Minggu, 03 Agustus 2025

Banjaran Sri Kresna Episode 9 : Narayana Jawata (Dwarawati Winangun)

 Hallo semua, sudah lama saya tak menulis kisah Banjaran Sri Kresna. Kisah Kali ini menceritakan mengungsianya keluarga Wangsa Yadawa dari serangan Jarasndha yang menyerang Mandura. Kisah dilanjutkan dengan  pernikahan Radha dan Narayana di alam dewata yang sempat ditentang oleh Kakrasana. Lalu dilanjutkan kematian Kalayawana karena kecerdikan Narayana. Kisah diakhiri pendirian negara Dwarawati dan pelantikan Kresna sebagai raja disana. Kisah ini mengambil sumber Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa, Serial Kolosal India Mahabharat Starplus, dan Radha Krishna Starbharat. Juga hasil diskusi dengan teman-teman pencinta wayang. Terima kasih mas https://www.instagram.com/dendykrisnaa/#https://www.instagram.com/wayang_kawildanan_gallery/#, dan beberapa yang gak bisa ta sebutkan.

Setelah menghabisi Kangsa dan mengakhiri makar, Kakrasana, Narayana, dan Rara Ireng dijemput pulang oleh Basudewa. Setelah beberapa lama, pada hari yang baik, Kakrasana dipersiapkan sebagai pangeran Mahkota negara Mandura yang baru. Perayaan berlangsung tujuh hari tujuh malam saat pelantikan Kakrasana. Akan tetapi, ketenangan seakan enggan berlama-lama berdiam di Mandura. Sekutu Kangsa yang tak lain, Jarasandha raja Giribajra yang juga mertuanya melancarkan serangan ke Mandura demi balas dendam. Wangsa Yadawa kembali tercerai berai. Keluarga Basudewa lari ke arah barat dekat pantai. Keluarga Nanda Antagopa dan Nyai Yasodha lari kembali ke Widarakandha. Sementara keluarga Bhismaka (Arya Prabu), saudara Basudewa yang namor tiga harus mempertahankan negeri Kumbinapuri dan Keluarga Satyajid (Ugrasena) kembali ke Lesanpura. Keluarga Pandawa juga tercerai berai. Mereka melarikan diri ke kerajaan Ekacakra, tepatnya di desa Manahilan. Negeri itu dekat dengan kerajaan Pancalaradya, negerinya Prabu Drupada. Di tengah perjalanan, Kakrasana dan Narayana memisahkan diri dengan Basudewa, ibu Rohini, Ibu Dewaki, Rara Ireng dan para penduduk Yadawa lainnya. Kakrasana bertanya ke adiknya “Kanha, kenapa kita pisah jalan dari yang lainnya?” Narayana menjawab  “kita akan ke Goloka, kakang.” Tanpa banyak tanya mereka berjalan ke Bukit Goloka.

Singkat cerita, mereka sampai juga di Bukit Goloka. Mereka bertemu kembali dengan Radha. Mereka bertiga saling melepas rindu. Radha telah bertemu kembali dengan Kanha-nya. Mereka menari diiringi nyanyian dan alunan seruling Narayana yang indah. Kakrasana bertanya lagi “ngapain kita ke sini?”. Narayana lalu menjawab “Di sini aku ingin mempersatukan cinta kita. Aku ingin menikahi Radha” Akan tetapi apa yang Narayana diharapkan dari sang kakak berbeda dari apa yang kira. Mukanya langsung kusut masam. Kakrasana menolak itu dan menghalanginya. Narayana menanyakan apa sebabnya. Kakrasana lalu berkata “tidak bisa, Kanha? Kalian tidak bisa bersatu! Radha adalah kawan masa kecil kita.” Kakrasana melanjutkan “Dia juga jandanya Ayyan, kawan kita juga!” Kakrasana mempersoalkan status Radha yang juga seorang janda. Kakrasana tidak bisa menerima itu. katanya “Janda Itu Wanita Yang Sudah Dikotori, Tak Lagi Suci. Aku Tidak Mau Kau Tercemar Oleh Kekotoran Seorang Janda” Kakrasana mengatakan hal itu sambil menunjuk ke arah Radha. Radha merasa rendah diri mendengarnya. Narayana lalu membela Radha Narayana mendebat kakaknya itu “Kakang Keterlaluan! Radha adalh gadis suci. Setiap wanita adalah penjelmaan dari Sri Laksmi yang suci. Setiap Wanita juga adalah wujud dari Dewi Gangga yang mengalirkan airnya demi membersihkan dosa! Sebab Kesucian Dari Seseorang Tidak Bisa Serta Merta Dipandang Berdasarkan Status Sosial Di Masyarakat, Melainkan Dari Ketaatan Dan Pengabdian Kepada Hyang Widhi.”  Kakrasana tetap mendebat “tapi jika semua orang seprti itu, penjahatpun juga akan dianggap baik.” Narayan terus mematahkan debat abangnya “penjahat dengan janda itu berbeda. Sifat seorang penjahat itu tidak bisa dibenarkan meski asal-usulnya berbeda dari kita . tapi janda berbeda. Kalau dia orang yang baik, meski dia seorang janda tetap kebaikannya pasti diterima oleh Yang Maha Kuasa,”

Pertengkaran Kakrasana dan Narayana 

perdebatan itu terus berlangsung sampai Kakrasana diskakmat oleh Narayana.

Karena masih terbawa jiwa mudanya, Kakrasana yang kalah debat bertengkar hingga bertanding siapa yang terkuat diantara mereka, titisan Naga Adisesha atau titisan Wisnu. Pertarungan itu dahsyat sekali. Narayana menembakkan panah-panah dan roda gerigi ke arah Kakrasana namun Kakrasana membalas dengan menyabetkan Nanggala, tombak berwujud luku/bajak sawah miliknya sehingga senjata itu bertabrakan di udara menciptkan goncangan besar, sehingga membuat alam bergolak. Bukit Goloka yang indah terbakar terkena tabrakan senjata. Bunga yang bermekarang kering terbakar. Batu-batu longsor. Para dewa kelimpungan karena Wisnu dan Sesha saling bertengkar. Radha merasa dikarenakan dirinya, dua saudara itu harus bertengkar. Maka ia berdoa agar Dewi Sri Laksmi, istri Wisnu membantunya untuk mendamaikan mereka “oh Batari Sri laksmi, tolonglah hamba-Mu mendamaikan kakangku Balarama dan Kanha.”. Radha pun sangat mengheningkan cipta lalu dari tubuhnya mengeluarkan cahaya diiringi datangnya tujuh cahaya lain yang kemudian membentuk satu wujud besar yang kemudian menjadi wujud Dewi Mahalaksmi, wujud tertinggi Dewi Sri Laksmi. Pertarungan itu pun terhenti lalu Kakrasana dan Narayana duduk bersimpuh memberi penghormatan. Mahalaksmi pun memberikan solusi dengan menikahkan Radha dan Narayana di alam dewata (kahyangan) jadi walaupun status Radha di dunia manusia adalah seorang janda tapi secara hakikat ia adalah isteri Narayana yang sah bahkan di mata manusia. Kakrasana setuju karena di alam dewata, hukum di dunia manusia sudah dilampaui dan ia akan jadi saksinya. 

 

Seketika wujud Mahalaksmi menghilang lalu kembali menjadi tujuh cahaya yang kemudian menghilang bersamaan dengan bukit Goloka yang kembali indah seperti semula, seperti tidak pernah terjadi pertarungan. Radha pun terbangun dari semadhinya.

penampakan Batari Mahalaksmi
Hari itu juga, para dewa yakni Hyang Guru Pramesthi (Batara Guru) diiringi permaisurinya, Batari Durga dan para dewata lainnya membawa mereka ke atas awan. Tempat batas antara dunia manusia dan alam dewata saling bertemu. Batari Saraswati dan Batari Durga lalu mendandani Radha sehingga terlihat sangat indah, cantik jelita bagai mutiara dan emas yang baru disepuh. Sementara itu Narayana dipakaikan atribut Batara Wisnu. Prosesi pernikahan pun dilangsungkan dengan khidmat oleh para dewa, bidadara-bidadari, hapsara-hapsari dan berbagai makhluk kahyangan sebagai saksi. Bahkan penghulunya adalah putra Hyang Guru Pramesthi sendiri yakni Batara Ganesha. Setelah prosesi pernikahan usai dan sah, mereka Narayana dan Radha di dudukkan di pelaminan bale Saka Domas dengan takhta emas di tengahnya.  Dewi Supraba dan para bidadari menjadi kembang mayangnya yang membawa pohon Klepu Dewandaru dan Jayandaru. Pernikahan itu berlangsung selama tiga jam penuh waktu kahyangan. Hingga pada waktunya, Kakrasana, Narayana, dan Radha turun kembali ke ke dunia manusia. Rupanya tiga jam kahyangan sama dengan berlalu tiga hari di dunia manusia. Mereka pun melanjutkan untuk pergi menyusul keluarga mereka. Akan tetapi Radha meminta agar ia turun di Goloka saja. Nanti ia akan bertemu sahabatnya dan dia akan mengajaknya tinggal di rumahnya. Narayana cukup mengantarnya saja nanti ia akan dijemput oleh sahabatnya itu. Mau tidak mau, Radha ditinggalkan di Bukit Goloka. Narayana berjanji akan menjemput Radha jika masalah di Mandura selesai. Setelah itu dua bersaudara itu berlalu meninggalkan Goloka melanjutkan perjalanan.

Setelah pernikahannya dengan Radha, Narayana ditemani Kakrasana kembali berjumpa rombongan dari Mandura, bahkan anak-anak dari ibu Yasodha lainnya yakni Udawa, Larasati dan Pragota ikut bergabung untuk membantu para yadawa yang tercerai berai agar bersama keluarganya yakni Keluarga Prabu Basudewa.

Pernikahan Radha dan Kresna
Setelah melewati perjalanan yang cukup melelahkan, mereka akhirnya sampai di pantai barat Jawadwipa yakni pantai Dwarakawestri. Mereka memohon suaka kepada prabu Yudakala, raja Dwarakawestri. Awalnya ia tak berkenan namun setelah dibujuk oleh Narayana, sang raja luluh dan mengizinkan mereka tinggal. Bahkan oleh sang raja, wangsa Yadawa diberikan tanah di pinggir pantai. Tanah itu dibangun sebuah rumah pesanggrahan yang indah dan dikelilingi banyak taman. Tempat itu diberi nama Taman Banoncinawi. Sudah beberapa sasih berlalu, pemerintahan darurat Mandura di Banoncinawi merasa kalau sekarang negara induk Mandura sudah cukup aman untuk direbut kembali. Narayana berniat kembali Mandura untuk memeriksa keadaan. Nampaknya keadaan makin kacau terlebih lagi patih dari Jarasandha yakni Kalayawana menduduki negara dan bersumpah akan menghabisi orang yang menghabisi Kangsa. Narayana yang sedang bersembunyi pun kepergok. Kalayawana pun mengejar sang Danardana hingga ke Dwarakawestri. Kalayawana lalu menghabisi raja Yudakala dan mulai mengobrak-abrik kerajaan. Sebagai orang yang diberi suaka, Narayana membela sang raja dengan membuat Kalayawana murka. Kalayawana pun mengejar Narayana yang dipanggilnya Ranchoot yang bermakna pengecut. Narayana terus lari hingga masuk ke sebuah gua. Namun di balik sifat pengecutnya, Narayana sebenarnya punya banyak akal bulus. Narayana pernah mendengar cerita seorang jendral kahyangan bernama Praburesi Mucukunda yang sedang istirahat panjang dan kebetulan dia istirahat di gua di dekat kota Dwarakawestri. Narayana pun masuk lebih dalam lagi. Kalayawana dcngan berang pun memasuki gua itu. Narayana bersembunyi jauh di ceruk gua yang paling dalam. Kalayawana yang murka mengobrak-abrik seisi gua itu sehingga ia menemukan ada seseorang yang tengah tertidur. Kalayawana pun mengejek orang yang dikiranya Narayana itu dengan menggoncang-goncang tubuh orang itu.
Mucukunda membakar Kalayawana

Karena gak mau bangun, Kalayawana pun membangunkan paksa orang itu dengan menampar, menendang dan meludahinya. Orang itu bangun lalu menoleh. Rupanya itu bukan Narayana, melainkan seorang pertapa tua bernama Mucukunda. Mucukunda yang marah memandang Kalayawana lalu dari sorot matanya keluar api yang membakar tubuh Kalayawana. Kalayawana menjerit hingga akhirnya ia tewas menjadi tumpukan abu.

Mucukunda pun jatuh pingsan namun ia kemudian ditolong Narayana yang dari tadi bersembunyi. Setelah siuman, Mucukunda bertanya apa yang terjadi “Terima kasih, anak muda sudah menolongku. Ananda ini siapa. Aku melihat ada cahaya Wisnu di belakangmu? Dan apa yang terjadi barusan?” Narayana lalu memperkenalkan dirinya dan menjelaskan apa yang terjadi “Ampun, Praburesi. Nama saya Narayana, putra Prabu Basudewa dari Mandura. Menurut keterangan dari guru saya, saya adalah titisan Batara Wisnu. Pukulun Praburesi sudah membakar Kalayawana dengan kekuatan semadhi dan yoga pukulun. Terbakarnya Kalayawana juga yang telah menggenapi bhakti anda dan karena itu yang akan mengantar pukulun kembali ke kahyangan. Begitulah yang guru saya sampaikan kepada saya” Praburesi Mucukunda terkejut ternyata inilah titisan Wisnu yang kelak akan menjadi tanda dia akan kembali ke alam kahyangan dan menjadi dewa.”rupanya kau titisan Batara Wisnu. Berarti ini saatnya aku kembali lagi ke kahyangan setelah sekian lama. Sebelum aku pergi, aku meramalkan kelak akan terjadi sebuah Mahapralaya yaitu perang Baratayudha, perang antara dharma melawan adharma, perang itu terjadi diantara saudara-saudara sepupumu dan kau akan menjadi penentunya. Setelah perang itu usai nanti, akan ada zaman yang gilang gemilang dan penuh keadilan.” Tak lama setelah mengatakan demikian,  Mucukunda pun didatangi para bidadara-bidadari dan membawanya balik ke kahyangan.

 

Setelah menyaksikan Praburesi Mucukunda naik ke kahyangan, Narayana mulai membangun kerajaan peninggalan Prabu Yudhakala. Kemudian oleh Narayana, dia membangun keraton baru lagi menggantikan keraton Dwarakawestri. Para penduduk membangun pondasi keraton dan kota baru di sebuah tanah gosong pasir. Tapi memerlukan waktu bertahun-tahun untuk membangun keraton itu sampai selesai. Kota yang dibangun baru seperempatnya saja. Maka di malam yang sudah di tentukan, Kakrasana dan Narayana bersama Prabu Basudeewa dan para penduduk Yadawa yang tersisa melakukan doa bersama di pinggir pantai demi kelancaran pembangunan keraton dan kota baru. Di saat pedanda baru saja membaca mantra-mantra pemberkatan, tiba-tiba datang angin yang sangat kencang dari arah samudera. Angin itu mengangkat air dan menyebar seperti hujan. Mendadak semua orang tertidur lelap di tengah prosesi, kecuali Kakrasana, Narayana, dan Rara Ireng. Rara Ireng lalu bertanya kepada dua abangnya “kakang-kakangku, kenapa semua orang tertidur? Apakah semua orang terkena sirep?” Kakrasana berkata “entah adikku? Sepertinya akan terjadi sesuatu, tapi yang jelas ini bukan hal yang buruk” Narayana menentramkan hati adik cantiknya “Sepertinya doa kita telah terkabul, adikku. Lihat lah ke arah langit itu adikku.” Rara Ireng melihat ke arah langit dan menyaksikan banyak bintang jatuh ke arah gosong pasir. Rupanya bintang-bintang jatuh itu anugerah dari para dewa dan angin kencang tadi adalah perbuatan Batara Wiswakarma. Sebenarnya ia sedang membangun sebuah keraton lengkap dengan kota dan bentengnya yang indah berkilauan. Batara Brahma memberikan pengetahuan dan aroma wangi di penjuru kota dan keraton baru. Batari Saraswati memberikan musik dan gita yang menggema dengan lembut di penjurunya. Batari Durga memberkati keraton dan seluruh kota dengan kesuburan dan kejayaan yang tak pudar meski berjaman-jaman. Batara Kuwera alias Waisrawana memberikan kekayaan pada keraton yang tak habis-habis dan Batara Indra memberikan perlindungan kepada para penduduk yang tinggal di sana. Hyang Guru Pramesthi memberikan anugerahnya semoga yang diberikan para dewa akan terkabul.

Tiba-tiba tanah bergegar kuat. Kakrasana, Narayana, dan Rara Ireng segera bangun dan berjalan ke arah laut. Mereka menyaksikan gosong pasir itu terangkat ke atas dan berubah menjadi sebuah pulau. Lalu dari bawah pulau, muncul sebuah keraton yang sangat indah, lengkap dengan kota dan bentengnya yang nampak kukuh seperti ditempa oleh baja dan berlian. Tiap benteng mempunyai banyak sekali pintu gerbang di tiap sisinya.Pulau itu sendiri tidak terpisah jauh dari daratan pulau Jawadwipa, hanya beberapa meter dari bibir pantai. Keratonnya berdinding berlapis lempengan emas murni, dengan bangunan utama dengan ratusan jendela dan genteng tembus pandang dari kaca dan berlian. Antara keraton dengan taman Banoncinawi maupun daratan Jawadwipa dihubungkan dengan beberapa jembatan besar yang dibangun di atas puluhan pulau kecil dan karang. Di kanan-kiri jembatan-jembatan itu, hutan-hutan bakau dan nipah tumbuh berjajar menciptakan pemandangan yang asri. Keraton itu pun jadi dan mereka semua terbangun dengan perasaan kaget bukan kepalng. Keraton, kota dan benteng sudah jadi begitu saja. Mereka menganggap berkah dewa mendatangi mereka dan membantu pembangunan kota baru itu. Prabu Basudewa dan semuanya menghaturkan rasa syukur kepada Para Dewa. Narayana kemudian diminta memasuki kota baru itu. sebelum memasuki kota, Narayana lalu berpidato di hadapan para Yadawa “hari ini kota baru ini akan menjadi kerajaan baru menggantikan Dwarakawestri. Karena pulau kita memeliki banyak pintu gerbang, aku menamai pulai ini Dwaraka, pulau dengan banyak pintu. Keraton ini juga akan beri nama Dwarawati!” ucapan Narayana dihadapan para Yadawa disambut mereka dengan bersorak sorai gembira.  

Dwarawati Winangun
Narayana diiringi keluarganya dan para penduduk Yadawa memasuki pulau itu dan menyaksikan kerajaan itu megah sekali. Keindahannnya tiada taranya di dunia. Banyak bangunan yang bagai terbuat dari emas, perak, permata, intan, dan berbagai batu mulia, mulai dari ruamh hingga keraton. Keratonnya juga tak kalah indah bagian dalamnya. Keratonnya sangat luas dan bagaikan istana perhiasan  yang nyata. Bahkan takhtanya terbuat dari kayu terbaik dan dihiasi bebatuan mulia yang belum tentu ada di dunia ini. Di hari itu juga, disaksikan oleh para penduduk wangsa Yadawa dan warga Dwarakawestri, Narayana dilantik oleh ayahnya, Prabu Basudewa sebagai raja Dwarawati. Dia menjadi raja bergelar Prabu Kresna dengan patihnya, Bambang Udawa, kakak sulungnya dari ibu Nyai Yasodha.