Kamis, 25 April 2019

Bima Bumbu

Holla semua, lama gak menulis lagi. Maklumlah, penulis lagi banyak ini dan itu. Kali ini saya menceritakan perjalanan Pandawa dan Dewi Kunthi di Kerajaan Ekacakra. Disini, Bratasena membunuh Prabu Bakasura, raja Ekacakra yang sewenang-wenang dan tega menumbalkan rakyatnya sendiri. Sumber kisah kali ini berasal dari Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa, yang dipadukan dengan Kisah Kidung Malam karya Herjaka.S dan serial kolosal indonesia Karmapala karya Imam Tantowi
Sementara itu, di saat yang sama, para Pandawa, Dewi Kunthi dan para punakawan berhasil melarikan diri ke kerajaan Ekacakra, kerajaan kecil di pinggir kerajaan Pancalaradya. dikisahkan mereka sampai di desa Kabayakan. Dalam keadaan lapar dan kecapekan, mereka menumpang di sebuah rumah besar yang terdapat sebuah bangunan bekas kandang kuda yang sudah kosong. Mereka merasa aneh karena desa itu sangatlah sunyi padahal saat itu sedang siang hari. Wasi Grantika dan Wasi Tripala (Pinten-Tangsen) tiba-tiba lemah badannya karena kelaparan dan belum makan apa-apa setelah menempuh perjalanan jauh dari Mandura ke Ekacakra. Walaupun hanya anak tirinya, Dewi Kunthi sangat menyayangi kedua putra suaminya dengan Dewi Madrim itu. Kemudian, Dewi Kunthi menyuruh putra nomor dua dan tiganya untuk mencari makanan ke sekitar desa. Mereka berdua kemudian berpencar. Bratasena ke arah barat sedangkan Permadi ke arah timur desa.
Sudah berjalan jauh cukup lama, namun baik Bratasena (Wasi Kusumayuda) maupun Permadi (Wasi Parta) belum menemukan seseorang yang dapat dimintai bantuan berupa makanan. Wasi Parta telah berjalan jauh sehingga sampailah di pinggir sebuah sendang. Disana tiba-tiba dia melihat seorang wanita cantik sedang mencuci dan mengambil air. Wasi Parta merasa sedikit lega karena pada akhirnya dia mendapatkan seseorang di desa sunyi itu untuk dimintai bantuan. Karena terpikat pula dengan kecantikannya, dengan tidak sabar dia mendekati wanita itu dan menepuk bahunya”Permisi, ni sanak. Bolehkah saya minta bantuan nini?”sang wanita terkejut melihat seorang brahmana tampan tapi berewok menepuk bahunya lalu dia lari menuju rumahnya. “Tunggu, ni sanak. saya tak bermaksud jahat.” Wasi Parta mengikuti larinya wanita itu hingga sampailah dia di sebuah rumah yang luas dan indah.
Sang wanita kemudian menutup pintu rumahnya dan setelah meletakkan gentong dan cuciannya, dia berlari menuju suaminya. Kemudian dipeluknya sang suami erat-erat.”kakang tolong aku. Ada orang yang berniat tidak baik padaku. Dia seorang brahmana tapi berewokan wajahnya. Aku takut” Sang suami ternyata bernama Ki Sagotra itu kemudian mengelus istrinya yang bernama Rara Winihan itu dan berusaha menenangkan istrnya “Tenang, istriku. Mungkin dia berusaha minta bantuan kita. Mari ikut aku ke depan untuk menemuinya” setelah sampai di pintu depan, Ki Sagotra bertanya pada sang brahmana “ Ki sanak. Siapakah anda dan ada keperluan apakah ki sanak? Sampai membuat istriku takut” “ohh maaf tuan jika kedatangan saya membuat istri anda takut. Saya Wasi Parta. Sebenarnya saya Permadi, putra ketiga Pandu Dewanata. Saya ingin minta bantuan dua bungkus nasi untuk adik kembar saya yang kelaparan.” Bagaikan tersambar petir, Ki Sagotra dan Rara Winihan terkejut lalu berlutut mohon ampun. “aduh raden, maafkan ketidaktahuan kami. Saya Lurah Sagotra dan istri saya Rara Winihan minta maaf atas kebodohan kami. Sampai-sampai tidak mengenali seorang pangeran dan putra raja agung Hastinapura” Wasi Parta kemudian berkata “sudahlah, Sagotra tak perlu berlebihan seperti itu. Aku hanya meminta dua nasi bungkus saja untuk saat ini. Apakah kalian tidak keberatan?”
“jangankan dua bungkus, segerobak nasi pun saya akan berikan untuk kedua adik, kakak dan ibu raden sebagai bentuk dharma bakti kami.”
“Ahh.... Ki Sagotra, tak perlu sebegitu. Saya hanya butuh dua bungkus untuk saat ini”
Ki Sagotra dan Rara Winihan segera menghaturkan dua bungkus nasi berikut lauk pauknya pada Wasi Parta. Wasi Parta merasa berterima kasih pada mereka dan memohon pamit. Sebelum dia pergi, Ki lurah Sagotra bersumpah dihadapan Wasi Parta “Raden, bila saatnya tiba. Saya akan korbankan jiwa raga saya demi kejayaan raden dan para Pandawa” “ terima kasih, Sagotra. Aku tersentuh pada kebesaran jiwamu. Saya mohon pamit.” Ki Sagotra merasakan kembali getar hati pada istrinya, begitupun sebaliknya Rara Winihan juga merasakan hal yang sama. Cinta kembali di hati mereka. Secercah harapan muncul dari balik kabut dalam sanubari. Kehidupan rumah tangga mereka kembali hangat dan penuh cinta.
Sementara itu, Wasi Kusumayuda (Bratasena) terus berjalan mencari siapapun yang bersedia memberikan nasi bungkusnya untuk kedua adiknya. Sehinggalah dia bertemu para penduduk yang hendak pergi mengungsi ke negara lain. Dari keterangan mereka, negeri Ekacakra yang dia dan saudara-saudaranya singgahi diperintah oleh seorang raja. Namanya Prabu Bakasura atau Prabu Dawaka. Dia seorang raksasa kejam yang memiliki kebiasaan yang juga begitu mengerikan yaitu memakan daging manusia. Istananya berupa sebuah gua indah di pinggir gunung. Setiap bulan dia meminta rakyatnya menghidangkan ingkung daging manusia dan dua hari lagi, di saat hari Tumpak Jenar Wuku* Langkir pada setiap tahunnya, dia akan mengadakan sebuah pesta besar yang menu istimewanya seratus ingkung manusia dengan bumbu botokan yang ditujukan untuk Batara Kala. Karena terus ditinggal penduduknya, Prabu Bakasura marah dan memerintahkan memperketat penjagaan di tiap sudut negeri. Dan para pengungsi itu adalah yang memakai cara nekat untuk pergi dari negara yang mencekam itu. Yang tidak mengungsi, mereka memilih sembunyi di rumah masing-masing bahkan membuat bunker bawah tanah bagi yang mampu. Wasi Kusumayuda merasa heran, pantas saja setiap desa di Ekacakra sepi karena ditinggal penduduknya yang merasa takut menjadi korban keganasan rajanya.
Sepertinya hari itu bukan hari keberuntungan para pengungsi itu. Mereka bertemu para prajurit Ekacakra lalu mereka dihadang. Melihat hal semacam itu, naluri Wasi Kusumayuda tergugah untuk menolong mereka. Sebelum para prajurit menyerang para pengungsi lebih jauh, Wasi Kusumayuda lebih dulu menyerang dan menerjang para prajurit yang rata-rata berbadan besar itu. Meskipun seorang diri, para prajurit mampu dibuatnya lari pontang panting. Tak butuh banyak waktu, Wasi Kusumayuda mampu membuat para prajurit itu lari kembali ke istana Ekacakra. Para pengungsi itu terkejut dan terkagum-kagum padanya. Belum pernah ada seorang brahmana yang mampu mengalahkan para prajurit seorang diri. Mereka merasa dia bukan seorang brahmana.kemudian mereka menghaturkan sembah pada Wasi Kusumayuda.
“Ampun, Brahmana. Terima kasih atas pertolongan anda. Melihat dari cara anda tadi, kami merasa kau bukan brahmana biasa karena tidak ada brahmana yang mampu menyerang dan punya kekuatan sebesar itu kecuali Batara Ramabargawa. Kalau di izinkan, siapakah sebenarnya tuan dan mengapa anda bisa berada disini?”
“Namaku Kusumayuda. Aku bukan Brahmana. Aku sebenarnya Arya Bratasena, putra nomor dua Pandu Dewanata. Aku kesini untuk mencari bantuan”
“Ooo, Raden Arya Bratasena? Pantas saja, kami telah mendengar tentang kehebatan raden. Sekali lagi maafkan kebodohan kami, Raden. Kami tidak tahu kalau ada salah satu putra Pandu datang ke sini” Wasi Kusumayuda kemudian menyuruh mereka berdiri
“ahh tak perlu berlebihan begitu. Aku kesini mau minta bantuan. Aku sedang mencari dua nasi bungkus untuk kedua adikku.”
Dengan senang hati, mereka berebut memberikan dua nasi bungkus kepada Wasi Kusumayuda. Setelah itu Wasi Kusumayuda merasa sangat berterima kasih dan segera meninggalkan para pengungsi. Para pengungsi itu kemudian lebih memilih mengikuti Wasi Kusumayuda menuju tempatnya. Mereka merasa mendapat harapan baru dengan kedatangannya. Sementara itu Ki Sagotra dan Rara Winihan mengumpulkan rakyat desa Kabayakan untuk menolak persembahan ingkung manusia pada Prabu Bakasura. Mereka sepakat untuk meminta bantuan pada para Pandawa dan Dewi Kunthi yang tinggal di ujung desa.
Sementara itu di rumah tempat Para Pandawa, Dewi Kunthi, dan para punakawan menumpang, walaupun para punakawan berusaha menghibur, hati Dewi Kunthi benar-benar teriris melihat keadaan Wasi Grantika dan Tripala yang berusaha tegar tapi tubuh mereka semakin lemah. Sejurus kemudian dia mendengar suara “Puntadewa, kemarilah. Aku mendengar suara seseorang dari dalam rumah. Cobalah tanya apakah mereka ada sedikit makanan.” Tanpa ba-bi-bu, Resi Dwijakangka (Puntadewa) bergegas masuk ke rumah. Tak berapa lama, Resi Dwijakangka datang membawa sedikit makanan yang amat nanggung. Tak berapa lama, makanan itu habis. Hampir bersamaan dengan itu, Wasi Kusumayuda dan Wasi Parta datang membawa nasi bungkus. Dewi Kunthi dapat melihat nasi yang dibawa Wasi Parta agak basah karena didapat dari hasil menggoda istri orang sedangkan nasi yang dibawa Wasi Kusumayuda bebau harum karena didapat dari menolong orang. Agar tak menyinggung siapapun, nasi yang dibawa Wasi Parta diberikan pada Ki Lurah Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong sementara para Pandawa memakan nasi yang dibawa Wasi Kusumayuda.
Sementara itu didalam rumah, terjadi sebuah perdebatan alot antar sesama penghuninya yaitu Resi Hijrapa dan anak-istrinya. Sang resi dihadapkan pilihan untuk mengorbankan salah satu putranya untuk jadi korban persembahan kepada Prabu Bakasura. Kecemasan, ketakutan, dan rasa bersalah bersatu campur aduk dalam diri sang resi. Dia jelas tak mampu bahkan tidak akan mau mengorbankan putra-putranya. Sepanjang malam itu, mereka saling bertangis-tangisan mendengar putra bungsu mereka, Putut Rawan secara sukarela bersedia menjadi korban persembahan raja angkara murka itu. Keesokan paginya, datanglah Lurah Sagotra dan Rara Winihan disertai beberapa penduduk menghadap ke rumah Resi Hijrapa menemui Dewi Kunthi dan para Pandawa.
“Kakang Semar, saya beserta istri hendak menemui ibu ratu Kunthi dan para putra. Apakah beliau-beliau berkenan?”
“Oohh tentu sahaja, Sagotra, Winihan. Dengan tangan terbuka, bendara-bendara saya menerima kedatangan kalian.” Setelah mempersilakan mereka, mereka duduk dan membicarakan soal Prabu Bakasura.
“permisi Ibu Ratu Kunthi, kakang Semar, dan para Pandawa, saya dan suami mewakili seluruh warga Kabayakan mengucapkan terima kasih. Kedatangan ibu ratu dan para putra ibarat secercah cahaya matahari di balik awan mendung, kedatangan gusti telah memberikan harapan baru. Saya dan suami bisa rukun berkat bantuan Raden Permadi. Demikian pula para penduduk yang mengungsi, mendapatkan harapan baru berkat pertolongan Raden Bratasena. Aku meyakini bahwa Sanghyang Widhi telah memberikan berkah melalui ibu ratu dan para putra yang singgah ke wilayah ini”
“ahh Rara, aku, putra-putraku, dan kakang Semar disini hanya orang yang lewat numpang tinggal dan makan disini. Seharusnya aku yang berterima kasih kepada semua atas kemurahan kalian. Saya juga harusnya meminta maaf karena membuat repot banyak orang. Bahkan putraku Permadi sampai harus memohon dua bungkus nasi padamu dan suamimu”
“ampun, ibu ratu. Dua bungkus nasi yang kami berikan bukanlah apa-apa bila dibandingkan dengan berkah kerukunan rumah tangga kami.”
“kau benar, Rara. Mungkin Sanghyang Widhi telah menuntun putraku untuk menjadi perpanjangan tangan berkah-Nya kepada keluargamu.”
“Menurut hemat hamba juga demikian. Sepertinya ini sudah menjadi sebuah pertanda bahwa kesewenang-wenangan di negeri ini akan berakhir.”
“bicara soal itu, aku telah mencuri dengar dari Resi Hijrapa soal Prabu Bakasura yang sewenang-wenang memerintahkan untuk mengorbankan ingkung manusia. Aku tak tega bila Putut Rawan harus mengorbankan dirinya demi menjadi pemuas nafsu kerakusan sang raja besok. Aku telah membujuk putraku Bratasena untuk menolong mereka. Putraku sebenarnya setuju hanya belum menyanggupi karena Resi Hijrapa belum memintanya”
“mungkin Bapa Resi sedang kalut hatinya dan tertekan pikirannya sehingga tak memperhatikan sekitarnya tapi apabila beliau tahu siapa sebenarnya kakang Semar, Ibu ratu dan para putra, mungkin beliau akan tergopoh-gopoh meminta bantuan pada gusti sekalian. Karena itu izinkan saya untuk memberitahukan yang sebenarnya pada Bapa Resi.” Tanpa menunggu jawaban dari Dewi Kunthi, Ki Lurah Sagotra dan Rara Winihan undur diri untuk menemui Resi Hijrapa sekeluarga
Rupanya kecerdasan Ki Sagotra dan Rara Winihan membuahkan sebuah ide. Ide untuk membantu Resi Hijrapa sekeluarga dari kemelut yang dihadapi mereka sekaligus membebaskan seluruh Ekacakra dari ketakutan. Maka setelah memohon diri pada Dewi Kunthi dan Ki Lurah Semar, Rara Winihan segera menemui Resi Hijrapa untuk memberitahukan pada Resi Hijrapa bahwa malaikat penolong Putut Rawan telah datang
“ Bapa Resi, kedatangan saya dan suami kesini karena aku sudah mendengar bahwa Putut Rawan akan dikorbankan. Aku amat prihatin dengan keadaan kita yang serba sulit seperti ini. Tapi, sebelum aku melanjutkan pembicaraan ini, Apakah Bapa Resi tidak berusaha menolak perintah pengorbanan itu dan minta tolong pada orang lain sebelumnya?”
“Aduhai, Pak Lurah dan bu lurah. Maafkan kami yang lemah dan dangkal pikiran ini. Pikiran saya dan istri sedang kalut dan galau. Kami tidak ada jalan lain lagi. Kalau harus menolak, nasib kami binasa. Kalau minta tolong, apakah ada yang mau bersedia menjadi silih korban putraku?
Ki Lurah Sagotra kemudian menjawab “Bapa Resi, tahukah siapa sebenarnya janda beserta lima resi dan empat pembantunya yang numpang di kandang kuda Bapa Resi?”
“Aduhai pak lurah, hati saya kalut dan pikiran saya gelap sehingga tak terpikir untuk menanyakan itu pada mereka. Memangnya mereka siapa, Pak lurah?’
“Mereka adalah malaikat penolong bagi keluargamu dan semoga untuk Ekacakra ini apabila Bapa Resi datang dan meminta bantuan pada mereka”
“Pak Lurah, Bu Lurah, siapa mereka sesungguhnya?”
“ Mereka adalah Para Pandawa, Dewi Kunthi, dan Ki Lurah Semar beseta putra-putranya”
“Benarkah itu Pak Lurah? Bu Lurah”
Mereka mengangguk mantap. Bagaikan jatuh ke lautan madu, Resi Hijrapa beserta keluarganya tergopoh-gopoh menghadap pada Dewi Kunthi, para Pandawa dan Ki lurah Semar lalu bersujud mohon maaf kepada mereka.
“Sembah bhakti hamba sekeluarga pada keluarga Prabu Pandu Dewanata. Jauhkanlah kutuk pasu, balak dan tulah karena kebodohan kami. Saya Resi Hijrapa mohon maaf atas ketidaknyamanan ini, Gusti ratu, para putra, dan Kakang Semar.
Ki Lurah Semar kemudian membangunkan Resi Hijrapa “Bangunlah, Hijrapa. Saya dan bendara-bendara saya tidak tersinggung malah kami yang harusnya minta maaf karena sudah membuat repot keluargamu. Katakan, Hijrapa. Apakah yang membuatmu datang menemui kami”
Resi Hijrapa menceritakan segala keluh kesahnya pada Dewi Kunthi sekeluarga dan Ki lurah Semar, termasuk tentang dilema yang dialami keluarganya. Wasi Kusumayuda kemudian berdiri dan berkata pada Resi Hijrapa ”Bapa Resi, aku sanggup menggantikan putramu sebagai silih korban.” Kemudian Putut Rawan merasa tak enak hati dan berusaha mencegah Wasi Kusumayuda menjadi silih korban.
“Ampun Raden. Maafkan saya, Biarkan saya yang berkorban. Saya tak ingin merepotkan anda. Keluarga Raden adalah tamu disini dan saya tak ingin merepotkan tamu karena hal ini”
“Tenang, Rawan. Aku tidak merasa direpotkan, begitu juga ibu, saudara-saudaraku, bahkan Ki lurah Semar juga.” Setelah itu, para warga desa menyiapkan segala keperluan di besok harinya.
Setelah itu, pada keesokan harinya di hari Tumpak Jenar Wuku Langkir, Wasi Kusumayuda diangkut oleh warga desa Kabayakan dan  dengan gerobak besar berisi makanan dan minuman yang enak-enak ke istana Ekacakra.
Pertarungan Wasi Kusumayuda dengan Prabu Bakasura
Wasi Kusumayuda sendiri melumuri tubuhnya dengan bumbu botokan. Dewi Kunthi, para Pandawa, dan para Punakawan mengikuti mereka dari belakang. Sesampainya di istana Ekacakra, mereka melihat berbagai masakan daging terhidang disana. Pesta yang megah tapi tak ada satupun orang yang datang karena takut akan kebengisan Prabu Bakasura dan takut karena arena pesta itu adalah pesta mengorbankan manusia sebagai tumbal untuk Batara Kala. Tak lama berselang, Prabu Bakasura muncul dihadapan warga desa Kabayakan.”Hooaa hahaha, ini ternyata makanan pembuka untukku. Hei warga desa, pergilah.” Setelah warga desa mundur, Prabu Bakasura membuka tutup gerobak. Tak disangka seluruh makanan dan minuman di dalamnya telah dihabiskan oleh Wasi Kusumayuda. Lalu Wasi Kusumayuda menendang perut Prabu Bakasura hingga dia terpental jauh. Marahlah Prabu Bakasura tapi sebelum dia menghajar, Wasi Kusumayuda menantang Prabu Bakasura “ Heii, Bakasura. Perbuatanmu itu telah menyengsarakan wargamu. Kau tega membunuh dan menumbalkan mereka untuk kepuasan nafsumu. Biar apa coba? Aku datang kesini untuk menantangmu. Kalau aku kalah, makan saja aku tapi kalau aku menang, hadapilah takdirmu.”
Tanpa berlama-lama, Wasi Kusumayuda dan Prabu Bakasura bertarung sengit. Debu mengepul kemana-mana membuat kabur pandangan. Para kawula Ekacakra, para Pandawa, Dewi Kunthi, bahkan punakawan Gareng Petruk, dan Bagong yang menonton merasa ngeri melihat adu tanding itu. Hanya Ki lurah Semar saja yang nampak tenang dan yakin bahwa bendaranya itu akan menang. Semakin mendekati siang hari, diantara mereka tak ada yang kalah ataupun menang. Prabu Bakasura yang sejak pagi belum makan menjadi semakin garang dan membabi buta agar segera dapat mengakhiri pertarungan itu. Sementara itu, serangan-serangan Wasi Kusumayuda semakin tenang dan mantap. Sampai pada puncaknya, Prabu Bakasura berusaha mencekik Wasi Kusumayuda. Di saat demikian, Wasi Kusumayuda menusukkan Kuku Pancanaka ke dada Prabu Bakasura lalu dipukullah Gada Rujakpala ke kepala raja lalim itu sehingga kepala itu remuk. Tak lama setelah itu Prabu Bakasura rubuh dengan bunyi menggelegar.
Kejayaan Wasi Kusumayuda 
Sorak sorai kegembiraan membahana di pelataran istana Ekacakra. Prabu Bakasura telah dikalahkan dan ditewaskan oleh calon korbannya sendiri. Acara korban itu kini digantikan untuk membuat kenduri akbar sebagai ungkapan syukur kepada Sanghyang Widhi. Para kawula yang akan dijadikan santapan berhasil dibebaskan. Para prajurit Ekacakra yang juga bekas anak buah Prabu Bakasura memberontak namun dapat dikalahkan Wasi Parta dengan panah-panahnya. Setelah kondisi aman dan kondusif, mereka melanjutkan kenduri.
Tiga hari kemudian, setelah kedamaian dan ketentraman di Ekacakra telah kembali, Dewi Kunthi, kelima putranya, dan Ki lurah Semar beserta putra-putranya meminta izin untuk meninggalkan Ekacakra kepada Lurah Sagotra, Rara Winihan dan Resi Hijrapa. Tak pelak membuat air mata Resi Hijrapa dan keluarganya mengalir menganaksungai. Kesedihan dan rasa syukur telah selamat dari bahaya telah memmbulatkan tekat mereka sedesa untuk bersumpah untuk setia kepada para Pandawa. Bahkan sebelum pamitan, Resi Hijrapa dan Putut Rawan bersumpah besar “ Ibu Ratu Kunthi, dan para putra Gusti Pandu, terima kasih atas bantuan kalian. Akan kami balas kebaikan kalian yang tak akan terkira ini nanti. Disaksikan oleh Ki Lurah Semar, para kawula, langit, bumi, dan para dewa di kahyangan, aku dan keluargaku bersumpah bila terjadi perang besar antara Pandawa dan Kurawa, keluarga saya akan membantu bahan makanan di pihak kalian. Bukan hanya itu, saya dan putra bungsu saya, Rawan bersedia menjadi tawur agungnya.” Sontak saja, tiba-tiba halilintar menggelegar di langit. Bumi Ekacakra menjadi bergegar karena sumpah itu, pertanda sumpah itu direstui para dewa. Para Pandawa dan Dewi Kunthi merasa tersentuh  lalu mendoakan semoga perang itu bisa terhindarkan dan kehidupan Resi Hijrapa sekeluarga bisa sejahtera, damai, dan tentram selamanya. Setelah itu Para Pandawa, Dewi Kunthi, dan para punakawan meninggalakan Ekacakra kembali mengembara mengikuti arah kaki melangkah.

*Wuku adalah perhitungan waktu yang dalam siklus kalendar Jawa dan Bali yang berjumlah 30 wuku. Wuku datangnya dari dimulai dari hari Radite (Ahad) dan akan berakhir pada hari Saniscara/Tumpak (Sabtu) sehingga berulang 210 hari sekali. Oleh orang Jawa, perhitungan wuku ini kadang dijadikan sebagai penentu hari baik dan hari sial.