Kamis, 28 Februari 2019

Remuknya sebuah Janji : Sucitra-Kumbayana


Halo guyss. Kali ini saya mengisahkan kisah hidup Prabu Drupada sebelum menjadi Raja Pancala dan mantan sahabtnya, seorang yang kelak menjadi menjadi guru ilmu perang para Pandawa dan Kurawa. dia adalah Resi Dorna yang semasa muda bernama Bambang Kumbayana. Dikisahkan pula, perginya Kumbayana dari jazirah Atasangin menyusul Sucitra, lahirnya putra Resi Dorna yaitu Bambang Aswatama yang ajaib dan kisah ditutup dengan pengembaraan Resi Dorna ke berbagai negeri di pulau Jawa hingga sampai ke Hastinapura. Sumber dari kisahini berasal dari Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa yang dipadukan dengan Kitab Pustakaraja Purwa karya Raden Ngabehi Ronggowarsito dan serial kolosal Indonesia Karmapala karya Imam Tantowi

Syahdan, di jazirah Atasangin hidup lah sepasang resi bersaudara sepupu, Resi Arya Durpara dan Resi Baradwaja. Mereka adalah putra dan keponakan Prabu Maruta, raja Hargajambangan, keturunan kesekian dari Batara Brahma dari putranya Bambang Bremara. mereka lari dari kerajaan itu karena kerajaan hancur terkena bencana alam. Dahulu kala, kedua resi muda itu dimintai bantuan Prabusepuh Baharata, raja pertama Hastinapura untuk membantu kelahiran canggahnya, Raden Dewamurti yang kelak menjadi Prabu Pratipa, ayah Prabu Sentanu. Karena rasa syukurnya, Prabu Baharata berdoa kepada dewata agar dua resi muda yang telah membantunya itu dikaruniai umur panjang sehingga bila mereka memiliki putra, putra mereka kelak bisa mengabdi pada Hastinapura setelah tujuh raja berganti. Doa dari seorang raja saleh terkabul dan setelah bertahun-tahun lamanya, akhirnya dua resi itu mendapatkan seorang putra. Resi Arya Durpara berputra Bambang Sucitra dan Resi Baradwaja berputra Bambang Kumbayana. Karena Resi Durpara sudah meninggal sejak Sucitra masih kecil, maka Sucitra dibesarkan Resi Baradwaja bersama Kumbayana dan berguru padanya pula. Keakraban dan persahabatan mereka bagai saudara kandung. Susah senang mereka jalani bersama. Sucitra bahkan berjanji pada Kumbayana“Kumbayana, persahabatan kita telah abadi. Apapun yang kau inginkan, aku juga ingin. Kelak bila aku mendapatkan kemuliaan, akan aku berikan separuh kemuliaan itu denganmu, sahabatku.” Kumbayana tersentuh dan akan selalu mengingat janji itu sehingga pada suatu ketika, Sucitra merantau ke pulau Jawa karena mendapat wangsit dari dewata untuk berguru pada Prabu Pandu Dewanata, raja Hastinapura yang ketujuh.
Kumbayana disebrangkan oleh Kuda Sembrani
Bambang Kumbayana yang masih di jazirah Atasangin melanjutkan berguru ilmu perang, ilmu seni bersenjata, dan memanah pada Batara Ramabargawa, guru Maharesi Bhisma sehingga menjadi ahli strategi perang, pemanah sakti mandraguna, dan pandai menggunakan senjata kedewataan yang lain. Pada suatu hari, dirinya mendengardari para kafilah dagang bahwa Sucitra telah mendapat kemuliaan dan menjadi raja di Pancalaradya bergelar Prabu Drupada. Dirinya berniat untuk bertolak ke Pulau Jawa untuk menyusul sahabatnya itu. Perjalanan sampai ke tepi laut cukup panjang hingga berbulan-bulan. Akhirnya sampailah Kumbayana di pinggir pantai namun tak terlihat satupun perahu atau kapal melintas. 
Kumbayana merasa putus asa dan mengucapkan sebuah janji “haii siaapun yang di bumi ini, bantulah aku ke sebrang laut ini dan akan kuberi imbalan yang setimpal. Siapapun yang mau menyebrangkan aku ke pulau Jawa, kalau dia laki-laki akan kujadikan saudara dan bila perempuan akan ku jadikan istriku”. Tak lama kemudian, datanglah seekor kuda sembrani putih*1turun dari langit. Sang kuda meringkik memberikan isyarat agar Kumbayana naik ke punggungnya. Setelah naik, sang kuda sembrani segera terbang melintasi samudera menuju pulau Jawa.
Walau terbang, nyatanya perjalanan tetap melelahkan dan membuat Kumbayana suntuk sehingga dia tertidur pulas. Di dalam tidurnya, Kumbayana bertemu seorang perempuan cantik bernama Dewi Krepi. Mimpi itu membuat dirinya menggerayangi sang kuda dan air mani Kumbayana menetes terbawa angin lalu masuk ke alat kelamin kuda sembrani. Selama perjalanan itu, sang kuda sembrani hamil. Ketika sampai di daratan pulau Jawa, sang kuda jatuh terduduk. Kumbayana terkejut ketika memeriksa kelamin kuda itu, ternyata sang kuda adalah kuda betina ”Asta....ga, Gusti Jagad dewa Batara, kuda yang kunaiki betina? Bunting? Mau melahirkan pula? Aduuhhh pusing, pusing kepalaku. Ngomong apa aku pada Sucitra kalau aku kawin dengan kuda?” Walaupun bingung dan malu, namun sebagai balas budi, Kumbayana tetap membantu sang kuda melahirkan. Keajaiban terjadi, bukan anak kuda yang keluar tapi bayi manusia. Hanya suara tangisannya mirip ringkikan kuda. Segeralah digendong putranya yang baru lahir itu. Sang kuda sembrani yang masih nampak lemah tiba-tiba berubah menjadi seorang wanita cantik. Sang wanita itu kemudan memperkenalkan diri sambil meraih putranya dari tangan Kumbayana
Bambang Aswatama,Putra Kumbayana dan Dewi Wilotama
“Kakang Kumbayana, perkenalkan, aku Wilotama. Aku adalah kuda sembrani yang sudah kau perlakukan aku sebagai istri walau hanya dalam waktu singkat. Aku sebenarnya bidadari yang terkena kutuk pasu menjadi kuda sembrani. Aku hanya bisa badar ke wujud asliku bila melahirkan bayi manusia...... Maafkan aku, kakang. aku tak bisa memberikan air susuku untuk putra kita. Aku harus segera kembali ke Kahyangan. Namai putra kita Bambang Aswatama dan carilah istri untuk bisa menjadi ibu susu untuk putra kita........dan atas restu juga keinginanku, siapapun jodoh kakang walau dia perawan tua sekalipun, dia akan menjadi istri dan ibu yang baik bagi kakang dan putra kita. Aku pamit, kakang Kumbayana. Penyelamat hidupku” Dewi Wilotama mengembalikan bayi Aswatama kepada Kumbayana lalu segera terbang kembali ke kahyangan. Kumbayana seakan tak mendapatkan kesempatan bicara hanya bisa pasrah melihat sang istri meninggalkannya.
Tak ingin berlarut dalam kesedihan, Kumbayana dan bayi Bambang Aswatama kembali melanjutkan perjalanannya hingga tibalah mereka di sebuah bukit. Di kaki bukit itu, terdapat sebuah hutan yang di tengahnya terdapat tanah lapang yang disekelilingnya terdapat sebuah taman bunga alami yang dihiasi bunga-bunga angsoka lima macam warnanya.”Hmm tempat yang asri sekali. Sejuk mataku memandang. Aku putuskan akan membangun rumah disini dan mendirikan padepokan.” Baru saja sampai tempat itu, datanglah sepasang kakak beradik lelaki perempuan. Yang lelaki nampak berwajah awet muda walaupun usianya tak lagi muda belia namun dan yang perempuan sama juga, wajahnya cantik meskipun usianya sudah 30 tahun.
Keluarga Sokalima
Mereka tidak lain adalah Mpu Krepa dan Dewi Krepi. Mpu Krepa datang mendapat wangsit dewata untuk membawa kembar perempuannya itu ke taman bunga soka lima warna untuk menemui seseorang bernama Kumbayana. Mpu Krepa pun memperkenalkan diri pada Kumbayana“ Permisi tuan, apa anda bernama Kumbayana? Perkenalkan, saya Mpu Krepa dan ini saudari saya, Krepi. Kami putra dan putri Raja Purungaji yang mengabdi di Hastinapura. Saya mendapat wangsit dewata untuk membawa saudari saya menemui saudara Kumbayana” Kumbayana dan Dewi Krepi yang saling bertemu pandang sama-sama tersipu malu. Kumbayana tersipu malu karena pernah bertemu dengannya di dalam mimpi. Tanpa pikir panjang, Kumbayana melamar Dewi Krepi “ Krepi, sebenarnya aku malu. Aku duda beranak satu. Tapi aku berusaha menepis rasa malu ini. Maukah kau menjadi pendamping hidupku?” “hihihi, kakang. Sebenarnya aku sudah mencintaimu dalam mimpi-mimpiku jadi buat apa aku menolakmu. Apapun cacat kekurangan kakang, akan ku terima apa adanya” Dewi Krepi pun mengiyakan dan segera melangsungkan pernikahan beberapa hari kemudian. Disela-sela kebahagian itu, Kumbayana juga menamai padepokan yang telah ia bangun. Karena di bangun di dekat taman bunga angsoka lima warna, maka padepokannya itu dinamai padepokan Sokalima.
Selama bertahun-tahun, mahligai rumah tangga Kumbayana berjalan amat harmonis. Bambang Aswatama yang pertumbuhannya cepat kini sudah beranjak remaja. Namun pada suatu hari di saat musim dingin, persediaan makanan dan susu sudah menipis sedangkan sapi-sapi milik Kumbayana sedang tak produktif. Teringatlah Kumbayana terhadap janji Sucitra padanya dahulu. Baru dia tahu bahwa Sokalima berada di dekat perbatasan negara Pancalaradya. Bermodalkan janji Sucitra hari itu, Kumbayana datang ke keraton Pancalaradya.
Kebetulan sekali, Prabu Drupada sedang ada penghadapan di keraton dihadiri Arya Gandamana dan Patih Drestaketu, para menteri dan punggawa. Disela-sela acara tiba-tiba datanglah Kumbayana menyelonong tanpa permisi dulu dan memanggil Prabu Drupada dengan seenaknya layaknya masih di jazirah Atasangin sambil memeluk Drupada “ Sucitra, hebat kamu sekarang. Tak sekedar jadi orang kaya tapi raja satu negara. Ini aku, Kumbayana, sahabat karibmu. Aku mau minta satu ekor sapi perah untuk padepokanku...hahahaha. Inilah namanya putaran Cakra Manggilingan. Derajatmu naik ke atas sedangkan aku....tersungkur ke bawah.....hahahaha.... tapi tak apa, kau tetap sahabatku...hahaha....kau pernah berjanji akan  membagi kemuliaanmu disini...hahaha” melihat tingkah Kumbayana yang tidak tahu sopan santun, Prabu Drupada merasa malu lalu melepaskan pelukan Kumbayana dan menjawab ketus“Siapa kamu? Lancang!Tidak sopan! Datang-datang tanpa permisi dan memanggilku seenaknya. Aku ini raja, tahu. Kau mau seekor sapi? Tak masalah, akan kuberi 100 ekor sapi sebagai sedekah padamu!!!” Bak disambar petir,Kumbayana terkejut dengan pernyataan Prabu Drupada lalu memaki-makinya “heii Sucitra, kau tidak kenal aku. Aku Kumbayana, sahabat karibmu. Aku datang kemari untuk menagih janjimu padaku. Jangan sombong karena kau diatas, aku dibawah. Aku juga tak serendah itu sampai meminta sedekah, Sucitra. Rupanya kacang telah lupa kulit, sama sepeti dirimu”. Prabu Drupada langsung membentak Kumbayana“ Heii orang goblok. Keluar dari sini!!” “ tidak akan, Sucitra. Penuhi janjimu padaku”. Arya Gandamana yang sudah gerah melihat iparnya dimaki-maki oleh orang asing langsung menyambar tubuh Kumbayana lalu membawanya keluar keraton dan menghajarnya tanpa ampun.
Kumbayana dihajar Arya Gandamana
Kumbayana berusaha membalas namun pukulan Arya Gandamana terlalu mantap. Akibat dihajar Arya Gandamana, wajah dan tubuh Kumbayana menjadi cacat dan penuh luka. Kedua matanya menjadi sipit dan sulit terbuka lebar, tangan kirinya patah dan meninggalkan cacat, hidungnya juga remuk dan membengkok. Prabu Drupada dan Patih Drestaketu berusaha melerai Arya Gandamana “Raden Gandamana, sudahlah. Tahan amarahmu. Jangan lampiaskan kemarahanmu pada Arya Suman kepadanya. Biarkan aku yang mengurusnya. Prajurit, bawa Kumbayana keluar gerbang” “tidak perlu, tuan Drestaketu. Saya bisa jalan sendiri dan kamu Sucitra maksudku Gusti Prabu Drupada, akan ku balas penghinaanmu dan sakit hatiku lewat anak muridku nanti. Ingat itu.” Kumbayana pun berjalan tertatih-tatih kembali ke Sokalima.
Dewi Krepi dan Bambang Aswatama yang menyambut Kumbayana terkejut melihat wajah dan tubuhnya penuh luka dan lebam. Mereka berdua dibantu para cantrik berusaha mengobati. Setelah beberapa hari. Kumbayana sembuh namun tetap saja tangan kirinya pernah patah membuat sendi pergelangan tangannya menjadi mengsle*2. Luka-luka di wajahnya sudah sembuh namun matanya tetap saja sulit terbuka lebar dan hidungnya akan selamanya bengkok. Karena kini wajah dan tubuhnya telah dicederai dan dinistakan hingga menjadi cacat, Kumbayana yang telah madeg pandita mengganti namanya menjadi Resi Dorna yang artinya “telah ternistakan”. Setelah sembuh. Resi Dorna memutuskan untuk mengembara ke negara lain untuk mencari kemuliaan dengan caranya sendiri. Lama sekali dia mengembara sehinggalah dia sampai di Hastinapura.
*1 Kuda Sembrani adalah kuda dalam mitologi Jawa yang digambarkan memiliki sayap besar dan bisa terbang dengan cepat. Kuda ini konon hanya dimiliki para dewa dan para raja sakti. Nama kuda sembrani bahkan menjadi inspirasi nama kereta api di Indonesia, yaitu KA Sembrani.
*2 mengsle maksudnya bergeser, berpindah dari tempat yang seharusnya.

Selasa, 26 Februari 2019

Prahara Hastinapura, Akhir kisah sang Dewanata : Lahirnya Nakula dan Sadewa


Holla semua, guys. Kembali lagi nih. Kali ini saya menceritakan kelahiran bungsu Pandawa, Raden Nakula dan Sadewa. Dikisahkan juga Patih Gandamana yang mengundurkan diri dari jabatan patih Hastinapura, dilantiknya Arya Suman menjadi patih secara licik bergelar Patih Arya Sengkuni, perang antara Prabu Pandu melawan muridnya sendiri, Prabu Tremboko dari Pringgandani yang juga karena adu domba dan intrik. Kisah ditutup dengan meninggalnya Prabu Pandu karena memadu kasih dan berolah asmara dengan Dewi Madrim dan Dewi Madrim yang bela pati menyusul suaminya. Sumber yang saya gunakan dari blog-blog pewayangan dan kitab Pustakaraja Purwa karya Raden Ngabehi Ronggowarsito,lalu dipadukan dengan isi Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa dan serial kolosal India Mahabharat Starplus.

Hastinapura sedang berbenah. Istri kedua Prabu Pandu, Dewi Madrim sedang hamil dan kini usia kehamilannya sudah tujuh bulan. Prabu Pandu, Dewi Kunthi, Maharesi Bhisma, Mpu Krepa, Patih Gandamana, dan Arya Widura sedang sibuk menyiapkan pesta siraman. Di kesatriyan, Raden Puntadewa yang sudah mulai berangkat remaja lebih tertarik bermain tombak dan membaca kitab-kitab suci. Arya Bratasena dan Raden Permadi walau masih kanak-kanak, sudah mulai menampakkan keahlian mereka memanah dan bermain gada. Diantara mereka, Arya Bratasena yang bertubuh besar lebih sering berselisih paham dengan para Kurawa, terutama Raden Suyudana dan Arya Dursasana. Melihat itu, Arya Suman semakin gerah melihat kebahagian Prabu Pandu sekeluarga. Dia terus mencari waktu yang pas untuk mengacaukan kebahagiaan mereka dan merebut jabatan Mahapatih dari tangan Patih Gandamana. Saat pesta siraman, Dewi Madrim mengungkapkan idamannya” Kanda Prabu, mungkin kanda boleh tak mengabulkannya tapi sekarang aku ngidam. Aku ngidam naik Lembu Andini dan bertamasya denganmu diatasnya”. Prabu Pandu dan seluruh orang yang ada disitu terkejut bukan kepalang. Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Mendengar hal itu, Arya Suman mendapatkan kesempatan untuk merebut jabatan patih dan menyingkirkan Pandu. Pada suatu hari, datanglah Raden Arimba dari Pringgandani. Raden Arimba adalah putra sulung Prabu Tremboko, raja kerajaan para yaksa di Pringgandani, salah satu murid Pandu Dewanata. Raden Arimba mengirimkan surat untuk mempererat persahabatan dari ayahnya. Tapi karena Prabu Pandu sedang tidak ada di penghadapan, surat itu dititipkan kepada Arya Suman. Oleh Arya Suman, dibuatlah surat balasan palsu yang berisi Prabu Pandu tidak sudi bersahabat lagi dengan Prabu Tremboko dan ingin menaklukan Pringgandani sebagai tanah jajahan.
Di kerajaan Pringgandani, Prabu Tremboko dihadap permaisuri Dewi Hadimba dan para putra-putrinya. Mereka adalah Raden Arimba, Dewi Arimbi, Arya Brajadentha, Arya Brajamusthi*1, Arya Brajawikalpa, Arya Prabakesha, dan Arya Kalabendana. Begitu mendapatkan surat balasan itu, Prabu Tremboko yang pemarah amat murka karena merasa kebaikannya dibalas dengan pengkhianatan dan memerintahkan Raden Arimba menyerang balik Kerajaan Hastinapura “Kurang Ajar!! Apa-apaan ini ? Tuan Guru mau menjajah Pringgandani. Apa ini balasan sikap baikku padanya? Tak sangka, niatku berbuah pengkihianatan yang memelaukan ini. Kalo itu maumu, akan ku jajah balik Hastinapura. Arimba, siapkan pasukan!!!”. Singkat cerita, pasukan Pringgandani bergerak menuju Hastinapura. Sesampainya di batas negara Hastinapura dengan Hutan Warnawata, Patih Gandamana terkejut melihat pasukan Pringgandani tiba-tiba menyerang para para prajurit Hastinapura. Dengan sigap, Patih Gandamana dan para prajuritnya segera membalas serangan.
Di  Kerajaan Hastinapura, Prabu Pandu juga sedang pusing karena idaman Dewi Madrim ingin naik Lembu Andini*2, padahal siapapun tahu bila Lembu Andini adalah sapi kahyangan, kendaraan Batara Guru. Ditambah lagi dengan laporan dari telik sandi tentang perang Hastinapura melawan Pringgandani. Kemudian datanglah Arya Suman untuk memberikan pendapatnya tentang keinginan Dewi Madrim “rayi Prabu, bukannya hamba turut campur, tapi menurut kebiasaan yang ada, tidak baik menolak keinginan seorang istri yang sedang ngidam. Cobalah Rayi Prabu memohon pada Sang Jagatnata, siapa tahu Dia berkenan meminjamkan Lembu Andini”. Ibarat terkena sihir, Prabu Pandu segera menyetujui usulan Arya Suman. “ Arya Suman satu lagi tolong bantu Patih Gandamana meredakan ketegangan “. Arya Suman merasa dapat kesempatan untuk menyingkirkan Patih Gandamana segera berangkat menyusul Patih Gandamana. Tak berapa lama Prabu Pandu segera bersemedi di tamansari dan sukmanya telah meragasukma sampai di Lawang Selomatangkep. Setelah mendapat izin dari Batara Cingkarabala-Balaupata*3, sukma Prabu Pandu Dewanata masuk dan menghadap Batara Guru “ Ampun Sanghyang Batara Siwa, maaf bila kedatangan hamba ke Jonggring saloka sangat lancang. Hamba datang kesini untuk mengutarakan keinginan istri kedua hamba, Madrim. Dia mengidam ingin naik Yang mulia Lembu Andini, lembu kendaraan pukulun. Sudikah pukulun meminjamkannya barang sehari?” Batara Guru dan para dewa terkejut bukan kepalang tapi karena Pandu Dewanata pernah menyelamatkan kahyangan, Batara Guru bersedia meminjamkan lembu tunggangannya itu “baiklah, anakku. Kupinjamkan lembu kesayanganku ini tapi aku ingatkan, kelak kau akan masuk ke neraka Candradimuka bila kau sampai berperang dengan muridmu sendiri. Sekarang kembalilah ke ragamu. Lembuku akan datang setelah patihmu kembali ke Hastinapura”
Sementara itu, di hutan Warnawata, Patih Gandamana telah berhasil mengusir pasukan Pringgandani. Tiba-tiba dalam perjalanan pulang, seseorang memukul tengkuknya dari belakang dan dia pingsan. Rupa-rupanya yang memukulnya adalah Arya Suman dan dia telah menyiapkan luweng*4 untuk mengubur tubuh Patih Gandamana.
Arya Suman dihajar Patih Gandamana
Segeralah para prajurit suruhannya mengubur Patih Gandamana. Patih Gandamana yang setengah sadar menyadari hal itu. “ Kurang Ajar, Arya Suman. Heii keluarkan aku. Licik kau”. Namun, suara teriakannya hilang karena mulutnya tersumpal tanah. Begitu Patih Gandamana sudah terkubur, Arya Suman segera kembali dan membuat laporan palsu. Namun. Beberapa jam kemudian, Patih Gandamana berhasil keluar dari dalam luweng. Karena terlalu lelah, dia memutuskan beristirahat dan melanjutkan perjalanan ke Hastina keesokan harinya.
Sesampainya Arya Suman di Hastinapura, dia segera menyusun rencananya. Dia berpura-pura menangis didepan Prabu Pandu dan seluruh punggawa “ Hiks Hiks.... ketiwasan kita, rayi prabu. Patih Gandamana berhasil mengalahkan pringgandani tapi dia tiba-tiba ditusuk ditangan salah satu prajurit Pringgandani dan jasadnya dibuang ke dalam jurang. Hamba berusaha menolongnya tapi tiba-tiba jasadnya diterkam harimau...Hiks hiks....” Prabu Pandu terkejut dan menyatakan belasungkawa dan karena tak ingin terlalu lama bersedih, segera dilantik patih yang baru karena keadaan politik antara Hastinapura dan Pringgandani yang masih panas. Ditunjuklah Arya Suman sebagai patih baru atas usul Adipati Dretarastra dan Dewi Gendari.
Lalu esok harinya, pada hari Sukra Umanis*5, dilantiklah Arya Suman sebagai patih baru Hastinapura. Tiba-tiba datanglah Patih Gandamana yang ternyata berhasil selamat dari tipu dayanya. “Heeh, Suman. Begini caramu merebut jabatanku. Sini kamu. Kita selesaikan dengan cara pria!!”. Arya Suman pun diseretnya ke halaman keraton dan dihajar wajahnya tanpa ampun hingga wajah dan tubuhnya rusak. “ Aduhh, sakit.... Hentikan Gandamana. Tobat aku.. Tobattt!!” teriakan Arya Suman membuat Adipati Dretarastra, Dewi Gendari dan para Kurawa khawatir. Prabu Pandu berusaha melerai tindakan patihnya itu “Hentikan, Gandamana. Tidak pantas kau main hakim sendiri begini. Kita bisa bicara-baik-baik”. Setelah berkata demikian , Patih Gandamana berhenti memukul dan menceritakan segalanya. Prabu Pandu mengerti namun tak bisa mengembalikan titahnya. Kini dia dihadapkan dua pilihan, tetap melantik Arya Suman atau menerima kembali Patih Gandamana. Mengetahui junjungannya itu bimbang, Patih Gandamana pun mengalah.“sekarang saya sudah menceritakan segalanya, sesudah melihat ini semua, sekarang saya ingin meletakkan mandat saya sebagai patih secara fair karena Arya Suman sudah dilantik secara sah. Biar saya yang mengalah. Saya akan kembali Pancalaradya, mengabdi kepada ipar saya, Drupada. Semoga Hastinapura tetap makmur dan selamat dari orang-orang licik. Saya pamit, Gusti Prabu”. Demikianlah, Arya Gandamana telah pergi meninggalkan Hastinapura untuk mengabdi di tanah airnya dan Arya Suman sudah diobati namun kini wajahnya tak lagi tampan dan telah cacat. Mata kanannya menjadi kicer, tangannya bengkok, hidungnya remuk, dan kini caranya berjalan pun terpincang-pincang.” Nah, Suman. Perbuatanmu sekarang telah mendapatkan karmanya. Tapi karena Gandamana sudah pulang kembali ke negara tanah airnya, kamu akan tetap menjadi patihku. Sebagai pengingat, namamu akan ku ganti menjadi Arya Sengkuni, karena dari ucapanmu, rupamu menjadi sekarang ini”. Patih Arya Sengkuni menerima keputusan itu dan pura-pura bertobat.
Seminggu kemudian, di halaman keraton, datanglah Lembu Andini. Karena permohonannya terkabul, Prabu Pandu kemudian menaikkan Dewi Madrim dan mereka berpesiar terbang mengelilingi Hastinapura dan Mandaraka selama seharian penuh. Selama sehari penuh mereka amat bahagia dan terlena sekali. Tiba-tiba Dewi Madrim merasa kesakitan karena perutnya bergejolak. Rupanya Dewi Madrim akan melahirkan. Prabu Pandu amat panik. Lembu Andini yang peka, segera menurunkan Prabu Pandu dan Dewi Madrim kembali ke keraton dan pamit untuk kembali ke kahyangan Jonggring Saloka.
Prabu Pandu Dewanata dan Dewi Madrim pesiar diatas Lembu Andini

Dewi Kunthi, para putranya dan Ki Lurah Semar yang menunggu di siti hinggil segera membantu Dewi Madrim yang kesakitan sambil memegangi kandungannya. Dewi Madrim dibantu oleh Dewi Kunthi merapal mantra Aji Punta Wekasing Rahsa Tunggal sambil memanggil nama Aswan-Aswin. Seketika, datanglah Batara Aswan dan Batara Aswin, dewanya para tabib dan dokter, putra Batara Surya. Seketika, begitu Batara Aswan dan Aswin memegang perut Dewi Madrim,rasa sakitnya hilang dan dia melahirkan sepasang putra kembar. Bukan hanya itu saja, dengan kekuasaannya, Batara Aswan dan Aswin mempercepat pertumbuhan kedua putra kembarnya itu sehingga berubah menjadi anak-anak berusia delapan tahun. Kemudian kedua dewa kembar itu segera memberikan anugerah pada dua putra kembar itu.” Anakku Pandu, putra kembar kalian akan kami anugerahi paras rupawan, kemampuan mengobati penyakit, aji Prawanajati dan aji Purnamajati*6. Putramu yang kuberi aji Prawanajati akan menjadi orang berdaya ingat kuat. “ kemudian Batara Aswin melanjutkan “ dan putramu yang kuberi aji Purnamajati, akan menjadi ahli astronomi dan memiliki kekuatan menganalisa dan memprediksi sesuatu dengan akurat.” Setelah memberikan berkahnya, Batara Aswan dan Aswin kembali ke kahyangan. Oleh Prabu Pandu, putranya yang mendapat Aji Prawanajati ditetapkan menjadi yang tertua dan diberi nama Raden Nakula. Sedangkan putranya yang mendapat aji Purnamajati menjadi adiknya dan diberi nama Raden Sadewa. Oleh Dewi Madrim, kedua putranya diberi nama tambahan, Raden Nakula diberi nama Raden Pinten dan Raden Sadewa diberi nama Raden Tangsen. Oleh Maharesi Bhisma, anak-anak Pandu kini telah lengkap lima jumlahnya. Mereka pun diberi julukan Pandawa yang artinya keturunan Pandu
Berkah untuk Raden Nakula dan Sadewa

Beberapa hari kemudian, Prabu Tremboko dan pasukannya datang menyerang Hastinapura. Berita kekalahan pasukannya melawan Patih Gandamana dan pasukannya membuat Prabu Tremboko gelap mata dan menyerang para prajurit Hastinapura. Prabu Pandu seakan lupa peringatan dari Batara Guru, tak tinggal diam dan mengerahkan seluruh pasukan. Terjadilah sebuah perang besar. Perang antara guru dan muridnya. Korban yang jatuh tidak sedikit baik di pihak Hastina maupun di pihak Pringgandani. Kemudian Prabu Pandu datang dihadapan Prabu Tremboko. Prabu Tremboko datang dan mengajaknya duel satu lawan satu“ Hehhh, Tuan Guru. Kekalahan pasukanku dengan Gandamana tak berakhir sampai disini. Kita berperang disini mengorbankan sebegitu banyak pasukan kita dengan sia-sia hanya karena adu domba seseorang. Aku menantangmu bertarung satu lawan satu” “ Aku terima tantanganmu. Anggap saja ini permintaan maafku dan jalan menuju alam baka.” Mulailah Prabu Pandu berperang tanding dengan murid yang paling dibanggakannya.
Perang Pamuksa, perang antara guru dan murid.
Mereka saling serang dengan keris., Prabu pandu dengan Keris Pulanggeni dan Prabu Tremboko dengan Keris Kalanadah. Tak berapa lama, Prabu Tremboko tewas tertusuk Keris Pulanggeni. Pasukan Pringgondani dan Raden Arimba segera kembali ke negaranya. Namun sebelum benar-benar tewas, kaki Prabu Pandu sempat tergores Keris Kalanadah sehingga Prabu Pandu sakit dan keris Kalanadah diberikan pada putranya, Raden Permadi.
Setelah dirawat beberapa pekan, sakit Prabu Pandu Dewanata berangsur sembuh. Pada suatu hari, di musim semi yang indah, bunga-bunga bermekaran dan pepohonan bersemi indah. Prabu Pandu berjalan-jalan ke salah satu tamansari istana, taman Kadilengleng*7. Dia tak tahu di taman itu tempat Dewi Gendari pernah melakukan sumpah. Dirinya tak sengaja melihat Dewi Madrim yang baru selesai mandi dengan rambut yang tergerai indah. Amat terlenalah dia dengan kecantikan Dewi Madrim, sang istri muda. Nafsu birahi yang ditahannya selama bertahun-tahun seketika goyah. Ibarat terkena sihir musim semi dan telah lupa dengan kutuk pasu Resi Kindama, mereka saling berkejaran diantara bunga-bunga yang bermekaran dan sudah tergugah nafsu birahi mereka. Mereka berkejaran bagai sepasang kijang yang dimabuk asmara“ Madrim ku sayang, aku sudah lama memendam rasa ini. uhhh. Mari Ikut aku. Kita bermain dalam permainan cinta” Mereka benar-benar dimabuk asmara bahkan lupa dengan kutukan itu. Gairah untuk bercinta semakin membuncah, Prabu Pandu dan Dewi Madrim memadu kasih, berolah asmara di taman itu.
Prabu Pandu mencumbui Dewi Madrim
Tiba-tiba datang halilintar menyambar. Prabu Pandu Dewanata tiba-tiba kejang-kejang dan mengalami serangan jantung. Dewi Madrim panik dan berteriak meminta tolong. Sontak seluruh penghuni keraton terkejut. Dewi Kunthi dan para punakawan disusul Maharesi Bhisma, Mpu Krepa, Arya Widura, dan Adipati Dretarastra segera mendatangi mereka. Namun terlambat, kutuk pasu tak bisa dihentikan, Batara Yamadipati telah menjerat roh Prabu Pandu Dewanata dan membawanya ke kawah Candradimuka. Prabu Pandu wafat seketika itu jua. Dewi Kunthi dan Dewi Madrim yang sangat syok menangisi kepergian suami mereka. Segeralah Maharesi Bhisma memanggil Maharesi Abiyasa dengan aji pameling mengabarkan berita duka ini. Ibu ratu Satyawati Durgandini,dan Dewi Ambalika di Saptaharga jatuh pingsan mendengar kabar itu.
Keesokannya, dimulailah prosesi kremasi. Maharesi Abiyasa mulai membakar jenazah putranya yang disayanginya itu. Seluruh rakyat Hastina tenggelam dalam duka. Para Pandawa menangis sesegukan. Para kerabat istana hanya tertunduk dengan wajah muram. Dewi Madrim terus menyalahkan dirinya dan memutuskan untuk labuh geni. “Yunda Kunthi, karena aku kanda prabu mendapat kutuk pasu dan karena aku pula kini kutuk itu jadi kenyataan. Telah kuputuskan, yunda Kunthi. Aku titip putra-putraku. Besarkanlah putra-putra kita sebagai ksatria-ksatria berbudi. Aku akan menyusul kanda prabu. Swarga nunut, neraka katut. Aku akan mendampinginya di neraka Candradimuka. Biarlah aku ikut terhukum.” Ketulusan Dewi Madrim membuat Dewi Kunthi semakin sedih. Para Pandawa dan Dewi Kunthi pun memeluk Dewi Madrim untuk yang terakhir kalinya. Api pancaka pun membumbung tinggi. Dewi Madrim pun terjun ke dalam api menyusul sang suami. Dibalik kesedihan itu, nampaklah wajah Dewi Gendari dan Patih Arya Sengkuni menunggingkan senyuman karena satu penghalang mereka musnah. Beberapa hari kemudian setelah hari berkabung, Adipati Dretarastra dilantik sebagai raja wakil selama Para Pandawa dan Kurawa masih belum berguru ilmu perang. Untuk sementara, Mpu Krepa ditunjuk sebagai guru tatanegara dan kebijaksanaan bagi para pangeran Hastinapura. Tanpa persetujuan Prabu Dretarastra dan para sesepuh Hastina, Dewi Kunthi meninggalkan kedhaton Hastinapura membawa para putranya untuk tinggal di padepokan Saptarengga bersama para punakawan sekaligus menghilangkan trauma kesedihan karena meninggalnya Pandu.
*1 Arya Brajadentha dan Arya Brajamusthi, Putra prabu Tremboko nomor 3 dan 4 lahir karena sebagian Ajian Brajadentha dan Brajamusthi diwariskan pada Prabu Tremboko. Prabu Tremboko, raja para yaksa dari Pringgandani sudah lama bersahabat dan berguru pada Pandu Dewanata sejak sebelum Bambang Sucitra datang ke pulau Jawa
*2 Lembu Andini adalah salah satu kendaraan surgawi selain Gajah Erawata milik Batara Indra, Garudeya Brihawan dan ular Naga Adisesa milik Batara Wisnu, Harimau Sardulamurti milik Batari Durga, dan Angsa Hamsamurti milik Batara Brahma. Lembu jantan ini kendaraan Batara Guru/Siwa, rajanya para dewa-dewi.
*3 Batara Cingkarabala-Balaupata adalah sepasang dewa kembar berwujud yaksa/raksasa penjaga pintu gerbang kahyangan, Lawang Selomatangkep. Kedua dewa ini adalah putra raja jin  Rohpatanam. Mereka juga bersaudara dengan Lembu Andini.
*4 Luweng adalah lubang/sumur perangkap yang amat dalam. Biasanya luweng digunakan untuk menjebak hewan buruan agar jatuh ke dalamnya dan tak bisa keluar lagi
*5 Sukra Umanis bila diterjemahkan dalam bahasa sekarang artinya hari Jumat Legi. Dalam pembagian tujuh hari Jawa dan Bali, dikenal hari Soma/Senin, Anggara/Selasa, Buda/Rabu, Respati/Kamis, Sukra/Jumat, Tumpak atau Saniscara/ Sabtu, dan Radite/Ahad ; Minggu. Selain itu dikenal sistem lima harian yang disebut Pasaran atau Pancawara dalam bahasa Bali. Pasaran terdiri dari lima hari yaitu Kliwon/Kasih, Legi/Umanis, Pahing/Jenar, Pon/Palguna, dan Wage/Cemengan
*6 Aji Prawanajati dan Aji Purnamajati adalah ajian kecerdasan. Hanya makhluk tertentu saja yang diberi kesempatan memiliki dan mengamalkan ajian ini. Siapapun yang memiliki salah satu ajian ini, akan menjadi orang yang sangat cerdas, berdaya ingat kuat, dan memiliki kemampuan memprediksi segala sesuatu.
*7 Taman Kadilengleng adalah salah satu taman terindah di Hastinapura. Keindahannya setara dengan taman Argasoka di Alengka. Sesuai dengan namanya, siapapun yang masuk ke taman itu akan lupa akan beban hidup dan terlena oleh keindahannya.

Minggu, 24 Februari 2019

Keajaiban di Widarakandang


Hai semua, kembali lagi nih nulis. Kali ini saya menceritakan masa remaja putra-putri Mandura di desa Widarakandang.Di awal kisah diceritakan bagaimana Kangsa, putra haram Dewi Maherah diakui sebagai putra Prabu Basudewa dan kisah ditutup dengan pengembaraan Kakrasana dan Narayana untuk berguru. Kisah ini merupakan penggabungan lakon Kangsa Takon Bapa dan Narayana Ngalalana. Kisah ini bersumber kitab Mahabaharata karya Mpu Vyasa dan blog-blog pedalangan di internet, lalu saya kembangkan lalu diberi sentuhan-sentuhan dan unsur pedalangan Jawa.

Sepuluh tahun telah berlalu, terjadi sebuah keributan besar antara pasukan Goagra dan Mandura. Prabu Basudewa dibantu Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena berusaha mengendalikan keributan itu. Lalu, datanglah seorang anak remaja tinggi besar ke keraton Mandura. Sang pemuda itu mengaku bernama Kangsa, anak Dewi Maherah. Dia ingin dminta diakui sebagai putra Prabu Basudewa. “Mohon maaf, gusti Prabu. Maaf bila saya lancang. Perkenalkan, nama hamba Kangsa. aku adalah putra gusti dengan ibu Dewi Maherah. aku meminta hak untuk diakui sebagai putra gusti prabu.” Prabu Basudewa tiba-tiba teringat akan kata-kata Batara Narada tentang putra haram Dewi Maherah. Prabu Basudewa menimbang-nimbang dan akhirnya memutuskan “Baiklah, aku akan mengakuimu sebagai putraku bila kau berhasil mengalahkan pasukan Goagra.” Tanpa ba-bi-bu lagi, Kangsa langsung ke medan perang. Seakan seperti dikode oleh Kangsa dan melihat kekuatan Kangsa yang hebat, pasukan Goagra berhasil dipukul mundur oleh Kangsa. Prabu Basudewa, Aryaprabu Rukma,dan Arya Ugrasena kaget bukan kepalang. Aryaprabu Rukma mengingatkan lagi “Kakang prabu, kita harus tetap waspada. Ingat pada kata-kata pukulun Narada.” “baiklah, rayi Rukma. Tetap waspada. Kita tidak tahu apa niatnya selanjutnya.” Pada akhirnya, terpaksalah Prabu Basudewa mengakui Kangsa sebagai putranya dan diberi kedudukan di kadipaten Sengkapura sebagai adipati. Hari-hari pun berlalu, Prabu Basudewa juga sangat merindukan putra-putrinya..
Di tempat lain, di sebuah desa yang asri, desa Widarakandang. Berkat kesungguhan dan kasih sayang Nanda Antagopa dan Niken Sagopi, putra-putri Prabu Basudewa yaitu Kakrasana, Narayana, dan Rara Ireng*1 yang telah mereka asuh telah tumbuh menjadi remaja-remaja yang bijak, kuat, berbudi, dan dekat dengan rakyat. Mereka juga akrab pada siapa saja, apalagi dengan kakak dan adik mereka, ’anak-anak’orang tua asuh mereka, yaitu Bambang Udawa, Niken Rarasati, Arya Pragota, dan Bambang Adimanggala*2.  Perangai dan kepribadian mereka bertujuh berbeda-beda. Rara Ireng lebih sering di rumah sambil sesekali belajar mengeluarkan ajian. Niken Rarasati lebih suka belajar panahan dan berkuda bersama Bambang Adimanggala, berbeda dengan gadis desa pada umumnya. Kakrasana yang berkulit bule lebih suka berkebun sambil melatih beladiri bersama Arya Pragota dan Narayana yang berkulit kehitaman lebih sering menggembala lembu sapi, kerbau, juga kambing ayahnya dan berkelana untuk berguru bersama Udawa. Niken Sagopi sampai was-was pada Narayana karena teringat kejadian saat Narayana kecil bergulat dengan raksasi Putana, Kuda Keshi, bahkan raksasa Nagasura yang semuanya pernah mengganggu ketentraman desa Widarakandang tapi semuanya dapat dikalahkan oleh Narayana dan Kakrasana.
Pada suatu hari, ketika itu Narayana, Kakrasana, dan adik-adik mereka sedang menggembalakan ternak-ternak ayahnya di pinggir bengawan Yamuna, tiba-tiba air bengawan berubah menjadi hitam. Ikan-ikan lemas keracunan, tanaman -tanaman air layu. Air bengawan suci itu meracuni warga desa dan ternak-ternaknya. Spontan saja, Narayana segera menuju ke tepi bengawan dan menyelam ke dasar bengawan untuk mencari asal racun itu. Kakrasana dan adik-adiknya khawatir sehingga mengadu pada Nanda Antagopa dan Niken Sagopi. Mereka segera berlari ke pinggir bengawan dan terkejutlah mereka melihat Narayana sedang bergulat dengan seekor ular naga di tengah bengawan. Niken Sagopi sampai pingsan melihat anak asuh kesayangannya itu bergulat dengan ular naga.
Sementara itu, Narayana yang bergulat itu bertanya pada sang ular naga “ Hei naga, siapa kau dan kenapa kau meracuni air bengawan ini? Apa yang kau tidak kasihan dengan makhluk hidup yang hidup dari bengawan ini?”. Ular naga itu menjawab “ Ampun, Tuanku. Nama ku Kaliya. Aku penjaga bengawan ini. Aku sengaja melakukan ini karena aku terancam pada Garudeya Brihawan yang terus menggangguku.”. Narayana yang mengerti lantas dengan santainya menari-nari lalu meloncat ke atas kepala Kaliya. Bekas jejak kakinya meninggalkan bercak putih diatas kepalanya dan tiba-tiba Batara Guru muncul “Kaliya, aku sendiri sudah sering mendengar kisah permusuhan abadi bangsa burung dan ular. Hyang Agung sudah menolongmu melalui perantara remaja ini. Bercak putih bekas injakan Narayana diatas kepalamu adalah jaminan kau bisa hidup tenang tanpa gangguan Garudeya Brihawan dan segala racunmu yang berlebihan telah ku ambil sebagian.”
Narayana menjinakkan Naga Kaliya
Setelah itu Batara Guru menghilang kembali ke kahyangan. Naga Kaliya mengantar Narayana ke pinggir bengawan Yamuna. Setelah mengantar Narayana dan menyelam ke dasar bengawan, atas seizin Hyang Widhi air bengawan kembali bersih dan bebas dari racun. Para warga desa dan ternak-ternak yang keracunan kembali sehat.
Pada suatu hari, penduduk desa Widarakandang menyelenggarakan kenduri akbar dengan mengurbankan 100 ekor sapi untuk Batara Indra agar hujan turun. Narayana yang ditemani Kakrasana dan Udawa melihat para penduduk membawa sapi-sapi mereka bertanya pada ayah mereka “ Ayah, kenapa kita melakukan kenduri semacam ini? Bukankah akan semakin memberatkan para penduduk. Para penduduk kaya saja sudah repot  kesusahan dan penduduk yang miskin menjadi semakin miskin ?” Nanda Antagopa menjawab” kita harus melakukannya agar Batara Indra mau membawa hujannya ke desa ini. Ini adalah tradisi kita selama bertahun-tahun” Narayana tidak puas dengan jawaban sang ayah memberikan petuahnya “tapi ayah, kenapa kita harus menelan tradisi itu mentah-mentah tanpa kita kupas. Toh bukan berarti setelah melakukan kenduri ini, hujan langsung turun begitu saja. Ingat ayah, Batara Indra dan para dewa lainnya mendapatkan kekuatannya dari Sanghyang Widhi yang Maha Agung. Jika ayah dan para penduduk masih ragu, kalian datang saja di lembah Gowardhana. Berdoa lah disana. Dari sanalah awan hujan terlihat”. Setelah memikirkannya dengan matang, para penduduk desa dan para pendeta datang ke lembah Bukit Gowardhana. Mereka melakukan persembahyangan di tanah lapang di lembah itu. Para pengawal batara Indra, yaitu para Gandarwa Marut melihat hal itu dari balik awan dan salah paham menyangka mereka menyembah Bukit Gowardhana. Mereka langsung memberitahukan hal itu
Di kahyangan Karang Kaendran, Batara Indra, sang dewa langit sedang bersama istrinya, Dewi Saci tengah berunding dengan para bidadari dan bidadara. Tiba-tiba para Gandarwa Marut datang “ketiwasan pukulun Indra, ketiwasan banget ini” Batara Indra yang sedang berunding meminta mereka menjelaskan duduk perkaranya “ Ceritakan apa yang kalian lihat tadi?’ “begini pukulun, hamba melihat para penduduk Widarakandang berhenti melakukan kenduri dan malah menyembah Bukit Gowardhana atas perintsah seorang anak penggembala.” Batara Indra marah karena menyangka  sudah para penduduk itu telah menyeleweng. Patih Batara Indra, yaitu Batara Wrehaspati mengingatkan Batara Indra “ mohon maaf, Tuan Batara Indra, apa sebaiknya kita tidak menyelidiki kebenarannya dulu, daripada kita dibuat malu nantinya. Bisa saja para Marut salah paham” namun, Batara Indra yang sudah terlanjur naik darah membentak Batara Wrehaspati dan langsung naik ke gajah Erawata untuk menghukum para penduduk Widarakandang. Setelah sampai di atas desa itu, batara Indra murka sekali mengira para penduduk telah menyeleweng dan menyembah bukit Gowardhana. Atas perintahnya, para gandarwa Marut diperintahkan mengumpulakan seluruh awan badai untuk menghancurkan desa Widarakandang,
Ketika para penduduk sedang melakukan doa, para penduduk Widarakandang dikejutkan dengan munculnya topan badai disertai hujan es dan halilintar yang menyambar-nyambar selam berhari-hari. Para penduduk lari pontang-panting menuju desa Widarakandang. Di desa, mereka dikejar-kejar banjir dan air bah. Di ladang rumput, mereka juga di kejar halilintar dan api dari rerumputan kering. Angin pun menerbangkan apa saja. Para penduduk menyangka Batara Indra murka. Narayana kemudian berdoa agar diberi kekuatan untuk melindungi penduduk desa.” Hyang Agung, pencipta para dewa-dewi, berikanlah hamba kekuatan untuk melindungi para penduduk dan keluargaku”
Narayana mengangkat Bukit Gowardhana
Atas seizin Hyang Widhi, begitu tangan Narayana menyentuh tanah, tanah bukit Gowardhana terbuka dan bukit itu terangkat oleh tangan Narayana layaknya payung raksasa. Para penduduk, para pendeta, dan seluruh keluarga Narayana segera masuk ke bawah kolong bukit itu beserta ternak-ternak mereka. Batara Indra yang melihat kejadian ajaib itu semakin murka dan melemparkan halilintar-halilintar, gumpalan es, dan air hujan yang berat ke bukit itu. Tapi tak sedikitpun tanah di bukit itu berguguran. Karena marahnya sudah tak bisa dibendung, Batara Indra mengeluarkan pusaka saktinya yaitu Bajra*3. Saat Bajra itu diarahkan ke bukit Gowardhana, keluarlah bunyi guntur yang amat memekakkan telinga dan bukit Gowardhana bergoncang dahsyat. Lalu keluarlah seorang pria bertubuh gemuk dari kolong bukit itu. Dia tak lain adalah Semar, uwa Batara Indra yang sedang menuju ke Hastinapura namun terjebak hujan dan badai. Dia ikut berteduh di kolong bukit bersama penduduk Widarakandang.” Hai Indra. Hentikan tindakanmu. Tindakan bodohmu telah membuat kerusakan di sini. Hyang Widhi akan murka pada kahyangan bila kau melakukan ini” batara Indra yang sangat hormat kepada Semar segera menghentikan serangannya dan turun ke desa Widarakandang meminta maaf pada Semar “ Mohon ampun, uwa pukulun. Hamba sudah salah sangka dan menuruti kebodohan hamba karena mengira para penduduk Widarakandang telah menyembah Bukit Gowardhana dan tanpa di telisik lebih dahulu.” . Batara Indra segera menghentikan hujan dan badai lalu meminta maaf pada Narayana dan seluruh penduduk desa. Setelah para penduduk, resi, dan ternak-ternak keluar dari kolong bukit, Narayana mengembalikan lagi bukit itu ke tempat semula. Kemudian Semar mendatangi Narayana “ Kakarasana! Narayana!, kemarilah. Aku mendapatkan  sesuatu yang harus kuberitahukan pada kalian ” “ apa yang ingin Kakang Semar beritahu pada kami?” Semar menjawab “ Anakku, Narayana. Sudah saatnya kau berguru pada seorang resi di Gunung Untaryana. Namanya Resi Padmanaba. Beliau adalah resi kesayangan dewata. Dengan berguru padanya, takdirmu yang sesungguhnya akan tersibak dan kamu, Kakrasana bertapa lah di gunung Waikunta. Kelak akan ada seorang dewa yang akan membangunkanmu, bergurulah padanya.”. Tanpa ragu, Kakrasana dan Narayana setuju dan beberapa hari kemudian, mereka pun meninggalkan desa Widarakandang untuk berguru. Narayana pergi bersama Udawa dan Kakrasana bersama Pragota. Sedangkan Adimanggala juga mendapat perintah dewa untuk pergi ke Hastinapura, tepatnya mengabdi pada kusir Ki Adiratha dan putranya, Aradeya di Awangga. Nanda Antagopa sendiri yang mengantar Adimanggala yang kala itu berusia tujuh tahun ke desa Awangga. Sedangkan Rara Ireng dan Rarasati tetap di Widarakandang.

*1 Rara Ireng adalah nama masa kecil Dewi Sumbadra selain nama Bratajaya
*2 Selain dengan Prabu Basudewa, Niken Yasoda juga pernah terlibat skandal dengan Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena yang juga menggandrunginya. Dari hubungannya Aryaprabu Rukma, Niken Yasoda melahirkan seorang putri cantik bernama Niken Rarasati dan dari Arya Ugrasena, Niken Yasoda melahirkan dua orang putra, Pragota dan Adimanggala
*3 Bajra adalah tombak sakti yang mampu mengeluarkan kilatan petir dan bunyi guntur yang sangat keras. Pusaka Bajra adalah senjata andalan Batara Indra.


Rabu, 20 Februari 2019

Menitisnya Nara-Narayan : Kelahiran Arjuna dan Putra-putri Mandura


Hai semua, kembali lagi nih setelah mencari banyak konsep. Kali ini saya akan mengisahkan kelahiran sang tampan, penengah Pandawa, Arjuna alias Permadi. Dikisahkan pula perselingkuhan prabu Basudewa dengan Niken Yasoda/Sagopi, kelahiran Raden Kangsa, putra haram Dewi Maherah lahir dan awal pertemuannya dengan Jaka Slewah, putra Prabu Brehadata, dilanjutkan dengan kelahiran putra-putri Prabu Basudewa : Kakrasana/Balarama, Narayana/ Kresna, dan Dewi Sumbadra. Kelahiran ini juga menjadi tanda menitisnya Batara Wisnu, Batara Adisesa, dan Sri Laksmi istri Wisnu ke dunia sekali lagi. Kisah ditutup dengan dititipkannya Kakrasana, Narayana, dan Sumbadra pada Nanda Antagopa dan Niken Sagopi di desa Widarakandang. Kisah kali ini mengambil sumber Kitab Pustakaraja Purwa  karya Raden Ngabehi Ronggowarsito dipadukan dengan Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa dan serial kolosal India Mahabharat Starplus

Di tempat lain, kerajaan Mandura dan Wangsa Yadawa telah mendapatkan raja baru. Raden Basudewa dilantik menjadi raja bergelar Prabu Basudewa menggantikan ayahandanya, Prabu Kuntiboja. Sementara kedua adik lelakinya, Arya Rukma dilantik menjadi adipati di kota Kumbina bergelar Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena menjadi adipati di Lesanpura. Disampingnya duduklah empat permaisuri sang prabu. Mereka adalah Dewi Maherah, Dewi Rohini, Dewi Dewaki, dan Dewi Badrahini. Diantara mereka, Dewi Maherah yang amat pencemburu. Pada suatu hari Prabu Basudewa dan Dewi Maherah bertengkar karena diantara para permaisuri Mandura, Dewi Maherah tak kunjung hamil. Karena frustrasi, Prabu Basudewa memanggil seorang dayang istana. Niken Yasoda namanya. Meskipun hanya dayang istana, suaranya amat merdu dan parasnya cantik. Dia adik dari Mpu Saragupita, penasihat Prabu Kuntiboja. Karena terpesona akan kemerduan suara, kepolosan, dan kecantikannya, Prabu Basudewa menggerayangi dan mengajaknya tidur seranjang. Pada suatu hari, Niken Yasoda datang di penghadapan sambil menangis“ Gusti Prabu, kau harus bertanggungjawab. Lihatlah aku. Aku hamil empat bulan setelah melayani “. Karena takut skandalnya akan terbongkar hingga keluar kerajaan, Prabu Basudewa kemudian mendatangi sahabatnya, Nanda Antagopa, seorang penggembala sapi istana yang tinggal di desa Widarakandang, lalu menikahkan Niken Yasoda dengannya. “Yasoda, aku mencintaimu tapi demi nama baik negeri kita, aku harus melakukan ini. Kelak putra-putri yang kau kandung dan yang kau asuh akan menjadi orang mulia. Itu doa ku padamu. Ini aku titipkan keris Kyai Blabar. Anggaplah ini hadiah pernikahan kalian. Nanda, aku titipkan Yasoda. Mulai sekarang, kau ku angkat pemimpin di desa ini dan desa ini akan menjadi tanah perdikan swatantra*1. Kau bebas tentukan nasib desa ini sekarang.” Setelah pernikahan itu, lahirlah anak dari perselingkuhan Basudewa dan Yasoda. Anak itu diberi nama Bambang Udawa.
Pada suatu hari, Prabu Basudewa kedatangan tamu istimewa. Mereka adalah adiknya dan iparnya, Prabu Pandu Dewanata dan Dewi Kunthi dari Hastinapura. Setelah beramah tamah, Prabu Basudewa mengajak sang adik ipar untuk berburu hewan di hutan Boja “rayi Pandu, sekarang akan diadakan pesta tujuh bulanan untuk ketiga istriku dan kebetulan Dinda Kunthi juga sama hamil. Kita kekurangan makanan untuk pesta jadi kami harus berburu. Apakah rayi prabu mau ikut?” “ Tentu, raka Basudewa. Mari segera berburu mumpung hari belum gelap” Tanpa banyak waktu mereka langsung berangkat. Tanpa sadar, datanglah seorang musuh kerajaan. Prabu Gorawangsa namanya, raja para yaksa dari Goagra. Telah lama dia jatuh hati pada Dewi Maherah. Bersama patih sekaligus adiknya, Suratrimantra, mereka berniat melarikan Dewi Maherah. Patih Suratrimantra diperintahkan membuat keributan oleh sang kakak. Arya Ugrasena yang sedang berada di keraton Mandura bersiap menghadapi kemungkinan terburuk.
Sementara di Kahyangan Jonggring Saloka, di salah satu puncak bersalju Gunung Mahameru, Batara Guru sedang berdiskusi dengan patihnya, Batara Narada “Kakang Narada, semenjak turunnya kakang Ismaya*2 ke Bumi dan selesainya tugas sang Wisnu dan Adisesa sebagai Sri Rama dan Laksmana, nampaknya sudah saatnya Wisnu turun kembali ke bumi. Aku melihat kakakku, Rudra, si angkara sudah mulai menitis pada para putra Dretarastra, para Kurawa dan sekarang dibantu oleh Wasi Dwapara*3 . kita harus meredam angkara murka dan sebisa mungkin  menghindari Mahapralaya itu*4. Kakang Narada, segera panggil Sang Wisnu dan Naga Adisesa” “waduh, adhi Guru. Kita harus segera bertindak. Saya akan segera memanggil mereka untuk menghadap”. Dengan aji pameling, Batara Narada segera memanggil Batara Wisnu, dan Batara Naga Adisesa.
Batara Guru memerintahkan Batara Wisnu dan Batara Basuki menitis lagi
Dalam sekejap, Batara Wisnu datang diantar oleh sang Garudeya Brihawan*5 begitu pula Batara Naga Adisesa, sang dewa ular yang jadi ranjang Batara Wisnu. “ Ada apa paman Narada memanggil kami berdua? Apakah Ayahanda Girinata memanggil kami?” Batara Narada tak menjawab malah langsung menghantar kedua dewa pemelihara dharma dan dewa pelindung keselamatan itu. “ Wisnu. Aku melihat dari trinetra-ku*6 angkara murka sudah mulai merajalela dalam wujud Para Kurawa dan Arya Suman. Sudah saatnya kamu kembali turun ke bumi untuk terlahir lagi sebagai manusia dan membantu kakang Ismaya. Menitislah sebagai Nara-Narayan*7 pada putra Basudewa dengan Dewaki dan putra ketiga Pandu Dewanata, dan kamu, Adisesa, menitislah pada putra Basudewa dengan Rohini.” “ Baik, Ayahanda Girinata, saya dan Dimas Adisesa akan segera melaksanakan apa yang telah digaris Sanghyang Widhi.” Tanpa ba-bi-bu lagi, Batara Wisnu dan Batara Adisesa segera turun ke bumi dan bersembunyi di hutan Boja. Mereka lalu berubah wujud. Batara Wisnu yang menitis belah mengambil wujud sepasang harimau hitam dan kuning, sedangkan Batara Adisesa berubah menjadi ular naga raksasa. Tanpa diketahui oleh Batara Wisnu, istrinya, Dewi Sri Laksmi (Dewi Sri Widowati) ikutan menitis lalu berubah menjadi sepercik sinar terang yang pecah menjadi lima cahaya.
Tak lama kemudian datanglah Prabu Basudewa dan Prabu Pandu. Mereka telah mendapatkan banyak kijang dan rusa. Tiba-tiba mereka diserang sepasang harimau hitam dan kuning juga ular naga raksasa. Terkejut, segeralah Prabu Basudewa dan Prabu Pandu memanah mereka. Setelah terpanah, sepasang harimau dan ular naga itu menghilang berubah menjadi cahaya.
Munculnya Batara Basuki dan Wisnu sebagai Nara-Narayan
Sepasang harimau berubah menjadi cahaya hitam dan kuning, sedangkan ular naga berubah menjadi cahaya putih bule*8. Ketiga cahaya itu melesat menuju keraton Mandura.” Rayi Pandu, cahaya itu mengarah ke keraton. Ayo kita ikuti” “mari raka Basudewa. Aku khawatir bila cahaya itu pertanda bahaya”.
Sementara di alun-alun pasukan Goagra masih bertarung dengan pasukan Mandura, Prabu Gorawangsa berhasil menyusup ke puri Mandura dengan beralih rupa menjadi Prabu Basudewa. Dia mendatangi Dewi Maherah untuk minta maaf dan mengajaknya tidur seranjang “sayang, maafkan aku yang sudah tak hiraukanmu. Sebagai permintaan maaf, ayo ikut aku ke kamar. Akan ku puaskan dirimu“ Dewi Maherah yang tidak menyadari itu langsung mengiyakan “ hi hi hi, mari kanda prabu. Aku siap melayanimu”. Setelah mereka masuk kamar, ketiga cahaya hitam, kuning, dan putih bule dari hutan Kandawa masuk ke keraton. Ketika itu para permaisuri dan Dewi Kunthi sedang tidur di kaputren. Segera cahaya-cahaya itu langsung masuk dan melebur ke dalam kandungan mereka. Cahaya putih bule masuk ke kandungan Dewi Rohini, cahaya hitam masuk ke kandungan Dewi Dewaki, dan cahaya kuning masuk ke kandungan Dewi Kunthi. Sesaat kemudian, munculah cahaya berwarna-warni jelmaan Dewi Sri Laksmi masuk ke rahim Dewi Badraini. Sementara itu, Prabu Basudewa palsu berhasil meniduri dan kumpul kebo dengan Dewi Maherah. Sebaliknya, Dewi Maherah juga sangat puas setelah dilayani walaupun bau badan suaminya aneh tak seperti biasanya.
Di setibanya kembali di Mandura, Prabu Basudewa dan Prabu Pandu terkejut melihat terjadi peperangan. Dengan secepat kilat, Prabu Pandu mengerahkan aji Sepiangin dan membuat angin topan untuk mengusir pasukan Goagra. Begitu hendak memasuki puri, Arya Ugrasena yang tadi melihat kakaknya masuk kamar menjadi heran “lhoo, Kakang Prabu. Kok udah disini. Kanda Dewi Maherah mana?” Prabu Basudewa merasa keheranan ” Lhoo, rayi Ugrasena, aku kan dari tadi bersama rayi Prabu Pandu ke hutan.”  mendengar hal itu, Arya Ugrasena terkejut dan merasa kecolongan lalu menjelaskan segalanya pada sang kakak. Prabu Basudewa marah dan menyuruh arya Ugrasena untuk melabrak sang kakak ipar di kamarnya. Ketika mendobrak pintu, ia melihat Prabu Basudewa palsu sedang meniduri Dewi Maherah. Prabu Basudewa palsu bangun lalu menyerang Arya Ugrasena dan Prabu Pandu. Pertarungan mereka terjadi hingga ke luar keraton. Tanpa waktu yang lama, Prabu Basudewa palsu berhasil dikalahkan oleh mereka dan seketika Prabu Basudewa palsu kembali menjadi wujud aslinya, Prabu Gorawangsa lalu tewas seketika. Dewi Maherah yang melihat itu sontak kaget dan pingsan. Setelah bangun, Dewi Maherah diseret ke penghadapan. Kini dia merasa sangat bersalah.
Prabu Basudewa murka sekali kepada Dewi Maherah dan menjatuhkan vonis hukuman mati karena dianggap telah mencemarkan nama baiknya. Diperintahkanlah Arya Ugrasena untuk melakukan eksekusi itu. Tetapi, Arya Ugrasena tak tega melihat kakak iparnya di hukum seberat itu. Maka dibawalah Dewi Maherah ke tengah hutan dan dibuatkan sebuah pesanggrahan “kakak ipar, maafkan aku dan suamimu. Ku tahu dia sangat marah tapi aku tidak. Aku tak tega kalau kakak dihukum mati. Sekarang tinggallah di pesanggrahan ini. Aku amat menyesalkan keputusan kakang Prabu. Kakak ipar, semoga kau selalu sehat”. Arya Ugrasena segera memecut kudanya dan meninggalkan sang kakak ipar. Dewi Maherah amat sedih sehingga dia mulai jatuh sakit. Suatu hari, tak sengaja datang patih Suratrimantra. Dewi Maherah yang pasrah akhirnya menyerahkan hidupnya di tangan patih Suratrimantra. Patih Suratrimantra menjelaskan bahwa dia adik dari Prabu Gorawangsa. Dewi Maherah semakin sedih dan menceritakan bagaimana dia dinodai Gorawangsa hingga hidupnya hancur begini. Patih Suratrimantra merasa kasihan dan berniat membawa Dewi Maherah ke Goagra. Tapi baru sampai di lereng Gunung Kendeng, Dewi Maherah yang sedang hamil itu sakit. Tak lama kemudian datanglah dua pendeta bersaudara berwujud raksasa dan raksasi, Resi Hanggawangsa dan Nyai Jara. Patih Suratrimantra meminta bantuan sang resi untuk membantu persalinan Dewi Maherah. Sejenak Resi Hanggawangsa meraba perut Dewi Maherah lalu Dewi Maherah melahirkan seorang bayi laki-laki, tapi tak lama kemudian Dewi Maherah meninggal karena komplikasi dani tekanan batin yang dideritanya.
Patih Suratrimantra yang sangat sedih melihat jenazah Dewi Maherah mengutuk perbuatan Prabu Basudewa. “Hai Basudewa, perbuatanmu membuang istri sendiri sudah keterlaluan. Kelak putra kakakku ini akan membalas perbuatanmu berkali-kali lipat!!”. Setelah pemakaman Dewi Maherah, putra haram Dewi Maherah dengan Prabu Gorawangsa diberi nama Raden Kangsa oleh Patih Suratrimantra dan patih Suratrimantra menyerahkan bayi Kangsa kepada Resi Hanggawangsa dan Nyai Jara untuk dididik bersama anak asuh Nyai Jara. Kebetulan Nyai Jara juga membawa anak asuhnya, seorang bayi yang dibuang Prabu Brehadata, raja kerajaan Giribajra. Bayi itu dinamai Jaka Slewah karena saat ditemukan oleh Nyai Jara, bayi itu dalam kondisi slewah*9, berasal dua potong bayi lalu ditemukan oleh Nyai Jara dan dengan izin Hyang Widhi, begitu tangan Nyai Jara menggendong dua belah badan bayi itu, kedua belahan itu menyatu menjadi seorang bayi utuh.
Dua bulan kemudian setelah pesta tujuh bulanan, Dewi Rohini dan Dewi Dewaki melahirkan. Dewi Rohini melahirkan seorang bayi laki-laki berkulit bule/albino. Oleh prabu Basudewa, anaknya itu dberi nama Arya Balarama dan oleh ibunya diberi nama Raden Kakrasana. Beberapa jam kemudian, Dewi Dewaki juga melahirkan seorang bayi laki-laki berkulit kehitaman. Oleh sang ayah diberi nama Raden Kresna karena kulitnya yang berwarna gelap dan oleh ibunya di beri nama Bambang Narayana . Dua hari kemudian, Dewi Badrahini juga melahirkan seorang bayi perempuan. Wajah bayi perempuan itu terlihat sangat cantik, secantik Dewi Kamaratih. Kulitnya hitam manis. Prabu Basudewa menamai putrinya yang satu-satunya itu Dewi Sumbadra, diambil dari nama ibunya. Dewi Badraini, ibunya juga memberinya nama Dewi Bratajaya. 
Di waktu yang sama pula, di Kerajaan Hastinapura, Dewi Kunthi mengalami kesakitan hebat karena hendak melahirkan. Segeralah Dewi Kunthi merapal Aji Punta Wekasing Rahsa Tunggal sambil menyebut nama Batara Indra dibantu suami dan madunya. Lalu munculah Batara Indra dengan menunggangi gajah Erawata*10. Batara Indra turun dari gajahnya lalu membantu Dewi Kunthi melahirkan. Seketika, keluarlah cahaya seterang halilintar saat sang jabang bayi lahir. Di balik cahaya itu, wajah sang bayi nampak berseri.
Kelahiran Raden Arjuna
Konon, seisi jagat raya bahkan para bidadari yang jauh di kahyangan terpikat oleh sang jabang bayi. Setelah membantu sang Dewi, Batara Indra segera memberikan berkahnya “ Kunthi, putramu ini kuanugerahi wajah yang setampan Batara Kamajaya, kebaikan hati dan perangai, kemampuan memanah dan berolah senjata yang mumpuni. Bayimu ini kelak menjadi lelanang ing jagat *11dan kelak akan dicintai siapapun juga, baik pria maupun wanita. Dia akan menjadi pujaan manusia sepanjang masa”. Setelah memberi berkah, Batara Indra segera menunggangi gajahnya dan kembali ke kahyangan. Oleh Prabu Pandu Dewanata, putranya yang ketiga itu diberi nama Raden Arjuna, yang berarti “yang bersinar terang” dan Dewi Kunthi memberinya nama Bambang Permadi, yang berarti kasih sayang yang melimpah. Kakaknya, Arya Bratasena memberinya julukan si Jlamprong.
Pada hari yang telah ditentukan, diselenggarakan pesta selapanan di keraton Mandura untuk merayakan kelahiran para pangeran dan putri. Kebetulan pula, Prabu Pandu dan Dewi Kunthi juga datang sambil membawa bayi Arjuna. Prabu Basudewa memberi nama putra ketiga adiknya itu Bambang Parta, yang artinya putra Dewi Prita, nama kecil Dewi Kunthi. Kemudian, Prabu Basudewa memangku bayi Arjuna di paha kanan dan bayi Sumbadra di paha kirinya. Mereka pun ditunangkan “ wahai seluruh undangan, hari ini aku akan menjodohkan putra adikku Kunthi, Arjuna dengan putriku, Sumbadra. Semoga Hyang Widhi merestui “ Seluruh tamu undangan pesta bersuka ria atas pertunangan itu.
Di tengah pesta itu, datanglah pasangan suami istri yang sudah cukup tua umurnya menghadap Prabu Basudewa. Sang suami adalah bangsa wanara*13 dan sang istri masih terlihat cantik dan terpancar auranya meskipun sudah tak lagi muda. Mereka adalah Resi Kapi Jembawan, pengasuh Resi Subali dan Dewi Trijatha, putri bungsu Prabu Gunawan Wibisana, adik bungsu Prabu Rahwana. Dahulu, mereka adalah abdi sekaligus sahabat dari Sri Ramawijaya dan istrinya, Dewi Sinta. Pasangan ini mendapat petunjuk dari dewata akan mendapatkan seorang anak bila meminta restu dan mengabdi pada keturunan Sri Rama di Mandura.”Ampun gusti prabu, bila kami mengacaukan pesta anda. Hamba dan istri hamba ingin mengabdi pada Gusti. Sebelum itu perkenalkan, nama hamba Jembawan dan ini istri hamba, Trijatha. Kami dulu adalah sahabat salah satu leluhur gusti, Sri Rama. Sudikah gusti untuk merestui pengabdian kami?” Prabu Basudewa merasa tersanjung dan merestui mereka “baiklah, kuterima pengabdian kalian. Mulai sekarang kalian kuangkat menjadi juru kunci Astana Gandamadana*12. Semoga pengabdian kalian direstui juga oleh dewata.” Begitu Prabu Basudewa meminta izin untuk memegang perut Dewi Trijatha, satu dari lima cahaya penjelmaan Dewi Sri Laksmi menitis pada rahim Dewi Trijatha. Setelah itu datanglah Batara Narada dari kahyangan. Seluruh yang ada disitu memberi hormat. Batara Narada datang untuk memberitahukan nasib putra-putri Prabu Basudewa.“ Basudewa cucuku, kedatanganku kemari untuk menyampaikan suratan nasib putra-putri prabu. Putra prabu yang berkulit bule adalah titisan Batara Adisesa, ular putih yang jadi ranjang sang Wisnu, lalu putramu yang berkulit kehitaman bersama putra ketiga prabu Pandu Dewanata adalah titisan Batara Wisnu, dan putrimu satu-satunya adalah titisan Dewi Sri Laksmi. Mereka akan menjadi permata bagi Wangsa Yadawa. Tapi ada sebuah sandungan, Dewi Maherah yang telah kau usir sudah meninggal tapi sempat melahirkan putra, namanya Kangsa. Dia akan menjadi malapetaka bagi putra-putrimu dan kerajaanmu di kemudian hari” Prabu Basudewa terkejut mendengarnya dan ingin membunuhnya sekarang. Batara Narada mencegah karena sudah menjadi suratan, Kangsa hanya bisa mati dengan kerja sama para putra-putrinya. “Asingkanlah putra-putri prabu di desa Widarakandang. Biarkan mereka tumbuh di desa dan dengan begitu mereka akan menjadi manusia-manusia bijaksana dan mau bergaul dengan rakyat. Dengan begitu Kangsa dapat dikalahkan. Hampir saya lupa, saya kesini juga membawakan bulu merak dan jamang ini. Bulu merak dan jamang ini adalah perhiasan kepala Batara Wisnu, pakaikan pada kepala putramu Bambang Narayana.” Sebenarnya Prabu Basudewa sangat berat hati untuk berpisah dengan putra-putrinya tapi karena sudah menjadi takdir mereka, maka Prabu Basudewa mematuhi perintah Batara Narada dan berterima kasih padanya“Terima kasih, pukulun Narada. Saya sekeluarga akan mematuhi perintah pukulun”Setelah dirasa cukup, Batara Narada kembali ke kahyangan. Begitu juga Resi Jembawan dan Dewi Trijatha memulai tugas dan tinggal di Astana Gandamadana.
Setelah pesta selesai, segeralah Prabu Basudewa memberitahukan hal ini pada keluarganya dan segera berangkat ke Widarakandang membawa tiga putra-putrinya sendirian. Perjalanan Prabu Basudewa amat panjang dan melelahkan, Ketika sampai di pinggir Bengawan Yamuna, terjadi badai dahsyat. Air bengawan banjir dan mengalir sangat deras. Ombak bengawan menggeliat seakan saling bergulingan. Prabu Basudewa yang kebingungan berdoa agar bisa menyebrang. Atas pertolongan dewata agung, munculah seekor ular naga penjaga bengawan Yamuna bernama Kaliya menolong Prabu Basudewa menyebrang. Setelah tiba di desa Widarakandang, badai berhenti, hujan pun mereda. Setelah berjalan cukup lama, sampailah Prabu Basudewa di rumah Nanda Antagopa dan Niken Yasoda yang kini dipanggil Niken Sagopi oleh penduduk desa. Setelah membukakan pintu, Nanda Antagopa bertanya sambil berbasa-basi “Gusti Prabu Basudewa, ada keperluankah datang kesini malam begini? Dan inikah putra-putri gusti prabu, tampan dan cantik semua” “Terimakasih, Nanda. Tak usahlah kau panggil aku Gusti Prabu. Kita sudah bersahabat sejak lama. Aku kesini untuk meminta bantuanmu dan Yasoda untuk mengasuh putra-putriku” Nanda Antagopa bertanya lagi “Apa gerangan yang terjadi sehingga gusti ehh anda mau menyerahkan tugas ini pada kami?”. Prabu Basudewa menghela nafas lalu menceritakan segalanya, mulai dari garis nasib putra-putrinya hingga ancaman Kangsa, putra haram Dewi Maherah. Nanda Antagopa dan Niken Sagopi merasa tidak keberatan malah merasa ini menjadi suatu kehormatan besar bisa mengasuh putra-putri Mandura. Setelah menyerahkan ketiga putra-putrinya, Prabu Basudewa kembali ke keraton Mandura. Mulai hari itu, ketiga putra-putri Prabu Basudewa diasuh oleh Nanda Antagopa dan Niken Sagopi diantara para petani dan penggembala di Widarakandang.

*1 tanah perdikan swatantra, adalah suatu wilayah yang dibebaskan dari pajak berat dan dibiarkan mengatur dirinya sendiri. Pada masa sekarang, hal ini disebut daerah otonom.
*2 Ismaya adalah nama Ki Lurah Semar saat masih di kahyangan. Dia adalah kakak dari Batara Guru. Dia dan saudaranya yang lain, Togog, diperintahkan turun ke bumi untuk menjadi pengasuh para manusia. Togog mengasuh manusia berbudi angkara dan berjalan diatas adharma, sedangkan Semar mengasuh para manusia berbudi luhur dan menjalankan dharma kebaikan.
*3 Wasi Dwapara adalah seorang dewa yang suka menghasut dan menebar huru-hara dengan menghasut para dewa dengan asura. Karena perbuatannya, Hyang Widhi mengeluarkannya dari kahyangan dan diperintahkan untuk menitis pada para manusia berbudi angkara murka. Di zaman kuno, dia menitis pada Resi Dwapara, musuh bebuyutan Resi Satrukem dan Bambang Sakri, salah satu leluhur Maharesi Abiyasa. Pada masa Pandawa-Kurawa, dia menitis pada adik Dewi Gendari, Arya Suman yang kelak bernama Patih Arya Sengkuni.
*4 Mahapralaya yang dimaksud adalah perang Baratayudha. Di pewayangan Jawa, perang Baratayudha bukan sekedar kebetulan semata. Bukan juga sekedar terjadi karena perebutan takhta Hastinapura dan politik semata, tapi sudah diramalkan akan terjadi bahkan semenjak alam semesta belum diciptakan oleh Hyang Widhi.
*5 Garudeya Brihawan adalah burung garuda yang menjadi tunggangan Batara Wisnu. Garudeya Brihawan adalah saudara Garuda Aruna, kusir Batara Surya. Mereka adalah putra Maharesi Kasyapa dan Dewi Winata.
*6 Trinetra adalah mata ketiga Batara Guru (Siwa), letaknya di tengah dahi. Selain dapat melihat apa yang gaib dan tersembunyi di tiga alam, trinetra Batara Guru dapat berubah menjadi senjata berupa sinar panas yang dapat menghancurkan apapun dan siapapun bahkan para dewa dapat hancur menjadi abu.
*7 Nara-Narayan adalah bentuk cara penitisan Batara Wisnu dengan menjadi dua pribadi alias menitis belah. Namun dalam kepercayaan agama Hindu, Nara-Narayan adalah sepasang resi kembar penjelmaan/avatara Batara Wisnu. Didalam konsep pewayangan dan agama Hindu, Arjuna adalah titisan Wisnu sebagai Nara dan Prabu Kresna adalah tititsan Wisnu sebagai Narayan. Bila diibaratkan, mereka bagai dua sisi daun sirih, berbeda warnanya tapi sama rasanya.
*8 Bule disini adalah warna putih bersemu warna merah jambu, seperti warna kulit orang Eropa yang terkena sinar matahari
*9 Slewah maksudnya terbelah dua dan potongannya sama besar
*10 Erawata atau Airawata adalah gajah kahyangan, tunggangan dewa langit sekaligus raja para bidadari dan bidadara, Batara Indra. Gajah ini muncul dari dalam laut saat terjadi peristiwa pengadukan Laut Kidul untuk mendapatkan Tirta Amerta Perwitasari (air kehidupan langgeng).
*11 Lelanang ing jagat maksudnya simbol dan tauladan bagi para pria di dunia.
*12 Astana Gandamadana adalah situs pemakaman yang ditujukan untuk para leluhur Wangsa Yadawa, termasuk raja-raja Mandura yang terdahulu.
*13 Bangsa wanara adalah bangsa manusia kera (kera bertubuh besar, namun berekor panjang dan bisa bertatakrama layaknya manusia biasa). Mereka disatukan oleh Prabu Sugriwa dan Resi Subali lalu membangun kerajaan para kera dan monyet di Gua Kiskenda, bekas istana Ditya Lembusura dan Maesasura di ujung selatan Hutan Dandaka. Pemimpin bangsa wanara, yaitu Prabu Sugriwa, Patih Anila, Kapi Hanoman, Kapi Jaya Anggada, dan Resi Jembawan adalah sahabat- sahabat Prabu Sri Ramawijaya dan Raden Laksmana. Mereka membantu perjuangan Prabu Sri Rama membebaskan Dewi Sinta dari tangan Prabu Rahwana dalam perang Guntoroyono di Alengka.

Minggu, 17 Februari 2019

Gonjang-ganjing di Hastinapura : Lahirnya Bima dan Para Kurawa


Hai readers yang udah setia menunggu, kali ini saya akan menceritakan kisah kelahiran Panegak Pandawa yaitu,Raden Arya Bima yang tidak biasa dan kisah kelahiran para Kurawa yang ajaib dan menyebabkan huru-hara di Hastinapura. Lalu, kisah ditutup dengan kelahiran Prabu Arya Jayadrata, salah satu sekutu Kurawa yang kisah kelahirannya misterius. Kisah ini adalah penggabungan lakon Bima Lahir dan Bima Bungkus dari Kitab Pustakaraja Purwa, yang akhirnya saya satukan, dikembangkan lagi, dan diselaraskan dengan Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa.

Berita tentang Prabu Pandu Dewanata telah mendapatkan seorang putra dan Dewi Kunthi yang sudah hamil kembali membuat Maharesi Bhisma, Adipati Dretarastra, Patih Gandamana, dan Arya Widura di Hastinapura merasa gembira. Maharesi Bhisma kemudian memerintahkan Arya Widura dan Patih Gandamana untuk menjemput Prabu Pandu sekeluarga dan Ki Lurah Semar untuk kembali ke Hastinapura. Arya Suman yang menguping pembicaraan mereka segera melapor kepada kakaknya, Dewi Gendari yang kini usia kandungannya sudah tiga belas bulan. Sungguh kehamilan tak wajar.“Gawat, Kakang mbok. Pandu dan sekeluarga sudah memiliki seorang putra dan kini Kunthi telah hamil lagi.mereka akan segera boyong kembali lagi ke keraton. Ini ancaman bagi rencana kita” Dewi Gendari di kamarnya merasa tertekan mendengar berita itu ditambah lagi dengan dirinya yang tak kunjung melahirkan, membuat dirinya semakin stres dan Adipati Dretarastra semakin tak acuh padanya sehingga ia diam-diam menikahi Nyai Sugada, dayang-dayang Dewi Gendari. Dewi Gendari lalu mengusir adiknya itu “Sudahlah, rayi. Pergilah! Jangan ganggu aku! Pikiranku sudah pusing sekarang ini” tanpa membantah, Arya Suman pergi dari kamar kakaknya itu.
Setelah menutup pintu kamar, karena segala tekanan dan stres karena dirinya tak kunjung melahirkan, Dewi Gendari kemudian marah-marah tak jelas sambil memukul-mukul kandungannya “kau bayi sialan! Kapan kau lahir?! Jangan siksa aku seperti ini! Jangan siksa ibumu ini, nak!”. Tiba-tiba setelah memukul-mukul kandungannya, Dewi Gendari mengerang kesakitan karena kandungannya berontak. Suara teriakannya membuat terkejut seisi penghuni keraton. Adipati Dretarastra dituntun Arya Suman segera mendatangi istrinya itu. Benar saja, sang istri akan melahirkan. Adipati Dretarastra dan Arya Suman yang menunggu di luar kamar harap-harap cemas. Tak lama kemudian, Dewi Gendari melahirkan, tapi yang dia lahirkan bukan berwujud bayi manusia melainkan seonggok daging besar berwarna merah yang mengembang-mengempis layaknya bernafas.
Dewi Gendari yang melihat pemandangan semacam itu merasa ngeri dan kecewa. Lalu onggokan daging itu dibanting lalu di injak-injak sambil berteriak “Kau telah mempermainkanku, dewata. Aku mengharapkan putra, bukan onggokan daging ini”. Saking kesalnya, Dewi Gendari terus menginjak dan membanting onggokan daging yang kembang kempis itu. Awalnya onggokan daging itu terbelah dua tapi Dewi Gendari terus menginjak-injak, membanting, dan menendangnya kesana-kemari hingga onggokan daging itu hancur berselerak di seluruh kamar menjadi seratus potong. Dewi Gendari kemudian jatuh dan menangis keras. Adipati Dretarastra datang dan kemudian menenangkan istrinya itu. Kebetulan, Maharesi Abiyasa dan Prabu Pandu yang baru datang, membantunya mengumpulkan potongan daging itu. Maharesi Abiyasa mengingatkan Gendari “ Anakku, Gendari. Dewata agung tidak sedang mempermainkanmu, malah telah mengabulkan permintaanmu. Kau pernah mengharapkan keturunan yang banyak. Ingat anakku, keturunan yang banyak tidak langsung ujug-ujug jadi begitu saja. Dewata membentuk keturunanmu dalam wujud benih ini. Nah, Pandu. bantu aku cari seratus helai daun talas.”. Prabu Pandu dibantu para emban mencabut seratus helai daun talas di tamansari. Keseratus onggokan daging itu dibungkus daun talas lalu oleh Maharesi Abiyasa ditaruh di dalam seratus gentong susu. “Gendari, sekarang anak-anakmu akan ku taruh di dalam gentong ini. Jika Hyang Widhi berkehendak, mereka akan lahir dalam waktu 2 bulan. Harap bersabarlah”. Dewi Gendari menuruti apa yang dikatakan mertuanya itu. Setelah meletakkan keseratus daun talas berisi potongan daging ke dalam gentong, Maharesi Abiyasa meruwat mereka dan dia mendapat penglihatan bahwa kelak keseratus potong daging ini akan menjadi sumber malapetaka dunia dan akan bermusuhan dengan para putra Pandu. Setelah Maharesi Abiyasa dan semua orang pergi, Dewi Gendari tetap di kamar menunggui seratus gentong itu.
Dua bulan setelah kepulangan Prabu Pandu kembali Ke Hastinapura dan Maharesi Abiyasa meruwat seratus potongan daging yang dilahirkan Dewi Gendari, kandungan Dewi Kunthi yang belum cukup bulannya tiba-tiba berontak dan sepertinya akan segera lahir. Prabu Pandu dan Dewi Madrim segera membantu Dewi Kunthi merapal Aji Punta Wekasing Rahsa Tunggal. Dewi Kunthi segera merapal ajian itu sambil menyebut nama Batara Bayu.
Kelahiran Raden Arya Bima
Tiba-tiba Batara Bayu muncul dihadapan mereka. Batara Bayu kemudian membantu persalinan Dewi Kunthi. Kemudian bersamaan dengan datangnya angin kencang, lahirlah sang bayi, namun bayi itu lahir dalam keadaan yang tidak biasa, yakni dalam kondisi terbungkus selaput ketuban. Prabu Pandu berusaha membuka bungkus itu namun Bathara Bayu mencegah.  “Anakku, Pandu. Putramu yang sekarang terbungkus ini akan kuanugerahi kekuatan, kesaktian, dan keperkasaan yang dahsyat melebihi manusia pada umumnya. Dia akan menjadi pembela kebenaran dan pelindung bagi saudara-saudaranya. Kelak bila saatnya tiba, akan ada makhluk dewata yang akan membantu putramu keluar dari bungkusnya. Sekarang letakkan bayi bungkusmu di tengah hutan Mandalasara. Anggaplah putramu yang satu ini bertapa brata” Setelah memberikan anugerahnya, Batara Bayu pun kembali ke kahyangan. Prabu Pandu sebenarnya tidak tega meletakkan bayinya itu tapi karena ini perintah langsung dari dewa, tanpa pikir panjang dia mengutus patihnya, Gandamana untuk meletakkan putranya yang kedua itu. Sebelum berpisah dengan sang putra, Prabu Pandu Dewanata memberinya nama Raden Arya Bima yang artinya si dahsyat dan Dewi Kunthi memberinya nama Raden Bhimasena.
Pada malam harinya, tiba-tiba langit di atas Hastinapura diliputi mendung hitam dan petir menyambar-nyambar. Angin bertiup sangat kencang. Badai dan hujan turun dengan lebatnya. Semua binatang di sekitar keraton, baik jinak maupun liar bersuara tidak karuan. Bahkan anjing dan serigala hutan melolong ketakutkan. Bunga-bunga di taman keraton layu tanpa sebab bahkan Keraton Hastinapura sempat digoncang gempa. Prabu Pandu, Arya Widura, dan Maharesi Bhisma merasa heran. Di waktu yang sama pula salah satu gentong yang berisi potongan daging yang dilahirkan Dewi Gendari pecah dan keluar seorang bayi bertubuh besar. Saat Adipati Dretarastra menggendong putra pertamanya itu, sang bayi menangis karena melihat tangan ayahnya bergerak. Adipati Dretarastra merasa sangat senang karena putranya tidak tunanetra seperti dirinya. “Hari ini, putra tertuaku akan kuberi nama Suyudana.” Dewi Gendari juga menambahkan nama pada Suyudana “aku, ibu dari putraku ini, akan kuberi dia nama Kurupati”. Begitulah, setelah kelahiran kelahiran Raden Arya Bima dan Raden Suyudana, pada setiap harinya, keluarlah bayi-bayi dari dalam gentong, adik-adik Raden Suyudana. Gentong kedua pun pecah dan dari dalam gentong, keluarlah seorang bayi dengan wajah tertawa-tawa.
Lahirnya Raden Suyudana dari dalam gentong
Oleh Adipati Dretarastra diberi bayi itu nama Arya Dursasana. Pada hari berikutnya keluarlah dua bayi, lalu diberi nama Raden Citraksa dan Raden Citraksi. Lalu pada hari yang sama lahir pula satu  bayi bertubuh gempal, diberi nama Arya Durmagati. Lalu di hari esoknya lagi, keluar tiga bayi dan diberi nama Arya Kartamarma, Raden Wikarna, dan Arya Gardapati. Lalu di hari berikutnya keluar lagi satu bayi dan diberi nama Arya Bogadenta. Begitulah setiap hari, keluarlah bayi dalam gentong itu dan gentong terakhir pun pecah. Keluarlah seorang bayi perempuan. Dewi Gendari yang mengharapkan seorang putri merasa sangat gembira dan oleh ayahnya, diberi nama Dewi Durshilawati. Bersamaan dengan lahirnya Durshilawati, lahir pula putra Adipati Dretarastra dengan Nyai Sugada dan diberi nama Arya Wiwitsu. Demikianlah, kini genaplah anak-anak Adipati Dretarastra berjumlah seratus satu. Oleh paman mereka, Arya Suman, seratus bersaudara itu diberi julukan Kurawa yang artinya anak-anak Kuru (nama kecil Adipati Dretarastra).
Tiga tahun kemudian dan bersamaan dengan kehamilan Dewi Kunthi yang ketiga kali, Patih Gandamana dan Arya Widura diperintahkan Prabu Pandu untuk menjemput bungkus Arya Bima karena dia mendapat wangsit bahwa sang putra kedua akan segera keluar dari bungkusnya. Tanpa ba-bi-bu lagi, mereka segera menuju hutan Mandalasara. Tanpa sadar, Arya Suman menguntit mereka dan telah sampai lebih dulu di tempat Arya Bima. Arya Suman merasa bahwa kelak Arya Bima ini akan menjadi sandungan bagi keponakan-keponakannya meraih takhta, jadi dia harus membunuhnya sekarang. Baru saja hendak melaksanakan niat buruknya itu, tiba-tiba si bungkus berguling-guling ke arahnya dan mengejarnya kesana kemari hingga membuat keributan besar. Arya Suman dan orang-orang suruhannya pun berhamburan dan mengurungkan niatnya.
Setelah si bungkus diam, datang lah Batara Bayu, Gajah Sena*1, dan Batari Durga. Mereka datang untuk memberikan berkah pada Arya Bima dan membantu Arya Bima keluar dari bungkus. Didalam bungkus, Arya Bima yang sudah tumbuh menjadi anak-anak bersemedi. Batara Bayu dan Batari Durga pun masuk kedalam bungkus.
Berkah dewata untuk Arya Bima
Batara bayu memberikan berkah berupa kekuatan dan keperkasaan. Selain itu, Batara Bayu memberikan senjata berupa Kuku Pancanaka*2. Setelah itu Batari Durga memberikan sebuah kain sakral dan berbagai pakaian untuk Arya Bima, yaitu kain Poleng Bang Bintulu Aji*3, sanggul rambut berbentuk Garuda membelakang, Sumping Surengpati, Kalung Nagasasra, kain Cindhe Udaraga, dan gelang Kelat Bahu Candrakirana. Semua pakaian itu dipakaikan pada Arya Bima.
Setelah Batari Durga keluar, sebelum kembali ke kahyangan, Batara Bayu memerintahkan Gajah Sena untuk menghancurkan bungkus. Si Gajah Sena menginjak-nginjak, membanting, dan mengoyak si bungkus dengan gadingnya. Begitu bungkusnya robek, Arya Bima segera keluar lalu menyerang Gajah Sena. Begitu Arya Bima mematahkan kedua gading Gajah Sena, seketika itu pula, Gajah Sena menghilang dan berubah menjadi cahaya, kemudian cahaya itu masuk ke dalam tubuhnya dan bersatu jiwa raga dengannya . Tak hanya itu, gading sang gajah ikut musnah dan menyatu dengan Kuku Pancanaka nya. Tak lama kemudian datanglah ki Lurah Semar, Patih Gandamana, dan Arya Widura. Arya Bima kemudian menyerang Patih Gandamana dan Arya Widura. Patih Gandamana terkejut “kok aneh? Anak ini kok bisa menyerangku dan tenaga dalamnya besar begini? Siapa kamu, nak?” Arya Bima menjawab dengan gayanya yang lugas “kamu kan temennya Si Gajah tadi? Kamu pasti mau bunuh aku? Kalo bener, aku layani!!”. 
Arya Bima melawan Gajah Sena
Serangan Arya Bima dan Patih Gandamana yang sama-sama disertai Aji Bayu Bajra*4 sangat mantap hingga menyebabkan angin topan. Angin topan itu menerbangkan apa saja, begitu juga selaput bungkus Arya Bima hingga ke tengah laut. Kemudian Ki Lurah Semar melerai mereka “Raden ini pasti berhasil keluar dari bungkus? Raden, aku perkenalkan ini pamanmu, Arya Widura dan ini orang kepercayaan ayahmu, Gandamana dan aku pamomong ayahmu. Namaku Semar”Kemudian Semar menjelaskan pada Arya Bima siapa orangtua dan saudaranya. Arya Bima kemudian memberi salam dengan gaya lugasnya “salam, paman berdua. Maaf tadi aku gak tahu. Aku pikir paman berdua temennya si gajah Sena yang menyerangku”. Singkat cerita, Arya Bima berhasil diajak pulang oleh Patih Gandamana dan Arya Widura ke Hastinapura. Prabu Pandu merasa lega melihat putra keduanya berhasil keluar dari bungkusnya dengan selamat. Atas rasa syukurnya, Prabu Pandu memberi nama tambahan untuk putranya itu, yakni Arya Bratasena karena telah melakukan tapa brata sejak lahir.
Di tempat lain, di kerajaan Sindhu Banakeling, rajanya yang bernama Praburesi Sempani dan istrinya, Ratna Drata sedang bersemedi memohon pada dewata agar dikaruniai seorang pewaris takhta. Tiba-tiba datang wangsit dewata “ Sempani! Drata!bangunlah karena akan datang sarana kalian untuk bisa berputra. Bila kau menemukan selaput bayi bungkus di laut, ambil dan rendam didalam tampungan air hujan lalu minum dengan bungkus itu juga”. Tiba-tiba Praburesi Sempani dan Ratna Drata terbangun dan segera pergi ke pantai. Benar saja, mereka menemukan sebuah selaput bayi bungkus. Mereka lalu membawanya ke istana lalu merendamnya sehari semalam di dalam wadah berisi air hujan. Keesokannya mereka meminum air rendaman bungkus itu sebelum berhubungan badan. Ajaib, sebulan kemudian, Ratna Drata hamil.
Sembilan bulan berlalu begitu cepat, tibalah hari persalinan sang istri. Praburesi Sempani yang menungguinya tertidur dan mendapat penglihatan bahwa bungkus bayi yang mereka temukan tempo hari itu milik putra Prabu Pandu Dewanata yaitu Arya Bima Bratasena. Sang prabu terkejut dan langsung terbangun. Lalu seketika terdengarlah tangisan bayi dari dalam kamar bersalin. Ratna Drata melahirkan seorang anak laki-laki yang sehat. Praburesi Sempani yang segera memasuki kamar merasa bahagia sekali. “anakku ini ku beri nama, Bambang Jayadrata” Ratna Drata merasa bangga akan nama itu dan menambahkan nama lagi sambil menangis bahagia “untuk mengenangnya, karena kita menemukan sarananya untuk lahir di pinggir laut, aku akan memberinya nama Arya Tirtanata. Semoga kau akan selalu berjaya, anakku.”. Untuk merayakan kelahiran putra mereka, diselenggarakanlah pesta selapanan selama tujuh hari-tujuh malam di istana Sindhu Banakeling.

*1 Gajah Sena adalah gajah peliharaan Batara Bayu. Awalnya, Gajah Sena adalah manusia bernama Senarudra yang terkena tulah karena menghina Batara Ganesa yang berkepala gajah saat melawan melawan Prabu Nilarudrakala. Setelah wujudnya berubah, Gajah Sena diampuni dan oleh Batara Guru, diperintahkan menjadi abdi Batara Bayu.
*2 Kuku Pancanaka adlah dua belah kuku jempol panjang yang setajam pedang. Di kalangan para dewa, hanya Batara Bayu yang memiliki kuku ini. Kuku ini juga dimiliki oleh para tokoh Kadang Tunggal Bayu, yaitu orang yang pernah berguru, dibantu kelahirannya, atau sesama anak angkat Batara Bayu. Contohnya Kapi Hanoman dan Arya Bima.
*3 Kain poleng Bang Bintulu Aji adalah kain bermotif kotak-kotak. Biasanya hanya berwarna hitam dan putih, tapi terkadang juga berwarna hitam, putih, kuning, dan merah. Kain ini hanya dipakai oleh para dewa, terutama Batara Bayu dan Kadang Tunggal Bayu. Di pewayangan Sunda, kain ini juga dipakai oleh Semar (Ismaya). Lambang warna merah, hitam, kuning dan putih pada sebagian versi bermakna empat nafsu manusia,yaitu amarah (pelampiasan emosi negatif), aluamah( nafsu badaniah), supiah(nafsu seks, birahi, dan hedonisme), dan mutmainah (spiritualisme, kesucian). Ada pula yang mengatakan merupakan lambang empat unsur alam, yaitu air, bumi/tanah, api, dan udara.
*4 Aji Bayu Bajra adalah ajian andalan Batara Bayu dan para Kadang Tunggal bayu. Ajian ini mirip dengan aji Sepiangin, yakni mampu membuat pemakainya bisa berlari sekencang angin dan menciptakan angin topan, hanya saja ajian ini lebih dahsyat karena mampu mengumpulkan seluruh kekuatan angin pada kepalan tangan sehingga bila terjadi adu pukul/tanding dengan tangan kosong, pukulan tersebut bisa menjadi sangat mantap.