Jumat, 26 Februari 2021

Kisah Sri-Sadana

 Matur Salam, para pembaca. Kisah yang kli ini saya tulis menceritakan tentang Dewi Sri dan Batara Sadana, dewi pangan dan dewa sandang yang ada dipuja di Jawa dan Bali. Dikisahkan pula asal mula serangga menjadi hama. Kisah ini mengambil sumber dari blog albumceritawayang.blogspot.com, Serat Pustakaraja Purwa karya Raden Ngabehi Ranggawarsita, dan kisah legenda Dewi Sri dengan perubahan dan pengembangan seperlunya. 

Geger Tisnawati

Kahyangan hari itu cerah ceria, burung-burung berkicau dan hinggap di pohon-pohon manggadewa Tangganingjiwa. Suasana yang tenang dikejutkan dengan suara alunan senandung yang merdu luarbiasa. Batara Guru dan para dewa lainnya mencari sumber suara itu. ketahuanlah senandung itu dinyanyikan oleh Dewi Tisnawati, salah satu bidadari taman Kaendran. Parasnya cantik jelita, wajahnya bercahaya bak sinar bulan purnama. Batara Guru kepincut padanya, lupa kalau dia sudah beristrikan Dewi Durga. “Tisnawati, indah sekali lagu yang kau senandungkan. Aku ingin menikahimu menggantikan dinda Durga.” Dewi Tisnawati tidak mau namun ia takut untuk menolak sang raja dewa. Ia pun membuat permintaan “ampun paduka ulun, hamba akan memenuhi pernikahan jika paduka ulun bisa memberikan baju yang tak bisa usang selamanya, makanan yang sekali makan bisa mengenyangkan, dan gamelan kepyok.” Batara Guru menyanggupi dan mengutus putra Batara Kala dengan Dewi Permoni, Kala Gumarang untuk mencari benda-benda itu.

Di tengah perjalanan, kala Gumarang lupa tugasnya dan malah terpesona pada Dewi Srilaksmi, istri Batara Wisnu.

Geger Tisnawati
Kala Gumarang terus saja mengejar-ngejar Dewi Srilaksmi hingga turun ke marcapada. Dewi Srilaksmi menjerit “kanda Wisnu, tolong aku!. Aku dikejar raksasa yang berkelakuan bak babi hutan ini.” seketika Kala Gumarang berubah wujud menjadi babi hutan. Kala Gumarang semakin beringas lalu turunlah Batara Wisnu ke Marcapada dan berubah wujud menjadi rotan penjalin. Kemanapun Kala Gumarang berjalan, pasti tertusuk dan terserimpet duri dari rotan penjalin itu. Kala Gumarang terus berjalan terseok-seok sampai dia jatuh tak bisa kembali ke kahyangan.

Mendapati Kala Gumarang bertukar wujud menjadi babi hutan dan tak mampu kembali ke kahyangan, Batara Guru marah besar dan memaksa Dewi Tisnawati untuk melayaninya, Dewi Tisnawati ketakutan dan memilih terjun ke Marcapada. Dia pun berdoa “Ohh Sanghyang Jagat Pramuditha, Sanghyang Widhi yang maha Agung...tolong lenyapkanlah tubuhku saja dari dunia ini.” Tuhan Yang maha Kuasa mengabulkan permintaan sang bidadari. Atmanya menyatu bersama tanaman padi, jagung, jewawut, buah-buahan, sayur-mayur, dan tanaman-tanaman lainnya. Sementara tubuhnya yang hancur di tanah ditumbuhi pepohonan dan bertukar menjadi hutan di Krendhawana.

Terciptanya Hama Pertanian

Kala Gumarang yang masih berwujud babi hutan mengobrak-abrik hutan dan segala tanaman pertanian di seluruh Jawadwipa. Menyadari Jawadwipa akan ditimpa kelaparan jika dibiarkan, Batara Wisnu dan Dewi Srilaksmi berbagi tugas.

Kala Gumarang Tigas
Dewi Srilaksmi segera menyebarkan benih-benih tanaman baru di tanah bekas injakan Kala Gumarang sementara Batara Wisnu segera mengarahkan panah dan berubahlah panah itu menjadi Cakra Widaksana. Cakra itu mengarah ke babi jelmaan Kala Gumarang. Jrasss... tewaslah Kala Gumarang. Darah Kala Gumarang diminum setiap hama pengganggu tanaman pertanian seperti belalang, ulat, belatung, wereng, kutu, kepik, walang sangit, caplak, tungau, dan lainnya.

Kelahiran Sri-Sadana

Pada suatu malam , Prabu Srimahapunggung mendapat mimpi. Di dalam mimpi itu, sang ayah dan ibunya, Batara Wisnu dan Dewi Srilaksmi akan menitis “anakku, Srigati. Kami akan menitiskan sedikit sifat kami pada salah satu putra-putrimu. Tolong jagalah titisan kami baik-baik.” Prabu Srimahapunggung terbangun dan mendapati istrinya yang tengah hamil tua kesakitan tanda akan melahirkan. Setelah menunggu beberapa lama, lahirlah sepasang bayi kembar buncing. Anak yang perempuan dinamai Dewi Sri dan yang laki-laki dinamai Raden Sadana. Tiga tahun kemudian setelah kelahiran Sri dan Sadana, lahirlah dua putra kembar yaitu Raden Wandu dan Raden Oya. Keempat putra-putri prabu Srimahapunggung itu tumbuh menjadi gadis yang cantik jelita dan para pemuda yang tampan. Dewi Sri selain ayu juga cerdas. Raden Sadana dan kedua adiknya menjadi pribadi yang gentur tapa dan belajarnya.

Minggatnya Sri-Sadana

25 tahun telah berlalu, Raden Wandu dan Raden Oya sudah menikah namun tidak bagi kakak mereka, Dewi Sri dan Raden Sadana. Mereka belum mau menikah. Raden Sadana enggan menikah bila Dewi Sri belum menikah “ayahanda prabu, bukan anak prabu tidak mau menikah namun hamba ingin agar Yunda Sri menikah dulu.” “tidak, Dimas Sadana. Kau harus lah yang menikah dahulu. Tak payah pedulikan kakakmu. Kakak akan menempuh perjalanan menjadi dewi kahyangan.” Prabu Srimahapunggung menjadi pusing karena tabiat kedua anaknya. Hingga pada suatu malam Dewi Sri kabur dari keraton lalu disusul Raden Sadana keesokan harinya.

Kembaranya Dewi Sri

Di rimba yang luas, Dewi Sri mengembara dengan bebas. Bisa menari-nari diantara bunga-bunga, makan buah-buahan hutan yang enak, dan belajar mempraktekkan bela diri yang ia kuasai. Ia merasa dekat sekali dengan alam hijau terbuka. Lalu ia tiba di sebuah kampung. Di sana ia bertemu sepasang suami istri bernama Ki Bawada dan Nimas Patani. Nimas Patani sangat baik hati dan mempersilakan putri raja Srimahapunggung itu. Dewi Sri ingin pergi melihat dipan balai Nimas Patani. Di sana, Dewi Sri mengajarkan tata cara membersihkan tempat tidur itu, karena tempat tidur yang bersih bisa membawa keberkahan dari Tuhan yang Maha Kuasa. Lalu datang seorang perampok bernama Kalandaru yang telah lama mengincar Dewi Sri di hutan. Ki Bawada tewas demi melindungi Dewi Sri. Dia berwasiat agar Dewi Sri dan Nimas Patani segera lari ke desa tetangga.

Dewi Sri dan Nimas Patani berhasil melarikan diri dan sampai di desa Karanglengki. Di sana mereka bertemu Ki Buyut Krama dan Nimas Sambawati. Kebetulan Nimas Sambawati adalah sahabat Nimas Patani. Semenjak minggat dari keraton, Dewi Sri baru kali ini merasakan lapar. Nimas Sambawati pun menyajikan nasi golong, pecel, ayam, sayur menir dan sekendi air pegunungan. Dewi Sri merasa berterima kasih telah disajikan makanan seenak itu. dia kemudian mengajarkan doa ketika hendak dan sesudah makan dan tata cara menjaga kebersihan dapur, gentong pedaringan(tempat beras), dan kebersihan kamar mandi. Lalu datanglah Kalandaru dan gerombolannya mengejar Dewi Sri. Ki Buyut Krama segera menyuruh Dewi Sri, istrinya, dan Nimas Patani agar mengungsi ke rumah Ki Wangkeng di Mendangwatu.Dewi Sri dan para nimas segera melarikan diri sementara Ki Buyut Krama tewas setelah memerangi perampok Kalandaru. Hari pun mulai beranjak petang. Perjalanan ketiga wanita itu sampai di rumah seorang remaja bernama Nimas Sindura. Kebetulan di sana ada orang tua Nimas Sindura, yakni Ki Radima dan Niken Sangkep. Mereka bertiga memohon izin untuk menginap sejenak. Ketiganya disambut penuh hormat oleh tuan rumah. Ketika itu, Nimas Sindura sedang memetik bunga di taman. Dilihatnya itu taman dan kebun Ki Radima dipenuhi bunga-bunga dan sayur mayur. Dewi Sri mengajarkan mereka tata cara merawat taman dan kebun serta bagaimana doa agar kebun dan taman tetap subur. Setelah puas beristirahat, dini hari itu Dewi Sri, Nimas Sambawati, dan Nimas Patani melanjutkan perjalanan. Karena hari masih gelap, keluarga Ki Radima ikut mengantarkannya ke desa Mendangwatu. Di tengah jalan, rombongan Dewi Sri bertemu seorang pengembara muda bernama Umbul Manggala bersama sepasang sapi miliknya. Sapi jantan milik Umbul Manggala sedang sakit karena luka peradangan di kakinya. Dewi Sri segera mencari dedaunan obat lalu berdoa pada Yang Maha Kuasa. Ajaib, luka itu langsung sembuh atas kemurahan Yang Maha Kuasa. Dewi Sri bertanya padanya “nak Umbul, hendak kemana kamu tengah malam begini?” “begini, gusti putri, hamba tidak punya tempat tinggal. Rumah hamba dibakar perampok. Hamba berhasil melarikan diri bersama sepasang sapi saya ini.” Mendengar kisah itu, Dewi Sri merasa kasihan. Ia menawarkan agar ikut dengannya ke desa Mendangwatu. Dia juga mengajarkan Umbul Manggala tata cara merawat hewan yang sakit dan cara membersihkan kandang. Sebagai tanda terima kasih, Dewi Sri dipersilakan naik ke atas punggung sapi betina milik Umbul Manggala. Tibalah rombongan Dewi Sri di desa Bojakata. Kala itu desa Bojakata sedang ditimpa kelaparan. Padi-padi di sawah dan lumbung dimakan wereng dan ulat merah, begitu juga pohon buah-buahan, tanaman sayur-mayur, jagung, dan jawawut yang ada di sana. Lalu mereka singgah di rumah salah satu warga di sana yaitu Ki Warahas dan Niken Pitengan. Dewi Sri ikut membantu mereka dan warga desa membasmi hama dan ia pun berdoa agar hama-hama dan penyakit minggat dari desa Bojakata. Setelah beberapa hari, hama wereng dan ulat merah benar-benar pergi dan hila ng. Dewi Sri juga mengganti nama Niken Pitengan menjadi Niken Martani dan Ki Warahas menjadi Ki Buyut Muskala karena nama adalah sebuah doa yang mungkin bisa baik atau buruk pengaruhnya. Di sana ia mengajarkan pada mereka tatacara menjaga kebersihan lumbung dan gudang.

Pertemuan Kembali

Di tengah perjalanan, rombongan Dewi Sri bertemu dengan rombongan Raden Sadana. Dewi Sri sangat senang bertemu kembali dengan saudara kembarnya itu bahkan kini Raden Sadana sudah menikah dengan putri Begawan Brahmanaresi, saudara prabu Bremana yakni Dewi Laksmitawahini. Kini mereka bersama-sama menuju ke desa Mendangwatu. Sesampainya di sana, mereka disambut baik oleh kepala desa Mendangwatu, Ki Buyut Wangkeng dan Niken Sani. Di sana sedang panen padi. Ki Buyut Wangkeng sedang menjemur padi sementara Niken Sani dan para putrinya sedang menumbuk padi dengan alu dan lesung. Dewi Sri dan Raden Sadana merasa tentram mendengar suara lesung yang ditabuh  itu. Dia memerintahkan Niken Sani dan suaminya agar suara-suara itu dilestarikannya sebagai tradisi Jawadwipa. Sejak kedatangan Dewi Sri dan Raden Sadana, kehidupan di penjuru Jawadwipa menjadi makmur dan tentram. Namun tiba-tiba datanglah Kalandaru dan para perampok. Kali ini mereka datang dengan pemimpin mereka yaitu Pulaswa. Mereka menghancurkan dan membakar seluruh desa Mendangwatu. Para pria membantu kedua junjungan mereka. Ki Buyut Wangkeng dan Umbul Manggala mematrapkan Aji Pangasrepan untuk menurunkan hujan es dan angin dingin. Awalnya para perampok yang terdesak namun setelah Pulaswa turun tangan, lama-lama keduanya mulai terdesak. Dewi Sri dan Raden Sadana segera memerintahkan pengikut mereka agar segera melarikan diri. Pulaswa melihat paras Dewi Sri menjadi terpesona dan dengan kesaktiannya, dia menculiknya. Dibawalah Dewi Sri ke puncak gunung dan minta untuk dilayani. Tentu saja, Dewi Sri menolak. Karena memberontak dan meronta-ronta, Dewi Sri terjatuh ke jurang . Dewi Sri berdoa sambil memanggil datuknya, Batara Wisnu” Eyang Wisnu, tolong cucumu.” Keajaiban terjadi. Datanglah kendaraan Batara Wisnu, Garuda Brihawan mengangkat tubuh Dewi Sri. Sementara itu Raden Sadana dan para punakawannya berhasil mengalahkan para perampok. Bahkan Pulaswa dan Kalandaru berhasil ditewaskan Raden Sadana.

Adhege Sri Ngawanti

Para pengikut Dewi Sri dan Raden Sadana telah menunggu di pinggir desa menatap getir desa Mendangwatu yang kini merah membara dimakan si jago merah. Pandangan getir itu seketika hilang dengan kembalinya Dewi Sri dan Raden Sadana. Merka kembali mengembara dan sampailah di Hutan Medangagung. Tanah di hutan itu sangat subur dan di sana mereka mendirikan desa baru. Setelah selesai, para pengikut Dewi Sri dan raden Sadana mengadakan jamuan syukur. Dewi Sri, Raden Sadana, dan Dewi Laksmitawahini yang kini sedang hamil muda memutuskan untuk memulai hidup baru di desa itu. Desa baru itu dinamai Desa Sri Awanti, namun karena lidah orang Jawadwipa nama desa berubah menjadi Sri Ngawanti.

Kutuk Pasu Srimahapunggung

Berbulan-bulan telah berlalu, pasukan kerajaan Purwacerita mencari-cari keberadaan Dewi Sri dan Raden Sadana. Tiap gunung, lembah, dan bukit ditelusuri. Mereka juga menelusuri berbagai desa dan kampung. Banyak warga-warga desa mengatakan kedatangan Dewi Sri dan Raden Sadana membawa desa mereka menjadi makmur dan tumbuh berkembang. Para pasukan Kerajaan Purwacerita segera melaporkan laporan itu pada Prabu Srimahapunggung. Prabu Srimahapunggung memutuskan untuk ikut mencari mereka. Berhari-hari setelah sang prabu sendiri turun tangan, akhirnya mereka menemukan Dewi Sri dan raden Sadana di desa Sri Ngawanti. Sang prabu gembira hati karena sudah berjumpa dengan kedua putra-putrinya. Prabu Srimahapunggung meminta kedua anaknya itu kembali lagi ke keraton namun Dewi Sri dan Raden Sadana menolak karena ingin tinggal bersama rakyat saja. Merah padamlah telinga dan muka ayah mereka itu dan murkalah ia “Kalian berdua, lebih suka tinggal di hutan.

Kutuk pasu Srimahapunggung
Kalian bukan lagi manusia tapi ular dan burung walet!!” Tanpa sadar, murka Prabu Srimahapunggung berubah sebagai kutukan. Tubuh Dewi Sri berubah menjadi ular sanca sementara Raden Sadana berubah menjadi burung walet. Keduanya pun berpisah kembali. Para pengikut mereka dan Dewi Laksmitawahini bersedih hati dan menyalahkan Prabu Srimahapunggung. Prabu Srimahapunggung menyesal sudah mengutuk kedua putra-putrinya. Ia memutuskan untuk menjadikan Desa Sri Ngawanti sebagai daerah perdikan swatantra.

Titisan Dewi Tisnawati

Di desa Wasutira, kepala desa itu, Kyai Brikhu dan Niken Sanggi tak kunjung dikaruniai anak dikarenakan Niken Sanggi mandul. Namun mereka tak putus asa memohon pada Sanghyang Widhi yang Maha Berkehendak. Lalu datang mimpi kepada Kyai Brikhu bahwa sebentar lagi Niken Sanggi hamil titisan Dewi Tisnawati dan saat hari kelahiran anaknya, akan datang seekor ular sanca besar di dalam lumbung yang akan menjadi ibu peri sang anak. Benar saja, sepekan setelah mimpi itu datang, Niken Sanggi hamil. Sembilan bulan telah berlalu. Tibalah hari kelahiran anak mereka dan lahirlah anak perempuan yang cantik. Karena cantiknya, anak mereka diberi nama Niken Raketan. Hari itu beras di rumah habis, maka Kyai Brikhu mengambil gabah yang ia simpan dalam lumbung untuk ditumbuk. Betapa terkejutnya ia melihat ada ular sanca besar tidur melingkar di atas gunungan gabah dan padi.”mungkin ini ular yang akan jadi ibu peri anakku”gumamnya. Ular sanca itu lalu ia bawa ke kamar tengah, tempat anaknya biasa dibaringkan. Sejak saat itu, Kyai Brikhu dan istrinya merawat ular itu bersama Niken Raketan bagaikan anaknya sendiri.  Saban hari, mereka memberi makan ular itu dengan katak dan tikus. Lalu pada suatu malam, Kyai Brikhu bermimpi didatangi si ular. Dia berbicara“Ki sanak, aku tidak mau makan katak dan tikus. Aku hanya ingin sirih pinang, bunga, dan lampu yang terus menyala.” Kyai Brikhu menaati kemauan si ular. Maka sejak hari itu, tiap malam di kamar tengah selalu tersedia sirih beserta perlengkapannya, bunga dan lampu yang menyala sepanjang malam.

Kesewenang-wenangan Batara Guru

Batara Guru sangat gusar karena tiba-tiba kahyangan kacau-balau. Banyak angin ribut, Bumi Gonjang-ganjing, langit kolap-kalip. Huru-hara banyak berlaku. Dia melihat melalui Mustika Retnadumilah bahwa Dewi Tisnawati telah menitis kepada anak Kyai Brikhu yaitu Niken Raketan. Ia memerintahkan para dewa untuk mencelakai bayi Niken Raketan agar Dewi Tisnawati mau keluar dari tubuh sang bayi. Yang pertama kali diutus adalah Batara Kala, sang dewa malapetaka dan pasukannya. Dia berangkat dalam wujud serigala. Sementara itu Kyai Brikhu yang sedang tidur siang mendapat mimpi dari sang ular “Ki sanak, sebentar lagi akan datang gerombolan serigala ke hendak membunuh bayi ki sanak. Cepat lumuri pintu rumahmu dengan belerang dan asapi dengan daun kelapa tiga kali. Lalu kelilingi rumah dan sajikan nasi punar dengan lauk hati sambil bermantra Batara Kala.” Kyai Brikhu terbangun dan segera melaksanakan nasihat itu. Malam harinya gerombolan serigala itu tak mampu menemukan rumah Kyai Brikhu dan gagal membunuh Niken Raketan lalu kembali ke Kahyangan. Hari berikutnya, Batara Guru mengutus Batara Brahma. Dia berangkat dalam wujud banteng liar. Kyai Brikhu mendapat mimpi lagi dari si ular sanca “ki sanak, cepat asapi rumah mu dengan kulit bawang merah dan daun kelapa tiga kali. Pasang daun nanas di atas kusen pintu. Jangan lupa kelilingi rumah dan sajikan nasi merah, sayur rebus, gantal, dan seperangkat kinang sambil bermantra Batara Brahma.” Kyai Brikhu terbangun dan segera melaksanakan perintah itu. malam harinya gerombolan banteng liar datang mengobrak-abrik desa namun mereka gagal membunuh Niken Raketan. Hari selanjutnya, Batara Wisnu sendiri yang datang dalam wujud babi celeng. Kyai Brikhu lagi-lagi mendapat mimpi dari ular sanca “Ki sanak, cepatlah bangun. Sebentar lagi sepasukan babi celeng akan menyerang desa dan rumah ki sanak. Segera asapi pintu rumahmu dengan daun kelapa dan daun tanjung tiga kali. Jangan lupa kelilingi rumah dan sajikan nasi hitam dengan lauk ikan laut sambil bermantra Batara Wisnu.” Kyai Brikhu bangun dan segera melaksanakna nasihat itu. malam harinya gerombolan babi celeng mengobrak-abrik seisi desa namun sama seperti sebelumnya, gagal mencelakai bayi Niken Raketan.

Batara Guru menjadi gusar dan memutuskan untuk berangkat secara langsung disertai para dewa. Mereka berubah wujud menjadi berbagai macam hewan mulai dari kerbau, banteng, nyamuk, kalajengking, serigala, tikus, burung gagak, kambing, dan Batara Guru sendiri berubah menjadi raja ikan. Dewi Sri dalam wujud ular segera memberikan nasihat kepada Kyai Brikhu “ ki sanak, sebentar lagi berbagai malapetaka akan datang ke desa ki sanak. Bangunkan setiap orang di desa dan jangan sampai lalai dengan gendongan Raketan. Kumpulkan mereka sekarang juga dan selenggarakan upakara menolak bala.” Malam harinya, asap dupa dan kemenyan mengebul dimana-mana. Berbagai banten sesajian diletakkan segala penjuru desa. Penjor janur kuning ditegakkan di gerbang desa. Seisi desa berkumpul di lapangan desa dan segera melukat diri mereka dengan tirta suci pancuran lalu segera memanjatkan do’a pada Sanghyang Widhi yang Maha Kuasa agar bala bencana tertolak dari desa Wasutira. Hal yang paling ditakutkan tiba. Hewan-hewan penjelmaan para dewa datang menyerang dan mengobrak-abrik seluruh penjuru desa bersamaan dengan datangnya berbagai bala bencana. Bumi gonjang-ganjing langit kolap-kalip. Angin topan menderu. Hujan turun lebat tak terkendali. Halilintar menyambar-nyambar. Desa dilanda ketakutan. Namun, penduduk desa Wasutira tetap memanjatkan do’a dengan khusyuk tanpa tergoda sedikitpun untuk meninggalkan desa. Niken Sanggi dibantu beberapa wanita tak sedikitpun lengah dalam menggendong Niken Raketan. Ketika keadaan semakin kritis, muncul kekuatan besar seperti cahaya menerangi seisi desa. Dan bersamaan itu pula berbagai bala bencana perlahan mereda dan akhirnya berhenti. Para dewa termasuk Batara Guru gagal mencelakai bayi Niken Raketan.

Gugatnya Batara Narada (Daruna-Daruni nitis)

Batara Guru segera mengutus istrinya, Dewi Durga, Dewi Saraswati, istri batara Brahma dan Dewi Srilaksmi, istri Batara Wisnu menyelidiki apa yang menyebabkan para dewa tidak bisa mendekati Niken Raketan. Tiga dewi kahyangan turun dan menyamar sebagai burung gelatik lalu hinggap di lubang angin rumah Kyai Brikhu. Ketika melihat ke dalam ruang tengah, bayi Niken Raketan sedang tidur di atas punggung seekor ular sanca. Tiga dewi itu melihat melalui mata batin dan mereka tersadar ular itu adalah jelmaan Dewi Sri yang sedang menjalani hukuman kutukan. Tiga dewi itu merasa kasihan melihat bayi seimut itu harus dicelakai demi ruh titisan bidadari. Ketiganya segera kembali ke kahyangan dan meminta gugat kepada Batara Guru. Batara Narada menengahi dan mengingatkan kembali junjungannya itu “Adi Guru tolong pikirkanlah sekali lagi. Adi Guru akan mendapatan hukuman dari Yang Maha Kuasa demi menghabisi nyawa bayi tak bersalah demi kepuasan pribadi Adi Guru. Jikalau Adi Guru menginginkan ruh Tisnawati, maka adi guru harus mengganti saja ruhnya dengan dewi lain pada Raketan. Lagipula, Tisnawati sendiri ingin menjalani hidupnya sebagai ruh tumbuh-tumbuhan tanpa gangguan Adi Guru.” Batara Guru menimbang-nimbang pendapat Batara Narada memnag benar tpi ia bingung mencari jalan keluarnya. Kebetulan sekali, para dewa tiba-tiba datang membawa dua penduduk kahyangan bernama Batara Daruna dan Dewi Daruni. Dua bersaudara ini kedapatan melakukan hubungan sumbang, saling berzina satu sama lain. Batara Guru mendapat jalan keluar. Batara Guru berkata pada Daruna dan Daruni “mulai hari ini, kalian berdua harus menjalani sengsara di dunia, menitis sebagai manusia. Daruna, kau akan menitis pada putra Sadana dan kau Daruni, kau menitis pada Niken Raketan menggantikan Tisnawati.” Setelah itu kedua dewa-dewi yang terhukum itu segera turun ke marcapada.

Lahirnya Arya Suganda

Pada saat yang sama, Dewi Laksmitawahini sudah hamil tua hampir waktunya melahirkan. Dia tetap setia menanti kepulangan Raden Sadana. Lalu pada saat nya Dewi Laksmitawahini bersalin. Saat itu datang seekor burung walet masuk ke rumah Dewi Laksmitawahini. Saat itu Umbul Manggala sedang menunggui istri junjungannya itu terganggu dengan burung walet yang terbang kesana-kemari. Akhirnya Umbul Manggala melepaskan anak panah dan jrass tertancaplah anak panah itu ke dada burung walet. Ajaib, burung walet kembali berubah menjadi Raden Sadana. Bulu-bulunya berubah menjadi gulungan panjang kain katun yang halus. Umbul Manggala berlutut minta maaf tidak tahu bahwa burung walet itu jelmaan Sadana. Lalu terdengarlah tangisan bayi. Lalu masuk lah ia ke kamar. Dewi Laksmitawahini melahirkan anak laki-laki yang sehat. Raden Sadana memberi nama anaknya itu Arya Suganda. Dia kemudian memakaikan kain panjang jelmaan bulu-bulunya sebagai bedong untuk anaknya. Umbul Manggala bertanya bagaimana ia bisa kembali. Raden Sadana bercerita bahawa setelah meneria kutukan, ia terus mengembara sebagai burung walet memakan hama-hama tanaman padi, jagung, jawawut, sayur mayur, dan buah-buahan di penjuru Jawadwipa. Ia terus mengembara sampailah ia memutuskan kembali ke desa Sri Ngawanti. Tak lama kemudian datang Batara Indra memberi kabar “anakku Sadana, sudah saatnya kamu mendapatkan derajat sebagai dewa. Aku kesini ingin menjemputmu ke kahyangan.” “ampun pukulun, berilah hamba waktu sampai saudari saya, Sri menjadi dewi juga.” Batara Indra mengerti dan akan kembali lagi jika sudah saatnya tiba.

Dewi Sri kembali jadi manusia

Sementara itu para bidadari datang membujuk Dewi Sri agar bersedia menjadi dewi kahyangan “Dewi Sri, kami para bidadari datang diutus Sang Batara Guru Siwa Manikmaya untuk menjemputmu untuk menjadi dewi di kahyangan para dewa” “aku akan penuhi dan naik sebagai dewi tapi ada syaratnya.” Para bidadari bertanya “apa syaratnya, putri batara Srigati?” Dewi Sri menjawab :aku ingin saudara saya, Sadana yang sekarang menjadi burung walet dikembalikan wujudnya sebagai manusia.” Para bidadari kembali ke kahyangan namun mereka mendapat berita dari Batara Narada bahwa Raden Sadana telah kembali ke wujud manusianya semula. Maka para bidadari membawa kabar ini kepada Dewi Sri. Dewi Sri merasa sangat gembira mendengar kabar itu. karena permintaannya terkabul,  maka Dewi Sri yang berwujud ular dikembalikan ke wujud asalnya, sebagai gadis cantik jelita. Tapi Dewi Sri masih khawatir tentang nasib Niken Raketan namun para bidadari mengatakan bahwa Niken Raketan tidak akan dicelakai namun hanya ditukar rohnya. Benar saja datanglah ruh Dewi Daruni masuk menyatu dengan bayi Niken Raketan disusul keluarnya Dewi Tisnawati. Dewi Tisnawati memutuskan ikut bersama Dewi Sri.

Pesan untuk Kyai Brikhu

Sebelum pergi, Dewi Sri ingin berpamitan pada Kyai Brikhu dan Niken Sanggi. Terkejutlah kepala desa Wasutira itu dan istrinya melihatnya “cah ayu, nanda siapa dan kenapa kamu bisa ada di sini?” Dewi Sri menjawab Aku Dewi Sri, putri Prabu Srimahapunggung. Aku adalah ular sanca yang menjaga Raketan” terkejutlah Kyai Brikhu dan Niken Sanggi menyadari si ular yang membantu mereka adalah putri raja mereka. Dewi Sri kemudian berpamitan  “terima kasih Ki sanak dan Ni sanak sudah merawat saya. Berkat bantuan Ki sanak, saya bisa kembali ke wujud asal. Sebelum saya pergi ada satu pesanan dari saya. Agar sandang dan pangan keluaraga ki sanak terpenuhi, jangan lupa meletakkan sesajian di ruang tengah rumah ki sanak.” Usai berpamitan, Dewi Sri menghilang dari pandangan dan terbang ke kahyangan. Dalam perjalanan menuju kahyangan, ia kembali bertemu dengan saudaranya, raden Sadana yang juga diangkat menjadi dewa setelah kelahiran putranya. Kelak diramalkan anak Sadana akan berjodoh dengan anak asuh Dewi Sri dan menurunkan raja-raja besar di Jawadwipa.

Sri Sadana Makahyangan

Kedatangan Dewi Sri dan Raden Sadana disambut oleh Batara Guru dan para dewa lainnya. Batara Guru bertanya “anakku Sri dan Sadana. Setelah kamu berdua menjadi Dewa-Dewi nanti, adakah keinginan kalian yang ingin aku wujudkan?” dewi Sri kemudian mengutarakan “Ampun...paduka Ulun, hamba hanya ingin sebuah kereta yang ditarik dua Lembu Gumarang dan sebuah cambuk dari naga.” Batara Guru mengerti arti kiasan itu. Dewi Sri ingin menjadi dewi pangan dan pertanian. Batara Guru mendekat ke Raden Sadana dan bertanya apa permintaanya. Lalu Raden Sadana mengajukan keinginan “saya hanya ingin duduk dekat saudari saya. Saya juga ingin mempunyai karung berisi penuh kapuk dan kapas.” Batara Guru paham bahwa Raden Sadana ingin menjadi Dewa sandang-papan dan selalu bersama saudarinya.

Dewi Sri dan Raden Sadana menjadi dewa
Maka dilantiklah kedua putra-putri Srimahapunggung itu menjadi pasangan Dewa-Dewi. Batara Guru lalu mengucuri kedua saudara itu dengan Tirta Maolkayat dan terjadilah keajaiban. Dewi Sri semakin bercahaya wajahnya sementara Batara Sadana menjadi semakin tampan. Lalu dengan kesaktiannya, batara Guru sendiri membuatkan sebuah kereta kencana lengkap dengan dua ekor Lembu Gumarang dan Cambuk dari sisik Batara Anantaboga bernama Cambuk Kyai Nagaserang. Sejak saat itu pasangan Dewi Sri-Batara Sadana dan Dewi Tisnawati berkeliling ke seluruh dunia menyebarkan kemakmuran sandang-pangan-papan bagi para penduduk Marcapada.

Rabu, 17 Februari 2021

Lingkaran Karma Keluarga Makukuhan

 

Matursalam, para pembaca. Kisah kali ini adalah kelanjutan dari kisah sebelumnya. Jika sebelumnya berkisah tentang asal-usul kebejatan keluarga Makukuhan, kali ini berkisah tentang dosa-dosa dan karma yang dituai oleh keturunan Prabu Makukuhan, termasuk dosa-dosa Prabu Watugunung yang menikahi ibu kandungnya sendiri, memperkosa ibu tiri dan anaknya sendiri. Nama-nama mereka diabadikan menjadi nama hari dan pekan pada penanggalan Jawa dan Bali. Kisah ini bersumber dari blogwayang albumkisahwayang.blogspot.com, serat Pustakaraja Purwa karya Raden Ngabehi Ranggawarsita, blog-blog cerita rakyat Bali dengan sedikit pengubahan seperlunya.

Dewi Soma Hamil di Luar Nikah

Kerajaan Medang Gele sedang cerah gembira pasca dilantiknya Prabu Watugunung, putra Prabu Palindriya dengan Dewi Sintakasih menjadi raja di Gilingwesi. Namun semenjak itu kesehatan Prabu Palindriya mulai menurun. Saat itu pula datanglah tiga orang brahmana muda. Mereka dalah para putra Prabu Palindriya dengan Dewi Soma, yakni Resi Anggara, Resi Buda, dan Maharesi Sukra. Prabu palindriya menyambut mereka dan memperkenalkan ketiga putranya dengan para putranya yang lain. Maharesi Sukra menyerahkan sepucuk surat pada ayahnya “ayahanda prabu, ini ada surat dari kanjeng ibu untuk ayahanda.” Isi surat itu adalah surat rujuk dari sang istri dan permohonan maaf sekaligus ingin mengundang sang suami untuk mengunjungi desa Pantireja. Prabu Palindriya merasa ada yang janggal. Lalu ia segera mengheningkan cipta. Begitu ia membuka matanya ia paham bahwa Dewi Soma telah dihamili seseorang dan sekarang kandungannya besar. Ironisnya, Dewi Soma tidak ingat siapa laki-laki yang menghamilinya dan tujuan undangan itu agar Dewi Soma bisa disetubuhi oleh sang suami agar anak yang dikandungnya bisa disamarkan sebagai anak sang prabu.

Prabu Palindriya berterus terang kepada tiga putanya “anak-anakku. Kalian pasti sudah mengerti apa yang aku lakukan. Aku akan berterus terang saja. Ibu kalian telah dihamili seseorang dan meminta aku kembali untuk mengakui anaknya itu. Demi menebus kesalahanku, aku bersedia jika itu anaknya lahir laki-laki tapi jika anaknya perempuan, aku tak sudi mengakuinya dan ibu kalian melakukan hal sama dengan apa yang dulu aku lakukan. Aku harap kailian mengerti.” “kami mengerti, ayahanda prabu. Kami akan smpaikan pada kanjeng ibu.” Resi Anggara, Resi Buda, dan Maharesi Sukra mohon pamit kembali ke desa Pantireja setelah mendapat pesan itu.

Kelamin Palsu Bayi Dewi Soma

Sekembalinya tiga putra Dewi Soma ke desa Pantireja dan mendapat laporan dari ketiga putranya itu, Dewi Soma menjadi khawatir bila anaknya yang lahir nanti perempuan. Beberapa bulan kemudian, di malam yang tenang saat planet Saniscara terlihat jelas diantara bintang-bintang, Dewi Soma melahirkan anaknya itu dan yang lahir ternyata bayi perempuan cantik. Dewi Soma menjadi panik dan takut karena apa yang dikawatirkannya telah berlaku. Lalu ia melihat ke kolam, ada pancuran batu padas kecil mirip kelamin laki-laki. Dewi Soma segera mengambil pancuran itu dan menempelkannya ke pada bayi perempuannya itu dan ajaibnya, atas kemurahan dewata, batu padas itu menyatu sempurna dengan kelamin perempuan sang bayi dan berubah seperti kelamin laki-laki asli.

 Prabu Palindriya mendengar kabar bahwa Dewi Soma melahirkan bayi laki-laki dan segera ia pergi ke desa Pantireja. Sesampainya disana, ia disambut ramah oleh Dewi Soma dan diajaknya untuk rujuk kembali, membina rumah tangga seperti dahulu lagi. Prabu palindriya menerima bayi itu seperti anaknya sendiri dan dinamainya Raden Saniscara karena ia lahir saat planet Saniscara melintas di langit malam. “Dinda Soma, anak-anakku yang kukasihi dan para dewa yang menyaksikan di kahyangan, Hong Sanghyang Widhi Yang Maha Agung, aku memohon pada-Mu, semoga anak ini bisa terhindar dari segala petaka, aib, kehinaaan, dosa ayah dan ibunya, tipu daya, dan kepalsuan yang kelak akan membuat wibawanya jatuh di kemudian hari....” akibat doa yang dipanjatkan Prabu Palindriya itu, kelamin palsu pada bayi Saniscara tiba-tiba terlepas dan kembali menjadi pancuran batu padas.

Pembunuhan Keluarga Palindriya

Prabu Palindriya sangat marah dan murka kepada Dewi Soma karena menipunya dengan memalsukan kelamin sang bayi. Ia segera memungut pancuran batu padas itu dan melemparkannya kepada Dewi Soma namun rupanya justru mengenai dahi Resi Anggara hingga tewas. Tak puas sampai di situ, bayi perempuan yang ia gendong hendak ia banting namun diselamatkan oleh Resi Buda. Resi Buda kemudian menyuruh saudaranya, Maharesi Sukra yang telah berderajat guru agung para yaksa dan raksasa agar membawa bayi itu ke sejauh mungkin. Prabu Palindriya semakin kalap dan menyerang Dewi Soma namun dihalangi Resi Buda. Akibatnya Resi Buda ikut tewas terkena pukulan bertubi-tubi dari sang ayah. Dewi Soma menjadi ketakutan dan dia segera lari ke hutan dan bunuh diri dengan terjun ke jurang. Prabu Palindirya yang mengejar mendapati tubuh sang istri sudah tak bernyawa. Lalu terdengarlah suara Dewi Soma dari langit “kakang prabu, rupanya kau bisa sakit hati karena dikhianati, itu lah hal yang juga aku alami di hari itu. Saat aku dibelai oleh lelaki jalang kenapa kau marah. Hal itu juga sama dengan yang aku rasakan saat aku mendapatimu bersama Basundari. Ketahuilah, anak perempuan yang aku lahirkan sesungguhnya hasil hubungaku dengan seseorang bernama Jaka Radite....kakang prabu, pengkhianatan besar atas sebuah negara itu karena pengkhianatan dari rakyatnya namun pengkhianatan pada negara yang paling keji adalah pengkhiantan dari raja yang memimpinnya....” suara itu hilang ditelan angin. Sesaat kemudian, Prabu Palindriya yang tadinya sangat marah menjadi sangat menyesali kematian sang istri. Rupanya anaknya sendiri yang sudah menyetubuhi Dewi Soma.

Palindriya Menuai Karma

Maharesi Sukra yang berhasil melarikan diri lalu kembali ke desa Pantireeja. Dia menangisi kematian sang ibu dan kedua saudaranya. Selepas upacara pemakaman. Maharesi Sukra memilih merawat sang adik perempuannya yang baru lahir itu ke kahyangan dan menjadikannya bidadari.”adikku cah manis, kakang akan merawatmu. Namamu sekarang Dewi Tumpak sebagai pengingat bahwa kelaminmu pernah ditumpangi kelamin palsu dari batu padas. Kakang akan merawatmu bersama para dewa.” Seketika maharesi Sukra terbang dan menghilang di sebalik awan.

Sekembalinya ia ke keraton Medang Gele, kesehatan Prabu Palindriya semakin turun dan akhirnya jatuh sakit. Ia terserang penyakit kelamin yang menjijikkan, menggerogoti setiap organ tubuhnya dari dalam dan luar. Badannya mulai membusuk bernanah dan mengeluarkan bau bacin. Darahnya makin mengental membuat sekujur tubuhnya merasakan rasa sakit tak terperi. Ngunduh wohing pakarti, pepatah ini sesuai dengan karma yang harus diterima Prabu Palindriya yang gemar berperilaku menyimpang dengan mengumbar nafsu syahwat sesuka hati. Azab dari kutukan Dewi Soma mulai berlaku. Setelah dirawat beberapa hari, penyakitnya semakin parah. Akhirnya lima hari setelah peristiwa itu, Prabu Palindriya meninggal dunia dengan tragis. Darahnya berhenti mengalir dan tubuhnya terus mengeluarkan bau tak sedap ke penjuru keraton. Arya Wukir segera mengabari kakaknya, Prabu Watugunung. Prabu Watugunung sangat berduka dan prihatin dengan kematian sang ayah yang sangat hina. Ia segera menuju ke Medang Gele dan memimpin upacara pemakaman sang ayah.

Terbentuknya Sepekan Tujuh Hari

Sementara itu, Maharesi Radi di desa Andong Dadapan berniat menciptakan nama-nama hari yang baru setelah mendengar kematian Prabu Palindriya, sang murid terdahulu.

Terciptanya nama tujuh hari dalam sepekan.
 Jika dahulu Maharesi Radi menamai ulang hari pasaran lima menjadi Kliwon, Umanis/Legi, Pahing, Pon, dan Wage, maka sekarang Maharesi Radi akan menciptakan sepekan tujuh hari sebagai rangkapan dari hari pasaran lima dengan menggunakan nama-nama kelurga Prabu Palindriya yaitu :

1.           Radite, diambil dari nama masa muda Prabu Watugunung, putra Prabu Palindriya dengan Dewi Sintakasih yaitu Jaka Radite.

2.           Soma, diambil dari Dewi Soma, istri pertama Prabu Palindriya.

3.           Anggara, diambil dari nama Resi Anggara, putra sulung Prabu Palindriya dengan Dewi Soma

4.           Buda, diambil dari nama Resi Buda, putra kedua Prabu Palindriya dengan Dewi Soma

5.           Respati, diambil dari nama masa muda Pabu Palindriya yaitu Resi Respati

6.           Sukra, diambil dari nama Maharesi Sukra, putra ketiga Prabu Palindriya dengan Dewi Soma yang kini menjadi guru bagi para raksasa dan dewa, dan yang terakhir

7.           Tumpak atau Saniscara, diambil dari nama pemberian Prabu Palindriya dan Maharesi Sukra pada anak perempuan hasil hubungan gelap Dewi Soma dengan Prabu Watugunung semasa muda.

Maharesi Radi lalu datang ke Medang Gele untuk mempersembahkan nama tujuh hari itu kepada Prabu Watugunung yang baru selesai upacara berkabung serta memberitahukan cara pakainya. Misalnya jika hari ini Radite Legi/Umanis maka besoknya Soma Pahing, lalu lusanya Anggara Pon dan bila sudah tiga puluh lima hari berlalu akan kembali ke hari Radite Legi. Umur tiga puluh lima hari ini juga disebut hari selapanan. Maka demikianlah penggunaan tujuh hari sepekan dan lima hari pasaran meluas ke seluruh Jawadwipa.

Prihatinnya Para Dewa

Sementara itu, di kahyangan Jonggring Saloka, Batara Guru dan para dewa menerima kedatangan Maharesi Sukra dan adiknya, Dewi Tumpak Saniscara. Mereka sangat prihatin dengan nasib buruk yang mereka alami. Batara Guru menjanjikan mereka akan mendapat kelayakan hidup di kahyangan dan umur yang panjang. Mereka berdua segera dimandikan dengan Tirta Maolkayat dan Tirta Perwitasari. Setelah itu, berembuglah para Dewa “kakang Narada, kakang Semar dan semua para dewa. Mendengar kisah dari Maharesi Sukra barusan, aku mrasa prihatin sekali dengan kondisi akhlak di Jawadwipa saat ini. Rakyat jelata memnag tetap berakhlak baik dan hidup tentram tapi akhlak para pemimpinnya sangatlah rendah sekali. Para keturunan Makukuhan banyak yang berkelakuan menyimpang dan sedeng. Rudra Rancasan telah membuat tatanan hidup kembali kacau balau. Sudah waktunya Wisnu turun lagi ke bumi. Anakku Wisnu, turunlah ke bumi lagi, menjelmalah menjadi manusia. Istrimu telah menitis duluan sebagai Sriyuwati. Jemputlah ia segera sebelum tercemar perbuatan amoral kakak dan adiknya.” “ perintah dari Ayahanda Girinata hamba junjung tinggi. Akan segera ananda laksanakan.”

Praburesi Satmata Meminta Takhta

Sebulan setelah hari berkabung di Medang Gele, datanglah seorang rajaresi bernama Satmata meminta takhta Medang Gele yang kosong. Jelas saja, Arya Wukir dan saudara-saundaranya menolak memberikan takhta kepada orang yang tidak jelas. Mereka bersatu melawan rajaresi tu namun kalah. Melihat kesaktian sang rajaresi, Arya Wukir dan saudara-saudaranya mengalah dan bahkan menghadiahkan sang resi adik perempuan mereka, Dewi Sriyuwati. Akhirnya Arya Wukir dan para saudarnya memilih hijrah ke Gilingwesi, mengabdi pada kakak mereka, Prabu Watugunung. Di sana mreka diterima dengan suka hati bahkan Arya Wukir dijadihkan perdana menteri sang prabu bergelar Patih Suwelacala dan para arya dijadikan punggawa di sana.

Hubungan Sumbang yang Tak Disadari

Hari yang cerah ceria. Burung-burung berkicau bersahutan. Angin menggoyang dahan dan rumput dengan perlahan. Hari itu, Prabu Watugunung dan salah satu adiknya, Arya Prangbakat sedang berburu di hutan Nastuti. Setelah berburu lama sekali, mereka tidak mendapat hewan buruan. Mereka masuk jauh ke dalam huta. Di sana mereka bertemu dengan perempuan yang sangat cantik tinggal di dalam gubuk tua. Wajahnya bercahaya secerah sinar rembulan purnama. Rambut hitam tergerai panjang dan mengembang. Tubuh langsing namun sintal dan subur. Prabu Watugunung jadi jatuh cinta padanya dan berniat melamarnya.  “nimas yang cantik. Siapakah nimas dan kenapa nimas ada di hutan ini?” “ampun Tuanku, hamba Sintakasih. Hamba tinggal di sini untuk menyepi. Tuanku sendiri siapa?” Prabu Watugunung memperkenalkan dirinya Perkenalkan nama saya Watugunung, raja di Gilingwesi yang kesohor di Jawadwipa. Sejak datang ke hutan ini, saya jatuh hati pada nimas. Maukah nimas menerima saya sebagai suami nimas?” Dewi Sintakasih tertarik namun demi mengangkat derajatnya ia mengajukan beberapa syarat “Tuanku paduka raja, hamba hanya seorang perempuan kampung tapi jikalau ingin menikahi hamba sudilah menerima syarat dariku. Syarat pertama, kau harus bisa melewati hutan yang banjir ini..” seketika setelah berucap demikian, hutan Nastuti yang tadinya permai dilanda banjir dahsyat entah darimana asalnya. Air bergulung-gulung melenyapkan pepohonan di sekitarnya kecuali gubuk tempat tinggal Dewi Sintakasih. Prabu Watugunung merasa sedikit kewalahan menghadapi banjir rob yang deras itu namun ia berhasil melewati banjir rob itu dengan mudah. Sebagai bentuk peringatan, nama hutan Nastuti diganti menjadi Hutan Roban. Lalu syarat kedua adalah membuatkan taman indah di Gilingwesi untuk tempatnya bersiar-siar. Tanpa pikir panjang lagi, Prabu Watugunung dan Arya Prangbakat segera pulang dan ia ditemani para arya membuat sebuah taman indah dipenuhi bunga-bunga yang cantik dan pohon-pohon buah yang ranum dalam satu malam dengan kesaktian mereka. Keesokan harinya, Dewi Sintakasih diboyong dan diperlihatkanlah taman indah itu “nimas, ini lah taman bunga indah yang telah aku persembahkan buatmu.” Dewi Sintakasih senang sekali dan hari itu juga menerima lamaran Prabu Watugunung. Demikianlah Prabu Watugunung dan Dewi Sintakasih akhirnya menikah. Tanpa disadari keduanya, terjadilah pernikahan antara anak dengan ibu kandungnya sendiri.

Pengasingan Praburesi Satmata

Bertahun-tahun telah berlalu, Praburesi Satmata dan Dewi Sriyuwati berumah tangga cukup lama namun belum juga dikaruniai putra. karena itu, Praburesi Satmata dan Dewi Sriyuwati beserta mertua mereka, Dewi Landep memutuskan untuk mengasingkan diri dari Medang Gele dan hidup di hutan saja sembari menanti keputusan dewata. Praburesi Satmata sesungguhnya adalah perwujudan dari Batara Wisnu dan Dewi Sriyuwati adalah perwujudan dari Dewi Srilaksmi memohon kepada dewata agar dapat berputra. Lalu datanglah wangsit dari Batara Guru “anakku, Wisnu sang Satmata. Ketahuilah cobaan ini adalah teguran dariku karena merebut paksa Medang Gele dari tangan para putra Palindriya. Sebagai dewa pemelihara dharma harusnya ananda memintanya dengan cara baik-baik. Agar kau bisa berputra, lakuanlah tapa ngrame dengan menjadi tabib pengobatan. Jika Yang Maha Kuasa berkehendak, anak-anakmu akan segera dapat terlahir.” Praburesi Satmata mengerti “baiklah, ayahanda Girinata. Daulatmu akan aku lakukan.” Praburesi Satmata menjadi tabib pengobatan dan istri juga mertuanya menjadi tangan kanannya. Mereka mengembara meninggalkan Medang Gele. Berkelana mereka dari satu tempat ke tempat lain menyembuhkan berbgai penyakit. Karena kemampuannya, murid-muridnya jadi semakin banyak dan ketika berada di pantai selatan Jawadwipa di Parangkesuma, ia menerima murid yang luar biasa bernama Empu Gopa. Empu Gopa terkenal selain kemampuan mengobati, juga bisa menafsirkan mimpi. Anak Empu Gopa yaitu Empu Pastima pernah ditolong oleh Praburesi Satmata karena terkena balak aneh. Sejak saat itu, Empu Pastima selalu belajar dan ikut kemanapun ayah dan gurunya pergi.

Prahara Gilingwesi

Pada suatu hari, saat Dewi Sintakasih sedang hamil sembilan bulan, Prabu Watugunung mendapat mimpi aneh namun ia tidak ingat mimpi apa itu. Berbagai pendita, tukang ramal, dukun didatangkan untuk mencari tahu arti mimpi itu namun tak berhasil sehingga akhirnya Prabu Watugunung bertemu dengan Empu Gopa. Setelah mengutarakan maksudnya, Empu Gopa diajaknya ke keraton Gilingwesi. Begitu sampai di sana, ia segera menafsirkan mimpi Prabu Watugunung melalui ilmu terawangnya. Lalu ia berkata “tuanku Paduka Watugunung, isi mimpi paduka kurang baik. Hamba melihat anak harimau yang dimangsa ular hingga ke tulang-tulangnya. Lalu dari mulut ular itu, keluarlah darinya empat jenis makhluk, yakni ulat, tikus, nyamuk, dan kuman. Menurut hamba ini pertanda bahwa para dewa akan mengurangi kasih sayangnya dengan menimpakan empat macam malapetaka ke Gilingwesi, yaitu ulat, tikus, nyamuk, dan kuman.” Mendengar uraian dari Empu Gopa, Prabu Watugunung menjadi marah dan kalap, tiba-tiba ia menghunuskan keris ke dada Empu Gopa hingga tewas. Patih Suwelacala (Arya Wukir) terkejut dan ngeri lalu menasehati kakaknya itu “kakang prabu gegabah sekali. Kalau Empu Gopa mati, siapa nanti yang akan bisa dimintai bantuan mengatasi malapetaka itu nanti?” Amarah Prabu Watugunung berangsur reda dan berubah menjadi penyesalan.

Sepekan setelah pembunuhan Empu Gopa, Kerajaan Gilingwesi ditimpa berbagai bencana alam beruntun, mulai dari gunung meletus, gempa bumi dahsyat, hujan deras disetai badai topan, dan banjir bandang. Banyak bangunan dan rumah rusak dan hancur karenanya. Selepas banjir reda, datanglah ulat-ulat dan belalang memakan tanaman pertanian. Lalu datang tikus-tikus yang memakan bahan makanan penduduk. Baru reda hama tikus dan ulat, datanglah jutaan nyamuk menggigit dan menghisap darah hewan-hewan dan para penduduk. Belum reda wabah nyamuk, datanglah kuman-kuman menyebarkan wabah penyakit kulit. Banyak penduduk yang terserang barah dan kudis yang menjijikkan.

Prabu Watugunung menjadi sangat sedih menyaksikan kesengsaraan penduduknya. Berangsur-angsur wibawa negerinya menjadi merosot sehingga banyak negeri bawahan melepaskan diri.

Prabu Watugunung menjadi pemuja Batara Kala
Karena pikirannya sudah buntu dan suntuk, prabu Watugunung pun memutuskan meminta bantuan pada Batara Kala yang merupakan dewa penguasa malapetaka dan waktu demi melenyapkan segala malapetaka di Gilingwesi. Bersamaan dengan hilangnya malapetaka, lahirlah anak Prabu Watugunung bernama Raden Arya Radeya.

Beberapa hari setelah malapetaka habis, datanglah Dewi Landep, ibu kandung Patih Suwelacala (Arya Wukir) dan Dewi Sriyuwati dari Padepokan Parangkesuma. Dia datang untuk mengunjungi para putranya di Gilingwesi. Prabu Watugunung menyambut ibu tirinya itu dengan suka hati dan mempersilakan untuk melepas rindu kepada Patih Suwelacala. Karena hari sudah malam, Patih Suwelacala menyarankan sang ibu untuk menginap saja dahulu barang sehari-dua hari di kaputren untuk beristirahat.

Di keputren bertemulah Dewi Landep dengan Dewi Sintakasih. Begitu melihat wajah Dewi Landep, ingatan masa lalu Dewi Sintakasih mulai terang. Mereka terkejut dan saling melepas rindu setelah berpisah selam puluhan tahun. “Yunda Dewi, aku kangen pada yunda. Sudah lama kita tidak saling ertemu. Apa kabarmu?” “aku baik, dinda dewi. “ Dewi Landep meminta maaf karena sudah merebut Prabu palindriya darinya. Dewi Sintakasih sudah ikhlas “sudahlah, dinda. Aku sudah rela. Masa lalu biar berlalu. Toh kanda Prabu sudah mendapatkan karma yang setimpal dengan perbuatannya.” Ketika Dewi Landep menanyakan kemana anak Dewi Sintakasih, Dewi Sintakasih menangis karena dia tak kunjung menemukan keberadaannya. Dewi Landep lalu bercerita bagaimana Prabu Palindriya menerima seorang pemuda bernama Jaka Radite yang ingin mengabdi pada kerajaan Medang Gele. Prabu Palindriya juga berpikir untuk menjodohkannya dengan putrinya namu dilarang oleh Batara Narada karena mereka bersaudara dan saat ini Jaka Radite sudah menjadi raja bergelar Prabu Watugunung. Bergetarlah hati Dewi Sintakasih mendengar kisah itu.....perlahan ingatannya semakin terang. Antara percaya dengan tidak, Dewi Sintakasih merasa malapetaka yang terjadi di Gilingwesi karena Prabu Watugunung telah menikahi ibu kandungnya sendiri. Tinggal satu cara untuk membuktikannya.

Sungsang Buwana (Terbaliknya Dunia)

Malam hari saat di peraduan, Prabu Watugunung merebahkan diri di pangkuan Dewi Sintakasih. Saat Dewi Sintakasih mengelus kepala sang prabu, tersayatlah hati sang dewi menemukan luka pithak bekas dipukul benda tumpul di kepala sang Prabu.....ingatan sang dewi menerawang jauh, mengenang saat ia memukul Jaka Wudug dengan centhong nasi.Dewi Sintakasih bertanya dengan nada setengah bersedih “Tuanku Prabu, jujurlah pada saya. Bagaimana tuanku mendapatkan luka di kepala tuanku?” Prabu Watugunung menjawab  “ohh.. luka ini ada karena ibuku memukulkan centhong nasi....ketika aku masih kanak-kanak, aku sangat rewel dan jago makan, ibuku seorang putri raja bernama Dewi Basundari...syang hatinya tak secantik wajahnya dan gelar yang disandangnya.....hanya karena aku minta makan...dia tega memukul kepalaku sampai berdarah dengan centhong nasi yang masih panas.... hatiku terasa sakit teriris...ibu yang kukasihi malah tega menyiksaku dengan centhong nasi...aku lari minggat dari rumah dan aku tak pernah bertemu mukanya lagi.” Dewi Sintakasih menangis tersedu “Tu-Tuanku tidakkah kau rindu pada ibu tuanku?” “rindu kata dinda? Ohh tidak...jangankan rindu, melihat wajahnya mungkin aku muak. Ibu penyiksa seperti itu lebih baik aku lenyapkan saja dari muka bumi.”

Dewi Sintakasih semakin larut dalam kesedihannya. Ia meminta Prabu Watugunung untuk tidur duluan. Dia lalu lari ke taman mas kawin dari Prabu Watugunung menumpahkan segala kesedihan dan nasib buruk yang dialaminya “Duh Jagat Dewa Batara...Sanghyang Jagat Pramudita, Mengenaskan sekali hidup hamba. Dunia hamba telah terjungkir balik. Aku malah menikahi putra kandungku.” Dewi Sintaksih merenung dan merasa sudah waktunya dia dan putra-putranya harus tumpas perlaya. Dia merasa inilah saatnya menghentikan lingkaran setan kebejatan keluarga Makukuhan. Dia tak ingin dunia ini terus terkotori oleh aib keluarga Makukuhan terus menerus. Maka sejak saat itu Dewi Sintakasih menolak disentuh oleh Prabu Watugunung. Setiap kali minta tidur bersama, ia tak mau dan beralasan sedang melakukan laku tapa brata. Maka sang raja Gilingwesi itu mencari orang lain sebagai pelampiasan. Dewi Landep, sang ibu tiri yang sebelumnya ia kelabui dengan daun kecubung disetubuhinya juga. Lalu juga putranya, raden Radeya yang masih kecil juga digerayangi dan dicabulinya. Dewi Sintakasih yang memergoki merasa semakin berdosa. Putranya telah menjadi budak nafsu syahwat. Ia pun bersemedi di tengah hutan memohon petunjuk. Tiba-tiba datanglah bantuan dari putra tirinya yang lain, Maharesi Sukra dan Dewi Tumpak Saniscara dari kahyangan “ibunda Sintakasih....kami putramu dari bunda Dewi Soma, Maharesi Sukra dan Dewi Tumpak. Aku dan adikku datang diutus para dewa untuk membantumu. Buatlah rekayasa dengan mengikutkan para dewa. Menurut ramalan rayi Watugunung hanya bisa dikalahkan oleh gusti Batara Wisnu.” “ibunda Sintakasih... nanda Tumpak tidak keberatan jika aku ikut rekayasa yang ibu berikan.” Dewi Sintakasih merasa berterima kasih pada kedua putra-putri tirinya itu.

Watugunung Menyerang Kahyangan

Maka pada suatu hari, Dewi Sintakasih mau memberikan tubuhnya lagi dengan sebuah syarat “tuanku Watugunung, alasan saya menolak disentuh karena ingin mengheningkan cipta dengan tekun. Tapi jika tuanku ingin saya disentuh lagi olehmu, aku mau dimadu tujuh bidadari dan satu bidadari kecil bernama Tumpak Saniscara.” Prabu Watugunung yang telah diperbudak nafsu syahwat mengiyakan permintaan tak masuk akal itu. saat itu juga Prabu Watugunung, Patih Suwelacala beserta kedua puluh enam saudara mereka segera menyerbu kahyangan Jonggring Saloka.

Syahdan di Kahyangan Jonggring Saloka, Batara Indra dan segenap pasukan Dorandara dengan panglimanya Batara Kartikeya diserang pasukan Gilingwesi demi merebut ketujuh bidadari dan Dewi Tumpak Saniscara. Walaupun awalnya para dewa terdesak, namun dengan sedikit perjuangan, para dewa sanggup membuat para pasukan Gilingwesi mundur. Bahkan Batara Indra dan Batara Kartikeya menewaskan dua puluh enam adik Prabu Watugunung dan Patih Suwelacala (Arya Wukir). Hal ini membuat Prabu Watugunung kalap dan gelap mata. Maka ia berubah menjadi raksasa besar dan memporak porandakan Istana Karang Kaendran. Para dewa terdesak dan segera masuk ke dalam Istana Iswaraloka. Para dewa khawatir kalau kahyangan benar-benar hancur. Batara Guru kemudian mengutus Batara Narada “kakang Narada, segera panggil Wisnu dan para putranya di Padepokan Parangkesuma. Katakan padanya silapnya sudah diampuni dan saat ini kahyangan sedang diserang Watugunung.” “baik, Adhi Guru. Segera saya kesana.”

Batara Wisnu menjadi Jago Kahyangan

Di Padepokan Parangkesuma, Praburesi Satmata sedang bersama Dewi Sriyuwati dan putra-putri mereka, yaitu Raden Srigati, Raden Srinada, dan Dewi Srinadi juga muridnya, Empu Pastima.  Mereka berencana untuk segera mengembara lagi. Namun tiba-tiba datanglah Batara Narada memberi kabar “Welah dalah...Wisnu ohh Wisnu...kahyangan ketiwasan.” “ampun uwa patih Narada....apa yang terjadi di kahyangan?” Batara Narada menceritakan bahwa saat ini kahyangan Jonggring Saloka diserang oleh Prabu Watugunung yang berniat memperistri tujuh bidadari dan Dewi Tumpak, yang tak lain anaknya sendiri “tidak bisa dibiarkan, uwa patih!.....Bumi Jawadwipa sudah cukup dikotori Prabu Palindriya, jangan dengan anaknya kali ini...aku akan ikut uwa patih ke kahyangan. Dinda! anak-anakku!, sudah saatnya kita kembali ke kahyangan sekali lagi.....Pastima, teruskanlah usahamu. Kita harus berpisah sampai di sini” Empu Pastima sedih karena harus berpisah dengan sang guru yang juga ayah angkatnya itu. “baiklah, guru....aku akan tetap di sini, membantu orang-orang.” Setelah berpamitan, Praburesi Satmata, Dewi Sriyuwati dan para putranya pun kembali ke wujud dewata mereka dan segera terbang ke kahyangan.

Kematian Patih Suwelacala

Sesampainya di kahyangan, Batara Wisnu dan salah satu putranya, Batara Srigati langsung ke medan perang. Batara Srigati segera berperang tanding dengan Patih Suwelacala yang masih paman. Pertempuran itu berlangsung sengit. Awalnya tangan kosong lalu adu panah. Keduanya seimbang dan diakhiri dengan keris beradu keris. Dalam adu keris itu, Batara Srigati berhasil mengalahkan Patih Suwelacala dan robeklah perut sang patih. Patih Suwelacala merasa ajalnya sudah dekat dan keheranan pada anak muda itu “anak muda.....siapa kau sebenarnya?” dengan hati teriris, Batara Srigati mengakui “Aku...Srigati. Putra Satmata dan Sriyuwati.” Patih Suwelacala merasa terkejut namun gembira, dia dikalahkan oleh keponakan sendiri. Patih Suwelacala tidak marah malah gembira,paling tidak kematiannya bukan karena hal hina. Dia memberikan selamat pada keponakannya itu dan tak lama, ia pun menghembuskan nafasnya yang penghabisan.

Watugunung Gugur dan Terbentuknya Pawukon

Di tempat lain, Batara Wisnu berusaha bernegosiasi dengan Prabu Watugunung. Lalu diputuskan untuk saling menebak teka-teki. Batara Wisnu harus menebak teka-teki dari Prabu Watugunung. Kalau mampu dijawab dengan benar maka Batara Wisnu boleh untuk menghukumnya namun jika salah atau tidak mampu dijawab, maka Prabu Watugunung harus  diijinkan memiliki kahyangan beserta isinya termasuk tujuh bidadari dan Dewi Tumpak.”baik, Batara Wisnu aku mulai teka-tekinya. ‘ada ayah gemuk beranak gempal, mereka bertemu dengan seorang ayah gemuk beranak kecil dan seorang ayah kurus beranak gemuk.” Batara Wisnu dapat menebaknya “ayah gemuk beranak gempal adalah pohon kelapa. Bermakna keturunan Prabu harus dimuliakan, tidak boleh disakiti. Mereka bertemu seorang ayah berbadan gemuk beranak kecil. Yang dimaksud itu pohon beringin. Bermakna agar istri Prabu tak boleh diganggu. Lalu makna ayah kecil beranak gemuk adalah tanaman semangka. Maknanya agar saudara-saudara Prabu yang sudah gugur dan keturunannya dimuliakan.”

Prabu Satmata (Batara Wisnu) melawan Prabu Watugunung

Prabu Watugunung tercekat dan berubah kembali menjadi raksasa sebesar gunung Mahameru ingin menyelesaikan pertarungan yang tadi dengan Batara Wisnu. Namun Batara Wisnu segera bertiwikrama menjadi Maha Brahalasewu yang sepuluh kali lebih besar. Pertarungan mereka terjadi saat hari Radite Kliwon. Pada hari Soma Legi, Batara Wisnu menyayat kulit Prabu Watugunung dengan kuku tajamnya yang mirip cakar, lalu menikam Cakra Widaksana ke kepala sang prabu dan jrass.... terputuslah kepala Prabu Watugunung, menggelundung jatuh dari kahyangan diikuti tubuhnya. Jatuhnya jasad sang prabu terjadi saat hari Anggara Pahing.

Dewi Sintakasih melihat dari langit tubuh dan kepala sang prabu jatuh dan hancur tak berbentuk. Dewi Sintakasih dan Dewi Landep menangis sejadi-jadinya. Kahyangan bergetar hebat. Tangisannya terdengar sampai hari Buda Pon. Lalu datanglah Batara Narada menenangkan sang dewi berdua “Sintakasih! Landep! Bertenanglah kalian berdua. Jikalau kematian Watugunung memang kamu sesali maka kami akan coba menghidukannya lagi.” “terima kasih pukulun. Hamba mohon pada paduka ulun agar mengampuni dosa hamba, saudara hamba, Landep dan anak-anak dinda Landep.” “ baiklah, anakku Sintakasih. Permintaan kamu akan dikabulkan.” Batara Narada kembali ke kahyangan meminta Batara Guru menghidupkan kembali Prabu Watugunung. Terjadilah keajiban, begitu setetes Tirta Perwitasari dikucurkan, Prabu Watugunung hidup kembali namun sebagai badan halus. Batara Guru berkata walau sang prabu telah dihidupkan kembali namun ia harus menjalani perhitungan dan penyucian diri. Prabu Watugunung menurut saja. Maka, pada hari Respati Wage, Prabu Watugunung ingin tidur di istana Karang Kaendran sembari menanti perhitungan dan penyucian dirinya pada hari Sukra Kliwon. Pada saat ia beristirahat ia bermimpi dikejar empat jenis petaka yang dulu melanda negerinya. Keempat petaka itu rupanya merupakan perwujudan segala amal buruk sang prabu. Sang prabu ketakutan dan akhirnya ia terbangun dalam keadaan menangis. Di hari Sukra Kliwon saat perhitungan amal, Prabu Watugunung menangis meminta agar dia dibakar saja di neraka hari itu. Maka selama sehari penuh, Prabu Watugunung tinggal di neraka. Walau berbadan halus, tubuh Prabu kesakitan dan ia mengerang tertimpa sejuta rasa sakit, penderitaan dan kejamnya siksa neraka. Badan halus Prabu Watugunung yang kini telah disucikan api neraka. Segala siksaan dan azab pedih di neraka merontokkan segara kekotoran dan dosanya.

Prabu Watugunung dientas dari neraka

Setelah hari Sukra berlalu, tibalah hari Tumpak Legi/Saniscara Legi. Di hari itu, atas seizin Batara Guru, Batara Brahma dan Dewi Saraswati mengangkatnya dari neraka dan diberikan segala ilmu pengetahuan, ilmu akidah dan budi pekerti. Setelah di angkat dari neraka, Prabu Watugunung melihat seluruh keluarganya, yaitu Dewi Sintaksih sang ibu kandung dan Dewi Landep, sang ibu tiri dan keduapuluh tujuh saudaranya telah berada di kahyangan. Sudah saatnya Prabu Watugunung dan keluarganya naik ke Swarga Maniloka. Di awali oleh Dewi Sintakasih pada hari Radite Pahing, satu pekan kemudian beganti Dewi Landep, lalu para saudara sang prabu, diawali oleh Arya Wukir (Patih Suwelacala), lalu tujuh hari kemudian Arya Kurantil, disususl roh/atma para arya lainnya setiap hari Radite dan yang terakhir adalah Prabu Watugunung yang naik ke Swarga Maniloka. Kini lengkap sudah keluarga Prabu Watugunung di Swarga Maniloka. Untuk mengenang peristiwa itu, Maharesi Radi membuat penanda waktu baru yaitu Pawukon atau kumpulan wuku. Wuku itu ada tiga puluh dan setiap wuku ada tujuh hari, dimula pada hari Radite sampai hari Tumpak Saniscara. Ketiga puluh wuku itu dimulai dari :

1.                       Wuku Sinta

2.                       Wuku Landep

3.                       Wuku Wukir

4.                       Wuku Kurantil

5.                       Wuku Tolu

6.                       Wuku Gumbreg

7.                       Wuku Warigalit

8.                       Wuku Warigagung

9.                       Wuku Julungwangi

10.                   Wuku Julungsungsang atau Sungsang

11.                   Wuku Galungan atau Dungulan

12.                   Wuku Kuningan

13.                   Wuku Langkir

14.                   Wuku Medangsiya atau Mandasiya

15.                   Wuku Julungpujut

16.                   Wuku Pahang

17.                   Wuku Kuruwelut atau Krulut

18.                   Wuku Merakih atau Marakih

19.                   Wuku Tambir

20.                   Wuku Medangkungan

21.                   Wuku Maktal

22.                   Wuku Wuye atau Wuje

23.                   Wuku Manahil

24.                   Wuku Prangbakat

25.                   Wuku Bala

26.                   Wuku Wugu atu Ugu

27.                   Wuku Wayang

28.                   Wuku Kelawu atau Kulawu

29.                   Wuku Dukut dan yang terakhir

30.                   Wuku Watugunung

Anak Para Dewa menjadi Para Raja Jawadwipa

Karena sekarang takhta Gilingwesi dan Medang Gele kosong, maka Batara Guru mengutus para putra Batara Wisnu dan Batara Brahma untuk memerintah di Jawadwipa. Batara Srigati membangun kembali kerajaan Purwacerita yang sudah lama mati lalu menggabungkannya dengan Medang Gele dan mengganti namanya menjadi Prabu Srimahapunggung. Sementara Batara Bremana menjadi raja Gilingwesi bergelar Prabu Bremana. Prabu Bremana lalu dijadikan menantu batara Wisnu dengan menikahi Dewi Srihunon. Begitupun Batara Brahma mengambil menantu dengan menikahkan Prabu Srimahapunggung dengan putrinya yaitu Dewi Brahmaniyati. Putra Batara Wisnu yang lain, yaitu Batara Srinada juga mendirikan negara baru bernama Wirata bergelar Prabu Basurata.