Kamis, 27 Juli 2023

Sri Pancasena Takon Rama

Hai semua pembaca dan penikmat kisah-kisah pewayangan. Kisah kali ini kembali mengulik kisah lintas gagrak, yakni gagrak Banyumasan. Kisah ini menceritakan perjalanan putra kelima Arya Wrekodara alias Bhima yaitu Sri Pancasena, anak Bhima yang lahir dari seorang putri pendeta bernama Endang Sri Giyanti lewat ajian Rabi Batin. Kisah ini juga menceritakan penyalamatan Arya Wrekodara dari penumbalanyang dilakukan Prabu Bayu Kusuma, raja Jongbiru. Kisah ini mengambil sumber dari rekaman video pagelaran lakon "Sri Pancasena Takon Rama " Ki Kukuh Bayu Aji.

Alkisahnya, di sebuah kerajaan bernama Jongbiru diperintah oleh sang raja yang bernama Prabu Bayu Kusuma dengan patihnya, Patih Liman Yaksha. Kabarnya negara itu terkena paceklik dan pagebluk. Lalu datanglah Patih Sengkuni dan Begawan Dorna ke sana untuk melihat negara baru itu. Begawan Dorna lalu berkata " wah wah.ela elo...emprit Ganthil...eehh emprit ganthil.....ada cara untuk menghentikan pagebluk dan paceklik ininl....anak prabu harus mengorbankan kepala dan kepala itu yakni kepala Panegak Pandawa, murid kinasihku Wrekodara Bhima." Begawan Dorna nampaknya tak merasa bersalah berkata demikian. Prabu Bayu Kusuma berkata " le lah...bapa resi...aku ini raja negara baru...aku gak isok membunuh orang begitu saja dengan alasan pagebluk saja...apalagi kita tahu kalau Wrekodara itu orang sakti, kuat,dan perkasa. Kau bilang juga dia termasuk murid kinasihmu yang terkuat. Bagaimana caranya dia bisa dikalahkan?" " Makanya itu, aku sudah siap dengan pertanyaan anak prabu. Aku punya murid yang punya dendam sama Wrekodara...." Lalu muncullah sosok tinggi besar berpakaian apik. Ia lah Prabu Baranjana, adik dari prabu Kirmira, raja Ekacakra. Kirmira dan Baranjana merupakan putra Prabu Baka, raja yang pernah dikalahkan Wrekodara saat dalam pengembaraan setelah berhasil selamat dari pembakaran istana Bale Sigala-gala. Prabu Baranjana siap untuk menghabisi Wrekodara kapan saja. Maka ia setelah mendapat titah dari Prabu Bayu Kusuma, ia pun segera berangkat ke Amarta tepatnya ke Kadipaten Jodipati.

Prabu Baranjana berangkat bersama pasukan Yaksha bertemu dengan Hanoman, saudara tunggal Bayu dari Wrekodara. Hanoman bertanya pada sang raja Yaksha itu "hooii, raja Yaksha. Hendak kemana engkau? Jangan membuat rusuh." Prabu Baranjana dengan penuh dendam berkata dengan lugas " hoi Hanoman, aku tak punya urusan denganmu. Aku punya urusan dengan Wrekodara. Dia sudah membunuh ayahku, Prabu Baka. Sekarang dia harus merasakan hal yang sama. Akna kupenggal kepalanya dan ku tanam kepala itu di negara Jongbiru." Hanoman murka mendengarnya. Terjadilah pertarungan antara Hanoman melawan Prabu Baranjana dan pasukan Yaksha. Awalnya para pasukan Yaksha berhasil dipukul mundur namun ketika Prabu Baranjana maju, ia mengeluarkan senjata saktinya yakni Limpung Rucit. Ketika diarahkan ke tubuh Hanoman, seketika muncul gelombang kejut yang membuat Hanoman terpental jauh ke atas pohon. Gelombang kejut itu juga turut menyedot seluruh kekuatan Hanoman. Saking kuatnya, Hanoman jadi sangat lemas bahkan tidak sanggup melepaskan diri dari cabang pohon dan akar rambat yang menjeratnya. Prabu Baranjana pun meninggalkan Hanoman sendirian terjebak di sana.

Sementara itu, di padepokan Cendana Wasiat, tersebutlah seorang resi bernama Begawan Sridewa bersama cucunya, Sri Pancasena. Setelah sang ibu, Endang Sri Giyanti berpulang, Sri Pancasena selalu bertanya-tanya dalam hati siapa dirinya. Dimanakah ayahnya dan bagaimana ayah dan ibunya bisa bertemu. Keingintahuan itu tak lagi bisa dibendung maka ia bertanya kepada kakeknya " ampun eyang resi, aku sudah lama ingin menanyakan ini. Aku tidak bisa menahannya lagi. Katakan siapakah ayahku dan bagaimana ayah dan ibu bisa bertemu." Begawan Sridewa kaget namun ia sudah menduga pertanyaan itu cepat atau lambat akan datang. Sudah saatnya sang cucu tahu siapa dirinya. Begawan Sridewa lalu berkata " cucuku, sebenarnya kakekmu ini berat untuk bercerita tapi sudah saatnya kamu harus tau siapa ayahmu. Ayahmu adalah Bratasena atau Wrekodara. Nama asli ayahmu yakni Raden Harya Bhima. Ayahmu adalah anak kedua Prabu Pandhu Dewanata, raja Hastinapura. Uwakmu adalah raja Amarta, bernama Prabu Yudhistira sedangkan pamanmu ada tiga yakni Arjuna, Nakula, dan Sadewa. Mereka mendirikan negara bernama Amarta. Kamu putra kelima dari enam anak Wrekodara." Sri Pancasena bertanya siapa saja saudaranya.

Begawan Sridewa mewariskan Ajian Sasragundala
Begawan Sridewa menjawab "cucuku... saudaramu ada lima.Mereka adalah Antareja, kakakmu sulung dari ibu Nagagini, lalu kakangmu yang nomor dua Gatotkaca dari ibu Arimbi, lalu kakang Antasena dari ibu Urangayu, kakang Srenggini dari ibu Rekathawati dan yang terakhir adalah adhimu Dewi Bimandari dari ibu seorang bidadari." Bambang Sri Pancasena pun terkejut" Bagaimana mungkin itu, kakek? Selama ini aku mengira aku adalah anak haram hasil zina. tapii.....duh dewata......takdir apakah ini....bagaimana caranya ayah dan ibu bisa bertemu padahal jarak Amarta dan desa kita sangat jauh?"

Lalu Begawan Sridewa bercerita bagaimana ayah dan ibunya bisa bertemu.

Dikisahkan sekitar 15 tahun yang lalu, Arya Wrekodara pernah melakukan tapa brata dan mendapatkan ilmu berupa ajian yakni Ajian Rabi Batin. Dengan ajian ini, orang yang mengamalkannya bisa menikah dan melakukan hubungan suami-istri tanpa saling bertemu secara fisik, melainkan jiwa atau sukmanya yang bertemu di alam mimpi. Arya Wrekodara pun mencoba ajian ini. Tak lama setelah merapal ajian, ia pun tertidur dan sukmanya mengembara. Kebetulan ada juga orang yang mencoba ajian Rabi Batin ini. Yakni Endang Sri Giyanti, putri Begawan Sridewa dari Cendana Wasiat. Sukma Wrekodara dan Sri Giyanti pun saling bertemu. Keduanya saling suka dan saling cinta. Mereka pun bersatu di alam mimpi. Mereka berdua berada di atas ranjang terbaik dengan kasur dan bantal empuk layaknya kapas, berlapiskan kain sutra dan mastuli, dan kelambu dari kain linen dengan renda-renda cindhe berwarna-warni tengah melakukan hubungan suami-istri dengan sangat bergairah, selayaknya pasangan di saat malam pertama setelah pernikahan. Keduanya memuaskan dan menumpahkan rasa masing-masing. Setelah sama-sama puas, mereka pun bergegas membersihkan badan. Setelah itu, tau-tau sudah berganti babak mimpi. Kejadian meloncat seolah sudah empat bulan setelah hubungan itu. Endang Sri Giyanti tau-tau sudah mengandung empat bulan. Sang putri Cendana Wasiat itu takut dan cemas karena dengan ajian Rabi Batin pula, ia akan bisa punya anak. Masalahnya jika ia bilang ia dapat anak itu dari mimpi, orang-orang akan menganggapnya gila. Ia minta Wrekodara bertanggungjawab "kakanda, bagaimana ini kakanda? Aku harus bilang apa pada bapa resi dan penduduk Cendana Wasiat? Tiba-tiba anak seorang resi hamil tanpa kawin. Kumohon kanda datang juga di alam nyata untuk bertanggungjawab. " Arya Wrekodara pun berpikir hal yang sama. Mereka berdua pun berpisah dan terbangun dari mimpi masing-masing. Arya Wrekodara lalu menuju ke padepokan Cendana Wasiat. Keduanya pun saling bertemu di alam nyata dan saling bertukar rindu. Keduanya kemudian betul-betul menikah secara lahir dan batin di alam nyata. Sejak hamil empat bulan itu hingga bulan ke sembilan, Arya Wrekodara menemani Sri Giyanti dengan sangat mesra dan penuh kasih sayang namun mendekati hari kelahiran si jabang bayi, tiba-tiba datang panggilan dari Amarta. Mau tidak mau, Arya Wrekodara harus kembali. Sebelum ia pergi, ia membuat sebuah permintaan kepada isterinya itu " waaa....Dindaku Sri Giyanti.....dindaku yang ayu, comel, dan molek.......kakandamu iki kudu balik ke Amarta..aku gak isok lihat anak kita lahir....ne' anak kita lahir, namai dia Sri Pancasena. Sri itu dari namamu, Panca itu lima dan Sena itu namaku. " Sri Giyanti pun mengingat permintaan sang suami. Tak lama setelah itu, Endang Sri Giyanti melahirkan seorang anak laki laki. Sesuai permintaan sang suami, anak itu diberi nama Sri Pancasena.

Begitulah, Begawan Sridewa menceritakan kisah pertemuan ayah dan ibu sang cucu. Kini, sudah bulat tekad Sri Pancasena bertemu sang ayah. Ia memohon untuk bertemu sang ayah. Begawan Sridewa merestuinya. Ia hanya mampu mendoakan keselamatan untuk sang cucu. Sebelum pergi Begawan Sridewa meminta Sri Pancasena mengulurkan tangannya. Seketika seberkas cahaya keluar dari tubuhnya dan manjing ke telapak tangan Sri Pancasena. Begawan Sridewa menjelaskan " cucuku, aku sudah memberikan ajian daktuku padamu. Ajian ini bernama Sasragundala. Bila kau gunakan ajian ni, maka tanganmu bisa menciptakan tebasan cakar tajam dan dalam. Jika diarahkan ke udara, bisa membuat gelombang kejut berbentuk cakar tajam. Tapi ingat, jangan adigang adigung adiguna. Gunakan ajian ini untuk menolong orang." "Baik, kakek resi. Pesanku akan selalu ku ingat. Cucumu berangkat, ngghi." Berangkatlah Sri Pancasena menuju Amarta.

Sementara itu, Kadipaten Jodipati geger. Arya Wrekodara tiba-tiba menghilang padahal ia sedang sakit keras karena tiba-tiba kehilangan kuku Pancanaka nya. Para putra Wrekodara yakni Arya Antareja, Arya Gatotkaca, Arya Antasena, dan Prabuanom Srenggini bergegas mencari keberadaan ayah mereka. Ketika melewati sebuah hutan mereka mendengar suara tebasan lalu suara barang jatuh. Mereka segera menuju asal suara itu. Begitu sampai di sumber suara, mereka melihat ada seorang pemuda dan Resi Hanoman yang sedang lemas. Mereka mengira pemuda itu mencelakai Hanoman. Gatotkaca dengan nada tinggi berkata" heii...apa yang kau lakukan pada paman Hanoman?" Pemuda itu berkata" Aku tidak melakukan apapun, aku hanya menolongnya saja." Prabuanom Srenggini tidak percaya " kau pasti dusta. Kau hendak mencelakai paman Hanoman. Mengaku saja!" Pemuda itu rupanya Sri Pancasena, terus mengatakan yang sebenarnya kalau dia tidak punya niat apa-apa. Ia hanya ingin ke Amarta. Murkalah mereka mengira ia lah penculik sang ayah. Antareja berkata " sudah, adhi-adhiku, hajar dia sampai dia mengaku." Maka terjadilah perang tanding antara para putra Wrekodara. Kekuatan tiga pemuda itu menggemparkan jagat, hanya Antasena saja yang tidak ikut ikutan. Ia membantu Resi Hanoman.

Perang tanding tiga lawan satu itu berlangsung sangat sengit. Gatotkaca membuat angin kencang dan Antareja mengangkat bongkahan tanah dan batu lalu menghancurkannya. Tanah beterbangan dibawa angin. Srenggini lalu menembakkan sambaran petir. Tercipta badai debu yang menghalangi .namun serangan mereka bertiga mentah dan memantul balik ketika mengenai aji Sasragundala milik Pancasena.

Serangan ajian Sasragundala membalikkan serangan tiga putra Wrekodara
Ketiga pemuda itu terombang-ambing terbawa angin dan sambaran kilat. Lalu datang kakek Semar dan para Punakawan. Kakek Semar melihat para kakak dan adik Antasena bertarung dengan seorang pemuda. Antasena menceritakan semuanya. Kakek Semar segera berlari dan melerai pertikaian itu. " Helah salah lo le salah.....jangan bertengkar, jangan main hakim sendiri.......kita tanya dulu baik-baik siapa anak ini." Ketiga putra Wrekodara pun menghentikan pertarungan dan kakek Semar memberikan kesempatan pemuda itu bicara. Pemuda itu memperkenalkan dirinya. "Aku Sri Pancasena. Aku berniat ke Amarta demi bertemu ayahku, Arya Wrekodara alias Bratasena. Nama aslinya Raden Bhima, putra Pandhu dan Kunthi. Ibuku Sri Giyanti. Kakangku ada empat, Antareja, Gatotkaca, Antasena, Srenggini dan adhiku yang perempuan namanya Bimandari." Kagetlah keempat putra Wrekodara itu. Mereka punya lagi satu orang saudara. Kakek Semar dan Resi Hanoman pun menceritakan asal-usul Pancasena. Antasena lalu berkata pada Sri Pancasena kalau ayah mereka menghilang. Resi Hanoman pun berkata " pasti ini ulah Baranjana. Dia pasti sudah membawa adhi Wrekodara ke negara Jongbiru untuk jadi tumbal raja Bayu Kusuma." Para putra Wrekodara pun geram mendengarnya. Mereka segera berangkat ke negara Jongbiru.

Di negara Jongbiru, Arya Wrekodara dalam keadaan tidak berdaya mengumpat prabu Baranjana " wooo....Baranjana! Bajingan kau!" Prabu Bayu Kusuma pun senang sangat dengan keberhasilan Prabu Baranjana. Prabu Bayu Kusuma lalu berniat menyembelih sang Panegak Pandawa. Ketika senjata sang prabu hampir mengenai lehernya, datang para putra Wrekodara membuat kekacauan. Prabu Baranjana maju menyerang mereka. Gatotkaca lalu menerbangkan para prajurit ke udara...lalu Srenggini memutar-mutar capitnya lalu membuat ajian Guntursewu. Meledaklah petir dan kilat menyambari para prajurit itu di udara. Antareja masuk ke tanah dan membuat celah tanah sehingga langkah Prabu Baranjana kewalahan karena harus bolak balik terperosok tanah ambles. Antasena dan Pancasena ikut membantu. Sesungut udang dan ajian tapak Tirtastra milik Antasena berhasil menghanyutkan sekaligus menyetrum para pasukan Jongbiru di dalam air dan cakaran tapak aji Sasragundala milik Pancasena menghasilkan gelombang kejut yang membuat para prajurit yang tersisa kucar kacir sekaligus membebaskan Arya Wrekodara. Kelima putra Wrekodara itu segera menyatukan kekuatan mereka dan berhasil mengalahkan prabu Baranjana hingga tewas. Arya Wrekodara lalu mendekati Pancasena dan berkata "wooo...apa iki anakku? Kau anak Sri Giyanti kan?" Pancasena mengiyakan. Arya Wrekodara bersyukur " wooo...aku senang , anakku...akhire kita bisa bertemu.”Arya Wrekodara memeluk putra kelimanya lalu berkata Wooo...ayo nak, bantu kakang-kakangmu..." patih Liman Yaksha dan Prabu Bayu Kusuma membalas kematian Prabu Baranjana menyerang para putra Wrekodara. Lalu sang Panegak Pandawa maju dan menghajar Prabu Bayu Kusuma dan Patih Liman Yaksha. Patih Liman Yaksha pun tewas lalu bertukar wujud jadi kuku Pancanaka. Begitu kuku itu didapat kembali, dengan mudah pula Prabu Bayu Kusuma dikalahkan. Seketika tubuh Prabu Bayu Kusuma lenyap bertukar sebagai cahaya dan merasuk ke tubuh Arya Wrekodara.

Pancasena bertemu kembali dengan ayahnya
Datanglah suara dari langit berkata kalau sebenarnya minggatnya Kuku Pancanaka dari Wrekodara untuk menyambut Ajian Bayu Langgeng yang telah turun ke dunia. Sekarang setelah Kuku Pancanaka kembali ke pemiliknya, maka Ajian Bayu Langgeng pun ikut merasuk ke pemilik sebenarnya. Wrekodara bahagia karena selain mendapat ajian baru, ia dapat bertemu dengan putranya yang nomor lima. Mereka pun bersama-sama pulang ke Jodipati dan mengadakan pesta syukuran menyambut kedatangan Sri Pancasena.

 

Sabtu, 22 Juli 2023

Wisatha Krama

Hai semua pembaca dan penikmat kisah pewayangan. Kisah kali ini mengisahkan pernikahan putra pertama Prabu Baladewa (Balarama) yakni Arya Wisatha (Nisatha) dengan Dewi Nilasari, putri Arjuna. Demi menikahinya,Arya Wisatha harus mendapatkan benda dari seekor burung legendaris yakni Garudha Sempati. Kisah ini mengambil sumber dari blog albumkisahwayang.blogspot.com dan beberapa sumber di internet.

Prabu Baladéwa (Balarama) dihadap dua putranya yakni Arya Wisatha dan Arya Walmuka (Ulmukha). Patih Pragota dan Patih Prabawa juga datang di sana. Mereka membahas tentang rencana pernikahan putra pertamanya, Arya Wisatha (Nisatha). Sang raja Mandura menasehati putranya agar segera menikah karena para sepupunya sudah pada menikah. Sudah saatnya sang putra mahkota Mandura punya sesandhingan. Arya Wisatha berkata " bapa, aku harus menikahi siapa, sedangkan aku aja begini. Ananda belum kerasa pantas." Prabu Baladewa mengatakan" nak, ku dengar pamanmu, Arjuna punya satu anak cewek lagi, Nilasari namanya. Coba kita kesana melamar dia". Maka berangkatlah Prabu Baladewa dan Arya Wisatha ke Madukara. Di tengah jalan, mereka bertemu Prabu Danuasmara alias Bambang Partajumena, putra sulung Prabu Kresna. Ia mendapat tugas dari sang ayah, Prabu Kresna untuk menemani Arya Wisatha.

Sementara itu di Madukara, Arjuna kedatangan Patih Sengkuni dan Begawan Dorna yang ingin melamarkan Raden Lesmana Mandrakumara dengan Endang Nilasari. Arjuna hendak menerima lamaran itu, tapi datanglah Prabu Baladewa, Prabu Danuasmara dan Arya Wisatha membawa hasil bumi Mandura yakni madu dan susu terbaik. Mereka punya keinginan yang sama yakni melamar Endang Nilasari. Patih Sengkuni mengejek Prabu Baladewa " lah elah dalah....anak prabu baru kali ini berani datang hendak menjodohkan putramu. Sepertinya kau dan putramu itu baru mengenal cinta." Prabu Baladewa marah anaknya disepelekan" heeh...paman patih...asih mending anakku masih mau melamar bersamaku daripada anak mas Lesmana. Kepingin punya istri tapi gak mau datang sendiri." Perdebatan tak berfaedah itu baru berhenti setelah Arjuna menengahi " cukup paman patih! Kakang Balarama! Lebih baik kalian tanya saja apa keinginan putriku". Arjuna pun memanggil sang putri Endang Nilasari dan bertanya seperti apa calon suaminya. Endang Nilasari lalu menyampaikan isi hatinya " hadirin sekalian...aku Nilasari tidak menginginkan pertumpahan darah antar saudara di sini. Aku disini untuk memberitahu siapa calon suamiku. Calon suamiku harus lah yang bisa membawa payung sakti milik Garuda Sempati, Wulu Garuda Layang. Jika salah satu dari kalian sanggup membawanya untukku, aku bersedia menikah." Patih Sengkuni dan Prabu Baladewa menyatakan sanggup. Mereka pun segera pergi untuk memenuhi syarat dari Endang Nilasari.

Sementara itu, raja Timbul taunan yakni Prabu Durgamakara dilanda angsu kepada Endang Nilasari. Sang prabu bertanya siapa Nilasari itu kepada patihnya, Patih Karadurgama. Sang patih berkata " Nilasari itu putrinya Arjuna, seorang dari pangeran Pandawa Lima dari Amarta. Begitulah setahuku." Prabu Durgamakara kurang puas lalu ia bertanya pada embannya, Emban Durgamangrusit. Sang emban berkata "orang yang kau cari itu benar putri Arjuna. Sama seperti ayahnya, Nilasari memang cantik sekali, mewarisi ketampanan ayahnya. " Begitu mendengar kalau Endang Nilasari sangat cantik, ia menggebu ingin menculiknya dari Arjuna. Maka ia berangkat bersama dengan patih dan embannya ke Madukara. Di tengah jalan, mereka bertemu dengan rombongan Hastinapura yang baru saja keluar dari Madukara. Terjadi pertempuran yang sengit. Prabu Durgamakara dan Patih Karadurgama melarikan diri lalu bertemu dengan rombongan Mandura. Namun dengan mudahnya, rombongan dari Mandura membuat pasukan Timbultaunan jadi ketar-ketir. Emban Durgamangrusit memutuskan akan membantu sang raja dengan menculik Nilasari secara diam-diam.

Sepeninggal mereka dari istana Madukara, Prabu Baladewa lalu berkata pada putranya untuk menemui Resi Jembawan, kakek Bambang Gunadewa dan Radèn Samba. Sebagai resi yang dekat dengan para hewan pasti ia tahu tentang Garuda Sempati dan Payung Garuda Layang. Maka berangkatlah Arya Wisatha dan Prabu Danuasmara menuju Astana Gandamadana. Singkat cerita, mereka pun sampai di Astana leluhur Mandura itu. Setelah beramah tamah dengan Bambang Gunadewa, mereka menyampaikan maksud kedatangan mereka. Resi Jembawan lalu berkata " anakmas Partajumena dan Wisatha, kalau ingin mencari Garuda Sempati, coba cari ia di Kutharunggu. Aku dengar ia berada di sana bahkan sebelum kedatangan Begawan Kesawasidhi dan Begawan Wibatsuh ke sana." Arya Wisatha dan Prabu Danuasmara berterima kasih kepada kakek resi lalu mereka pamitan untuk berangkat mencari Garuda Sempati. Namun tanpa disadari, Patih Sengkuni dan rombongan Hastinapura sudah mencuri dengar pembicaraan mereka. Mereka pun segera pergi buat mendahului Arya Wisatha dan Prabu Danuasmara.

Benar saja, Patih Sengkuni, Begawan Dorna, para Kurawa, dan Radèn Lesmana Mandrakumara sudah sampai duluan di bukit Kutharunggu. Di sana mereka mendapati seekor burung kecil gundul. Burung kecil itu berkata kalau dia Garuda Sempati. Raden Lesmana Mandrakumara dengan agak jijik mendekat lalu berkata pada burung kecil itu "Sempati, serahkan Payung Garuda Layang padaku. Akan ku beri harta kekayaan berlimpah-limpah untuk mengurus tubuh gundulmu." "Maaf, pangeran muda. Aku sudah tidak tertarik dengan harta. Kalau kamu semua ingin mendapatkan payung Garuda Layang, kalian harus bisa bertahan dari kepakan sayapku." Burung kecil jelmaan Sempati pun mengepakkan sayapnya yang tanpa bulu. Raden Lesmana Mandrakumara dan para Kurawa tertawa dengan tingkah konyol burung gundul itu. Tapi mendadak datang angin kencang menderu dari kepakan sayap Sempati menghempaskan apa saja. Wujud Sempati juga ikut berubah jadi burung raksasa. Kekuatan kepakan sayapnya makin kuat dan angin pun semakin kencang. Para Kurawa, Raden Lesmana Mandrakumara dan yang lainnya tak kuat menahan terpaan angin itu lalu mereka terhempas hingga jauh meninggalkan bukit Kutharunggu.

Tak lama kemudian, datang Arya Wisatha dan Prabu Danuasmara. Mereka memberi hormat kepada burung tua itu. Arya Wisatha lalu mengutarakan maksud kedatangannya " ampun, Hyang Sempati....kedatanganku dan saudaraku ini untuk meminjam payung Garuda Layang sebagai syarat pernikahanku." Garuda Sempati senang dengan sikap sopan Wisatha dan Danuasmara.

Garudha Sempati menguji Wisatha dan Danuasmara
Tapi mereka berdua harus tetap diuji agar tau apakah mereka pantas atau tidak. Arya Wisatha dan Prabu Danuasmara tidak keberatan untuk diuji. Maka Garuda Sempati mengepakkan sayapnya yang gundul itu. Angin kencang menderu dengan kuat. Namun kedua pemuda itu tetap teguh tak mampu digoyahkan. Lalu Garuda Sempati berubah ke wujud aslinya yakni sebagai burung raksasa dan tetap mengepakkan sayapnya. Angin pun semakin kencang berhembus bagaikan taufan badai. Namun, kedua pemuda itu menyambut dengan cara berdiri tegak sambil mengheningkan cipta. Semakin kuat kepakan sayap Garuda Sempati, semakin kuat pula kaki mereka menapak di tanah. Garuda Sempati menghentikan kepakan sayapnya dan kedua pemuda itu dinyatakan lolos ujian. Sang Garuda menyerahkan payung Garuda Layang kepada mereka. Rupanya payung itu terbuat dari bulu-bulu Garuda Sempati yang sempat tercecer akibat dicabuti Prabu Rahwana. Arya Wisatha berjanji akan mengembalikan payung sakti ini kalau sudah selesai pernikahan.

Di tengah jalan, Arya Wisatha dan Prabu Danuasmara dikepung pasukan Kurawa. Mereka berdua berusaha mempertahankan payung Garuda Layang. Prabu Danuasmara berkata pada sepupunya itu " Adhi, pinjam sebentar payungnya. Aku punya ide." Arya Wisatha segera melemparkan payung itu ke tangan Danuasmara. Begitu payung dibuka dan dikibas-kibaskan, tiba-tiba angin puting beliung datang menderu, menerbangkan apa saja termasuk para Kurawa dan rombongan. Mereka pun terlempar jauh kembali ke Hastinapura. Singkat cerita, hari pernikahan antara Wisatha dan Nilasari tiba. Mempelai pria datang dipayungi sang adik, Arya Walmuka dengan payung Garuda Layang. Di belakangnya ada Prabu Baladewa, Prabu Kresna dan keluarga besar Yadawa. Di tengah kebahagiaan itu, Endang Adiningsih yang tak lain ibu dari Endang Nilasari berlari panik lalu ia berkata " aduh...suamiku...ketiwasan....putri kita diculik raksasi...duhh Hyang Widhi...Bagaimana ini, suamiku?" Arjuna menenangkan isterinya itu. Arya Wisatha marah mendengar penculikan calon istrinya itu. Maka ia segera mengejar si penculik itu disusul Prabu Danuasmara dengan membawa payung Garuda Layang.

Penculik Endang Nilasari tidak lain adalah Emban Durgamarungsit dan Patih Karadurgama. Ia membawa gadis tersebut kepada Prabu Durgamakara yang menunggu di perbatasan Amarta. Melihat mereka datang, Prabu Durgamakara menyambut dengan gembira. Endang Nilasari ketakutan dan meronta minta dibebaskan. Pada saat itulah Wisatha dan Danuasmara muncul melabrak sang raja Timbultaunan. Pangeran mahkota Mandura itu pun bertarung satu lawan satu denran Prabu Durgamakara. Dalam pertarungan sengit tersebut, Arya Wisatha segera membuka payung Garuda Layang dan mengibas-kibaskan payung itu. Seketika Prabu Durgamakara terhempas angin hingga kepalanya pecah membentur batu. Tewaslah sang raja Timbultaunan. Patih Karadurgama dan Emban Durgamangrusit tidak terima atas kematian raja mereka. Keduanya pun maju menyerang. Arya Wisatha segera melindungi Endang Nilasari, sedangkan Prabu Danuasmara berhasil menewaskan kedua lawannya tersebut. Keadaan telah aman. Endang Nilasari berterima kasih atas pertolongan calon suaminya. Arya Wisatha dan Prabu Danuasmara pun mengantarnya kembali ke Madukara. Sesampainya di sana, mereka disambut Radèn Arjuna, Prabu Baladewa, dan para hadirin lainnya. Arya Wisatha dan Endang Nilasari lalu dinikahkan di bawah kemegahan Payung Garuda Layang.

 

Sabtu, 15 Juli 2023

Antasena Rabi

 Hai semua pembaca dan penikmat kisah pewayangan, kisah kali ini menceritakan pernikahan putra ketiga, Arya Wrekodara, Arya Antasena dengan Janakawati, salah seorang putri Arjuna. Kisah ini mengambil sumber dari blog https://caritawayang.blogspot.com/2013/03/antasena-rabi.html dan jurnal karya Krystiadi berjudul "Perjodohan Antasena dengan Manuwati dalam Lakon Antasena Rabi Ki Anom Suroto, Kajian Mitologi Ritual" dengan tambahan, perubahan, penggubahan, dan penyelarasan seperlunya.

Diceritakan, Arya Wrekodara sedang memikirkan anak-anaknya. Diantara anak-anaknya, yang belum menikah tinggal Arya Antasena, Prabuanom Srenggini, dan Dewi Bimandari. Sementara itu salah satu putri Arjuna yakni Dewi Janakawati sudah siap menikah. Karena Srenggini belum cukup umur dan pengalaman untuk menikah, maka diputuskan kalau Antasena saja yang akan menikah dengan Janakawati. Ia memanggil anaknya itu "Antasena! Ayo melu bapak.....ke Madukara" Antasena bertanya hendak mau apa. Arya Wrekodara berkata " melu ae, Antasena....awakmu arep ta' nikahkan sama Janakawati. Ta' lihat-lihat, kecuali adhimu Srenggini karo Bimandari, tinggal kamu yang belum berumah tangga." Antasena kaget kok tiba-tiba ia mau dijodohkan "sek-sek pak.....dudu aku gak menghargai, ya. Tapi aku sek rung gelem berumahtangga. Isin aku, pak. Antasena sek rung siap apa-apa, rung siap bandha, rupa ku yo ngene, seneng mblakrak. Pokoke gak husband-able" Arya Wrekodara memberikan nasehat "ojo khawatir, aku yo pas nikah sama ibumu ya ibu kakangmu Antareja ya rupa ngene, bandha ra ndue. Pas nikahan yo dikreceki. Masa pengantin gak mau duduk" Antasena meledek bapaknya " yo pantes pak..." " Pantes apane?" Antasena berseloroh "pantes dikrecek" Wrekodara diledek anak sendiri langsung reflek memukul Antasena. Merekapun berangkat ke Madukara sambil guyon.

Sementara itu, di balairung keraton Hastinapura, Prabu Duryudhana dihadap oleh putranya, Raden Lesmana Mandrakumara, Patih Sengkuni, Begawan Dorna, dan Adipati Karna. Mereka membahas tentang perjodohan antara Antasena dengan Janakawati. Sang pangeran mahkota cengeng itu merajuk " Yah...ayah....Adhi Antasena mau ngrebut Janakawati. Kalo gini terus, aku kapan nikahé yah.....masa' aku harus dadi jaka tuwa? Tolong lah yah....nikahkan aku sama Dinda Janakawati." rengek Lesmana. Prabu Duryudhana lalu berkata " anakku ngger....awakmu sudah dewasa. Sudah saatnya cari jodoh sendiri. Kau datang ke Madukara, ke pamanmu Arjuna. Coba nego-nego siapa tau bisa diajak main halus pamanmu itu." Raden Lesmana Mandrakumara menurut dan berangkat ke Madukara ditemani Begawan Dorna, Patih Sengkuni, dan Arya Dursasana beserta 50 adik-adiknya beserta prajurit mereka sambil membawa uang dan harta karun yang banyak. Di tengah perjalanan mereka berjumpa dengan rombongan Prabu Dewakuramba dari Nusamudha yang juga ingin mempersunting Dewi Janakawati. Mereka pun berperang. Pihak Hastinapura kelabakan memilih ke Madukara lewat jalan berlainan.

Sesampainya di Madukara, Arjuna dihadap kakek Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong bersama sang putri, Janakawati menyambut kedatangan Arya Wrekodara, Arya Antasena, dan Patih Gagakbaka Antasena lalu memanggil sepupu cantiknya itu " Janakawati, sini dindaku" Dewi Janakawati lalu turun " baik kakangku." Mereka pun saling bertatap pandang. Janakawati perlahan melihat ada sesuatu yang beda dan membuatnya jatuh hati pada Antasena. Dibalik muka masa bodoh dan keluguannya, Antasena menyimpan kecerdasan dan kebaikan hati. Dewi Janakawati mencoba dekat dan mengakrabkan diri. Menyadari ia didekati seorang gadis, entah kenapa Antasena pun seketika dag dig dug serr di jantungnya " waduuhh, perasaan apa iki? Kok rasane campur aduk ngene. Dilihat-lihat, dinda Janakawati kayak menaruh rasa. Apa aku terima ae?" Tak lama kemudian, datang rombongan dari Hastinapura. Mereka segera memberi salam. Setelah berbasa-basi, Patih Sengkuni mewakili mereka mengutarakan niat untuk mempersunting Dewi Janakawati untuk Raden Lesmana Mandrakumara. Sang pangeran Hastinapura itu lalu mendekat kepada Antasena dan berkata " Adhi Antasena....wes ya.... urungkan niat Adhi nikah sama Dinda Janakawati. Adhi minta uang berapa ta kasih, bahkan istana Sarojawinangun ta berikan." Arya Wrekodara marah karena putranya mau disogok namun ditahan oleh Antasena. Antasena berkata "waduh...waduh....kangmasku Lesmana...terima kasih banget ya...." Lalu Antasena menjegal kaki si pangeran manja itu hingga membuatnya jatuh ke kolam air. Terjadilah keributan dan pertengkaran. Belum habis pertengkaran antara pihak Jodipati dengan Hastinapura, datang Prabu Dewakuramba memiliki keinginan yang sama. Pihak Hastinapura tidak terima kalau ada satu saingan lagi. Mereka langsung bertengkar dengan rombongan negara Nusamudha. Sementara bapak dan para patihnya masih bertengkar tak berfaedah, Antasena memilih diam saja sampai ngopi santuy bersama Abimanyu dan para putra Arjuna lainnya "Abimanyu, iki kopine kurang pahit...coba tambahna maneh kopine." "Oh ya kakangku.." Antasena lalu ngajak ngobrol Brantalaras soal pernikahannya. “adhi Brantalaras, yaapa pernikahanmu? Yaapa persiapanmu waktu iku, kok isok seyakin itu karo dinda Karnawati?” Brantalaras hanya berkata "ya begitulah kakangku....menikah yo bukan sekedar siap bandha, siap rupa, siap wasis, tapi juga siap komitmen, komunikassi, dan cinta yang tulus." " Owalah ngunu tha, Brantalaras...ok ok aku paham..."

Sementara itu, keributan semakin menjadi-jadi. Arjuna berusaha menenangkan namun Dewi Janakawati segera berdiri di depan hadirin dan berkata "hadirin semuanya, aku disini sebagai tuan rumah sudah memberikan keputusanku. Untuk menentukan siapa yang pantas menjadi suamiku, aku akan membuat sayembara tanding. Siapa yang bisa menahan perbawa dariku, dia yang akan jadi suamiku. Barangsiapa yaang kalah harus pulang ke negeri asalnya, dan barangsiapa yang berbuat curang, maka ia dinyatakan kalah. Ini keputusan." Pihak Hastinapura kaget dengan keputusan ini tapi mau bagaimana lagi, mereka harus melakukan permintaan ini. Pihak Jodipati tidak keberatan begitupun pihak dari Nusamudha. Arya Wrekodara mencari-cari putranya yang ternyata lagi asik-asiknya ngopi " wahhh......cah gemblung ..gak bantu bapaké malah abot ngopine...ancen setan!" Antasena balik seloroh " ne’ aku setan, bapak dhemite." Seketika sandal jepit melayang ke arah Antasena.

Singkat cerita, gelanggang pertandingan digelar di halaman Kadipaten Madukara dan sebagai wasitnya ialah Petruk dan kakek Semar. Pertandingan pertama yakni antara Arya Wrekodara melawan Begawan Dorna sebagai wakil antara Jodipati dan Hastinapura. Baru beberapa jurus saja, Arya Wrekodara sudah menyerah karena ia segan dengan Begawan Dorna. Lalu pihak Nusamudha naik gelanggang. Entah paka kekuatan apa, dengan mudahnya Begawan Dorna berhasil dibuat tumbang dan menyerah kalah. Babak kedua dimulai. Yakni Antasena maju gelanggang melawan patih Nusamudha yakni Patih Dewapatala. Dengan kekuatan sungut dan airnya, Patih Nusamudha itu berhasil ditumbangkan, lalu giliran para Kurawa yang diwakili oleh Arya Dursasana. Dursasana jemawa " whahahaha...anak kemaren sore...aku akan buat perhitungan atas tewasnya sahabatku, Prabu Ganggatrimuka." Antasena membalas kata-kata uwanya itu " oh dadi uwa iki dalange seng bikin bapak, uwa dan paman-pamanku para Pandawa kapene modar di dalam Konggedah. Ok, Ta' ladeni keinginanmu!" Pertandingan itu berlangsung sengit. Arya Dursasana menyerang berbagai arah dan berbagai sudut buta Antasena namun dengan mudahnya, Antasena menghindarinya. Dengan serangan mengejut, Antasena menjulurkan tinju dan sungutnya ke arah Dursasana. Seketika ia terlempar dan pingsan. Sontak para Kurawa lainnya ikut masuk gelanggang mengeroyok Antasena namun dengan mudahnya, Para Kurawa dibuat tak berkutik dan terlempar keluar gelanggang.

 Sayembara tanding menjadi kacau. Lalu diadakan sayembara kedua yakni harus duduk sambil menahan perbawa dari Janakawati. Kali ini pihak yang kalah dari sayembara tanding yang dipersilakan maju terlebih dahulu. Pertama, yakni Prabu Dewakuramba sendiri yang maju dan duduk di samping Janakawati. Baru saja ia duduk, tiba-tiba hawanya menjadi sangat berat. Seperti ada gelombang kejut yang membuatnya terhempas. Seketika Prabu Dewakuramba terpental jatuh dari tempatnya dan pingsan. Di giliran kedua, Lesmana Mandrakumara yang maju. Ia langsung duduk sambil memberikan salam. Baru beberapa saat ia mendudukkan pantatnya, tiba-tiba rasanya seperti ada hawa berat dan panas yang akan membuatnya terlompat-lompat. Namun sekuat tenaga, Lesmana Mandrakumara menahannya. Perbawa hawa panas berhasil dilalui, tapi ujian tak sampai disitu. Hawa panas berganti dengan angin yang sangat kencang hendak mengangkatnya. Perbawa dan tenaga dalam milik Dewi Janakawati sangat kuat, sebelas-duabelas dengan sang bapak. Ditahan sekuat apapun, akhirnya Lesmana Mandrakumara tak sanggup lagi menahannya.

Antasena dan Janakawati beradu perbawa
Ia pun terpental dari tempat duduk. Giliran terakhir yakni Arya Antasena. Ia segera duduk dan mulai mengambil sikap semadi. Dewi Janakawati pun ikut duduk. Begitu keduanya duduk, muncul perbawa yang sangat dahsyat, seolah ada tekanan angin dan air yang sanggup menciptakan badai di dalam ruangan. Angin dan air yang keluar dari tenaga dalam mereka saling bersabung lalu saling bertaut dan menyatu seperti naga air membentuk hujan badai. Seisi ruangan menjadi basah dan porak poranda. Meski demikian, Antasena hanya diam bergeming, seperti orang duduk semadi biasa. Di saat tidak terduga, dengan tubuh yang sudah basah kuyup Lesmana Mandrakumara maju ke hadapan Antasena melakukan kecurangan. Ia menyiramkan air keras ke wajah Antasena. Seketika wajah Antasena kepanasan  " waduuuuh ... panas bapa.... raiku ngelupas........kakang Lesmana! awakmu curang...mrene!...tak gibeng ndasmu!!!!!" Dengan mulut meringis menahan rasa perih di wajahnya, ia sanggup menahan perbawa yang dipancarkan oleh Dewi Janakawati. Setelah ia dan Janakawati bangun dari semadi, ia mendatangi Lesmana Mandrakumara. Dasar memang anak sakti, Antasena yang baru saja berdiri masih bisa menghajar Lesmana Mandrakumara hingga ia terpental jauh lalu jatuh pingsan. Para Kurawa kembali mengeroyok Antasena namun bisa diatasi. Para Kurawa pun jempalitan lari membawa keponakan mereka ke luar istana Madukara.

Meski dengan kesaktiannya bisa menahan dan menghentikan laju korosi karena siraman bahan kimia berbahaya yang memakan kulit itu, wajah Antasena terluka cukup parah hampir 40%. Bekas lukanya meninggalkan koreng seperti luka terbakar. Para tabib istana didatangkan untuk menyembuhkan wajah Antasena. Karena sudah agak terlambat ditangani, bekas luka yang terkena air keras susah disembuhkan dengan pengobatan biasa, malah korengnya semakin melebar. Arjuna segera bertindak. “Paman Semar! Kakang Bhima! izinkan aku menyembuhkan Antasena.”  Setelah direstui oleh kakek Semar dan Arya Wrekodara, Arjuna menyabetkan Cambuk kyai Pamuk yang sudah ia lambari aji Kawrastrawam ke tubuh Antasena. Bagaikan majik, begitu terkena sabetan cambuk itu, bagian wajah Antasena yang terkena air keras seketika sembuh. Bukan itu saja wajah Antasena jadi lebih tampan dan bercahaya. Pihak Hastinapura sudah berbuat curang maka didiskualifikasi dan pihak Jodipati dinyatakan sebagai pemenangnya. Antasena telah memenangkan sayembara tanding. Prabu Dewakuramba yang baru sadar dari pingsan dipersilakan pulang. Namun ia tidak terima kalau Antasena jadi pemenangnya maka ia bertemu dengan pihak Hastinapura mengajak bekerja sama dengan para Kurawa dan membuat rencana untuk mengagalkan pernikahan Antasena dan Janakawati.

Tiga hari kemudian, acara pernikahan digelar. Dengan hiasan berbagai bunga dan pelaminan yang indah. Para Pandawa memakai pakaian terbaiknya. Antasena memakai baju pengantin nampak gagah berwibawa bersanding dengan Dewi Janakawati. Setelah akad nikah, datang gangguan, yakni pasukan dari Hastinapura dan Nusamudha merusak sarana pernikahan untuk merusak hari bahagia itu. Pertarungan terjadi di Madukara. Namun atas bantuan Arya Wrekodara dan para putra Arjuna, para Kurawa dapat dihalau Bahkan Arya Wrekodara berhasil mengalahkan Prabu Dewakuramba dan Patih Dewapatala. Para Kurawa ketar-ketir lalu pergi melarikan diri kembali ke Hastinapura. Singkat cerita, gangguan pun lenyap. pernikahan Arya Antasena dengan Dewi Janakawati digelar begitu mewah dan meriah.

 

Rabu, 12 Juli 2023

Srenggini Murca (Srenggini Ratu)

 Hai semua penikmat dan pemabaca kisah pewayangan, kali ini penulis akan mengisahkan kelanjutan kisah Bambang Srenggini. Kisah ini perjalanan Bambang Srenggini setelah bertarung dengan Prabu Boma Sitija, disini Bambang Srenggini pergi demi mendapatkan wujud sebagai manusia normal. Kisah ini mengambil sumber dari blog kluban.net dengan penambahan dan perubahan seperlunya.

Alkisahnya, tak jauh dari kadipaten Tempurserayu yang sudah masuk wilayah Amarta, berdiri Kadipaten Gisiksamodra. Rakyatnya bermata pencaharian sebahagian nelayan, pedagang dan pengepul ikan juga petani tambak. Pemimpinnya sangat bijak bernama Adipati Ragasamodra dan perdana menterinya, Patih Jalasamodra. Keduanya adalah mitra beberapa raja negara-negara daratan dan pulau seperti Amarta, Hastinapura, Mandura, Mandraka, Pancalaradya, dan Palasajenar dalam bidang kemaritiman. Pemimpin dan rakyat negara Gisiksamodra sangat cinta damai dan rukun sentosa. Namun keadaan itu berubah saat datang pasukan bajak laut yang dipimpin seorang raja bercapit yuyu bernama Rekatha Yaksa. Prabu Rekatha Yaksa menyerang kerajaan Gisiksamodra. Sayangnya, Adipati Ragasamodra dan Patih Jalasamodra gugur di tangan Rekatha Yaksa. Mereka dikhianati oleh penggawa mereka yakni Temenggung Gupitasamodra. Gisiksamodra bedah dan dikuasai Prabu Rekatha Yaksa. Negara itu dijarah oleh para bajak laut yang dibawa sang raja bercapit yuyu itu. Rakyat menderita dan nelangsa. Ramai rakyat yang tidak tahan dengan pajak tinggi yang dikenakan raja baru itu sehingga banyak dari mereka yang mengungsi, mencari suaka ke negara sekitar.

Sementara itu, di Amarta tepatnya di Kadipaten Jodipati, Arya Wrekodara dihadap para putranya yakni Arya Antareja, Arya Gatotkaca, dan Arya Antasena. Arya Wrekodara bertanya pada ketiga putranya itu " waaa.....ngendi adik kalian itu, si Srenggini? Dah berapa bulan gak pernah sowan." Antareja lalu menjawab " ampun rama, sejak pertarungan dengan kakang prabu Sitija, aku dan dia berpisah lalu setelah itu minggat gak ada kabar." Gatotkaca juga membalas " benar rama. Ketika kami ke Tempurserayu dan bertanya pada ibu Rekathawati, kanjeng ibu juga tidak tahu keberadaan adhi Srenggini. Ia malah sangat khawatir." Arya Wrekodara tambah kalut hatinya, takut kalau-kalau anaknya yang satu ini bakal terpengaruh juga seperti Antareja dan Irawan tempo hari. Antasena ikut bicara. Ia lalu bertanya pada abang sulungnya "kakang Antareja, emange sebelum adhi Srenggini minggat, apa de'e onok gelagat atau punya beban gitu, pokoke sesuatu yang buat dia kepikiran?" Antareja mengingat-ingat lalu ia teringat sesuatu. Ia berkata kalau saat Srenggini membantunya melawan Prabu Boma Sitija, raja Trajutrisna itu berkata sesuatu tentang capit di kepala Srenggini. Ia berkata seakan ia mengejek capitnya. Dia berkata "meski kau putra Arya Wrekodara,kau akan jadi bahan cemoohan masyarakat dan mencoreng nama baik ayahmu."begitu kata Sitija yang ia Antareja ingat. Menurutnya, kemungkinan Srenggini sedang pergi bertapa brata demi menghilangkan capit di kepalanya. Arya Wrekodara pun geram dengan sikap sok ikut campur Sitija. Ia ingin melabraknya namun tiba-tiba datang panggilan tugas dari Patih Agung Tambakganggeng untuk mengurus para pengungsi dari Gisiksamodra. Antasena menawarkan diri untuk mencari keberadaan Srenggini. Ia bersama para Punakawan pun berangkat.

Benar dugaan Antareja, Bambang Srenggini yang tengah dicari-cari sedang bertapa brata di hutan Rawakamulyan demi menghilangkan wujud monsternya jadi manusia normal. Tampak ia sangat kuat tapa bratanya sampai-sampai tak ada makhluk satupun yang berani mendekat. Lalu datanglah utusan Dewata yakni Batara Resi Narada membangunkan Srenggini " welah dalah...cucuku...bangunlah, aku telah mendengar doa mu." Bambang Srenggini pun bangun dan manembah hormat "hormat hamba, pukulun. Aku yakin pukulun telah tau apa permintaanku. Aku hanya ingin satu keinginan. Aku ingin capit di kepalaku ini lepas dan menjadi manusia biasa tanpa takut cemoohan dari masyarakat." Batara Narada paham maksud sang putra Wrekodara itu. Ia menasehatinya "hmmm...cucuku....kalau saja kamu mau mengabaikan omongan-omongan sumbang dari orang lain, niscaya kamu tidak perlu merasa terhina dan rendah diri begini." Srenggini sadar kalau dia sudah merasa insecure, tidak lagi percaya terhadap diri sendiri. Batara Narada menentramkan hati Srenggini. Ia berkata kalau ia tidak bisa menghilangkan capitnya tapi membuat capitnya mengecil.

Srenggini didatangi Batara Narada
Caranya, ia harus membantu penduduk negara Gisiksamodra dan membebaskan negara itu dari penjajah. Bambang Srenggini berterima kasih sudah diberikan jalan. Batara Narada pun kembali ke kahyangan. Maka berangkatlah Bambang Srenggini ke sana. Di tengah jalan, Srenggini ketemu dengan Arya Antasena dan para punakawan. Antasena menawarkan adiknya itu untuk kembali ke Amarta “nah...neng kene awakmu...bapak ndoleki awakmu terus. Ayo mbalik ke Amarta. Bapak dan ibu wis melang-melang.....”namun Srenggini menolak dengan halus “Jangan sekarang, kakang Antasena.” Antasena bertanya  “lah lapo, Srenggini? apa gara-gara kakang Sitija ngomong masalah supitmu? Omongan kakang prabu Sitija ojo dirungakne.” Antasena lalu menceritakan tentang kakak pertama mereka, Antareja yang tempo hari mbalela gara-gara terlalu memikirkan kata-kata Sitija. Srenggini kaget mendengarnya. Ia sadar kalau dalam hatinya masih kepikiran dengan kata-kata Sitija. Tapi ia menguatkan dirinya. Srenggini berkata “ kakang, aku sadar kalau aku sudah tidak percaya diri karena kata-kata kakang Sitija. Tapi sebenarnya, kata-kata kakang Sitija cuma pemicu saja. Keinginanku jadi manusia normal sudah ada sejak lama, sebelum kita dipertemukan pertama kali. Sekarang, aku mau ke Gisiksamodra, membantu rakyat disana terlepas dari penjajahan para bajak laut dan Prabu Rekatha Yaksa. Baru habis itu, aku akan pulang ke Jodipati.” Antasena dan para punakawan paham. Sekarang Srenggini sadar dia harus meraih kemuliannya sendiri. Antasena berkata “Ok, aku gak bakal ngelarang apa dalanmu. Aku mendukungmu. Buktikan ke kakang Sitija ne’ awakmu iki bisa pantas dicintai apapun wujudmu. Tapi ne’ ana apa-apa, awakmu paham kan harus kemana. Awakmu isih nduwe keluarga. Aku, kakang Anatreja, kakang Gatotkaca, Dinda Bimandari, Bapak dan ibu selalu selalu ada untukmu.” Srenggini terharu lalu memeluk kakaknya yang nomor tiga itu. Singkat cerita, Antasena bersama para punakawan mengikuti Bambang Srenggini ke Gisiksamodra.

Di Kadipaten Gisiksamodra, Bambang Srenggini dan Arya Antasena hidup bersama rakyat. Awalnya orang-orang takut dengan rupa Srenggini yang punya capit seperti Prabu Rekatha Yaksha bahkan menyangka ia anak buah dari Rekatha Yaksha. Namun dengan kegigihan dan cinta yang diajarkan sang kakak, ia membantu rakyat yang memerlukan bantuan. Perlahan, rakyat Gisiksamodra menerimanya dan bahkan dijadikan tempat bercerita dan keluh kesah. Kabar kedatangan pemuda bercapit kepiting yang baik hati membuat keturunan dari Patih Jalasamodra yakni Arya Gentasamodra datang untuk mendatangi pemuda kepiting itu  ia bercerita “ Srenggini, sejak kedatangmu kemari, rakyat Gisiksamodra sekan mendapatkan harapan baru. Sejak diperintah Prabu Rekatha Yaksha, Kadipaten Gisiksamodra sekarang menjelma sebagai negara yang kuat berperang namun diktatoriat. Rakyat yang lemah ditindas. Yang melarikan diri dan mencari suaka diburu bahkan dibunuh dengan sesuka hati. Aku sebagai wakil dari rakyat Gisiksamodra mohon bantuanmu. Bebaskan kami dari penjajahan ini.” Srenggini berpikir sejenak. Setelah beberpa lama ia berkata”baik gusti. Aku akan membantumu.” Sejak hari itu, diadakan rapat secara tertutup dan rahasia untuk menyusun kekuatan demi pembebasan Gisiksamodra dari penjajah.

Di istana, Prabu Rekatha Yaksa sangat menikmati rasanya menjadi raja. Sang raja itu rupanya ingin mengekspansi negara lain. mula-mula ia menyerang Kadipaten Tempurserayu yang letaknya berdekatan dengan Gisiksamodra. Hal itu membuat Prabu Rekathatama dan Dewi Rekathawati mengungsi ke Amarta. Setelah dari sana, Prabu Rekatha Yaksha berambisi menaklukkan negara Amarta dan Hastinapura. Namun sebelum niat itu terlaksana, datanglah rakyat Gisiksamodra beserta Arya Antasena, para punakawan, dan Bambang Srenggini ke istana hendak merebut kembali takhta ke tangan yang hak. Di hadapan rakyat, Bambang Srenggini menantang Prabu Rekatha Yaksa " hei Rêkatha Yaksa, aku adalah perpanjangan tangan dari kebenaran. Hari-hari tiranimu sudah berakhir. Aku perintahkan kau untuk angkat kaki dari negara ini. Kalau kau tidak pergi sekarang juga, aku tantang kau duel satu lawan satu saat ini juga." Prabu Rekatha Yaksa marah mendengarnya “hei kau anak kemarin sore. Wujud kita boleh sama, tapi aku jauh lebih perkasa dan berkuasa. Aku sudah serang Tempurserayu. Sekarang minggir dari jalanku!” Bambang Srenggini makin marah mendengar kampung halammnanya telah diluluh lantakkan oleh Prabu Rekatha Yaksha namun ia menahannya sekuat tenaga. “keparat kau, kau serang negeri lain demi ambisimu! Kau lebih pantas mati!” bambang Srenggini pun maju menutup jalan ke arah Amarta bersma beberpa rakyat di belakangnya. Prabu rekatha Yaksha murka lalu memerintahkan Tumenggung Gupitasamodra maju, meladeni anak muda itu. Tak berapa waktu lama, Tumenggung Gupitasamodra kalah dan tewas kerana sengatan capit kepiting milik Srenggini. Giliran maju Prabu Rêkatha Yaksa melawan Bambang Srenggini. Pertarungan itu begitu sengit dan dahsyat. Perbawa mereka membuat semua orang ketakutan. Arya Antasena segera menyuruh para punakawan dan orang-orang berlindung “Semua! Cepet sembunyi dibalik badanku!”  Antasena menggunakan kekuatan airnya membentuk dinding es raksasa sebagai perisai pelindung. Puncaknya, Srenggini dan Rêkatha Yaksa saling beradu capit. Keduanya saling membentur dan menggapai capit masing-masing sambil adu tarik menarik. Sampai pada akhirnya capit milik Prabu Rêkatha Yaksa tercerabut dari kepalanya, namun bersamaan itu pula capit milik Srenggini ikut patah. Tewaslah Prabu Rêkatha Yaksa dan Bambang Srenggini pingsan tak sadarkan diri.

Begitu Srenggini bangun dari pingsan, muncullah keajaiban. Capit Prabu Rekatha Yaksa dan patahan capit miliknya menyatu sebagai cahaya. Cahaya itu seketika merasuk ke badan Srenggini. Seketika, capit Srenggini sembuh seperti sediakala namun ukurannya mengecil mengikuti bentuk gelung rambutnya. Kini, capit Srenggini tak lagi menakutkan seperti monster, malah sekarang capit itu membuatnya jadi ksatria ganteng dan gagah perkasa.

Srenggini mendapat kekuatan baru
Selain itu, kini di jari manis Srenggini, muncul cincin permata. Datang suara dari langit berkata pada Srenggini "capitmu tidak hilang tapi kini mengecil dan tersembunyi dibalik gelung rambutmu, cucuku. Jika ingin membuatnya besar, gosok saja cincin di jari manismu. Kalau ingin mengembalikannya lagi, gosok lagi saja cincinmu. Sekarang, dengan capit barumu itu, kau bisa krodha sehingga kekuatanmu berlipat ganda bisa meruntuhkan gunung." Rakyat Gisiksamodra bersorak sorai gembira. Negara mereka telah kembali merdeka. Karena Adipati Ragasamodra tidak punya keturunan, maka rakyat memilih Bambang Srenggini sebagai pemimpin baru mereka. Awalnya Srenggini menolak namun karena di desak oleh rakyat, maka ia bersedia. Antasena dan para Punakawan mengucapkan selamat atas keberhasilan Srenggini. Beberapa hari kemudian, pelantikan Srênggini pulung dilaksanakan. Semua orang diundang termasuk keluarga Pandawa. Arya Wrekodara dan Dewi Rekathawati bangga dengan pencapaian putra mereka. Begitupun Arya Antareja, Arya Gatotkaca, Arya Antasena dan Dewi Bimandari. Mereka gembira karena adik san kakak mereka sudah mendapat kemuliaan. Pelantikan itu awalnya terganggu karena serangan para bajak laut sisa anak buah Prabu Rêkatha Yaksa. Namun semua dapat terkendali berkat bantuan Arya Wrekodara dan tiga saudara Srenggini. Para bajak laut pun bisa diusir selamanya dari negeri itu. Setelah menjadi adipati baru, Bambang Srenggini pun berganti nama menjadi Prabuanom Srenggini dengan patihnya yakni Arya Gentasamodra.

 

Minggu, 09 Juli 2023

Antareja Mbalela

Hai semua penikmat dan pembaca kisah pewayangan, kisah kali ini menceritakan Arya Antareja dan Bambang Irawan mbalela (memberontak) kepada para Pandawa atas pengangkatan Gatotkaca sebagai panglima perang Amarta karena hasutan dari Patih Sengkuni. Di kisah ini juga memperlihatkan wujud krodha Antareja dan Gatotkaca yang saling bertarung memperebutkan posisi panglima perang negeri Amarta. kisah ini mengambil sumber dari blog albumkisahwayang.blogspot.com dan beberpa sumber dari internet lainnya.

Hari yang cerah ceria di Jawadwipa, tapi tidak bagi pemimpin Jangkarbumi yakni Arya Antareja. Risau hati, gelap pikirannya kerna kepikiran kata-kata Sitija tempo hari " Kakak kok mau dadi bawahan adik!" Sang isteri, Dewi Ganggi dan adik sepupu kesayangan, Bambang Irawan sudah berusaha membuat Antareja mengabaikan kata-kata itu, namun yang ada semakin kepikiran saja bahkan dengan tidak sopannya Antareja keras pada keduanya " Sudahlah Ganggi! Irawan! Gak ada Gunanya lagi berkata macam-macam padaku. kalian Gak Akan paham." Kerisauan itu makin menjadi-jadi saat Patih Sengkuni datang menjenguk Antareja yang tidak datang ke pelantikan Gatotkaca. Patih Sengkuni dengan kata-kata manisnya berkata " duh anakku.....aku kasihan padamu....apa yang dikatakan Sitija kepadamu itu ada benarnya. Sebagai anak pertama Sena, kamu kurang diperhatikan. Sedangkan adikmu Gatotkaca lebih digulawentah. Kalau kiranya ananda berkenan, aku bersedia untuk membantu nanda untuk naik derajat. Sahabatku Begawan Dorna bisa menegosiasikan ini bersama pamanmu Arjuna ." Antareja merasa apa yang disampaikan Patih Sengkuni ada benarnya.

Tak berapa lama, datanglah Arya Antasena, adiknya yang nomor dua berkunjung. Ia ingin mengajak sang abang ke Jodipati. Sang ksatria Jangkarbumi itu berkata dengan kasar " aku tak sudi ke ke Jodipati. Itu sama halnya aku mendukung ketidakadilan." Antasena kaget dan bertanya maksud abangnya itu " lha kakang, maksude gimana? Apa ne sing gak adil?" Antareja lalu berkata kalau ia tidak mendukung keputusan para Pandawa mengangkat Gatotkaca sebagai panglima. Seharusnya ia yang jadi panglima karena ini bukan masalah siapa yang mampu tapi siapa yang siap. Antasena paham arah pikiran abangnya itu. Ia sudah disetir Patih Sengkuni. Antasena menggugat patih Hastinapura itu " eyang Patih, gak usah  melok-melok masalah ini. Eyang patih jangan membuat air tambah butek. Nambah-nambahi masalah." Arya Antareja marah, tamunya dikata-katain begitu maka ia mengusirnya. Antasena pun merasa sudah tidak bisa lagi membujuk abangnya maka ia pamit pulang ke Jodipati.

Antasena heran apa yang membuat sang abang begitu membela Patih Sengkuni. Tak dinyana, ia dicegat oleh Antareja, Irawan, dan Para Kurawa. Tanpa aba-aba dan peringatan, Para Kurawa menyerang Arya Antasena. " Apa-apaan iki, kakang? Kita ini seduluran. Salahku apa tiba-tiba dikeroyok?" " Kau tidak bisa ku biarkan kembali ke Jodipati lalu melapor macam-macam ke kanjeng rama." Antasena yakin kalau Patih Sengkuni sudah mendoktrin abangnya itu untuk mencegahnya kembali. Maka ia berusaha menghindar. Lalu dari arah samping, Irawan menembakkan panah-panahnya. Antasena sontak menghindar " hei, Irawan. Kok awakmu malah ikut-ikutan nyerang?!" Irawan berkata " maaf kakang, aku harus membela kakangku Antareja. Apa yang jadi perintah kakangku, juga jadi kewajiban bagiku!" Irawan terus menembakkan panahnya tapi terus berhasil dihindari hingga tanpa sengaja, Irawan terkena pukulan tangan Antasena. Irawan pun meringis kesakitan menahan tapak tangan itu. Melihat adik sepupu kesayangan terluka, Antareja murka dan seketika auranya berubah. Aura tubuhnya menjadi gelap.

Antasena menghadapi kakaknya yang marah
Wajah dan tubuhnya berubah jadi bersisik banyak dan perlahan menjelma sebagai naga raksasa. Antasena kaget abangnya bertukar wujud jadi naga raksasa. " Waduhh...kakang kesetanan. Aku kudu balik ke Jodipati." Antasena segera membuat ombak raksasa, menyapu setiap orang yang ada disana lalu menghilang dibalik rimbunnya pepohonan. Antareja makin murka dan segera amblas bumi mengejar Antasena diikuti Bambang Irawan, dan para Kurawa yang menyusul di belakang.

Di dekat gerbang kota Indraprastha, Antareja bersama Bambang Irawan dan Para Kurawa bertemu dengan Abimanyu dan para punakawan. Abimanyu gembira dengan kedatangan mereka " kakang Antareja! Adhiku Irawan. Syukurlah kalian sudah datang untuk memberi selamat buat kakang Gatotkaca." Antareja menjawab ketus "Simpan basa-basimu itu, Abimanyu. Aku gak sudi memberi selamat buat Gatotkaca." Abimanyu kaget dengan sifat Antareja. Ia pun membentak adiknya, Irawan " Adhi, Kenapa Kakang Antareja Sampai Ketus Begitu dan Kau Tidak Mencegahnya? Saudara Macam apa Kau ini. Saudara berbuat Tidak Sopan malah Dibiarkan" Irawan berkata " kakang Antareja sudah benar. Ia merasa kalau uwa Wrekodara memang tak adil padanya. Selama ini juga, hanya kakang dan adhi lainnya yang digulawentah, sedangkan aku apa?" Abimanyu dan Irawan pun debat mulut. Antareja mendengarnya dari kejauhan nampak makin kesal tak bisa pikir jernih. Antareja makin merasa kalau keluarga Pandawa tidak adil. Maka tanpa peringatan, ia berubah jadi naga raksasa. Dengan kekuatannya, ia porak porandakan desa di pinggir gerbang kota. Abimanyu tidak terima maka ia berusaha menghentikan Antareja namun dihalangi Irawan. Pertarungan dua saudara kembali terjadi. Panah beradu panah, keris beradu keris. Keduanya seimbang. Namun secara tiba-tiba, naga jelmaan Antareja menyemburkan bisa racunnya ke arah dada Abimanyu. Abimanyu terluka, hampir menganga luka itu terkena bisa yang disemburkan Antareja. Untungnya Arya Antasena muncul dan langsung menyambar sepupunya itu" kakang Antasena, untung kau datang. Ada apa sebenarnya...". " wis, Abimanyu, ceritane panjang. Seng penting, kita selamatkan diri dulu ke istana. Kita laporkan segera ke yang berwajib" Antasena segera membawa lari Abimanyu dan berhasil lolos dari kejaran Arya Antareja bersama para Kurawa.

Di istana Indraprastha, Para Pandawa berkumpul bersama Prabu Kresna dan Arya Gatotkaca yang baru pulang dari bertapa brata di Gunung Cakramandira. Gatotkaca bercerita kalau ia sudah mendapat restu dari Batara Tantra, sosok dewa yang menitis pada dirinya. Malahan oleh sang dewa, ia diberi nama baru yakni Prabu Anom Purbaya. Batara Tantra ialah sahabat Batara Warcasa yang telah menitis kepada Abimanyu. Batara Tantra datang di hadapan Gatotkaca secara gaib dan berkata "anakku, sebentar lagi kekuatan dari taringmu yang dulu dipotong akan aktif lagi." Gatotkaca kaget, apa maksud kekuatan dari taringnya itu. Namun ketika ingin bertanya pada Prabu Kresna datanglah Batara Narada dan Rêsi Hanoman Mayangkara ke hadapan Prabu Kresna. Semua orang menghaturkan sembah. Lalu Batara Narada berkata" Welah dalah ..Wisnu oh Wisnu.... kêtiwasan kita." Prabu Kresna bertanya " maksudnya kêtiwasan gimana, uwa Batara?" Resi Hanoman pun melanjutkan maksud Batara Narada " kendi berisi Godayitma yang kusimpan baik-baik mendadak ngilang, gusti prabu." Prabu Kresna kaget “lha...kok bisa kendi itu hilang?” Tak lama datang juga Antasena membopong Abimanyu yang luka-luka. Arjuna bertanya pada Antasena " siapa yang melakukan ini?" Antasena menjawab kalau ini ulah Antareja dan Irawan. Antasena menjelaskan kronologinya. Arya Wrekodara kaget putranya berpikir kalau ia tidak adil dan berani mbalélå" Ancen anak iku, tak habis-habisnya buat masalah." Prabu Kresna menasehati Wrekodara agar bisa berpikir jernih. Prabu Kresna segera mengeluarkan Cangkok Wijayakusuma dan menyapukannya ke luka Abimanyu. Seketika luka itu sembuh.

Gatotkaca tidak terima sepupu kesayangannya dilukai maka ia hendak melabrak Antareja namun belum sempat ia beranjak, halaman istana sudah dibuat porak poranda dihancurkan. Mereka lalu melihat Antareja bersama Irawan dan Para Kurawa. Arya Wrekodara maju menghadang putra sulungnya itu. Ia memarahi Arya Antareja "hoi, Antareja! Awakmu iki gendeng. Membuat keributan di negeri sendiri." Arya Antareja menjawab, "Rama, aku dadi gendeng karena rama pilih kasih, lebih sayang Gatotkaca dibanding para putra yang lain." Arya Wrekodara marah dituduh demikian. Ia berniat memukul Antareja, namun Arya Gatotkaca tiba-tiba muncul melerai. "Kalau kakang emang ingin jadi panglima, aku dengan senang hati menyerahkan jabatanku kepada kakang." Antareja marah merasa diremehkan "Aku Tidak Butuh Belas Kasihmu. Kalau mau Ayo Kita Bertarung." Antereja pun menerjang Gatotkaca. Pertarungan terjadi sangat sengit. Setelah bertarung cukup lama, Antareja akhirnya terdesak mundur. Ia pun melakukan kroda dan seketika wajahnya berubah jadi seperti naga dengan lidah menjulur mengerikan. Dalam wujud tersebut, kekuatan Antareja meningkat sepuluh kali lipat. Sekarang gantian Gatotkaca yang kewalahan. Tiba-tiba ia merasa ada kekuatan dahsyat merasuk padanya, merasuk bersatu jiwa raga. Seketika seperti mendapat kekuatan baru. Ia pun balas mengimbangi Antareja dengan melakukan kroda pula. Dari punggung Arya Gatotkaca tiba-tiba muncul sepasang sayap yang membentang lebar. Wajahnya juga ikut berubah menjadi wujud aslinya yakni ksatria setengah raksasa.

Arya Gatotkaca dan Arya Antareja kembali melanjutkan pertarungan. Yang satu bersayap seperti burung garuda, dan yang satu berwajah naga dengan mulut menyemburkan bisa. Pertarungan ini sungguh dahsyat dan mengerikan, bagaikan seekor burung elang bergulat melawan ular besar. Alam sekitar ikut bergejolak. Bumi gonjang-ganjing langit kolap-kalip. Gempa bumi menggetarkan seisi Jawadwipa dan Hindustan. Bersamaan dengan itu pula, puting beliung, angin badai dan segala ribut topan disertai kilat menyambar-nyambar menerbangkan apa saja yang dilaluinya.

Antareja krodha melawan Gatotkaca krodha
Cahaya kilat dan gemuruh petir memekakkan telinga, menyambar dan membakar apa saja yang disambarnya. Penduduk Amarta kalang kabut menghindari hembusan angin dan badai yang kian kencang. Retakan tanah akibat gempa bumi membuat bebrapa orang terluka karena terperosok ke dalamnya. Semua orang dilanda ketakutan akibat pertarungan dahsyat kedua jago dewata ini. Prabu Kresna dan para Pandawa sampai terheran-heran melihat pertarungan mereka berdua. Sebelum ada jatuh korban lebih banyak, para Pandawa segera mengungsikan warga dan menyuruh mereka bersembunyi. Prabu Kresna segera meniupkan sulingnya untuk menenangkan para penduduk. Saat evakuasi, datang kakek Semar meminta penjelasan para Pandawa dan Prabu Kresna apa yang terjadi. “welah dalah...ndoro...kejadian apa lagi ini?” Arya Wrekodara berkata “waaa..ampun eyangku Semar.....semua ini gara-gara ulah dua anakku, Si Antareja sama adiknya, Gatotkaca. Mereka saling bertarung dan melakukan krodha hingga jadi begini.....” Arya Wrekodara menjelaskan semua kronologi dari awal hingga akhir. Kakek Semar paham. Tapi ia punya pendapat “hmmm mblegedag mblegedug.... ndoro apa tidak merasa aneh kok bisa ndoro Antareja bisa krodha seperti itu? Mungkin sebaiknay ndoro bisa berbuat lebih adil terhadap putra-putra ndoro.” Arya Wrekodara dan Arjuna merasa memang ada benarnya kata-kata kakek Semar. Mereka berjanji akan berusaha lebih adil dalam hal apapun, terutama kasih sayangnya terhadap para putranya.

Ketika memeriksa keadaan dengan  Kaca Lopian, Prabu Kresna melihat ada sesuatu yang aneh di dekat sebuah pohon. Sejenak Prabu Kresna melihat Patih Sengkuni. Sang perdana menteri Hastinapura itu menonton pertarungan dari kejauhan tapi bukan itu yang membuat sang raja Dwarawati itu kaget melainkan sebuah benda kecil berada di pinggangnya. Rupanya itu kendi batu berukuran kecil milik Resi Hanoman yang hilang. Prabu Kresna segera menyusun rencana “Hanoma, kemari. Aku sudah menemukan kendimu. Aku aka mengambilnya dan begitu aku berhasil mengambilnya, cepat bantu aku menyadarkan Antareja.” Segeralah Prabu Kresna menggunakan Aji Panglimunan dan mengambil kendi itu secara diam-diam. Begitu kendi itu didapat, ia melemparkannya ke Resi Hanoman. Antareja terdesak menghadapi kesaktian Gatotkaca. Sesaat ia lengah dan berhasil diringkusnya. Pada saat itulah, Hanoman segera membantu Gatotkaca menjambak rambut Antareja. Mulutnya komat-kamit menjapa mantra. Antareja merasa kesakitan dan dari mulutnya keluar asap yang berubah menjadi sosok raja raksasa menyeramkan. Ia adalah jin qarin jahat Prabu Rahwana yakni Ditya Godayitma. Bersamaan dengan keluarnya Ditya Godayitma, qarin dari Kalamaricha yakni Marichalodra ikut keluar dari tubuh Bambang Irawan. Hanoman segera mengurung kedua qarin jahat itu di dalam kendi batu miliknya dan membawanya kembali ke Partapaan Kandalisadha. Rupanya semua kejadian ini adalah konspirasi licik Patih Sengkuni untuk mengobrak-abrik kerukunan para putra Pandawa. Antareja yang sudah sangat lemas jatuh meluncur dari angkasa. Langsung saja, Arya Wrekodara menolong dan menggendongnya. Antareja dan Gatotkaca kembali ke wujud asal.

Arya Wrekodara segera membantu sang kakak tunggal Bayu. Para Kurawa diusir dari Amarta. Sementara itu, karena berbuat keributan dan hendak mbalélå, Arya Wrekodara dan Radèn Arjuna menghukum putra-putra mereka yakni Arya Antareja dan Bambang Irawan dengan hukuman penjara. Namun Prabu Kresna dan Kakek Semar berkata kalau mereka mbalélå karena tidak bisa berpikir jernih dan dirasuki roh jahat jadi bukan karena keinginan sendiri. Akhirnya mereka diampuni, namun Arya Antareja dan Bambang Irawan merasa malu dan terhina maka mereka menghukum diri mereka sendiri dengan kadipaten Jangkarbumi dan Kadipaten Yasarata akan membatasi diri dari pergaulan antarnegara selama tiga puluh hari. Mereka juga menebus dosa dengan puasa selama tiga puluh hari pula.

Sabtu, 08 Juli 2023

Topeng Waja-Topeng Perunggu (Wahyu Senapatiraja)

Hai semua pembaca dan penikmat kisah pewayangan, kali ini penulis mengisahkan awal mula permusuhan antara Gatotkaca dengan Prabu Boma Sitija. Semua bermula dari pelantikan Arya Gatotkaca sebagai panglima perang Amarta sekaligus pangeran mahkota Pringgondani. dan perebutan restu dewa yang berupa pulung/wahyu berwujud topeng. Kisah ini bersumber dari blog albumkisahwayang.blogspot.com dan beberapa sumber dari internet.

Alkisahnya, Prabu Boma Sitija bercerita kepada kakeknya, Batara Naga Ekawarna sedang gelisah hati karena ia tidak bisa mengabdi di negara Amarta. Kegelisahan itu bermula muncul sejak mendengar kata-kata Patih Sengkuni saat ingin menjebak Samba dulu " anak prabu ini kan putra Sri Kresna yang hebat, kok gak jadi panglima di Amarta. Agaknya nasib anak prabu tidak kurang atau lebih sama dengan Samba. Anak prabu sudah dikucilkan ayahanda sendiri. Ayahanda anak prabu terlalu sayang kepada para Pandawa dan putra mereka." Datanglah mereka berdua ke Dwarawati. Kegelisahan Sitija pun makin menjadi saat Prabu Kresna membicarakan tentang restunya untuk Arya Gatotkaca jadi raja muda Pringgondani sekaligus panglima besar negara Amarta. Prabu Boma Sitija protes keras "ayahanda Prabu, kenapa harus Dinda Gatotkaca yang jadi panglima besar?! Kan masih ada orang lain. Misal aku, Dinda Partajumena, atau Dinda Samba." Prabu Kresna berkata "anakku, kau sudah jadi raja di Trajutrisna. Kok kamu malah menambah bebanmu dengan jadi panglima di negara lain? Anakku, jadi panglima itu berat apalagi yang sudah jadi raja atau perdana menteri." Boma Sitija menjawab " ya itu kan bentuk darmabaktiku kepada paman-paman Pandawa. Kalau pecah perang besar kelak, aku bisa bantu apa saja." Prabu Kresna mengatakan kalau cita-cita anaknya itu luhur tapi pemilihan Gatotkaca sebagai panglima karena ia sudah mendapat restu dewa. Batara Ekawarna memaksa mantunya itu untuk mendahului restu dewata itu misal meminta secara khusus pada pemilik restu itu atau apapun yang membuat sang pemilik restu mengalihkan restunya kepada Boma Sitija. Prabu Kresna merasa ini bukan hal baik, mendahulukan keinginan anak diatas perdamaian dunia. Tapi karena terus didesak, dengan sangat terpaksa ia menuruti keinginan mertua dan sang putra. Ia pun duduk bersila di atas dampar kencana lalu menutup matanya tanda bermeditasi.

Lalu datanglah Arya Sadewa bersama Arya Antareja dan Bambang Srenggini ke tengah pasewakan Dwarawati. Mereka meminta Prabu Kresna mengobati Gatotkaca karena sekarang ia tengah sakit padahal beberapa hari lagi pelantikannya sebagai panglima. Prabu Boma Sitija menghalangi Arya Sadewa. Ia lalu berkata "maaf pamanda Sadewa, ayahanda prabu sedang tidak bisa diganggu. Dia sedang meditasi." Arya Sadewa kesal hati. " Boma, jangan halangi aku bertemu kakang Prabu Narayana. Sudah jelas-jelas kakang prabu duduk di dampar kencana sambil menutup mata, itu masih dibilang tidak bisa diganggu? Tolong, Boma. Jangan jadi penghalang kami." Prabu Boma dengan kasar membentak Arya Sadewa. Ia menyuruh Arya Sadewa pulang saja karena ayahnya itu sedang benar-benar tidak bisa diganggu. Sementara itu di tengah dalamnya meditasi, jiwa Prabu Kresna bertemu kakek Semar dan Batara Wisnu. Ia meminta saran terhadap dilema yang ia alami ini. Kakek Semar memberi saran " duhh blegedag-blegedug...ndoro prabu....dilema ini sangat berat. Kalau menurut saranku, lebih baik turuti saja dulu anakmu. Biara anakmu itu bisa belajar." Batara Wisnu pun setuju " benar pamanda Semar, Boma harus belajar kalau di dunia ini ada takdir dan nasib yang mau bagaimanapun diubah jalurnya pasti akan kembali kepada pemilik asalnya." Prabu Kresna pun bangun dari meditasinya. Ia tahu kalau tadi Prabu Boma Sitija membentak dan mengusir Sadewa juga Antareja dan Srenggini. Ia menegur putra tertuanya itu untuk segera minta maaf pada Sadewa. Prabu Boma Sitija merasa terhina harus disuruh minta maaf, ia lalu berkata "lebih baik aku mati sendiri daripada minta maaf ke yang derajatnya lebih rendah dariku." Prabu Boma Sitija lantas pergi berlalu menyusul Sadewa, Arya Antareja, dan Srenggini.

Setelah keluar dari keraton Dwarawati, sembari meninggalkan negara, Sadewa cerita kepada Antareja dan Srenggini tentang kecurigaannya" Antareja! Srenggini! aku curiga kalau kakang prabu sudah kena pengaruh anaknya. Firasatku setelah kejadian ini, semua tidak akan sama lagi seperti dulu." Srenggini dan Antareja tidak paham " jadi maksudnya gimana, paman?" Benar paman, tidak sama seperti dulu itu apa?" Sadewa tidak mau gamblang mengungkap apa isi firasatnya karena ia telah disumpah di hadapan para dewa kalau sampai membocorkan firasatnya secara gamblang, maka ia akan mati saat itu juga.

Ketika sudah mendekati gerbang negara, Prabu Boma mencegat Sadewa, Antareja, dan Srenggini. Ia berkata kalau ingin membawa ayahnya, mereka harus menghadapi dirinya dulu. Antareja dan Srenggini marah masa gara-gara hal begini sampai dibesar-besarkan. Maka mereka pun berperang tanding. Tanding mereka semakin lama semakin sengit.

Sitija menghadang Sadewa, Antareja, dan Srenggini
Antareja dan Srenggini segera menyuruh pamannya pulang duluan, segera kembali ke Amarta. Sekian lama mereka bertarung, Prabu Boma kesusahan mengalahkan duo putra Wrekodara ini. Begitupun mereka berdua, meski mereka berhasil membuat Prabu Boma terbunuh berkali-kali., Ia tetap bisa bangun dan sehat lagi. Prabu Boma lalu berkata kalimat ajaib yang membuat Antareja diam seribu bahasa "kakak kok mau jadi bawahan adik.." Benar saja, Antareja merasa makjleb di dadanya. " Apa maksudmu, kakang Sitija?" Sang raja Trajutrisna mengajak berunding Arya Antareja. Dengan kata manis semanis madu, ia merasa kasihan pada Antareja. Bisa-bisanya ia mau jadi bawahan adiknya dan ini bukan soal siapa yang paling lama jadi penggawa tapi yang banyak jasa dan dedikasinya.

Antareja merasa yang dikatakan Sitija ada benarnya. Srenggini jadi heran sikap kakaknya jadi berubah. Srenggini berusaha mengeraskan hati kakaknya agar tidak terpancing. Boma Sitija lalu bilang kepada Srenggini "Srenggini ,apa kau juga tidak sadar kalau capit di kepalamu akan membuatmu dipandang aneh oleh orang di sekitarmu?" Srenggini merasa makjleb juga. Tapi Srenggini berkata dengan setengah membentak " Apa Maksud Kakang? Capitku Urusanku." Sitija terus memengaruhi pendirian Srenggini "adhiku, walau kau putra Wrekodara yang perkasa, kau berpotensi akan jadi bahan gunjingan masyarakat. Kita berpikir realistis saja. Apa adhi tidak risih dengan capit di kepala adhi? Aku takut penilaian masyarakat terhadap adhi jadi buruk." Srenggini mencoba abaikan kata-kata Sitija agar tak terpancing emosinya. Menyadari kalau Antareja dan Srenggini lengah, dengan licik Boma memukul dagu Antareja ke atas lalu menyepak Srenggini ke samping. Menyadari kalau itu tadi hanya siasat, Antareja segera menerbangkan bebatuan dan tahan keras di sekitarnya lalu melarikan diri lewat bawah tanah menuju kadipaten Jangkarbumi. Sementara Srenggini segera menyetrum Sitija lalu ia kabur menuju Kadipaten Tempurserayu. Boma Sitija gagal membuat Antareja dan Srenggini keok maka ia akan ke Amarta menjenguk Gatotkaca. Sebelum ia berangkat ia didatangi kakeknya, Batara Ekawarna. Ia membekali cucunya itu sandal bakiak miliknya, Gamparan Kencana untuk berjaga-jaga.

Singkat cerita, Sadewa sudah sampai di Amarta. Ia bertemu Arya Antasena dan Bambang Wisanggeni. Ia bercerita kepada kalau Prabu Kresna tidak diperbolehkan pergi oleh anaknya, Prabu Boma Sitija dan sekarang, Antareja dan Srenggini belum juga kembali setelah berperang tanding dengan Boma. Ia takut kalau Prabu Kresna dan mereka berdua benar-benar kena pengaruh Boma Sitija. Wisanggeni lalu membuka terawangannya. Ia menyaksikan dari mata batinnya, Prabu Kresna dan Batara Ekawarna ada di Jonggring Saloka bertemu Batara Guru. Wisanggeni lalu berkata dengan tenang " ini sesuai dugaan paman dan dugaanku. Sekarang uwa prabu ada di kahyangan arep ngrebut hak milik kakang Gatot. Paman, segera temui kakang Gatot. Aku dan Antasena akan ke kahyangan." "Ayo Wisanggeni, kita obyak-obyok uwa prabu biar dia sadar." Singkat cerita mereka sampai di kahyangan dan mendapati Batara Guru dan Batara Narada sudah seperti linglung. Wisanggeni dengan kekuatannya menciptakan jurus api pengetahuan. Seketika api murni berwarna-warni melingkupi seluruh kahyangan. Setelah api padam, tersadarlah dua pimpinan para dewa. "Lho kakang Narada, mana Wahyu Senapati buat Gatotkaca?" Narada lalu teringat " welah dalah, adhi Guru. Kita benar-benar kêtiwasan. Tadi kita berikan kepada Prabu Kresna." Di tengah kepanikan itu datang Batara Wisnu dan kakek Semar. Mereka memberikan klarifikasi kalau mereka berdua yang memberikan saran kepada Kresna biar Boma Sitija sadar akan takdirnya. Bagaimanapun kesalnya mereka, tindakan Wisnu dan Semar sudah benar. Batara Guru berterima kasih pasa Wisanggeni sudah dibantu pulih dari ilusi Kresna. Mengenai nasib Wahyu Senapati, Batara Guru mendapat akal. Ia memerintahkan Empu Ramayadi dan para dewa pandai besi menciptakan topeng baru dari perunggu untuk berjaga-jaga jika Topeng Waja rusak dan Wahyu Senapati keluar.

Sementara itu, Prabu Kresna dan Batara Ekawarna yang hendak kembali ke Dwarawati dihadang Wisanggeni dan Antasena meminta agar Topeng Waja dikembalikan. Prabu Kresna dan Batara Ekawarna tidak berkenan. Wisanggeni berkata " uwa prabu, awakmu sudah mendahulukan kepentingan pribadi diatas kepentingan perdamaian dunia." Batara Ekawarna malah mengatai kalau Wisanggeni dan Antasena tidak tahu sopan santun sama orang tua. Karena sudah tidak ada yang bisa ditutupi lagi, mereka pun bertarung satu sama lain. Tanpa disadari Prabu Kresna, Topeng Waja jatuh ke bumi dan melesat menuju Amarta. Mereka pun segera turun ke bumi.

Di tempat lain, para keluarga Pandawa berada di Jodipati, menjenguk Gatotkaca yang sedang sakit. Boma Sitija juga ada disana menjenguk sang sepupu. Sebelumnya, ia minta maaf kapada Arya Sadewa atas sikap arogannya tempo hari. Ia lalu duduk bersimpuh di samping Gatotkaca lalu berbisik menggunakan kata yang halus namun nyelekit "duh, adhiku....kasihan kamu sakit begini. Kalau saja adhi jadi panglima mungkin adhi akan bergerak dengan cepat menghajar musuh-musuh adhi." Gatotkaca yang tidur dipangku sang ayah tak kuat menahan kata-kata nyelekit Sitija tapi ia tidak berdaya. Sitija lalu berkata "mungkin sebentar lagi datang keajaiban dari dewa. Adhi bisa sembuh dan kita bisa latih tanding bersama lagi." Tak dinyana, Topeng Waja jatuh dari langit dan langsung menempel di wajah Gatotkaca. Seketika Gatotkaca sembuh dari sakitnya lalu menyeret Sitija ke tengah alun-alun Amarta. " Nah Kakang...aku sudah sehat lho. Mana janji kakang mau latih tanding denganku lagi?" Perang tanding pun terjadi begitu sengit. Sitija menyerang Gatotkaca dengan membabi buta. Begitupun Gatotkaca, diserangnya titik-titik buta Sitija. "Apa ini kakang Sitija....serangan kakang melempem." Lama kelamaan Sitija terdesak dengan kekuatan Gatotkaca berkat Topeng Waja. Ia lalu melihat ayah dan kakeknya ada disana. Ia menyangka sang ayah tidak setulus hati membantunya. " Kalau aku tidak dapat Topeng Waja, maka Gatotkaca tidak boleh dapat juga." Maka ia mengeluarkan bakiak Gamparan Kencana. Ditamparlah wajah Gatotkaca dengan sendal sakti itu. Serangan itu sangat cepat bahkan tak mampu dihindari Gatotkaca. Gamparan Kencana dan Topeng Waja pun pecah bersamaan dan Gatotkaca pun membentur pohon beringin alun-alun dan jatuh koma. Wajah Gatotkaca pun rusak dan cacat. Di saat bersamaan, Batara Narada segera menangkap Wahyu Senapati yang keluar dari Topeng Waja yang rusak lalu dimasukkan kembali kedalam Topeng Perunggu.

Arya Wrekodara murka luar biasa mendapati anaknya pingsan dan rusak wajahnya "Kakang Jlithêng, Apa-Apaan ini? Anak Kakang Merusak WAJAH Anakku. Kakang Kudu Tanggung Jawab. Cepat Sembuhkan Anakku." Prabu Kresna mau tidak mau mengeluarkan Cangkok Wijayakusuma miliknya. Disapukan lah bunga sakti itu. Seketika luka-luka berdarah dan koyak di wajah Gatotkaca menutup. Gatotkaca pun sadarkan diri namun Prabu Kresna bilang kepada Wrekodara " adhiku, karena terkena benturan dua barang buatan para dewa, cacat putramu akan permanen seumur hidup, tidak bisa disembuhkan lagi. Wajah Gatotkaca akan rusak selamanya." Arya Wrekodara berduka. Lalu Batara Narada datang menolong. " Wrekodara, jangan kecil hati dulu. Aku punya topeng lagi untuk membantu pemulihan putramu."

Topeng Perunggu untuk Gatotkaca
Sang penasehat para dewa itu segera turun dan menempelkan Topeng Perunggu ke wajah Gatotkaca. Ajaib, Topeng Perunggu bersatu dengan wajah Gatotkaca dan menyembuhkan jaringan kulit yang sudah rusak. Wajah Gatotkaca sembuh seperti sediakala bahkan jadi semakin tampan dan berwibawa.

Melihat hal demikian, Prabu Boma Sitija kesal hati maka ia langsung berlalu pergi bersama kakeknya. Prabu Kresna duduk bersimpuh memohon maaf karena perbuatannya, Gatotkaca sampai kena celaka. Para Pandawa memaafkan kesalahan sang raja Dwarawati karena wajar jika orang tua membantuk cita-cita anaknya. Tapi Batara Narada tidak segampang itu. Karena ulahnya, para dewa sampai kelimpungan dibuatnya. Sebagai hukuman Batara Narada mengutuk pasu Prabu Kresna " semua ini terjadi karena ulah anakmu, maka akan berimbas kembali ke anakmu. Di masa depan, dua anakmu akan menyebabkan kehancuran Trah Yadawa! Salah satunya akan terbunuh oleh tanganmu sendiri! Ingat itu!" Prabu Kresna tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Ia terima lapang dan ikhlas. Batara Narada pun kembali ke kahyangan. Sebelum benar-benar pergi, ia diam-diam mengambil pecahan-pecahan Gamparan Kencana dan Topèng Waja untuk dibuat Anjang-Anjang Kancana. Kelak salah satu putra Prabu Kresna akan mati di atas jaring ajaib itu. Keadaan kini telah tenang kembali. Keesokan harinya, ibu Gatotkaca yakni Maharani Arimbi dan para adiknya yakni kadang Braja (Patih Brajadhenta, Arya Brajamusthi, Arya Brajawikalpa, Arya Prabakesha, dan Arya Kalabendana) juga Dewi Bimandari, Arya Antasena dan Bambang Wisanggeni datang ke pelantikan Gatotkaca. Dalam suasana khidmat, Prabu Yudhisthira diiringi Arya Wrekodara sebagai jaksa agung, Raden Arjuna sebagai komandan pasukan panah, Arya Nakula sebagai komandan pasukan pedang, dan Arya Sadewa sebagai komandan pasukan keris melantik Arya Gatotkaca sebagai panglima besar negara Amarta. Hari itu pula, Maharani Arimbi dan Patih Brajadhenta secara resmi mengukuhkan Arya Gatotkaca sebagai Prabu Anom (pangeran mahkota) negara Pringgondani.

 

Sabtu, 01 Juli 2023

Bambang Sukma Lembara

 

Hai semua pembaca dan penikmat cerita pewayangan Di kisah kali ini, penulis akan menceritakan Petruk menagih janji kepada Prabu Kresna untuk menikahkannya dengan putrinya dari Dewi Radha. Demi mengingatkan janji itu, Petruk sampai harus menyamar dan membuat kegaduhan penuh melodi dan cinta. Kisah ini mengambil sumber dari blog albumkisahwayang.blogspot.com dengan penggubahan dan penyesuaian seperlunya.

Alkisahnya, Prabu Kresna dihadap kekasih (isteri ruhani) nya, Dewi Radha dan putri buah hati mereka yakni Dewi Prantawati. Mereka menerima kedatangan Raden Lesmana Mandrakumara beserta Prabu Baladewa, Patih Sengkuni, dan Begawan Dorna. Mereka berniat melamar Dewi Prantawati. Namun datang juga punakawan Petruk menghaturkan hasil bumi Karangtumaritis dan berkata "ndoro Prabu Kresna, terimalah hasil bumi desa kami yang sederhana ini. Kedatanganku kemari hendak melamar Dinda dewi Prantawati sesuai janji ndoro dulu saat melawan Prabu Pandu Bergola." Prabu Kresna bimbang. Ketika sang raja Dwarawati hendak menyampaikan pendapatnya, sang kakak, Prabu Baladewa telah termakan hasutan Sengkuni menolak keras lamaran Petruk." Rakyat jelata gak tau diri....posisimu cuma punakawan berani melamar anak raja. Minggat kowe!" Petruk kaget karena janjinya dimungkiri. Terlebih lagi gestur prabu Kresna seakan tak mampu berkutik kalau kakaknya sudah berkata begitu. Petruk merasa kalau Prabu Kresna sudah mungkir janji maka minggat Petruk kembali ke desa Karangtumaritis. Sebelum benar-benar pergi para Kurawa berniat membunuh Petruk. Diseranglah Petruk dari berbagai sudut lalu datang bantuan yakni Arya Antareja, Arya Gatotkaca, Arya Antasena, dan Arya Srenggini yang telah ditugasi kakek Semar untuk membantu Petruk. Mereka pun berhasil lari dan menuju ke Amarta.

Singkat cerita, Petruk datang mengadu kepada Arjuna. Ia menceritakan segalanya. Namun bukannya simpati didapat, malah Arjuna murka mendengar kisah Petruk. Malah Arjuna mengancam akan dibunuh kalau tidak menghilangkan niat menikahi Dewi Prantawati. "Petruk, baik kau pergi dari sini kalau belum bisa menghilangkan Prantawati dari pikiranmu!" Petruk kecewa dengan sikap dua ndoronya itu. Ia minggat lagi ke hutan Wanapringga. Susah hatinya karena ia tak bisa menikahi pujaan hatinya. " Duh dinda, ealah kudu apa aku iki...hmmm dahlah lungguh ae timbang sepaneng." Demikianlah, Petruk pun duduk di atas sebongkah batu besar di bawah pohon yang rimbun berhari-hari. Berbagai macam hantu datang mengganggunya. Dasar sifat Petruk yang jenaka, bukannya takut tetapi justru mengajak mereka bercanda. Lalu tak lama datanglah Dewi Radha. Kali ini Radha tidak datang sebagai Radha Rani melainkan sebagai gopi (penggembala perempuan). Ia bicara empat mata dengan Petruk " Petruk....jangan susah hati! Ketahuilah, kakanda Kresna bukan tipe orang yang gampang mungkir janji. Keadaan yang membuatnya harus menerima lamaran Lesmana Mandrakumara. Ia sebenarnya setuju cuman dia ingin kamu lebih berjuang lagi. Kamu pasti bisa mendapatkan putriku." Petruk kaget sekaligus gembira Dewi Radha sebagai ibu Prantawati berkata demikian. Tapi ia bingung harus berbuat apa. Dewi Radha lalu berkata kalau solusi muncul saat ada bertanya dengan orang tuanya. Tak lama, Dewi Radha pun pergi kembali ke Desa Warsana. Petruk bertanya-tanya apa maksud Dewi Radha.

Tidak lama kemudian, muncul sosok tinggi besar yang tidak lain adalah ayah kandung Petruk sendiri, yaitu Maharesi Swala. Di masa lalu, Maharêsi Swala yang merupakan resi agung diantara para Gandarwa risau dengan kenakalan dua putranya yakni Bambang Sukadadi dan Bambang Pecruk Panyulikan.

Maharesi Swala mengubah Petruk menjadi tampan
Ia meminta kepada Batara Semar untuk menjadikan dua putranya sebagai anak asuh sang Batara. Sekarang Maharêsi Swala bertanya " hei nak...apa yang membuatmu susah hati? Apa ndoromu sudah menyiksamu?" Petruk pun berksta " bukan itu, pak....jadi gini..." Petruk bercerita dari awal hingga akhir. Maharesi Swala paham maksud sang putra. Ia pun bertanya " apa kamu benar-benar mencintai sepenuh hati Prantawati.?" " Yo tentu....pak...mosok gak...." Sang maharesi senang mendengarnya. Ia pun mengubah wujud Petruk sebagai kesatria tampan berkharisma. Tidak hanya itu, Maharesi Swala juga memberikan tambahan ilmu kesaktian kepada Petruk. Petruk berterima kasih atas bantuan ayahnya. Ia pun mohon restu dan mohon pamit. " Suwun pak....aku njaluk restune ben gagal si Lesmana cundhuk kui." Ia pun pergi berlalu lalu kembali lagi " ealah...sandalku kari.....aku pergi dulu pak." Meski sudah jadi ksatria tampan tetap saja sifat jenakanya sudah mendarah daging.

Sementara itu, Prabu Kresna menyambut kembali kedatangan Lesmana Mandrakumara. Sang pangeran manja itu bertanya " mana calon istriku....kalau dia jelek, emoh nikah." Di dalam hatinya, Raden Samba kesal hati dengan sifat jelek si pangeran Hastinapura ini. " Dih.... gagal nikah bolak-balik sek sombong gak ketulungan....sabar-sabar.....kok emak Radha mau aja nerima lamaran dia...."ujar Raden Samba. Sepertinya ia sudah berdamai dengan ibu Radha. Prabu Kresna tidak mau memperpanjang urusan. Ia pun memerintahkan Raden Samba untuk mengantar Lesmana menemui Dewi Prantawati agar dapat melihat langsung calon istrinya cantik atau tidak. Kedua pemuda itu pun bergegas masuk menuju keputren.

Sementara itu di taman keputren Banoncinawi, Dewi Prantawati sedang duduk-duduk memandangi langit sambil membayangkan pujaan hatinya. Dalam lamunannya, ia merasakan seorang lelaki bernyanyi merdu sambil memainkan suling. Tanpa terasa, Dewi Prantawati merasakan suara nyanyian itu terdengar dekat sekali. Ia berusaha buyarkan lamunannya namun suara indah itu tak hilang pertanda suara itu memang nyata. Tanpa sadar, putri Dewi Radha itu menari-nari mengikuti alunan merdu suara nyanyian dan tiupan seruling itu.

Bambang Sukma Lembara memainkan seruling untuk Prantawati
Lalu datanglah dari balik pepohonan, seorang kesatria sedang memainkan seruling dengan indahnya. Kagetlah sang putri Radha melihat ada seorang lelaki tampan muncul di hadapannya. Dewi Prantawati bertanya asal-usul sang kesatria " hei ki sanak...kau berani sekali masuk kemari.....siapa kau dan dari mana asalmu? mengapa kau bisa masuk ke dalam keputren?" Bambang Sukma Lembara berkata "aku Sukma Lembara. Aku kesatria dari Hutan Wanapringga. Aku tertarik mendengar kabar kecantikanmu. Kau putri Radha Rani sang kepala desa Warsana yang terkenal cantik jelita." Dewi Prantawati membenarkan perkataan Bambang Sukma Lembara. Lalu ia berkata "kau benar, Sukma Lembara tapi aku sussh dijodohkan dengan Raden Lesmana, aku tak habis pikir bagaimana bisa ibu dan ayahku mau setuju begitu saja tanpa tanya aku dulu?" Bambang Sukma Lembara pun mendengarkan keluh kesah Prantawati.

Sukma Lembara pun menjelaskan " Pean jangan takut menolaknya. Lesmana bukanlah laki-laki yang baik, melainkan hanya seorang anak manja yang suka mengandalkan kekayaan orang tua. Lebih baik jika kamu jadi isteriku saja, aku akan bernyanyi setiap hari untukmu, sayangku." Dewi Prantawati pada dasarnya sudah mendengar penuturan Raden Samba tentang keadaan Raden Lesmana. Sebenarnya ia ingin menolak perjodohan ini tetapi takut kepada sang ayah. Kali ini muncul Bambang Sukma Lembara yang menawan hati, membuatnya semakin yakin untuk menolak Lesmana Mandrakumara. Maka, Dewi Prantawati pun berkata kepada Sukma Lembara " kakang, bawa aku pergi saja, aku biar aku tidak menikah dengan Raden Lesmana." Bambang Sukma Lembara setuju. Namun, tiba-tiba Raden Lesmana datang bersama Raden Samba. Bambang Sukma Lembara pun mengejek Raden Lesmana dan mempermainkannya. Raden Samba ikut bersorak di belakang, menertawakan tingkah konyol Raden Lesmana. Namun kemudian, ia sadar ternyata ada penyusup masuk ke dalam kaputren. Ia pun buru-buru pergi melapor kepada Prabu Kresna. Bambang Sukma Lembara tidak mau membuang-buang waktu. Ia segera memasukkan Prantawati secara ajaib ke dalam cincin, menendang Lesmana Mandrakumara hingga jatuh terjengkang, kemudian kabur meninggalkan keputren.

Samba pun datang malaporkan jika di Keputren ada penyusup. Prabu Baladewa marah-marah dan segera mengejar bersama para Kurawa. Ketika sudah di dekat gerbang kota Dwarawati, mereka melihat Bambang Sukma Lembara. Para Kurawa menghajarnya beramai-ramai. Namun dengan kesaktiannya, ia mampu membaut mereka tak berkutik.Prabu Baladewa maju sambil memaki-maki sesuai ciri khasnya. Bambang Sukma Lembara menghadapinya dengan ikut memaki pula. Prabu Baladewa merasa risih ada yang mengembari cara bertarungnya. Karena pikirannya kesal dan tidak dapat bertarung dengan baik, lama-lama ia pun terdesak mundur. Kebetulan, ia bertemu Arjuna yang sedang dalam perjalanan menuju Kerajaan Dwarawati bersama Gareng dan Bagong. Tujuannya ialah ingin menyaksikan pernikahan Lesmana dan Dewi Prantawati. Prabu Baladewa memberi tahu Arjuna "Arjuna, pengantin wanita hilang diculik pemuda bernama Bambang Sukma Lembara. Cepat, bantu aku meringkusnya." Arjuna pun bergegas mengejar penculik tersebut. Bambang Sukma Lembara bersiaga menghadapi Arjuna. Karena masih kesal terus dikejar, ia pun bertarung tanpa segan-segan lagi. Berkat kesaktiannya, Bambang Sukma Lembara dapat meringkus Arjuna. Prabu Baladewa dan Patih Sengkuni maju untuk menolong, tapi mereka ikut tertangkap pula.

Prabu Kresna dan Dewi Radha melihat di kejauhan dan dapat menebak jati diri Bambang Sukma Lembara. Maka ia dan sang istri ruhani segera naik kereta Jaladara menuju ke Desa Karangtumaritis meminta izin kepada Kakek Semar untuk menangkap Bambang Sukma Lembara " hmmmmmmm....lah dalah..... belegadag-gedug...hmmm....ndoro prabu dan ndoro Radha.....kalian pasti sudah tau siapa Sukma Lembara yang telah menculik putri kalian. Baiklah aku akan ikut ke Dwarawati, tapi setelah dia tertangkap nanti, tanyakan juga pada putri kalian dengan siapa dia akan menikah." Kakek Semar pun ikut ke Dwarawati. Meski hanya beberapa langkah saja, kecepatan jalan kaki sang punakawan itu dapat menandingi kereta Jaladara. Kini, Semar sudah sampai di Dwarawati di tempat Bambang Sukma Lembara berhasil mengalahkan para Kurawa, Arjuna, Prabu Baladewa, dan Patih Sengkuni. Kakek Semar meminta agar Bambang Sukma Lembara mengembalikan Dewi Prantawati, namun sng kesatria tidak berkenan malah ia meminta kakek Semar agar ikut bersamanya. Mau tidak mau, Semar terpaksa meladeni Bambang Sukma Lembara. Kesaktian mereka berdua sama dan setara, tidak ada yang menang maupun kalah. Sehingga di satu kesempatan, Semar mengusapkan tangannya ke rambut kuncungnya dan dengan lembut ia mengelus wajah sang kesatria. Akhirnya, Sukma Lembara kalah dan badar ke wujud aslinya yakni Petruk. Dewi Prantawati pun juga turut keluar dari dalam cincin Petruk.

Kakek Semar marah kepada Petruk karena sudah berani menringkus tuan-tuannya. Petruk berkata " lah pak....aku berbuat begini demi dinda Prantawati bisa menikahi orang yang dicintainya. Lagian juga biar ia tidak kena dosa ayahnya. Ayahnya sudah mungkir janji mungkin karena malu punya mantu punakawan." Prabu Kresna justru balik meminta maaf kepada Petruk " Truk....maafkan aku. Jujur saja aku memang malu punya mantu punakawan. Tapi berkat Radha dan kakek Semar, aku sadar kalau dulu juga aku pernah hidup sebagai rakyat biasa yang kadang tidak didengar. Aku benar-benar minta maaf sudah mungkir ianji. Aku telah mengedepankan gengsi dibanding cinta." Petruk pun paham kini sang ndoro sudah terhidarkan dari dosa. Nama baik titisan Batara Wisnu telah dibersihkan. Gantian ia juga minta maaf sudah bikin susah dengan membuat kekacauan di Dwarawati. Namun, Kresna bimbang. Ia pun bertanya kepada putrinya "nak, kamu sudah terlanjur jatuh cinta kepada Bambang Sukma Lembara, apakah mau menikah dengan Petruk?" Petruk pun bertanya kepada Dewi Prantawati "Dinda, apa kau tetap bersedia menikah denganku yang sederhana ini? Kalau tidak mau, aku tak akan mengganggu lagi."

Dewi Prantawati tidak menjawab, tetapi meminta "kakanda Petruk coba mainkan sulingmu dan nyanyikan sebuah lagu untukku." Petruk pun menembangkan lagu seperti yang ia nyanyikan di keputren dan memainkan sulingnya. Prabu Kresna dan Dewi Radha membantu Petruk dengan memainkan iramanya. Dewi Prantawati terhanyut mendengar suaranya. Ia lalu berkata kepada sang ayah "Ayah, aku jatuh cinta kepada Bambang Sukma Lembara adalah karena mendengar suara dan permainan sulingnya yang merdu. Suara kakanda seperti suara nyanyian ayah dan irama sulingnya seperti suara merdu suling ibu, penuh cinta dan kasih sayang. Meskipun Bambang Sukma Lembara sudah kembali jadi kakanda Petruk, tapi suaranya tidak berubah, tetap merdu dan penuh cinta. Asalkan bisa mendengar nada cinta kakanda Petruk setiap saat, aku sudah sangat bahagia. Tolong restui pernikahan kami, ayahanda." Prabu Kresna dan Dewi Radha gembira. Petruk juga ikut gembira mendengar ucapan itu, pertanda sang pujaan hati bersedia menjadi istrinya. Ia pun memanggil Prabu Kresna sebagai ayah mertua, dan membebaskan Prabu Baladewa, Arjuna, juga Patih Sangkuni. Prabu Baladewa dan Arjuna sudah melihat sendiri betapa tulus perasaan Dewi Prantawati. Maka, mereka pun ikut merestui Petruk menjadi menantu Kerajaan Dwarawati dan meminta maaf tadi telah berusaha menggagalkan usahanya menagih janji.

Sementara itu, Patih Sengkuni dan para Kurawa kembali ke tempat Prabu Duryudhana dan Lesmana Mandrakumara. Sungguh besar rasa malu yang diderita Prabu Duryudhana karena anaknya lagi-lagi kalah bersaing, dan yang lebih parah, kali ini kalah bersaing melawan panakawan. Mereka pun bergegas pulang ke Hastinapura. Prabu Kresna kini telah mantap menyerahkan Dewi Prantawati kepada Petruk. Singkat cerita, keduanya lalu dinikahkan di istana Kerajaan Dwarawati dengan perayaan yang meriah. Para Pandawa, dan penduduk desa Karangtumaritis diundang ke acara resepsi pernikahan yang megah dan sangat langka itu. Pernikahan antara punakawan dan putri raja. Rupanya, Lesmana Mandrakumara masih tidak terima. Ia menolak pulang dan bersama para pamannya mereka berusaha mengacaukan pesta namun datang Arya Wrekodara dan empat putranya berhasil mengusir mereka dan mengkondisikan acara. Setelah pengacau pergi, acara kembali dilanjutkan dengan meriah dan mewah. Setelah pesta selesai, Petruk dan Prantawati memutuskan untuk tinggal di Karangtumaritis. Mereka hidup bahagia di sana sebagai orang biasa dan sama seperti ayah mertuanya dulu, Petruk dan Prantawati bertekad mengembangkan peternakan lembu dan sapi. Mereka menggembala bersama dan memerah susu lalu hasilnya dijadikan sebagai bentuk komoditas dan hasil bumi baru desa Karangtumaritis.