Selasa, 22 November 2022

Antareja Takon Rama

 Hai-hai...salam sejahtera.......kembali lagi saya menulis, mumpung ada waktu senggang. Kisah kali ini menceritakan tentang kemunculan pertama kali Raden Antareja, putra pertama Arya Wrekodara dengan Dewi Nagagini. Dikisahkan pula bagaimana Raden Antareja menghidupkan kembali Dewi Sumbadra setelah ia ditikam seseorang. Sumber kisah ini yakni blog albumkisahwayang.blogspot.com, blog abihyyiyh.blogspot.com dan beberapa blog pedalangan lainnya

Serangan Prabu Nagabaginda

Kahyangan Saptapertala sedang berbahagia karena putra Arya Wrekodara dengan dewi Nagagini sudah berulang tahun ke-tiga tahun. Sesuai wasiat dari suaminya, Dewi Nagagini menamai putranya itu Raden Antareja. Namun kegembiraan itu sirna karena ada serangan dari Prabu Nagabaginda yang hendak menguasai wilayah Saptapertala. Awalnya, Prabu Nagabaginda adalah murid kepada Batara Anantaboga namun ia memberontak karena Dewi Nagagini telah dinikahkan dengan Arya Wrekodara dahulu saat penyelamatan Pandawa dari istana kardus Bale Sigala-gala. Ia lalu diusir dari Saptapertala. Sekarang dengan kekuatan yang cukup, ia hendak merebut paksa Dewi Nagagini meski ia tahu bahwa pujaan hatinya itu sudah bersuami. Patih sang raja yakni Patih Nagatama menghancurkan apapun yang didepannya dengan semburan racun. Serangan itu membuat jajaran bangsa dewa naga naik ke permukaan bumi. Dewi Nagagini sambil menggendong Anatareja lalu berkata “ayahanda apa aku panggilkan kakang Sena? Dia dan bala prajurit dari Amarta akan membantu kita.” “jangan dulu, putriku. Sena pasti sedang sibuk sekarang. Apalagi sekarang ada gara-gara di Amarta. Kita akan minta bantuan Yang Mulia Batara Guru.” Singkat kata rombongan para dewa naga dari Saptapertala mengungsi ke Mahameru, ke kahyangan Jonggring Saloka. Namun Prabu Nagabaginda dan pasukannya berhasil menyusul hingga ke depan Lawang Kori Selamatangkep. Kesaktian raja Jangkarbumi itu benar-benar tak dapat dianggap enteng. Batara Cingkarabala dan Balaupata kerepotan hingga terdesak. Lalu datang Batara Bayu, Batara Brahma, Batara Indra dan Batara Sambu. Batara Brahma mengeluarkan aji Naramadagni menciptakan sungai api namun Prabu Nagabaginda tak sedikit pun kepanasan. Batara bayu dan Indra menciptakan topan prahara dan hujan kilat disertai salju, namun tak sedikitpun raja Jangkarbumi itu kedinginan terhempas angin ataupun tersambar kilat. Batara Sambu menciptakan lautan awan yang menyesatkan namun dengan sekali tiupan dari mulutnya, Prabu Nagabaginda berubah wujud jadi naga dan mengobrak-abrik awan kabut itu.bahkan gabugan dari para dewa itu habis babak belur dibuatnya. Para dewa kewalahan dan segera menutup Lawang Kori Selamatangkep.

Kunci mengalahkan Prabu Nagabaginda

Batara Guru segera menyambut kedatanga para pengungsi dari Saptapertala. Batara Anantaboga menerima sambutan itu dan menceritakan apa yan terjadi. Lalu Batara Guru duduk di atas takhtannya dan bersemadi. Ia memusatkan segala pikiran dan lalu membuka mata Trinetra miliknya. Tak lama, Batara Guru bangkit lalu berkata “Anantaboga, kunci untuk mengalahkan Nagabaginda ada pada cucumu. Hanya dia yang bisa mengalahkan Prabu nagabaginda dan Patih Nagatama.” Batara Anantaboga kaget namun jika itu petunjuk dari yang diatas, maka Batara Anantaboga berpasrah diri. Mungkin ini adalah takdir bagi cucunya demi mendapat kemuliaan. Maka Batara Anantaboga segera membawa putri dan cucunya ke depan Lawang Kori Selamatangkep.

Raden Antareja mengalahkan Prabu Nagabaginda

Prabu Nagabaginda lalu berteriak kepada Batara Anantaboga “Guru, sebenaranya aku tidak mau begini. Tapi kau sudah menikahkan dinda Nagagini kepada pemuda manusia bernama Bratasena itu. Jujur aku kecewa. Sekarang bahkan Bratasena tidak datang menolongmu. Kau sebut dia menantu idaman?” mendengar menantunya dihina, Batara Anantaboga lalu berkata “tutup mulut bejatmu Nagabaginda. Menantuku mungkin tidak ada disini. Tapi masih ada putranya.kalahkan cucuku ini kalau kau memang lelaki sejati.” Batara Anantaboga lalu meletakkan Antareja yang masih balita itu di medan laga Repat Kepanasan. Patih Nagatama lalu tertawa tergelak-gelak dengan jumawa“hahahahahaha...jagat makin edan....dulu para dewa menumbalkan bayi  sekarang mau menumbalkan bayi lagi.” “benar patihku, sepertinya di kahyangan sudah kekurangan dewa hebat makanya mau menumbahkan para bayi.” Namun di puncak jumawanya, balita Antareja melemparkan batu kerikil panas ke arah patih Jangkarbumi itu. Patih itu kelabakan dilempari kerikil. Maka ia membanting Antareja. Namun ajaibnya, bayi Antareja tidak mati malah kini bisa berlari. Dengan berlari, raden Antareja terus melempari batu yang lebih besar. Di saat lengah, Patih Nagatama balik dibanting-banting Raden Antareja. Lalu Patih Nagatama dihantam-hantam ke batu besar dan tewaslah ia dengan kepala pecah. Prabu nagabaginda ngeri dan berang melihat patihnya ditewaskan. Prabu nagabaginda lalu bertukar wujud jadi naga dan menyemburkan racun panasnya. Sebelum  racun panasnya mengenai tubuh Antareja, Batara Anantaboga segera mengubah diri jadi naga dan menyemburkan liurnya ke arah cucunya. Begitu terkena liur dari kakeknya, Raden Antareja jadi kebal racun bahkan begitu tubuhnya terkena racun panas dari Prabu Nagabaginda, Raden Antareja seketika bertukar wujud jadi pemuda berusia sembilan belas tahunan. Raden Antareja menjadi dewasa dalam sekejap. Dengan penuh keberanian. Raden Antareja mengbah diri jadi naga. Mereka saling melilitkan tubuh, saling terkam dan serang sampai akhirnya beradu menyemburkan racun. Racun milik Raden Antareja ternyata jauh lebih kuat dan akhirnya membunuh Pabu Nagabaginda. Melihat raja mereka terbunuh, pasukan Jangkarbumi mengeroyok Raden Antareja. Batara Anantaboga membantu dengan bertukar lagi jadi naga dan menelan para prajurit bulat-bulat. Kemenangan pun diraih. Kerajaan Jangkarbumi diserahkan kepada Raden Antareja sebagai dalem kesatriyan.

Minggatnya Arya Burisrawa

Langit Hastinapura sedang diseliputi mendung dan kabut,tanda akan tiba musim hujan. Di keraton Hastinapura, Prabu Duryudhana bermuram durja, sama halnya dengan mendung di luar. Adipati Karna memberanikan diri untuk bertanya “Adhiku, Prabu Duryudhana. Apa gerangan yang membuat wajah adhi bermuram muka. Adakah yang mengganjal di hatimu, adhiku?”Prabu Duryudhana bangkit dari singgasana dan mengatakan kegundahan hatinya “kakang Adipati, kegundahan ini menganjal hatiku sepanjang hari ini. Aku gundah dengan adik ipar kita, dinda Arya Burisrawa. Sejak pernikahan Sumbadra dengan adikmu  Arjuna, dia sering bermuram muka. Mendung seakan menyelimuti wajahnya. Pernah sekali waktu ia coba melamar dinda Larasati lewat kanda Baladewa tapi gagal. Murunglah ia tiap malam sampai mengigau. Terakir ini, aku menerima laporan kalau dinda Burisrawa minggat, kabur kanginan karena sakit angaunya.” Resi Dorna lalu menimpali “mungkin dia sedang ada di rumahnya di Cindhe Kembang atau sekarang ia ada di Mandura bersama anak Prabu Baladewa.” “sudah ku kerahkan ke sana tapi tidak ada disana , guru.” Resi Dorna lalu berpendapat “mungkin ia ada di Madukara. Secara, sekarang ini kemungkinan paling mungkin anak mas Burisrawa ada di sana untuk melampiaskan rindunya.” Prabu Duryudhana merasa itu ada benarnya. Ia lalu mengutus Adipati Karna untuk memberikan kabar di Madukara.

Rupanya, Arya Burisrawa yang sedang dicari-cari sedang berjalan tak tentu arah. Rasa sakit di hati membuatnya sangat angau dan memimpikan Dewi Sumbadra.luntang-lantung melewati gunung dan lembah. Hutan angker dan sungai yang deras tak membuatnya mati karena angau. Yang dipikirannya hanya ada Dewi Sumbadra. Di sana Arya Burisrawa terus menangis sambil berjalan kesana-kemari. Sampai akhirnya ia lelah dan duduk di suatu pohon yang besar dan sangat tinggi. “Oh, Sumbadra, pujaan hatiku, mengapa engkau menolak cintaku, Sumbadra? Apakah kau tak tahu, aku ini sangat cinta kepadamu.” Begitulah gumam Arya Burisrawa. “Biarlah aku dimakan binatang buas dan mati di belantara ini, daripada aku harus hidup tanpa didampingi oleh Sumbadra.” Saat itu, Arya Burisrawa melihat seekor macan sedang mendekat kepadanya. Namun, macan itu lantan kabur. “Mengapa dia kabur? Hei, macan, makanlah aku! Dagingku banyak dan sedap untuk dimakan! Hai!.....heehhh...bahkan macan pun tak akan makan daging orang patah hati sepertiku......”

Arya Burisrawa kembali berjalan-jalan tak tentu tujuan. Tiba-tiba matanya tertuju pada sebuah gua yang cukup untuk dimasuki seorang raksasa seperti dirinya. Lalu ia bergegas menuju ke sana. Ia bertekad untuk bertapa, dengan harapan Dewata menolongnya. Begitu sampai di goa, ia langsung duduk bersila, tangannya bersedekap, memejamkan mata, dan khusu bertapa, menutup semua pancaindria. Tiba-tiba, terdengar kilat disertai halilintar menyambar bumi, suatu tanda akan terjadi hujan. Ternyata benar, tak lama kemudian, hujan deras turun. Sangat mengerikan keadaannya seperti itu. Burisrawa yang sedang bertapa juga tak luput dari gangguan yang menyeramkan. Dalam bayangannya terlihat banyak siluman dan genderewo disertai jeritan dan teriakan yang mengerikan. Namun, Arya Burisrawa tetap sabar.

Bantuan dari Batari Durga

Ternyata anak buah Batari Durga, yakni Dewi Kalikamaya datang menerima tapa brata Arya Burisrawa. Lalu Burisrawa dibawa ke istana Setra Gandamayu, dan ditemui oleh Batari Durga. Arya Burisrawa menceritakan apa yang dialaminya, bagaimana ia mencintai Sumbadra dan ia jadi sakit angau karenanya. Sang penguasa Setra Gandamayu merasa iba dengan Arya Burisrawa. Sebagai dewi penolong orang-orang tertindas, maka ia memberikan kekuatan ajaibnya kepada sang kesatria Cindhe Kembang.Sang dewi yang juga bergelar Batari Parwati itu memberikan kekuatan menghilang dan berpindah tempat demi dapat melaksanakan keinginannya. Lalu Burisrawa berangkat menuju Kadipaten Madukara, untuk menemui Dewi Sumbadra, kali ini menggunakan kesaktiannya. Tak lama Arya Burisrawa telah berada di dalam keputren, dan mencari tempat Sumbadra berada.

Dewi Sumbadra Bela Pati

Tak lama pula Arya Burisrawa telah berada di depan kamar Sumbadra dan menemukannya. Sumbadra sangat terkejut dan ketakutan melihat ada sosok yang tiba-tiba muncul. Ia langsung mengusirnya, namun itu tak mengubah apa-apa. Sumbadra langsung menghindar dan menghindar saja. Sang ksatria Cindhe Kembang malah mengancam dengan memakai keris, untuk menggores Sumbadra agar cacat dan Arjuna tak mau lagi dengannya. Namun yang terjadi adalah Sumbadra menabrakkan dirinya ke arah keris itu dengan nekat. Sumbadra tewas, bersimbah darah. Arya Burisrawa menjadi panik sendiri, lalu memilih keluar keputren dan dari Madukara. Srikandhi, permaisuri ketiga Arjuna sempat mendengar jeritan dari kamar Sumbadra dan langsung menengok apa yang terjadi. Ia kaget, madunya sudah dalam keadaan begini. Ia jadi berang dan mencari pelakunya, namun tak menemukan apa-apa.

Wasiat Dewi Sumbadra

Hari esoknya kebetulan Arjuna telah kembali ke Madukara, dan memang karena ia sedang diliputi rasa waswas meninggalkan Madukara terlalu lama setelah menjadi guru bagi putra-putra Kresna. Selain ada istrinya, Sumbadra, ia juga mesti sering-sering menengok anaknya yang baru lahir dari rahim Sumbadra, mereka namakan Raden Abimanyu atau Angkawijaya. Namun ia sampai ketika semuanya telah terjadi. Melihat Srikandhi kebingungan dan diliputi rasa marah dan sedih, Arjuna langsung menghampiri dan seisi keputren sudah bersedih. Ternyata di sana Prabu Kresna dan Baladewa sudah hadir. Arjuna sangat bersedih. Bagaimana tidak, Sumbadra adalah istri yang paling dicintainya. Arjuna meminta bantuan Prabu Kresna untuk menghidupkan kembali Sumbadra dengan Cangkok Wijayakusuma. Walaupun Prabu Kresna sempat menolak, namun akhirnya ia bersedia. Namun bunga ajaib itu tak berfungsi pada Sumbadra, di samping Sri Kresna memang tidak membaca mantranya. Lalu Prabu Kresna memberi tahu apa yang dia alami, bahwa semalam ia didatangi ruh Dewi Sumbadra, yang mengatakan ia minta jasadnya di larung di Bengawan Yamuna. Raden Arjuna jadi tambah sedih namun karena itu sudah wasiatnya, maka ia mengijinkannya. Pada hari berikutnya upacara larung jasad Dewi Sumbadra berlangsung. Semua menyaksikan, dengan perahu terbaik yang mereka punya membawa jasad Dewi Sumbadra mulai dialirkan ke sungai itu. Pandawa telah berkumpul. Prabu Kresna memanggil Raden Gatotkaca, ia berbisik untuk mengawasi perahu Dewi Sumbadra sepanjang sungai, karena ia memiliki rencana tersendiri. Gatotkaca menyanggupi dan ia mulai mengikuti perahu itu sepanjang perjalanan, mengawasinya dari langit.

Antareja Takon Rama

Pada suatu hari, Raden Antareja mengutarakan keinginannya kepada kakek dan ibunya. Ia ingin mencari dimana ayahnya. Ia mengunjungi ibunya dan bertanya perihal ayahnya.” Ibunda dewi, aku ingin bertanya sesuatu. Katakan siapa ayahku dan sekarang ia ada dimana. Aku ingin sekali bertemunya, ibunda.” Ibunya berdiskusi dengan Batara Anantaboga apakah sudah tepat untuk memberi tahu ayah dari Antareja. Batara Anantaboga merasa sudah saatna cucunya tahu. Dewi Nagagini lalu berkata “sudah saaatnya putraku. Kau haus mengabdi pada ayahmu.” Batara Anantaboga lalu berkata pada Antareja “cucuku, kau adalah putra dari Raden Bhima alias Arya Wrekodara. Dia adalah salah satu dari pangeran Pandawa Lima. Asalnya dari Hastinapura tapi sekarang ia tinggal dan jadi adipati di Kadipaten Jodipati, wilayah negara Amarta.” Antareja terkesan dan ingin segera menuju Amarta. Sebelum berangkat, Raden Antareja dibekali lagi beberapa pusaka dan kesaktian olek kakeknya, diantaranya rompi Nagakawaca yang kini ia pakai, Aji Kawrastrawam, dan Cincin Mustikabumi berisi Tirta Amerta Perwitasari.

Raden Antareja menyembuhkan Dewi Sumbadra

Raden Antareja segera menggali, menerobos dasar bumi untuk menuju Amarta, namun ia belum tahu letaknya. Ia pun tersasar malah ke pinggir Bengawan Yamuna. Suatu ketika ia berjalan di pinggir sungai itu, ia melihat ada sosok wanita yang tertidur di atas perahu seperti terhanyut. Tak lain sosok itu adalah Dewi Sumbadra. Namun setelah mendekat, ia menyadari bahwa wanita itu telah wafat. Raden Antareja lalu duduk di atas perahu bersama jasad itu. Tiba-tiba, suara hati nurani Raden Antareja seakan-akan menyuruhnya untuk menyembuhkan wanita itu.

Sumbadra Larung
Ia seperti merasa kalau wanita itu belum sampai ajalnya. Maka ia coba-coba menggunakan Tirta Amerta Perwitasari yang ia bawa di dalam Cincin Mustikabumi. Air suci itu dipercikkan ke wajah dan luka menganga di perut wanita itu. Terjadilah keajaiban. Luka-luka di perut Dewi Sumbadra tertutup dengan cepat dan darahnya berhenti mengalir, seperti tak pernah ada luka. Dewi Sumbadra kembali membuka matanya. Ia telah berhasil hidup kembali.

Gatotkaca melawan Antareja

Di atas awan, Raden Gatotkaca yang menjalankan tugas pengintaiannya dari tadi dengan cermat memperhatikan dari kejauhan kalau ada orang mencurigakan yang naik ke perahu, dan menunggu saat yang tepat untuk bertindak. Begitu Dewi Sumbadra terlihat bangun lagi, Gatotkaca langsung turun menukik ke Bengawan Yamuna dan menubruk tubuh Antareja hingga terlempar ke angkasa. Raden Antareja merasa diserang duluan.“Siapa kau pemuda? Tanpa sebab menyerangku.” Raden Gatotkaca balik bertanya“Justru siapa kau pemuda berani mendekati bibiku?!” Kemudian Gatotkaca melanjutkan penyerangan. Antareja meladeninya. Kemudian segala keterampilan bertarung di antara mereka digunakannya, namun belum ada yang terdesak. Sekali waktu Anatareja berhasil menghajar lalu membenamkan tubuh Gatotkaca ke dalam tanah, sekali waktu juga Gatotkaca membawa terbang Antareja dan menyerang dengan pukulan juga kekuatan anginnya. Kedua pemuda ini benar-benar sakti mandraguna. Yang satu bisa terbang diudara dan satunya lagi mampu amblas bumi.

 

 

Akhir dari Salah Paham

Gatotkaca sangat heran, baru kali ini ada orang yang memiliki tubuh sekebal ini dan dapat bertahan dari pukulan mautnya. Antareja juga kagum dengan kehebatan Gatotkaca dalam mengimbangi dirinya. Hingga pada suatu kesempatan, Antareja dan Gatotkaca sudah mulai babak belur dan ketika hendak saling menyerang lagi, Sumbadra yang telah bangun melerai mereka. “Hei! Kalian berdua!, mengapa kalian saling bertarung? Gatotkaca, aku dimana?” Gatotkaca lega melihat bibinya hidup kembali. “Ternyata Bibi masih hidup, syukurlah.” Raden Antareja lalu menjelaskan “Aku yang menghidupkannya lagi, Ksatria.” Dewi Sumbadra lalu berterima kasih kepada Antareja “Terima kasih, anak muda. Kamu sudah menyembuhkan dan menghidupkan aku lagi. Siapakah engkau ksatria sakti mandraguna, yang telah menyembuhkanku?” “Perkenalkan Dewi, aku Antareja dari Jangkarbumi, sedang mencari ayahku di Amarta. Namanya Raden Bhima, dia punya nama lain Bratasena atau Wrekodara” Gatotkaca dan Dewi Sumbadra kaget mendengarnya. Lalu Gatotkaca berkata “Hei, siapa kau mengaku putra Bhima? Aku juga putra Bhima!” Antareja lalu berkata“Aku putra Bhima dari isterinya yang pertama, Dewi Nagagini. Aku juga cucu Batara Anantaboga, dewa naga penguasa kerajaan bumi lapis ketujuh di Saptapertala.” Gatotkaca terkejut mendengar ia punya saudara. Lalu ia bercerita “aku adalah putra Bhima dari ibu Dewi Arimbi. Dulu ayahku pernah cerita kalau dia punya empat permaisuri, yakni ibu Nagagini, ibuku, ibu Urangayu, dan ibu Rekatawati. Kalau benar yang kakang katakan, kakang adalah kakakku.”. Gatotkaca cukup percaya karena telah merasakan kekuatannya yang bisa mengimbangi dirinya. Namun ia ingin meyakinkan bahwa mereka sepaham, membantu bibinya Dewi Sumbadra untuk mencari pembunuhnya. Dewi Sumbadra mengatakan bahwa yang membunuhnya adalah Arya Burisrawa dari Mandaraka. Kemudian keduanya pergi mencari Burisrawa. Sumbadra ikut serta.

Siasat menangkap Arya Burisrawa

Raden Antareja mendapat akal untuk menjebak Arya Burisrawa. Ia mengerahkan Aji Kawastrawam dan mengubah wujudnya menjadi mirip Dewi Sumbadra. Ia lalu naik perahu dan menyanyi menembangkan lagu-lagu dengan suara merdu. Sementara itu, Dewi Sumbadra yang asli bersama Raden Gatotkaca mengintai di balik pepohonan. Arya Burisrawa yang merasa bersalah atas kematian Dewi Sumbadra saat itu sedang duduk termenung di dalam hutan. Tiba-tiba ia mendengar suara nyanyian Dewi Sumbadra dari arah Bengawan Yamuna. Ia segera berlari mendekat dan melihat Dewi Sumbadra sedang menyanyi di atas perahu. Tanpa pikir panjang, ia langsung melompat ke sungai dan naik ke atas perahu tersebut.Dewi Sumbadra palsu menyambut Arya Burisrawa dengan ramah. Arya Burisrawa meminta maaf atas ulahnya tempo hari dan kini ia senang karena Dewi Sumbadra ternyata masih hidup. Dewi Sumbadra palsu itu berkata “para Pandawa mengira aku sudah mati dan melarungku di sungai. Namun entah mengapa, tiba-tiba aku bisa hidup lagi. Mungkin ini kemurahan dewata kepadaku.” . Arya Burisrawa berkata “dinda Sumbadra tidak perlu kembali ke Amarta. Orang-orang di sana sudah berpikir dinda sudah mati. Akan lebih baik jika dinda ikut aku ke Cindhe Kembang.”  Dewi Sumbadra menjawab bersedia, tetapi ia tidak suka melihat penampilan Arya Burisrawa yang acak-acakan seperti orang gila. Ia lebih dulu ingin mendandani Arya Burisrawa sebelum diboyong ke Kesatriyan Cindhe Kembang.

Arya Burisrawa yang sudah mabuk kepayang menyatakan patuh tanpa membantah. Ia lalu duduk di hadapan Dewi Sumbadra. Dewi Sumbadra palsu itu pun merapikan rambutnya. Pada saat Arya Burisrawa lengah, Dewi Sumbadra palsu tiba-tiba menampar pipinya. Arya Burisrawa kaget dan bertanya “dinda! Kenapa tiba-tiba aku ditampar. Dewi Sumbadra palsu menjawab “maaf, kanda. Ada nyamuk besar hinggap di pipi kakanda”. Tidak lama kemudian Dewi Sumbadra pun memukul kepala Arya Burisrawa. Arya Burisrawa terkejut dan bertanya lagi “dinda! kenapa lagi? Kok sekarang kepala kanda yang dipukul.”  Dewi Sumbadra palsu pun menjawab “kepala kanda ada ada banyak kutu dan kumbang bersarang.” Demikianlah, berkali-kali Arya Burisrawa dipukul oleh Dewi Sumbadra palsu. Lama-lama ia merasa curiga mengapa tangan Dewi Sumbadra berat dan mantap. Ketika menoleh ternyata Dewi Sumbadra palsu sudah kembali ke wujud Raden Antareja. Arya Burisrawa terkejut dan sebelum ia menyadari, Raden Antareja sudah menghajarnya. “Rasakan ini, paman!” sahut Antareja.

Antareja bertemu dengan Ayahnya

Arya Burisrawa berusaha kabur meninggalkan perahu, namun ia disambar Raden Gatotkaca dari angkasa dan dijatuhkan di tanah “ini balasan karena sudah membuat bibi mati suri.” Raden Gatotkaca ganti menghajarnya, kemudian melemparkan tubuh Arya Burisrawa ke arah sang kakak. Raden Antareja menangkap Arya Burisrawa dan memukulinya. Setelah puas, ia melemparkan tubuh pria itu ke arah Raden Gatotkaca. Kedua kakak beradik itu pun bergantian menghajar Arya Burisrawa hingga babak belur. Tidak lama kemudian Prabu Kresna datang bersama Prabu Baladewa, Raden Arjuna, dan Arya Wrekodara. Mereka terkejut melihat Arya Burisrawa dihajar kiri-kanan oleh Raden Gatotkaca dan seorang pemuda berkulit sisik layaknya budak-budak kecil bermain bola. Yang lebih mengherankan lagi, ternyata Dewi Sumbadra masih hidup dan menyambut kedatangan mereka.

Prabu Baladewa jadi salah tingkah, bingung harus bersikap bagaimana. Ia marah karena adik iparnya dihajar dua pemuda, tapi juga gembira karena adiknya hidup kembali. Raden Arjuna pun memeluk istrinya dan merasa sangat bahagia. Prabu Kresna sendiri heran  “dinda Ireng! Bagaimana bisa dinda bisa hidup kembali padahal aku baru saja mau menghidupkan dinda pakai Cangkok Wijayakusuma?” “kakang Madawa, apa maksud semua ini? Katanya dinda kulup tidak bisa dihidupkan lagi pakai Cangkok Wijayakusuma?” Prabu Kresna lalu membuka rahasia bahwa ia hanya pura-pura tidak bisa menghidupkan Dewi Sumbadra. Ia berkata "Adhiku, Parta. Aku sengaja melarung dinda Ireng buat menjebak pelaku sampai muncul menampakkan diri. Karena sudah tiba waktunya, aku berangkat.” Dewi Sumbadra pun menjelaskan "kak Kresna, Arya Burisrawa inilah yang menggangguku hingga aku melakukan belapati. Yang berhasil menghidupkan aku kembali itu anak muda ini. Kak Bhima, ini Raden Antareja, putra kakak dari kakak ipar Nagagini.”  Arya Wrekodara sangat senang melihat Raden Antareja. Walah dalah...ta’ pikir aku cuma punya satu anak saja. Rupanya, Nagagini berhasil melahirkanmu, putraku. Kemari, anakku! Peluklah ayahmu ini” Raden Antareja langsung menyembah Arya Wrekodara lalu memeluknya dengan erat.

Adipati Karna menjemput pulang Burisrawa

Tidak lama kemudian datanglah para Kurawa mengamuk menuntut Arya Burisrawa dibebaskan. Arya Wrekodara marah dan menerjang mereka untuk melampiaskan kekesalan. Terjadilah pertempuran di mana para Kurawa berhamburan terkena pukulan dan tendangan Arya Wrekodara. Adipati Karna maju dan mengajak Arya Wrekodara bicara baik-baik. “Adik-adikku, aku minta maaf atas kelakuan adik iparku ini. Tapi sebelum menyerahkannya, aku ingin kalian ceritakan bagaimana kronologinya adhi Burisrawa sampai seperti ini.?” Arya Wrekodara menceritakan semuanya, mulai dari Arya Burisrawa telah membunuh Dewi Sumbadra hingga ia bisa ditangkap. Untungnya ajal Dewi Sumbadra belum waktunya, sehingga masih dapat dihidupkan kembali oleh putra sulungnya yang baru datang.

Adipati Karna segera menemui Raden Arjuna dan Dewi Sumbadra untuk memintakan maaf atas kesalahan Arya Burisrawa “adhiku Arjuna, tolong maafkan kebodohan adik ipar. Aku akan bertanggung jawab terhadap kesalahannya.”. Raden Arjuna saat ini sedang berbahagia karena istrinya hidup kembali sehingga langsung memaafkan Arya Burisrawa “tidak apa, kakang Adipati. Bagiku yang terpenting sekarang ini dinda Sumbadra kembali hidup dan sehat tanpa kurang apapun.” Dewi Sumbadra juga memberikan maaf tetapi dengan syarat Arya Burisrawa tidak boleh mengganggunya lagi. Prabu Baladewa yang dulu pernah mendukung Arya Burisrawa juga meminta hal yang sama. "Adhiku, Camkan ini baik-baik. Aku sangat menyayangi adik kesayanganku ini. Kalau sampai aku terdengar adikku diganggu lagi, maka aku tidak akan segan lagi memberikanmu pelajaran.”

Adipati Karna berterima kasih lalu membawa Arya Burisrawa yang sudah babak belur pulang bersama para Kurawa. Keadaan kini telah aman kembali. Prabu Kresna pun mengajak Raden Arjuna dan Dewi Sumbadra pulang ke Kadipaten Madukara untuk mengadakan syukuran. Demikian pula Arya Wrekodara mengajak Raden Antareja bersama Raden Gatotkaca ikut serta ke Kadipaten Jodipati.

Kamis, 17 November 2022

Kelahiran Para Putra Kresna

Hai hai.......Selamat datang kembali.......Sudah lama saya tidak posting.....Btw, kisah kali ini mengisahkan kelahiran para putra Prabu Kresna. Para putra Kresna itu yakni Bambang Gunadewa, Raden Samba, Bambang Partajumena (Pradyumna), dan Arya Setyaka. Sumber kisah ini berasal dari blog albumkisahwayangblogspot.com dan beberpa blog pewayangan lainnya dipadukan dengan imajinasi penulis.

Serangan raja Gumbalaraksa

Setelah Prabu Kresna mendapat wejangan dari Semar, sang prabu sering bertapa brata merenungi kesalahannya. Sang prabu perlahan bangkit dari keterpurukan. Ia menata hidup lebih baik. Sampai pada suatu hari, para permaisuri sang prabu mengandung. Dewi Radha membantu para madunya untuk mempersiapkan kelahiran. Sembilan bulan berlalu bagai anak panah melesat, hari persalinan kian dekat. Namun tiba-tiba kerajaan Dwarawati diserang oleh Prabu Yaksasradewa dari kerajaan Gumbalaraksa. Prabu kresna segera mengugsikan para isterinya ke desa Widarakandang tepatnya di bukit Goloka. Perang berangsung begitu sengit. Kerajaan Gumbalarraksa kalah namun sang raja melarikan diri ke arah bukit Goloka. Prabu Kresna segera mengejar namun ia kalah langkah. Dewi Rukmini, Dewi Jembawati, Dewi Setyaboma dan Dewi Radha berhasil dibawa lari ke Gumbalaraksa dan mengobrak-abrik desa Widarakandang.

Malam itu, Prabu Kresna dihadap Patih Udawa, Arya Setyaki,dan seluruh kerabat Yadawa berunding bagaimana cara melepaskan keempat isteri Kresna. Arya Rukmana, kakak Dewi Rukmini berkata “tidak perlu panjang lebar, adik ipar. Kita gempur habis-habisan Prabu Yaksasradewa. Jangan kita beri ampun.” Prabu Kresna menyangah usulan Rukmana “tidk bisa, kakak. Kalau kita serang membabi buta begitu, keselamatan isteri-iseriku yang lain juga terancam.” Arya Rukmana marah-marah menganggap iparnya itu terlalu lembut teradap musuh. Ia menyindir kalau Prabu Kresna teledor dan tidak pantas menjadi iparnya lagi. Prabu Baladewa jengah dengan sikap Arya Rukmana yang kekanak-kanakan. Ia menntng sepupunya iu bertarung sau lawan satu. Perang tading terjadi sangat sengit. Dengan panah,Arya Rukmana menyerang kakak sepupunya itu namun dapat ditangkis degan gada Alugora. Karena sedang dimabuk amarah. Keduanya sampai menghancurkan taman di balairung. seketika datanglah Patih Udawa dan Arya Setyaki guna meredam amarah pangeran dari Kumbina itu. seketika redamlah amarah sang pangeran Kumbina dan raja Mandura.

Rahasia Prabu Yaksasradewa

Di luar Keraton ada gara gara terjadi yang menewaskan pasukan Narayani yang disebabkan oleh amukan seorang resi. kepada sang Rresi sang Prabu Kresna harus menyerahkan Dewi Rukmini kepada sang Resi katanya, dengan seketika Arya Setyaki, Arya Rukmana, Prabu Baladewa, dan Patih Udawa keluar keraton dan mengalahkan sang Resi guna meredam amukan sang Resi. tiba tiba mereka terpental jauh ke Pintu Keraton lalu berubahlah wujud sang Resi yang aneh itu menjadi cahaya seterang matahari di tengah hari.

Setelah itu sang Prabu keluar dari Keraton guna melihat sesosok cahaya yang masuk di Keraton pasowanan, mereka semua melihat sosok di balik cahaya tersebut ialah Batara Narada yang turun ke halaman istana guna memberi tahu kelemahan sang raja Gumbalaraksa yng telah menculik sang Dewi Rukmini dan ketiga isteri Kresna lainnya, karena sebelumnya ia pergi ke Suralaya guna melamar Dewi Tunjungbiru, tapi dewata tidak memberikanya lalu sang Raja mengamuk di Suralaya. Akhirnya ia kalah dan melampiaskannya dengn menculik para titisan Dewi Srilaksmi dan Dewi Laksmita. Lalu Sang Kanekaputra memberikan sesuatu di dalam isi salah satu cupunya karena Sang Kanekaputra mempunyai banyak cupu pusaka di Kayangan Sidiudaludal, lalu Patih Udawa mengambilnya dari tangan Sang Pukulun Narada. Seketika keluarlah keris sakti. Oleh Batara Narada, keris itu bernama Keris Kyai Tantra. Batara Narada berkata “Kresna, keris ini adalah kelemahan Prabu yaksasradewa. Kau harus menusukan keris ini tepat saat dia lengah.” Setelah menjelaskan, batara Narada segera kembali ke kahyangan.

Tipu Hela Nini Penjual Jamu

Prabu Kresna memerintahkan Patih Udawa dan Arya Rukmana utuk menjaga kerajaan Dwarawati sementara ia dan Arya Setyaki akan menyusup ke kerajaan Gumbalaraksa. Ditengah perjalanan sang Prabu memanggil Resi Mayangkara Hanoman untuk ke Gumbalaraksa duluan “Hanoman, bantulah aku. Pegilah ke keraton Gumbalaraksa. pastikan di sana para istriku tidak di apa apakan oleh raja itu”. “sendika dawuh gusti. Perintahmu akan ku laksanakan” Resi Mayangkara Hanoman segera terbang menuju keraton Gumbalaraksa bersama Arya Setyaki. Ketika memasuki keraton, Resi Mayangkara dan Arya Setyaki berubah wujud jadi prajurit jaga. Sesampainya ke kaputren, meereka melihat para isteri Kresna baik-baik saja. Mereka segera keluar keraton. Mereka melihat seorang nini penjual jamu disana.. Singkat cerita, di depan keraton nini penjual jamu berteriak menawarkan "JAMU JAMU JAMU" lalu sang Prabu Yaksasasradewa menghampiri sang tukang jamu untuk minum jamu agar ia perkasa “ni sanak, kemari sini.....buatkan aku jamu agar aku perkasa. Buatkan juga untuk para prajuritku.” Nini penjual jamu memasuki keraton. Di meja makan, sang prabu duduk dihadap segenap prajuritnya. Sang penjual jamu membuatan jamu terenak di dunia. Semauanya diminum dengan lahap. Begitu para prajurit selesai meminumnya, kini tinggal giliran sang prabu. si Nini memberikan bumbung itu ke raja dan menyodorkannya ke cangkir kayu. Setelah meminum jamu itu, sang prabu seketika puyeng dan pusing. Matanya berkunang-kunang dan seetka ia hau. Ia melihat nini penjual jamu bertukar ujud jadi Batara Wisnu lalu jadi raksasa bertangn banyak. Raksas membawa banyak senjata dan salah satunya bumbung milik nini tukang jamu yang berubah ujud menjadi Keris Kyai Tantra. Sang prabu segera bangun. Betapa kagetnya, ia menyadari para prajuritnya teler dan banyak yang tumbang.

Kelahiran para putra Kanha

Prabu Yaksasradewa segera memurnikan jamu dalam dirinya lalu bertarung melawan nini penjual jamu itu. Tak disangka, penjual jamuini sakti dan lincah. Pengaruh jamu beracun itu tak kunjung hilang. Di saat yang tepat, nini penjual jamu bertukar wujud ke asal sebagai Prabu Kresna. Sang raja Dwarawati berjuluk Raden Kanha itu menghunus keris Kyai Tantra tepat ke jantung Prabu Yaksasradewa. Keris itu menghunjam jauh ke dada dan dirobeknya sampai ke perut sang raja gila tersebut. Seketika matilah Prabu Yaksasradewa. Para prajurit yang membela raja mereka dapat dikalahkan dengan mudah oeh Resi Mayangkara dan Arya Setyaki. Akhirnya mereka berdua pulang dengan membawa kesenangan dan kemenangan yang gemilang. Resi Mayangkara Hanoman kembali ke Kendalisadha guna menjaga roh Dasamuka dan roh Indrajid yang belum mukswa ke alam baka.

Sesampainya di Dwarawati, para isteri Kresna mengeluh kesakitan dan akhirnya melahirkan anak yang dikandungnya, merupakan kabar gembira oleh seluruh wadyabala Dwarawati, dimulai oleh dari Dewi Rukmini, disusul Dewi Jembawati lalu Dewi Setyaboma. Saat Dewi Rukmini melahirkan, secara samar-samar Batara Kamajaya menitiskan sebagian dirinya ke dalam jabang bayi Rukmini. Bayi yang dilahirkan sang Dewi Rukmini tersebut begitu berseri-seri dan rupawan. oleh sang Prabu Kresna, anaknya dari Dewi Rukmini itu diberi nama Bambang Partajumena. Meskipun paling akhir mengalami kontraksi, Dewi Setyaboma termasuk lancar melahirkannya. Ia melahirkan seorang putera yang tampan. anaknya itu dinamai Bambang Setyaka. Justru, Persalinan Dewi Jembawati ini yang paling lama dan berat. Setelah satu setengah hari, barulah anak-anaknya lahir. Bayi yang dilahirkan Dewi Jembawati rupanya bayi kembar namun yang disayangkan dua bayinya berbulu lebat bahkan salah satu bayinya ada yang punya ekor seperti kera. Prabu Kresna memberi nama anaknya dari Dewi Jembawati yang punya ekor Bambang Gunadewa dan yang satunya Raden Samba. Bambang Gunadewa dijadkan kakak bagi Raden Samba. Semenjak kelahiran dua putrnya, Dewi Jembawati memilih mengasingkan diri di Astana Gandamadana menemani ayahnya, Resi Jembawan.

Raja Paranggaruda Hendak Menumbalkan para Titisan Dewa

Bersamaan dengan itu, raja Paranggaruda yakni Prabu Kilatmaka menyerang dan menaklukan negeri-negeri di sekeliling Dwarawati. Kerajaan Dwarawati dalam bahaya. Pasukan Narayani tak kuasa dan dapat dipukul mundur oleh pasukan Paranggaruda. Bahkan pasukan Sangkarsana dari Mandura yang memberikan bantua tak luput dan kini justru bertekuk lutut di tangan Prabu Kilatmaka. Prabu Baladewa dan Prabu Kresna ditawan. Prabu Kilatmaka menawan mereka karena mendapat wangsit dewata bahawa ia akan menjadi raja diraja dunia bila menumbalkan titisan Wisnu dan titisan Basuki di jaman ini. Kepala mereka dilarung dan darahnya dihanyutkan ke bengawan Yamuna tiga hari lagi. Tumenggung Paranggaruda yakni Tumenggung Kilatyaksa mengejar para abdi dalem yang melarikan diri bersama Arya Setyaki dan Patih Udawa. Walaupun kelabakan, Patih Udawa dan Arya Setyaki mampu menyelamatkan diri bersama para abdi dalem Dwarawati. Mereka segera menuju ke Astana Gandamadana meminta bantuan Resi Jembawan.

Di tengah perjalanan, Patih Udawa dan Arya Setyaki bertemu dengan Raden Arjuna dan para punakawan, kebetulan tujuan mereka sama. Mereka saling bertanya kabar. Lalu Patih Udawa menjelaskan apa saja yang tejadi di Dwarawati “adhi Parta, sekarang kerajaan Dwarawati sedang gawat darurat.” Arya Setyaki melanjutkan “benar kakang guru, sekarang kakang Prabu Kresna dan kakang prabu baladewa ditawan raja Paranggaruda. Mereka akan ditumbalkan sebagai syarat kejayaan Paranggaruda.” Raden Arjuna kaget tidak menyangka kalau ipanya berhasil dikalahkan raja yang gila. Maka ia mengajak para sepupunya itu untuk sowan kepada eyangnya, Maharesi Abiyasa di gunung Saptaharga. Sesampainya disana, Raden Arjuna dan yang lainnya menceritakan apa yang terjadi pada kerajaan Dwarawati. Maharesi Abiyasa prihatin mendengarnya. Raden Arjuna lalu bertanya “apa ada penyelasaian untuk masalah ini, eyang Maharesi?” “cucuku, tidak ada masalah yang muncul melainkan ada penyelesaiannya. Wangsit dari dewata tidak pernah meleset... kemarilah cucuku, sini aku bisiki apa isi pesan itu...” maharesi Abiyasa membisiki Arjuna dn Ki Lurah Semar apa-apa solusi untuk masalah itu. Raden Arjuna berubah raut wajahnya, seperti kaget lalu ia berkata  “ampun, eyang Maharesi. Bukan cucumu ini tidak mau percaya tapi apa eyang Maharesi yakin itukah caranya?” maharesi Abiyasa menjawab kegelisahan cucunya itu “percayalah pada setiap keputusan Hyang Widhi, cucuku. Mungkin ini juga adalah ujian bagi para keponakanmu itu.” Arjuna tak lagi ragu. Mantaplah hatinya untuk memberitahu hal itu kepada para isteri Prabu Kresna. Raden Arjuna pun pamit disusul Patih Udawa dan Arya Setyaki.

Wangsit kemenangan Dwarawati

Kini sudah hampir dua tahun, Dewi Jembawati tinggal di Astana Gandamadana. Hari itu, kedatangan Arjuna, Patih Udawa dan Arya Setyaki bagaikan angin segar bagi Jembawati karena selama dua tahun ini tiada kabar apapun dari Dwarawati. Dewi Jembawati bertanya basa basi bagaimana ia bisa tahu tentang pengasingannya. Arjuna berkata bahwa kabar pengasingan iparnya tersebut telah menyebar cepat di Mandura dan Amarta. Ia dan para punakawan prihatin dengan nasib iparnya tersebut “kakak ipar, aku tau bia kakak bersedih karena kelahiran Gunadewa dan Samba. Tapi bukan berarti kakak ipar harus terus berlarut-larut dalam kesedihan. Sekarang kakang Madawa dan kakang Balarama ditawan raja Paranggaruda.” Mendenga kabar itu, Dewi Jembawati khawatir dengan keselamatan suami, kakak ipar dan para madunya.” Duh adhi Parta, kenapa baru kamu datang dan critakan hal ini. Bagaimana sekarang kita menyelamatkan kakang prabu dan kakak ipar?” Ki Lurah Semar lalu menenangkan hati Dewi Jembawati “helah dalah...hemmm blegedang gedug hemel.....sebelum kami kemari, kami sowan kepada ndoro Abiyasa, kakek ndoro Arjuna. Kami dibisikinya tentang penglihatannya dari para dewa, raja Paranggaruda hanya bisa dikalahkan oleh para putra ndoro Kresna. Maka dari itu, kita harus kumpulkan Gunadewa dan Samba dan para saudaranya.” Dewi Jembawati tidak menyangka bahwa para putranya akan terjun ke medan perang dan menjadi penyelamat ayah mereka. Ia ragu untuk melakukannya. Raden Arjuna berusah meyakinkan iparnya bahwa ini cara satu-satunya. Rsi Jembawan menerima usulan Ki Lurah Semar “benar putriku....mungkin inilah jalan yang akan ditunjukkan dewata kapada para cucuku.....para dewa juga berkata demikian padaku melalui semadhiku. Aku akan merestui para cucuku untuk ke medan perang.” Dewi Jembawati kembali mendapatkan semangatnya. Mereka pun segera berangkat ke Dwarawati menyelamatkan Prabu Kresna dan Prabu Baladewa.

Singkat cerita, Raden Arjuna dan Dewi Jembawati memasuki keraton Dwarawati secara diam-diam. Mereka mendapati para istri Kresna lainnya ditawan juga. Dengan kekuatan panahnya, Arjuna menjebol pintu penjara.  Dewi Rukmini dan lainnya segela memeluk Dewi Jembawati. Isteri ketiga Prabu Kresna lalu mengatakan bahawa yang bisa membebaskan suami mereka adalah para putra mereka. Dewi Rukmini, Dewi Radha, dan Dewi Setyaboma ragu, bagaimana bisa anak-anak mereka yang masih berumur balita itu bisa berperang, apalagi raja yang mereka hadapi sakti mandraguna. Raden Arjuna berkata “jangankan mengalahkan raja sakti, bisa saja ia menjungkir balikkan dunia. Kalian ingat dengan Gatotkaca? Gatotkaca mampu mengalahkan raja Naga Kalapercona dan Patih Sekipumantra di umur dua tahun. Bukan cuma itu, ayahku beserta paman Widura, dan uwa Dretarastra mengalahkan raja Nagapaya di usia balita. Percayalah pada kehendak Hyang Widhi, jika anak kalian ada dalam lindungan-Nya.” Berkat perkataan Arjuna, para isteri Kresna bersedia membawa para putra mereka ke medan perang.

Kesaktian para Putra Kresna

Di tempat lain, prabu Kilatmaka dihadap patihna, Patih Kilatwarna dan Tumenggung Kilatyaksa membahas kapan penumbalan Prabu Kresna dan Prabu Baladewa. Patih Kilatwarna berkata bahwa hari ini sudah tepat tiga hari dan inilah waktu yang tepat. Maka disiapkan altar penumbalan dan berbagai banten sesajian. Ketika golok hendak ditebaskan kepada dua raja kakak adik itu, datang Raden Arjuna menggendong para keponakannya yakni Bambang Partajumena, Bambang Gunadewa, Arya Setyaka, dan Raden Samba diiringi para ibu mereka.

Arjuna membawa para putra Prabu Kresna
Arjuna berkata kalau Prabu Kilatmaka tidak lengkap sesajinya. Prabu Kilatmaka marah karena terganggu dengan kedatangan Raden Arjuna. Ia menanyakan apa dasarnya sang penegak Pandawa berkata demikian. Arjuna berkata bahawa sesaji tumbalnya akan lengkap berhasil mengalahkan para putra Prabu Kresna. Prabu Kilatmaka dan Patih Kilatwarna tertawa menganggap Arjuna sudah gila. Jangankan Prabu Kresna dan Baladewa yang adalah titisan dewa, para bayi putra Kresna dapat ia kalahkan.

Raja Paranggaruda itu membanting bayi Bambang Gunadewa namun ajaib, Bambang Gunadewa seakan kebal bantingan malah kini ia bisa berjalan dan berlari.lalu Patih Kilatwarna maju dan memukul bayi Raden Samba. Ajaibnya, bayi raden Samba tidak terluka sdikitpun bahkan seperti kakaknya, ia juga bisa berjalan dan berlari. Bulu-bulu di tubuhnya ini rontok dan ia berubah jadi bayi normal. Rupanya dua anak Kresna dan Jembawati itu dilindungi Batara Sambu. Tak disangka, Bambang Gunadewa melilitkan ekornya dan membanting Patih Kilatwarna. Di saat bersamaan bayi Arya Setyaka dan Bambang Partajumena melemparkan bebatuan kerikil ke arah patih Paranggaruda itu. Lemparan bebatuan itu juga berhasil membebaskan Prabu Kresna dan Baladewa dari para algojo Paranggaruda. Patih Kilatwarna marah mendapati calon tumbalnya lepas. Maka ia membalas dengan melemparkan kerikil juga ke arah mereka. Sama seperti para kakaknya, bayi Arya Setyaka dan Bambang Partajumena kini bisa berjalan dan berlari. Bersama-sama, mereka melemparkan batu besar dan menimpas kepala patih Paranggaruda hingga tewas.

Prabu Kilatmaka berang melihat patihnya tewas. Ia lalu meludahkan liur saktinya kepada empat anak Prabu Kresna itu. Bukannya meleleh, keempatnya secara ajaib bertukar wujud jadi anak remaja berusia dua belas tahun. Mereka melompat-lompat ke arah Prabu Kilatmaka, menggigiti dan menampar wajah raja Paranggaruda itu. Prabu Kilatmaka merasa risih dan berusaha menangkap mereka. Namun, para putra Kresna semakin lincah dan sesekali berhasil memukul atau menendang raja Paranggaruda tersebut. Prabu Kresna yang melihat dari kejauhan segera memanggil para putranya untuk meninggalkan musuhnya barang sejenak. Raden Arjuna pun menggandeng para keponakannya itu untuk menghadap. Prabu Kresna merasa senang melihat kelincahan mereka. Namun, ia tidak suka putranya berkelahi seperti seekor kera. Maka, ia pun meminjamkan Cakra Widaksana kepada Raden Samba, Gada Kumadaki kepada Arya Setyaka, Terompet Pancajanya kepada Bambang Partajumena, dan Keris Gandawisa kepada Bambang Gunadewa sebagai bekal untuk mengalahkan Prabu Kilatmaka.

Kemenangan Para Putra Kresna

Para putra Kresna menerima senjata tersebut dan kembali maju menghadapi Prabu Kilatmaka. Begitu jarak mereka tidak terlalu jauh, Bambang Partajumena meniup Terompet Pancajanya kearah sang raja Paranggaruda. Seketika Prabu Kilatmaka jadi linglung dan bingung karena ditimpa berbagai bencana yang disebabkan tiupan terompet sakti berbentuk kerang laut itu. Disusul pukulan Gada Kumadaki dari Arya Setyaka menimpa perutnya dan tebasan keris Gandawisa dari Bambang Gunadewa merobek-robek kulit kandel sang raja. Terakhir, Raden Samba melemparkan Senjata Cakra yang tepat mengenai leher Prabu Kilatmaka. Seketika Prabu Kilatmaka pun tewas dengan leher putus dan badan hancur tersayat-sayat.

Melihat rajanya terbunuh, Tumenggung Kilatyaksa marah dan memimpin pasukannya untuk melakukan bela pati, yaitu bertempur sampai mati melawan pasukan Narayani dari Dwarawati. Pertempuran sengit kembali terjadi. Perang pun berlanjut. Pasukan gabungan Narayani dan Sangkarsana terus menggempur pasukan Paranggaruda bagaikan ombak pasang air laut. Beberapa kali Arya Setyaki dan Prabu Baladewa membantu Arjuna. Mereka terkena sabetan senjata dan terluka disana-sini. Namun pada akhirnya, Ditya Kilatyaksa pun tewas terkena panah Raden Arjuna. Pasukan Paranggaruda juga lari kucar-kacir dan hampir semuanya berhasil ditewaskan.

Prabu Kresna telah mengobati Prabu Baladewa dan Arya Setyaki dengan menggunakan Cangkok Wijayakusuma. Sabg raja Dwarawati lalu berkata “terima kasih para putraku. Kalian telah berhasil melewati ujian dari deata. Kalian memang para putraku yang hebat.”Parabu Baladewa dan lainnya lalu bersama-sama memuji kemenangan Raden Samba dan saudara-saudaranya. Karena Raden Samba mampu menggunakan Cakra Widaksana dengan baik, Prabu Kresna pun memberikan nama tambahan untuknya yakni Raden Samba Wisnubrata. Hal ini karena Cakra Widaksana ialah pusaka milik Batara Wisnu yang kemudian terlahir sebagai Prabu Kresna. Bambang Partajumena juga dipuji dengan menggelegarnya tiupan Terompet pancajanya olehnya. Maka Prabu Kresna menambahkan nama kedua baginya yakni Bambang Partadewa karena ia sangat perkasa bagaikan sang Batara Wisnu sendiri yang meniupkan terompet sakti itu, begitu lantang terdengar. Prabu Kresna lalu berkata bahwa Bambang Gunadewa akan menjadi putra mahkota Dwarawati. Bambang Gunadewa lalu datang ke ayahnya lalu berkata “Ayahanda prabu, ananda hargai keputusan ayahnda. Tapi ananda tidak berniat menjadi raja. Ananda lebih tertarik dengan dunia kepanditaan. Lagi pula apa kata dunia kalau putra mahkota Dwarawati punya ekor seperti kera. Ananda lebih memilh jika Adhi Samba dijadikan putra mahkota yang sah” Raden Samba berkata “ampun kakang Gunadewa, apa adhi mampu mengemban tanggung jawab itu?” jawab Raden Samba. Bambang Gunadewa lalu berkata “ aku yakin kau pasti mampu, adikku.” “benar, kakang Gunadewa. Kau pasti bisa.” Sambung Arya Setyaka. “aku setuju dengan itu. Kakang Samba memiliki kecakapan itu.” Balas Bambang Partajumena.

Adapun Kerajaan Paranggaruda yang kini telah kosong karena raja dan seluruh pasukannya tewas, menjadi negeri bawahan Dwarawati. Prabu Kresna pun mengubah Kerajaan Paranggaruda menjadi kadipaten sebagai tempat tinggal Raden Samba. Sejak saat itu, Raden Samba pun mendapat nama baru pula, yaitu Raden Kusuma Kilatmaka. Prabu Kresna lalu mengadakan pesta syukuran untuk merayakan pelantikan Raden Samba Wisnubrata sebagai putra mahkota. Setelah pesta selesai, Prabu Kresna mengirimkan mereka untuk pergi berguru kepada Resi Jembawan dan Maharesi Abiyasa. Untuk masalah olah kanuragan dan kesaktian, mereka akan dilatih oleh Arjuna dan Arya Setyaki secara langsung.

Selasa, 18 Oktober 2022

Semar Kuning

 Sudah lama saya tidak posting.....Btw, kisah kali ini kembai ke kisah Mahabarata. Kisah kali ini mengisahkan tentang sikap tak terpuji Prabu Kresna dengan meludahi Ki Lurah Semar. Ia kemudian diingatkan oleh Batara Ismaya. Kisah ini juga mengisahkan tentang kelahiran Abimanyu, perjodohannya dengan Dewi Siti Sundari sejak bayi, dan pernikahan Arjuna dengan Dewi Ulupi. Kelak dari Dewi Ulupi, akan lahir Bambang Irawan. Sebenarnya kisah perjodohan ini diceritakan saat Abimanyu dewasa tapi penulis menceritakan perjodohan Abimanyu terjadi  sejak bayi. Sumber yang dipakai berasal blog albumkisahwayang.blogspot.com, blog caritawayang.blogspot.com dan beberapa blog-blog pedalangan lainnya.


Hari kelahiran jabang bayi yang dikandung Dewi Sumbadra akhirnya tiba. Sang jabang bayi telah lahir sehat. Arjuna menamai putranya itu Abimanyu yang bermakna tak kenal takut dan sang ibu menamainya Angkawijaya. Tak lama setelah kelahiran putranya, terjadilah perang antara kerajaan Palangkawati melawan Amarta. Perang selama berhari-hari itu telah memakan banyak korban dan pasukan Amarta menjadi terdesak. Mau tidak mau, Arjuna harus pergi berperang namun tiba-tiba ada suara dari langit mengatakan “Arjuna, bawalah putramu ikut ke medan perang bersamamu karena kunci kemenanganmu adalah putramu yang baru lahir itu.” Arjuna menaatinya dan segera naik kereta perang sambil menggendong putranya.

Di medan perang Arjuna banyak mengalahkan musuh. Lalu datanglah raja Palangkawati, Prabu Jayamurcita menantang Arjuna “Arjuna, aku akui kau cukup hebat menghadapi seluruh prajuritku. Aku menantangmu adu panah. Jika aku menang ku rebut Madukara beserta seluruh kotaraja Indraprastha!” “aku terima tantanganmu, Jayamurcita.” Terjadilah perang tanding yang apik. Kedua ksatria tampan itu saling menembakkan panah dengan indah. Ibarat kalau dikata panah-panah itu melesat membiaskan cahaya bak pelangi di petang hari. Lama kelamaan Arjuna mulai kewalahan lalu tanpa diduga, tanpa dinyana, bayi Angkawijaya memegang dan melemparkan salah satu panah ayahnya. Panah itu panah Sirsha melesat ke arah dada sang Prabu dan musnahlah tubuh Prabu Jayamurcita berganti menjadi seorang dewa berwajah tampan. Sang dewa lalu memperkenalkan diri “maaf beribu maaf,Arjuna sudah membuatmu dan Amarta kerepotan. Perkenalkan hamba Batara Warcasa, Putra Batara Candra.” “Ampun sang batara, apa yang terjadi pada paduka sehingga bertukar wujud menjadi manusia.” Batara Warcasa bercerita bahwa ia mencari penitisan karena ia ingan menyusul kawannya, Batara Tantra, cucu Batara Bayu telah lebih dulu menitis pada Gatotkaca, putra Wrekodara dan Arimbi. Maka ia ingin bertemu kembali bertemu sahabatnya dengan menitis sebagai sepupu Gatotkaca yang baru lahir. Kini sudah saatnya Batara Warcasa bersatu jiwa raga dengan Abimanyu. Sebelum itu, Kerajaan Palangkawati diserahkannya kepada Arjuna sebagai bawahan Amarta. Keajaiban pun terjadi, Batara Warcasa menghilang bertukar menjadi cahaya lalu masuk ke dalam diri bayi Abimanyu. Pulangah ayah dan anak itu lalu diceritakannya yang terjadi. Maka Prabu Yudhistira menetapkan Keraton Palangkawati sebagai dalem kesatriyan untuk Abimanyu.

Di tempat lain, Prabu Kresna dihadap para istri, Dewi Radha, Dewi Jembawati, Dewi Rukmini dan Dewi Setyaboma menerima seorang tamu. Tamu itu bernama Batara Ekawarna dan putrinya, Dewi Pertiwi dari kahyangan Ekapertala. Prabu Kresna mengingat mereka karena sebelumnya sebagai Batara Wisnu, Dewi Pertiwi adalah salah satu istrinya selain Dewi Srilaksmi dan Dewi Laksmita.  “istri-istriku perkenalkan ini dinda Pertiwi, salah satu istri kanda di kahyangan dahulu.” Dewi Jembawati dan para madunya saling memeluk Dewi Pertiwi karena sesama titisan istri Batara Wisnu dapat dipertemukan kembali. Dewi Pertiwi membawa serta dua buah hatinya yang masih bayi berbeda setahun umurnya, “kanda batara, inilah putra-putrimu. Tolong berikanlah nama kepada mereka berdua,” “ baik, dinda. Tapi aku ingin merundingkannya dengan para istriku yang lain.” Berundinglah sang prabu dengan keempat istrinya memikirkan nama apa yang pas. Setelah selesai, Prabu Kresna mendekati Dewi Pertiwi dan berkata “karena kedua anakku ini anak dari Dewi penjaga bumi, maka yang lelaki aku beri nama Arya Sitija dan dan yang perempuan kunamai Dewi Siti Sundari.” Bersamaan dengan itu, datanglah kabar dari punggawa bahwa putra Arjuna dengan Sumbadra telah lahir dan diberi nama Angkawijaya alias Abimanyu. Maka semakin berbahagialah sang Prabu Kresna. Ia pun berencana membuat pesta selapanan sekaligus perjodohan antara Abimanyu dengan Siti Sundari. Maka dikirimlah undangan itu ke Amarta, Mandura dan negara-negara tetangga.

Di kahyangan Jonggring Saloka, Batara Guru dihadap batara Narada, sang istri Batari Durga. Mereka membicarakan bagaimana jalannya hubungan sang Wisnu dengan Semar saat ini “Kakang Narada, Sanghyang Widhi memberiku penglihatan bahwa sebentar lagi hubungan Wisnu sebagai Kresna dan kakang Ismaya akan mendapat cobaan. Saat ini, Prabu Kresna amat gembira hati dengan putrinya yang kedua yang terlahir cantik jelita dan hendak menjodohkannya dengan anak Arjuna. Apa yang harus kita lakukan, kakang?” “menurut hemat saya, kita lihat saja dulu seberapa kuat mereka bisa bertahan dari cobaan itu. jika Wisnu berbuat salah, sudah kewajiban kita mengingatkannya, Adhi Guru.”Batara Guru lalu meminta pendapat istrinya lalu Batari Durga berkata “saya sependapat dengan Kakang Narada. Sebagai jajaran dewa yang paling sakti, Wisnu maupun para titisannya harus mampu menahan nafsunya terutama nafsu amarah dan supiahnya.” Maka Batara Guru kemudian memerintahkan para dewa agar lebih mengawasi Kerajaan Dwarawati untuk segala kemungkinan yang terjadi. Belum sempat mereka duduk, Tiba-tiba seisi kahyangan Jonggring Saloka digoncang gempa dahsyat. Gonjang-ganjinglah gunung Mahameru dibuatnya. Lalu Batara Guru melihat Batara Wisnu naik ke kahyangan “anakku, Ngger Wisnu?! Rupanya kedatanganmu yang membuat gonjang-ganjing. Ada apa kamu datang menghadap tidak bersama Kresna.” “ampuni hamba, paduka ayahanda Girinata. Saya oncat dari Kresna untuk sementara waktu. Kresna saat ini sedang diliputi perasaan bangga yang teramat sangat. Ini juga akan menjadi ujiannya apakah ia akan sadar dari kesombongannya. Kalau dia sadar, maka saya akan kembali padanya.” “baiklah jika begitu, ngger Wisnu. Aku akan pikirkan sesuatu untuk memperingatkan Kresna.”

Tibalah hari pesta selapanan. Rakyat dari seluruh negeri bergembira. Bukan hanya dari Dwarawati saja, tapi dari Mandura, Amarta, bahkan Hastinapura berkumpul di sana menikmati pesta itu. Prabu Baladewa pun datang. Setelah dijemput sang adik di gapura keraton, didampinginya kakaknya itu ke ruang balairung. Lalu Prabu Baladewa berkata “adhi Kanha, dimanakah putrimu itu? dimanakah adikku Sumbadra dan putranya itu? aku ingin melihat mereka.” Pucuk dicita, ulam pun tiba, datanglah rombongan dari Amarta yaitu Prabu Yudhistira dan sang istri, Drupadi, disusul Arya Wrekodara beserta istri, lalu Dewi Sumbadra dan Abimanyu yang masih bayi, dan Raden Nakula-Sadewa. Prabu Baladewa lalu menengok bayi Abimanyu alias Angkawijaya. Lalu datanglah Dewi Pertiwi menggendong bayi Siti Sundari. Raja berkulit bule itu juga menengok keponakannya yang cantik dan bagus itu. setelah puas melihat kedua ponakannya itu, Prabu Baladewa bertanya pada Prabu Yudhistira “adhi Prabu Yudhistira, diamana adikmu Arjuna, ayah Abimanyu? Kok tidak ikut? Apa dia sakit?” “maaf kanda prabu Balarama, adhi Arjuna sudah satu bulan ini meninggalkan Amarta. Kami tak tahu kemana ia pergi.” “waduh waduh......Adhi Kanha. Kok kamu mengadakan pesta ini tanpa kedatangan adhi Arjuna? Upacara selapanan ini tak akan sempurna tanpa hadirnya ayah si Abimanyu. Malulah kita ini kalau kita membuat upacara untuk bayi bila ayah si bayi masih di luar sana. Orang akan menganggap kita orang tak tau sopan santun.” Prabu Kresna dengan jumawanya berkata “kakang Balarama, di dunia ini siapa yang tidak tahu Kresna, sang titisan Batara Wisnu,sang pelindung dharma ini. Pilihan saya adalah kehendak dunia. Seluruh jagat ini tidak akan menyalahkanku,tidak akan membuat kita celaka. Bahkan para dewa di kahyangan segan pada Kresna ini.” “prabu Baladewa pun terkejut mendengarnya begitupun Prabu Yudhistira. Prabu Yudhistira yang merupakan anak angkat Batara Dharma mengingatkan “kanda Prabu Kresna, tidak baik jumawa. Sebagai titisan Wisnu harusnya tidak bersikap sombong, menjauhkan diri dari jumawa. Lebih baik malu sejenak daripada mendapat murka Sanghyang Widhi.” namun Prabu Kresna tak peduli seolah ia tak takut. Singkat cerita, maka segeralah diselenggarakan pesta selapanan itu lalu tibalah saatnya perjodohan. Prabu Kresna menggendong bayi Abimanyu di tangan kanan sedangkan tangan kiri menggendong bayi Siti Sundari,putrinya an berkata “hari ini aku, Prabu Sri Kresna menjodohkan Abimanyu alias Angkawijaya, putra adikku dengan Parta sang Arjuna dengan putriku Siti Sundari. Semoga Yang Maha Kuasa menghendaki.” Para undangan memberikan selamat dan bahagia sekali.

Singkat cerita, saat perjamuan, datanglah seorang berwajah ala kadarnya, gemuk namun berwibawa diiringi tiga anaknya. Dialah Ki Lurah Semar beserta Gareng, Petruk dan Bagong. “ampun, ndoro prabu. Kedatangan saya tanpa undangan.” Prabu Kresna dengan jumawa berkata “kakang ki Lurah, apa maumu? Kedatanganmu tanpa undangan mengganggu para priyagung di seantero Jawadwipa ini” “hmmm Blegedag gedug.....hmmm ndoro prabu Kresna. Saya datang hanya ingin ikut merayakan perjodohan putra ndoro saya dengan putri ndoro prabu.” Mendengar pembicaraan sang adik yang tidak mengenakkan itu, Prabu Baladewa membalas dengan ramah ucapan sang punakawan “eee....tidak apa-apa kakang Ki Lurah. Marilah masuk.”  Belum sampai beberapa langkah, Prabu Kresna berkata “kakang, apabila kau ingin makan dan minum, kakang bisa makan bekas para priyagung. “hmmm lah dalah..ndoro! ndoro!. Apa kamu lupa, saya tahan lapar dan haus, gentur lelaku lan tapa brata. Kuat dingin dan panas, tahan bosan dan kantuk. Kedatanganku ini hanya untuk mengirimkan sebuah syair terkhusus untuk ndoro prabu, ndoro mas Abimanyu, dan ndoro mas Siti Sundari untuk ucapan selamat.” Prabu Kresna mengiyakan dengan nada bosan “hmm baiklah. Terserah kau lah.” Maka bersyairlah Semar.

terkisahlah sebuah negara

Dwarawati namanya

Indah dipandang layaknya swarga

Rakyatnya sentausa sejahtera

Rajanya hikmat ternama

Prabu Kresna namanya

Wisnu sang dewa menitisinya

Menjadi raja gung binantara

Para dewa sayang padanya

Karena kehebatannya

Prabu Kresna merasa bangga karena dijadikan syair dapat melupakan sedikit kejengkelannya. Senyum mengembang bagai bulan muda. “yah.. syairmu bagus sekali, kakang. sesuai apa yang terjadi sebenarnya. Engkap sungguh hebat rangkai dan sambung kata indah, kakang.” “ada kelanjutannya.ndoro prabu”

namun gading indah retak segaris saja

cacat dan cela tetaplah ada

sang raja kurang lah bijaksana

tega dengan kaum kerabatnya

di saat perjodohan putrinya

dengan anak Arjuna

calon besan belumlah tiba

enggan dinantinya 

lebih malu pada kuasa

daripada Hyang Widhi Wasa

Wisnu sang dewa sirna nuraninya

Silau harta, kuasa dan takhta

Seketika heninglah seisi keraton. Prabu Baladewa mulai tegang wajahnya begitupun dengan Patih Udawa dan Arya Setyaki. Wajah Prabu Yudhistira, Arya Wrekodara dan Nakula-Sadewa tampak menunduk karena syair tu menampar pribadi Prabu Kresna yang memnag sesuai fakta. Sang Prabu Kresna seketika merah padam wajahnya. Matanya seakan meniratkan murka. Senyum yang menungging menghilang seketika berganti gigi gemeretak menahan marah. Maka Prabu Kresna menyiramkan air ke kepala Semar lalu meludahi pakaian dan kuncungnya. “pergi dari sini kau, orang tua! Orang besar sepertiku tak butuh syairmu itu!” begitulah Prabu Kresna mengusir sang batara Ismaya yang tengah mengejawantah itu. Kresna melupakan tugasnya sebagai Wisnu dan sebagai rekan Semar dalam menekan angkara murka. Dia tergelincir ke lembah kesombongan. Hati yang silau terhadap harta, takhta dan kuasa. Namun tak sedikitpun kemarahan terlihat di wajah Ki Lurah Semar. hanya raut kesedihan terukir nampak. Semar segera mengelap bekas air di kepalanya dan membersihkan ludah dari pakaian dan kuncungnya seraya berkata “baiklah, ndoro. Saya akan pergi. Saya tidak keberatan diperlakukan begini. Saya sadar, orang kawula alit macam saya tak akan ada yang menolong. Semar datang untuk mengingatkan tentang kebenaran. Tapi apa gunanya saya menyampaikan kebenaran pada orang yang jumawa dan menolak kebenaran. Saya pamit, ndoro Prabu.” Setelah perginya Ki Lurah Semar, Prabu Baladewa mendatangi adiknya sambil meluapkan segalanya “Kanha! Tega sekali kau berlaku tercela kepada kakang Ki Lurah. Kurasa sudah cukup aku berada di sini. Aku pamit. semoga Sanghyang Widhi tak menimpakan murka padamu.” Prabu Kresna makin jumawa “terima kasih atas kedatanganmu, kakang Balarama. Aku bertanggung jawab sepenuhnya bahkan aku dan anakku rela dikutuk karena ini.” maka melengoslah Prabu Baladewa diikuti rombongan Amarta.

Gareng, Petruk, dan Bagong sedari tadi melihat ayah mereka murung sejak keluar dari keraton Dwarawati “ada apa tha, mo. Murung masam begitu muka. Tambah jelek lho, romo. Lihat tuh muka si Bagong. jelek-jelek gitu masih tetap pede dapet cewe. Laelasari, putri paman Togog kepincut ama dia” kata Gareng. “apa tha, reng? Laelasari itu matanya aja rabun. Kalo pake kacamata paleng langsung lari”ejek Petruk. “enak aja, kakang Petruk iki. Laelasari itu kepincut sebab wajahku ganteng kayak ndoro Arjuna.” “Gedabrus!” kata Petruk dan Gareng sambil menepuk punggung Bagong.Tak pelak gelak tawa tak terelakkan. Ki Lurah Semar mau tak mau ikut tertawa-tawa kecil. “wis...wis..wis...tha, anak-anak. tidak perlu saling ejek. Romo memang lagi muram mengingat perlakuan ndoro Prabu Kresna di keraton tadi.” Gareng lalu bertanya “memangnya apa yang terjadi dengan ndoro prabu?” Semar lalu menceritakan apa yang terjadi. “wah...wah..kurang ajar ndoro prabu. Mentang-mentang titisan Batara Wisnu bisa seenaknya begitu. Memang butuh dipethel itu orang.” Kata Gareng yang setengah marah. “wis...wis...anak-anakku. romo tak mau diganggu sekarang ini. ayah ingin menyendiri mengikuti kata hati. Segera cari ndoro Arjuna dan ceritakan semuanya yang terjadi. Pimpin adik-adikmu.” “Enggih deh romo. adios!” “ehh, bahasa apa itu, reng?” tanya Petruk. “lha gak tau kamu, Truk? Itu kan bahasa wong putih, basane wong daratan gedhe. Artinya semoga perjalanan ayah selamat tanpa halangan apapun. Tak tergoda wanita seksi bahenol dan sampai tujuan dengan sukses.” “ lha panjang tenan artine, Gong. Padahal kan cuma berapa kata itu.” singkat cerita mereka pun berpisah jalan.

Di tengah jalan, Ki Lurah Semar kedatangan empat orang dewa, Batara Indra, Batara Brahma, Batara Bayu, dan Batara Wisnu. Keempat dewa itu bersimpuh kepada Semar. Semar lalu bertanya pada Wisnu “Wisnu! Kenapa ada di sini? Bukankah kau harus bersama Kresna?” “ uwa Batara, sementara wajtu ini saya meninggalkan Kresna, oncat darinya. Saat ini ia sedang pekat hatinya, dibuaikan sifat bangga diri yang terlalu. Untuk saat ni, aku harus menguji Kresna. Kalau dia menyadari kesalahannya, maka aku akan kembali kepadanya.” “kalau itu maumu, aku tidak menolak. Bagaimana dengan kalian, Indra!? Bayu!? Brahma!? Batara Indra berkata “kami juga siap harus menghukum Kresna. Untuk itulah adhi Wisnu memanggil kami bertiga.” “benar uwa, dengan anginku maka Dwarawati bakal terbang.” “apiku juga sudah siap membakar keratonnya.” Semar lalu berkata “ ya sudahlah. Aku tidak turut campur. Itu hak kalian. Permisi nggeh, uwamu akan pergi menyepi. Uwa pamit.”

Singkat cerita, keempat dewa sampai di Dwarawati. Mereka melakukan tugasnya. Batara Indra melepaskan panah Bledeg Sakethi ke langit dan turunlah beribu-ribu awan dengan halilintarnya yang menymbar-nyambar. Seketika muncullah hujan badai dengan halilintar yang mengelegar dan menyambar seisi keraton. Batara Bayu segera mengerahkan topan prahara dan membuat segalanya terangkat dan beterbangan. Tak mau ketinggalan, batara Brahma segera mengheningkan cipta dan turunlah hujan api yang mengerikan dan membakar semua yang dilewati. Batara Wisnu segera membuat bumi bergegar dan menggerakkan ombak dari laut sehingga bukan hanya kotaraja Dwarawati terendam air bah, seluruh pulau Dwaraka ikut tenggelam. Tak terkiralah kengeriannya. Rakyat Dwarawati segera mengungsi ke pantai Jawadwipa. Dwarawati terkena tulah dari dewa. Prabu Kresna yang biasanya tenang kini kalang kabut dan bingung. Begitupun patih Udawa dan Arya Setyaki. “adhi Prabu, bagaimana ini. cepatlah bertindak kalau kita tak ingin tersapu air bah atau terbakar api ini” “aku juga bingung, kakang patih. Cakra Widaksana tidak berfungsi seperti biasanya. Pusaka-pusaka yang lain hilang ditelan air bah.” Arya Setyaki terhenyak “lha... kemana ke-Wisnu-anmu yang kakang prabu banggakan. Cepat keluarkan, kakang prabu.” “waduhh... kekuatan Wisnu milikku lenyap.” Patih Udawa segera mencari solusi “adhi prabu, cepat pakai Brahalasewu mu” Prabu Kresna hendak mengeluarkan panah Aji Kesawa di tubuhnya tapi kini panah itu ikut menghilang. Terhenyaklah Prabu Kresna”waduh gustine jagat dewa batara...sepertinya Wisnuku telah hilang...sudah oncat dariku. Yang penting kita selamatkan diri dan keluarga kita dahulu.” Kalau begitu cepat, adhi Prabu. Keluarkan Jaladara.” Segera Prabu Kresna membawa kelima permaisurinya, Dewi Radha, Dewi Jembawati, Dewi Rukmini, Dewi Setyaboma dan Dewi Pertiwi. Namun Dewi Pertiwi memutuskan untuk segera pulang ke Ekapertala. Lalu Dewi Pertiwi ambles ke bumi membawa Dewi Siti Sundari dan Arya Sitija yang masih bayi. Satu persatu istrinya sudah masuk disusul Patih Udawa dan Arya Setyaki. Secepat kilat, kereta Jaladara melesat ke angkasa melewati hujan badai, topan prahara dan hujan api yang mengerikan itu. Prabu Kresna digugat istri-istrinya karena bencana dan petaka yang terjadi disebabkan ia telah meludahi dan menghina Paman Semar. Prabu Kresna sadar telah menuruti sifat bangga dan kesombongannya. Dengan mengangkasa, terbanglah ia  mencari-cari kemana Ki Lurah Semar.

Sementara itu, Raden Arjuna yang dicari-cari sedang berguru di rumah Resi Jayawilapa, tetua desa Yasarata di pinggir bengawan Gangga. Ketika bertemu pertama kali, sang resi ditolong oleh Arjuna saat diserang singa jelmaan Prabu Singalodra. Berkat pertolongannya, Resi Jayawilapa membawa sang Arrjuna ke rumahnya. Kebetulan, Resi Jayawilapa dulunya salah satu patih Saptapertala dan juga bersahabat dengan batara Anantaboga, mertua kakaknya, Arya Wrekodara dan meguru padanya. Di sana sang resi mengajari Arjuna ilmu ambles bumi dan ajian Mayabumi. Resi Jayawilapa mempunyai seorang putri cantik bernama Dewi Palupi tapi lebih sering dipanggil Ulupi. Sejak keduanya saling bertemu, Dewi Ulupi seperti dilanda angau begitupun juga Arjuna. Sepertinya hati mereka telah terpaut satu sama lain.. maka Arjuna dan Ulupi pergi ke sebuah taman bunga di tepi bukit “kakang Arjuna, kau lihat taman bunga ini. lihatlah bunga itu dihinggapi kupu-kupu. aku ingin menjadi bunga mekar untukmu.” “dinda Ulupi, aku lebih senang lagi kau bukan sekedar bunga untukku, tapi pelengkap hatiku. Maukah kamu menikah denganku?” tak pakai lama Ulupi gembira dan berkata “tentu, kakanda. Tentu. Aku akan setia bersamamu.” Namun hati Arjuna tba-tiba menjadi bimbang karena tak mungkin ia membawa Ulupi ke kotaraja buat saat ini “tapi dinda, aku tak bisa membawamu ke Madukara. aku takut jika ketiga istri kanda....” “sudahlah tidak apa-apa, kanda. Apapun keputusan kanda, itu yang terbaik buat kita. kalau kau membawaku  ke Madukara, maka aku ikut. kalau tidak bisa, tak mengapa.” singkat cerita, Arjuna dan Ulupi menikah. Lima hari kemudian, datanglah tiga punakawan. Ketiganya langsung menceritakan apa yang terjadi. Arjuna yang juga titisan Wisnu sebagai Nara kecewa dan sedih dengan kelakuan iparnya itu. Seharusnya titisan Wisnu sebagai Narayana haruslah mampu mengendalikan diri agar tidak jatuh dalam kesombongan. Tak lama berselang datanglah Arya Wrekodara. “adhiku Jlamprong, rupanya kau ada di sini. Apa kau sudah tau kabar tentang penghinaan Ki Lurah Semar?” “sudah, Kakang Bima. Semuanya sudah diceritakan paman Gareng, Petruk, dan Bagong. Mari masuk dulu, sekalian ku perkenalkan istri dan mertuaku.” Maka masuklah Arya Wrekodara ke rumah Resi Jayawilapa. “kakang Bima, aku sebenaranya kecewa dengn perlakuan kakang Madawa apalagi kakang Bima menyaksikan sendiri bagaimana Ki Lurah dipermalukan.” “maka dari itu, Jlamprong adikku. Menurut kabar yang beredar, sekarang keraton Dwarawati rusak karena tulah dewata. Kakang prabu Cemani ikut menghilang. Kemungkinan ia mencari Ki Lurah.” Belum sempat Arjuna membalas, tiba-tiba langit berubah menjadi bercahaya terang. Dari ufuk timur dan barat begitu juga dari ufuk utara ke selatan, cahaya berwarna jingga kuning keemasan menyelimuti langit. Bukan Cuma seluruh Jawadwipa yang diterangi cahaya itu tapi seisi Marcapada dan hingga ke angkasa luar. Tanpa pikir lama-lama, Arjuna dan Wrekodara segera berpamitan pada Resi Jayawilapa dan segera pergi mencari asal cahaya kuning keemasan itu.

Nun jauh di tengah hutan, hutan terangker di Jawadwipa duduklah seorang pertapa beradan gemuk, sepertinya tengah bertapa brata. Cahaya kuning keemasan tepancar di sekelilingnya. Hewan, tumbuhan, makhluk halus, dan bahkan para dewa bersimpuh dan hormat kepadanya. Tak satupun makhluk bergeming di hadapannya. Dialah Ki Lurah Semar. Ia duduk merenungi ujian yang ia alami. Merenungi ujian yng ditimpakan kepada Kresna. Seketika wujud Semar yang ala kadarnya bertukar wujud. Wujudnya menjadi cemerlang.

Semar Kuning
Bermahkota dan berselendang emas bagaikan dewa. Ya...Semar berubah wujud sebagai Batara Ismaya, wujudnya saat di kahyangan. Cahaya kuning yang memancar semakin terang hingga meyilaukan mata yang melihatnya. Meskipun tetap gemuk besar, namun kewibawannya menyetarai Batara Guru.

Singkat cerita, Werkodara, Arjuna dan tiga punakawan telah sampai di tempat pamomongnya tapa. Takjublah hatinya. Seketika ia duduk bersimpuh memohon izin sekaligus maaf karena tidak datang di Dwarawati. Semar dalam wujud dewa mengingatkan ndoronya agar tidak terus berbuat khilaf. Dalam wujud itu, Semar menyenandungkan syair :

Benar dikata bijak bestari,

Tiada guna sibuk mencari-cari.

Yang di sebalik luar diri.

Nyatanya ada di sini.

dulu dan kini,

kelak terengkuh dalam SEKARANG ini.

namun selalu berhati-hati!

pabila di renungkan dalam hati.

tetaplah sadar diri.

kalau tersesat budi,

akan peroleh celaka abadi.

Renungkan di balik hening,

Hening dan hati bening.

Sehingga suwung dan wening.

Tanpa bunyi gemerincing.

Heninglah sejatinya yang ada.

Yang ada itu sejatinya

sebenar-benarnya hidup,

menghidupi semesta.

asal jadinya dari tiada.

Yang Tiada mengandung maksud yang di-ada

Keberadaan yang tanpa rupa tanpa warna

Bercahaya tanpa terbayang pelita

begitu celik dan nyata.

pabila tlah diperoleh tandanya,

laku serba sederhana,

melihat sekala dan niskala

tiada fikir dan goda

tuk bermegah dan bermewah

hanya memberi ketentraman bersama

tak ada congkak dan bangga

sungguh tidak diragukan lagi

itulah yang disebut manusia sejati

mengerti akan sangkan paran dumadi,

asal dan tujuan hidup, menuju Yang Sejati......” setelah bersyair, Batara Ismaya kembali bersemadi.

Tak lama kemudian datang Prabu Kresna sekeluarga turun dari kereta Jaladara. Getar perbawa Batara Ismaya dan cahaya kuning menyilaukan yang menyelimuti tubuhnya merontokkan keakuan Kresna, meluluhlantakan keangkuhan yang selama ini merajai dan menjadi penguasa hati, bak tercerai berai menjadi serpihan-serpihan kecil lembut yang seketika terbang hilang terbawa sang bayu. Syair-syair yang ditembangkannya pun merasuk ke dalam kalbunya. Batara Ismaya membuka matanya pelan-pelan lalu memberikan nasehat kepada Kresna “ Anakku.... ngger Kresna, tahukah kamu akan semua yang terjadi selama ini? Apakah intisari dan hikmah kejadian ini? Intisari yang dapat diambil sebagai pelajaran bagi hidup kita adalah bahwa hal yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam menggapai kemampuan dalam mengerti gaibnya keberadaan, gaibnya hidup dan juga gaibnya Kang Murbeng Dumadi, Tuhan semesta alam, sejatinya tidak perlu difikirkan, dibayangkan ataupun dicari kemana-mana. Sebab sesungguhnya hal itu dapat di temui dalam diri kita sendiri dan semuanya telah kita sandang serta miliki. Sebenarnya hal-hal tersebut sudah saling menyatu, hanya saja masih terhalang kegaiban dan kenyataan semu.”

Mendengarkan tutur lembut dan penuh makna dari sosok di depannya itu, seketika basah hati Kresna. Timbul penyesalannya akan perilakunya selama ini. Seketika Kresna bersimpuh, berlutut di bawah kaki Semar seraya menghiba :

“Duh … pukulun Batara Ismaya, paduka telah memberikan cahaya kepada hati dan jiwa hamba yang selama ini kelam, gelap tiada sinar walau secercah. Kasih paduka membuka mata hati hamba akan bodoh dan candalanya sikap hamba. Apalagi sikap dan tindakan yang telah hamba lakukan kepada Kakang Semar, teramat memalukan dan menunjukan rendahnya budi dan kebijaksanaan hamba selaku seorang ksatria. Duh …. Pukulun.... hukum hamba yang rendah ini dengan hukuman yang seberat-beratnya. Hamba tidak akan menolak kerna memang hamba yang salah. Hamba tak akan berkelit kerna memang hamba yang bodoh.”

“Kresna … sudah benar bila kamu menyadari akan kesalahanmu. Sungguh manusiawi, kerna tiada gading yang tak retak. Tiada manusia yang terlepas dari dosa dan salah. Sikap dan watak ksatria sejati adalah mau mengakui kesalahan pribadi dan bertekad untuk memperbaikinya kelak. Dan itu sudah engkau lakukan dengan baik. Namun ada hal yang mungkin akan membuatmu sedih apabila ku wartakan sebab tingkah polahmu tadi. Apakah engkau sanggup mendengar dan menerimanya ?” “hamba siap, pukulun Ismaya.” Batara Ismaya dalam wujud Semar lalu berkata “ Kresna, kesalahanmu dengan mencatut nama Wisnu untuk menghinaku itu cukup fatal. Mengatasnamakan kekuatan Wisnu demi mengagungkan diri juga tak benar adanya. Maka dengan berat hati, aku menghukummu melalui putrimu. Putrimu, Siti Sundari memang telah dijodohkan dengan Abimanyu putra Arjuna namun kelak di sepanjang pernikahannya dia tidak akan bisa punya anak!!” ibarat disambar petir, hancur luluh hati Prabu Kresna begitupun para istrinya. Arjuna dan Wrekodara syok mendengar itu karena putranya ditakdirkan tak bisa punya anak dari Siti Sundari.

Perih hati Kresna dengan keputusan sang Batara Ismaya. Dibayangkan betapa merananya anaknya bila mengetahui hal ini. Seketika terbayang wajah anaknya Siti Sundari yang bahkan sejak bayi telah mendapat tulah akibat perbuatan ayahnya sendiri. Dalam kepiluan itu, Batara Wisnu datang kepada Prabu Kresna memberikan wejangan “Kresna, kau adalah bagian dari diriku. Kesedihanmu juga kesedihanku. Ujian yang berlaku padamu juga ujian bagiku. Tentunya ada hikmahnya dibalik setiap peristiwa. Masih ada kesempatan untukmu. Janganlah berpatah arang!” mendengar itu, Prbu Kresna kembali optimis. Ia kembali sumarah, tawakal kepada keputusan Hyang Widhi. Batara Wisnu lalu datang kepada Arjuna “ anakku, Arjuna. Kau juga sebagai titisanku apakah ikhlas dengan keputuan paman Semar?” “ampun, pukulun batara. Hamba ikhlas dengan keputusan Ki Lurah  karena secara tidak langsung ini juga kesaahanku” Ujar Arjuna.

Singkat cerita, batara Ismaya menghilang, kembali berubah wujud jadi Ki Lurah Semar. Mereka semua kembali ke Dwarawati. Memperbaiki segala hal di sana. Terkecuali Arjuna yang kembali ke desa Yasarata untuk menjemput Ulupi dan Resi Jayawilapa untuk mengadakan ngunduh mantu di Amarta. Sesampainya di Amarta, Arjuna memperkenalkan Ulupi sebagai calon permaisuri keempat. Dewi Sumbadra dan lainnya agak cemburu namun ia mulai menyadari satu hal. Menurut kata kakaknya, Prabu Sri Kresna, Arjuna memang sudah ditakdirkan memiliki banyak istri dan tak heran kenapa ia juga bernama Permadi, karena arti dari nama itu kasih sayang yang melimpah. Maka Dewi Sumbadra menyambut ramah calon madunya itu dengan ramah dan sopan. Justeru mereka saling cerita-cerita bagaimana pujaan hati mereka menggaetnya. Arjuna memerah padam mukanya, malu karena aibnya di omongin sesama isterinya. Beberapa hari kemudian, pernikahan antara Arjuna dan Ulupi diselenggarakan. Pesta meriah berlangsung tujuh hari tujuh malam. Lengkap sudah Arjuna memiliki empat permaisuri di Amarta. Meski demikian, Dewi Ulupi memilih akan tetap tinggal di Yasarata. Arjuna mencegah permaisurinya itu untuk kembali. Namun tekad Ulupi sudah bulat. Ia ingin membangun desanya dan menjadi wakil Arjuna di sana. Sebagai bentuk kesetiaan rakyat Yasarata dibawah panji Amarta. Arjuna tidak mampu menghentikan keinginan isterinya. Maka, ia mengizinkannya. Arjuna berjanji akan kembali menjemput Ulupi ke Madukara apabila anak mereka datang mencarinya. Maka ia menitipkan panah Ardadedali pada Dewi Ulupi. Ia mewasiatkan panah itu agar sepenuhnya jadi milik anak mereka nanti. Tapi kapanpun ia ingin ke Madukara, pintu gerbang istananya akan selalu terbuka untuk Ulupi.