Kamis, 27 April 2023

Gandawardaya-Gandakusuma

Hai semua pembaca dan penikmat wayang yang berbahagia, kisah kali ini menceritakan lagi dua anak Pandawa yang saling menyadarkan satu sama lain yakni Bambang Gandawardaya dan Bambang Gandakusuma. Gandawardaya ditipu Kurawa namun berhasil disadarkan Gandakusuma. Kisah ini diakhiri dengan berita serangan Jarasandha ke kerajaan Awu-awu Langit, Selamirah, dan Tasikmadu yang tak lain kampung halaman Gandakusuma. Kisah ini disadur dari sumbernya yakni blog albumkisahwayang.blogspot.com dan beberapa sumber dari internet.

Alkisahnya, Prabu Duryudhana dihadap Patih Sengkuni setelah peristiwa pembunuhan Pancawala dan tertangkapnya sang putra merasa malu sangat. Ia mau membalas dendam. Lalu datang pasangan muda-mudi yang mencari-cari siapa ayahnya. Mereka ialah Bambang Gandawardaya dan Dewi Grantangsasi. Ia anak dari Dewi Jimambang. Bersama istrinya Grantangsasi, ia mencari ayahnya yang bernama Permadi yang tinggal di Hastinapura. Prabu Duryudhana merasa ini kesempatan bagus untuk balas dendam dengan mengadu domba antara para Pandawa dan putranya. Ia lalu berkata "anakku, aku lah Permadi. Sekarang aku sudah jadi raja bergelar Duryudhana." Gandawardaya merasa tidak yakin, karena menurut cerita ibunya, ayahnya berbadan sedang saja, tidak terlalu gemuk tapi tidak juga terlalu kurus tapi kenapa sekarang berbadan tinggi besar. Prabu Duryudhana berkata kalau sudah berusia paruh baya, tubuhnya jadi melar dan tambah tinggi. Gandawardaya tidak lagi curiga. Prabu Duryudhana lalu berkata bahwa kerajaan Hastinapura ini sedang ada masalah. Ada seorang pangeran bernama Wrekodara dan Arjuna dari Amarta mencoba merangsek kekuasaannya. Apa kata kalau Gandawardaya mau membantu meringkus mereka, Prabu Duryudhana akan sangat berterimakasih sebagai bentuk bakti kepada orang tua. Gandawardaya yang polos mau-mau saja membantu. Dewi Grantangsasi biar dititipkan saja di kaputren. “Dinda, kau disini saja. Biar aku membantu ayahanda.” “baik kakanda. Jaga dirimu baik-baik.”

Semenjak dititipkan suaminya, baru beberapa hari di sana Dewi Grantangsasi merasa tidak betah. Hal itu kerna Lesmana Mandrakumara terus saja bertindak tidak senonoh kepadanya. Hari itu menjadi puncak pelecehan yang dilakukan sang pangeran manja itu. “cukup, kakang. Akan kulaporkan ini pada ayahanda Prabu!” tanpa sadar, Lesmana Mandrakumara membocorkan semua kelicikan ayahnya.  Dewi Grantansasi mendengar sendiri kalau Lesmana Mandrakumara keceplosan bilang bahwa ayahnya menipu Gandawardaya. "Dinda manisku, suamimu sudah dibohongi ayahku. Duryudhana dan Permadi bukanlah orang yang sama, jadi, Gandawardaya bukanlah putra ayah, sehingga bukan pula saudaraku." Terkesiap dengan jawaban itu, Dewi Grantangsasi berkata lantang “Biadab...kalian menipu kami!” seketika ia segera melarikan diri dan segera mematrapkan aji Sirep sambil berlari di lorong istana. Seketika semua orang tertidur namun Lesmana Mandrakumara tidak terpengaruh karena pernah menggunakan Aji Sirep. Ia mengejar-ngejar Dewi Grantangsasi sampai suatu kesempatan, Dewi Grantangsasi menghajar Lesmana Mandrakumara sampai pingsan.

Singkat cerita, di tapal batas Kerajaan Amarta, Arya Wrekodara sedang berlatih perang bersama Arya Antareja, Arya Gatotkaca, dan Arya Antasena. Ia melatih ketiga putranya itu bagaimana cara memimpin pasukan besar, cara menyusun formasi barisan, dan juga bagaimana caranya menembus barisan lawan. Namun tiba-tiba datang pasukan Hastinapura dipimpin Bambang Gandawardaya dan para Kurawa menyerang. Pertempuran terjadi. Setelah cukup lama, Pasukan Hastinapura berhasil dikalahkan oleh Arya Wrekodara dan ketiga putranya. Namun tiba-tiba Bambang Gandawardaya melambari pukulannya dengan ajian Pedut Wisa. Seketika dari kepalan tangannya muncul kabut beracun yang membuat orang yang menghirupnya lumpuh. Seketika Arya Wrekodara, Antareja, dan Gatotkaca jatuh tidak bisa bergerak. Antasena masih selamat segera lari ke Dwarawati memberi kabar mengejutkan ini kepada Prabu Kresna.

Di tempat lain yakni kerajaan Tasikmadu, Prabu Madusena dihadap oleh putri dan cucunya, Dewi Gandawati dan Bambang Gandakusuma. Bambang Gandakusuma bertanya sosok ayahnya. Prabu Madusena merasa sudah saatnya sang cucu tahu kebenarannya. Dewi Gandawati berkata kalau ayahnya bernama Arjuna alias Permadi, pangeran dari Madukara, bagian dari negara Amarta. Gandakusuma berkata kalau ia sudah sangat rindu pada sang ayah apalagi sejak pamannya, Raden Gandasena meninggal beberapa tahun yang lalu. Bahkan di hari bahagianya, saat ia menikahi Dewi Grantangsari, sang ayah pun tidak datang. Maka ia minta izin pada kakek dan ibunya agar mengizinkannya dan istrinya pergi berkunjung ke Amarta demi bisa mendapatkan restu ayahnya. Dewi Gandawati sebenarnya agak berat melepas putra dan menantunya tapi karena kasih sayangnya, ia mengizinkan putra dan menantunya itu pergi. Hari itu pula dengan menyeberangi laut Jawadwipa, Gandakusuma dan Grantangsari menuju ke Amarta.

Singkat cerita, Bambang Gandawardaya sudah berada di depan Kadipaten Madukara sambil membawa tiga sandera, yakni Arya Wrekodara, Antareja, dan Gatotkaca. Ia menantang Arjuna duel demi nama baik bapaknya. Arjuna terpancing dan menyerang Gandawardaya. Karena merasa ia akan menang, Arjuna seketika lengah dan hampir-hampir Arjuna terkena ajian Pedut Wisa. Kekuatan ajian Pedut Wisa hampir membuatnya lumpuh namun segera ia hapus pengaruh dari ajian itu dengan aji Sepi Angin. Arjuna segera juga melambari angin dari ajian sebelumnya dengan ajian Pedut Wisa lalu kabur sekencang mungkin. Gandawardaya kaget karena Arjuna juga menguasai ilmu itu dan bisa menghilang dengan cepat. Singkat cerita, Arjuna bertemu dengan Prabu Kresna dan Antasena. Menurut Prabu Kresna, Gandawardaya tidak ditakdirkan kalah oleh Arjuna meskipun ilmunya sama. Ia hanya bisa dikalahkan oleh seorang pemuda yang berilmu sama. Prabu Kresna dan Antasena lalu mengajak Arjuna pergi mencari jago yang dapat digunakan untuk menghadapi utusan para Kurawa yang satu ini.

Dalam perjalanan mencari jago, Prabu Kresna, Antasena, dan Arjuna berjumpa Bambang Gandakusuma dan Dewi Grantangsari. Meraka memperkenalkan dirinya berasal dari Tasikmadu. Ia mencari ayahnya yakni Arjuna.Betapa terkejut hati Arjuna begitu mengetahui ternyata pemuda ini adalah putranya sendiri yang lahir dari Dewi Gandawati bahkan dia sudah menikahi seorang wanita yang cantik dan baik. Namun, Prabu Kresna dengan tegas berkata, Bambang Gandakusuma akan diakui sebagai putra Pandawa apabila mampu mengalahkan seseorang bernama Gandawardaya. Mendengar syarat tersebut, Raden Gandakusuma segera bertindak. Ia bergegas maju dan bertemu Gandawardaya yang sedang mengejar Arjuna. Kedua pemuda itu lalu saling memperkenalkan diri. Bambang Gandakusuma berkata bahwa dirinyalah yang akan menghalangi Bambang Gandawardaya apabila masih ingin menangkap Arjuna. Gandawardaya marah dan menyerangnya.

Aji Pedut Wisa Gandawardaya-Gandakusuma
Kedua pemuda itu lalu terlibat pertarungan sengit. Bambang Gandawardaya terkejut melihat Bambang Gandakusuma begitu cekatan dan mampu mengimbangi dirinya. Tidak hanya itu, ilmu kesaktian Raden Gandakusuma ternyata sangat mirip dengan yang ia pelajari. Ketika Bambang Gandawardaya mengerahkan Aji Pedut Wisa, ternyata Gandakusuma juga mampu mengerahkan ilmu yang sama. Gandawardaya pun terheran-heran, tadi Arjuna sekarang pemuda gak jelas ini. Dari mana asalnya Gandakusuma bisa menguasai Aji Pedut Wisa. Karena melamun, Gandawardaya menjadi lengah sesaat dan Gandakusuma pun bertindak cepat meringkus tubuhnya. Gandakusuma menghadapkan Gandawardaya kepada Prabu Kresna, Antasena, dan Arjuna. Gandawardaya yang sudah kalah meminta agar dihukum mati saja. Prabu Kresna berkata soal hukuman mati urusan mudah, yang penting ia lebih dulu ingin mengetahui dari mana asal usul Raden Gandawardaya.

Gandawardaya pun bercerita bahwa dirinya adalah putra Raden Permadi dengan Dewi Jimambang. Ayahnya berasal dari Kerajaan Hastinapura, dan ibunya adalah putri Bagawan Wilawuk dari Padepokan Pringcendani. Prabu Kresna bertanya "apa kamu sudah tahu wajah ayahmu itu?" Gandawardaya menjawab "tentu sudah, ayahku Raden Permadi kini menjadi raja di Hastinapura, bergelar Prabu Duryudhana." Prabu Kresna tersenyum dan berkata "Permadi itu bukanlah nama lain Prabu Duryudhana, melainkan nama Arjuna sewaktu muda. Dengan kata lain, kamu hendak menangkap ayahmu sendiri." Raden Gandawardaya tidak percaya. Ia menuduh Prabu Kresna berbohong hendak tipu-tipu. Gandawardaya masih bersikeras ingin dihukum mati daripada malu bertemu Prabu Duryudhana dengan membawa kekalahan. Namun, sebelum mati ia ingin bertanya lebih dulu kepada Gandakusuma "hei kisanak, bagaimana kau bisa mengerahkan Aji Pedut Wisa? Aku tidak mau mati penasaran karena dikalahkan oleh musuh yang memiliki ilmu kesaktian sama persis denganku." Gandakusuma menjawab "saudaraku, sejak kecil, aku diasuh dan dididik pamanku, Raden Gandasena. Termasuk Aji Pedut Wisa juga aku pelajari. Pamanku adalah adik seperguruan Arjuna. Tapi, sekarang pamanku telah berpulang." Tepat di saat yang sama datang Begawan Wilawuk, kakek Gandawardaya dan Dewi Grantangsasi. Begawan Wilawuk berkata "cucuku, ayahmu Permadi yang kau cari itu Raden Arjuna yang ada di hadapanmu. Grantangsasi sudah cerita kepadaku semuanya." Gandawardaya kaget bukan kepalang lalu bertanya "kenapa tidak sejak awal kakek menceritakan hal ini, sampai aku dan Dinda tersesat salah jalan." Begawan Wilawuk meminta maaf karena ia sendiri juga tidak tahu kalau Permadi sudah ganti nama jadi Arjuna. Gandawardaya seketika berlutut bersimpuh di kaki Arjuna memohon ampun agar ia tidak dihukum mati. Gandakusuma lalu ikut berlutut memohonkan ampun untuk saudaranya itu. Arjuna membangunkan mereka dan berkata " anakku, kita dipertemukan karena kesalahpahaman sekarang kesalahpahaman ini sudah selesai. Ayah memaafkan kesalahanmu. Maaf jika selama ini ayahanda kalian ini tidak pernah menjenguk kalian dan ibu kalian." Pelukan Arjuna benar-benar menyentuh hati. Suasana haru kembali terjadi. Sejenak kemudian, Dewi Grantangsasi kaget bertemu saudarinya, Grantangsari ternyata sudah dinikahi oleh Gandakusuma. Mereka saling bertukar kangen dan rindu. Arjuna kaget bagaimana istri Gandawardaya dan Gandakusuma bisa saling terpisah seperti ini. Grantangsari menjelaskan "ayah, aku dan yundha Grantangsasi adalah anak yatim piatu terlantar. Kami tidak tau siapa ayah ibu kami sampai kakek Begawan datang membesarkan kami. Lalu ketika paman Gandasena datang berguru, aku diadopsi oleh paman Gandasena yang mendambakan anak perempuan. Astungkara bagi Hyang Widhi, aku dan Gandakusuma berjodoh." Gandawardaya lalu ganti meminta maaf kepada Arya Wrekodara, Antareja, dan Gatotkaca karena sudah salah paham. Arya Wrekodara bersedia memaafkan bila dibebaskan.

Singkat cerita, Arya Wrekodara, Antareja, dan Gatotkaca dibebaskan. Mereka merangsek dan mengusir pasukan Kurawa hingga babak belur. Agar hari bahagia ini tidak dirusak lagi, Arjuna, Prabu Kresna, dan Arya Wrekodara mengajak Gandawardaya dan Gandakusuma beserta istri mereka ke Madukara untuk mengadakan syukuran sekaligus upacara unduh mantu. Dewi Jimambang dan Dewi Gandawati, diboyong Arjuna ke Amarta. Ketika itu Prabu Madusena diundang sang menantu utu ikut melihat unduh mantu sang cucu, namun sang raja menolak. Ia membiarkan putrinya saja yang ikut. Toh jika kerajaan ditinggal, siapa yang memimpin nantinya. Arjuna dan Gandawati merasa tidak ada firasat buruk menghormati keputusan ayah mereka itu. Di hari yang telah ditentukan upacara mantu digelar meriah. Gandawardaya dan Gandakusuma duduk bersanding dengan isteri-isteri mereka. pesta berlangsung tiga hari penuh. Namun, tiada angin tiada hujan,  beberapa hari kemudian tiba-tiba datang sebuah kabar buruk. Nakula dan Sadewa mendapat berita kalau negara Selamirah, Awu-awu Langit, dan Tasikmadu terkena bencana. Datang serangan dari Prabu Jarasandha menaklukan negeri-negeri tersebut. Nasib Prabu Madusena, Dewi Suyati, juga Dewi Rasawulan tidak diketahui keberadaannya begitu pula putra-putri mereka. Nakula dan Sadewa melang-melang, hati mereka tak tenteram dengan nasib isteri dan anak mereka yang sampai saat ini tak ada kabar. Beberapa hari setelah kabar serangan mendadak itu, datang utusan dari Tasikmadu membawa kabar duka bahwa Prabu Madusena telah gugur ditangan Prabu Jarasandha. Dewi Gandawati dan Bambang Gandawardaya berduka, begitu pula Arjuna. Sosok ayah, mertua, dan kakek mereka gugur di tangan raja Giribajra itu. Diadakanlah doa bersama agar jiwa Prabu Madusena diterima di sisi Hyang Widhi dan nasib anak istri Nakula-Sadéwa tetap dilindungi Hyang Widhi.

Sabtu, 15 April 2023

Gatotkaca Rante

 Hai hai, para pembaca dan penikmat wayang yang berbahagia. Kisah kali ini mengisahkan bulan madu Pancawala dengan Dewi Pergiwati yang berantakan akibat ulah Lesmana Mandrakumara. Ulah sang pangeran Hastinapura yakni berkonspirasi dengan memfitnah Gatotkaca telah membunuh Pancawala. Sumber kisah ini berasal dari blog albumkisahwayang.blogspot.com dan beberapa sumber di internet.

Prabu Duryudhana dihadap isterinya, Dewi Banowati, Patih Sengkuni, Begawan Dorna, dan Adipati Karna. Mereka membahas minggatnya Raden Lesmana Mandrakumara sejak gagal mendapatkan Dewi Pergiwa, Titisari, dan Siti Sundari. Sekarang datang kabar kalau Dewi Pergiwati akan menikahi Bambang Pancawala, putra Prabu Yudhisthira dengan Dewi Drupadi. Dewi Banowati berkata " kakang prabu, bukannya aku tidak peduli dengan anak kita, tapi ini biarlah jadi pembelajaran buatnya. Lesmana harus mendapatkan jodoh dengan caranya sendiri." Patih Sengkuni berkata kalau Banowati tidak sayang anak. Dewi Banowati menyanggah " paman patih, tega sekali kau berkata demikian...aku membiarkan bukan berarti tidak sayang. Aku malu paman setiap kali putraku itu gagal nikah terus." Prabu Duryudhana menyudahi perdebatan tidak berfaedah itu dan mengutus Adipati Karna untuk mencari keberadaan sang putra. Sementara, Prabu Duryudhana sendiri akan ikut bersama Pandawa untuk merayakan pernikahan ini.

Sementara itu, negara Amarta bersukacita. Pernikahan Pancawala dengan Pergiwati telah diselenggarakan dengan meriah selama tujuh hari tujuh malam. Tetamu datang dari berbagai negara, baik negara kecil dan besar. Bahkan lurah se-Amarta diundang beserta rakyat desanya. Setelah tuh hari tujuh malam pesta resepsi,  para Pandawa, Prabu Kresna dan kedua mempelai sedang berbulan madu di pesanggrahan di hutan Wanamarta. Prabu Duryudhana dan istrinya diundang. Demi keamanan kedua mempelai, Arjuna meminta keponakannya, Gatotkaca untuk berjaga-jaga “Gatotkaca demi keamanan kakak dan kakak iparmu, kau harus sedia berjaga tanpa lengah sedikitpun.” “sendika dhawuh, pamanda Parta.” Arjuna pun  memberikan Keris Kalanadhah kepadanya untuk jaga-jaga dari keadaan yang tidak terduga.

Di tempat lain, Raden Lesmana Mandrakumara yang sedang dicari-cari ada di hutan Krendhayana. Walau dia manja dan cengeng, pangeran Hastinapura itu tidak bodoh. Ia memutuskan untuk bertapa brata di hutan itu seorang diri. Berbagai halangan dan godaan muncul. Binatang buas yang mengerikan, berbagai makhluk berbisa menggerayangi tubuhnya. Meski dicekam ketakutan, Lesmana Mandrakumara tetap tapa brata. Godaan lain muncul. Datang pasukan hantu, jin, peri siluman, dênawa mengganggu dan menakut-nakutinya. Dengan wajah pucat pasi, si pangeran manja itu tetap duduk di tempatnya. Puncak dari segala gangguan pun datang. Dewi Kalikamaya, ajudan Batari Durga datang mengganggunya dengan wajah mengerikan berlumuran darah, mata merah melotot tajam dan gigi taring mencuat. Lesmana Mandrakumara berada di batas rasa takutnya. Ia begitu lemas sampai ngompol di celana, namun karena keinginannya begitu kuat, dia tetap disana. Tapi tak lama ia pun pingsan karena terus melawan rasa takutnya.

Begitu pangeran manja itu bangun, tahu-tahu sudah berdiri sosok dewi tinggi besar menaiki seekor harimau. Ialah Batari Durga, isteri Batara Guru. Suara Batari Durga menggelar menanyakan keinginan si pangeran" Anakku, aku tau apa isi hatimu. Kau menginginkan kesaktian demi keinginanmu pada seorang wanita. Katakan padaku, kesaktian macam apa yang ingin kau inginkan." Dengan suara parau terbata-bata, Raden Lesmana Mandrakumara berkata " aaa..ampun...Ida Batari, hamba ingin kekuatan bisa menghilang dan menidurkan orang dalam waktu singkat."

Lesmana Mandrakumara meminta bantuan ke Batari Durga
Batari Durga heran kenapa Lesmana Mandrakumara tidak meminta kesaktian berupa kekuatan dahsyat ataupun bisa lari secepat kilat. Lesmana Mandrakumara lalu menjawab “ampun....Ida Bataari....hamba hanya ingin bisa membuat orang tidur dengan nyaman dan bisa lelap tanpa harus membangunkannya.”  Batari Durga mengabulkan permintaan Lesmana Mandrakumara. Sang Dewi Kekuatan memberikan aji Sirep dan aji Panglimunan. Setelah mendapatkan kesaktian, Lesmana Mandrakumara berterima kasih dan langsung mohon diri.

Singkat cerita, begitu keluar dari hutan Krendhayana, Lesmana Mandrakumara menuju ke pesanggrahan tempat Pancawala dan Pergiwati berbulan madu. Begitu sampai di sana, ia  merapal mantra aji Sirep. Seketika semua orang tertidur lelap. Bahkan Gatotkaca yang berdiri itu tak kuat menahan kantuk dan akhirnya ia jatuh tertidur. Lesmana Mandrakumara segera memasuki pesanggrahan. Ia mencari-cari kamar mempelai dan begitu ketemu, ia hendak masuk ke kamar itu. Ketika hendak masuk, ia mendapat ide untuk memfitnah Gatotkaca alih-alih menculik Pergiwati. Ia ambil keris Kalanadhah dan langsung memasuki kamar. Ketika sudah di dekat ranjang, Lesmana Mandrakumara menghujamkan keris itu ke dada Pancawala. Pergiwati merasakan badannya basah dan seketika histeris melihat suaminya tewas bersimbah darah dengan keris menancap di dadanya. Pergiwati pun berteriak “ AAAHHH....Bangun Kanda!!.....Tolong!!! Rajapati....Ada Rajapati!!.... Kakanda Pancawal kena rajapati!!” Lesmana Mandrakumara terkejut, segera pergi tanpa ketahuan karena ia sudah mematrapkan aji Panglimunan.

Teriakan histeris Pergiwati memecah keheningan malam itu. Para Pandawa, Prabu Kresna dan Prabu Duryudhana bangun ke tempat kejadian. Gatotkaca pun ikut terbangun dan masuk ke kamar itu. Sambil memeluk putrinya, Arjuna marah sekali kepada Gatotkaca karena tega membunuh saudaranya sendiri. Begitu juga Arya Wrekodara. Ia merasa gagal jadi ayah yang benar. Terlebih lagi Keris Kalanadhah yang diamanatkan kepada Gatotkaca menancap di tubuh korban. Barang bukti sudah sangat jelas ada di tkp. Prabu Duryudhana meminta agar hal ini diusut tuntas “adhi Prabu Yudhistira kau harus usut tuntas semua ini. Walau aku bermusuhan dengan adhi Sena, aku tetap seorang paman dari Pancawala. Aku tidak tega dengan nasib Pancawala yang tewas tanpa tahu apa-apa.” Diadakan pengadilan dadakan dan sesuai kitab hukum pidana, Yudhistira sebagai hakim menjatuhkan vonisnya “aku sebagai hakim mengaggap saudara Gatotkaca bersalah. Gatotkaca harus dihukum atas perbuatannya. Vonis yang sesuai untuk Gatotkaca ialah vonis hukuman mati.....Keputusan ini tidak bisa digugat.” Gatotkaca diseret ke lapangan pesanggrahan untuk dieksekusi. Ketika hendak dihukum mati, Gatotkaca berontak dan berbagai senjata tidak sanggup menghabisinya. Keluarga Pandawa tidak menemukan solusi untuk ini. Gatotkaca benar-benar tedhas tapak palune pandhe, kulitnya benar-benar kebal dan tidak bisa dibunuh. Prabu Duryudhana memberikan pilihan hukuman lain. Gatotkaca harus dihukum buang dengan tangan yang harus diikat rantai baja. Maka dihukumlah Gatotkaca, dibuang ke hutan dengan tangan diborgol dan terikat rantai baja besar di sebatang pohon beringin. Setelah hukuman dilaksanakan, Prabu Duryudhana dan Banowati pamit pulang untuk memberikan kabar duka ini kepada para tetua Hastinapura.

Ketika hendak dilaksanakan ngaben, Prabu Yudhistira dan Dewi Drupadi meminta semua orang agar Prabu Kresna yang pertamakali memeriksa kondisi jasad putranya. Prabu Kresna segera mengeluarkan Cangkok Wijayakusuma dengan mengusap bulu merak di mahkotanya. Ketika bunga itu disapukan ke jasad Pancawala, keajaiban terjadi. Luka Pancawala seketika menutup dan Pancawala hidup kembali menandakan memang belum saatnya ajal datang untuk Pancawala. Kerabat Pandawa pun bahagia karena Pancawala selamat dari maut.

Gatotkaca dan Pergiwa diganggu
Sementara itu di hutan, Pergiwa datang menjenguk Gatotkaca. Gatotkaca berkata " dinda, aku bersumpah atas nama dewa-dewi bukan aku pembunuh kakang Pancawala." " Aku tahu, kakang. Ini bukan salahmu. Ada seseorang yang hendak memfitnah kakang dan dengan fitnah itu, dia akan mendapat keuntungan dari hal ini." Belum selesai perbincangan itu, tiba-tiba Gatotkaca merasa ada yang memukul dan menamparnya sambil tertawa-tawa" Rasakan ini! Terima ini!" Lalu Dewi Pergiwa berteriak ada yang berusaha menarik bajunya. Gatotkaca dan Dewi Pergiwa seketika melihat wujud Raden Lesmana Mandrakumara. Ia tiba-tiba muncul mengejek lalu menghilang dari pandangan. Tiba-tiba Gatotkaca merasa seperti ada yang memukul dari belakang. Ketika ia hendak membalas, Raden Lesmana sudah pergi menjauh.

Kelicikan ini dibayar kontan oleh Batari Durga. Sang dewi merasa telah salah memberikan anugerah. Ia mencabut keampuhan Aji Panglimunan. Kebetulan, datang Abimanyu dan para Punakawan yang ikut menjenguk Gatotkaca. Gatotkaca menjelaskan bahwa penyebab ini semua pasti ulah Lesmana Mandrakumara. Kebetulan mereka datang membawa hewan buruan. Kakek Semar segera memerintahkan Abimanyu dan tiga putrnya menyembelih hewan yang mereka tangkap. Ketika selesai menyembelih hewan buruan itu, darah itu dibuang dan apesnya, darah itu kena ke tubuh Lesmana Mandrakumara. Ajian Panglimunan pun kehilangan dayanya. Gatotkaca segera melepaskan ikatan rantainya dan dengan bantuan Abimanyu, ia segera meringkus musuhnya itu. Raden Lesmana berteriak minta tolong, memanggil-manggil ayah ibunya. Namun tiada guna, yang bersalah sudah tertangkap. Siapa yang memakan lada, akan terkena pedasnya. Begitulah yang harus diterima Lesmana Mandrakumara.

Gatotkaca, Dewi Pergiwa, Raden Abimanyu, dan para panakawan membawa Lesmana Mandrakumara yang terikat dan berlumuran darah kembali ke Kerajaan Amarta. Para Pandawa, dan Prabu Kresna terkejut melihat pemandangan ini. Prabu Duryudhana yang datang lagi bersama para tetua Hastinapura marah-marah melihat anaknya berlumuran darah. Ia menuduh Raden Gatotkaca telah meninggalkan tempat hukuman dan kembali berbuat jahat dengan menyiksa putranya. Pergiwa lalu menjelaskan duduk perkaranya " paman, justru putra paman lah yang sudah menyiksa dan menciptakan fitnah untuk kakang Gatotkaca. Dengan anugerah dari Batari Durga, ia yang melakukan pembunuhan pada kakang Pancawala dengan licik agar suamiku dapat nama yang buruk." Prabu Kresna lalu menerawang lewat kaca Lopian kejadian malam itu. Ternyata benar, Lesmana Mandrakumara yang dengan cara licik menidurkan semua orang di pesanggrahan, mengambil keris Kalanadhah dari Gatotkaca, lalu menusukkannya ke dada Pancawala dan tanpa rasa bersalah, ia segera pergi tanpa bertanggung jawab. Lesmana Mandrakumara tak bisa berkutik lagi. Ia mengatakan yang sebenarnya karena iri pada putra-putra Pandawa. Prabu Duryudhana sangat malu dan ia pun memohon kepada Prabu Yudhistira agar mengampuni putranya. Arya Wrekodara tidak terima dan meminta agar hukum ditegakkan. Prabu Duryudana pun meminta maaf karena putranya telah memfitnah Gatotkaca. Akan tetapi, Arya Wrekodara tidak mau memaafkan karena ia hampir saja membunuh anaknya sendiri gara-gara kejahatan fitnah Lesmana. Namun Pancawala dan Pergiwati datang. Mereka pun mengampuni Lesmana Mandrakumara. Gatotkaca memang sangat marah pada Lesmana tapi ia masih kasihan padanya. "Aku mengampuni tindakan licikmu, Lesmana dengan syarat kau tidak boleh mengganggu dinda Pergiwa ataupun Pergiwati lagi. Jika kau langgar lagi, akan aku pastikan kau tidak akan melihat matahari lagi!" “baik-baik.....aku janji gak akan mengganggu lagi....” Raden Lesmana Mandrakumara pun pergi berlalu diiringi Prabu Duryudhana dan rombongan.

Prabu Duryudhana pamit pulang bersama para tetua dengan perasaan hancur menahan malu. Adipati Karna memohon maaf karena telambat dan baru datang saat sudah hendak pulang. Prabu Duryudhana memaafkannya. Sejenak kemudian, sang raja Hastinapura itu berbisik pada putranya "bagus, putraku. Kau sudah buktikan bahwa kau layak sebagai pewarisku. Aku suka kelicikanmu itu. Kita akan balas penghinaan ini nanti saat perang besar terjadi." Lesmana Mandrakumara semringah lagi bahwa ayahnya sudah mengakuinya ia layak sebagai musuh Pandawa

Kamis, 06 April 2023

Srenggini Takon Rama

 Hai penikmat dan penggemar kisah pewayangan yang berbahagia, penulis kali ini akan crossover gagrak dan sanggit pewayangan. Kisah kali ini mengisahkan kemunculan salah seorang putra Arya Wrekodara dari versi gagrak Banyumasan yakni Bambang Srenggini. ia sempat ditipu oleh para Kurawa namun berkat bantuan Antasena, ia berhasil disadarkan kembali ke jalan yang benar. Sumber kisah ini berasal dari kisah Srenggini karya Ki Sugino Siswocarito dan Tugas Akhir karya mahasiswa ISI, Agus Suwondo di bidang pewayangan yang berjudul Antasena Takon Rama yang telah diubah suai dan dikembangkan dengan imajinasi penulis.

Dikisahkan para Pandawa dan Kurawa sedang bersitegang lagi. Bengawan Serayu dan bengawan Kelawing yang dulu mereka buat akan ditambak/dibuat bendungan oleh Pandawa agar bisa mensejahterakan pertanian di Amarta dan Hastinapura. Namun Kurawa yang dipimpin Prabu Duryudhana dan Arya Dursasana tidak mau. Mereka ingin bengawan Serayu tetap dialirkan atau diubah arahnya seperti biasa tapi itu hanya dalih mereka saja. Kurawa ingin menguasai Bengawan Serayu sepenuhnya untuk diri mereka sendiri. Terjadilah ketegangan dan panas-panasan. Dua sisi bengawan itu dijaga prajurit Hastinapura di sisi barat dan Amarta di sisi timur.

Sementara itu, di kadipaten Tempurserayu sebuah kerajaan merdeka di pinggir hutan bakau muara bengawan Serayu, Prabu Rêkathatama dihadap putri dan cucunya, Dewi Rekathawati dan Bambang Srenggini. Bambang Srenggini bertanya " eyang prabu! Ibunda Dewi! Srenggini sudah cukup besar untuk tahu tentang ayahanda. Katakan ibunda Dewi dimana ayahanda?!" Prabu Rêkathatama memberitahu putrinya kalau sudah waktunya Srenggini tahu siapa ayahnya. Dewi Rekathawati berkata " anakku, ayahmu sesungguhnya pangeran dari Hastinapura. Namanya Arya Bhimasena. Nama lainnya ialah Bratasena alias Arya Wrekodara. Jika kamu ingin sekali bertemu dengannya, pergilah anakku. Tapi jangan lupakan ibunda dan eyangmu!" Singkat cerita, Srenggini pergi mengembara mencari ayahnya di Hastinapura. Ia mengarungi bengawan Serayu dari hilir sampai ke hulunya.

Sesampainya di Hastinapura, Srenggini muncul dari dasar bengawan Serayu dan membuat kekacauan. Ia bertanya “permisi tuan....aku mencari ayahku, namanya Arya Wrekodara.” Namun begitu melihat Srenggini punya capit besar di kepalanya, para prajurit Hastinapura tidak menyambut baik “kami tidak tahu dimana bapakmu itu. Baik kau menemui junjungan kami, gusti Prabu Duryudhana. Dia yang lebih tahu” Tapi Bambang Srenggini tidak sabar maka ia memaksa masuk ke istana. Para prajurit menghalangi Srenggini bahkan menghunuskan senjata kepadanya.

Srenggini Bertemu para Kurawa
Tidak terima, maka terjadi perkelahian, namun dengan gampangnya, Bambang Srenggini mengalahkan mereka dengan sambaran kilat yang keluar dari capitnya. Para prajurit Kurawa dikalahkannya lalu datang  Begawan Dorna dan patih Sengkuni. Begawan Dorna berusaha melerai “anak muda, orang yang kau cari tidak ada disini. Jangan memancing keributan disini.” Namun Srenggini keras kepala tidak mau beranjak “aku tidak akan pergi sebelum bertemu dengan ayahku.” Kesabaran begawan Dorna mulai habis. Terjadilah pertarungan antara Srenggini dan Begawan Dorna. Patih Sengkuni membuat siasat. Ia segera mendatangi keponakan tersayangnya. Ia segera mendandani keponakannya, Arya Dursasana agar mirip dengan Arya Wrekodara lengkap dengan pakaian kain poleng biasa dan kuku Pancanaka palsu dari emas. Srenggini dipanggil oleh Arya Wrekodara palsu “anakku kemarilah.... ini aku ayahmu....” Srenggini lalu datang dan menyembah hormat pada arya Wrekodara jadi-jadian itu. Arya Wrekodara palsu lalu berkata “anakku....aku akan bersedia menerimamu sebagai putraku  kalau kau bisa merusak bangunan tambak/bendungan yang ada di tengah Bengawan Serayu. Gara-gara tambak itu, kerajaan ini dilanda banjir.”  Bambang Srenggini langsung paham dan segera mencebur ke Bengawan Serayu. Begitu sampai di depan tambak, Srenggini menggunakan kekuatan petirnya yang muncul dari capitnya. Timbul guntur keras yang menghancurkan tambak dan tanggul buatan Pandawa.

Di istana Indraprastha, Prabu Yudhisthira mendapat laporan dari patih Tambakganggeng kalau ada masalah di Bengawan Serayu. Air tiba-tiba meluap dan tanggul sungai longsor membuat kerajaan Amarta kebanjiran. Para Pandawa dan para putra segera mengecek dan melihat ada pemuda bercapit kepiting sedang menghancurkan tambak. Arjuna marah-marah sambil berkata " Hei anak muda, siapa kau? Seenaknya kau menghancurkan tambak ini”  Srenggini menjawab dengan santai  “aku Srenggini, aku ditugaskan ayahku dari Hastinapura untuk merusak tambak ini.” Arjuna berang “Kau orang suruhan para Kurawa untuk menghancurkan proyek ini! Sebelum kau berhasil, kau harus melawan putra-putra dan para keponakanku !" Turunlah Antareja, Gatotkaca, dan Antasena. Begitu juga Pancawala, Abimanyu, Irawan, Sumitra, Brantalaras, dan Wisanggeni. Gatotkaca melawan dengan membawa kantong angin. “rasakan ini, Srenggini....!!”  karena hempasan angin itu, Srenggini terlempar ke udara lalu Gatotkaca meghajarnya hingga terhempas ke tanah. Di atas tanah, Antareja membenamkan dan menghajarnya hingga menghantam bebatuan dan tanah keras. Abimanyu, Irawan, Sumitra, Brantalaras, dan Wisanggeni membombardir Srenggini dengan panah Naracabala berbagai wujud, mulai dari panah api, panah air, panah guntur, hingga panah peledak. Antasena menyerang dengan membawa ombak besar dari Bengawan Serayu untuk menyapu Srenggini. Semuanya mati-matian berusaha melawan Srenggini namun anehnya para putra Pandawa dibuat terdesak dengan kekuatan petir dan listrik milik Srenggini. Hanya Antasena dan Wisanggeni yang berhasil menghindar. Antareja segera memerintahkan mereka segera lari “adhi Antasena! Adhi Wisanggeni! Cepat cari kakek Semar dan uwa prabu Sri Kresna.” Singkat kata, hampir semua putra Pandawa kalah ditangan Srenggini. Semuanya ditotok dengan Aji Totok Sewu hingga tidak bisa bergerak. Empat dari lima Pandawa juga dilawannya dan semuanya kalah. Bahkan entah mendapat kekuatan darimana, Srenggini mampu mengubah wujud para Pandawa dan putra-putra mereka jadi hewan. Prabu Yudhistira jadi burung Paksi Dewata, Arjuna jadi banteng hitam, Nakula-Sadewa jadi sepasang kuda jantan, Pancawala jadi burung merak, Gatotkaca jadi rajawali, Antareja jadi ular hijau, dan anak-anak Arjuna jadi anak sapi.

Di kerajaan Dwarawati, Prabu Sri Kresna dihadapan para penggawa dan Prabu Baladéwa menerima kedatangan kakek Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong juga Arya Antasena dan Bambang Wisanggeni yang baru saja tiba. Di sana mereka membawakan kabar “terima sembah bekti kami.... kakek Semar! Uwa Prabu! rencana pembangunan tambak Serayu sudah kacau” Prabu Kresna kaget mendenarnya. Ia bertanya “kok bisa kacau? Apa ada masalah di sana?” Wisanggeni menjawab “bener uwa prabu, Tambak Serayu dirusak oleh pemuda gagah bercapit kepiting. Namanya Srenggini.” Prabu Kresna lalu melihat dari Kaca Lopian miliknya. Setelah melihat isinya ia berkata "Antasena! Wisanggeni! Pemuda yang kalian bicarakan itu sedang ditipu dan dalam pengaruh para Kurawa. Dia harus disadarkan..... yang sanggup menyadarkan anak ini cuma bapak dan kakaknya yang nomor tiga." Antasena yang lugu berkata “waduh, uwa, aku kurang paham maksudmu.” Wisanggeni lalu menanggapi " kakang Antasena, nanti awakmu bakal tahu maksude uwa prabu. Sekarang ayo kita selidiki." Singkat cerita, mereka menyelam ke dasar bengawan Serayu mengikuti ke arah hulu sungai, mengikuti arus air menuju ke arah Hastinapura. Setelah menyelam cukup lama, mereka sampai di tempat para Kurawa berkumpul. Disana, mereka berdua melihat pemuda bercapit kepiting itu sedang bersama Kurawa dan Arya Wrekodara. Wisanggeni dan Antasena dibuat kaget karena sepengetahuan Antasena, bapaknya itu sekarang masih di Pringgondani bersama Bimandari. Mereka segera ke Pringgondani mengabarkan hal ini.

Di Pringgondani, Arya Wrekodara sedang bercengkrama bersama sang isteri, Dewi Arimbi dan putri mereka, Dewi Bimandari. Lalu datanglah Antasena, Wisanggeni, dan para Punakawan. Mereka segera memberitahu hal-hal yang terjadi dan apa yang dilihat oleh Prabu Kresna “ampun bapak....kami datang membawa kabar yang tidak enak. Rencan pembangunan tambak di bengawan Serayu kacau.” “benar kata kakang Antasena, uwa. Tambak iku saiki dirusak pemuda dengan capit kepiting di kepalanya. Pemuda itu ada dipengaruhi para Kurawa.” Arya Wrekodara kaget dan marah mendengarnya. Antasena lalu melanjutkan kata-katanya “menurut penglihatan Kaca Lopian dari uwa Prabu Kresna, yang bisa menyadarkan pemuda itu seorang bapak yang punya tiga anak.” Tanpa ba-bi-bu lagi, Arya Wrekodara pamit kepada isteri dan putrinya untuk menyelesaikan masalh ini. Akhirnya mereka bertujuh segera bertolak ke Hastinapura melalui hulu bengawan Serayu. Sebelum sampai ke tempat para Kurawa, kakek Semar menghentikan mereka di pinggir tambak. Ia melihat ada sekawanan hewan di pinggir tambak itu. Semar melihat dari terawangan miliknya lalu berkata penuh keheranan “duh mblegedag gedug....hemelhemel....waduhhh....ndoro kabeh!? Owawlah-walah.....kok bisa jadi begini sampeyan-sampeyan semua?!” Arya Wrekodara kaget kenapa kakek Semar berkata demikian. Semar lalu mengatakan kalau semua hewan-hewan yang ada di pinggir tambak ini jelmaan empat saudara Arya Wrekodara dan para putra mereka termasuk Antareja dan Gatotkaca yang diubah wujudnya jadi ular dan rajawali. Makin murkalah Arya Wrekodara setelah mendengar kenyataan itu. Mereka pun segera menggiring hewan-hewan itu untuk mengikuti mereka ke Hastinapura.

Di Hastinapura, Prabu Duryudhana menyambut kedatangan Arya Wrekodara palsu dan Bambang Srenggini yang berhasil mengacaukan rencana Pandawa. Tiba-tiba datang Arya Wrekodara bersama Antasena, Wisanggeni, kakek Semar dan semua hewan jelmaan para Pandawa dan para putra. Srenggini kaget melihat bapaknya ada dua orang. Arya Wrekodara palsu menghasut Srenggini “anakku...aku ini lah ayahmu yang asli dan Wrekodara yang bersama hewan-hewan itu palsu. Segera serang dia.” Terjadilah pertarungan antara ayah dan anak. Arya Wrekodara menasehati bahwa ia membela pihak yang tidak benar. Srenggini tidak peduli lalu dengan kekuatan petirnya, Arya Wrekodara disetrum lalu ditotok sampai pingsan. Lalu giliran Antasena maju membela ayahnya. Kedua ksatria saling bertarung dengan menggunakan kekuatan air dan petir juga capit mereka masing-masing. Pertarungan itu teradi di atas bengawan Serayu yang sedang banjir.

Antasena bertarung demi menyadarkan Srenggini
Pertarungan dua ksatria bersaudara itu menggetarkan alam. Yang satu ksatria bercapit udang sedangkan ksatria bercapit kepiting. Keduanya saling capit, saling seruduk, saling pukul, saling banting, dan saling melemparkan ombak dan petir. Keduanya seimbang sehingga Antasena menyadari akan titik buta Srenggini ada di capitnya maka Antasena segera mengarahkan air bah besar. Lalu di saat Srenggini lengah karena menahan sapuan ombak, Antasena segera menggunakan aji Pangasrepan dan  membekukan capit itu.

Srenggini tak berdaya karena capitnya beku oleh es. Mendadak ia mengingat sesuatu kalau selama ini sesuatu yang salah telah membuatnya seperti ini. Namun ada kekuatan lain yang coba merasukinya lagi. Antasena mendekat dan memberikan air obat dari cupu Madusena. Ketika diminum, Srenggini mengerang kesakitan dan keluarlah sinar merah yang ternyata jelmaan dari Ditya Bademas, jin jahat suruhan Dewasrani. Rupanya, para Kurawa sudah bekerjasama dengan Dewasrani sejak Wisanggeni mengalahkannya. Antasena menyadari kalau Srenggini dirasuk roh jahat. Setelah pengaruh roh jahat itu luntur, Antasena segera memberikan kata-kata makjleb “Srenggini, yang kau bela itu orang-orang tidak benar.” Srenggini merasa kalau yang dikatakan Antasena ada benarnya. Ia pun menyerah baik-baik. Setelah berhasil disadarkan, Srenggini menghidupkan kembali Arya Wrekodara dari pingsan. Srenggini minta maaf karena sudah berbuat salah “ampuni kesalahan saya....sebenarnya aku datang untuk mencari ayahku yakni Bhimasena alias Wrekodara.” Arya Wrekodara yang asli memberikan klarifikasi “Hei, cah gemblung. Arya Wrekodara alias Bhimasena yang kau cari bukan yang ada bersama Kurawa itu. Yang ada dihadapanmu iki Arya Wrekodara sing asli. Aku iki ayahmu seng sejati. Orang-orang sing awakmu supata dadi hewan-hewan itu para paman, abang, dan sepupumu. Awakmu iki sudah ditipu, kena apus-apus.” Srenggini sontak menitikkan air mata dan langsung jatuh bersujud di kaki, memintaa maaf karena sudah menyerang ayahnya yang sebenarnya, namun Arya Wrekodara belum bersedia menerima permohonan maaf kalau Srenggini belum bisa mengalahkan Arya Wrekodara palsu. Srenggini manut dan akhirnya ia menantang duel Arya Wrekodara palsu. Srenggini menyerang dari berbagai arah dan sebagai serangan pamungkasnya, setelah berbagai pertarungan ia menyabetkan petir yang mencuat dari capitnya ke tubuh Arya Wrekodara palsu dan para Kurawa. Badarlah penyamaran Arya Wrekodara palsu kembali sebagai Arya Dursasana. Arya Wrekodara asli membantu Srenggini mengusir para Kurawa. Setelah para Kurawa terusir, dengan bantuan Antasena, Srenggini menyembuhkan Para Pandawa dan para putra yang dikutuk sebagai hewan. Berkat Srenggini, Para Pandawa, Antareja, Gatotkaca, dan para putra Arjuna berhasil dibebaskan dari kutukan dengan percikan air obat yang diminumnya. Akhirnya, Srenggini diakui sebagai anak oleh Arya Wrekodara dan proyek pembangunan tambak dilanjutkan. Begitu tambak selesai, kesejahteraan rakyat Hastinapura dan Amarta kembali terwujud.

 

Selasa, 04 April 2023

Bima Kacep (Bimandari Lair)

 Hai para pembaca dan penikmat pewayangan, kisah pewayangan punya sisi terang dan gelap setiap tokoh di dalamnya. Kali ini, penulis akan mengisahkan kilas balik dari sisi gelap salah seorangg anggota Pandawa yakni Arya Wrekodara yang pernah mencumbui seorang dewi kahyangan saat bertapa brata. Tak tanggung-tanggung, yang ia cumbui adalah Batari Durga, isteri Batara Guru bahkan sampai punya anak. Kelak anak hasil percumbuan mereka akan menjadi penolong para Pandawa saat Bharatayudha. Sumber kisah ini yakni tulisan-tulisan yang ada di grup Facebook, blog caritawayang.blogspot.com, https://tokoh pewayanganjawa.blospot.com, dan sumber-sumber lain di internet.

Hari itu  Arya Wrekodara pergi ke Kadipaten Pringpitu, tempat tinggal salah satu dari kadang Braja yakni Arya Prabakesha untuk menjenguk Dewi Bimandari, putrinya yang dirawat oleh Prabakesha di sana ditemani para putranya, Raden Antareja, Raden Gatotkaca, dan Raden Antasena. Para putra Wrekodara terutama Gatotkaca sangat menyayangi adik perempuannya itu. Saking sayangnya, ia bersedia melakukan apapun demi adiknya itu. Di sela-sela mengasuh sang adik, Gatotkaca bertanya pada bapaknya “rama.... ceritakanlah kami kisah bagaimana dinda Bimandari dilahirkan!”  Antareja menyahut “benar, rama. Selama ini kita sangat sayang kepada dinda Bimandari. Tapi kami tau dia ujug-ujug dia sudah ada tanpa brojol dulu. Sudah saatnya kami tahu bagaimana dinda lahir.”  “iya pak...aku yo penasaran bagaimana aku bisa lahir...tolong pak...ceritakan pada aku dan kakang-kakang” tambah Bimandari. Arya Wrekodara tercekat.

Arya Wrekodara menceritakan masa lalunya
Merah padam mukanya dengan mendengar pertanyaan putra dan putrinya itu. Harus dijawab apa pertanyaan itu. Antasena seakan paham kondisi lalu bilang “kakang dan dinda, bapak jangan diberondong terus. Bapak kayaknya terlalu malu kalo menceritakannya disini. Mending kita cari tempat yang nyaman."  Arya Wrekodara membenarkan kata Antasena “ benar, Antasena. Ayo kita cari tempat dulu biar bapak lebih nyaman buat cerita.” Singkat kata, mereka berlima menuju ke hutan Pucangsewu. Sesampainya di sana, Arya Wrekodara mulai bercerita “nah disinilah tempat dindamu, Bimandari lahir. Sebenarnya bapak isin poll buat cerita..... Bagi bapak iki aib, terlalu memalukan buat diceritakan, tapi sudah saatnya kalian harus tahu” Arya Wrekodara lalu bercerita kilas balik :

Sekitar sepuluh tahun yang lalu, Dewi Arimbi merasa kesal hati karena sudah lama suaminya, Arya Wrekodara, belum kembali dari bertapa brata. Ia lalu berbincang dengan adik bungsunya, Arya Kalabendana “adhi Kalabendana aku merencanakan akan mencari kakang Bratasena denganmu. Mau kau ikut denganku?” Arya Kalabendana yang polos menjawab “Ohh tentu..yunda Arimbi. Biar aku serahkan penjagaan di Pringgonadani ke kakang Prabakesha.”  Arya Prabakesha lalu memberikan masukan “Yunda dan adhi sebaiknya bertanya dulu kepada pukulun Batara Guru, tentu Batara Guru lebih tahu nasib kakang Bratasena masih hidup atau mati.” Kalabendana menolak ketika disuruh menghadap Batara Guru sendirian, ia minta Dewi Arimbi ikut serta. Dewi Arimbi setuju. Agar dapat segera sampai, maka Dewi Arimbi didukung oleh Kalabendana dan dibawa terbang. Begitu sampai di kahyangan, Batra Guru juga hendak pergi. Kebetulan sekali, ketika sampai di pintu kahyangan, Batara Guru juga sedang mencari-cari isterinya, Batari Durga. “Maaf, cucuku. Aku pun sedang mencari-cari istriku, dinda Durga. Katanya ia sedang berusaha membangunkan seorang pertapa sakti”. Batara Guru menyarankan Dewi Arimbi dan Kalabendana mencarinya di sekitar hutan Pucangsewu.

Batari Durga yang sedang dicari-cari suaminya itu ternyata sedang melang-lang buana dengan harimau kesayangannya, Sardulamurti. Akhir-akhir ini ia sangat gelisah karena alam menunjukkan tanda-tanda tak baik. Angin berhembus kencang, Bumi gonjang-ganjing langit kolap-kalip, gempa bumi besar terjadi dimana-mana. Hujan es dan salju deras mengguyur membekukan dataran rendah,  pertanda ada seorang yang melakukan tapa brata keras. Ketika sedang berkeliling bersama ajudannya, Dewi Kalikamaya, rupanya sang dewi ksetra (tanah kuburan) menemukan ada seberkas sinar teja (pelangi tegak lurus) di arah hutan Pucangsewu. “Ida Batari, disana ada seberkas cahaya teja, sepertinya orang yang kita cari ada disana”. Batari Durga menyadari sesuatu kalau itulah orang yang dicarinya. “baik, Kalika. Mari kita turun kesana.” Sang batari yang berjuluk Parwati itu segera turun ke sana.

Di Pucangsewu, Arya Wrekodara sedang bertapa dengan jalan tidur, ia berada sendirian. Ia bertapa memohon restu dewata agar kelak saat ada perang besar nanti dapat memenangkan peperangan. Ia telah bertapa selama lima belas hari dan tidak akan berhenti sebelum keinginannya terkabul. Karena telah merasa cukup lama namun belum ada tanda-tanda bahwa permohonannya akan terkabul, ia merasa sedih. Ia semakin kuat bertap brata. Alam semakin bergejolak. Pepohonan tumbang diterpa angin taufan. Hutan dilanda banjir disusul hawa dingin yang membekukan tumbuhan dan air banjir. Di sisi lain hutan, ianya terbakar hingga habis hangus semua. Gempa bumi menggetarkan tanah di Pucangsewu.Karena kuatnya bertapa. Kahyangan sampai tergetar, hal itu berakibat Batari Durga dan para bidadari lainnya terpengaruh. Mereka mencari akal bagaimana mendekatinya. Atas saran Kalikamaya, Batari Durga memberanikan diri menuju tempat sang Bhimasena bertapa. Ratu para Dewi itu akan membangunkannya. Begitu sang dewi menepuk bahunya, Arya Wrekodara terbangun dan mendapati ada wujud isterinya, Dewi Arimbi. Ketika terbangun, ia melihat ada isterinya berkata “kakanda, mari kita pulang dan berasyik masyuk.” Batari Durga dalam wujud itu mengujinya dengan mengajaknya hubungan badan. Namun Arya Wrekodara teguh “tidak, dinda. Aku gak akan bangun sampai para dewa mengabulkan keinginanku.” Arya Wrekodara kembali bertapa brata. Batari Durga tak hilang akal. Sang Batari lalu duduk dan ikut bertapa brata. Ia akan mencoba cara yang dianggapnya sangat ekstrim. Batari Durga akan meruntuhkan iman sang panegak Pandawa itu di alam khayali. Di dalam khayal, Batari Durga masih menyamar sebagai Dewi Arimbi memeluk sang Wrekodara. Pelukan yang sangat meruntuhkan iman dan mengundang birahi.

Perkimpoian Wrekodara dengan Batari Durga
Pertahanan Arya Wrekodara seketika roboh. Mereka langsung berasyik masyuk, menumpahkan segala rasa dan birahi. Bukan sekadar di alam khayali saja, di alam nyata Arya Wrekodara juga memeluk dan bersanggama dengannya. Batari Durga berhasil menghentikan tapa brata Arya Wrekodara namun karena terlalu menikmati perkimpoian itu, sang Dewi Parwati khawatir akan ketahuan suaminya yakni sang Batara Guru. Agar tidak ketahuan, Batari Durga mengumpulkan awan di sekitar tempat itu. Seketika hutan Pucangsewu teruttup kabut yang sangat tebal.

Batara Guru terus mencari-cari isterinya hingga sampai di hutan Pucangsewu. Di sana, ia mendapati hutan Pucangsewu tertutup awan kabut yang luar biasa tebal. Ia segera menyibak awan itu dan betapa terkejutnya sang penghulu para dewa itu mendapati istrinya tengah berasyik masyuk, melakukan hubungan badan dengan Arya Wrekodara. Dengan membawa pusaka Kyai Cis Jaludara, Batara Guru mendekati mereka dan menodongkan senjata pusaka itu agar keduanya berpisah, namun Batari Durga mengalami kesulitan. Ada kekuatan gaib yang membuatnya dan Arya Wrekodara tidak dapat dipisah. Batari Durga mohon bantuan suaminya untuk memisahkan mereka. Tidak ada pilihan lain, pusaka Cis Jaludara itu dilemparkan dan mengenai keduanya, dengan tak disangka-sangka senjata itu menyunat kulup (kulit kemaluan) sang panegak Pandawa bernama asli Raden Bhima itu. Keduanya akhirnya terpisah dan terbangun dari alam khayali. Karena japa mantra dari Batara Guru, kulit kulup Arya Wrekodara yang terpotong berubah jadi senjata pertanian bernama Angking Gobel. Sang Panegak Pandawa merasa malu sekali, demikian pula Batari Durga. Arya Wrekodara minta ampun kepada Batara Guru “ampun, pukulun....aku wis kebablasan...aku janji gak bakal gawe ngunu lagi.” Batara Guru mengampun Arya Wrekodara. Sang Bhima lalu disuruh kembali ke negaranya. Demikian pula istri Batara Guru yang memilik jejuluk Parwati itu kembali ke Setra Gandamayu; sebelum pergi, Batara Guru membuat kandungan isterinya matang dalam sekejap dan iapun melahirkan anak yang dinamakan Dewi Bimadari. Batara Guru berkata “ Wrekodara, aku tak bisa mentolerir perzinahan ini tapi aku berjanji padamu kalau anakmu ini nanti yang akan menolongmu dan para Pandawa saat dalam perang besar Bharatayudha nanti. Ini janji seorang dewa, tak mungkin aku ingkari.” Arya Wrekodara menerima putri kecilnya itu. Ia pun pergi sambil menggendong Bimandari. Pusaka Angking Gobel juga turut dibawa sebagai pusaka baru Amarta.

Batara Guru rupanya juga akan membalas perbuatan Arya Wrekodara. Sekarang ia ganti akan menggoda Dewi Arimbi sebagai bentuk karmapala yang harus ditanggung Arya Wrekodara. Batara Narada mengatakan “duh adahuhai... adhi Guru.... Dewi Arimbi ditinggal Arya Wrekodara sekarang sedang mencari suaminya bersama Kalabendana.” Batara Guru pergi mencarinya, dan agar keinginannya terlaksana ia menggunakan aji Kawrastrawam dan bertukar wujud sebagai Wrekodara, Batara Narada tidak mau tahu. Maka ia memisahkan diri agar Batara Guru dapat menggoda Dewi Arimbi. Kemudian mereka bertemu, Dewi Arimbi didukung oleh Kalabendana.Kalabendana merasa girang sekali ketika melihat Wrekodara (palsu) itu “duh kakang ipar...kemana saja kakang...yunda Arimbi tercari-cari awakmu, kang. Tapi syukurlah kakang baik-baik saja.”. Demikian juga Wrekodara (palsu), ia juga rindu lalu memberitahu agar Kalabendana memisahkan diri “ ya, adhiku...aku sudah kangen dengan yundamu...aku ingin ada waktu pribadi buat kami.”  Kalabendana lalu mohon izin untuk pergi duluan ke Amarta. Ketika melewati sebuah gubuk, Dewi Arimbi tidak sadar bersama Batara Guru yang menyamar merasa telah lama tidak bertemu dengan suaminya berkata “duh kakanda Sena...aku benar-benar kangen awakmu..... ingin sekali rasanya aku berasyik masyuk denganmu. Bolehlah kita lakukan satu ronde saja.” Tanpa pikir panjang, Arya Wrekodara palsu segera melepaskan semua pakaian dan melakukan hal seronok di gubuk asmara. Dengan sangat asyiknya, Arya Wrekodara palsu itu membuat ibu dari Gatotkaca itu merasakan kenikmatan tiada tara sampai ia tak kuat dan akhirnya pingsan dalam kenikmatan duniawi.

Ketika Arya Wrekodara (yang asli) lewat di tempat itu, ia mendapati isteriny sedang berseronok dengan lelaki lain. Perih dan sakit hatinya melihat Dewi Arimbi berasyik masyuk dengan orang lain. Lebih menyakitkannya lagi, orang yang sedang asyik bersenggama itu menyamarkan dirinya sehingga wajah dan postur tubuhnya mirip sekali dengannya. Arya Wrekpdara (asli) melabrak mereka berdua dengan penuh kemarahan “Arimbi!......Bangun....Kau Mengotori Kesucianmu!.” Keduanya terkesiap dan segera berpakaian. Dewi Arimbi segera bangun dan begitu kaget juga herannya mendapati suaminya ada dua orang. Arya Wrekodara gadungan segera menotok titik chakra Dewi Arimbi sehingga ia pingsan untuk kedua kalinya. Kedua Bhima itu lalu bertengkar dan berkelahi. Lama kelamaan Arya Wrekodara palsu tidak dapat menghadapi yang asli, sehingga ia badar kembali sebagai wujud aslinya, yakni Batara Guru. Arya Wrekodara terkejut dan bertanya “Pukulun.....kau benar-benar tega! Iki gak isok tha’ benarkan...... Pukulun sudah melakukan hal yang keji ini pada isteriku.” Dijawab oleh Batara Guru bahwa perbuatannya harus mendapat karmapala. Gigi dibalas gigi, mata dibalas mata. Arya Wrekodara sadar memang dosa harus dibayar kontan. Meskipun ia tidak berkata-kata lagi, ia tetap tidak terima isterinya dijadikan korban kebejatan sang dewa dengan dalih membalas karmaphala. Maka Arya Wrekodara murka dan mewujudkan wujud krodhanya yakni Bhima Bhirawa. Aji Bayu Bajra dipatrapkan secara maksimal. Angin taufan bertiup amat kencang dan seketika angin itu menyatu di kepalan tangan sang Bratasena. Ia lalu mengahntam batu dan batu itu pecah berhamburan dan debunya beterbangan dihembus angin yang muncul. Dengan sekali hantam, angin bertekanan tinggi menerbangkan apa saja. Batara Guru terkesiap dengan kesaktian Arya Wrekodara kalau sudah ngamuk. Ia memohon maaf dan segera kembali ke kahyangan. Arya Wrekodara mereda kemarahannya.

Arya Wrekodara segera menyadarkan isterinya dari pingsan. Entah dengan kekuatan apa, Arya Wrekodara mengembalikan kesuciaan isterinya. Dewi Arimbi bisa terbangun. Namun demi privasinya, Arya Wrekodara membuat isterinya tidak ingat apa-apa selain ia berhubungan senggama dengan suaminya. Ia melihat suaminya menggendong seorang bayi perempuan dan alat pertanian “kanda, ini bayi siapa?” tanya Dewi Arimbi. Arya Wrekodara berkata ‘dinda, iki hasilku tapa brata. Aku mendapat karunia merawat anak ini dan mendapat pusaka ini dengan bayaran merelakan kulupku disunat para dewa. Nama anakku ini Bimandari. Mungkin dengan aku merawat anakku ini ini, keluarga kita akan bisa memenangkan perang besar kelak.” Dewi Arimbi kurang paham maksud sang suami tapi yang jelas Dewi Arimbi bersyukur kalau tapa brata suaminya mendapat jawaban dari para dewa. Sekembalinya ke Amarta, Dewi Arimbi membawa bayi Dewi Bimandari dan menyerahkannya kepada salah satu adiknya, Arya Prabakesha untuk dirawat.

Begitulah Arya Wrekodara selesai menceritakan semuanya bagaimana Bimandari lahir. ketiga putra Arya Wrekodara termangu-mangu mendengat kisah ayah mereka. Tak disangka, adik mereka ini hasil tapa brata bapak mereka dengan dewi kahyangan. Antareja dan Gatotkaca tercekat tak mampu berkata-kata. Hening sejenak terjadi “waduh pak......ini sih bukan aib lagi tapi skandal besar....duh pak...aku gak habis pikir” ujar Antasena. Arya Wrekodara hanya bisa tertunduk malu. Bimandari yang sedari tadi memperhatikan kisah itu sampai menangis di pelukan sang abang, Gatotkaca “duh pak bapak...begitu rupanya kejadian aku bisa lahir.....aib ini kah yang harus ku tanggung......aku gak nyangka kalau bapak bisa berbuat demikan demi kemenangan keluarga kita.” Bimandari menyalahkan dirinya sendiri. Namun sang ayah segera memeluk dan menenangkan putrinya itu. “cup cup, nduk....kelahiranmu memang begini.......walau begitu bapak sangat sayang padamu, nduk...bagi bapak, kamu itu permata buat bapak..” Mereka menyadari ada hikmah dari ini semua. Kelahiran Bimandari memberi harapan akan kemenangan keluarga Pandawa kelak di kemudian hari. Bimandari juga bersyukur bisa dilahirkan ke dunia ini demi kejayaan dan kemenangan keluarganya. Bimandari lalu memeluk erat bapaknya diikuti Antareja, Gatotkaca dan Antasena. Sejak saat itu, Antareja, Gatotkaca, dan Antasena semakin menyayangi adik perempuan mereka.

Sabtu, 01 April 2023

Irawan Palakrama

 Hai Pembaca dan penikmat cerita wayang berbahagia, kali ini penulis akan melanjutkan kisah Bambang Irawan. Kali ini akan mengisahkan pernikahan Irawan dengan Dewi Titisari. Pernikahan ini hampir tak terlaksana karena ada benturan privilese antara Irawan dengan Lesmana Mandrakumara yang kemudian dikompori oleh Samba. Sumber kisah ini berasal dari blog albumkisahwayang.blogspot.com, beberapa sumber dari internet dan grup pewayangan di Facebook.

Alkisah setelah peristiwa Gambiranom, Antareja telah dilantik sebagai penggawa negara Amarta mendampingi adiknya, Gatotkaca. Sementara itu, desa Yasarata sedang berbenah diri karena sebentar lagi cucu kepala desa yang tak lain Bambang Irawan akan segera menikah dengan Dewi Titisari, putri Sri Kresna. Sementara itu di Dwarawati, Prabu Kresna dan yang lainnya sudah siap. Bahkan Dewi Titisari juga sudah bersedia. Tapi datang gangguan yang tak lain Prabu Baladewa dan Raden Samba. Mereka telah menerima lamaran dari Prabu Duryudhana untuk menikahkan Lesmana Mandrakumara dengan Titisari. Raden Samba yang masih dendam kepada Irawan bahkan meminta agar pernikahan Titisari dibatalkan sekarang juga. Samba berkata dengan menghina Irawan " Dinda Titisari pasti tidak akan bahagia jika menikah dengan Irawan. Dia emang pangeran Amarta tapi, ia cuma anak desa. Dinda Tirisari tidak akan bahagia tinggal di kampung. Aku rasa sayang jika adikku tidak menikah dengan Lesmana Mandrakumara yang jelas-jelas pangeran mahkota negara terkaya di dunia ini." Prabu Kresna malah tersenyum dan berkata " baiklah, aku bersedia membatalkan pernikahan ini!" Raden Samba senang bukan kepalang bisa membalaskan dendam kepada Irawan. Prabu Baladewa mengingatkan keponakannya agar tidak terbawa dendam. Ia melakukan ini karena ini permintaan iparnya yang putranya tak kunjung menikah. Prabu Kresna lalu mengutus Samba memberi kabar ini ke Madukara

Di Madukara, Arjuna dihadap para istri yakni Dewi Sumbadra, Dewi Ulupi, Niken Larasati, dan Dewi Srikandhi membahas persiapan pernikahan Irawan dengan Titisari. Lalu datang Raden Samba membawa kabar bahwa Prabu Kresna membatalkan pernikahan Irawan dan menggantinya pengantin prianya dengan Lesmana Mandrakumara. Bukannya marah atau sedih, Arjuna malah tersenyum. Samba justru harap-harap cemas karena reaksi Arjuna tak seperti yang ia diharapkan. Arjuna lalu berkata pada Samba bahwa ia menerima keputusan Sri Kresna. Samba kembali ke Dwarawati dengan perasaan bingung ”kok malah begitu reaksinya paman Arjuna?”. Setelah Samba pergi, Arjuna memanggil Abimanyu dan Siti Sundari. “aku minta kepada kalian berdua berpisah saja! Sri Kresna sudah bertindak sepihak membatalkan pernikahan Irawan, sekarang kalian harus sama. Siti Sundari, kamu pulanglah ! Kau bukan menantu kesayanganku lagi!" Bagai petir menyambar di siang bolong, kagetlah keduanya begitu juga para isteri Arjuna. Siti Sundari meninggalkan istana Madukara dengan berlinang air mata. Sementara itu, Abimanyu gelagapan mendapat perintah itu dan seketika jatuh pingsan.

Tak lama setelah perceraian paksa itu, datang Bambang Irawan disertai Kakek Semar dan para punakawan. Arjuna berkata bahwa Prabu Kresna membatalkan sepihak pernikahannya dan pengantin laki-lakinya diganti oleh Lesmana Mandrakumara, putra Duryudhana. Ia juga mengatakan bahwa Abimanyu dan Siti Sundari juga sekarang harus dicerai karena keputusan sepihak ini. Irawan sedih, bukan hanya pernikahannya batal tapi kebahagiaan orang lain juga harus direnggut akibat dari ini semua. Irawan bertekad membawa kembali Siti Sundari untuk saudaranya.

Keris Cendana Kembang Kendit Putih
Arjuna tidak mencegahnya malah ia mengirimkan sebuah keris yang dililit kayu cendana dengan kembang kendit putih melingkarinya. Keris ini harus dibawa ke Dwarawati dipersembahkan kepada Prabu Kresna. Singkat cerita, Irawan berhasil menyusul Siti Sundari. Ia berkata "kakak ipar, ayah mengirimkan keris ini kepada paman Prabu Kresna. Tapi kakak jangan pernah bercerai dari kakang Abimanyu. Kembalilah setelah ini." Siti Sundari yang awalnya sedih kembali semringah. Ia paham maksud ayah mertuanya memberikan keris itu. Ia lalu mengatakan sesuatu kepada Irawan " adhiku Irawan, nanti kau bersama kakek Semar dan paman Punakawan langsung ke taman Banoncinawi. Temui Titisari di sana." Maka berangkatlah Siti Sundari dan Irawan diiringi para Punakawan ke Dwarawati. Sebelum sampai istana, mereka berpencar.

Dewi Siti Sundari masuk melalui pintu depan istana, sedangkan Bambang Irawan dan para panakawan menyusup melalui pintu belakang. Siti Sundari menghadap Prabu Kresna dan berkata bahwa ia telah dipaksa untuk pisah dengan Abimanyu dan diusir pulang ke Dwarawati oleh ayah mertuanya. Ia juga memberikan keris belum jadi yang dililit kembang kendit putih dan kayu cendana dari Arjuna. Prabu Kresna tersenyum tipis dan mempersilakan putrinya itu istirahat. Tak lama kemudian, datang Prabu Baladewa, Raden Samba, Prabu Duryudhana, Dewi Banowati, dan Raden Lesmana Mandrakumara yang sudah berpakaian pengantin lengkap. Prabu Kresna menyambut kedatangan mereka dan mempersilakan untuk beristirahat terlebih dulu di wisma tamu. Mengenai pernikahan antara Lesmana dengan Titisari akan dibahas nanti. Para tamu itu pun senang dan bergegas menuju wisma tamu, kecuali Lesmana yang penasaran ingin melihat seperti apa rupa calon istrinya. Sementara itu, Siti Sundari telah berada di Taman Banoncinawi menemui adiknya, Titisari. Keduanya lalu berbincang-bincang mengenai rencana pernikahan besok. Titisari mengaku kecewa karena perjodohannya dengan Bambang Irawan dibatalkan, dan diganti dengan Raden Lesmana Mandrakumara. Siti Sundari bertanya "Dinda, kenapa kau bisa bicara begitu? Apa kau pernah bertemu Bambang Irawan dan Lesmana sampai-sampai dinda bisa membandingkan mereka segala?"

Dewi Titisari menjawab "belum, yunda Dewi, tapi aku pernah memimpikannya. Irawan itu sangat tampan, mukanya sama seperti pamanda Arjuna. Di dalam mimpi, dia begitu ramah dan juga baik kepadaku. Kami berpelukan dan saling kejar-kejaran dengan penuh cinta. Aku merasa dia lah jodoh yang telah Hyang Widhi pilihkan kepadaku." Dewi Siti Sundari kaget lalu memberikan perkataan yang langsung mengena "Begitukah? Misalkan kalau pujaan adik kecilku ini beneran ada disini, gimana reaksimu?" Dewi Titisari berkata "itu tidak mungkin, Yunda. Aku sudah dijodohkan dengan Lesmana. Tapi jika benar dia ada di sini, aku akan sangat bahagia." Siti Sundari pun memanggil Irawan agar keluar dari persembunyian. Melihat sang kekasih muncul, Dewi Titisari terkejut bercampur malu. Titisari bergumam " Aduh Hyang Widhi.....ini bukan mimpi, kan? Dia datang kemari." Sebaliknya, Bambang Irawan juga merasa gugup, padahal biasanya ia sangat pandai merayu perempuan, mewarisi sifat ayahnya "duh gusti jagat Dewa Batara......dia benar-benar seperti yang aku impikan. Apa ini yang namanya takdir cinta?" gumam Irawan. Karena semakin malu, Dewi Titisari pun lari meninggalkan tempat itu. Siti Sundari lalu menyuruh Bambang Irawan agar mengejar. Di saat mereka saling kejar-kejaran, datang paman Petruk menyamar jadi hantu menakut-nakuti Titisari. Sontak, ia berbalik dan memeluk Bambang Irawan. Keduanya saling terpesona. Sang bayangan Arjuna itu menggendong pujaan hatinya dan membawanya duduk di bawah pohon trengguli yang tengah mekar berbunga. Mereka menumpahkan segala rasa dan rindu.

Lalu datanglah Antareja, Gatotkaca, dan Antasena lewat jalur bawah tanah mengabarkan kalau kabar pisahnya Abimanyu dan kaburnya Irawan ke Dwarawati sampai ke telinga Prabu Yudhistira. Prabu Yudhistira sekarang mengirimkan sepasukan prajurit Amarta dipimpin langsung ayah mereka, Arya Wrekodara dan Arjuna untuk mengamankan Irawan bila terjadi sesuatu. Mereka ingin memastikan keselamatan para sepupunya. Siti Sundari berkata kalau Irawan baik-baik saja dan mereka akan segera menikah. Ia sudah menyusun siasatnya. Irawan segera membawa Titisari pergi dari Dwarawati lewat bawah tanah. Sementara itu, Siti Sundari sudah bersiap di taman dan menjalankan siasatnya.  Tanpa mereka sadari, Lesmana Mandrakumara memergoki kalau ada orang lain di dalam taman sedang memeluk lalu melarikan Titisari. Tapi sebelum itu, Antasena mengerjai pangeran manja itu dengan menciptakan kolam air tak terlihat. Tak ayal ia pun tercebur. Maka ia melaporkan hal itu kepada ayahnya “ayah, calon isteriku mau dilarikan orang!” Prabu Duryudhana murka menganggap penjagaan di Dwarawati sangat longgar. Prabu Kresna dan Prabu Baladéwa marah dikatai demikian. Maka mereka menyiapkan pasukan Narayani untuk menangkap orang yang melarikan Titisari.

Terjadilah perang antara Amarta dengan Dwarawati. Anehnya tidak ada satupun prajurit dari kedua belah pihak yang terbunuh ataupun terluka. Prabu Kresna baru sadar kalau Cangkok Wijayakusuma miliknya dicuri Siti Sundari. Kresna menganggap yang menyuruh putrinya berbuat demikian adalah Arjuna. Sementara itu, Antareja, Gatotkaca, dan Antasena telah sampai di Amarta bersama Dewi Siti Sundari, Dewi Titisari dan Bambang Irawan. Arya Wrekodara menyambut mereka dan menyuruh kedua pengantin bersembunyi di dalam istana Indraprastha.

Para putra Pandawa mendamaikan Kresna dan Arjuna
Tak berapa lama kemudian, Prabu Baladewa sampai di depan istana marah-marah minta Titisari dikembalikan. Arya Wrekodara melindungi Irawan dan bertarung gada dengan sang guru. Arjuna sendiri berperang tanding dengan Kresna. Ketika Prabu Kresna hendak melemparkan Cakra Widaksana, Arjuna menyambutnya dengan panah Ardadedali. Kedua senjata itu akan beradu lalu keluarlah Siti Sundari, Abimanyu, Irawan, dan Titisari memohon agar orang tua mereka jangan saling membunuh. Prabu Kresna berkata semua ini terjadi karena keputusan Arjuna menceraikan Siti Sundari secara sepihak. Siti Sundari berkata " lah kanjeng rama, siapa yang diceraikan? ramanda Arjuna bilang ke aku untuk pulang, bukan cerai. Dan itu semua atas keinginan sendiri, bukan karena aku diceraikan." Prabu Kresna bingung sejenak lalu tertawa. Selama ini ia biasa mengakali orang-orang tapi hari ini ia justru diakali putrinya sendiri. Prabu Baladewa akhirnya menyadari kesalahannya. Ia minta maaf sudah membuat kekacauan. Ia jadi buang-buang tenaga demi keinginan Samba dan Lesmana Mandrakumara yang dendam pada anak-anak Arjuna. Prabu Kresna dan Prabu Baladéwa pun merestui pernikahan Irawan dan Titisari. Raden Samba yang bersama Raden Lesmana Mandrakumara datang marah-marah berkata kalau Titisari tak akan bahagia tinggal bersama Irawan yang cuma anak desa. Irawan membalas dengan telak " Kakang Samba, emangnya kenapa dengan anak desa? Kami anak desa bisa memajukan negara. Tanpa adanya desa, negara tak akan bisa berdiri. Kau membanggakan diri sebagai anak kota. Tanpa anak desa kayak aku, kamu bisa apa? Kamu bisa makan apa?" Dewi Titisari membela calon suaminya "Benar kakang Samba, aku bahagia jika jadi orang desa. Kakang tak sadar diri! kanjeng rama, Ibu Radha, ibu Jembawati juga kakang Gunadewa besar sebagai anak desa." Jawaban telak itu membuat Samba tak berkutik lagi.

Hari berikutnya, pernikahan Irawan dan Titisari digelar meriah tapi tidak digelar di Amarta ataupun Dwarawati melainkan di Desa Yasarata. Para Kurawa turut diundang tapi Prabu Duryudhana dan Raden Lesmana Mandrakumara marah-marah tidak sudi ikut. Mereka yang dipimpin Arya Dursasana malah mengacak-acak pesta namun hal itu bisa dihindari dengan diusirnya mereka oleh Arya Wrekodara dan ketiga putranya. Pernikahan bisa berjalan kembali tanpa gangguan.  Beberapa hari kemudian setelah pernikahan, status Desa Yasarata naik derajat menjadi Kadipaten Yasarata. Irawan ditunjuk sebagai adipati Yasarata. Selama itu pula, Kadipaten Yasarata telah jadi sebuah desa besar. Irawan telah membuktikan dirinya sebgai anak desa yang sukses terlepas dari statusnya yang sebenarnya pangeran negara besar.