Senin, 23 Desember 2019

Prabu Batara Dewa Amral (Pandu Swarga)


Salam semua, semoga pembaca mendapatkan rahmat dari Yang Maha Kuasa. Kisah kali ini menceritakan Prabu Yudhistira bertriwikrama menjadi raksasa untuk menyelamatkan adik-adiknya di kawah Candradimuka/neraka. Kisah ini juga mengisahkan derita orang tua para Pandawa, Prabu Pandu Dewanata dan Dewi Madrim di neraka. Kisah diakhiri dengan permintaan triwikrama untuk mengentas Pandu dan Madrim dari neraka diterima dewata. Kisah ini merupakan penggabungan dua lakon, yaitu Dewa Amral dan Pandu Swarga. Sumber kisah ini adalah blog albumkisahwayang.blogspot.com dan beberapa blog pedalangan lainnya.
Malam Sukra Umanis, Prabu Yudhistira dan keempat Pandawa melihat pemandangan serba indah bagaikan surga.  Di tengah pemandangan serba indah itu, mereka terlihat bahagia dan bersuka ria. Namun tiba-tiba pemandangan indah itu berubah mengerikan bagai neraka. Api menjilat dan membakar tubuh-tubuh manusia. Bau anyir darah tercium sehingga satu yojana. Di sisi lain neraka, udara dingin berbau busuk menyeruak membuat kulit dan daging melepuh. Di dasar neraka itu, para Pandawa melihat orang tua mereka, Pandu Dewanata dan Dewi Madrim disiksa dengan berbagai siksaan pedih. Mereka ditusuk perutnya dengan jarum besi sebesar tombak hingga isi perut mereka terburai lalu begitu tersungkur, punggung mereka disetrika dengan batu sepanas matahari dan disemprot air yang sangat dingin sedingin es berbau busuk sampai melepuh. Lalu di saat bersamaan, para Pandawa kecuali Prabu Yudhistira tiba-tiba diseret sesuatu dan ketika Prabu Yudhistira menghampiri, tiba-tiba pemandangan menjadi gelap dan menyesakkan dada. Di tengah kegelapan, Prabu Yudhistira melihat jutaan pasang mata mengerikan menatapnya dengan raut yang menghina dan melihat adik-adiknya berada dalam gentong besar dan hendak dicampakkan ke neraka. “Hentikan.... tolong Hentikan! Jangan ! Jangan!” teriak Prabu Yudhistira memecah keheningan malam. Prabu Yudhistira terbangun dari mimpinya. Keringat bercucuran dari wajahnya. Dewi Drupadi ikut terbangun kemudian menenangkan suaminya yang baru saja bermimpi buruk itu. “kanda, apa yang mengganggumu?” tanya Dewi Drupadi. Balas Yudhistira “tidak dinda. Aku hanya bermimpi buruk soal nasib kanjeng ayahanda dan ibu Madrim.” “kanda, mari kita ke sanggar. Kita berdoa agar kanjeng ayahanda dan ibu Madrim ditempatkan di tempat terbaik di sisi-Nya”
Di kahyangan Jonggring Saloka, Batara Guru dan Batari Durga kedatangan putra bungsu mereka, Dewasrani dari istana Nusarukmi di Kahyangan Dandangmangore. Dia datang berkeluh kesah “Kanjeng romo! Kanjeng ibu, aku sudah tak tahan lagi. Namaku disamai oleh Puntadewa dan ayahnya, Pandu Dewanata. Kalau Pandu sudah kanjeng romo beri hukuman, aku tidak puas. Aku juga ingin kanjeng romo menghukum Puntadewa. Di dunia ini tak boleh ada nama serba “dewa” kecuali para dewa itu sendiri. Kalo tidak dituruti, aku lebih baik mati mencebur ke Candradimuka“ sifat keibuan Batari Durga muncul.
Pernintaan konyol Dewasrani
Dia kasihan pada Dewasrani dan membujuk sang suami agar menuruti keinginan putra bungsunya itu. “suamiku, tolong turutilah keinginan putra bungsumu.” Batara Guru tidak tahan dengan ratapan Dewasrani. Akhirnya dia memutuskan “baiklah, baiklah... aku memutuskan raja Amarta itu harus dibawa ke neraka mau atau tidak mau. Kakang Narada aku tugaskan kau ke Amarta sekarang. Jemput Puntadewa Yudhistira kemari lalu buang dia ke neraka.” Batara Narada menjadi heran mendengarnya “welah dalah, adhi Guru. Ini tak masuk akal sama sekali. Apa salah pembarep Pandawa itu? kalo sekadar nama disamai, itu wajar. Lagipula yang bernama “dewa” bukan hanya dia. Ada adiknya, Raden Sadewa atau sepupunya, Prabu Baladewa. Kenapa harus dia yang dihukum? permintaan putra adhi Guru yang seorang dewa kenakalan dan dewa kejahilan terlalu kekanak-kanakan.” Batara Guru marah dan memaki sang tangan kanan “POKOKE RA PEDULI BLAS! Pokoke bawa si Puntadewa Yudhistira. Sekarang aku beri pilihan, ikuti perintahku atau kau kudepak dari kahyangan? kakang Narada sekarang keputusanmu.” “ adhi Guru, perintah memang perintah. Aku cuma mengingatkan saja. Adhi Guru, segala perbuatan ada karmapalanya, bahakan berlaku untuk kita para dewa.” Batara Narada segera turun ke marcapada menuju Amarta.
Perasaan tidak enak menyelubungi sanubari. Di kerajaan Dwarawati, laut nampak tak bersahabat seperti biasanya hari itu. Angin bertiup sangat kencang bagai badai. Gelombang pasang menghantam tembok pulau Dwaraka hingga membanjiri sebagian kotaraja. Prabu Kresna melihat gelagat awan di angkasa. Nampak tak biasa dan berputar-putar. Tiba-tiba salah satu pusaka di ruang pusaka bercahaya terang. Ketika di dekati rupanya pusaka Kaca Lopian memunculkan gambaran. Gambaran itu mirip sekali dengan mimpi Prabu Yudhistira yang mengerikan beberapa malam lalu. “jadi ini jawabannya, yang membuat aku tidak enak hati beberapa hari terakhir. Aku harus ke Amarta sekarang.” Prabu Kresna segera menaiki kereta Jaladara dan segera memecut pantas menuju Amarta.
Di kerajaan Amarta, Prabu Yudhistira sedang dihadap keempat adiknya, yaitu, Arya Wrekodara, Raden Arjuna, Raden Nakula, dan Raden Sadewa. Perasaan tidak enak terus menggelayuti pikiran dan hatinya. Mimpinya yang beberapa hari itu selalu berulang dan membuatnya tersiksa. Ketika mereka membahas masalah negara, tiba-tiba batara Narada turun dari angkasa. Para Pandawa segera menghaturkan sembah. Batara Narada datang untuk menyampaikan perintah dari Batara Guru yaitu Prabu Yudhistira harus membuang nama Puntadewa didepan gelar Yudhistira dan harus ikut Batara Narada untuk disiksa di neraka. Prabu Yudhistira terkejut lalu berkata “Puntadewa adalah nama lahirku. Yang memberiku nama itu ayahandaku, Pandu Dewanata. Sekarang ayahanda sudah meninggal, aku tak bisa membuang namaku begitu saja. Bawalah aku saja ke neraka menemani ayahanda dan ibunda Madrim. Masalah negara biar-adik-adikku yang mengurus.” “kakang Punta, jangan pergi ke neraka. Siapa yang akan memerintah negara?” Arya Wrekodara berusaha menahan kakaknya itu. dirinya kemudian berkata dengan tegas “pukulun Narada, aku bersedia menjadi ganti kakang asal kakang prabu jangan masuk neraka.” Lalu dari belakang Raden Arjuna dan si kembar juga menyatakan hal yang sama “aku juga bersedia. ” “kami juga, buat apa kami hidup tanpa kakang. kakang sudah menjadi pengganti ayahanda sejak kecil. ” batara Narada menjadi serbasalah. Dengan berat hati, seluruh Pandawa dibawa oleh Batara Narada kecuali Prabu Yudhistira. Dia dibebaskan sementara Arya Wrekodara, Raden Arjuna, Raden Nakula dan Raden Sadewa dimasukkan ke dalam gentong ajaib lalu oleh Batara Narada dibawa terbang ke kahyangan.
Hati prabu Yudhistira serasa diiris sembilu. Mata sembab dan dada sesak seakan ingin meluapkan segala yang ada. prabu Yudhistira hanya mampu terduduk dengan tertunduk. Lalu, datanglah Dewi Kunthi dan bertanya “Punta, dimana adik-adikmu?” Prabu Yudhistira menceritakan segalanya siapa tahu mendapatkan solusi. Namun bukan solusi yang didapat namun hal lain yang jauh lebih menyakitkan. Dewi Kunthi bersedih hati. Perasaan ibu mana yang tak terluka mendengar putranya pergi dibawa orang dan saudaranya tak mampu membela. Dewi Kunthi menjadi marah pada Yudhistira karena tak mampu melindungi adik-adiknya dari arogansi para dewa. Tak pernah dia melihat sang ibu menjadi semurka itu. Dengan berlinang air mata, Prabu Yudhistira berlari keluar keraton. Segala emosi yang menyelimutinya membuat kepala dan dadanya terasa berat. Tangan sang raja berdarah putih itu tanpa sengaja menyentuh dadanya yang sesak itu dan mengenai Kalung Robyong Mustikawarih.
Triwikrama Dewa Amral
Tiba-tiba, jantung Prabu Yudhistira tersentak keras, nafasnya terengah-engah juga pandangannya mulai kabur dan kosong. Bola matanya berputar-putar lalu memutih. Prabu Yudhistira hilang kesadaran, lalu dia berteriak keras. Suara teriakan itu tiba-tiba berubah berat menjadi erangan yang bergemuruh di angkasa dan secara ajaib, tubuhnya berubah menjadi semakin besar dan menakutkan. Prabu Yudhistira triwikrama menjadi raksasa mengerikan berkulit putih maha besar jauh lebih besar dari gunung Mahameru bahkan besarnya dua kali lipat triwikrama Batara Wisnu. Tangannya masing masing membawa kitab Jamus Kalimahusada, panah tajam, tombak, dan tangan satunya dalam posisi mudra. Rambut gimbalnya jauh lebih tajam dari segala pisau, keris, dan belati. Segala rasa takut, duka, luka, murka, dan kecewa menggulung akal sehatnya membangkitkan energi mahadahsyat. Duka kehilangan orang-orang terkasih tumpah menjadi kemurkaan yang mengerikan “HUWOOOO....... KALIAN PARA DEWA DENGARKAN INI. AKU BUKAN LAGI PUNTADEWA YUDHISTIRA YANG PENYABAR. AKU PRABU BATARA DEWA AMRAL. KEMBALIKAN ADIK-ADIKKU ATAU KU OBRAK-ABRIK SELURUH KAHYANGAN PARA DEWA! HUOOOOOOO!!!!!!”
Prabu Kresna terus memecut kereta Jaladara. Ketika hampir melewati tapal batas negara di desa Karang Tumaritis, tiba-tiba terdengar suara teriakan yang berubah menjadi erangan yang menggelegar. Suara itu datang dari luar kotaraja Indraprastha. Prabu Kresna menghentikan laju kereta. Prabu Kresna tiba-tiba merasa mual dan membayangkan aroma kematian karena ada hawa mengerikan yang tercipta dari ketakutan, duka, murka, dan kecewa yang sangat kuat. Di tengah lamunannya, Ki Lurah Semar mengejutkannya. Dia melihat Prabu Kresna tiba-tiba bersandar di bawah pohon. “Welah dalah Mbelegedug.... ada apa, ndara Prabu Kresna? Tiba-tiba menyandarkan diri?” “Ki Lurah, aku merasakan hawa mengerikan dari Amarta. Aku takut terjadi sesuatu pada para Pandawa.” “aku juga merasakan hal yang sama. Aku khawatir bila hawa mengerikan ini berkaitan dengan kahyangan. Semalam aku mendapat pesan gaib dari ayahku, Batara Padawenang. Katanya para Pandawa akan dihukum di neraka karena ulah Dewasrani.” Seketika Prabu Kresna berubah raut mukanya, kecut seperti menyimpan kedukaan. Batara Wisnu dalam dirinya seakan berbisik untuk berubah wujud menjadi Maha Brahalasewu. Tangan sang prabu Kresna menyentuh Panah Aji Kesawa dan seketika Prabu Kresna triwikrama menjadi raksasa besar berkulit hitam legam bertangan banyak. Tanpa banyak bicara, Maha Brahalasewu segera menuju kahyangan. Sementara Ki Lurah Semar memanggil anak-anaknya untuk menemui Raden Gatotkaca. “Gareng! Petruk! Bagong! sekarang aku mau nyusul Pandawa ke Jonggring Saloka. Kalian ke Pringgondani, panggil ndara Gatotkaca untuk menjaga Amarta.” “asiquuee, akhirnya jalan-jalan “seloroh bagong. Gareng menimpalinya “Ngawur kamu, Gong. Bapak nyuruh jaga negara dibilang jalan-jalan” Petruk kemudian menengahi “sudah-sudah, kang Gareng. Yuk jalan. Gausah kayak emak-emak ghibah.” Mereka bertiga pun berangkat.
Sementara itu, Batara Narada dan keempat Pandawa telah tiba di Jonggring Saloka. Batara Guru bertanya “ kok malah mereka berempat? Puntadewa Yudhistira kemana? “ dengan santainya, Arya Wrekodara berkata “Maaf pukulun, nyawa kakak kami jauh lebih berharga untuk dikorbankan demi permintaanmu yang tak masuk akal itu. Kami saja yang turun sebagai ganti korban,” batara Guru bertanya pada Dewasrani apakah nyawa keempat Pandawa itu cukup untuk menebus kesalahan Prabu Yudhistira. Dewasrani berpikir inilah kesempatan untuk menyebarkan kenakalannya diantara manusia. Dengan lenyapnya empat Pandawa, segala sifat nakal dan arogannya akan menyebar di muka bumi lebih mudah. Masalah Prabu Yudhistira bisa dikesampingkan dan bisa dia habisi kapan saja. Lalu dia berkata “ayahanda, keempat Pandawa sudah cukup bagiku” batara Guru kemudian memanggil Batara Yamadipati untuk menggiring keempat Pandawa ke Kawah Candradimuka di dasar neraka.
Sesampainya disana, Raden Arjuna berkata “Pukulun Yamadipati, sudah sampai disini saja tugasmu. Biar kami sendiri yang terjun ke dasar.” Batara Yamadipati mempersilakan. Begitu tubuh keempat Pandawa menyentuh lahar kawah yang mendidih itu, terjadi keajaiban. Neraka kawah Candradimuka yang panas tak terkira tiba-tiba berubah menjadi sejuk. Lahar yang tadinya bergejolak mendadak berhenti dan berubah menjadi sedingin air pegunungan. Para Kingkara mendadak keluar dari neraka dan heran kenapa suasana neraka berubah sejuk. Di dasar neraka, empat Pandawa melihat dua orang yang familiar. Mereka tak lain adalah Prabu Pandu Dewanata dan Dewi Madrim yang sudah berbadan ruhani. Keempat Pandawa menangis terharu terutama Nakula dan Sadewa lalu memeluk kedua orang tuanya itu. Arya Wrekodara dan Raden Arjuna memluk Pandu Dewanata sedangkan Nakula dan Sadewa memeluk sang ibu, Dewi Madrim. “anak-anakku, bagaimana kabar kalian? Ibu Kunthi bagaimana?” tanya Prabu Pandu Dewanata memecah keharuan “Arya Wrekodara menjawab dengan bahasa polosnya “syukur pada Ida Sanghyang Widhi, kami baik-baik saja. Kanjeng ibu Kunthi sehat.” Dewi Madrim bertanya “anak-anakku, bagaimana dengan kabar di Marcapada?” Raden Nakula berkata “di Marcapada baik-baik saja. Hastinapura tetap damai sentosa di perintah kanda Prabu Duryudana. Untuk mengurangi ketegangan kami dan kakang para Kurawa, Kami berlima telah berjaya mendirikan Kerajaan Amarta. Mandiri dan merdeka dari Hastinapura” Kedua orang tua Pandawa itu menangis haru mendengar keberhasilan para putra mereka. Raden Sadewa kemudian bertanya, “Ayahanda! Kanjeng ibu! Saat kami mencebur ke kawah neraka ini aneh rasanya. Kok tidak terasa panas sama sekali bahkan udaranya terasa sangat sejuk?” Prabu Pandu Dewanata menjelaskan bahwa neraka Candradimuka ini akan terasa sejuk bila yang diceburkan ke dalamnya adalah orang berhati baik dan tulus. Arya Wrekodara dan ketiga adiknya bersyukur karena mereka bukan digolongkan orang yang berhati jahat. Tiba-tiba mereka dikejutkan dengan suara keras yang amat memekakkan telinga dari luar Candradimuka.
Suara keras itu terdengar dari Lawang Selomatangkep. Datang sesosok raksasa putih tinggi besar bertangan enam bernama Prabu Batara Dewa Amral mengamuk dan menghancurkan pos jaga Batara Cingkarbala dan Balaupata. Lawang Selomatangkep juga dibuka paksa sampai berderit keras. Para dewa, para bidadara dan bidadari, berlarian kesana-kemari karena panik. Begitu memasuki kahyangan, para dewa menyerang raksasa itu namun segala serangan itu tak sat pun mempan malah berbalik pada mereka sendiri. Suara erangan dan teriakannya menggoncang kahyangan dan gunung Mahameru. Lalu dia tendang segala benda dibawah kakinya dan mencabuti segala pepohonan, bangunan, bebatuan besar, dan tanah cadas lalu dilemparkannya ke segala arah. Kahyangan Jonggring Saloka rusak berat dibuatnya. Taman Karang Kaendran berubah tertutup tanah dan batu, hampir tak bersisa. Takhta Madeprawaka bergeser dari tempatnya. Balai Marakata dan Balai Marcukunda terlempar dan hampir rubuh. Gunung Mahameru longsor dan memuntahkan awan panas yang menyesakkan. Para bidadara dan bidadari yang dipimpin Batara Indra beramai-ramai turun ke Marcapada menyelamatkan diri. Para dewa yang masih bertahan seketika ciut nyali bahkan pingsan karena hawa membunuh yang dipancarkan Dewa Amral sangat kuat dan begitu mengerikan, bahkan Batara Guru dan Batari Durga ikut merasa mual karenanya “HUWOOOOO AKAN KU HANCURKAN SELURUH KAHYANGAN DEWAAAA...!!!” Dewa Amral kemudian terjun ke Kawah Candradimuka di dasar neraka.
 Sesampainya di dasar dia melihat keempat adiknya bersama sepasang pria dan wanita. Dewa Amral datang lalu bersimpuh di hadapan mereka. Mata sang raksasa sembab karena tahu yang dihadapannya itu Prabu Pandu dan Dewi Madrim, ayah dan ibunya yang telah lama meninggalkan mereka. Prabu Pandu Dewanata memeluk Dewa Amral “walau kau berubah wujud seperti ini. Aku mampu mengenalimu putraku, Puntadewa.” “AYAHANDA ! KANJENG IBU! TUGAS KAMI BERLIMA DI DUNIA MASIH BANYAK. AKU AKAN MEMBAWA MEREKA KELUAR DARI NERAKA INI!. AKU JUGA AKAN MENGENTAS KALIAN DARI NERAKA DAN KU BAWA KE SWARGA MANILOKA.” “putraku, kami tidak sengsara selama tinggal di neraka karena amal-amal baik kalian dalam membela kebenaran dan keadilan . Sebalikanya walaupun kami tinggal di Swarga Maniloka, kami akan merasa tersiksa bagai di neraka jika kalian berbuat jahat di Marcapada. Apapun keputusanmu, kami akan bahagia bila itu untuk kebaikan semua” Dewa Amral mengangkat keempat adiknya keluar dari neraka dan segera meminta keadilan pada Batara Guru agar kedua orangtuanya dimasukkan ke Swarga Maniloka. Kemudian sampailah mereka di depan takhta Madeprawaka. Batara Guru dan Batara Narada datang lalu bertanya “Dewa Amral, perihal nama “dewa” kau sudah tahu aku melakukan itu karena ulah Dewasrani, putraku. Tolong maafkan lah dia.” “BATARA GURU, PERIHAL NAMA “DEWA” DAN DEWASRANI BISA AKU LUPAKAN. TAPI SEKARANG SAATNYA KEADILAN. DALAM MIMPI, AKU MENYAKSIKAN SENDIRI AYAH DAN IBUKU HIDUP DI NERAKA, DISIKSA. DOSA-DOSA AYAHANDA DAN KANJENG IBU SUDAH LEBUR SETIMPAL DENGAN AZAB YANG DITERIMA. AKU KESINI MINTA KEADILAN AYAHANDA DAN KANJENG IBU MASUK SURGAAAAA......!!!” Batara Guru diam seribu bahasa tidak memberikan jawaban. Dewa Amral tak sabar lagi lalu mengamuk berniat menghancurkan seluruh kahyangan. Batara Guru marah kemudian menembakkan sinar trinetra namun meleset. Karena lengah, Batara Guru berhasil digenggam Dewa Amral. Batara Narada menjadi ketar-ketir. Kahyangan kacau dan kini Batara Guru tertangkap Dewa Amral. Lalu datanglah Maha Brahalasewu untuk meredam amarah Dewa Amral. Dewa Amral menjadi semakin marah dan terus menggenggam Batara Guru dengan kuatnya. Tiba-tiba tangannya ditampik dan Batara Guru terbebas dari cengkraman. Ketika menoleh rupanya Maha Brahalasewu sudah ada di depannya. Dewa Amral balas menyerang Maha Brahalasewu. Dewa Amral lalu membawa Maha Brahalasewu ke tengah lapangan Repat Kepanasan.
Dewa Amral melawab Maha Brahalasewu
Kedua triwikrama itu bertarung tanpa henti. Seluruh kahyangan berguncang hebat. Keduanya bagaikan Batara Wisnu dan Batara Dharma yang sedang berperang tanding. Kerusakan di alam kahyangan membuat bumi gonjang-ganjing, langit kolap kalip, hawa panas dan dingin bercampur menciptakan topan badai dahsyat.
Batara Narada khawatir kalau kahyangan benar-benar hancur. Batara Narada tiba-tiba mendapat pesan gaib dari Batara Padawenang di Alang-alang Kumitir “Narada, cari jago agar kedua triwikrama itu tenang. Jago itu sekarang ada di Amarta. Dia adalah perempuan dengan rambut berhiaskan jepit bunga teratai.” Batara Narada merasa ini kesempatan untuk menghentikan Dewa Amral dan meredakan amarah Maha Brahalasewu. Lalu dia kembali turun ke Marcapada. Di tengah perjalanan dia bertemu Ki lurah Semar “adhi narada, ada apa kembali turun ke Marcapada?” “kakang Semar, batara Padawenang memberiku pesan wangsit untuk menjemput jago kahyangan yang bisa menenangkan kedua triwikrama. Jago itu seorang perempuan dengan rambut berhiaskan jepit bunga teratai.” “adhi Narada, jago yang dimaksud itu Gusti Permaisuri Drupadi, istri gusti Prabu Yudhistira. Mari ikut aku.”
Di Keraton Indraprastha, Dewi Drupadi menerima kedatangan keponakannya,  Raden Gatotkaca dari Pringgondani dan tiga punakawan Gareng, Petruk, dan Bagong. Tak lama kemudian Batara Narada dan Ki Lurah Semar turun dari angkasa. Batara Narada kemudian bercerita “Drupadi, cucuku. Kedatanganku bersama kakang Semar kemari untuk menjemputmu menjadi jago kahyangan. Kahyangan sekarang dikacaukan oleh raksasa putih. Tadinya ada bala bantuan tapi bala bantuan itu kerepotan dan kini justru bertarung dengannya sampai mati” Dewi Drupadi terkejut lalu bertanya“Ampun, pukulun. Bukan bermaksud meragukan keputusan dewata tapi kenapa harus saya? Kenapa bukan kakang Yudhistira atau adik-adik ipar? Kenapa bukan kakang Gowinda? Apa istimewanya saya di hadapan dewa?” batara Narada berkata “saat ini Para Pandawa ditawan oleh raksasa putih itu. Kedua raksasa itu butuh ditenangkan dan kamu yang dirasa paling cocok untuk menenangkan mereka, cucuku.” Dewi Drupadi menjadi bersemangat dan bersedia naik ke kahyangan.
Di tengah Repat Kepanasan, debu panas dan tanah membumbung tinggi. Pertarungan Dewa Amral dan Maha Brahalasewu terus berlangsung. Mereka bertarung cepat bahkan mata para dewa tak mampu melihatnya karena laju sekali.  Dewa Amral saling melempar seribu tombak sementara Maha Brahalasewu melempar seribu anak panah hingga senjata-senjata itu meledak di tanah.  Ledakan menyebarkan berton-ton debu dan pasir ke segala arah. Kahyangan Jonggring Saloka menjadi diselimuti badai debu dan pasir. Tiba-tiba Dewa Amral dan Maha Brahalasewu terhempas oleh daya kekuatan yang asing. Ketika mereka bangun, mereka mendapati ada sesosok wanita duduk bersila di tengah Repat Kepanasan mengheningkan cipta sambil menjapa mantra penenang jiwa. Sosok itu adalah Dewi Drupadi. Kedua triwikrama menjadi lemah dan tak berdaya seketika. Akhirnya mereka berubah kembali ke wujud semula. Dewa Amral badar kembali jadi Prabu Yudhistira dan telah reda amarahnya sedangkan Maha Brahalasewu badar kembali menjadi Prabu Kresna. Arya Wrekodara, Raden Arjuna, dan kembar Nakula-Sadewa keluar dari persembunyian. Batara Narada kemudian menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Dewi Drupadi bersyukur sang suami, para iparnya dan Prabu Kresna tidak-apa-apa.
Tiba-tiba datanglah Dewasrani merasa kesal karena rencananya melenyapkan Pandawa telah gagal. Dewasrani beserta pasukan siluman dan hantu dari Dandangmangore kemudian menyerang para Pandawa. Arya Wrekodara berusaha mengusir pasukan siluman itu namun kewalahan karena jumlah siluman dan hantu terlalu banyak. Lalu datang Ki Lurah Semar  mengeluarkan kentut saktinya. Karena daya kentut sakti itu, Dewasrani dan pasukannya terhempas kembali ke Istana Nusarukmi di Dandangmangore. Batara Guru dan Batari Durga khilaf dari kesalahannya lalu meminta maaf karena terlalu menuruti keinginan Dewasrani yang kekanak-kanakan dan arogan. Para Pandawa dan Prabu Kresna mengikhlaskan itu. lalu Batara Guru berkata “untuk masalah orang tua kalian, Pandu dan Madrim, aku sudah memutuskan mereka berdua sudah layak dientas dari neraka dan kuperkenankan memasuki Swarga Maniloka.” Dewi Drupadi dan para Pandawa merasa bersyukur dan berterima kasih. Setelah dirasa cukup, para Pandawa, Dewi Drupadi, Prabu Kresna dan Ki lurah Semar kembali ke Amarta. Sementara para dewa segera memperbaiki bagian-bagian kahyangan yang rusak.

Rabu, 18 Desember 2019

Jayadrata Krama (Alap-alapan Durshilawati)


Salam para pembaca yang budiman. Karena satu dua hal, penulis baru bisa memposting kisah saat ini. Kisah kali ini menceritakan pernikahan Prabu Anom Jayadrata, raja muda negeri Sindu Banakeling dengan Dewi Durshilawati, adik perempuan Prabu Duryudana dan satu-satunya perempuan di tengah para Kurawa. Pernikahan ini sempat terganggu dengan hilangnya sang mempelai perempuan. Dikisahkan pula kelahiran Raden Pancawala, putra Prabu Yudhistira dan Dewi Drupadi. kisah ini bersumber pada blog albumkisahwayang.blogspot.com, Kitab Pustakaraja Purwa, dan beberapa blog pedalangan lainnya yang diubah dan dikembangkan seperlunya.
Prabu Duryudana dihadap patih Arya Sengkuni, Arya Dursasana, Resi Dorna, Arya Kartamarma di balairung keraton Hastina. Murung muka, muram durja wajahnya. Mendung bergelayut di dalam hati dan kepalanya karena adik bungsunya, Dewi Durshilawati, satu-satunya perempuan di seratus Kurawa yang kini telah ditunangkan dengan Prabu Anom Jayadrata dari Sindu Banakeling menghilang tanpa jejak. “duh, Dursasana! Kartamarma!. Bagaimana ini? Adik kita tercinta Durshilawati menghilang dan belum ketemu. Andai saja aku melarangnya untuk keluar keraton saat itu, gak akan jadi begini. Bapa Guru, apa kau punya solusi untuk masalah ini?” Resi Dorna memang waskita. Dia berkata penolong Dewi Durshilawati akan datang kesini. Tak lama kemudian, datang lah Prabu Anom Jayadrata, tunangan Durshilawati datang untuk berkunjung”kakang prabu Duryudana ada apa bersusah hati seperti itu? tak senangkah kakang prabu bertemu saya?” Prabu Duryudana merasa bersalah lalu menjelaskan kemasygulan hatinya. Untuk itu para Kurawa yang dipimpin oleh Arya Dursasana diperintahkannya untuk mencari Dewi Durshilawati ke sekeliling negara Hastinapura. Setelah para Kurawa pergi,  Patih Sengkuni mendapat ide untuk menyerang para Pandawa lewat tangan Prabu Anom Jayadrata. Patih Sengkuni kemudian menduga keponakan perempuannya itu berada di Amarta, sehingga dia menyarankan Prabu Anom Jayadrata untuk mencari Dewi Durshilawati di sana. Prabu Anom Jayadrata akhirnya paham dan bertekad untuk menemukan calon pengantinnya itu. dia kemudian dia mohon diri untuk segera berangkat.
Sementara itu, Beberapa bulan setelah pernikahan Raden Arjuna dan Dewi Sumbadra, berita gembira seakan terus mengiringi para Pandawa. Permaisuri Prabu Yudhistira, Dewi Drupadi kini telah melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat dan tampan. Kabar gembira ini bagaikan perkumpulan ibu-ibu yang bergosip, menyebar cepat bagai kilat. Begitu kabar itu terdengar, Prabu Kresna selaku wakil Keluarga Yadawa datang menjenguk ke Amarta. Prabu Kresna kemudian mendatangi Dewi Sumbadra lalu bertanya “Dinda , dimana adhimas Parta? Sejak tadi aku tidak melihatnya.” “kangmas Arjuna sedang berkunjung ke Andong Sumawi, menemui kanda Dewi Manuhara jadi sudah beberapa hari ini...” tiba-tiba para Pandawa dan Prabu Kresna dikejutkan dengan datangnya sepasukan prajurit Sindu Banakeling yang dipimpin Prabu Anom Jayadrata. Prabu Anom Jayadrata berteriak meminta Dewi Durshilawati dibebaskan “Yudhistira! Dimana kau sembunyikan Durshilawatiku? Cepat kembalikan Durshilawati atau permaisurimu, Drupadi ku rebut dari tanganmu, Yudhistira! Kita selesaikan masalah dinda Durshilawati di alun-alun” Arya Wrekodara menjadi geram melihat kelakuan kawan baik Prabu Duryudana itu “Jayadrata keparat! Benar-benar tak tahu sopan santun di negara orang. Minta mati saja “. Lalu Prabu Yudhistira dengan tenang mengingatkan adiknya yang bertubuh besar itu “Adhi Bima, jangan tersulut emosi. Menurut berita yang ku dengar, dinda Durshilawati sedang menghilang dari keraton Hastina jadi wajar bila sebagai calon suami, Jayadrata datang kemari. Amankan saja dia, adikku, jangan sampai ada darah yang tumpah. Dinda Jayadrata itu kawan baik kanda Prabu Duryudana. Bagaimanapun kemungkinan perang Baratayudha harus kita hindari.”
Di kedaton, Dewi Drupadi menggendong sang putra yang baru lahir di atas peraduan. Sang jabang bayi tampan dan imut-imut. Tak lama kemudian, Prabu Kresna diajak masuk Prabu Yudhistira ke kedaton. Sesampainya di sana, Prabu Kresna sangat gembira melihat keadaan Dewi Drupadi dan anaknya sehat dan selamat. Prabu Kresna kemudian menggendong keponakan barunya itu lalu bertanya, “Dinda Samiaji*, siapa nama putra kalian ini? Apa kalian sudah memberikan nama?” “belum, kanda Kresna. Kami ingin kanda Kresna yang beri nama.” Prabu Kresna menyanggupi. Lalu dia berkata “Dinda Drupadi itu kembang mekarnya negara Pancalaradya makanya oleh Paman Gandamana dahulu diberi nama Dewi Panchali. Maka sudah sepantasnya keponakanku yang ganteng kinyis-kinyis ni aku beri nama Pancawala. Mulai hari ini namanya adalah Raden Pancawala, putra kesayangan Panchali.” “Pancawala? Nama yang bagus, kanda Gowinda*. Aku suka.”
Di alun-alun, Arya Wrekodara dan Prabu Anom Jayadrata saling berperang satu sama lain. Keduanya sama-sama kuat, sama-sama sakti. Saling hantam, saling pukul, saling sikut, dan saling tendang terus terjadi sehinggalah Prabu Anom Jayadrata menjadi babak belur. Akhirnya Arya Wrekodara berhasil meringkusnya. “Bima Wrekodara! Kalau kau ingin membunuhku, bunuh saja. Biar kanda Prabu Duryudana yang kemari membawa jasadku.” Arya Wrekodara terpancing dan hendak memukul kepala pangeran Sindu Banakeling itu hingga hancur. namun muncul suara menggelegar dari langit “Hentikan!” Batara Narada turun dari angkasa dan buru-buru melerai Arya Wrekodara dan Prabu Anom Jayadrata.
Batara Narada Melerai perkelahian Wrekodara dan Jayadrata
Prabu Kresna dan Prabu Yudhistira yang baru keluar dari keraton segera mendatangi tangan kanan Batara Guru itu lalu menyembah hormat kepadanya. “Welah dalahh, cucuku Bima Wrekodara. Jangan menyiksa saudara sendiri.” Arya Wrekodara tak mengerti bagaimana bisa dia dan Jayadrata bisa bersaudara. kemudian Batara Narada bercerita “begini cucuku. Dahulu waktu kau lahir, tubuhmu terbungkus selaput ketuban. Ayahmu mendapat sabda dewata untuk membuangmu ke hutan Mandalasara. Setelah berumur tiga tahun, bungkusmu berhasil dirobek Gajah Sena. Karena pertarungan dengan Gajah Sena, angin topan bertiup kencang lalu menerbangkan bungkusmu hingga ke tengah laut. Oleh kemurahan Ida Sanghyang Widhi, Praburesi Sempani dan Ratna Drata, raja dan permaisuri Sindu Banakeling menemukannya dan dijadikan sarana untuk mendapatkan putra, cucuku. Jadi Jayadrata yang ada di hadapanmu ini sebenarnya selaput bungkusmu sendiri.” Mendengar penjelasan dari Batara Narada, Arya Wrekodara dan Prabu Anom Jayadrata saling bermaafan. Lalu batara Narada berkata pada Prabu Anom Jayadrata“cucuku, Jayadrata. Kalau kau ingin mencari Durshilawati, dia sekarang berada di Gunung Maestri..” Prabu Anom Jayadrata berterima kasih atas petunjuk yang diberikan batara Narada lalu minta maaf pada prabu Yudhistira atas kelancangannya dan undur diri meninggalkan Amarta. Setelah keadaan tenang kembali, Prabu Kresna ingin mengajak Arya Wrekodara ke Gunung Maestri “Adhi Bungkus, mari ikut aku ke gunung Maestri menjemput adhi Parta. Aku mendapat firasat adhi Parta akan mendapatkan masalah di sana.” Setelah Prabu Yudhistira mengijinkan, mereka segera berangkat.
Di Gunung Maestri, Raden Arjuna, Ki Lurah Semar, Gareng, Petruk dan Bagong sedang berguru pada Begawan Metreya. Sejak pernikahannya dengan Sumbadra, kadang ada rasa kepikiran pada Dewi Banowati yang tak datang di pernikahannya. Karena rasa itu terus membayanginya, Arjuna pergi ke desa Andong Sumawi, menjenguk Dewi Manuhara yang kini sedang hamil lima bulan. Sepulang dari Andong Sumawi, ketika melewati Gunung Maestri datanglah Begawan Metreya meminta bantuan karena pertapaannya diganggu denawa hutan. Raden Arjuna kemudian turun tangan menumpas para denawa itu. Sejak saat itu, Raden Arjuna tinggal di Gunung Maestri dan berguru pada Begawan Metreya. Di tengah hutan, Arjuna mendengar suara jeritan yang familiar. Raden Arjuna dan Begawan Metreya segera mendatangi asal suara itu dan ternyata Dewi Durshilawati duduk diatas punggung gajah yang berlari kencng.
Tanpa banyak bicara, Raden Arjuna segera menyambar tubuh adik sepupunya itu. karena sang tawanan berhasil dibawa lari, gajah putih itu mengamuk dan hendak menyerang mereka. Tiba-tiba Arjuna mengerahkan ilmu Angin Sayuta. Sang gajah itu pun terhempas sejauh mata memandang. Dewi Durshilawati kemudian mendekati Raden Arjuna dan Begawan Metreya “Terima kasih, kanda Arjuna sudah menyelamatkanku.” “tak usah dipikirkan. Durshilawati, bagaimana bisa kau masuk ke hutan ini dan dibawa gajah itu?” Dewi Durshilawati kemudian bercerita sebelumnya dia ingin keluar keraton dengan naik gajah keliling kotaraja Hastinapura dan atas izin kakaknya, Prabu Duryudana, dia diperkenankan keluar keraton. Namun pihak keraton tidak sadar gajah yang dinaiki Durshilawati adalah hewan kiriman musuh Prabu Duryudana. Lalu ketika Dewi Durshilawati naik, gajah itu berontak dan membunuh beberapa prajurit yang  menjaga Durshilawati. Gajah itu pun membawanya lari hingga ke Gunung Maestri. Raden Arjuna mengingatkan adik sepupunya itu untuk lebih waspada lagi meski di rumah sendiri. Raden Arjuna dan Begawan Metreya kemudian menawarkan diri untuk mengantar pulang Durshilawati. Tak disangka, beberapa kakak Durshilawati, yaitu Arya Dursasana, Arya Durmukha, Arya Citraksa dan Arya Citraksi  menghadang mereka. Mereka menyangka yang membawa gajah putih untuk menculik Durshilawati adalah Arjuna. Arya Dursasana dengan pongahnya berkata pada adik-adiknya “rupanya kita gak usah jauh-jauh mencari penculik adinda. Adinda Durshilawati sendiri udah membawa si penculik” “Kanda Dursasana, jangan sembarangan bicara. justru aku yang diselamatkan kanda Arjuna dari penculik itu.” Arya Dursasana tak percaya malah memaki adik perempuannya itu. lalu dia memerintahkan Arya Durmukha dan saudara-saudaranya untuk menangkap Arjuna dan begawan Metreya. Arjuna dan begawan Metreya ditangkap, diikat, dan dijebloskan ke kereta pesakitan. Dewi Durshilawati menangis lalu meninggalkan kakak-kakaknya itu. Di tengah perjalanan, dia bertemu sang tunangan, Prabu Anom Jayadrata. Karena terlalu lelah, Dewi Durshilawati terjatuh dan akhirnya dipapah oleh Prabu Anom Jayadrata dan mengantarkannya ke Hastinapura.
Di Hastinapura, Prabu Duryudana menyambut kedatangan Prabu Anom Jayadrata dan Dewi Durshilawati. Sang prabu gembira adiknya telah kembali dengan selamat. Di saat yang sama, rombongan Arya Dursasana jug datang membawa Raden Arjuna, Begawan Metreya, dan para punakawan. Arya Dursasana mengatakan bahwa yang menculik Durshilawati adalah Arjuna yang berubah menjadi gajah putih dibantu oleh Begawan Metreya. Prabu Duryudana sangat marah mendengarnya lalu memerintahkan adik-adiknya untuk menjebloskan Arjuna dan Begawan Metreya ke penjara. Dewi Durshilawati menjadi marah pada kakak sulungnya itu dan membela Arjuna “kanda prabu Duryudana keterlaluan. Kanda lebih menuruti perkataan kanda Dursasana daripada aku. Kanda Arjuna dan eyang begawan Metreya tak bersalah. Justru mereka yang menyelamatkan aku.” Prabu Duryudana menjadi amat marah mendengar pembelaan adik perempuan satu-satunya itu “Durshilawati! Tutup mulutmu. Sudah jelas Arjuna yang menculikmu. Masih kah kau tak sadar?” “ Demi langit dan bumi, demi Sanghyang Widhi, yang ku katakan ini murni apa adanya. Kakang Prabu Jayadrata juga tahu kejadiannya. “ Prabu Duryudana semakin gusar dan hendak menampar pipi sang adik namun dapat dicegah oleh Dewi Banowati. “hentikan kanda! Dinda Durshilawati hanya ingin menyampaikan kebenaran yang ada” Dewi Banowati kemudian memeluk iparnya itu lalu membawanya ke kaputren. Prabu Anom Jayadrata yang sedari tadi menahan diri akhirnya buka suara “cukup kakang prabu! Kau tak malu kah menampar adik sendiri? Lebih baik kami tak akan menikah daripada melihat adhimas Arjuna dan eyang Begawan sengsara di penjara.”
Bak mendung dan badai di lautan, hati Prabu Duryudana kembali masygul. Persiapan pesta pernikahan adiknya yang telah ia siapkan jauh-jauh hari sudah hampir matang. Namun kedua mempelai tak mau keluar kamar masing-masing. Ketika tetamu undangan berdatangan, tiba-tiba datang seekor gajah putih dan segerombolan hewan-hewan buas merusak persiapan pesta. Gajah itu kemudian berubah menjadi sosok seorang raja “hei Duryudana! Kenalkan, aku Jayapuspakara raja Tirtakandama. Kemarikan adikmu, Durshilawati. Kemarin aku berhasil membawanya pergi tapi diambil balik oleh sesorang ksatria. Kembalikan dia padaku.” Prabu Duryudana menjadi gusar lalu memerintahkan adik-adiknya untuk mengalahkan raja sombong itu. Pertarungan berlangsung sengit dan para Kurawa terdesak. Lalu prabu Duryudana mendatangi kamar prabu Anom Jayadrata untuk minta bantuannya “Dinda prabu, kau lihat itu. Sarana pesta untuk kalian jadi rusak dan raja para hewan itu menginginkan calon istrimu. Bantulah calon kakak iparmu ini.” “begitu ya. Aku bersedia membantu asal adhimas Arjuna dan eyang Begawan dibebaskan.” Prabu Duryudana akhirnya luluh dan memerintahkan para prajurit untuk membebaskan Arjuna dan begawan Metreya.
Begitu turun ke medan laga, Prabu Anom Jayadrata dan Raden Arjuna berusah mengalahkan Prabu Jayapuspakara namun mereka dihadang oleh serangan hewan-hewan buas. Lalu disaat bersamaan, Arya Wrekodara yang kebetulan datang mencari sang adik datang bersama Prabu Kresna. “hoi ada apa ini, Jlamprong? Hewan-hewan di kebun binatang lepas ya” dengan santainya, Arya Wrekodara membuat hewan-hewan buas itu lari pontang panting. Lalu Raden Arjuna segera memanah Prabu Jayapuspakara yang sedang berwujud manusia. Raja itu kesakitan dan menjadi lengah karena kesaktiannya berkurang. Di saat demikian, Prabu Anom Jayadrata segera memukul kepala sang raja dengan gadanya, gada Kyai Glinggang. Dengan sekali pukul, Prabu Jayapuspakara tewas dengan kepala pecah berantakan. Geram melihat rajanya tewas, sisa-sisa hewan buas yang berada disitu menyerang mereka bertiga namun oleh Arya Wrekodara, gerombolan hewan buas itu dapat diusir.
Prabu Duryudana merasa tak enak hati karena laporan palsu Arya Dursasana minta maaf pada Raden Arjuna dan Begawan Metreya. Raden Arjuna memang sudah ikhlas tapi tidak untuk Begawan Metreya. Harga dirinya sebagai seorang brahmana telah jatuh karena Arya Dursasana yang menutup diri dari kebenaran yang ada. lalu terucaplah kutuk pasu “hei Dursasana putra Dretarastra, kau putra raja yang diajari tentang yang benar dan yang salah. Namun kebenaran itu malah tak pernah mau kau kenalkan dalam hidupmu. Kau menutup dirimu dari kebenaran. Ingatlah karmapalamu! Bila ada perang besar antara dharma dan adharma nanti, kau akan menjadi salah satu tumbalnya dan jasadmu akan menjadi susah dikenali karenanya.” Begawan Metreya kemudian memilih pulang ke Gunung Maestri. Karena nama baik Arjuna telah dipulihkan, Dewi Durshilawati dan Prabu Anom Jayadrata mengakhiri hukuman mengurung diri mereka dan pernikahan mereka dapat dilaksanakan. Pesta pun berlangsung meriah meskipun ada sedikit kerusakan akibat serangan tadi.
Prabu Anom Jayadrata memboyong Dewi Durshilawati
Setelah pesta selesai selama tujuh hari tujuh malam, Prabu Kresna mohon diri untuk kembali ke Amarta bersama AryaWrekodara dan Raden Arjuna. Begitu juga dengan Prabu Anom Jayadrata. Dia tidak ingin berlama-lama membiarkan kerajaan kosong tanpa pemimpin. Dewi Durshilawati juga memutuskan untuk tinggal di Sindu Banakeling bersama sang suami.
*Samiaji adalah salah satu nama julukan Prabu Yudhistira/Puntadewa. Selain itu dia juga dijuluki Dwijakangka, Dharmaputra, Ajatasatru, Gunatalikrama, Darmakusumah.dll
*Gowinda artinya anak penggembala, julukan kesayangan Dewi Drupadi untuk Prabu Kresna

Jumat, 15 November 2019

Parta Krama (Sambung darah Baharata-Yadawa)


Salam pembaca semua, karena ad beberapa kegiatan ini dan itu penulis baru bisasempat memposting cerita sekarang. Cerita kali ini mengisahkan pernikahan Raden Permadi (Arjuna) dengan Dewi Bratajaya (Sumbadra) yang sempat dipersulit oleh Prabu Baladewa lewat sayembara yang berat. Versi ini berbeda dengan versi Adiparva Mahabharata dimana Arjuna mendapatkan Subadhra dengna cara kawin lari yang didalangi Krishna Basudeva. Pernikahan ini selain menyatukan kembali darah Baharata-Yadawa, kelak pasangan ini dikaruniai seorang yang akan menurunkan raja-raja Jawa yaitu Abimanyu. Sumber yang digunakan berasal dari blog albumkisahwayangblogspot.com degan pengembangan dan perubahan seperlunya.
Sesampainya di Amarta, Raden Permadi disambut oleh Prabu Yudhistira, Arya Wrekodara, Raden Nakula dan Raden Sadewa. Mereka saling melepas rindu. “ahh senang sekali kembali ke Amarta. Ngomong-ngomong, dari tadi aku tidak melihat kanjeng ibu. Dimana kanjeng ibu, kakang Prabu?” Prabu Yudhistira mengatakan “kanjeng ibu sedang berkunjung ke Dwarawati. Katanya ada urusan penting dengan kakang Prabu Kresna. Adhi jangan risau. Adhi Wrekodara sudah mengutus Gatotkaca untuk mengawal kanjeng ibu.”
Sementara itu, di kerajaan Dwarawati, Prabu Kresna sedang dihadap Patih Udawa, Arya Setyaki, dan Prabu Baladewa. Mereka sedang membicarakan jodoh Dewi Bratajaya. Prabu Baladewa datang dari Mandura untuk berusaha mencomblangkan Dewi Bratajaya dengan Arya Burisrawa, iparnya. Seketika itu Prabu Kresna teringat cerita dari sang ayah bahwa dulu saat masih bayi, Dewi Bratajaya telah ditunangkan dengan Raden Permadi oleh sang ayah, Prabu Basudewa. Prabu Kresna kurang setuju dan mengingatkan bahawa pertunangan Dewi Bratajaya dengan Raden Permadi harus berjalan sesuai ketetapan ayah mereka dahulu. Di tengah perdebatan sengit itu, datanglah Dewi Kunthi dan Raden Gatotkaca. Prabu Kresna turun dari kursi takhta menyambut adik ayahnya itu, “selamat datang, kanjeng bibi prameswari. Bagaimana kabar adik-adikku para Pandawa?” “Syukur kupanjatkan setiap saat. Kabar mereka baik, anakku Narayana dan aku mendapat kabar kalau Permadi sudah pulang. Kedatanganku kemari untuk membahas tentang kabar kepastian pernikahan Permadi dan Bratajaya, putri kakang Basudewa, adik kalian.” Prabu Kresna hendak menjawab setuju namun dicegah oleh Prabu Baladewa. Prabu Baladewa kemudian berkata “kanjeng bibi prameswari, walaupun adhi Bratajaya tinggal di Dwarawati, wilayah adhi Prabu Narayana, namun hak perwaliannya aku masih berlaku selaku putra sulung ayahanda prabu. Ayahanda prabu sudah meninggalkan keduniawian, jadi akulah yang menjadi wakilnya. Masalah diterima atau ditolaknya lamaran, aku yang menentukan.”
Dalam hati, prabu Baladewa tak bisa menyangkal kalau adik bungsunya telah ditunangkan sang ayah dengan Permadi namun dia juga ingin mencomblangkan Arya Burisrawa, iparnya yang sudah kadung dimabuk cinta pada adiknya. Lalu Prabu Baladewa mengajukan beberapa syarat berat “siapapun yang ingin menikahi adik kami, dia harus memenuhi syarat dariku. Pertama, mempelai harus menyediakan Mahesa Danu Pancal Panggung dari alas Krendawana sebanyak seratus empat puluh empat ekor lengkap dengan seratus empat puluh empat bidadari pengiring. Kedua, mempelai harus diarak dengan kereta kencana yang mampu melayang di angkasa. Ketiga, mempelai harus menghadirkan seekor kera putih sebagai penari beksan. Keempat, kedua mempelai harus duduk di pelaminan yang digelar di Balai Kencana Saka Domas. Kelima, acara pernikahan harus diramaikan dengan gamelan Lokananta yang ditabuh para dewa dan yang terakhir, mempelai harus dipayungi kembang mayang dari pohon Dewandaru-Jayandaru dari kahyangan Endraloka. Syarat ini bukan hanya untuk Permadi tapi juga untuk siapapun yang ingin menikahi adikku. Sekian terima kasih” Dewi Kunthi paham sang keponakan mempersulit Permadi, putranya. Tapi Dewi Kunti yakin bahwa syarat-syarat itu ujian yang harus dijalani sang putra ketiga demi mahligai rumah tangga yang bahagia. “baiklah, jika anak prabu Baladewa sudah berkata demikian, maka aku dan putraku sanggup menerima syarat itu. kami mohon pamit “ demikianlah, Dewi Kunthi dan Raden Gatotkaca pulang ke Amarta untuk mengabarkan ini pada Permadi.
Di luar kotaraja, Prabu Baladewa mendatangi Patih Arya Sengkuni, para Kurawa, dan Arya Burisrawa yang semenjak dua hari yang lalu berkemah. Patih Sengkuni bertanya tentang kabar percomblangan Burisrawa dengan Bratajaya. Prabu Baladewa menjawab percomblangannya kacau. Dewi Kunthi juga kebetulan datang mewakilkan Permadi untuk melamar Bratajaya dan dia langsung memberikan syarat-syarat berat padanya. Syarat itu juga berlaku pada Arya Burisrawa. Para Kurawa kecewa namun Patih Sengkuni nampak tenang. Dia tahu kemungkinan seperti ini dapat terjadi dan untuk rencana cadangan, Patih Sengkuni sudah merancangnya jauh-jauh hari. Kini tinggal Arya Burisrawa apakah dia menyerah atau lanjut saja. Arya Burisrawa yang sudah dimabuk cinta berkata “persetan syarat berat. Demi cintaku pada Bratajaya. Aku rela mengambil syarat-syarat berat itu.” karena keputusan sudah diambil, Patih Sengkuni, Arya Burisrawa, dan Para Kurawa mohon diri untuk berangkat memenuhi syarat-syarat berat itu.
Di tengah perjalanan, mereka membuntuti kereta kerajaaan Amarta yang membawa Dewi Kunthi. Patih Sengkuni sengaja mengajak para Kurawa dan Arya Burisrawa untuk menculik Dewi Kunthi agar pihak Pandawa tak tahu apa yang disayembarakan Prabu Baladewa. Mereka semua setuju kecuali Arya Durmagati. Durmagati yang polos dan lugu tak menerima keputusan sang paman berkata “paman patih, kalau kakang Burisrawa ingin menikahi adhi Bratajaya harus fair, harus dengan cara jantan. Kalau dengan cara begini, itu curang namanya.” Patih Sengkuni berkilah “ini juga sebuah strategi, Durmagati. Sambil menyelam minum air. aku menghalangi Pandawa sekaligus menjadi ayah Pandawa” Durmagati kemudian bertanya”lalu apa Bibi Kunthi akan menerima cinta paman? Cinta dipaksakan juga tak akan berbuah manis” “lalu apa salahnya jika aku masih cinta pada Kunthi. Aku juga pernah menculiknya dari Pandu walau gagal. Kali ini dia harus kunikahi dan dengan begitu perang Baratayudha yang diramalkan orang-orang tua itu dapat dihindarkan.” Arya Dursasana dan Arya Kartamarma setuju dengan rencana sang paman segera memerintahkan adik-adiknya untuk menangkap Dewi Kunthi. Mereka tidak tahu bahwa Dewi Kunthi telah dijaga Raden Gatotkaca dari angkasa.
Kereta yang membawa Dewi Kunthi tiba-tiba berhenti. Dewi Kunthi melihat dari sudut jendela sais kereta sudah terbunuh lalu datanglah patih Sengkuni memaksa Dewi Kunthi keluar kereta. Patih Sengkuni dan para Kurawa berencana menculik dirinya. Lalu datanglah pertolongan. Gatotkaca, sang cucu membawa angin besar untuk memporak-porandakan para Kurawa. mereka terkejut tiba-tiba ada pemuda gagah datang. Arya Dursasana bertanya “hei anak muda. Siapa kamu berani betul kau melawan kami para Kurawa.” “aku Gatotkaca, putra Bima Wrekodara. Paman-paman Kurawa ingin menculik kanjeng eyang prameswari, langkahi dulu mayatku.” Arya Dursasana dan Para Kurawa terkejut karena pemuda itu putra Wrekodara. Patih Sengkuni kemudian menyeru pada Raden Gatotkaca “hei putra Wrekodara. Lebih baik mundur sana. Sayang bila kau harus mati di tangan para keponakanku.” Lalu Raden Gatotkaca berkata lantang”aku tidak peduli, eyang patih. Aku sudah ditugasi paman prabu dan ayah untuk menjaga eyang prameswari dari pengganggu.” Para kurawa lalu beramai-ramai menyerang Gatotkaca. Pertempuran terjadi begitu sengit.Raden Gatotkaca dengan cergas menghajar dan memukul para sepupu ayahnya itu sampai jatuh tunggang langgang. Namun karena lawan terlalu banyak, Dewi Kunthi memerintahkan sang cucu untuk pergi saja dari situ karena ada urusan yang lebih penting daripada berkelahi dengan para Kurawa. Raden Gatotkaca menurut saja. Lalu dia meninju para Kurawa lagi dan merapal aji Pethak Meghawahana. Tiba-tiba muncul awan tebal menutupi jarak pandangan para Kurawa dan patih Sengkuni. Di saat mereka kebingungan, Raden Gatotkaca menggendong Dewi Kunthi dan segera membawanya terbang ke Amarta, meninggalakan para Kurawa.
Di Kerajaan Amarta, Prabu Yudhistira dan para Pandawa menerima kedatangan para punakawan dan Maharesi Abiyasa, sang kakek dari pertapaan Saptaharga. Bersamaan dengan kedatangan mereka, datanglah Dewi Kunthi dan Raden Gatotkaca. Dewi Kunthi kemudian memperkenalkan Raden Gatotkaca kepada sang mertua. Sejak pertama kali dibesarkan oleh Batara Narada di kahyangan, Raden Gatotkaca baru kali ini disowani sang kakek buyut. Kemudian Permadi datang menyembah sungkem pada sang ibu. Lalu di hadapan semua orang, Dewi Kunthi menceritakan hasil kunjungannya  di Dwarwati. Ketika dia mewakilkan Permadi untuk membahas pernikahan sang putra dengan Bratajaya, justru Prabu Baladewa memberikan beberapa syarat. Ia kemudian menjabarkan semua syarat itu. mendengar itu, Arya Wrekodara menjadi geram “Apa-apaan kakang Bule. Aku tak habis pikir dengan jalan pikirannya. Kita datang dengan niat baik malah dipersulit. Memang njaluk rame satu orang ini.” Prabu Yudhistira kemudian menyabarkan sang adik yang berbadan tinggi besar itu “sabar, adhi Bima. Kelihatannya memang kakang Prabu Baladewa mempersulit, tapi aku rasa ini adalah ujian yang harus kita jalani terutama untuk Permadi. Nah adikku, Permadi. Apa kau sungguh-sungguh dalam mencintai adhi Bratajaya setulus hati atau hanya sekadar perjodohan dan pelampiasan saja?” Permadi kemudian berkata dengan jujur “sejujurnya sudah sejak lama aku mencintai adhi Bratajaya. Aku tak memandang karena perjodohan atau karena pelampiasan, tapi karena memang aku sudah kadung cinta padanya dari dalam sini.” Raden Permadi mengatakan itu sambil menunjuk ke dadanya pertanda cinta yang tulus. Raden Permadi sendiri bersedia memenuhi beberapa syarat yang sudah diajukan Prabu Baladewa. Karena keinginan sang adik sudah bulat, Arya Wrekodara bersedia membantu.
Maharesi Abiyasa kemudian membagi tugas. Raden Permadi hendaknya datang sowan ke kahyangan Karang Kaendran (Endraloka) menghadap Batara Indra, sang ayah angkat untuk mewujudkan persyaratan kembang mayang dari pohon Dewandaru-Jayandaru, Balai Kencana Saka Domas, dan seratus empat puluh empat bidadari pengiring. Untuk masalah gamelan Lokananta, Permadi bisa sekalian datang ke Cakrakembang, kediaman Batara Kamajaya-Kamaratih, kakak angkat Permadi. Untuk masalah penari kera putih dan kereta melayang, Arya Wrekodara bisa minta bantuan Resi Hanoman Mayangkara di Kendalisada. Raden Gatotkaca kemudian ditugaskan ke alas/hutan Krendawana untuk meminjam seratus Mahesa Danu Pancal Panggung pada ki Dadungawuk. Sementara Raden Nakula, Raden Sadewa, Dewi Drupadi diberi tugas menyiapkan segala keperluan iring-iringan pengantin dan undangan. Sementara oleh sang kakek, Prabu Yudhistira diminta pergi ke sanggar pemujaan untuk berdoa memohon keberhasilan saudara-saudaranya kepada Sanghyang Widhi yang Maha Kuasa. Setelah dirasa cukup, mereka segera menyiapkan segalanya. Raden Permadi, Arya Wrekodara dan Raden Gatotkaca segera berangkat memenuhi tugasan.
Raden Permadi bersama para punakawan berangkat ke gunung Mahameru untuk menuju Karang Kaendran di Jonggring Saloka. Di tengah jalan mereka dihalau sepasang denawa. Walau dikeroyok dua makhluk ganas itu, Raden Permadi dengan lihai mampu membuat dua denawa itu kelabakan. Di saat yang tepat, Permadi menarik busur Gandiwa dan panah-panah terlepas. Jrass, panah-panah itu menembus jantung kedua denawa. Seketika dua denawa itu mati. Dua jasad itu kemudian menghilang berubah menjadi sepasang dewa-dewi. Mereka adalah dewa cinta dan dewi asmara, Batara Kamajaya dan Dewi Kamaratih. Raden Permadi segera menghormat .
Batara Kamajaya dan Kamaratih bertemu Permadi
lalu Batara Kamajaya membangunkan Permadi lalu gantian Batara Kamajaya dan Dewi Kamaratih yang menyembah hormat pada Ki Lurah Semar (Batara Kamajaya dan Dewi Kamaratih adalah putra dan menantu Semar). Batara Kamajaya kemudian bertanya “Dimana ada asap pasti ada apinya, apa gerangan yang membuat adhi Permadi dan kanjeng rama datang ke lereng Mahameru ini?” “begini kakak Batara Kamajaya dan kakak Dewi Ratih, kedatanganku kemari untuk meminjam Gamelan Lokananta lengkap dengan kakak dan para dewa lainnya sebagai penabuhnya.” Batara Kamajaya menyatakan bersedia membantu. Tapi dia lalu berkata “Boleh, adikku. Tapi aku bukan pemilik Gamelan Lokananta. Ayah angkatmu pemiliknya, sang Batara Indra. Aku hanya guru karawitan dan pemelihara saja. Mari, akan kuantar ke Karang Kaendran, ke Endraloka. Kebetulan, kakang Batara Indra sedang berada di istana Endraloka. Dinda Ratih, kembalilah ke Cakrakembang. Kabarkan kepada para bidadari untuk bersiap-siap turun ke bumi.” “Baik kakang Batara, aku tunggu kabar selanjutnya darimu.”
Dengan kesaktian Batara Kamajaya, mereka sampai di Taman Karang Kaendran. Taman itu sangat indah. Bunga-bunga bermekaran sepanjang waktu. Pohon-pohon berbuah lebat tak henti-henti. Air sungai mengalir bagaikan air terjun di pegunungan, nampak sejuk menyegarkan. Disana beberapa bidadari dan bidadara asyik masyuk bermain air. Di luar istana Endraloka, Batara Indra menerima kedatangan Batara Kamajaya, Raden Permadi, dan para punakawan. Batara Kamajaya pun mengutarakan keinginan adik angkatnya untuk meminjam Gamelan Lokananta lengkap para penabuhnya yaitu para dewa untuk pernikahan sang adik dengan Dewi Bratajaya. Batara Indra kemudian berkata dengan sumringah “baiklah, aku pinjamkan gamelan Lokananta.” Lalu Raden Permadi berkata “Ampun, Romo Batara. Maafkan jika aku lancang. Aku juga ingin meminjam Balai Kencana Saka Domas, Pohon Dewandaru dan Jayandaru untuk kembang mayang, dan seratus empat puluh empat bidadari pengiring temanten .” batara Indra tertawa dan berkata “Hahahahahaha, aduh putraku. Kau benar-benar bagai labu dibenam, benar-benar banyak mintanya. Baiklah-baiklah, aku akan kupinjamkan itu semua. Itu hanya permintaan kecil untuk sekelas putra angkat dewa sepertimu. Aku sanggup kabulkan itu semua.” Dengan kesaktiannya, Batara Indra mengambil sebuah kotak kecil lalu kotak itu dipukul tombak Bajra miliknya. Keajaiban terjadi, kotak itu terbuka lalu dari dalamnya muncul badai angin yang sangat kencang. Rupanya angin itu adalah sihir yang membawa masuk Gamelan Lokananta, pot besar berisi pohon Dewandaru-Jayandaru, dan Balai Kencana Saka Domas masuk ke dalam kotak dan ajaibnya, semua benda itu muat di dalam kotak itu. Batara Indra mengatakan seluruh benda yang diinginkan Permadi ada dalam kotak itu dan harap dijaga baik-baik. Untuk masalah seratus empat puluh empat bidadari,biar sang Batara yang mengurusnya. Raden Permadi berterima kasih kepada sang ayah angkat dan pamit kembali ke Marcapada.
Di tempat lain, raden Gatotkaca telah sampai di alas Krendawana. Di sana dia melihat gerombolan kerbau merumput, ratusan jumlahnya, hitam warnanya, bertanduk bagai busur dan berkaki putih seputih salju. Itulah kerbau jenis Mahesa Danu Pancal Panggung. Di sana nampak Ki Dadungawuk sedang duduk di sebuah batu besar sambil mengidungkan sebuah tembang. Walau berparas raksasa, suara Ki Dadungawuk sangat merdu. Lalu Gatotkaca mendatanginya”Sampurasun, Kisanak” “ Rampes, anak muda. Apa yang membuatmu datang ke hutan angker milik Batari Durga, sang Parwati istri pukulun Batara Guru?” Raden Gatotkaca berterus terang ingin meminjam seratus empat puluh empat kerbau untuk mahar pernikahan Raden Permadi dengan Dewi Bratajaya. Ki Dadungawuk kemudian menolak “tidak bisa, anak muda. Aku sudah ditugasi bendaraku untuk meminjamkan kerbau-kerbau ini pada Bambang Parta, bukan pada Permadi. Jadi pergilah, anak muda.” Gatotkaca menjadi kesal dan memaksa untuk menggiring kerbau-kerbau itu sendiri. Lalu tanpa diduga,  Ki Dadungawuk menyerang Gatotkaca. Tak ayal timbul pertarungan dan pertengkaran. Walaupun kemampuan Ki Dadungawuk bukan apa-apa bagi Gatotkaca, kegigihannya membuat Raden Gatotkaca jadi kewalahan. Lalu datanglah Batari Durga dan Batara Indra, putranya diiringi ratusan bidadari yang dipimpin Dewi Kamaratih. Ki Dadungawuk dan Raden Gatotkaca segera menghentikan pertengkaran dan menyembah hormat. Ki Dadungawuk kemudian mengeluhkan keluhannya tentang Raden Gatotkaca yang hendak mengambil Mahesa Danu darinya. Batara Indra tidak marah malah mempersilahkan Raden Gatotkaca. Ki Dadungawuk menjadi heran, bukankah Batara Indra pernah berkata untuk menyerahkan Mahesa Danu untuk kepentingan orang bernama Bambang Parta. Batari Durga kemudian menjelaskan “Dadungawuk, sesungguhnya Bambang Parta dan Raden Permadi itu orang yang sama. Keduanya sama-sama nama julukan dari Raden Arjuna, putra angkat Indra. Bambang Parta itu nama pemberian dari Prabu Basudewa yang berarti putra Prita, nama lain Dewi Kunthi Nalibrata. Sedangkan Permadi adalah nama pemberian dari Dewi Kunthi yang berarti kasih sayang yang melimpah dan besar.” Ki Dadungawuk kini paham dan mempersilakan Raden Gatotkaca untuk meminjam kerbau-kerbau Danu Pancal Panggung. Lalu, Dewi Kamaratih mempersilahkan para bidadari pengiring menaiki kerbau-kerbau itu. Setelah dirasa cukup, Raden Gatotkaca mohon pamit untuk kembali ke Amarta bersama 144 kerbau dan bidadari itu.
 Sementara itu, di gunung Kendalisada, Arya Wrekodara datang menemui Resi Hanoman Mayangkara, sang kakak angkat. Arya Wrekodara kemudian berterus terang “Kakang Hanoman, adikku Jlamprong butuh bantuanmu. Aku ingin kakang jadi penari di saat pernikahannya dengan Bratajaya karena ini salah satu syarat yang diminta kakang Bule.” “ohh dengan senang hati, adikku. Aku gak keberatan.” Lalu Arya Wrekodara bertanya “Apa kakang gak malu? Seorang ksatria jagoan bangsa wanara di Guwa Kiskenda mau menari di depan khalayak?” “untuk apa malu. Justru ini sarana untuk mengabdi pada masyarakat. Toh aku sekarang semakin tua. Aku sudah jenuh berperang dan ingin hidup damai. Sifat jumawaku semasa muda sudah lama menggerogoti hati dan pikiranku. Mungkin dengan menari di depan khalayak, semua kesombongan itu akan terkikis.” Arya Wrekodara sangat berterima kasih, lalu dia bertanya lagi “kakang, dimana aku bisa mendapatkan sebuah kereta melayang untuk pernikahan adikku? Kalau pinjam kereta Jaladara milik kakang Cemani, itu sama saja curang.” “hmmmm.... seingatku kereta semacam itu ada di utara. Di pulau Sailan, bekas negeri Alengkadiraja sekarang namanya Singgelapura. Kereta itu namanya Puspaka. Akan ku temani kau ke sana” Tanpa banyak bicara lagi mereka segera berangkat ke Pulau Sailan. Resi Hanoman Mayangkara segera bertiwikrama menjadi monyet putih raksasa dan langsung terbang bersama Arya Wrekodara.
Tak butuh bebrapa jam, mereka pun sampai di pulau Sailan. Mereka mendarat di pinggir pantai dan meneruskan perjalanan berjalan kaki. Sepanjang jalan, Arya Wrekodara melihat keindahan pulau Sailan yang konon merupakan sebagian remukan Gunung Jamurdipa itu. lalu mereka sampai di kota tua Alengka, bekas istana milik Prabu Rahwana. Walaupun kota tua itu sudah lama menjadi kota mati dan terbengkalai, keindahannya tetap lestari. Bunga-bunganya, pepohonannya, taman Argasoka nya, air mancurnya, juga kolam dan sendangnya masih terjaga. Tak perlu berapa lama, mereka sampai di kotaraja Singgelapura, nama baru Alengkadiraja. Resi Hanoman mengajak Arya Wrekodara masuk ke keraton Singgelapura menghadap pada Prabu Bisawarna, keturunan ke lima dari Prabu Dentawilukrama, putra Prabu Arya Wibisana. Sesampainya di dalam keraton, Prabu Bisawarna menyambut mereka dengan hangat, lebih-lebih Resi Hanoman Mayangkara yang disambut bak pahalawan pulang perang “suatu kehormatan besar bagi saya bisa bertemu Hanoman Anjaneya*, sang wanara sakti. Sang Ramandayapati.*” “ahh, gusti prabu terlalu menyanjung. Omong-omong, aku perkenalkan ini Raden Arya Bima dari Amarta, biasa dipanggil Arya Wrekodara. Kedatangannya ke negeri gusti untuk meminjam Kereta Puspaka milik gusti.” Prabu Bisawarna berubah kerut wajahnya. Dia bimbang karena kereta Puspaka tidak boleh dipinjam dan digunakan oleh orang sembarangan. Lalu Arya Wrekodara berkata “gusti gak usah khawatir. Yang akan menggunakan kereta Puspaka itu adikku, Jlamprong. Nama aslinya Raden Arjuna. Dia pemanah terbaik zaman ini  Kami berdua putra Pandu Dewanata, raja Hastinapura.” Prabu Bisawarna terkejut karena di masa lalu, ayah sang Prabu Bisawarna pernah menjalin kerjasama dan meminta bantuan pada Prabu Pandu Dewanata. Ayahnya bercerita bahwa Prabu Pandu pernah berkata kelak salah satu putranya akan datang lagi ke Singgelapura meminta bantuannya. Tanpa pikir-pikir lagi Prabu Bisawarna bersedia meminjamkan kereta Puspaka. Arya Wrekodara berterima kasih sekali kepada Prabu Bisawarna. Begitu Prabu Bisawarna membuka ruang pusaka, kereta Puspaka nampak indah gemerlapan tiada kekotoran sedikitpun. Setelah dirasa cukup, mereka segera pamit pada sang prabu dan menaiki kereta Puspaka kembali ke pulau Jawadwipa.
Di tengah perjalanan menuju Amarta, rombongan Gatotkaca tiba-tiba dihadang sepasukan orang bertopeng. Mereka berusaha merebut 144 kerbau dan bidadari yang dibawa Gatotkaca. Mendapt serangan demikian, Raden Gatotkaca dan Ki Dadungawuk tak tinggal diam. Ki Dadungawuk memerintahkan kerbau-kerbau gembalaannya menyerang pasukan bertopeng itu, sementara Raden Gatotkaca terbang tinggi ke angkasa sambil membawa kantung dan terbang berputar-putar dengan kecepatan tinggi membuat angin kencang lalu memasukkan angin buatannya ke dalam kantung. Begitu turun kembali ke bumi, kantung berisi angin itu dibuka dan angin berhembus kencang menghempaskan pasukan bertopeng. Dari kejauhan di kegelapan hutan, terlihat beberapa wajah kesal. Rupanya itu Patih Sengkuni, para Kurawa, dan Arya Burisrawa. Mereka merekrut sejumlah orang untuk merebut sarana sayembara itu. Mereka kemudian mundur kembali ke Hastinapura.
Hari pernikahan pun tiba. Prabu Yudhistira bangga dengan adik-adik dan keponakannya. Mereka berhasil memenuhi sarana sayembara. Ini adalah tanda bahwa memang Raden Permadi dan Dewi Bratajaya berjodoh. Mereka pun berangkat ke Dwarawati. Setelah beberapa lama mereka akhirnya sampai di pinggir pantai dekat pulau Dwaraka, kotaraja kerajaan Dwarawati. Mereka masuk ke Taman Banoncinawi. Rombongan dari Amarta nampak begitu mewah namun tetap bersahaja. Di depan ada Resi Hanoman Mayangkara menari dengan anggun dengan sesekali gerakan jenaka untuk membuka jalan. Di belakangnya berarak 144 Mahesa Danu Pancal Panggung yang masing-masing dinaiki para bidadari yang menebarkan bunga-bunga harum sepanjang jalan. Kerbau-kerbau itu digiring Ki Dadungawuk. Di belakangnya lagi, nampaklah kereta Puspaka melayang di udara membawa para Pandawa, Dewi Kunthi, Dewi Drupadi, dan Dewi Arimbi. Lalu benda itu turun dan keluarlah dari kereta indah gemerlapan itu Raden Permadi yang memakai pakaian pengantin membawa kotak pemberian Batara Indra. Raden Permadi kemudian membuka kotak itu dan seketika itu pula Balai Kencana Saka Domas keluar dari dalam kotak dan langsung terpasang di taman Banoncinawi berikut pelaminan dengan pohon Dewandaru-Jayandaru sebagai kembang mayang dan Gamelan Lokananta. Beberapa dewa yang dipimpin Batara Kamajaya dan Dewi Kamaratih turun ke marcapada dan segera menabuh gamelan Lokananta. Suara gamelan pun merdu luar biasa. Suaranya sangat lembut namun cukup keras terdengar hingga ke awang-awang. Prabu Kresna beserta keluarganya yaitu sang ayah, Begawan Basudewa datang dan para permaisurinya, yaitu Dewi Rohini, Dewi Dewaki, dan Dewi Badrahini menyambut rombongan Pandawa dengan penuh sukacita. Begawan Basudewa menyambut gembira kehadiran rombongan mempelai pria.
Lalu datang Prabu Baladewa yang marah-marah dengan sebab tak jelas. Dia datang bersama Prabu Duryudana beserta adik-adiknya para Kurawa, patih Sengkuni, dan Arya Burisrawa. Prabu Baladewa kemudian bercerita pada Prabu Kresna menuduh pihak Pandawa main curang “aku mendapat laporan dari paman Patih Sengkuni kalau para Pandawa telah mengambil paksa Mahesa Danu Pancal panggung dan para bidadari dari tangan pasukan bertopeng yang dikirim adhi Prabu Duryudana.  Begitu juga alat sayembara yang lain, juga direbut paksa.  Sudah jelas ini kecurangan. Para Kurawa sudah capek-capek menyiapkan sarana sayembara buat adhi Burisrawa, malah direbut dengan seenak hati. Pokoknya akan ku bunuh Permadi dengan Nanggalaku.” Lalu Dewi Bratajaya maju ke hadapan lalu berlutut di depan sang kakak yang dilanda amarah itu. “kakang Balarama, kalau kau ingin menghukum kakang Arjuna-ku, hukum aku saja. Lebih baik aku saja yang mati daripada jatuh korban yang lebih banyak. “ lalu Raden Permadi ikut maju dan berbaring di hadapan Prabu Baladewa“hukum aku saja, kakang Prabu tapi biarkan rayi Sumbadra tetap hidup. Cinta kami sepertinya tak ada apa-apanya di mata kakang prabu tapi tolong biarkan rayi Sumbadra-ku tetap hidup.”  Prabu Baladewa yang tadinya dilanda amarah seketika berubah kerut mukanya. Matanya mulai sembap. Bibir dan badannya bergetar. Nanggala di tangan pun terlepas. Perasaan haru dan pilu melingkupi sanubari sang raja berkulit bule itu melihat ketulusan cinta sang adik bungsu dan adik sepupunya itu sampai-sampai rela menyerahkan hidup mati. Hati nuraninya kini berkata bahwa Patih Sengkuni dan para Kurawa sudah berdusta. Ia kemudian memeluk Permadi dan Bratajaya lalu meminta maaf karena sudah terlalu menuruti amarahnya tanpa mengorek kebenarannya. Prabu Baladewa kemudian mengajak keduanya masuk ke Balai Kencana Saka Domas.
Arya Burisrawa melihat pemandangan itu menjadi geram. Cintanya tak bersambut dan kini gagal dengan cara curang. Burisrawa dilanda gandrung. Dia kemudian mengamuk dan berusaha merebut Dewi Bratajaya dari tangan sang kakak ipar. Begitu tangannya berusaha mendekat, Arya Setyaki dengan sigap meringkus putra mahkota Mandaraka itu. lalu dia membawa Arya Burisrawa keluar kotaraja dan menghajarnya hingga babak belur. Sejak dari awal, Arya Setyaki sudah gerah dan benci dengan Arya Burisrawa. Kebencian itu bermula ketika sang ayah, prabu Setyajid memenangkan Dewi Wresini dan membuat Bambang Narasoma alias Prabu Salya, ayah Burisrawa kalah telak (saat itu Bambang Narasoma masih lajang dan belum mewarisi aji Candhabirawa). Burisrawa yang terlahir berwajah buruk rupa ternyata juga mewarisi kebencian ayahandanya terutama pada Arya Setyaki.
Upacara pernikahan pun segera dilangsungkan. Setelah akad nikah, kedua mempelai duduk di pelaminan yang di kanan-kirinya berdiri kembang mayang pohon Dewandaru-Jayandaru.
Parta Krama
Para bidadari berjumlah 144 turun dari kerbau-kerbau Danu lalu bersamaan, mereka dan Resi Hanoman Mayangkara menari bedhaya menghibur para tamu undangan dan kedua mempelai. Gamelan Lokananta yang mengalun merdu bahkan terdengar hingga ke puncak kahyangan Jonggring Saloka di puncak Mahameru. Kini Raden Permadi dan Dewi Bratajaya telah menikah. Prabu Yudhistira kemudian berbicara pada sang adik dan ipar barunya “adhi berdua, kini kalian sudah dewasa. Kurang pantas rasanya kalau kalian masih memakai nama kecil. Sudah saatnya kalian memakai nama asli kalian. Kini adhi Permadi harus memakai nama pemberian ayahanda dan adhi Bratajaya harus memakai nama aslimu juga, nama pemberian paman Basudewa.” Dewi Kunthi, Begawan Basudewa, dan para istri juga setuju atas usul Yudhistira. Kedua mempelai menurut. Mulai saat itu, Raden Permadi menggunakan nama aslinya yaitu, Raden Arjuna dan Dewi Bratajaya menggunakan nama pemberian sang ayah yaitu Dewi Sumbadra.
*Hanoman memiliki beberapa dasanama/julukan, diantaranya Ramandayapati =putra angkat Ramawijaya, Anjaneya=putra Dewi Anjani, Suwiyuswa= panjang umur, Mayangkara= roh suci, nama ini dipakai pada zaman Mahabarata ketika sudah tua dan telah madeg menjadi pendita di Kendalisada, Bayusuta, Perbancana Suta, Pawanasuta, Marutaputra=putra sang Bayu, dewa angin, Anjila Kencana, nama kecil dari Anjani, Palwagaseta, Wanaraseta= kera putih, , Bambang Senggana, Haruta, Guruputra= putra Batara Guru, karena Hanoman lahir karena Dewi Anjani memakan daun sinom yang ketumpahan benih sperma Batara Guru, Kapiwara= jenderal perang para kera dll.

Rabu, 09 Oktober 2019

Kisah Asmara dan Kutukan (Leluhur Pandawa dan Kurawa)


Salam sejahtera semua. Semoga pembaca diberi kelimpahan karunia dari Yang Maha Kuasa. kisah kali ini adalah kilas balik (flashback) yang menceritakan tentang leluhur keluarga para Pandawa dan Kurawa. Sumber yang penulis pakai adalah Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa bagian Adiparwa, kitab Mahabharata yang ditulis ulang oleh Nyoman S. Pendit, dan  Kitab Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita. Terdapat dua versi siapa leluhur Pandawa dan Kurawa. Pertama, menurut versi Kitab Mahabharata, leluhur Pandawa dan Kurawa adalah Prabu Yayati namun menurut Kitab Pustakaraja Purwa, leluhur mereka dalah Resi Manumayasa. Disini penulis mencoba menggabungkan kedua  versi dimana kelak salah satu cucu keturunan Prabu Yayati menikah dengan keturunan Resi Manumayasa.
Selama hidup mengasingkan diri dan melakukan tapa ngrame, Raden Permadi sering bertemu beberapa brahmana dan para pendeta. Namun kali ini yang datang sungguh istimewa karena yang datang adalah Maharesi Abiyasa, sang kakek yang jauh-jauh datang dari Saptaharga. Kedatangan sang kakek bagaikan air sewindu yang mengucur dari dalam kendi membasahi tubuhnya. Sejuk, dingin menyegarkan hatinya yang dilanda gundah. Di pertapaan milik Permadi, Maharesi Abiyasa dijamu dan dilayani benar oleh sang cucu. “ulun kakek Abiyasa, ada angin apakah sehingga kakek capek-capek datang kemari?” “begini, cucuku. Kedatangan ku kemari untuk menyampaikan bahwa tapa bratamu telah diterima para dewa. Apa yang telah kau lakukukan sudah menebus dosa-dosamu terutama pada cucu Prabu Palgunadi dan cucu Dewi Anggraini. Melihatmu seperti ini, aku jadi ingat kisah seorang anak muda yang merelakan kemudaannya demi cintanya pada sang bapak. Akan kuceritakan kisah leluhur wangsa kita, wangsa Yadawa dan wangsa Baharata.” Latar cerita berubah kembali ke zaman silam.
Kisah Maharesi Sukra, Sangkacha, dan Dewayani
“Pada zaman dahulu kala, saat itu raja yang berkuasa di Jawadwipa adalah Prabu Basupati, putra dari Basurata (Srinada), putra Batara Wisnu mendirikan kerajaan Wirata, Prabu Yayati, keturunan batara Brahma dari Begawan Atri yang menjadi raja Kandaparasta, dan Prabu Parikenan, anak sulung Prabu Tritusta, seorang raja percampuran trah Batara Wisnu dan Batara Brahma memimpin di negeri Gilingwesi. Sebagai keturunan dewa, mereka bersatu memimpin kemakmuran di Jawadwipa pada masa dulu. Meskipun demikian, mereka nyatanya tak tahu apa yang sebenarnya terjadi di kahyangan dan di luar negara mereka. .
Jauh di atas puncak Mahameru, di Kahyangan Jonggring Saloka, ketegangan antara para dewa dan bangsa Yaksa (raksasa) yang ingin mendapat pengaruh di Marcapada tak terhindarkan. Perang antara para Dewa dan para Yaksa berkecamuk dimana-mana baik di kahyangan maupun di Marcapada. Keseimbangan di tiga dunia goyah dan puncaknya adalah negeri Gilingwesi akhirnya hancur menjadi bawahan Kandaparasta dan Wirata. Setelah mengungsikan ahli warisnya ke Wirata, Prabu Parikenan kemudian moksa dan menjadi salah satu dewa bergelar Batara Parikenan. Keturunan laki-lakinya, Raden Manumayasa memutuskan menjadi pendita di tujuh puncak suci bergelar Resi Manumayasa, sedangkan putrinya yaitu Dewi Kaniraras menikah dengan raja negara lain. Semua ini terjadi karena di pihak bangsa Yaksa ada Maharesi Sukra. Maharesi Sukra sebagai guru bangsa Yaksa sakti mandraguna, arif bijaksana, dan mampu membuat bangsa Yaksa tak terkalahkan.
Di bale-bale Sarilaya, Batara Narada mendatangi Batara Resi Wrehaspati, salah satu putra Semar untuk meminta pertimbangannya soal bangsa yaksa yang tak terkalahkan. Disamping putra Batara Guru yaitu Batara Ganesa yang kini menjadi pendiri perpustakaan kahyangan, Batara Resi Wrehaspati juga sangat bijak dan dijadikan guru beberapa dewa muda.”keponakanku, perang yang sudah tak berkesudahan ini telah merenggut banyak korban jiwa, baik itu manusia maupun para Yaksa sendiri. Bahkan negara Gilingwesi warisan Brahma hancur dan menjadi bawahan negara lain. Di pihak dewata, jua banyak korban luka. Walaupun kita dan para dewa lainnya sudah meminum dan bermandikan Tirta Amerta, namun tetap saja bangsa yaksa tidak dapat dikalahkan. Apa semua ini salah Adi Guru yang telah memberikan ajian gaib Sanjiwani kepada Sukra?” “tidak paman patih, Paman pukulun Batara Guru tidak salah. Dia hanya menjalankan perintah Sanghyang Widhi yang Maha Kuasa. Orang baik yang telah melayani-Nya selama seribu tahun pantas mendapat hadiah agung hanya saja keadaan saat ini yang tidak pas. Untuk masalah ini, Aku akan mengutus putraku Sangkacha untuk berguru pada sahabatku, Sukra.” Singkat cerita, Batara Resi Wrehaspati memanggil Batara Sangkacha untuk berguru pada Maharesi Sukra. Mendapat angin segar, Batara Sangkacha yang haus akan ilmu pengetahuan menuruti perintah ayahnya dan segera turun ke negeri Parwata, negara yang dipimpin Prabu Wresaparwa, tempat Maharesi Sukra tinggal.
Di pertapaan hutan Saraparwata, Maharesi Sukra sedang dibuat bingung dengan putrinya, Dewi Dewayani. Sudah dua hari tiga malam dia melamun, bersusah hati karena kepergian sang ibu, Dewi Jayanti kembali ke kahyangan. Berbagai macam penghiburan tak mampu membuat sang putri gembira ria. Di saat yang sama pula, datanglah Batara Sangkacha mengutarakan keinginannya “Guru, aku putra Wrehaspati, Sangkacha bersimpuh datang di hadapanmu. Izinkan aku menjadi muridmu.” Gayung pun bersambut. Maharesi Sukra yang bijak tak pernah menolak siapapun berguru padanya”baik, anakku. Kamu keturunan yang baik-baik. Ayah dan kakekmu adalah keturunan dewa agung. Aku menerimamu sebagai muridku. Dan ingatlah, anakku. Aku menerimamu sebagai tanda persahabatanku dengan ayahmu akan tetap abadi walau kami bersebrangan haluan.”
Maharesi Sukra merestui Sangkacha menjadi muridnya
Demikianlah, Batara Sangkacha diterima sebagai murid Maharesi Sukra. Semua tugas kewajiban yang diberikan oleh gurunya dikerjakannya dengan sungguh-sungguh. Salah satu tugasnya adalah menghibur Dewi Dewayani, putri sang guru. Sangkacha diperintahkan menghibur Dewayani dengan menyanyi, menari atau mengajaknya bermain. Lambat laun, Dewi Dewayani berhasil melupakan kesedihannya.
Waktu terus berjalan. Hubungan Dewayani dan Sangkacha semakin akrab dan dekat. Mereka tak lagi dekat sebagai kakak dan adik, namun hampir seperti seorang pria dan wanita dewasa yang dimabuk asmara. Benarlah kata orang tua dulu-dulu  Witing tresna jalaran saka kulina,” Lama kelamaan, Sangkacha tertarik kepada putri sang guru. Gayungpun sama-sama bersambut, Dewayani diam-diam juga jatuh cinta pada Sangkacha. Namun, Sangkacha sadar bahwa dia sudah mengambil sumpah sebagai brahmacarin mengikuti jalan hidup Batara Togog (Antaga), kakak Batara Semar. Larangan keras baginya memiliki perasaan suka pada lawan jenis apalagi keinginan untuk berkahwin. Itu sudah jatuh pantangannya. Di lain pihak, para Yaksa murid Maharesi Sukra merasa curiga dan cemas, jangan-jangan Sangkacha tidak tulus berguru dan hanya ingin memenuhi permintaan para dewa. Karena kecurigaan mereka sudah di luar batas wajar, mereka sepakat untuk melenyapkan Sangkacha.
Seperti biasanya, Sangkacha menggembalakan ternak-ternak sang guru di padang rumput selesai menerima pelajaran. Saat itu, Sangkacha sedang lelap tertidur di bawah pohon. Di saat yang sama pula, para yaksa membekap mulut Sangkacha lalu menusukkan pedang ke dadanya. Setelah Sangkacha tewas, jenazahnya dicincang habis lalu dibiarkan menjadi makanan serigala. Sore harinya, ternak-ternak Maharesi Sukra pulang ke kandang tanpa Sangkacha. Dewi Dewayani menjadi cemas “ayah, ternak-ternak kita pulang tanpa kakang Sangkacha. Hari sudah petang. Waktu sembahyang kita sudah hampir. Aku khawatir dia kenapa-napa. Ayah, tolonglah kakang Sangkacha. Aku cinta padanya.” Permintaan sang putri satu-satunya dikabulkan. Maharesi Sukra segera menjapa aji Pameling. Berkat aji Pameling itu, sang maharesi tahu kalau Sangkacha telah tewas dan akan menjadi makanan serigala. Karena itu, untuk menghidupkan kembali dan memanggil pemuda itu, ia menjapa mantra ajian Gaib Sanjiwani. Seketika kemudian, Sangkacha hidup kembali dan langsung berada di antara mereka dengan wajah yang sumringah. Dewayani bertanya kenapa terlambat pulang. Sangkacha menjelaskan bahwa ada beberapa kaum yaksa yang membekap dan membunuhnya saat menggembala. Namun bagaimana dia bisa hidup lagi dia tak tahu.
Para yaksa kecewa melihat Sangkacha hidup kembali. Tapi itu tidak mengendurkan keinginan mereka untuk melenyapkan putra Wrehaspati itu. Hingga pada suatu hari, angin bertiup cukup kencang di pertapaan Saraparwata. Angin itu membawa terbang sekuntum bunga dari hutan dan bunga itu jatuh di pangkuan Dewi Dewayani. “kakang Sangkacha, lihatlah bunga ini. Cantik, harum, dan merona warnanya. Tolong carikanlah bunga ini di hutan kalau bisa pohonnya sekalian. Akan kutanam di bale-bale sebagai penghias pertapaan.” Sangkacha menuruti putri sang guru dan mencari bunga itu. para Yaksa yang tahu bahwa Sangkacha ke hutan mencari bunga melihat kesempatan untuk kembali melenyapkan Sangkacha. Diam-diam mereka membuntuti Sangkacha lalu di saat yang tepat mereka menyergap Sangkacha. Sangkacha yang kekuatan dewanya disegel sang ayah tak bisa melawan lalu dibunuh dan jenazahnya dicincang habis kemudian dibakar dan dibiarkan diterbangkan angin hingga jatuh di sungai.
Berhari-hari Dewi Dewayani menunggu Sangkacha namun sang pujaan hati tak kunjung pulang. Akhirnya sang dewi mengadu pada sang ayah. Sekali lagi, Maharesi Sukra menggunakan ajian Gaib Sanjiwani dan memanggil Sangkacha. Pemuda itu kembali hidup. Para Yaksa semakin kesal dan geram mendapati Sangkacha kembali hidup. Ketika ada kesempatan, mereka membunuh Sangkacha untuk ketiga kalinya. Kali ini mereka sangat cerdik. Setelah membakar jenazah Sangkacha, abu Sangkacha dicampurkan ke dalam tuak nira berkadar rendah yang mereka persembahkan kepada Maharesi Sukra. Tanpa curiga, Maharesi Sukra meminum tuak nira yang manis itu. Petang harinya, ternak-ternak yang digembalakan Sangkacha pulang sendiri. Dewi Dewayani menjdi khawatir dan risau, takut kalau Sangkacha kembali dicelakai para Yaksa. Sekali lagi, Dewi Dewayani menghadap sambil menangis, memohon agar sang ayah menggunakan ajian Gaib Sanjiwani. “Ayah, ternak-ternak kita pulang tanpa Sangkacha. Hatiku yang serapuh kapas di ujung ranting ini tak sanggup kehilangan kakang Sangkacha lagi. Kakang Sangkacha, cucu Semar dan putra paman Wrehaspati adalah pemuda yang tak tahu apa-apa. Dia cuma pemuda belia yang haus akan ilmu pengetahuan. Dia sudah menyerahkan dirinya pada ayah. Aku mohon, ayah. gunakanlah mantra ajian Gaib Sanjiwani sekali lagi.” Maharesi Sukra masih tak bergeming. Sampai pada akhirnya, Dewi Dewayani mulai berpuasa, tak makan dan tak minum selam tujuh hari tujuh malam. Badannya yang semula sintal menjadi kurus kering. Mukanya yang cerah menjadi kisut dan layu.
Maharesi Sukra tak tega melihat putri satu-satunya berduka. Dia marah pada para Yaksa yang tega membunuh seorang brahmacarin yang masih belia itu. Pembunuhan terhadap para pendeta dan resi terutama brahmacarin adalah dosa terkutuk. Kelak mereka akan dibalas dengan siksaan kekal yang setimpal. Sekali lagi, Maharesi Sukra menjapa mantra ajian Gaib Sanjiwani. Sekali lagi, Sangkacha hidup kembali dari tuak nira namun dia berada di tempat yang gelap dan basah. “guru, aku ada dimana ini? Tempat ini gelap, basah dan berlekuk-lekuk.” Maharesi Sukra terkejut dengan kata-kata Sangkacha dan mendapati perutnya tiba-tiba membesar. Maharesi itu terkejut “Hai Sangkacha, bagaimana bisa kamu bisa dalam tubuhku? Apakah karena ulah para Yaksa? Sungguh terlalu mereka telah menipu aku dengan tuak nira. Ingin kubunuh saja mereka namun sebelum itu ceritakan apa yang sebenarnya yang terjadi,” Sangkacha kemudian menceritakan apa yang dialaminya. Maharesi Sukra menyahut, “Kini aku, maharesi Sukra yang konon katanya luhur budi dan suci, arif bijaksana telah ditipu oleh minuman tuak nira yang memabukkan. Karena itu, demi kebaikan manusia dan semua makhluk-Nya, ku peringatkan, siapapun yang menenggak anggur, tuak, arak dan segala minuman memabukkan dengan tak bijaksana, maka kesucian dan keluhuran budi akan meninggalkannya. Dosa akan menyelimuti dirinya. Itulah peringatanku dan kelak akan termaktub dalam kitab-kitab suci sebagai suatu larangan yang tak boleh dilanggar.” Kini maharesi itu memandang sang putri sambil berkata “putriku, kini pilihan ada di tanganmu. Jika kau ingin Sangkacha hidup, relakanlah aku. Dia harus keluar dari tubuhku dan itu artinya aku yang harus mati. Sangkacha hanya bisa hidup di atas kematianku.”
Dewi Dewayani yang mendapati perut sang ayah membesar menyadari bahwa Sangkacha kini berada dalam perut ayahnya akibat ulah para Yaksa. Dan kini dia dihadapkan dua pilihan yang mustahil itu. Dewi Dewayani hanya bisa menangis tersedu-sedan tak bisa memilih. “aduh Jagat Dewa Batara, hyang Jagat Pramudita, ohh Sanghyang Widhi yang Maha Kuasa. Ayah dan kakang Sangkacha adalah dua permata bagiku. Tak sanggup bagiku kehilangan salah satu dari kalian.”
Sembari mencari jalan keluar, Maharesi Sukra berkata pada Sangkacha “anakku, Sangkacha. Kini aku tahu apa penyebab kamu berguru padaku. Kamu akan mendapatkan apa yang kamu inginkan. Satu-satunya jalan yaitu aku harus mengajarkan ajian gaib Sanjiwani kepadamu, anakku. Akan ku ajarkan ajian itu. Tapi kamu harus janji setelah keluar dariku, kamu harus menggunakannya untuk menghidupkanku lagi.” Sangkacha berjanji bahkan bersumpah akan menghidupkan kembali sang guru. Begitulah, Maharesi Sukra kemudian mewejangkan ajian Gaib Sanjiwani kepada Sangkacha. Sangkacha yang cerdas langsung paham dan menyatakan siap keluar dari tubuh sang guru. Sejenak kenudian, Maharesi Sukra mengambil sebilah keris lalu dia menusuk dan merobek perutnya dengan keris itu. Seketika itu juga, Sangkacha keluar dari dalam perut sang guru, sementara sang Maharesi Sukra langsung rubuh, wafat dengan luka besar menganga di perutnya. Dewi Dewayani menangis terisak-isak melihat kondisi sang ayah yang begitu mengenaskan. Sangkacha menepati sumpahnya. Dia kemudian bersimpuh dan memerciki sang guru dengan air Tirta Amerta yang dibawanya dari kahyangan Jonggring Saloka lalu menjapa mantra ajian Gaib Sanjiwani. Sangkacha berkata sambil menahan tangis, “Guruku yang telah ikhlas dan tulus memberikan ilmu pada muridnya bagaikan cinta seorang ayah pada putra-putrinya. Karena aku keluar dari tubuhmu, maka guru juga ayah kandungku.” Seketika kemudian, luka yang menganga di perut Maharesi Sukra langsung tertutup tanpa bekas dan maharesi Sukra terbangun kembali dari kematian. Dewayani dan Sangkacha kemudian memeluk sang Maharesi lalu Maharesi Sukra mengajak mereka untuk bersyukur kepada Sanghyang Widhi yang Maha Pemurah.
Setelah peristiwa itu, Sangkacha tetap menjadi murid sang guru selama bertahun-tahun. Sampai pada saatnya dia harus kembali ke alam kahyangan. Maharesi Sukra mengizinkan sang murid budiman pergi, kembali ke alam kahyangan. Namun tidak bagi Dewayani, hati Dewayani yang sudah terpaut cinta tak sanggup melepas Sangkacha. Di saat itu pula, Dewi Dewayani mengajak Sangkacha ke suatu tempat lalu tibalah mereka di padang rumput yang indah, sunyi dan penuh dengan bunga-bunga indah berwarna-warni.
Sangkacha kembali ke kahyangan
Di hadapan Sangkacha, Dewayani mengutarakan perasaannya selama ini “ kakang Sangkacha, cucu Semar. Telah lama merendam selasih, baru kini mengambang jua. Telah lama ku pendam kasih, baru kini ku utarakan jua. Aku putri Sukra, telah terpaut kasih dan cinta padamu. Kakang jangan pergi. Nikahilah aku dan berbahagialah kita di sini. Hidupku kosong hampa bagaikan lumbung tanpa padi bila tiada kau.” “adhi Dewayani, aku hargai ketulusan dan cinta mu. Aku pun sama jatuh cinta padamu namun cinta tak harus memiliki. Aku sudah bersumpah menjadi Brahmacarin mengikuti eyang batara Antaga dan lagipula aku telah lahir kembali dari tubuh ayahmu seperti halnya lahirnya Citragupta Sang Suratma dari tubuh Batara Brahma. Kini kita adalah saudara kandung. Tak pantas putri seorang pendita linuwih sepertimu menikahi saudara kandungnya.” Dewi Dewayani menjadi berang lalu berkata “kau putra Batara Wrehaspati yang patut kuhormati dan bukan anak ayahku. Aku yang menyebabkan kau bisa hidup kembali, karena aku mencintaimu dan mengharapkan engkau menjadi suamiku. Tidak pantas engkau meninggalkan aku yang tidak berdosa ini tanpa memberiku kesempatan untuk mengabdi kepadamu.” Sangkacha menjawab dengan lembut “ aduh, putri Mahaguru Sukra. Jangan mencoba membujukku untuk melakukan pantangan itu. kau sudah cantik jelita dan sekarang kau sedang marah begini jadi semakin ayu. Tapi aku tetap saudara kandungmu. Abdikanlah hidupmu untuk melakukan kebaikan di bawah bimbingan ayah. Relakanlah aku pergi menghadap ke pada bapakku Batara Wrehaspati. “ Dewayani yang marah sekali melontarkan kutuk pasu “Sangkacha, kau telah mengecewakan aku. Aku mengutukmu agar ilmu yang kau pakai tidak akan berguna pada dirimu.” Batara Sangkacha yang telah mendapatkan kembali kekuatan dewanya berkata “meskipun ilmu yang ku pakai tak akan berguna padaku, namun akan tetap berguna bila aku memberikan dan menularkannya pada orang lain.” Kemudian Batara Sangkacha terbang kembali ke kahyangan. Dewi Dewayani merasa sakit tak terperi lalu mendengar suara dari angkasa “Aku Sangkacha, seorang brahamacarin dan putra Wrehaspati telah dikutuk oleh Dewayani, seorang wanita luhur. Maka aku pun lontarkan kutuk pasu padamu. Keinginan untuk memiliki tanpa mau merelakan akan membuatmu sengsara. Kelak kau akan dikecewakan oleh sahabatmu sendiri lalu kau akan diselingkuhi dan dimadu olehnya. Di saat itu hatimu yang perih akan hancur lebur” Hati Dewayani semakin terasa perih tak tertahankan.
Kisah Dewayani, Sarmista, dan Yayati
Lambat laun, Dewayani mulai melupakan kutuk pasu dari Sangkacha. Dia mulai menjalani kehidupan dengan biasa. Sampai pada suatu hari, dia bersama Dewi Sarmista, sahabatnya, putri tunggal Prabu Wresaparwa raja negeri Parwata mandi di telaga bersama dayang-dayangnya. Awalnya mereka bergembira. Namun tiba-tiba, angin puting beliung datang berembus kencang menerbangkan kain selendang mereka hingga menjadi bertumpuk-tumpuk. Setelah mandi dan berpakaian, ternyata terjadi kekeliruan. Selendang milik milik Dewi Dewayani dikenakan Dewi Sarmista, terjadi lah peristiwa rebutan selendang “ alangkah tak sopannya putri seorang murid memakai selendang milik putri sang guru. Sarmista kembalikan selendangku!” Dewi Sarmista merasa tersinggung dengan kata-kata Dewi Dewayani lalu berkata “lancang kau .apa kau tidak sadar Dewayani, ayahmu selalu meminta belas kasih dari ayahku. Sadar dirilah kau, putri pengemis” Dewi Sarmista kemudian mendorong Dewi Dewayani ke dalam sebuah luweng besar lalu meninggalkannya sendiri.
Dewi Dewayani menjadi sedih. Kutuk pasu Sangkacha yang pertama telah terjadi. Dia telah dikecewakan sahabat sendiri. Dewi Dewayani cemas dan takut karena tak bisa keluar dari luweng besar itu lalu berteriak minta tolong. Kebetulan, datanglah Prabu Yayati, raja Kandaparasta yang kebetulan sedang berburu di hutan dekat dengan tempat Dewayani jatuh. Dia turun dari kudanya dan melihat ke dalam luweng besar itu seorang wanita cantik di dalamnya “siapa kamu, ni sanak? Aku Yayati dari Kandaparasta. Bagaimana bisa kau berada di dalam luweng ini?” Prabu Yayati kemudian mengambil tali tmbang lalu melemparkannya kedalam luweng. Dewi Dewayani sambil meraih tali itu berkata “ Aku Dewayani, putri Maharesi Sukra dari negeri Parwata. Tolong bantu aku.” Setelah memanjat tali itu, Dewi Dewayani meraih tangan Prabu Yayati. Begitu bertatap mata, Dewi Dewayani teringat pada Sangkacha, sang kekasih. Wajah Prabu Yayati yang tampan dan berperawakan gagah mirip seperti Sangkacha membuat sang dewi jatuh cinta lagipada sang raja muda. Dewayani tidak ingin kembali ke kotaraja kerajaan Parwata. Ia merasa tinggal di sana sudah tidak aman lagi, lebih-lebih jika ia ingat perbuatan Sarmista. Karena itu, ia berkata kepada Yayati, “Kau telah memegang tangan kanan seorang putri, berarti engkau harus menikahinya. Aku yakin, dalam segala hal kau pantas menjadi suamiku.” “tunggu dulu, ni sanak. Kau putri seorang pendita, seorang Brahmana dan aku seorang raja ksatria. Kastamu lebih luhur dari kastaku. Apa kata dunia nanti jika kita menikah. Apa mungkin putri Maharesi Sukra yang agung dan setara sang Wrehaspati menjadi istri seorang ksatria sepertiku. Ibarat sebuah kembang putih, tak pantas bagimu mendapatkan lebah tanah sepertiku. Kembalilah ke Parwata, Dewayani”  setelah berkata demikian, Prabu Yayati kembali ke Kandaparasta.
Sepeninggal Prabu Yayati, Dewi Dewayani memutuskan tinggal di hutan yang jauh dari kotaraja Parwata. Dia memilih bertapa di dalam batang pohon yang berlubang. Setiap hari dia duduk bersemedi, bertapa brata merenungi nasibnya yang selalu gagal dengan urusan asmara. Akibat tapa bratanya itu, seluruh marcapada dan kahyangan Jonggring Saloka berguncang hebat. Kawah Candradimuka bergolak memuntahkan lahar panas dan menyelimutkan awan panas di sekitar puncak Mahameru. Para bidadari, bidadara, dan para dewa menjadi kepanasan. Batara Guru segera memerintahkan Batara Indra mendatangi Maharesi Sukra untuk membujuk sang putri agar berhenti bertapa brata.
Batara Indra datang ke pertapaan Saraparwata dan mengabarkan pada Maharesi Sukra “ampun Maharesi yang agung. Ramanda pukulun Batara Guru memerintahkan hamba untuk mengabarkan putri Maharesi, Dewayani bertapa brata sangat kuat hingga membuat kahyangan bergoncang hebat.” Maharesi Sukra menjadi semakin sedih mendengar kenyataan itu. sang putri yang tak balik-balik ke pertapaan kini membuat kahyangan menjadi kerepotan. Dia meminta maaf kepada Batara Indra lalu segera pergi menyusul sang putri. Sesampainya di tempat sang putri tercinta, dia mendapati Dewayani nampak menyedihkan. Kantung matanya gelap dan sayu karena lama menangis. Wajahnya keruh kisut karena marah dan kecewa. Badannya yang berisi kembali kurus kering karena banyak pikiran. Segala kekalutan, kemarahan, kekecewaan, dan kegalauan menyelimuti hatinya. Auranya begitu kelam. Maharesi Sukra kemudian menghibur sang putri kesayangan “Anakku sayang, kebahagiaan dan kesengsaraan seseorang merupakan akibat dari perbuatannya sendiri. Kalau kita bijaksana, kebajikan atau kejahatan orang lain tidak akan mempengaruhi kita.” Dewayani bukannya bangun dari tapa bratanya malah semakin jumawa meneruskan laku tapanya. Alam semakin bergejolak. Tanah mulai bergegar dan terbelah. Angin taufan berembus kencang, hujan turun sangat lebatnya dengan kilat dan halilintar yang mengerikan. Bumi gonjang-ganjing, langit kolap-kalip. Hutan tempat Dewi Dewayani bertapa dilanda banjir dahsyat. Maharesi Sukra menjadi semakin khawatir lalu berkata “ anakku, jangan teruskan. Alam akan murka balik pada kita. Ceritakanlah apa masalahmu padaku. Jangan lampiaskan dengan menyengsarakan makhluk-Nya.” Hati Dewayani pun luluh dan dia segera menghentikan tapa bratanya. Seketika alam kembali tenang. Kemudian Dewi Dewayani menangis dan menceritakan segala yang dialaminya, mulai dari dihinakan Dewi Sarmista hingga ditolong oleh Prabu Yayati dari luweng. Dengan tenang, Maharesi Sukra meyakinkan sang putri “putriku, semua hal di Marcapada ini ujian. segala pujian,olok-olok, dan caci maki juga merupakan bentuk ujian hidup. Sungguh mulia orang yang bisa belajar dan memaafkan segala caci maki. Ibarat seorang sais kereta yang berhasil menaklukan dan mengendalikan kuda-kudanya yang liar. Telah banyak kitab-kitab suci mengatakan bahwa orang yang kuat bukanlah seorng petarung namun orang yang mampu menahan amarahnya, melepaskan egonya dan memaafkan kesalahan dengan tulus ikhlas. Orang yang mampu menahan amarah dan ego lebih mulia derajatnya dibandingkan orang saleh yang beribadah seribu tahun. Kesalehan, kebaikan, teman, keluarga, pelayan, dan kebenaran akan menjauhi sesiapa yang tak mampu menahan nafsu amarahnya.” Dewi Dewayani kemudian memeluk sang ayahanda “Ayah, diriku ini masih terlalu muda untuk paham apa yang ayah ucapkan. Namun yang aku tahu, sungguh tiada pantas bagiku hidup bersama orang-orang yang tidak mengenal unggah-ungguh. Putri gusti Prabu Wresaparwa, Sarmista telah kehilangan unggah-ungguhnya dengan mengambil selendangku lalu mencampakkan aku ke dalam luweng. Aku sangat marah dan kecewa padanya. Segores luka di badan masih bisa sembuh dengan obat dan jamu, namun luka di kalbu ini karena kata-kata cacian Sarmista tak akan bisa sembuh walau telah berlalu seribu tahun, ayah.” Gagal membawa pulang sang putri, Maharesi Sukra mendatangi Prabu Wresaparwa.
Prabu Wresaparwa, raja negeri Parwata, meskipun sang raja berparas Yaksa yang berwajah sangar, dia adalah raja yang saleh, berbudi, dan arif bijaksana. Dia tak pernah membeda-bedakan rakyatnya baik dari bangsa manusia biasa maupun bangsa Yaksa. Hukum di sana dtegakkan dengan adil. Dia dikarunia lima orang putra dan satu orang putri, yaitu Sarmista. Kelima putranya yang berparas Yaksa sangat berbudi, baik perangainya, tenang pembawaannya, dan teguh pendirian tapi berbeda dengan Dewi Sarmista yang berparas bak bidadari, kelakuannya begitu manja dan genit. Walaupun dia putri yang baik, kata-kata yang diucapkannya ceplas-ceplos tak jarang membuat siapapun sakit hati. Sang prabu yang kedatangan Maharesi Sukra segera membri hormat berikut para putra-putri, petinggi, patih dan para menteri. Maharesi Sukra kemudian berkata “ Anak prabu Wresaparwa, sebuah dosa tidak akan menghancurkan manusia seketika namun lambat laun dapat menghancurkan hubungan antar sesama makhluk Tuhan. Sangkacha, putra sahabatku, Batara Wrehaspati sudah bersumpah brahmacarin dan tak akan berlaku serong. Beberapa rakyat anak prabu telah beberapa kali berusaha melenyapkannya namun selalu berhasil kuhidupkan kembali dia. Kini putri anak prabu, Dewi Sarmista telah kehilangan unggah-ungguhnya dengan menghina putri kesayanganku, Dewayani hingga dia jatuh terjerembab ke dalam luweng di tengah hutan. Sekarang dia tak mau kembali ke Parwata dan tapa bratanya telah dirasakan bukan hanya di negeri ini tapi juga sampai ke Jonggring Saloka. Karena dia tak mau balik ke Parwata, aku akan pergi dari negerimu, anak Prabu.”
Mendengar hal itu, Prabu Wresaparwa menjadi khawatir. Dengan perginya Maharesi Sukra, negeri Parwata akan hancur. Lalu dia berkata, “Ampun, bapa Maharesi. Aku tak mengerti mengapa anda melontarkan tuduhan seperti itu. seperti kata pepatah tua, ‘Anak polah, Bapa kepradah,’ hamba bersedia menanggung kutuk dan derita apa yang akan ditimpakan nimas ayu Dewayani pada hamba.” “Hmm...baiklah, anak prabu. Kau kuizinkan untuk membujuk dan menenangkan putriku.” Maka pergilah Prabu Wresaparwa bersama putrinya, Dewi Sarmista untuk melunakkan hati batu Dewi Dewayani. Sesampainya disana, Prabu Wresaparwa dan Dewi Sarmista berlutut dan memohon agar Dewayani tidak meninggalkan negeri Parwata. Namun Dewi Dewayani justru memasang wajah kecut dan berkata, “Sarmista, sahabatku. Dia yang dekat di hatiku telah mengata-ngataiku anak pengemis. Dia harus merasakan bagaimana rasanya menjadi orang hina dan dia harus menjadi dayang-dayangku di rumahku sampai hari pernikahanku nanti. Baru setelah itu dan setelah itu, dia bisa kembali menjadi seorang putri terhormat.” Prabu Wresaparwa menerima tuntutan itu.
Dewi Sarmista menjadi dayang-dayang Dewi Dewayani
Dewi Sarmista yang telah insaf dan tobat dari kesalahannya seketika itu juga segera berganti pakaian. Bukan lagi sebagai putri raja gung binantoro yang terhormat, melainkan sebagai dayang-dayang hina papa, “Dewayani, maafkan kesalahanku. Aku terlalu picik sampai tak menyadari kau adalah putri pendita agung yang harusnya kuhormati. Negeri ayahku tak pantas kehilangan Maharesi kebanggaannya dan inilah balasan atas kesalahanku.” Dewi Dewayani hatinya luluh dan memaafkan kesalahan Dewi Sarmista.
Selama menjadi dayang-dayang, Dewi Sarmista melayani Dewi Dewayani dengan baik dan begitu sebaliknya, dia juga begitu disayang oleh Dewayani dan Maharesi Sukra. Pada suatu hari, Dewi Dewayani kembali bertemu dengan Prabu Yayati. Dia mengulang kembali permintaannya, minta dinikahi sang Prabu dari Kandaparasta itu. Prabu Yayati menolak. Katanya, sebagai ksatria ia tidak dibenarkan mengawini seorang wanita berkasta brahmana. Memang kitab-kitab Sastra tidak membenarkan hal itu, tetapi sekali perkawinan seperti itu terjadi, tak ada yang boleh membatalkannya dan perkawinan itu sah. Singkat cerita, pada akhirnya, setelah mendapat restu dari Maharesi Sukra, Prabu Yayati bersedia menikahi Dewayani dengan syarat Dewayani tak boleh dimadu orang lain. Mereka hidup berbahagia bertahun-tahun lamanya. Dari pernikahan itu, mereka dikaruniai dua orang putra, Raden Yadu dan Raden Turwasu.
Kutuk Pasu Maharesi Sukra
Meskipun masa hukuman Dewi Sarmista telah berakhir dia masih betah mengikuti kemanapun Dewi Dewayani tinggal. Diam-diam dia telah jatuh cinta pada Prabu Yayati. Hingga pada suatu malam, perasaan cintanya tak bisa disembunyikan lagi. Malam itu, Dewi Sarmista bertemu Prabu Yayati yang kebetulan sedang sendirian di tamansari. Dia mendatangi sang prabu sambil merangkulnya dengan genit dan manis manja “ampun gusti prabu, hati yang terpaut asmara tak bisa di lepaskan. Aku jatuh cinta pada gusti. Izinkanlah aku menjadi istri permaisurimu. Kalau tidak berkenan, jadikan selir bahkan selingkuhan juga tak mengapa.” “Aduhai, genit dan manjanya dirimu. Kau ternyata bahkan lebih menggairahkanku, dewiku. Dewayani tak ada apapun bila dibandingkan dengan dirimu. Baiklah aku akan menikahimu secara gandarwa dan diam-diam.” Karena kegenitan Sarmista dan Prabu Yayati yang mulai bosan dengan Dewayani, mereka pun menikah diam-diam. Dari pernikahan itu, Dewi Sarmista dikaruniai tiga orang putra, Raden Drahyu, Raden Hanu, dan Raden Puru.
Awalnya perselingkuhan itu tak terendus dan sangat rapi disembunyikan oleh Prabu Yayati selama bertahun-tahun, namun sepandai-pandainya orang menyimpan bangkai, pasti akan tercium pula busuknya. Itu juga berlaku dengan perselingkuhan itu. Pada suatu hari yang cerah, Dewi Dewayani pergi mengunjungi sang ayah. Di tengah jalan dia dikepung tiga orang pemuda bertopeng. Karena mempelajari ilmu beladiri dari sang ayah , Dewi Dewayani mampu mengalahkan tiga orang pemuda dan membuka topeng mereka. Dia terkejut melihat ketiga pemuda itu. Wajah mereka tampan rupawan dan berwibawa mirip dengan Prabu Yayati, sang suami. Lalu mereka ditanyai “siapa kalian, anak-anak muda? Melihat wajah kalian, kalian mirip sekali dengan suamiku. Katakan siapa orang tua kalian?.” “ampun gusti kanjeng ratu permaisuri, nama hamba Puru dan ini kakak-kakak saya, Drahyu dan Hanu. Kami putra kanjeng ibu Sarmista, putri negeri Parwata. Ayah kami adalah seorang pengembara bernama Yayati.” Terkejut sekali dengan penuturan mereka, namun dia mencoba untuk tetap tenang. Dewi Dewayani segera memerintahkan tiga pemuda itu untuk tinggal di keraton Kandaparasta “Anak-anakku, aku Dewayani, ibu tiri kalian. Ayah kalian adalah raja di Kandaparasta. bergabunglah bersama putra-putraku di sana. Mereka juga saudara kalian. Tuan sais, antarkan mereka ke Kandaparasta. beritahukan pada Yadu dan Turwasu bahwa mereka adalah saudara seayah.” Tanpa banyak bicara, sang sais mempersilakan tiga putra Yayati itu dengan sopan lalu mereka kembali ke Kandaparasta. Sepeninggal mereka, Dewi Dewayani tak henti-hentinya menangis sepanjang jalan menuju negeri Parwata. Kutuk pasu kedua dari Sangkacha telah berlaku. Sang dewi telah diselingkuhi dan dimadu oleh sahabatnya sendiri. Hatinya yang baru mengecapkan bahagia kini kembali hancur ke dalam kepahitan yang tak terperi.
Sesampainya di pertapaan sang ayah, dia mendapati ayahnya sedang bersama sang suami. Mereka terkejut melihat Dewi Dewayani datang dengan wajah sedih dan menangis terisak-isak.. Prabu Yayati hendak memeluk sang permaisuri namun ditampik oleh permaisurinya itu. Maharesi Sukra kemudian bertanya pada sang putri. Dewi dewayani kemudian bercerita “Ayah, kau lihat menantu kesayanganmu ini. Bahkan seekor ayam betinapun tak akan rela bila sang jantan bersama betina lain. Aku telah diselingkuhi dan dimadu oleh Sarmista, putri Wresaparwa, sahabatku sendiri. Buktinya ada. Kini ketiga putra hasil perselingkuhan mereka ada di Kandaparasta. “ Maharesi Sukra menjadi berang, murkanya sudah tak tertahankan lagi. Matanya merah karena marah. Pipi dan telinganya juga merah padam. Giginya bergemeretak. Auranya berubah menjadi merah semerah darah. Aura itu membuat negeri Parwata dilanda huru-hara. Seisi negeri Parwata dilanda banjir dahsyat dan hancur berkeping-keping saking begitu dahsyatnya aura kemurkaan sang pendita agung. Lalu Maharesi Sukra melontarkan kutuk pasu pada sang menantu  “anak Prabu Yayati, kau sudah menduakan hati putriku. Kini dia sakit hatinya tak terperi. Kau telah kehilangan segalanya. Segala wibawa, kesaktian, kehormatan, kemegahan, keperkasaan bahkan keremajaanmu telah hilang musnah dari hadapanku! Semua itu sudah sirna ilang kertaning bumi bersama perselingkuhanmu!” Bukan main hebatnya kutuk pasu yang terlontar dari mulut Maharesi Sukra. Bumi gonjang-ganjing, langit kolap-kalip.
Prabu Yayati mendapatkan kutuk pasu
Seketika itu juga rambut Prabu Yayati menjadi putih beruban. Tubuhnya yang gagah menjadi lemah dan jompo. Kulitnya yang mulus menjadi keriput bergelambir. Prabu Yayati telah terkutuk menjadi seorang kakek-kakek tua bangka bau tanah sebelum waktunya. Prabu Yayati menerima kutuk pasu itu dan menangis sejadinya memohon agar kutuk itu dicabut namun apa yang dikatakan Maharesi Sukra sungguh membuatnya hilang semangat “anak prabu, kutuk pasu yang dilontarkan seorang resi adalah keniscayaan. Sebab sabdo pandita ratu, sabdo resi tan keno wola-wali. Aku tak bisa mencabut kutuk-ku kecuali ada seseorang yang sukarela menukarkan keremajaannya dengan ketuaanmu.”

Prabu Yayati Ingin Muda Kembali
Prabu Yayati memang masih belum puas dengan gairah masa mudanya. Dia ingin menukar wajah tuanya dengan wajah muda seseorang. Akhirnya dipanggillah kelima putranya ke balairung keraton. Lalu berkatalah ia dengan lembut “putra-putraku, aku telah mendapat kutuk pasu dari Maharesi Sukra, kakek kalian. Aku berubah menjadi orang tua lemah dan renta sebelum masanya. Padahal aku masih ingin menikmati kegairahan masa muda dan mengecap kenikmatan duniawi. Ketahuilah, para putraku, sejak muda aku hidup dengan mengekang hawa nafsu, menolak semua kesenangan duniawi walaupun kesenangan itu wajar dan tidak melanggar aturan kitab-kitab suci. Setelah menikah, belum lama mengecap kebahagiaan, tahu-tahu aku menjadi jompo dan renta. Sebab itu, salah seorang dari engkau hendaknya membantuku memikul beban azabku, mengambil ketuaanku dan memberikan kemudaanmu padaku. Siapa di antara kamu yang bersedia menolongku akan kuangkat menjadi raja negeri ini.”  Pertama-tama dia bertanya pada Raden Yadu, sang putra sulung. Raden Yadu kemudian berkata dengan lembut “duh, ayahanda Prabu. Seluruh dayang-dayang dan pacarku bisa terkejut dan menertawaiku bila aku menjadi tua renta di usiaku yang muda ini. Aku tak sanggup memikul bebanmu, ayahanda. Coba tanyai adik-adik. Mungkin salah seorang dari mereka mau.”
Prabu Yayati kemudian bertanya pada Raden Turwasu lalu Raden Turwasu menolak dengan halus “ Ayahanda Prabu, Jikalau saya menjadi tua berarti keamanan dan kekuatan negara ini juga di ujung tanduk. Siapa yang akan menjaga negara sementara salah satu panglima perangnya menjadi tua jompo.” Prabu Yayati walau kesal dengan penolakan Turwasu, tapi masih menerima alasan penolakan itu. Lalu dia bertanya pada Raden Drahyu, putra ketiga. Lalu Raden Drahyu berkata ”mohon ampun Ayahanda Prabu, jikalau saya menjadi tua bicara jadi gemetar, naik gajah atau berkuda juga susah. Saya tak sanggup menanggung ketuaan itu sebelum masanya.” Prabu Yayati mulai tak sabar dengan penolakan itu namun ditahannya lalu dia mendekati Raden Hanu dan bertanya, “Hanu, putraku. Mahukah kamu menukarkan kemudaanmu dan menggantikan aku menanggung azabku ini?” “Duh ayahanda Prabu, yang aku tahu orang tua tak akan bisa mandiri lagi. Bahkan untuk buang air saja harus dibantu. Aku terpaksa juga harus meminta bantuan orang lain. Aku tak sanggup menjadi tua untuk saat ini dan merepotkan orang lain.” Prabu Yayati menjadi kalut hatinya. Amarahnya yang ditahan tak mampu dikendalikan lagi. Lalu dia melontarkan kutuk pasu pula pada keempat putranya “duhh jadi anak kok tidak mau berbakti. Kalian berempat ingin memang ingin dapat tulah dariku.. Hei Yadu, kelak tanah negerimu tandus sehingga kau, anak keturunanmu, dan rakyatmu jadi gembala ternak. Hei Turwasu, kelak ada anak turunanmu yang tak akan berbudi. Hei, Drahyu, kelak negerimu bakal sering dilanda banjir dan harus pindah ke gunung sehingga anak keturunanmu menjadi raja di gunung dan hei Hanu, kelak akan mati dalam usia muda dan anak turunanmu terusir dari tanah kelahirannya sendiri.” Sesudah melontarkan kutuk pasu itu, Prabu Yayati yang tua jompo menjadi lemah dan lelah karena mengeluarkan kutuk pasu. Lalu dia dipapah oleh Raden Puru, sang putra bungsu lalu Raden Puru berkata “Ayahanda Prabu, aku sanggup menukar keremajaanku dengan ketuaan milik ayahanda. Dengan senang hati aku menerima azab dari kutuk pasu milik kakek Maharesi.” Seketika itu juga, wajah Raden Puru berubah menjadi tua jompo sementara Prabu Yayati kembali menjadi muda belia.
Seakan tak menyadari kesalahannya, Prabu Yayati bukannya bertobat malah melampiaskan segala hawa nafsunya. Sepanjang malam, dia berpesta pora sampai mabuk dan bukan hanya mabuk minuman saja tapi mabuk wanita. Dia kemudian pergi ke Taman Batara Kuwera, pergi bersenang-senang melampiaskan nafsu supiah dan aluamah. Dia reguk segala kenikmatan duniawi tanpa kenal ampun dan tanpa kenal puas. Dewi Dewayani menjadi semakin sedih. Kemudian dia memutuskan pergi dari Kandaparasta mengasingkan diri di pertapaan Saraparwata bersama ayahnya, Maharesi Sukra sampai akhir hayat. Begitupun Dewi Sarmista, dia memilih kembali ke negeri Parwata yang telah hancur lebur dan hidup menyendiri sebagai petapa selama sisa hidupnya. Anak-anak sang prabu juaga meninggalkan sang prabu kecuali raden Puru. Raden Yadu meninggalkan Kandaparasta dan mengawali hidup menjadi peternak lembu di pinggir bengawan Yamuna. Dari hasil usahanya dia membabat hutan dan mendirikan negeri para peternak dan penggembala bernama Kerajaan Woja (kelak bernama negeri Mandura) dan menjadi pemimpin disana bergelar Prabu Yadu. Keturunan Prabu Yadu menamai diri mereka dengan Wangsa Yadawa. Raden Turwasu juga mendirikan kerajaan Giribajra di gunung Citayaka (kelak salah satu keturunan Prabu Turwasu ada yang tak berbudi dan sesat yaitu Prabu Jarasandra alias Jaka Slewah). Raden Drahyu yang meninggalkan keraton dan tinggal di lembah sebagai petani selalu dilanda kebanjiran sehingga dia dan keluarganya mendirikan desa di Pegunungan Gandara. Setelah desa itu besar, desa itu berubah kota lalu berubah lagi menjadi negara berdaulat bernama Kerajaan Gandara (negara asal Dewi Gendari dan Patih Arya Sengkuni). Sementara Raden Hanu meninggal muda dan anak-anaknya menjadi terusir dari tanah Jawadwipa tersisih dari pergaulan. Mereka mendirikan negara di Jazirah Atasangin dan sebagian menjadi bangsa Mleccha. Sementara itu Raden Puru tetap tinggal di Kandaparasta dan menghabiskan hidupnya mendekatkan diri pada Sanghyang Widhi yang Maha Agung dan melatih olah kanuragan. Meskipun terjebak dalam tubuh pria tua, Raden Puru masih terkenal sakti mandraguna.
Lima puluh tahun telah berlalu, Prabu Yayati telah lelah dan jenuh. Dia merasa hidupnya hampa dan tak berarti karena hanya mengejar kenikmatan. Akhirnya ia sadar, semua itu sia-sia belaka. Istri-istrinya sudah wafat semua, anak-anaknya telah mandiri dan meninggalkannya. Dia kembali ke Kandaparasta dan menemui Raden Puru lalu dia berkata “putraku, kini aku sadar apa yang telah aku pelajari dalam kitab-kitab suci adalah benar adanya. Kenikmatan dan hawa nafsu kalau dituruti terus tak akan habis. Ibarat api yang disiram minyak, semakin lama semakin besar dan tak terpuaskan. Tak satu pun dapat membuat manusia merasa damai. Kita hanya dapat mencapai kedamaian dengan keseimbangan jiwa yang mengatasi segala kesenangan dan ketidaksenangan. Ketenangan jiwa dan perasaan damai yang sejati adalah karunia mulia dari Sanghyang Widhi Yang Maha Kuasa. Kemarilah, Puru. Warisilah negeri kita ini dan jadilah raja yang arif bijaksana dan penuh kebajikan. Ambillah keremajaanmu kembali. Aku ingin kembali menjadi orang tua jompo dan renta agar bisa semakin dekat dengan-Nya” Seketika itu pula, ketuaan yang ditanggung Raden Puru berganti dengan keremajaan. Raden Puru menjadi muda belia kembali smentara Prabu Yayati kembali tua dan jompo.
Hari pelantikan raja segera dilaksanakan. Kini Raden Puru menjadi raja Kandaparasta bergelar Prabu Puru. Prabu Puru punya anak bernama Prabu Hastimurti. Prabu Hastimurti punya putra bernama Prabu Dusyanta. Prabu Dusyanta menikahi Dewi Shakuntala, putri begawan Wiswamitra yang diasuh Resi Kanwa. Dari pernikahan itu lahirlah Raden Sarwodamono yang kelak bergelar Prabu Baharata/Baroto. Raja yang memindahkan kotaraja dari kota Kandawa ke desa Kurugangga. Lalu nama Kurugangga diganti menjadi Hastina, untuk merayakan lahirnya sang cucu, Raden Hasti. Sejak saat itu nama kotaraja Kandaparasta tenggelam berganti menjadi Hastinapura. Dari Hastinapura inilah, Prabu Baharata memperlebar sayapnya hingga ke Tanah Hindustan. Prabu Baharata punya putra dan putri bernama Bumanyu dan Dewi Nilawati. Dewi Nilawati menjadi istri Bambang Satrukem, putra tertua Resi Manumayasa (leluhur Maharesi Abiyasa dari pihak ayah).”
Demikianlah Maharesi Abiyasa menceritakan kisah itu pada Permadi. Permadi terkesan sekali dengan kisah itu. Maharesi Abiyasa setelah itu menasihati cucunya untuk segera kembali ke Amarta, di sanalah darma baktinya harus ditunaikan. Jodoh sejati Raden Permadi akan segera menanti.