinya cemburu menjadi tertawa senang melihat tingkah madu nomor duanya itu. Dewi Nagagini merestui Arya Bratasena menikah lagi. Arya Bratasena senang melihat ketiganya bisa rukun seperti itu.
Tak lama kemudian datanglah Raden Permadi, Ki lurah Semar dan Nala Gareng. “kakang Sena, aku sudah tahu kalau kakang Puntadewa diculik seseorang ke Goawindu. Adhi Pinten dan Tangsen yang memberitahukan ku. Mari ikutlah aku. Keraton Goawindu tak jauh dari sini. “ “Ayo, Jlamprong. Ki Lurah Semar, aku mau minta tolong padamu antarkanlah istri-istriku kembali ke Amarta. Biar aku dan Jlamprong saja yang ke Goawindu.” “Blegedang, blegedug... baik, ndoro Bima Bratasena. Gareng, mari kita kembali ke Amarta” Demikianlah, Ki lurah Semar dan Nala Gareng mengantarkan istri-istri Arya Bratasena dan batara Mintuna ke negara Amarta sementara Arya Bratasena dan Raden Permadi bergerak menuju Keraton Goawindu. Mereka mulai menelusuri seluruh hutan Kamiyaka dan Wanamarta. Setelah pencarian yang cukup lama, akhirnya mereka menemukan Keraton Goawindu. Dari luarnya hanya terlihat sebagai gua raksasa yang menyeramkan namun ketika memasukinya gua itu berubah menjadi istana megah.  Ketika Arya Bratasena menginjak jalan batu bata emas didepannya, seketika jalan itu berubah menjadi kolam air. Dengan sigap, Arya Bratasena melompat dan tak tercebur. Lalu Raden Permadi melihat dan berusaha memegang pepohonan dan bunga-bunga cantik namun dia salah, yang dia pegang adalah tombol jebakan lubang dan dia terjatuh ke dalamnya. Untungnya dengan Aji Sepiangin, dia bisa keluar dari lubang itu. Lalu mereka melihat jurang yang menganga di tengah jalan dengan api yang menyala-nyala. Teringat pesan sang eyang, Raden Permadi segera mengoleskan Lisah Jayengkaton ke kelopak matanya dan kelopak mata kakaknya, Arya Bratasena. Seketika, mereka mampu melihat segala jebakan sihir yang ada. Jalanan batu bata emas kini tampak aslinya, yaitu kolam air. Bunga-bunga yang indah yang tertata rapi ternyata adalah tombol jebakan dan jalanan mulus diantara mereka adalah lubang besar. Sementara jalan yang asli adalah jurang api yang menyala-nyala. Begitupun jebakan-jebakan lainnya, kini telah nampak aslinya. Setelah melewati semuanya, mereka segera mencari tempat dimana kakak mereka dikurung.
Akhirnya mereka sampai di balairung istana. Disana nampak Prabu Wisapati, Patih Mayasura dan burung Paksi Dewata yang sedang dikurung didalam kerangkeng. Kedua raksasa ini terkejut karena mereka telah berhasil melewati semua jebakan dan perangkap sihir. Terjadilah pertarungan diantara mereka. Arya Bratasena bertarung gada dengan Prabu Wisapati, sedangkan Raden Permadi dengan bersenjatakan Oyod Bayura melawan ilmu sihir dan ilusi yang diciptakan Patih Mayasura. Di dalam kerangkeng, burung Paksi Dewata terbang berputar-putar dan seketika muncul sebuah kitab melayang-layang di luar kerangkeng itu. Lalu kitab itu melayang dan menghantam kepala Prabu Wisapati dan Patih Mayasura. Seketika mereka limbung lalu pingsan namun karena tersenggol, Oyod Bayura yang dipegang Raden Permadi ikut terlempar, masuk kedalam celah kerangkeng dan mengenai tubuh burung Paksi Dewata. Lalu terjadilah sebuah keajaiban. Muncul seberkas cahaya terang dan asap putih menyelimuti burung Paksi Dewata. Tak berapa lama kemudian, tubuh burung Paksi Dewata berubah kembali menjadi Puntadewa. Bersamaan dengan itu, akibat terkena kitab sakti itu, tubuh Prabu Wisapati juga berubah, telah kembali ke wujud aslinya, yaitu seorang dewa bernama Batara Wiswakarma, dewanya ahli bangunan, arsiteknya para dewa. Kitab yang ternyata kitab Jamus Kalimahusada itu melayang lagi kembali ke tangan Puntadewa. Begitupun Oyod Bayura, telah kembali ke tangan Permadi.
Lalu datang Batara Dharma, ayah angkat Puntadewa membukakan pintu kerangkeng dengan kesaktiannya. Seketika mereka langsung menyembah kecuali Bratasena yang tak pernah terbiasa menyembah, hanya memberikan salam. Batara Dharma kemudian membawa sang putra angkat ke alam sunyaruri dan memberikan wejangan pada sang putra angkat “Anakku, Puntadewa. Kini kau telah teruji sebagai raja yang adil dan bijak. Ada beberapa petuah yang mungkin sering kau dengar dari ibumu tapi tetap aku akan kuberikan agar selalu diingat olehmu dan selalu ada dalam tindak-tandukmu, Dharmaputra. Pertama, sembahlah Sanghyang Widhi, Tuhan yang Maha Esa lagi Maha Kuasa dan jangan pernah menduakan-Nya. Kedua, hormati orang tuamu, guru-gurumu, dan mertuamu. Ketiga, berlaku lah ‘Sepi ing pamrih, rame ing gawe’ pada siapa saja utamanya pada yang membutuhkan. Keempat, jagalah amanah khususnya amanah dari kawula alit dan tanamkanlah kejujuran dalam hidupmu, anakku. Terakhir yang kelima, tebarkanlah cinta dan kasih pada siapa saja bahkan pada orang yang telah menyakitimu.”
Wejangan wahyu Dharma di alam sunyaruri
Seketika setelah memberikan wejangannya, Batara Dharma menghilang dan Puntadewa kembali ke alam nyata. . Begitu membuka matanya, Puntadewa terkejut melihat dirinya dan adik-adiknya telah berada di depan kotaraja Indraprastha. Batara Wiswakarma telah memindahkan mereka kembali ke Kerajaan Amarta dengan Aji Kemayan. Kemudian Batara Wiswakarma mendekati Puntadewa “Terima kasih, Puntadewa. Tuanku telah membebaskan saya dari kutukan yang memalukan ini. Dahulu kala sewaktu pertarungan diantara para dewa dan asura, aku tanpa sengaja mendukung para asura dengan membangun Benteng Tripura lalu bangsa asura kalah, saya ikut tertangkap dan Batara Guru menghukumku dengan kutukan yang membuatku berubah wujud menjadi raksasa. Batara Guru berpesan bahwa yang akan membebaskan saya dari kutukan adalah seorang ksatria sulung berdarah putih dari lima bersaudara, putra angkat Batara Dharma. Kini saya sudah terlepas dari kutukan, sebagai tanda terima kasih, saya akan menawarkan sebuah hadiah pada tuanku.” Puntadewa menolak karena dia menolong tanpa mengharap hadiah atau apapun jua dan mempersilahkan Batara Wiswakarma kembali ke kahyangan. Namun, karena terus didesak sang dewa arsitek itu, Puntadewa akhirnya meluluskan keinginan Batara Wiswakarma “Baiklah, pukulun. Saya meminta agar keempat adik saya dibuatkan puri masing-masing disamping Keraton Indraprastha.” “baiklah, Tuanku Puntadewa. Dengan senang hati saya bisa membuatkannya tak lama lagi.”
Sementara itu Patih Mayasura meminta untuk dibebaskan oleh Raden Permadi. Raden Permadi boleh membebaskannya asal ada syaratnya. “Baiklah, Mayasura. Aku akan membebaskanmu tapi dengan satu syarat. Aku meminta agar keraton Indraprastha dan seluruh sudut kerajaan Amarta diberi hiasan-hiasan ilusi dan sihir. Aku ingin kolam air yang ada di keraton terlihat bagaikan permadani yang menghampar dan balairung yang ada di keraton bisa menampung ribuan orang dengan sendirinya.” Patih Mayasura langsung menyanggupi permintaan Permadi “Jlamprong, Jlamprong. Permintaanmu itu aneh..duhh” Arya Bratasena hanya menggerutu gemas mendengar permintaan adiknya. Demikianlah, Patih Mayasura menambahkan segala hiasan-hiasan sihir dan ilusi, serta membuatkan sebuah balairung dan taman besar di dalam keraton yang mampu menampung ribuan orang dan dapat melebar dengan sendirinya tanpa merusak ataupun merombak bangunan keraton. Hiasan-hiasan sihir berupa ilusi mata dan fatamorgana dipasang di tiap sudut kotaraja Indraprastha. Sementara Batara Wiswakarma dengan kekuatan dewatanya dibantu pasukan gandarwa dan bidadara dari kahyangan mampu menciptakan keempat puri yang megah di sekeliling kotaraja Indraprastha dalam waktu singkat. Keempat puri itu dipersembahkan kepada Raden Puntadewa. Puri untuk Bratasena yang terletak di utara berdekatan dengan negara Pringgandani dinamainya Jodhipati atau Munggulpawenang, puri untuk Permadi terletak di ujung timur dekat bengawan Yamuna dinamai Madukara, puri untuk Pinten di sebelah selatan kotaraja dinamai Sawojajar sedangkan untuk Tangsen berada di barat kotaraja dinamai Baweratalun. Para Pandawa yang ada disitu terkagum-kagum melihat hasil karya Batara Wiswakarma dan Patih Mayasura. Setelah semua selesai, Batara Wiswakarma dan Patih Mayasura kembali ke kahyangan, bersatu dengan para dewa.
Beberapa hari kemudian, hari penobatan tiba. Tamu dari berbagai negara berdatangan, antara lain, Prabu Dretarastra dan Maharani Dewi Gendari dari Hastinapura, Prabu Basudewa dari Mandura, Prabu Matsyapati dari Wirata, Prabu Salya dari Mandaraka, Prabu Drupada dari Pancalaradya, dan Prabu Kresna dari Dwarawati. Hadir pula Arya Widura dan putranya, Arya Sanjaya dari Panggombakan, Adipati Adiratha dari Awangga, Resi Dorna, Resi Durwasa, Mpu Krepa, Maharesi Bhisma dan Maharesi Abiyasa. Hari itu Raden Puntadewa dinobatkan sebagai raja Amarta yang merdeka, bukan lagi dibawah Kerajaan Hastinapura. setelah prosesi penobatan selesai, Puntadewa mengumumkan sesuatu “Hari ini saya Puntadewa mengganti nama panggilan saya menjadi Yudhistira.” Sorak sorai membahana. Sejak itu pula Puntadewa menggunakan nama gelarnya pemberian raja jin Kerajaan Mertani, yaitu Prabu Puntadewa Yudhistira diikuti Raden Pinten dan Tangsen yang juga sejak saat itu memakai nama pemberian ayah mereka, Raden Nakula dan Raden Sadewa. Prabu Matsyapati mempersilahkan Prabu Yudhistira untuk memakai mahkota seperti halnya raja pada umumnya, namun Prabu Yudhistira menolak dan berkata dengan santun “ Mohon ampun, eyang prabu Matsya dan para hadirin. Saya lebih berkenan memakai jamang dan tetap bergelung rambut saja. Saya teringat ketika kecil, kanjeng ibu Kunthi dan Madrim selalu menggelung rambut saya, beliau berdua memberikan wejangan untuk selalu menjadi manusia utama. Begitu pula ketika romo Batara Dharma menyelamatkan saya dan memberikan wejangan itu di alam sunyaruri. Gelung ini adalah simbol dari Wahyu Dharma dari beliau-beliau.” Dewi Kunthi terharu mendengar penuturan putranya itu. Dirinya berharap dalam lubuk hatinya seandainya putra sulungnya, Raden Suryaputra alias Karna Basusena ikut hadir disini, pasti semakin bahagialah hatinya. Begitupun hadirin yang ada disitu ikut terharu. Bahkan Dewi Gendari yang selama ini begitu membenci para Pandawa hatinya luluh dan mulai membuka hatinya untuk berhenti membenci para Pandawa.
Puntadewa kini sudah dinobatkan sebagai raja Amarta bergelar Prabu Yudhistira, kini Arya Bratasena segera menuntaskan janjinya untuk menikahi Dewi Urangayu. Esok harinya pernikahan Arya Bratasena dengan Dewi Urangayu digelar. Pesta berlangsung sangat meriah. Keesokan paginya, Arya Bratasena beserta ketiga istrinya meminta izin untuk pergi berbulan madu sekaligus mengantar Dewi Urangayu ke Kisiknarmada karena dia ingin kelak anak mereka lahir di tanah kelahirannya. Prabu Yudhistira pun mengizinkan adiknya itu. Sebelumnya, Arya Bratasena kembali memadu kasih dengan Dewi Nagagini. Dengan kesaktian masing-masing, mereka akhirnya tiba di muara Bengawan Serayu. Mereka membangun pondok asmara disana. Dewi Arimbi dan Dewi Nagagini duduk di pinggir pantai menikmati semilir angin laut, sedangkan Arya Bratasena dan Dewi Urangayu berada didalam pondok asmara, tidur beralaskan pasir pantai. Tanpa sadar, Arya Bratasena berjinabah dengan Dewi Urangayu di pantai itu. Benih kama telah bertemu, manjing dalam gua garba sang bidadari putri Batara Mintuna itu.
Sisa cipratan kama benih Arya Bratasena jatuh ke pasir pantai dan tanpa sadar diminum oleh seekor kepiting betina. Seketika kepiting itu berubah wujud menjadi seorang wanita cantik. Arya Bratasena dan Dewi Urangayu terbangun terkejut melihat ada kepiting berubah menjadi wanita cantik. Dewi Wanita itu memperkenalkan diri “mohon ampun, tuanku berdua. Hamba bukan bermaksud lancang. Hamba Dewi Rekathawati, putra sang Batara Rekathatama. Hamba menjalani kutukan menjadi seekor kepiting dan hamba baru terbebas dari kutukan bila meminum air kama seorang ksatria tinggi besar bernama Bratasena. Sebagai konsekuensi dari sirnanya kutukan itu, hamba akan mengandung benih tuanku. Maka sebelum itu, maukah tuanku Bratasena menikahi hamba?” antara Bratasena dan Dewi Rekatahwati memang bersemi benih-benih cinta pada pandangan pertama, namun Arya Bratasena harus bertanya dulu pada ketiga istrinya. Tanpa diminta, Dewi Urangayu yang ada disebelahnya setuju bila Arya Bratasena menikah lagi “kanda, aku tak keberatan bila kau menikah lagi. Aku justru semakin senang dan mulai hari ini, Dinda Rekathawati boleh tinggal bersamaku di Kisiknarmada bersamaku. Kau dan aku adalah saudari sekarang” Lalu Arya Bratasena memanggil Dewi Nagagini dan Dewi Arimbi ke dalam pondok dan menjelaskan tentang Dewi Rekathawati. Setelah mengetahui duduk permasalahannya, Dewi Nagagini dan Dewi Arimbi mengerti dan setuju bila suami mereka mengambil istri lagi. Keesokan harinya pernikahan kembali digelar tapi dengan sederhana saja. Para resi dan penduduk sekitar muara Bengawan Serayu yang menjadi saksi atas pernikahan itu. Setelah dirasa bulan madu mereka selesai, Dewi Urangayu mengajak Dewi Rekathawati kembali ke kahyangan Kisiknarmada. Sementara Arya Bratasena dan Dewi Arimbi segera mengantar Dewi Nagagini ke Saptapertala karena sudah mau melahirkan. Saat itu, sebelum meninggalkan kahyangan Saptapertala, Arya Bratasena berpesan “Nagagini, istriku, jika anak kita lahir nanti laki-laki, namai dia Antareja.”setelah mohon diri, Arya Bratasena dan Dewi Arimbi kembali Ke Kerajaan Amarta karena banyak tugas yang harus segera ditunaikan.


Senin, 03 Juni 2019

Babad Negara Amarta


Holla guys, kali ini saya akan menceritakan tentang pembagian negara Hastinapura diantara Pandawa dan Kurawa. Dalam versi India, para Pandava memilih kota Kandavaprastha yang gersang dan mengubahnya menjadi kota yang makmur lalu namanya diganti menjadi Indraprastha. Sedangkan dalam versi Jawa, Pandawa mendapatkan hutan Wanamarta dan mendirikan negara baru bernama Amarta disana. Di sini saya berusaha menggabungkan kedua versi tersebut. Disini juga dikisahkan bagaimana pertemuan dan pernikahan Bratasena dengan Dewi Arimbi, yang kelak akan melahirkan seorang ksatria yang gagah berotot kawat tulang besi, Gatotkaca. Disini saya memekai sumber Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa, Kitab Pustakaraja Purwa, karya Raden Ngabehi Ronggowarsito, serial kolosal Indonesia Karmapala karya Imam Tantowi dan serial kolosal India Mahabaharat Starplus.
Pada suatu hari, Prabu Dretarastra sedang bersidang dihadap Maharesi Bhisma, Arya Widura, Patih Arya Sengkuni, Resi Dorna dan, Mpu Krepa. Mereka membicarakan tentang perselisihan Pandawa dan Kurawa yang tak pernah mencapai titik terang. Terakhir saat sayembara membuat sungai, para Pandawa dinyatakan menang oleh Resi Dorna dan para Kurawa semakin tak terima. Keputusan Resi Dorna juga membuat anak kesayangan sang Prabu Dretarastra, Prabu Anom Suyudana menjadi sakit dan tak mau makan obat. Maharesi Bhisma merasa tak ada jalan lain kemudian berkata “Anak Prabu. Aku sendiri sudah bosan, sudah jemu sekali dengan perselisihan cucu-cucuku itu. Aku sudah lama mendengar tentang ramalan bahwa negeri kita tercinta ini akan hancur oleh Mahapralaya Bharatayudha dari rayi Abiyasa. Aku tak ingin itu terjadi. Kalau demi kepentingan bersama dan tidak ada pilihan lain, dengan sangat terpaksa aku rela kalau negeri Hastinapura ini kita sigar semangka, kita bagi dua.” Arya Widura merasa sayang bila negara di pisah namun karena sudah menjadi ketentuan sang paman, dia tak bisa lagi menolak. “lalu untuk wilayahnya, wilayah mana yang akan kita serahkan pada para Pandawa?” tanya Arya Widura. Patih Arya Sengkuni kemudian berkata “ Aku punya usulan bagaimana kalau kita akan memberikan kepada Puntadewa dan saudara-saudaranya wilayah Kandaparasta disebelah timur bengawan Gangga?” Arya Widura jelas saja tak terima bila para pandawa diberikan wilayah itu “Aku tak setuju. Kandaparasta adalah wilayah gersang dan lagi tempat itu sudah lama tidak ditempati manusia malah menjadi tempat angker yang menjadi kerajaan hantu. Lagi pula luas wilayah Kandaparasta kurang dari seperempatnya Hastinapura.” Patih Arya Sengkuni kemudian menjawab “kalau rayi Widura tak terima, tak mengapa. Yang menentukan pilhan kan Puntadewa bukan rayi Widura juga.” Prabu Dretarastra kemudian melerai dan memerintahkan Arya Widura untuk merundingkan hal ini dengan para Pandawa.
Di wisma tamu Kadilengleng, Para Pandawa, Dewi Kunthi, Dewi Drupadi, dan Ki Lurah Semar kedatangan Arya Widura. Tanpa membuang waktu, Arya Widura menyampaikan hasil sidang dan diputuskan bahwa untuk menghindari konflik, Kerajaan Hastinapura akan di bagi menjadi dua dan pihak Pandawa boleh memilih antara Kerajaan Hastinapura beserta kotaraja atau wilayah Kandaparasta yang tandus dan angker. Setelah berpikir matang-matang, Puntadewa memilih wilayah Kandaparasta. Arya Bratasena kecewa dengan pilihan kakaknya itu “ Haduh, kakang Puntadewa. Kok malah milih Kandaparasta. Mereka para Kurawa pasti kegirangan. Kakang tahukan kalau Kandaparasta itu wilayah angker. Banyak hantu dan jinnya. Lagipula luasnya kurang dari seperempatnya Hastinapura. Ini jelas tak adil. Izinkan aku matur minta keadilan pada Uwa Prabu” sebelum Bratasena berangkat, Raden Puntadewa balik menasihati adiknya itu “Adhi Bratasena, dengarkan aku. Aku sudah memikirkan ini dengan masak-masak. Kita kembali kesini tidak untuk menciptakan perang saudara tapi menghindarkan perang saudara. Mungkin bukan hanya aku, eyang Bhisma dan uwa Prabu tidak mau ramalan eyang Abiyasa tentang perang akbar Bharatayudha menjadi kenyataan. Lagipula kita cuma berlima ditambah ibu. Menurutku itu sudah lebih dari cukup. Ingat, adhi Bratasena, yang dikatakan adil itu tidak harus sama rata sama rasa. Adil itu sesuai dengan kebutuhan dan takarannya. Tak adil rasanya bila beban yang ditanggung anak muda diberikan pada seorang kakek tua. Jadi tak adil rasanya bila seratus orang diberikan wilayah hanya seperempat dari wilayah aslinya.” Arya Bratasena tak lagi membantah dan balik mendukung kakaknya itu. Kemudian Raden Puntadewa bertanya tentang pendapat adik-adiknya yang lain. Raden Permadi menjawab “awalnya aku sendiri tak setuju. Tapi bila itu sudah menjadi keputusan kakang, aku akan mendukung keputusan kakang Puntadewa. Ini juga demi Hastinapura, demi terciptanya perdamaian.” Sementara itu Raden Pinten dan  Raden Tangsen menjawab “aku dan adhi Tangsen sejak kecil sudah menganggap kakang Puntadewa sebagai pengganti ayahanda Pandu....” “apapun yang kakang Puntadewa telah putuskan, aku dan kakang Pinten siap mematuhi dan melaksanakannya.” Kemudian Raden Puntadewa meminta pertimbangan pada sang ibu, Dewi Kunthi dan Ki lurah Semar. Dewi Kunthi berkata ”apapun yang telah kau anggap baik, ibu hanya bisa merestui, anakku. Semoga Sanghyang Widhi merestui dan melindungi kalian” Ki Lurah Semar mendukung apa yang dikatakan Dewi Kunthi “dul mblegedag mblegedug sadulito, aku hanya seorang pemomong dan kawan ndoro sekalian. Aku sih hanya ikut saja selama hal itu benar untuk dilakukan. Sama seperti kanjeng ratu Kunthi, Aku selalu mendukung ndoro bila itu benar.“
Karena sudah diputuskan, setelah memohon izin pada uwa Prabu Dretarastra dan menerima serah terima, mereka segera berangkat ke Kandaparasta, meninggalkan segala kemewahan keraton dan teduhnya alam pertapaan. Sebelum sampai disana, mereka bertemu Prabu Matsyapati dari Wirata yang sedang sidak di perbatasan. Dia telah mendengar bahwa Pandawa dan Dewi Kunthi telah selamat dari Bale Sigala-gala dan bersyukur sekali”aduh, cucu-cucuku Pandawa. Syukurlah kalian telah selamat dari kebakaran Bale Sigala-gala. Ngomong-ngomong, kalian hendak pergi kemana?” Raden Puntadewa menjelaskan bahwa mereka hendak ke Kandaparasta untuk mendirikan kerajaan baru disana. Prabu Matsyapati merasa kurang adil saja bila para Pandawa hanya mendapat Kandaparasta maka dia menghadiahkan hutan Wanamarta, sebuah hutan tak bertuan yang sangat luas bersebelahan dengan Kandaparasta kepada mereka. Raden Puntadewa merasa tidak enak hati pada Prabu Matsyapati namun sang Prabu meyakinkan bahwa hadiah ini sebagai bentuk persahabatan.
Akhirnya Raden Puntadewa menerima wilayah hutan itu. Setelah mereka melanjutkan perjalanan yang sangat melelahkan, melewati gunung menuruni lembah, akhirnya merka sampai di gerbang kota Kandaparasta.
Kandaparasta yang telah hancur menyatu dengan Wanamarta
Walaupun disebut kota, tempat itu nampak seperti kota mati. Ditinggalkan, gersang, dan telah bersatu dengan hutan Wanamarta di sebelahnya. Bangunan keraton yang ada disitu nampak sudah menjadi reruntuhan dan ditumbuhi berbagai pepohonan hutan dan tumbuhan liar bahkan sebagian besar bangunan keraton sudah bersatu dengan hutan Wanamarta. Sementara bangunan-bangunan lain disekitarnya sudah hancur dan tak bersisa satupun. Tak ada sumber air yang bisa diminum di daerah itu. Tanah di kota itu amat keras, tandus, dan berbatu kasar. Susah untuk ditanami ataupun untuk bertani. Aura negatif di tempat itu begitu terasa,  membuat siapapun tak betah berlama-lama. Raden Puntadewa bertanya pada sang istri, Dewi Drupadi “Dinda, daerah ini sangat wingit dan berbahaya. Aku tak mau bila dinda sampai celaka. Apa kau bersedia untuk pulang sejenak ke Pancalaradya selama aku dan saudara-saudaraku masih membangun tempat ini?” Dewi Drupadi kemudian berkata “Kanda, jangankan memasuki Kandaparasta dan Wanamarta yang angker, ke dasar neraka pun aku ikut asalkan aku bisa tetap melayanimu, kanda. Jangan khawatirkan aku. Aku sudah siap laku prihatin asal tetap bersamamu. Biarkan aku menjaga persediaan makanan kita dan menemani ibu selagi kanda dan adik-adik membabat hutan” Raden Puntadewa berterima kasih kepada sang istri yang telah setia bersama dalam susah dan senang bahkan siap meninggalkan segala kemewahan. Sementara Raden Puntadewa, Raden Pinten, dan Tangsen membangun kemah, Arya Bratasena dan Raden Permadi mulai membabat pepohonan yang ada di Kandaparasta dan Wanamarta. Dengan Kuku Pancanaka miliknya, Arya Bratasena membabat segala pepohonan, semak belukar, dan sulur-sulur yang mengganggu. Di sisi lain, di belakang reruntuhan keraton Kandaparasta yang tertutup hutan Wanamarta, tersebutlah kerajaan jin bernama Mertani yang dipimpin oleh Prabu jin Yudhistira. Prabu jin Yudhistira dihadap oleh ke empat saudaranya, Jin Arya Dandunwacana, Arya Dananjaya, Arya Damagranti, dan Arya Tantripala. Sang raja jin merasa terusik karena ada laporan dari kawanan makhluk halus yang datang mengatakan bahwa hutan tempat tinggal mereka dibabat oleh lima orang manusia. Arya Dandunwacana segera berangkat membereskan manusia-manusia itu.
Di tempat lain, Raden Permadi yang juga sedang membabat sebagian hutan Wanamarta kedatangan dua makhluk halus yang kebetulan mau menampakkan diri kepadanya, yaitu Resi Wilawuk yang berwujud jin naga raksasa dan Gandarwa Anggaraparna. Resi Wilawuk datang bersama sang putri, Dewi Jimambang yang kecantikannya bagai putri keraton. Resi Wilawuk membawa Raden Permadi ke rumahnya, di Pertapaan Pringcendani. Raden Permadi kemudian berguru kepada Resi Wilawuk. Dalam waktu singkat, Raden Permadi dapat menguasai ajian Pedut Wisa. Sedangkan Gandarwa Anggaraparna mengajarkan cara-cara menghadapi makhluk tak kasat mata . Resi Wilawuk kemudian mengatakan alasannya mengajarkan ilmu itu “Anakku, Permadi. Sebenarnya kedatanganku dan Anggaraparna melatihmu untuk memenuhi wangsit dewata. Menurut wangsit itu, kelak akan ada salah seorang ksatria tampan yang akan mengubah nasib Kandaparasta dan Wanamarta menjadi lebih baik dan orang itu lah yang akan menjadi jodoh putriku.” Sejak lama, Permadi yang melihat putri Resi Wilawuk seperti ada rasa cinta bergejolak, begitupun sebaliknya, sang putri juga sering salah tingkah ketika melihat Raden Permadi. Kemudian Resi Wilawuk menikahkan mereka. Tak terasa satu bulan telah berlalu, hamillah sang istri. Permadi tak bisa mengajak sang istri pertama ke Wanamarta namun dirinya berwasiat “istriku, tolong jagalah anak kita. Kalau yang lahir laki-laki, berilah dia nama Gandawardaya.” Singkat cerita, Raden Permadi segera kembali ke Kandaparasta. Sebelum berangkat, Resi Wilawuk memberikannya cupu berisi minyak ajaib, yaitu Lisah Jayengkaton. Resi Wilawuk berkata bahwa bila minyak itu dibalurkan ke kelopak mata, maka mata itu akan mampu melihat alam niskala beserta penghuninya yang tak kasat mata. Sementara Gandarwa Anggaraparna memberikannya akar sakti bernama Oyod Bayura “Permadi, bawalah Oyod Bayura ini. Bila kau pukul akar ini, maka segala bentuk jebakan gaib, sihir, teluh, dan guna-guna akan runtuh dan terlihat kasat mata”
Disisi lain hutan Wanamarta, tersebutlah seorang raksasi yang sedang melakukan tapa rame. Namanya Dewi Arimbi. Walaupun wujudnya raksasi berwajah menakutkan, namun hatinya sangat baik dan tulus. Perangainya begitu sopan dan dewasa bak putri keraton. Sudah banyak orang yang ditolongnya, banyak yang berterima kasih padanya namun tak sedikit pula yang lari karena melihat wajahnya. Ketika sedang berjalan mencari air, dia tersasar ke wilayah Kandaparasta. disana dia melihat seorang pria yang tinggi besar sedang kesakitan karena diserang makhluk tak kasat mata. “Raden tidak apa-apa? marilah ikut saya. Saya akan obati luka-luka raden.” Ketika sang pria itu menoleh dan dilihatnya adalah seorang raksasi, dirinya langsung menampiknya dan memandang jijik padanya “Hei raksasi apa mau mu? Apa kau ingin menjebakku? Aku tak sudi ditolong olehmu dan jangan harap kau akan mendapatkan aku” kemudian sang pria itu lari meninggalkannya. Dewi Arimbi yang melihat sang pemuda gagah itu tersinggung dan langsung mengejarnya.
Dewi Arimbi kemudian bertemu Dewi Kunthi dan Dewi Drupadi yang kebetulan sedang berkeliling hutan dan bertanya dengan sopan “Permisi, saya mau bertanya. Apakah bibi dan kakak pernah melihat seorang pemuda tinggi besar yang lewat sini?” Dewi Kunthi terkesan ada seorang raksasi namun memiliki sopan santun dan subasita. “ohh, pemuda tinggi besar yang kamu cari itu putraku yang nomor dua. Namanya Bima tapi lebih sering dipanggil Bratasena. Namaku Kunthi dan dia Drupadi, menantuku. Kami datang dari Hastinapura. Saya istri pertama mendiang kanda Pandu Dewanata.” Begitu nama Pandu Dewanata disebut, Dewi Arimbi menyembah hormat pada Dewi Kunthi “aduh ampun, bibi prameswari. Saya tidak tahu kalau anda istri paman Prabu Pandu. Perkenalkan nama saya Arimbi, putri kedua ayahanda Prabu Tremboko, raja Pringgandani.” Dewi Kunthi kemudian memeluk Dewi Arimbi bagai anak sendiri. Dewi Arimbi kemudan bercerita pada Dewi Kunthi tentang nasibnya dan kerajaannya“sejak merenggangnya hubungan Hastinapura dan Pringgandani puluhan tahun lalu, kerajaan menjadi terkucilkan dari pergaulan. Terlebih lagi kakang saya, Prabu Arimba. Sejak kematian ayahanda dan menjadi raja, dia sangat membenci orang Hastinapura,terutama paman Pandu yang dianggapnya telah mengadu domba negara. Sekarang saya melakukan tapa rame agar dosa-dosa ayahanda dan paman Pandu menjadi lunas. Saat saya kesasar kesini, kebetulan putra bibi minta bantuan tapi dia malah langsung lari. Saya ingin tau apa alasannya berbuat demikian. Saya hanya ingin menolong”
Dewi Arimbi berubah menjadi gadis cantik 
Dewi Kunthi sangat bangga sekaligus prihatin kepada Dewi Arimbi seraya berkata “Duhh, cantiknya jiwamu itu. Semoga kecantikanmu yang dari dalam itu memancar keluar.” Tak lama, Tiba-tiba muncul sebuah keajaiban. Sanghyang Widhi menurunkan karomah kepada salah satu hamba-Nya. Muncul seberkas cahya dan kabut menyelimuti seluruh tubuh Dewi Arimbi. Setelah cahya itu pudar, wujud Dewi Arimbi berubah, dari seorang raksasi berwajah mengerikan menjadi gadis cantik rupawan. Wajahnya bercahaya bak bulan purnama. Kecantikannya sebanding dengan kecantikan bidadari kahyangan.
Tak berapa lama, Arya Bratasena datang dan bercerita bahwa dia dikejar seorang raksasi. Dewi Kunthi berkata bahwa raksasi itu ada dihadapannya sekarang. Arya Bratasena tak percaya bahwa gadis cantik yang ada dihadapannya itu raksasi yang mengejarnya “raden, ini aku, raksasi yang mengejarmu tadi.” Dewi Kunthi kemudian menjelaskan “Anakku, inilah raksasi yang mengejarmu. Namanya Dewi Arimbi, putri dari Pringgandani. Dia putri dari Prabu Tremboko. Sebuah keajaiban telah terjadi padanya sehingga wujudnya berubah menjadi cantik.” Begitu memandang, Tiba-tiba muncul getaran di hati Bratasena. Begitupun Dewi Arimbi. Cinta bersemi didalam hati mereka berdua.
Tak lama kemudian datanglah Raden Permadi, Raden Puntadewa, Raden Pinten, dan Raden Tangsen. Mereka melihat seberkas cahaya dan mendatanginya. Belum sempat Dewi Kunthi menjelaskan, tiba-tiba para Pandawa diserang oleh sesuatu yang tak kasat mata. Sebelum mereka semakin parah, Raden Permadi segera membalurkan Lisah Jayengkaton pemberian mertuanya ke kelopak matanya dan saudara-saudaranya. Setelah dibalurkan, mereka melihat makhluk niskala berwajah mirip mereka. Mereka adalah Prabu Jin Yudhistira, jin Arya Dandunwacana, jin Arya Dananjaya, jin Arya Damagranti,dan jin Arya Tantripala. Di belakang mereka terlihat sebuah istana yang sangat megah. Mereka baru menyadari bahwa Kandaparasta dan Wanamarta adalah kerajaan hantu dan jin yang sangat besar. Karena sudah kepalang basah, mereka saling menyerang satu sama lain. Permadi menyerang mereka dengan Oyod Bayura sehingga mereka menjadi kesakitan. Lalu muncullah Batara Indra, ayah angkat Permadi. Batara Indra menolong lima jin itu “Anakku, Permadi. Apa yang kau lakukan? Para jin ini berada dibawah lindunganku.” “Mohon ampun, Romo Pukulun. Aku akan membakar hutan ini untuk dijadikan negara baru. Siapa yang menghalangiku akan aku tak segan melawan sekuat tenaga” Permadi mulai merentangkan busur Gandiwa dan mengeluarkan panah Agneyastra. Seketika begitu panah melesat, Kandaparasta dan hutan Wanamarta terbakar. Batara Indra segera menembakkan panah Tirta Sakethi ke arah awan. Seketika turunlah hujan deras. Padamlah sebagian api itu. Permadi kembali menembakkan panah Agneyastra dan berubahlah menjadi payung api yang menguapkan seluruh hujan yang diciptakan Batara Indra.
Karena sudah tak mampu bersabar lagi, Batara Indra mengeluarkan tombak Bajra miliknya. Tak ingin kalah, Raden Permadi segera merentangkan busur Gandiwa dan merapal ajian panah Sirsha.
Prabu Kresna melerai Batara Indra dan Raden Permadi
Seketika, alam bergejolak. Bumi gonjang-ganjing, langit kolap-kalip. Badai dan topan menyapu sebagian hutan Kandaparasta dan Wanamarta. Halilintar yang dikeluarkan Bajra dan Panah Sirsha saling beradu menciptakan badai api yang mengerikan. Di saat yang sedemikian gentingnya, datanglah seorang raja berkulit gelap. Mahkotanya indah dengan jamang emas berhiaskan sebuah bulu merak. Dialah Prabu Kresna. Prabu Kresna mengeluarkan senjata andalannya, Cakra Widaksana. Cakra Widaksana mulai berputar menyerap halilintar dan badai api. Prabu Kresna kemudian berkata”Hentikan, pukulun Batara. Perbuatan pukulun akan menghancurkan dunia. Aku datang kemari untuk mencegah kehancuran akibat perbuatan kalian. Tariklah senjata kalian.” Begitu mereka menarik senjata masing-masing, badai api menghilang. Prabu jin Yudhistira menampakkan diri lalu berkata pada Prabu Kresna bahwa mereka melawan para Pandawa untuk memastikan saja bahwa mereka benar adalah orang yang ditakdirkan memiliki kerajaan Mertani. Jauh sebelum para Pandawa dewasa, Batara Indra telah menciptakan sebuah istana megah beserta kota besarnya yang diberi nama “Indraprastha” di wilayah Kandaparasta dan Wanamarta. Istana itu dipersiapkan untuk menjadi istana para Pandawa. Lalu oleh Batara Indra, kelima jin itu ditugaskan olehnya menjaga istana itu di alam niskala dan kini karena para Pandawa sudah datang, mereka minta izin pada Batara Indra untuk kembali ke alam niskala. Batara Indra mengizinkannya. Sebelum kelima jin itu menghilang, kelima jin itu mempersilahkan para Pandawa memakai nama mereka sebagai bentuk kenang-kenangan. Sebelum kembali ke kahyangan, Batara Indra menganugerahkan panah Sangkali kepada putra angkatnya, Permadi.
Seketika kemudian, tanah Kandaparasta dan Wanamarta bergoncang. Tiba-tiba, muncul sebuah keraton yang sangat megah di bekas reruntuhan Kandaparasta dan sebagian hutan Wanamarta berubah menjadi alun-alun dan kota yang sangat indah lengkap dengan dinding kastil yang kokoh. Tanah yang tadinya tandus berbatu berubah menjadi subur. Sumber air yang tadinya tidak ada airnya berubah menjadi sumur-sumur indah berair jernih.
Terbukanya Kandaparasta dan Wanamarta
Tempat yang tadinya panas dan ber-aura negatif berubah 180 derajat menjadi kawasan ibukota yang sejuk bila mata memandang dan ber-aura sangat positif. Demikianlah, para Pandawa memasuki keraton Indraprastha diiringi, Dewi Kunthi, Dewi Drupadi, Dewi Arimbi, Prabu Kresna, dan ki Lurah Semar.
Ketika mereka sedang melihat-lihat isi keraton, tiba datanglah dua orang raksasa masuk ke keraton. Dewi Arimbi mengenali mereka. Mereka adalah Arya Brajamusthi dan Arya Kalabendana. Ketika Dewi Arimbi menghampiri kedua adiknya itu, mereka terkejut melihat sang kakak perempuan bisa berubah menjadi sangat cantik. Dewi Arimbi kemudian menjelaskan dirinya bisa secantik ini karena kemurahan Sanghyang Widhi. Brajamusthi kemudian berkata “kakang Mbok Arimbi, marilah kita pulang ke Pringgandani. Prabu Arimba sangat marah mendengar penuturan telik sandi bahwa kakang mbok bersama orang dari Hastinapura di hutan ini.” Dewi Arimbi mengatakan dia butuh waktu untuk berpikir. Arya Kalabendana yang tak mau berpisah dengan sang kakak memilih tinggal dan Arya Brajamusthi segera meninggalkan keraton. Sempat terlihat disamping Dewi Arimbi, selain Kalabendana ada seorang pemuda gagah tinggi besar menggandeng tangan Dewi Arimbi.
Sementara itu di perkemahan di hutan Wanamarta, Prabu Arimba bersama adik-adiknya yang lain yaitu Arya Brajadentha, Arya Brajawikalpa, dan Arya Prabakesha yang sedang mencari keberadaan Dewi Arimbi menerima kedatangan Arya Brajamusthi. Arya Brajamusthi menjelaskan bahawa Kalabendana mengikuti Dewi Arimbi lalu berkata “Ampun, kakang Prabu. Kakang mbok Arimbi sekarang berada di sebuah keraton di pinggir hutan ini. Dari yang aku lihat, Di dalamnya ada keluarga paman Prabu Pandu dan nampaknya Dewi Arimbi jatuh cinta pada salah satu putranya.” Meledaklah kemarahan Prabu Arimba mendengar laporan adiknya itu. Digebraknya meja kayu di dekatnya sehingga pecah dan hancur”Apa?? Adikku bersama keluarga pembunuh itu?? tak bisa dibiarkan!! Aku sendiri yang akan melabrak dan memaksanya pulang.” Brajamusthi berusaha mencegah kakak sulungnya itu namun terlambat, sang kakak sudah pergi duluan.
Sesampainya di Keraton Indraprastha, Prabu Arimba mendapati seorang wanita sedang jalan bersama dengan seorang pria tinggi besar di tamansari. Berkat kekuatan batin yang kuat, dia dapat mengenali bahwa wanita itu adiknya, Dewi Arimbi dan sang pria adalah Arya Bratasena, putra kedua Pandu Dewanata. Lalu dengan marah-marah, dilabraklah Dewi Arimbi lalu dijambak dan diseretnya adik perempuannya itu “ Arimbi, apa yang kau lakukan dengan keluarga pembunuh ayahanda? Jatuh cinta? Atau kau mau berkhianat dari negaramu? Dariku, Adik kurang ajar” Dewi Arimbi mengakuinya sambil mengerang kesakitan “Ampun kakang prabu. Aku akui diriku telah jatuh cinta pada kakang Bratasena. Aku mohon kakang, lupakan dendammu. Paman prabu Pandu sudah tiada, begitu juga ayahanda. Jangan nodai nama besar ayahanda. Jangan membuatnya malu di swargaloka” Namun Prabu Arimba tak bergeming seakan tak peduli. Dendam telah merasuk ke dalam hatinya. Arya Bratasena menarik tangan Prabu Arimba dan membebaskan Dewi Arimbi dari jambakan kakaknya itu. “Hei, Arimba. Ayahmu meski berwujud raksasa tapi berbudi dewata. Sedangkan kau.....memuliakan adik perempuanmu kau tidak bisa. Kau bukan raja tapi iblis. Kau tak pantas menjadi kakaknya.” Memuncaklah kemarahan Prabu Arimba mendengarnya lalu diseretnya Arya Bratasena ke tengah alun-alun. Para Pandawa, Dewi Kunti, Dewi Drupadi dan yang lainnya ikut menyaksikan. Mereka saling bertarung, saling tendang, saling sikut, saling cakar, dan beradu senjata gada satu sama lain. Masing-masing dari mereka tak ada yang menang maupun kalah. Keduanya berimbang sampai Prabu Arimba menggunakan ajian Bayuntaka, ajian andalannya. Seketika tubuh Bratasena lemas begitu mendekati Prabu Arimba seakan tenaganya tersedot dan menyusut dengan cepat. Bratasena berhasil menghindar namun badannya masih lemas. Dewi Arimbi datang mengipasinya. Seketika Bratasena kembali kuat. Mereka kembali bertarung namun begitu tangannya menyentuh Prabu Arimba lagi, tenaganya susut lagi. Bratasena kembali lemas dan Dewi Arimbi dengan tulus mengipasinya. Prabu Arimba yang melihatnya merasa iba namun dendam rupanya telah mendarah daging, menjalar dalam kalbu dan urat nadi sang raja Pringgandani itu.
Pertandingan kembali dilanjutkan. Kali ini Prabu Arimba semakin beringas dan kejam bagai denawa hutan. Tak kenal ampun lagi. Bratasena sudah tahu rahasia Prabu Arimba. Karena itu, Bratasena mulai mengurangi kontak fisik dan mulai menyabetkan Kuku Pancanka. Namun tiada diduga, karena ajian Bayuntaka pula, kulit Prabu Arimba sangat alot bagaikan kulit badak. Senjata bahkan Kuku Pancanaka miliknya hanya memberikan goresan kecil saja. Hari mulai berangkat siang. Dewi Arimbi semakin khawatir kepada mereka keduanya. Dilema melanda hatinya, antara sang kakak yang disayanginya atau sang kekasih yang dicintainya. Kemudian dia melihat ada pohon aren didekat alun-alun. Tiba-tiba Arimbi berteriak, “Tusuk pusarnya lalu pukul dia ke pohon aren itu.” Keduanya terkejut. Kemudian Prabu Arimba melihat matahari mulai bergeser dari puncaknya ke arah barat. Kesempatan itu digunakan Bratasena, Prabu Arimba dibenturkannya ke pohon aren lalu ditusukkan kuku saktinya itu ke pusarnya. Raja Pringgandani itu seketika mengerang kesakitan dengan luku menganga di pusarnya dan badan remuk terkena pohon aren. Dengan sempoyongan, Prabu Arimba berusaha mendekati Dewi Arimbi. Dewi Arimbi semakin cemas. Dengan kepasrahan totalnya, dia menanti apa yang akan dilakukan sang kakak pada dirinya. Dewi Kunthi sangat cemas dengan Arimbi segera mendekatinya sambil memeluknya diiringi Permadi dan Prabu Kresna dibelakangnya. Tak lama kemudian datanglah para Kadang Braja, adik-adik Prabu Arimba dan Dewi Arimbi dipimpin oleh Arya Brajadentha dan Brajamusthi. Ternyata yang terjadi diluar dugaan. Prabu Arimba tak meluapkan amarahnya malah berkata “Adikku, Dinda Arimbi. Aku tak marah..... aku sangat tersentuh melihatmu .....menyayangi Bratasena setulus hati......maafkan aku. Aku merestui hubungan kalian.” Tangis Arimbi pecah mendengarnya dan Bratasena segera memeluknya. Prabu Arimba merasa ajalnya telah dekat berkata kepada Bratasena “Bratasena.... aku tititipkan Arimbi, adik-adikku dan negara Pringgandani.... jagalah mereka......sebelum aku pergi.....aku akan memberikan kenang-kenangan.........karena kau telah bertarung denganku sebuas serigala..... maka aku menjulukimu sang Wrekodara.....” demikianlah Prabu Arimba meninggal dunia.
Prabu Arimba gugur
Para Kadang Braja terutama Dewi Arimbi semakin sedih. Tangisnya semakin pecah. Ditinggalkan sang kakak yang telah menjadi pengganti orangtua. Para Kadang Braja sudah mengaku ikhlas atas  kekalahan Prabu Arimba dan tak akan ada dendam lagi. Para kadang Braja minta izin pada Raden Puntadewa untuk melakukan pengabenan jenazah Prabu Arimba di Keraton Indraprastha. Setelah semuanya siap, api pancaka dinyalakan. Api berkobar mennebarkan hawa panas.
Tujuh hari setelah berkabung, sebagian Hutan Wanamarta telah dibuka menjadi negara baru dan sebagian lagi tetap dibiarkan menjadi hutan. Bersamaan hari pembukaan itu, dilangsungkanlah pernikahan Bratasena dan Dewi Arimbi. Pestanya berlangsung sangat meriah. Setelah resepsi tiga hari selesai,. Raden Puntadewa mengganti nama kerajaan Mertani menjadi Amarta dengan wilayah Kandaparasta sebagai kotaraja. Namun Raden Permadi tak setuju bila nama itu terus dipakai karena akan meninggalkan kesan buruk masa lalu. Maka oleh Raden Puntadewa, nama Kandaparasta diganti menjadi Indraprastha. Raden Puntadewa kemudian menunjuk Arya Bratasena sebagai raja Amarta namun Arya Bratasena menolak. Dirinya berkata “Kakang sudah bertindak sebagai kakak yang baik. Kakang adalah penurus ayahanda Pandu dan lagi kakang juga cakap memimpinku dan adik-adik. Kami adik-adikmu setuju kalau kakang jadi raja. Betul gak, Jlamprong? Pinten? Tangsen?” Raden Permadi, Raden Pinten dan Tangsen setuju bahkan mereka sampai berlutut. Hanya Bratasena saja yang tak berlutut hanya memberikan salamnya tanda memohon. Awalnya Raden Puntadewa tak setuju. Prabu Kresna berusaha mendukung perkataan Bratasena “Ayolah, rayi Puntadewa. Adik-adikmu setuju. Bahkan aku pun setuju. Negara Dwarawati setuju. Kau sudah terbukti cakap dan hebat memimpin. Sudah saatnya paman Pandu mendapatkan pewarisnya.” Namun Raden Puntadewa masih tak bergeming. Lalu Dewi Kunthi berkata pada putra sulungnya itu “putraku Dwijakangka, kau sudah membuktikan dirimu pantas menjadi pemimpin. Dukungan dari negara lain, dari keponakanku Kresna sudah ada didepan mata. Adik-adikmu juga yang menginginkannya tanpa keterpaksaan. Jadi kabulkan permohonan mereka. Aku sebagai ibu hanya bisa merestuimu.” Hati Puntadewa luluh dan tersentuh sambil memeluk keempat adiknya. Raden Puntadewa setuju untuk menjadi raja Amarta. Setelah itu, mereka segera mempersiapkan diri untuk menyiapkan dan menentukan hari penobatan. Kelak setelah hari penobatan, negeri Amarta akan menjadi negara merdeka, bukan lagi bawahan Kerajaan Hastinapura.