Sabtu, 13 April 2024

Begawan Pegatrasa (Kawedaring Bimawan, Bimawati dan Brajasena)

 Hai semua pembaca dan penikmat kisah pewayangan! Kisah kali ini mengisahkan kedatangan seorang pendita aneh yakni Begawan Pegatrasa ke Hastinapura setelah negeri itu dilanda pagebluk. Kisah ini juga menceritakan kemunculan  tiga keturunan Arya Wrekodara yakni Bimawan, Bimawati, dan Brajasena. Kisah ditutup dengan terbukanya jatidiri antara Bimawan, Bimawati, dan Brajasena serta terkuaknya kedok Begawan Pegatrasa. Kisah ini mengambil sumber hasil chatting dengan teman-teman di grup pewayangan di  Whatsapp. Terima kasih buat mas mzk130307, mas afka._.dfs05    dan mas dendykrisnaa untuk saran-saran dan suntingan-suntingannya. 

Di sebuah hutan yang jauh, gelap dan sunyi. Angin berhembus lirih menggelitik dedaunan dan ranting pepohonan, tiada suara hewan lantang terdengar. Kicau burung pun seakan hilang di tengah belantara ini. Suara yang tercipta karenannya menyiratkan kengerian dan kehampaan yang mencekam. Gelapnya hutan membayang-bayang, bahkan saat itu siang sangat terik. Tersebutlah di dalam hutan yang diberi nama Alas Ratrijanggala itu, hidup seorang petapa dengan segala keanehannya. Tak pernah sekalipun ia meminta sumbangan atau derma. Tapi ia selalu berpakaian seperti pendita kerajaan.

Begawan Pegatrasa datang ke Hastinapura
Karena hutan itu jarang dikunjungi manusia, petapa itu dianggap seperti hantu atau dedemit yang menyamar sebagai pendita kaya. Di balik kemisteriusannya, ia pun pergi meninggalkan hutan itu menuju negeri yanga makmur, Hastinapura.

Sementara itu, di Hastinapura, Prabu Parikesit dihadap oleh Patih Harya Dwara, Bambang Wiratmaka, Bambang Wisangkara, Prabuanom Srengganamurti, dan Arya Jayasumpena. Mereka membicarakan permasalahan di hastinapura dimana rakyat mendadak jatuh sakit dan dilanda wabah besar “Ampun kakang prabu, wabah ini semakin menggila. Rakyat banyak jatuh sakit, harga melambung tinggi, korban jiwa tak tertolong juga makin banyak.” Lapor Patih Harya Dwara. Lalu Bambang Wiratmaka melapor juga “Ampun kakang prabu, keamanan negara akhir-akhir ini terusik lagi. Pencurian dan pembunuhan terjadi dimana-mana. Balai kesehatan membeludakj karena kasus ini juga.” Prabu parikesit merasa berdberduka mendengar nasib negeri yang dibangun oleh para leluhur dan diperjuangkan kakek nenek mereka seakan diujung tanduk “ini tidak masuk akal, kakang prabu” ucap Bambang Wisangkara. “tidak masuk akal bagaimana, adhi?”tanya Prabu Parikesit. “tidak masuk akal kerena segala hal telah kita kerahkan. Kualitas sarana dan prasarana sudah kita maksimalkan. Gizi rakyat juga kita perhatikan. Harga barang dan ekspor impor sudah kita periksa dan teliti.”ucap Bambang Wisangkara lagi “benar apa kata adhi Wisangkara “ ucap Prabuanom Srengganamurti “ada sesuatu yang membuat jalannya pemerintahan kacau dan itu bukan karena faktor fisik. Ini disebabkan kekuatan jahat entah dari mana.”. tak berapa lama, datang seorang pendeta bernama Bagawan Pegatrasa. “salam paduka prabu...perkenalkan hamba Pegatrasa, pertapa dari Alas ratrijanggala.” Prabu Parikesit dan para saudaranya menyambut sang pendeta itu. Prabu Parikesit lalu bertanya apa keperluannya datang kemari. Begawan Pegatrasa lalu memberitahukan cara mengakhiri pageblug dan rajapati di hastinapura “nanda prabu kalau ingin bisa mengakhiri pagebluk di Hastinapura hanya ada satu cara.” “apa caranya, bapak begawan?” Begawan Pegatrasa lalu berkata “ananda prabu harus mengorbankan kepala Lengkung Kusuma, anak pamanmu Petruk.” Entah terkena sihir apa atau terpesona dengan kata-kata sang begawan,  Prabu Parikesit dan Harya Dwara manggut-manggut saja, tepengaruh ucapan Pegatrasa yang mengandung sihir itu.  Bambang Wisangkara sebagai tangan kiri sang prabu berusaha menjernihkan pikiran adik sepupunya itu namun ia dihalang oleh kekuatan aneh. Akhirnya sang prabu Parikesit memerintahkan Wiratmaka, Jayasumpena, dan Srengganamurti mencari Lengkung Kusuma. Singkat kata, pasukan hastinapura datang dan berkata “Lengkung Kusuma! Serahkan dirimu...kau harus bersedia ikut kami ke Hastinapura!” “Lengkung Kusuma lalu berkata “Emoh...lebih baik aku mati daripada ditumbalkan sama orang tidak jelas seperti si Pegatrasa!” mendengar nama Begawan pegatrasa dihina, para pasukan yang dipimpin Wiratmaka, jayasumpena, dan Srengganamurti marah dan lalu mengobrak-abrik Karang Tumaritis. Kelauraga Lengkung Kusuma segera mengungsi ke Widarakandang kampung halaman Prantawati, isteri Lengkung Kusuma. Namun tak berapa lama, desa kembali diobrak-obrik. Lengkung Kusuma pun berhasil melarikan diri ke hutan lewat jalur rahasia tapi keluarganya ditahan dan tak bisa keluar desa.

 Ditempat lain, tersebutlah di sebuah desa bernama Sonosekar hiduplah keluarga Dewi Sumekar. Dewi Sumekar adalah pendeta perempuan yang kondang di desa itu. Ia adalah salah seorang isetri Arya Wrekodara selain Endang Sri Giyanti yang dulu menikah dengan cara lewat mimpi sehingga lahirlah raden Bimawan dan  Dewi Bimawati. Lalu beberapa tahun kemudian saat Bimawan dan Bimawati masih berusia 7 tahun datang pula seorang pendeta anak-anak, seumuran dengan dua anaknya.

Jatidiri Bimawan dan Bimawati
Ketika ditanya namanya, anak itu menjawab kalau dia bernama Brajasena. Dewi Sumekar pun memberikannya tempat tinggal dan dirawatnya anak kecil itu dengan penuh kasih sayang. Brajasena pun diaku anak oleh Dewi Sumekar. Setelah sekian lama saat usia Brajasena, Bimawan dan Bimawati sudah dirasa cukup dewasa, mereka ingin mencari ayah mereka. “Ibu, Bimawan dan Bimawati sudah dewasa...beritahukan pada kami siapa ayah kami?” “benar ibu. Telah lama kami menantikannya. Katakan ibu dimana ayah?”   Dewi Sumekar berkata “Bimawan! Bimawati! Ketahuilah, ayah kalian yakni Bhima Wrekodara, pahlawan perang perang Bharatayudha. Dia satu dari dari Pandawa lima putra Prabu Pandu Dewanata. Tapi menurut kabar, ayah kalian sudah lama wafat beberapa tahun setelah penobatan Parikesit, anak Abimanyu cucu dari Arjuna, adik dari ayah kalian sebagai raja baru Hastinapura.”  Mendengar hal itu, Bimawan dan Bimawati merasa sedih. Brajasena pun memeluk kedua saudara angkatnya itu “wes lah adhi-adhiku ! ada kakang Braja disini. Jika ada waktu, kita akan sowan ke Hastinapura.”  Untuk sementara itu membuat keinginan Bimawan dan Bimawati mereda sampai pada suatu hari, keinginan Bimawan dan Bimawati malah makin kuat untuk pergi ke Hastinapura, ingin diakui sebagai keturunan Pandawa. Dewi Sumekar tidak bisa menghentikan keinginan dua putra-putrinya .ia pun berpesan “ Le! Nduk! Kalau tekad kalian bulat, ibu tidak akan menghalangi. Tapi jika ingin diakui sebagai keturunan Pandawa, kalian harus mengabdi kepada sang raja Hastinapura, keponakan kalian itu.”  Bimawan dan Bimawati mematuhi perintah ibunya. Lalu Brajasena datang mengajukan diri untuk mengawal Bimawan-Bimawati. Awalnya hal itu dilarang karena Bimawan dan Bimawati khawatir dengan keselamatan ibunya jika mereka bertiga pergi. Dewi Sumekar berkata bahwa ia tidak apa-apa ditinggal toh selama ini dia tinggal sendirian, tentu bukan masalah jika ketiga anaknya itu pergi. Setelah berpamitan, Brajasena pun mengantar Bimawan dan Bimawati. Ketiga orang itu berjalan melewati hutan yang lebat dan gelap. Namun ditengah jalan mereka bertemu dengan Lengkung Kusuma. Bimawan pun menyodorkan air kepada Lengkung “ini kisanak...minum lah dulu...” setelah menyelesaikan minumnya. Bimawati membuika percakapan “kisanak, kalau boleh tau siapa anda? Dan ada apa seperti terburu-buru?” Putra Petruk itu pun menceritakan memperkenalkan dirinya “Aku Lengkung Kusuma, putra Petruk alias Dawala, cucu Kakek Semar, pamomonge para Pandawa.” Ketiga pemuda dari Sonosekar langsung bersujud mendengar nama Kakek Semar, karena mereka pernah diasuh sang punakawan saat masih kecil bersama Dewi Sumekar. Ketiga pemuda-pemudi itu lalu berlutut “ampun Paman Lengkung, jauhkan kami dari marabahaya dan bala bencana tak mengenalimu. “  “tidak perlu menghormat begitu...aku bukan siapa-siapa...” lalu Brajasena bertanya “apa penyebab paman bisa seperti ini?” Lengkung Kusuma pun menceritakansegalanya. Ketiga orang itu kasihan dengan nasib orang yang sudah memomong mereka dan mempersilakan Lengkung agar ikut mereka dengan jaminan perlindungan.

Di Hastinapura, Begawan Pegatrasa bermain sihir sehingga aura kerajaan menjadi gelap lalu datang lah jin qorin Dursasana dan Aswatama membuat pagebluk menghilang tapi hanya sementara. Begawan Pegatrasa lalu mencambuki dua jin qorin itu.  Putra mahkota Parikesit yakni Raden Janamejaya diam-diam memergoki sang begawan aneh itu. ia merasa ini tidak benar “ini tidfak benar...masa iya begawan mainnya beginian...aku harus bertindak...” gumam Janamejaya dalam hati. Namun sebelum melaksanakan niatnya, Janamejaya kepergok oleh Begawan Pegatrasa. Karena merasa tidak ada yang perlu disembunyikan lagi dihadapannya, janamejaya berkata dengan tegas “hei begawan aneh...sejak kedatanganmu kemari, susanan di kerajaaan jadi makin aneh. Aku memerintahkanmu untuk segera per...”baru saja Raden Janamejaya berkata pergi sang begawan, datang pasukan jin dan setan dari Setra Gandamayu. Begawan Pegatrasa lalu berkata “usirlah aku kalau berani.” Raden Janamejaya hendak melarikan diri pun diseret ke alam jin. Portal alam jin terbuka dan raden Janamejaya pun masuk ke dalamnya. Begawan Pegatrasa pun berpura-pura panik “paduka prabu.... paduka prabu...kabar buruk paduka...” Prabu parikesit yang tengah duduk di atas takhtanya berkata “:ada apa bapa begawan? Kau terlihgat kalut sekali.” Begawan pegatrasa lalu menceritakan bahawa raden janamejaya telah dibawa ke alam jin. Parikesit kalut mendengar kabar itu. begawan Pegatrasa berkata kalau penyebab anaknya hilang karena kemarahan Dewasrani yang kini dibakar di neraka. Satu-satunya cara agar Dewasrani tidak marah lagi ialah dengan menghabisi anak keturunan Wisanggeni yakni Wisangkara. Parikesit terhasut lagi dan merencanakan pembunuhan itu dengan tangan sendiri. Bambang Wisangkara mendengar secara diam-diam dan berkata “tidak bisa begini..sejak begawan aneh itu datang, kelakuan dinda prabu makin menjadi-jadi gilanya. Baik aku pergi dari sini... aku harus menyusun rencana agar bisa mengusir si begawan aneh.” Pada malam hari yang berkabut, Bambang Wisangkara mengerahkan ajian Pedut Wisa. Berkat jurus itu, seisi istana tertidur karena selimut kabut penenang itu. setelah dirasa penjagaan sudah cukup lemah, ia pun pergi dan menghilang di tengah kelamnya malam.

Ketika bangun keesokan paginya, Parikesitu terkejut melihat semua orang disana lengah dan tidak menemukan kemana perginya Wisangkara. Dengan penuh kemurkaan, Parikesit pun menetapkan Wisangkara sebagai pengkhianat negara. Lalu datanglah tiga orang pemuda-pemudi yakni Brajasena, Bimawan dan Bimawati. Mereka menghadap kepada Prabu Parikesit untuk diakui sebagai keturunan Pandawa. Prabu Parikesit mendatangi Bimawan dan Bimawati.

Adu Domba Pegatrasa
Parikesit melihat kedua orang itu memakai pakaian kebesaran peninggalan sang kakek, Wrekodara. Ia mengakui kalau Bimawan dan Bimawati adalah paman dan bibinya namun ketika melihat ke arah Brajasena, ia tak sengaja melihat bahawa dibelakang sang pemuda itu turut membawa Lengkung Kusuma, si calon tumbal, Parikesit memerintahkannya untuk menyerahkan calon korban tumbal itu. “anak muda, kau membawa orang yang kami cari...serahkan orang itu !”  Brajasena secara tegas berkata tidak mau “tidak akan paduka prabu, baru kali ini ada pagebluk harus pakai pengorbanan tumbal manusia? Paduka prabu sudah kehilangan akal sampai harus mendengar perkataan begawan tidak jelas itu!! ” kata Brajasena sambil menunjuk ke arah begawan Pegatrasa. Begawan Pegatrasa melihat ada kesempatan baik, maka ia merapal kembali ilmu sihirnya untuk mengadu domba tiga bersaudara itu. Lalu datang sebuah kekuatan aneh yang membuat Bimawan dan Bimawati terhipnotis dan menyerang Brajasena. Brajasena tidak mau melawan kedua saudaranya maka ia pergi dari Hastinapura sambil membawa Lengkung Kusuma namun mereka dihadang Bimawan dan Bimawati “kakang Brajasena, cepat serahkan Paman Lengkung!” “Yang dikatakan kakng Bimawan benar. Ini demi negeri ayahanda!” Brajasena pun berkata “kalian berdua sadarlah! Kalian terkena pukau..” namun belum selesai Brajasena bicara, terjadi perkelahian antar tiga saudara itu. Bimawan yang sedang terkena pukau mengeluarkan ajian Rengkah Samudra sehingga memancurlah air dari dalam tanah menyerang Brajasena. Dewi Bimawati juga mengerahkan kekuatannya. Dengan menarik selendangnya yang dilambari Ajian Candrasekhara, Brajasena dan Lengkung Kusuma terpencar. Di saat lengah, Bimawan menhantamkan ajian Rengkah Samudra miliknya dan Candrasekhara milik Bimawati. Baamm...Bimawan terpental jauh masuk ke dalam hutan. Lengkung mulai ketar-ketir namun ia teringat pesan dari kakeknya, Sri Kresna “tiup serulingmu lalu pergi ketika mereka lengah” Lengkung Kusuma segera mengeluarkan serulingnya dan memainkannya. Mendadak suara seruling itu seakan memanggil kabut. Kabut pun turun menutupi seisi istana. Semua orang dibuat seperti terpesona. Di saat demikian, Lengkung Kusuma terus meniup serulingnya dan sudah dirasa cukup jauh dari kejaran pasukan Hastinapura, Lengkung Kusuma pun segera melarikan diri sembari mengikuti arah jatuhnya Brajasena. 

Di hutan persembunyian, Wisangkara bertemu dengan ayahnya, Wisanggeni yang sudah menjadi makhluk kahyangan. Wisanggeni menerangkan “anakku, yang membuat kejadian aneh di Hastinapura itu begawan Pegatrasa yang dibantu anak Dewasrani, Sranikumara. Kau harus berhasil menghentikan mereka.” Maka Wisanggeni memberikan pakaian pendita. Mulai hari itu, Wisangkara menyamar sebagai brahmana bergelar Begawan Agnisuci. Selama menjadi brahmana, ia melindungi semua orang dan menyembuhkan orang-orang dari pagebluk. Ketika melewati sebuah hutan, Wisangkara menemukan Lengkung Kusuma bersama Brajasena yang sejak kemarin masih dalam keadaan tak sadarkan diri. Agnisuci segera menerawang apa yang terjadi. Dalam penglihatan, Begawan Agnisuci melihat kondisi Brajasena saat ini mati suri. Sukmanya masih nglembara sedangkan badannya dalam keadaan pingsan seperti tertidur. “Paman, baik kau minggir sebentar. Aku akan bangunkan ki sanak ini.” Dengan menggunakan Ajian Widyagni (api pengetahuan), Sukma Brajasena bisa dikembalikan lagi ke raganya. Sekilas, Begawan Agnisuci melihat jati diri yang tersembunyi dalam diri Brajasena. Ketika masuk kembali pikiran alam bawah sadar, terlihatlah memori kelahiran Brajasena. Setelah keduanya sadar, Agnisuci menanyai Brajasena “ki sanak ini siapa? aku melihat darah kakekku Bratasena alias Bhima Wrekodara dalam darahmu.” Brajasena tidak tahu, yang ia ingat adalah ia mendadak bangun di sebuah hutan dan mendatangai Dewi Sumekar saat berusia tujuh tahun. Agnisuci lalu menceritakan soal  penerawangannya bahwa Brajasena adalah juga keturunan Pandawa. Menurut penerawangan Agnisuci, Brajasena lahir dari kama Wrekodara yang jatuh ke bumi saat pernikahan Wrekodara dan dewi Sumekar. Dahulu ketika pelaksanaan penobatan Parikesit selesai, Arya Wrekodara mencoba sekali lagi keampuhan ajian Rabi Batin miliknya dan rupanya berhasil. Ia bertemu dengam Dewi Sumekar dari desa Sonosekar. Kemudian mereka berdua saling bertemu dan kemudian menikah di alam nyata. Ketika berbulan madu, air kama (benih sperma) Arya Wrekodara muncrat dan tumpah meresap ke tanah yang kemudian diruwat dan menjadi seorang pria dewasa oleh Batara Naga Adisesa, ular suci Sri Batara Wisnu. Setelah cukup dewasa, Brajasena ingin pergi mencari jati dirinya. Batara Naga Adisesa mengizinkannya namun ketika naik ke permukaan bumi, ingatannya itu dihapus dan tubuhnya pun kembali ke usia asalnya yakni tujuh tahun. Itulah sebabnya, Brajasena tidak ingat apa-apa soal kelahirannya. Brajasena pun terharu mendengar bahwa ia bukan sekadar saudara angkat Bimawan dan Bimawati semata tapi saudara seayah. Maka dengan tekat yang kuat, Brajasena pun menjadi pendita di bawah pengajaran Agnisuci demi membebaskan keuda saudaranya dari belenggu sihir Begawan Pegatrasa.

Perlahan tapi pasti, padepokan Agnisuci mulai besar dan membuat pamor Begawan Pegatrasa semakin redup maka sang begawan meminta Parikesit dan saudara-saudaranya agar mengobrak-abrik padepokan itu. Singkat cerita, pasukan sekota Hastinapura datang mengobrak-abrik desa sekitar padepokan namun keajaiban terjadi. Ketika hendak menerobos masuk, para prajurit malah jatuh tertidur di depan pagar padepokan sementara Wiratmaka, Srengganamurti, Jayasumpena, dan lain-lain mendengar suara seruling yang sangat indah mengalun dihembus angin “dinda Wiratmaka, siapa yang bisa meniup seruling seindah ini? suara yang begitu sejuk...” ujar Srengganamurti “benar, kakang Srenggana. Suara ini mengingatkanku pada seruling eyang prabu Sri Kresna.” kata Wiratmaka sambil mengingat-ingat memori masa lalu “Bimawan ikut berkata “suara ini...pernah kami dengar beberapa hari yang lalu...” Bimawati ikut pula bicara “kau benar kakang, aku juga pernah mendengar suara ini.... tapi dimana ya kakang...aku tidak ingat...”  Jayasumpena lalu menangis terharu “duh gusti jagat dewa batara.....mengingat suara ini aku jadi ingat dinda Lengkung , paman Petruk, dan eyang Prabu Sri Kresna.” Seluruh saudara Parikesit pun memasuki padepokan yang menjadi asal suara itu. di dalam padepokan yang sederhana itu, mereka semua melihat Lengkung Kusuma memainkan seruling indah dan Begawan Agnisuci juga Begawan Brajasena sedang bermeditasi. Entah karena kekuatan sihir atau memang aura padepokan itu sangat positif, kesemua saudara-saudara Parikesit begitu pula Bimawan dan Bimawati ikut bermeditasi.dalam meditasi yang begitu hening itu, aura negatif yang memenuhi pikiran dan seluruh tubuh mereka pun perlahan sirna.

Janamejaya berhasil dibawa balik 
Saudara-saudaranya Parikesit berhasil disadarkan malah berbalik melawan Parikesit. Bimawan dan Bimawati begitu juga para saudara lainnya pun bahkan mengetahui jati diri Brajasena. “kakang Brajasena, tolong maafkan kami.” “sudahlah...kalian semua berdiri... kalian sudah ku maafkan...”  Mereka pun berpelukan haru dan meminta maaf.

Lalu datanglah Prabu Parikesit sendiri bersama Begawan Pegatrasa ke padepokan Agnisuci. Prabu Parikesit menggunakan Ajian Lebur Sakethi miliknya untuk meruntuhkan padepokan itu. Padepokan pun bergoncang dahsyat. “tidak bisa dibiarkan, kakang Parikesit harus segera disadarkan.” Begawan Agnisuci mengeluarkan ajian Waringin putih untuk mengimbangi kekuatan jahat yang bersemayam di tubuh Parikesit. Akhirnya Parikesit kalah “apa-apan ini? Aku kalah...sejauh ini tidak ada yang bisa mengalahkan Lebur Sakethi milikku..kecuali dinda Wisangkara...baik aku masuk ke sana” Prabu Parikesit pun penasaran lalu memasuki padepokan Agnisuci. Di dalam padepokan itu, Prabu Parikesit berhasil disadarkan kembali. Namun ia bersedih hati karena putranya Raden Janamejaya masih menghilang. Lengkung Kusuma pun membacakan ajian Lawang Pitu dengan menyebut nama-nama Pandawa, Kurawa, dan keluarga besar Yadawa. Tak lama kemudian, dengan keajaiban, sukma para Pandawa, para Kurawa yang sudah diangkat ke Swargamaniloka berkat bantuan Yudhistira, dan juga Sri Kresna yang sudah menjadi makhluk kahyangan membawa Raden Janamejaya keluar dari alam jin. “cucuku...ini anakmu telah kami bawa pulang...berkat bantuan Lengkung Kusuma membaca ajian Lawang Pitu, kami bisa mengeluarkan Janamejaya dari alam jin.” ujar sukma prabu Yudhistira.” Sukma prabu Sri Kresna yang tak lain adalah Batara Wisnu itu sendiri pun membersihkan seisi padepokan itu itu dari segala ilmu sihir gelap dan negatif.  Arya Wrekodara lalu mendekati ketiga putra-putrinya yakni Arya Bimawan, Bimawati dan Brajasena. Mereka pun melepas rindu dengan ayah mereka meskipun hanya badan halus saja. Begawan Pegatrasa kesal maka ia menyerang begawan Agnisuci dengan main belakang. Akibatnya Begawan Agnisuci terlempar ke sebuah pohon dan badar ke wujud aslinya yakni Bambang Wisangkara. Sukma Wisanggeni berusaha menyembuhkan putranya. Ketika itu, Brajasena pun maju dan menyerang Pegatrasa dengan berbagai kekuatan dan ajian. Sukma ayahnya yakni Arya Wrekodara ikut membantu. Akhirnya badar pula penyamaran begawan Pegatrasa ke wujud semula yakni Danyang Suwela, anak Aswatama yang selama ini dicari-cari Parikesit. “rupanaya kau Danyang Suwela.....aku perintahkan kau menyerah atau kami habisi...” “Dengan sombangnya, Danya Suwela pun berkata “hah...jangan harap!.... kalian semua terutama kau Parikesit! Keberadaanmu Membuat Ayahku Tidak Bisa Mati Dengan Tenang....Sekarang Saatnya Kau Yang Akan Mati!” Danyang Suwela merapal matra dan seketika terbukalah portal alam jin. Pasukan jin itu bersama Sranikumara datang. Danyang Suwela memerintahkan Sranikumara, jin qorin Dursasana, dan jin qorin Aswatama menyerang Brajasena. Lalu sukma/pancer dari Arya Dursasana pun datang membela Brajasena sehingga badarlah jin qorin itu ke wujud aslinya, yakni bangsa setan penghuni Setra Gandamayu. Sranikumara pun bertarung dengan Wisangkara dan sukma Wisanggeni. Dengan ajian Agniwarna, muncullah api berwarna-warni yang menghanguskan tubuh Sranikumara dan berbagain bangsa jin lainnya. Begawan Brajasena pun kembali bertarung dengan Danyang Suwela. Brajasena menyerang Danyang Suwela secara kilat dengan Ajian Sepi Angin. Tapak dan langkah kakinya bergerak sekencang angin. serangannya pun cepat dan beruintun. Danyang Suwela tak mau kalah.

Brajasena melawan Danyang Suwela
Sang putra Aswatama itu mengerahkan ajian Rengkah Bumi milkiknya sehingga ia bisa dengan cepat sembunyi ke bawah bumi, namun Brajasena mampu mengejarnya. Begitu danyang Suwela naik ke angkasa, Brjasena mampu mengimbanginya dan menghajarnya diatas awan. Tak mau kehilangan momentum, Brajasena  pun menyerang titik lemah Danyang Suwela yakni di bagian rambutnya yang mirip kuda (ayah Suwela adalah Aswatama yang berambut seperti kuda). Dengan sangat pintar, Brajasena mengerahkan seluruh kekuatannya dan memangkas rambut danyang Suwela dengan ajian Angin Garudha yang telah dilambari ajian Waringin Putih. Akhirnya Danyang Suwela berhasil dikalahkan dan Sranikumara berhasil dibawa Arya Dursasana  ke neraka agar dihukum bersama ayahnya. Setelah dirasa cukup, roh para Pandawa, Kurawa, dan Sri Kresna kembali ke Swarga. Kerajaan Hastinapura kembali damai. Brajasena, Bimawan, dan Bimawati mendapatkan hak mereka sebagai keturuna Pandawa. Mereka bertiga pun memutuskan untuk mengelaola Padepokan Angisuci. Sedangkan Wisangkara alias sang Begawan Agnisuci sendiri pun mendapatkan kembali nama baiknya. Ia kembali menjadi penasehat utama Prabu Parikesit.