Selasa, 16 Oktober 2018

Keluhuran Bhisma Dewabrata




Hai-hai. akhirnya bisa nulis lagi. kali ini aku nulis salah satu senopati agung sekaligus Maharesi yang merupakan sesepuh ing Hastina yaitu Bhisma Dewabrata.dan saya juga menceritakan pernikahan Dewi Satyawati yang kedua kali dengan Prabu Sentanu, ayah Bhisma. Saya mengambil sumber dari Kitab Mahabharata karya Mpu Wyasa yang diselaraskan dengan unsur pedalangan jawa.

Alkisah jauh dari desa Matsyah, terdapat sebuah negara kaya raya yang gemah ripah loh jinawi. Hastinapura namanya. Rajanya arif bijaksana. Prabu Sentanu namanya. Dia keturunan Baharata yang agung. Walaupun demikian, sang prabu berduka karena putranya dibawa pergi oleh sang isteri lima belas tahun yang lalu karena melanggar janjinya kepada sang isteri. Karena kerinduannya itu, suatu hari sang prabu pergi berburu di pinggir bengawan Gangga, kudanya dihadang oleh seorang pemuda tampan dan gagah. Sang prabu bertanya “Siapa kamu anak muda? Berani kau menghadang kudaku!” “aku Ganggadata, pembela rakyat yang ada di lembah Gangga ini. Berikan hartamu atau kau akan menghadapi kerisku, orang kaya!”. Prabu Sentanu sangat tersinggung dan terjadilah perang tanding. Perang tanding akhirnya berhenti oleh kemunculan seorang wanita dari Bengawan Gangga. Sang Prabu mengenal wanita itu.

Dewabrata, sang Ganggadata 
Dialah dewi Gangga, permaisurinya yang dulu pergi membawa putranya. Sang dewi melerai ”Hentikan anakku, dia ayah kandungmu.” Sahut Ganggadata“benarkah itu Ibunda?” Dewi Gangga datang dan menceritakan segalanya pada Ganggadata “begini anakku, dahulu sebelum ibu menikah dengan ayahmu, datanglah delapan orang wasu*0 yang dikutuk oleh Begawan Wasista. Para wasu itu memohon pada ibu untuk menjadi sarana untuk terbebas dari kutukan dan ketika ibu menikah, ibu memberikan pesan pada ayahmu. Apapun yang ibu lakukan walaupun itu berupa kekejian, ayahmu tidak oleh menegur apalagi memarahi ibu. Karena itu, setiap anak yang ibu lahirkan, akan ibu larung ke Bengawan Gangga untuk membebaskan dosa mereka karena mereka adalah para wasu yang dikutuk dan ayahmu tidak boleh marah. Hal itu ibu lakukan selama 7 kali. Awalnya ayahmu sanggup menahan marahnya. Lalu pada kelahiran anak ke-8 ayahmu tak tahan lagi lalu menegur dan memarahiku. Setelah menjelaskan semuanya, ibu dan bayi itu, yaitu kamu Ganggadata ikut naik ke kahyangan dan ibu membawamu berguru pada gurumu, Ramabargawa” Ganggadata terperanjat “Benarkah itu, ibunda? Oh Jagat Dewa Batara, Inikah yang disebut pertemuan yang hamba rindui itu. Bertemu dengan Ayahanda yang tak pernah hamba temui. Sembah bhekti padamu, Ayahanda Prabu” sang prabu menerima sembah bhektinya“Tidak apa anakku, yang penting kau sudah mengerti. Ganggadewi, marilah kita kembali ke keraton bersama anak kita”sang Dewi menolak karena tugasnya sebagai manusia telah selesai dan harus kembali ke kahyangan dan menyarankan untuk mencari istri yang baru.

Sang prabu tak bisa berbuat apa-apa lagi melihat sang Dewi terbang kembali ke kahyangan. Setelah kembali ke keraton, Ganggadata dilantik menjadi Yuwaraja*1 dan namanya diganti menjadi Dewabrata. Lima tahun setelah peristiwa itu, sang prabu pergi berburu bersama Dewabrata. Tanpa disadari, kuda sang prabu Sentanu menginjak akar mimang*2 sehingga tersasar masuk jauh ke dalam hutan. Berhari-hari sang prabu berputar-putar di hutan itu, sehinggalah dia mendengar gemericik air dan orang bicara. Lalu sang prabu mengikuti suara itu dengan kudanya sehinggalah dia masuk ke sebuah desa. Desa itu bernama desa Matsyah, desanya para nelayan di pinggir bengawam Yamuna. Sang prabu melihat ada seorang dara cantik yang aroma badannya harum sedang membawa bakul berisi ikan asin. Seakan penasaran, diikutilah dara itu sampai lah ia disebuah gubuk tua dipinggir bengawan. Itulah rumah Ki Dasabala, kepala desa itu. Kemudian sang prabu pun bertamu dirumah Dasabala “Permisi ki sanak.aku tersesat. Sudah berhari-hari aku mencari jalan pulang. Bolehkah aku beristirahat sejenak disini?” “silahkan, Tuanku. Sudilah Tuanku beristirahat di gubuk reyot ini.” “Terima kasih ki sanak”. Saat sang prabu berehat, dilihatlah dara cantik itu. Terpesonalah dia dengan cara sang dara menyambut tamu. Dia memberanikan dirinya bertanya”sang dewi, siapakah nama andika? Dari caramu menyambutku jelas kau bukan wanita biasa. Sebelum itu perkenalkan, aku Sentanu, raja dari Hastinapura.” Dewi Satyawati sekeluaga terkaget “Ampun, sang prabu atas ketidaktahuaan hamba sekeluarga. Apabila paduka ingin tahu tentang siapakah Satyawati, tanyakanlah langsung padanya karena kami hanya orang tua angkatnya.” lalu sang Dewi menceritakan siapa diinya dan asal usulnya. Sang prabu yang dari sejak bertemu merasa jatuh hati pada Satyawati berniat untuk menikahinya. “sang dewi, semenjak awal aku bertemu, aku telah jatuh hati padamu. Aku ingin menikahimu dan memboyongmu ke keraton Hastina” sang dewi menjawab sambil memandang langit “sang prabu, siapapun tak mampu berani untuk menolak pinanganmu. Namun aku sudah bersumpah. Aku bersumpah, siapapun yang mau menikah denganku, maka anak keturunanku lah yang harus menjadi raja.” Bagai tersambar petir di siang bolong, Seketika sang prabu terperanjat dan termangu-mangu karena sumpah itu.

Sang prabu kemudian berpamitan pada sang Dewi untuk kembali ke Hastinapura. Sang prabu merasa dirinya tak sanggup untuk memenuhi persyaratan semacam itu. Tak lama kemudian sang prabu berjalan, Dewabrata menemukannya. Dewabrata yang tadinya harap-harap cemas kini tampak kembali bahagia. Tapi tidak dengan sang prabu Sentanu, sejak kembali ke istana dia senantiasa bermuram muka karena memendam rasa pada Dewi Satyawati tapi takut untuk mengecewakan putnya dan rakyatnya. Karena terlalu berpikir keras sang prabu pun jatuh sakit. Dewabrata merasa cemas atas kesehataan ayahnya yang menurun. “Ayahanda, ada apakah ini? Mengapa jadi seperti ini? Sudah lima hari ayahanda tak makan, hingga sakit begini? Ada masalah apa ayahanda? Jika ada masalah, ceritakanlah padaku, ayahanda.” Sang prabu pun menceritakan masalah cintanya. Dewabrata berusaha membesarkan hati ayahnya”lalu apa susahnya ayahanda, menerima lamaran Nini Dewi? Toh yang akan memerintah Hastina tetap putra ayahanda prabu” “begini anakku, aku tak ingin mengorbankan tahtamu demi keinginan pribadiku.” Lalu tak disangka Dewabrata melakukan sumpah dihadapannya.“dengarkan lah sumpahku, wahai ayahanda prabu. Aku bersumpah tidak akan menjadi raja dan merelakan tahta itu serta aku bersedia mengabdikan diri sepenuh  jiwa ragaku pada negaraku, Hastinapura.” Setelah bersumpah demikian, sang prabu merestuinya. Dewabrata pamit untuk melamarkan ayahnya.
Sumpah prasetya Bhisma Dewabrata
Sesampainya di rumah sang dewi,  Dewabrata mengutarakan pada sang dewi bahwa Ayahandanya telah bersedia dan dirinya sudah rela atas tahta itu. Sang dewi mau menyanggupi hal itu. tapi ia berkata pada Dewabrata “aku menghargai keputusan ananda untuk merelakan tahta. Tapi bagaimana dengan anak keturunan ananda nanti? Saya tidak mau anak–anak keturunan saya akan berseteru dengan anak keturunan ananda.” Tanpa pikir panjang dan atas rasa cintanya terhadap sang ayahanda, Dewabrata melakukan sumpah prasetya untuk menjadi Brahmacarin*3. “Demi seisi langit dan bumi, disaksikan para dewa di kahyangan, aku bersumpah idak akan kawin seumur hidup. Seisi jagat raya akan mengutukku bila aku menikah.” Sekeika itu pula, bumi gonjang-ganjing, air bengawan Yamuna mengalir deras, angin topan bertiup kencang, dan halilintar serta kilat menyambar-nyambar dengan gelegar begitu dahsyat menakutkan. Pengaruh sumpah itu bahkan membuat kahyangan berguncang dan kawah Candradimuka meledak mengeluarkan hawa panas. Dewabrata mendengar suara dari langit. Itulah suara Batara Guru, sang penghulu para dewa. Batara Guru berujar dari kahyangan Jonggring salaka“Wahai Dewabrata, keluhuran budimu dan kedahsyatan sumpahmu telah mebuat kahyangan berguncang. Karena itu, kau boleh menentukan waktu kematianmu sendiri sesuai kehendakmu.dan kamu akan ku anugerahi sebuah nama agung yang bisa kau sandangkan didepan namamu, Bhisma” Seketika hujan bunga jatuh di hadapannya dan dewi Satyawati. Sejak saat itu Dewabrata dipanggil Bhisma Dewabrata dan sejak itu pulalah Bhisma dianugerahi umur yang panjang dan selalu sehat. Akhirnya Prabu Sentanu menkah dengan Dewi Satyawati. Rumah tangga mereka berlangsung sangat harmonis dan dari rahim sang Dewi, Prabu Sentanu dkarunai dua orang putra yaitu Citragada dan Wicitrawirya.

*0 : Wasu adalah manusia setengah dewa. Mirip konsep bidadara
*1 : Gelar raja muda (putra mahkota)
*2 : akar gaib yang membuat orang tersasar
*3 : Brahmacarin adalah orang yang seumur hidupnya tidak kawin ; hidup selibat

Rabu, 12 September 2018

Lika-liku Dewi Satyawati




Hai semua, apa kabar kalian semua. Ini postinganku yang pertama. Di postingan ini, aku mau menceritakan cerita Mahabarata. Eiits, tapi ini Mahabarata versi Jawa, jadi ada beberapa perbedaaan dan ciri khas yang  gak ada di Mahabarata versi India. Dalam post ini saya mau bercerita asal- usul nenek buyut Pandawa dan Kurawa, Dewi Satyawati. Sumber ceritanya saya ambil dari Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa yang saya selaraskan dengan unsur pedalangan Jawa dengan tak terlalu mengubah alur asli isi Kitab Mahabharata.

Syahdan di pinggir bengawan Yamuna, seorang dara cantik hidup sebagai nelayan. Satyawati namanya. Dahulu namanya Durgandini. Asalnya dia putri kerajaan Wirata, masih satu kerabat dengan kerajaan Hastina. Saudara kembanya, Durgandana adalah putra mahkotanya. Nasib yang amat berkebalikan.  Durgandini hidup jauh dari kebahagiaan walau tinggal di istana karena badannya menyebarkan bau bacin*0. Sang ayah, Prabu Wasuparisara berkata padanya “anakku, Durgandini.  Sebenarnya ayahanda tak ingin mengatakan hal ini. Sewaktu Ayahanda samadi, Ayahanda dapat wangsit dari Hyang Narada. Dia berpesan pada Ayahanda bahwa apabila ananda ingin sembuh dari bau bacin mu, lakukanlah tapa ngrame*1 dengan menjadi tukang tambang*2 di bengawan Yamuna”. Durgandini teramat sedih perasaannya tapi demi kesembuhannya dia rela meninggalkan istana.“Baiklah Ayahanda, demi kesembuhanku dan kemulian hidupku nanti, aku ikhlas meninggalkan kemewahan Istana. Mohon restumu, Ayahanda”.Mulai dari saat itu, Durgandini bertapa ngarame dengan menjadi tukang tambang  di  Bengawan Yamuna. Sepanjang hari dia secara sukarela menolong orang yang hendak menyebrangi bengawan meski tak sedikit yang jijik dengannya. Hal ini dilakoninya berbulan-bulan

Dewi Durgandini sembuh dari bau bacin
Hingga pada suatu hari, datanglah seorang resi muda yang tampan minta disebrangkan ke pertapaannya. Parasara namanya. Dia seorang resi keturunan Baharata dari Hastina. Kerana kasihan pada Durgandini, dia menawarkan bantuannya untuk mengobati bau badannya yang bacin. Bau bacin lepas dari badan Dewi Durgandini lalu hanyut ke dasar bengawan dan dimakan seekor ikan tambra*4. Seketika ikan itu bunting. Setelah sembuh dari bau bacinnya, badan wadag Durgandini menyebarkan aroma wangi semerbak. Parasara pun tergoda dengan cantiknya paras Durgandini. Tanpa mereka sadar, perahu tambang yang mereka tumpangi terdampar di sebuah pulau. Mereka pun menikah dan membangun bahtera rumah tangga di pulau itu.

Selang sembilan bulan kemudian lahrlah seorang bayi lelaki berkulit gelap dengan tali pusar putih. Bayi itu dinamai Abiyasa oleh Parasara, sedangkan Durgandini menamainya Raden Kresna Dipayana karena dia lahir di tengah pulau. Lalu ketika mereka hendak mengubur tali pusar Abiyasa, tiba-tiba tali pusar itu berubah menjadi bayi lelaki. Mereka menamainya Setatama. Lalu sewaktu Parasara menangkap ikan tambra raksasa di bengawan, tiba-tiba dari dalam perut ikan, lahirlah dua bayi. Yang satu lelaki satunya lagi perempuan. Dua bayi tu dinamai Arya Rajamala dan Dewi Sudesna. Keajaiban tak berhenti sampai disitu. Dua patahan dayung perahu tambang juga berubah menjadi dua bayi kembar. Bayi yang tercipta dari patahan dayung kiri mereka namai Kichaka dan dari dayung kanan mereka namai Rupakichaka. Semua dipersaudarakan dengan Abiyasa dan Setatama

Beberapa bulan setelah kelahiran Abiyasa, berita pernikahan Durgandini dan Parasara tersebar ke Wirata. Durgandana marah mendengarnya karena dirinya dan keluarganya merasa tak diundang. Durgandana melabrak lalu bertengkar dengan Parasara dan memaksa mereka bercerai. Mau tak mau, Parasara harus berpisah dengan Durgandini. Dibawalah Abiyasa dan Dewi Sudesna bersamanya. Durgandini marah kepada Durgandana. Karena sedih ditinggalkan Abiyasa dan Parasara, ditnggalkanlah Durgandana dan sebelum pergi, dia berpesan padanya untuk merawat dan membawa Arya Rajamala, Setatama, Kichaka, dan Rupakichaka ke Wirata.

Durgandini melanjutkan tapa ngramenya. Tapi malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih, perahu tambangn Durgandini terseret arus deras bengawan hingga ke pinggir sebuah desa nelayan. Desa itu bernama Desa Matsyah.. Dia kemudian dtemukan dan dirawat oleh kepala desa di desa itu. Namanya Ki Dasabala. Setelah menceritakan asal-usulnya, dia meminta ki Dasabala untuk menjadikannya anak angkat baginya. Ki Dasabala bersedia menampungnya dan mengangkat anak padanya. Dewi Durgandini merasa berterimakasih  “ Terima kasih, bopo Dasabala. Mulai hari ini panggilah aku Satyawati padaku. Itulah permintaanku, bopo”. Dasabala meluluskan permintaannya. Sejak saat itu Durgandini berganti nama menjadi Dewi Satyawati dan hidup sebagai nelayan di sana.


*0 : bau anyir ; bau busuk seperti ikan
*1 : tapa brata dengan berbuat baik pada orang banyak ; pelayanan masyarakat
*2 : orang yang bekerja menyebrangkan orang lain atau benda ke seberang sungai dengan perahu
*4 : Sejenis ikan mas. Sisiknya berwarna putih keperakan. Sirip berwarna hitam