Selasa, 24 Juni 2025

Banjaran Sri Kresna episode 8: Makar di Mandura

Hallo semua, sudah lama saya tak menulis kisah Banjaran Sri Kresna. Kisah Kali ini menceritakan titik balik hidup Sri Kresna dan saudara-saudarnaya yakni Kangsa membuat makar (kudeta). Kisah diawali dengan kedatangan kakek Semar ke Widarakandha dan memerintahkan Udawa, Kakrasana, Narayana, dan Pragota meguu pada Resi Padmanaba. lalu kisah singkat Bale Sigala-gala dan pernikahan Bhima dengan Dewi Nagagini lalu pertemuan pertama Permadi dengan Narayana di peguiruan Resi Padmanaba. Kisah dilanjutkan dengan kudeta yang dilakukan Kangsa yang membuat seluruh keluarga Yadawa hampir mati. Kisah diakhiri dengan terbunuhnya Kangsa oleh Kakrasana dan Narayana. kisah ini mengambil sumber kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa, Serial kolosal india Mahabharat Starplus dan Radha Krishna Starbharat, dan berbagai karya lainnya.

Pada suatu hari di musim gugur yang indah, para gembala di Widarakandha sedang bersiap-siap untuk pulang, menyiapkan jerami dan rumput kering persiapan menyambut musim dingin. Para petani juga mulai membawa pulang padi, jelai, sayur dan buah-buahan yang baru selesai dipanen. Ketika itu, empat putra Nanda Antagopa: Udawa, Kakrasana, Narayana, dan Pragota baru saja pulang. Ketika memasuki rumah, mereka melihat di atas amben, Nanda Antagopa dan Nyai Yasodha sedang kedatangan tamu. Di saat demikian lah, Nanda Antagopa memanggil mereka “anak-anakku, untung kalian datang lebih awal.” Nyai Yasodha melanjutkan“Mari kesini duduk dulu anak-anak...kita kedatangan tamu besar.” Orang yang dimaksud kemudian berbalik. Terlihat ia seorang yang tua bijak. Jika dilihat sekilas, ia jelas seorang pria namun karena gemuk badannya, ia nampak seperti perempuan tapi ia sangat berwibawa. Matanya yang berkerut itu terlihat sembap meskipun demikian dari air muka yang nampak, ia sangat gembira hatinya. Nanda memperkenalkan orang itu “anak-anak...ini Kakek Semar. Dia pamomong dari resi agung Abiyasa.” Udawa dan lainnya tertegun, seketika bersimpuh hormat dan entah kenapa Kakrasana dan Narayana seakan sudah mengenalnya sejak lama.  Semar mendatangi mereka berempat dan menyuruh mereka menegakkan kepalanya “hmmm..mblegedag gedug...hmmm....bangunlah anak-anakku... aku ini hanya orang biasa saja.” Setelah menyuruh mereka bangun, kakek Semar memanggil mereka terutama Kakrasana dan Narayana “ kalian berempat duduklah di dekat amben...khusunya untuk kalian Kakrasana dan Narayana, duduk di sebelahku. Aku mendapatkan sesuatu yang harus kuberitahukan pada kalian ” Kakrasana dan Narayana saling berpandangan lalu bertanya“ apa yang ingin Kakek sampaikan pada kami?”

Semar bertemu putra-putra Nanda
Semar menjawab “ Anakku, Kakrasana dan Narayana. Sudah saatnya kalian pergi meguru.” Narayana bertanya kurang paham “meguru? Kepada siapa kami akan meguru, kakek? Kami tak ada koneksi ke siapapun resi atau pandita di sekitar sini.” Kakek Semar mengerti lalu ia melanjutkan bicaranya “Narayana kau harus pergi ke Gunung Untaryana. Di sana kamu akan meguru pada seorang resi di Gunung Untaryana. Namanya Resi Padmanaba. Beliau adalah resi kesayangan dewata. Dengan berguru padanya, takdirmu yang sesungguhnya akan tersibak.” Kakrasana dengan suaranya yang keras dan ceplas-ceplos bertanya “Lha Terus Aku Gimana? Aku Harus Meguru pada Siapa?!” Kakek Semar lalu tersenyum dan berkata “ Kakrasana, gurumu lumayan istimewa. Tapi kamu harus bertapa dulu di gunung Waikunta. Kelak akan ada seseorang yang akan membangunkanmu, maka kamu harus bergurulah padanya.”. Tanpa ragu, Kakrasana dan Narayana setuju dan beberapa hari kemudian, mereka pun meninggalkan desa Widarakandha untuk berguru. Narayana pergi bersama Udawa ke gunung Untaryana dan Kakrasana bersama Pragota ke gunung Waikunta.

Sementara itu, kabar para Pandawa yang dimomong oleh Kakek Semar saat ini tidak bagus. Setelah peristiwa kemunculan Naga Kaliya di bengawan Yamuna, tak henti-hentinya ujian mendera mereka. Perundungan oleh para Kurawa tetap terjadi sehingga datanglah Begawan Dorna, seorang pandita dari Argasoka menjadi guru ilmu perang mereka dan para Kurawa. Lima tahun setelah belajar kepadanya mereka didadar untuk menentukan siapa pewaris takhta terbaik Hastinapura. Hasilnya seri. Lalu Begawan Dorna mengadakan pendadaran lagi dengan menyerang kerajaan Pancalaradya dikarenakan Dorna punya dendam pribadi dengan prabu Drupada. Para Kurawa dibuat kalang kabut oleh kesaktian Prabu Drupada dan Harya Gandamana. Asal tahu saja, Harya Gandamana adalah ipar Drupada yang dulu mengabdi sebagai patih Hastinapura yang pada akhirnya dikudeta oleh Harya Suman alias patih Harya Sengkuni. Namun ketika Para Pandawa harus berhadapan dengan Drupada dan Gandamana, mereka ragu dan bimbang karena bagi Pandawa, Drupada dan Gandamana adalah sosok paman bagi mereka namun para Pandawa tidak bisa mundur lagi. Mereka pun mengalahkan mereka berdua dan membawa keduanya ke hadapan begawan Dorna. Raja dan iparnya itu dipermalukan dengan Kerajaan Pancalaradya disigar menjadi dua. Akhirnya Pandawa berhasil memenangkan pendadaran dengan ditetapkannya Puntadewa sebagai pangeran mahkota Hastinapura. Hal itu membuat Raden Suyudana, sulung para Kurawa berang dan tak puas hati. Awalnya Suyudana coba mencelakai Harya Bratasena dengna mengajaknya makan di Pramanakoti lalu meracuninya tapi setelah terkena racun itu, ia diselamatkan oleh Batara Basuki, malah mendapat kekuatan dewata yang membuatnya kebal racun, tahan hidup di dalam air dan tanah, dan memiliki kekuatan sepuluh ribu gajah. Atas desakan dan hasutan Sengkuni, dibuatlah sebuah makar yakni membakar hidup-hidup para Pandawa dan ibu mereka. Maka dengan bantuan, Purocana, dibangunlah sebuah pesanggrahan megah di hutan Warnabrata yang terbuat dari kayu bakar, kulit pohon damar, papan tipis, dan bambu yang dilapisi bahan-bahan mudah terbakar seperti minyak gegala, minyak pernis (lak), lalu ditutup dengan kulit binatang dan kain katun bekas. Tiang-tiangnya diisi dengan bubuk mesiu, gandarukem, minyak tanah, lalu ditutup dengan jabung. Oleh Suyudana, pesanggrahan itu dinamai bale Sigala-gala. Para Pandawa pun diajak berpesta-pesta di sana. Lalu ketika mereka tertidur, para Kurawa pun membakar para Pandawa dan Dewi Kunthi hidup-hidup di dalam istana kehancuran itu.  Terdengarlah suara orang-orang panik dan ketakutan dari dalamnya. Para Kurawa suka hati dengan suara kepanikan di dalam pesanggrahan yang terbakar itu, pertanda itu suara para Pandawa dan Dewi Kunthi tersiksa oleh panas dan ledakan api. Ditambah lagi saat kebakaran mulai reda, mereka menemukan enam jasad manusia, lima lelaki dan satu perempuan. Yang disangka Kurawa sejatinya tidak sepenuhnya benar. Kepanikan memang terjadi. Akan tetapi, dengan siap siaga, Bratasena yang berbadan besar segera menggendong ibu dan adik-adik bungsunya, Pinten-Tangsen. Puntadewa, Bratasena, dan Permadi berlarian di antara puing-puing yang terbakar dan meledak. Namun keajaiban terjadi, seekor garangan putih muncul dan menuntun mereka ke ujung ruangan. Mereka mendapati ada sebuah terowongan dan dari dalamnya muncul Kanana, abdi kinasihnya Arya Widura, adik Drestarastra dan Pandu. Para Pandawa pun masuk dan langsung Kanana menutup terowongan secepat mungkin. Mereka bertujuh lari mengikuti garangan putih itu lari menjauhi pintu terowongan yang semakin lama semakin panas. Sementara enam jasad yang ditemukan para Kurawa adalah keluarga brahmana yang kebetulan sedang ditampung Dewi Kunthi yang terdiri dari seorang ibu dan lima anaknya.

Kisah pun berlanjut, para Pandawa berhasil selamat dari makar jahat Kurawa yang hendak membakar mereka di bale Sigala-gala. Mereka dituntun garangan putih hingga masuk ke sebuah negeri asing. Tempat asing itu sangatlah indah dan mengherankan. Banyak tanaman dan pohon di sana yang janggal dan tak ditemukan di belahan dunia manapun. Tanaman-tanaman tersebut ada yang tumbuh menggantung pada batu-batu stalaktit, ada pula menjalar di permukaan tanah, dan ada pula tanaman yang mampu bercahaya bak batu kristal. Negeri itu tak mengenal siang ataupun malam namun dapat terang benderang dan gelap temaram oleh pendar cahaya yang dipantulkan oleh batu-batu kristal beraneka ragam warnanya seakan-akan mengikuti perubahan siang-malam. Seorang prajurit  dengan kulit bersisik-sisik datang ke hadapan tujuh orang itu dan mempersilakan mereka masuk ke sebuah bangunan.Tak lama kemudian, mereka sampai di bangunan tersebut yang ternyata sebuah istana megah. Istana itu berupa istana yang dipahat pada dinding gua dan berhiaskan batu-batu indah bak dipahat oleh para bidadara dan hapsara-hapsari di kahyangan di atas langit sana. Dari dalam istana itu keluarlah sosok yang menjadi sosok raja di daerah itu. Raja tersebut juga berkulit sisik seperti para prajurit yang menuntun mereka di luar istana. Di sampingnya berdirilah putri sang raja. Berbeda dengan ayahnya dan penjaga disana, kulitnya putih bersih. Wajahnya sangat cantik bak bidadari. Badannya sintal dan berisi. Para Pandawa terutama Bratasena tak dapat berhenti menatap sang gadis cantik. Kemudian,sang raja menyambut para Pandawa,Dewi Kunthi, dan Kanana lalu mengenalkan dirinya ”selamat datang, anak-anakku Para Pandawa dan rombongan. Syukurlah, kalian bisa selamat dari kejadian buruk yang hampir menimpa kalian. Perkenalkan, aku Batara Anantaboga, penguasa kahyangan Saptapertala, kerajaan bawah bumi lapis ke tujuh dan ini putriku, Nagagini.” Para Pandawa dan Dewi Kunthi kemudian berlutut. Dewi Kunthi mengucap rasa syukur kepada Batara Anantaboga “Salam, pukulun Anantaboga. Suatu kehormatan bagi kami bisa datang ke kediaman pukulun. Rupanya garangan putih yang telah menuntun kami adalah salah satu punggawa pukulun” “sudahlah, Kunthi. Yang lalu biarlah berlalu, yang penting Hyang Widhi tetap memberikan keselamatan bagi kita. Mari masuk ke dalam istana. Kalian ku izinkan tinggal untuk beberapa waktu. Hitung-hitung untuk melepaskan trauma kedua putra kembarmu.” Kemudian mereka masuk ke istana indah Saptapertala. Di taman istana, Bratasena yang sedang memandangi indahnya tumbuh-tumbuhan dan bunga-bunga yang mekar di sana terkejut dengan kedatangan Dewi Nagagini “Raden, sedang apa disini?” “Ehhh... akuu..  sedang memandangi indahnya negeri tempat tinggalmu. Indah sekali. Tentram rasanya.” Bratasena yang selama ini biasa saja berhadapan dengan wanita kini menjadi kaku dan kelu ketika bersama Dewi Nagagini. Begitupun Dewi Nagagini. Ada getaran hati yang bergelora. Serasa di dalam hati mereka, bunga-bunga mekar dan menari bak padi ditiup angin dalam pikiran. Panah asmara telah menancap pada dua pasangan beda dunia itu. “Raden suka berada di Saptapertala ini?” Bratasena terkejut dan menjawab dengan gayanya yang lugas “Ehhh... senang. Senang sekali!” Nagagini juga membalas “ aku juga dan sejak kedatangan raden sekeluarga, aku makin betah berada disini.” Jawaban Bratasena tadi membuat hati Dewi Nagagini semakin bergetar. Sang dewi kemudian berbaring di pangkuan Bratasena. Lubuk hati Bratasena tak kalah bergetarnya melihat Dewi Nagagini berbaring di pahanya. Nampaknya gelora cinta Bratasena dan Nagagini sudah semakin membahana. Dewi Kunthi kemudian berunding dengan putra sulungnya, Puntadewa dan Batara Anantaboga tentang rencana hubungan mereka. Sebenarnya Dewi Kunthi dan Batara Anantaboga setuju kalau mereka segera menikah namun Dewi Kunthi merasa tidak enak pada Puntadewa yang sampai sekarang belum memperoleh kekasih.”ibuku, aku tidak masalah bila Bratasena menikah dulu. Aku tidak merasa dilangkahi malahan merasa senang dan aku merestui hubungan mereka ke jenjang yang lebih intim.” Pernyataan putra sulungnya itu membuat Dewi Kunthi terharu dan Batara Anantaboga sudah menyiapkan tanggal yang pas untuk pernikahan putri satu-satunya dengan putra kedua Pandu Dewanata itu. Hari pernikahan pun tiba, Bratasena dan Nagagini duduk bersanding di pelaminan berhiaskan berbagai bunga dan batu mulia yang mengeluarkan pendar yang menenangkan bila mata memandang. Nampaklah kebahagiaan di balik senyum dan mata mereka.

Pernikahan Bratasena dengan Nagagini
Pernikahan manusia dan bidadari dari bangsa ular naga itu nampak sempurna. Setelah upacara pernikahan selesai dan Dewi Nagagini hamil muda, para Pandawa dan Dewi Kunthi ingin kembali ke dunia atas. Dewi Nagagini coba mencegah sang suami, Bratasena tapi apa mau dikata, keputusan sang suami sudah bulat. Ia akan mengikuti kemanapun para saudara dan ibunya pergi demi tegaknya keadilan dan kebenaran. Batara Anantaboga tak ayal mencegah keinginan mereka namun sebelum mereka beranjak, dia memberikan saran “Kunthi, aku tak bisa mencegahmu tapi menyamarlah kalian sebagai brahmana untuk menyembunyikan identitas kalian.” Setelah menanggalkan pakaian kebesaran mereka dan berganti dengan pakaian brahmana, Puntadewa memakai nama Resi Dwijakangka. Bratasena menjadi Wasi Kusumayuda. Permadi menjadi Wasi Parta. Pinten dan Tangsen menjadi Wasi Grantika dan Tripala. Sedangkan Dewi Kunthi memakai nama Nyai Prita. Setelah itu Batara Anantaboga berubah menjadi naga dan mengantar mereka ke permukaan bumi. Dewi Nagagini menatap suami, ibu mertua dan ipar-iparnya itu dengan penuh harap kelak putra mereka akan bertemu lagi dengan sang ayah di lain tempat dan kesempatan. Batara Anantaboga mengantarkan mereka hingga di permukaan bumi, tepatnya di pinggir Bengawan Yamuna. Setelah itu, Kanana memutuskan untuk kembali ke Panggombakan untuk memberi kabar pada Arya Widura yang sebenarnya terjadi “Kanana, aku tidak melarangmu untuk kembali tapi kumohon selain kau dan adhi Widura, tolong rahasiakan tentang nasib dan keberadaan kami. Biarkan Gusti Hyang Widhi dan sang-waktu lah yang akan menyibak keberadaan kami pada saatnya nanti.” “Baik, gusti ratu. Anak-anakku Pandawa, jagalah ibu kalian dan hati-hati di jalan.” Dalam perjalanan mengembara mengaku sebagai Brahmana, para Pandawa dan Dewi Kunthi singgah ke desa Widarakandha. Di sana, mereka diterima dengan baik oleh lurah Nanda Antagopa dan Nyai Yasodha. Bahkan Radha mengasihi mereka sebagaimana ibu Kirtidha sendiri. Begitupun Rara Ireng dan Niken Rarasati. Mereka bagaikan mendapat ibu kedua ketika bersama Dewi Kunthi yang kala itu mengaku bernama Nyai Prita. Akan tetapi, suatu panggilan hati mengusik hati Permadi untuk meguru lagi. Setelah meminta izin kepada sang ibu dan kakak adiknya, Permadi pun meninggalkan desa Widarakandha dan mengembara masuk hutan keluar hutan mencari guru.

Sementara itu di Gunung Untaryana, Narayana yang ditemani Udawa sedang didadar pendidikan oleh Resi Padmanaba, termasuk ilmu ramalan dan ilmu kawaskitaan.

Resi Guru Padmanaba
Ketika itu, Narayana memakai nama Madhawa. Lalu pada suatu hari datanglah seorang resi muda bernama Parta. Parta kemudian memperkenalkan diri “salam Maharesi.....hamba Parta, seorang pengembara...ingin berguru kepada Maharesi. Maukah maharesi menerima saya sebagai siswa bapa?!” Resi Padmanaba melihat dengan seksama diri Parta. Ia kaget melihat separuh jiwa Wisnu ada dalam dirinya, sama seperti muridnya Madhawa. Resi Padmanaba kemudian menerima Parta sebagai murid “baik anakku, Parta. Aku akan menerimamu sebagai muridku.” Selama dididik, Parta menunjukkan perkembangan yang matang dalam ilmu kanuragan. Seringkali Udawa dan Madhawa ikut melatih diri bersama Parta dan itu membuat persahabatan mereka kian rapat. Parta dan Madhawa seringkali jahil ketika melihat gadis-gadis muda dan menyembunyikan pakaian mereka. Lalu mencuri susu dan dadih untuk upeti ke Hastinapura dan Mandura sehingga Resi Padmanaba kerepotan dibuatnya. Parta juga sangat terlena dan menyukai saat Madhawa memainkan serulingnya. Di lain tempat yakni di Gunung Waikunta, Kakrasana dan Arya Pragota telah lama bertapa brata menunggu seseorang yang akan menjadi gurunya. Lalu mereka dibangunkan. Ketika membuka mata, mereka kedatangan Batara Brahma”salam-anak-anakku...aku Batara Brahma menerima kalian sebagai muridku.” Singkat cerita, Kakrasana dan Pragota berguru dan menyerap segala ilmu dari Batara Brahma. Batara Brahma telah memberitahukan jati diri Kakrasana yang sebenarnya lalu memberikan beberapa pusaka padanya. Pusaka pertama yaitu tombak yang berujung bajak sawah atau luku dari baja berkilauan bernama Nanggala yang mampu membuat siapapun yang terkena bisa terbakar bahkan hancur menjadi debu. Yang kedua adalah aji kesaktian Balabadra yang membuatnya bisa memiliki daya tahan sekuat para dewa, mampu mendaur ulang tenaganya sendiri, tahan kantuk, dan tahan berpuasa. Pusaka yang terakhir adalah Gada Alugora yang berbentuk seperti alu penumbuk padi.

Sementara itu, di negara Mandura, Adipati Kangsa mulai melakukan rencananya. Kerajaan Mandura diserang pasukan Goagra. terjadi sebuah kudeta, Adipati Kangsa menawan seluruh keluarga kerajaan di penjara karena wangsit bahwa dia akan mati di tangan putra putri Basudewa yang berkulit bule dan gelap masih terus menghantui kepalanya. Kalau mereka dibiarkan berkeliaran di sekitar Mandura, hambatannya untuk balas dendam karena kematian orang tuanya, Prabu Gorawangsa dan Dewi Maherah dan jalan untuk jadi penguasa tunggal Mandura akan terhalang. Setelah menawan Prabu Basudewa sekeluarga, Adipati Kangsa menjadikan diri sebagai raja bergelar Prabu Kangsadewa dan menantang adu jago antara putra-putra Mandura dengan paman yang sekaligus patihnya, Suratrimantra. Dia memerintahkan para prajurit Goagra dan Sengkapura mengobrak-abrik seisi Mandura. Untungnya salah satu adik Prabu Basudewa yakni Harya Prabu yang saat ini adalah raja Kumbinapuri bergelar Prabu Bhismaka berhasil lari ke arah Gokula. Namun kampung Gokula sudah lama kosong maka ia melanjutkan perjalanan ke Barsana. “untunglah Ki lurah masih disini. Aku datang membawa kabar buruk” Lurah Wresabanu meminta sang raja Kumbina tenang dulu. Setelah cukup tenang, ia bertanya “kabar apa yang gusti bawa? Sepertinya sangat gawat.” Prabu Bhismaka berkata “benar, ki Lurah. Mandura sedang gawat. Kangsa telah menawan kangmas Prabu Basudewa sekeluarga dan juga adhi Prabu Ugrasena. Ia akan mencari anak-anak kangmas Prabu yang dititipkan kepada Lurah Nanda dan Yasodha.” Lurah Wresabanu kaget bukan kepalang. Ia segera mengirimkan surat peringatan pada sahabatnya, Nanda Antagopa agar berwaspada. Akan tetapi, ia tetap khawatir apabila surat itu terlambat maka ia mohon diri, tidak perlu membuat surat segala ke Widarakandha. Prabu Bhismaka dengan memecut laju kudanya segera bertandang ke Widarakandha. Untunglah di saat demikian pasukan Goagra dan Sengkapura belum kemari.

Setelah sampai di Widarakandha, Bhismaka disambut Nanda Antagopa, Nyai Yasodha, Dewi Rohini ibu kandung Kakrasana dan Nyai Prita. Bhismaka mengenali Nyai Prita sebagai kakaknya, Dewi Kunthi. Dewi Kunthi lalu memperkenalkan anak-anaknya “adhi prabu, ini anak-anakku dan anak-anak dinda Madrim. Mereka Pandawa..” Nanda Antagopa dan Yasodha kaget mengenai jati diri Nyai Prita yang merupakan adik Prabu Basudewa dan juga anak-anak  yang ia bawa itu adalah para Pandawa. “aduh gusti Rani...kok tidak bilang kalau gusti adalah Dewi Prita, adik dari kangmas Prabu Basudewa. Maafkan hamba yang tidak melayani gusti dan para putra dengan nyaman dan menyenangkan.” Dewi Kunthi meminta Nanda dan Yasodha untuk bangun “sudahlah adhiku Nanda dan Yasodha. Aku juga orang biasa. Kami harus begini karena harus menyamarkan diri.” Bhismaka lalu bertanya “kakang Mbok Kunthi, bagaimana bisa kakang mbok dan anak-anakku Pandawa ada disini dan harus menyamar?” Dewi Kunthi berkata panjang ceritanya tapi itu tidak penting. Yang terpenting kabar apa yang akan disampaikannya. Prabu Bhismaka membawa kabar bahwa Mandura dikudeta oleh Kangsa, anak haram Basudewa. Dan saat ini, ia mencari anak-anak abangnya yakni Balarama dan Kresna juga Sumbadra. Tapi tak berapa lama kemudian, pasukan Goagra dan Sengkapura datang dan mengobrak-abrik seluruh desa. Mereka berhasil menangkap Nanda Antagopa dan Dewi Rohini sementara Nyai Yasodha, Rara Ireng, Endang Radha, dan Niken Rarasati beserta para Dewi Kunthi dan empat Pandawa berhasil melarikan diri dengan naik kuda. Bhismaka juga kembali berhasil kabur ke arah menuju hulu Bengawan Yamuna. Desa Widarakandha diobrak-abrik begitu juga desa Barsana. Lurah Wresabanu dan Nyai Kirtidha ikut ditawan.

Sementara itu di Gunung Untarayana, Madhawa yang ditemani Udawa dan Parta telah menyelesaikan pendidikan dan sudah mendapatkan semuanya dari Resi Padmanaba, termasuk ilmu ramalan, ilmu kawaskitaan, dan jati dirinya. Madhawa adalah Narayana alias Kresna, putra Prabu Basudewa, titisan Batara Wisnu. Identitas Parta juga diwedar bahwa ia putra ketiga Pandhu Dewanata dan Dewi Kunthi, titisan Jisnu yakni belahan Batara Wisnu yang ada dalam diri Madhawa. Resi Padmanaba hendak muksa dan memberikan tiga pusaka pada Madhawa. “ Anakku Madhawa, sebelum aku kembali ke alam kelanggengan, aku akan memberikan tiga buah pusaka. Pertama,  roda bergerigi bernama Cakra Widaksana alias Cakra Sudarsana. Aku telah tanam itu di dadamu. Jika ingin memunculkannya, maka sentuhlah dadamu. Siapapun yang terkena senjatamu ini, pasti tewas. Hanya orang–orang yang berjalan diatas dharma lah yang dapat selamat darinya.” Lalu Resi padmanaba melanjutkan ucapannya. “Yang kedua berupa bunga ajaib, Cangkok Wijayakusuma. Aku sudah letakkan bunga itu tepat di bawah riasan bulu merakmu. Bunga ini berkhasiat meningkatkan kekebalan dan mampu menyembuhkan luka separah apapun bahkan menghidupkan orang dari kematian yang bukan takdirnya. Rabalah bulu merakmu bila ingin menggunakannya dan pusakamu yang terakhir adalah panah Aji Kesawa. Panah itu sudah aku letakkan di belakang tengkukmu, anakku. Bila kau merabanya, kau akan mampu berubah menjadi raksasa berlengan dan berkepala banyak yang amat mengerikan. Gunakan pusaka-pusaka itu dengan bijak. Anakku, takdirmu sedang menanti. Kau, Udawa dan Parta harus segera ke Mandura. Kangsa akan mengeksekusi orang tua kandungmu. Bergegaslah!” Setelah mewariskan semua senjata dan mengabarkan keadaan orang tuanya, Resi Padmanaba perlahan memudar. Tubuhnya moksa menuju ke alam kelanggengan. Udawa, Madhawa dan Parta pun segera menuju Mandura.

Di lain tempat, di Gunung Waikunta, Kakrasana dan Arya Pragota telah diberitahu batara Brahma agar segera ke Mandura karena ia harus menyelamatkan ayah dan ibunya juga seluruh keluarga dari tangan Kangsa karena telah terjadi makar di sana. Lalu mereka segera meninggalkan gunung dan bertolak ke Mandura. Tapi sebelum itu, Kakrasana dan Pragota akan pamitan kepada ayah dan ibu asuhnya, ayah Nanda dan ibu Yasodha terlebih dahulu. Akan tetapi, ketika mereka sampai di desa, mereka kaget melihat seisi desa porak poranda seperti habis perang. Pragota dan Kakrasana melihat Madhu Mangala yang sedikit terluka sedang membenahi desa bersama para penduduk lainnya dan bertanya “sahabatku, apa yang terjadi selama kami pergi?” Madhu menjelaskan “kakang Pragota, desa diserang pasukan dari Sengkapura. Mereka menangkap kepala desa, ibu Yasodha dan lainnya. Desa ini juga tak luput dirusakkan mereka.” Kakrasana mendengar itu jadi berang. Lalu seorang datang dari Barsana dengan kepayahan. Para penduduk Widarakandha menolong orang itu. Kakrasana lalu bertanya “kakang, apa yang terjadi...kenapa kau datang kepayahan begitu.” Orang itu memberi kabar bahawa desa Barsana juga luluh diserang oleh pasukan Kangsa. Dengan berang, Kakrasana akan memutuskan datang ke Mandura sendirian. Pragota diminta olehnya agar menjaga para penduduk desa. Di tempat lain di hutan bukit Goloka, Prabu Bhismaka yang bersama empat Pandawa, ibu Kunthi, Endang Radha, Nyai Yasodha, Rara Ireng dan Niken Rarasati dikepung pasukan Sengkapura dan Goagra. Mereka tidak bisa lagi kabur. Patih Suratrimantra menyuruh mereka untuk menawan mereka. Orang-orang Basudewa harus ditahan tanpa terkecuali apabila pemuda berkulit bule dan hitam para putra Basudewa tidak ditemukan. Namun Prabu Bhismaka meminta agar dua atau tiga dari mereka diampuni satu orang saja. Patih Suratrimantra berkata “baiklah kalau itu permintaanmu, Bhismaka, akan ku turuti....... Aku lepaskan mereka!” sang patih menunjuk ke arah Radha, Rara Ireng dan Rarasati dan akhirnya mereka dilepaskan. Sementara Bhismaka, empat Pandawa dan yang lainnya dibawa ke Mandura. Kini tinggallah mereka bertiga di Bukit Goloka, menanti kedatangan Kanha atau siapapun yang bisa membebaskan keluarga Mandura dan Hastinapura yang saat ini ditawan oleh Kangsa.

Dengan segala kemungkinan di kepalanya, Radha, Rara Ireng, dan Rarasati memutuskan menunggu Kanha atau siapapun yang bisa membantu di Goloka setelah dilepaskan oleh Patih Suratrimantra. Satu hari serasa bagai setahun. Sehari dua hari itu pikirannya kalut, kusut.

Penantian di Bukit Goloka
Bagaikan badai yang berkecamuk kerena kepikiran nasib orang tuanya yang pasti sudah ditangkap pasukan Sengkapura. Nasib pak lurah Nanda, ibu Yasodha dan Dewi Kunthi juga empat Pandawa yang tertangkap, entah bagaimana kabarnya. Di saat harapan mereka hampir pupus, suara suling itu terdengar lagi. Seruling milik Kanha terdengar lagi di telinganya. Dari kejauhan terlihatlah Narayana alias Kanha alias Madhawa berjalan bersama Udawa dan Parta di belakangnya. Radha, Rara Ireng, dan Rarasati gembira serasa mendapat cahaya. Udawa dan Narayana yang melihat adik-adiknya bersama Radha berada di Goloka keheranan dan bertanya “kalian, apa yang kalian lakukan di sini sampai membangun tempat berlindungan?” Radha dan Rara Ireng bercerita “Kanha, keadaanya sangat gawat. Kampung diluluh lantak oleh pasukan dari Mandura.” Udawa kaget “lha kok bisa...?”  Rarasati lalu melanjutkan “kangmas Udawa, para pasukan itu mencari kangmas Kresna dan Balarama. Karena tidak menemukan mereka, mereka obrak-abrik desa dan menagkap ayah Nanda.” Parta jadi khawatir bertanya bagaimana keadaan orang tua dan para saudarnya “lalu bagaimana dengan nasib ibu dan kakak-adikku?” rara Ireng lalu berkata dengan terisak-isak “bibi Kunthi dan saudara-saudara adhi ikut tertawan bersama paman Prabu Bhismaka dan yang lainnya...kami bisa berada disini....karena belas kasihan....paman Prabu...” mereka jadi sangat sedih. Parta memutuskan untuk ke Mandura menyelamatkan ibu, para saudaranya dan kerabat-kerabatnya. Narayana berkata akan sangat berbahaya jika mereka datang begitu saja. Lebih baik jika menyamar. Mereka bersetuju. Maka akhirnya mereka pun menyusul ke Mandura dengan menyamar. Di perjalanan menuju Mandura, rombongan Narayana bertemu dengan Kakrasana. Narayana dan lainnya gembira melihatnya.

Di alun-alun kotaraja Mandura telah berdiri panggung besar untuk sarana adu jago. Seluruh kawula di Mandura berkumpul hendak menyaksikan adu jago. Prabu Kangsadewa berdiri diatas panggung itu bersama Prabu Basudewa, Nanda Antagopa, Prabu Setyajit (Arya Ugrasena), dan seluruh anggota keluarga lainnya yang dalam keadaan terikat rantai dan disamping mereka semua terdapat banyak algojo membawa kapak besar. Dari jauh, Prabu Jarasanda alias Jaka Slewah, sahabatnya menonton di kejauhan ditemani Patih Kalayawana. Lalu datang Patih Suratrimantra membawa tawanan yakni Prabu Bhismaka, Dewi Kunthi dan empat anaknya: Puntadewa, Bratasena, Nakula, dan Sadewa. Kangsa senang sekali “hahahahah.....paman...kau berhasil membawa pengkhianat ini dan sekali tepuk dua lalat, kau mendapatkan Bibi Kunthi dan adik-adikku para Pandawa. Tapi mana si bule dan si hitam itu?” “ampun anak mas Kangsa...dua anak itu tidak bersama mereka...” Kangsadewa murka karena pamannya itu tidak mendapatkan Balarama dan Kresna. Ia mencak-mencak dan minta agar Patih Suratrimantra mencari mereka lagi. Patih Suratrimantra naik ke gelanggang dan berkata “tapi sebagai gantinya, anak mas bisa melawan salah satu anak dari bibimu, Dewi  Kunthi.” Prabu Kangsadewa sangat marah mendengarnya dan menolak tantangan itu”Apa-apaan ini? Aku yang menentukan pertandingan, bukan kau,. Aku minta Balarama dan Kresna. Bukan Pandawa bongsor berotak dungu ini. !!” Bratasena bangun dari duduknya dan berkata “heeh ternyata raja agung Mandura badan doang besar tapi nyalinya sebesar tikus. Kakakku Prabu Kangsadewa ternyata raja penakut berhati lemah”. Prabu Kangsadewa marah lagi karena dihina oleh seorang putra Pandhu kemudian menyuruh patih Suratrimantra ke gelanggang untuk bergulat dengan Bratasena.

Pertandingan adu jago dimulai.mereka saling bergulat, saling banting dan saling sikut. Kesaktian mereka sangat dahsyat. Sebaliknya patih Suratrimantra merasa kerepotan melihat Bratasena yang ternyata sangat kuat dan sulit dikalahkan. Setelah cukup lama, Patih Suratrimantra terdesak namun dirinya sempat melihat ada dua pemuda berkulit bule dan berkulit gelap masuk diantara para penonton. Kemudian sang patih itu meronta-ronta dan berusaha mencekik Baratasena namun Kakrasana tiba-tiba naik gelanggang lalu memukul Suratrimantra dengan Gada Alugora hingga keluar gelanggang sampai tewas dengan kepala hancur. Prabu Kangsadewa kaget melihat kehadiran Kakrasana dan Narayana, orang yang ia nanti-nanti lalu memerintahkan dua algojonya, Chanura dan Musthika untuk bergulat dengan mereka berdua. Gulat antara Kakrasana dan Narayana dengan Chanura dan Musthika berlangsung sengit. Tetapi dengan mudah, Chanura dan Musthika berhasil dikalahkan. Akhirnya Kangsa sendiri yang melawan dua anak pemuda berkulit bule dan gelap. Pertarungan berlangsung sengit. Awalnya Kakarasana dan Narayana tersepit dan terdesak oleh kekuatan Kangsa, sang kakak haram mereka itu. akan tetapi datang Rara Ireng dan Niken Rarasati bersama Endang Radha dan Kakek Semar dari kejauhan. Mereka merapal aji Kemayan yang mengaburkan kewaspadaan dan mebuat kangsa terlena. Di saat demikian Permadi memanah Kangsa dan jrass kena ke dadanya. Kangsa menjerit kesakitan dan di saat demikian. Narayana menghajar Kangsa tanpa ampun lagi. Di saat Kangsa sudah tidak berdaya. Kakrasana menghantamkan Nanggala ke tubuhnya dan Narayana melemparkan Cakra ke leher Kangsa hingga tertebas.

Kangsa Lena
Di detik terakhir, Kangsa melihat bayangan Kakrasana dan Narayana bertukar wujud menjadi Batara Naga Adisesa dan Batara Wisnu. Kangsa pun tewas. Keadaan sudah kembali tenang. Prabu Basudewa berhasil dibebaskan dan kembali duduk di takhtanya, begitupula Nanda Antagopa, Nyai Yasodha, Lurah Wresabanu, Nyai Kirtidha dan anggota keluarga yang lain. Prabu Basudewa sangat bersyukur dengan kembalinya putra-putrinya dan berhasil mengalahkan Kangsadewa. Prabu Basudewa juga berterima kasih pada Bratasena dan Permadi yang sudah membantu putra-putranya. Dewi Kunthi merasa tidak enak kepada abangnya. Justru mereka yang sudah ditolong Kakrasana dan Narayana. Kerajaan Mandura kembali tenang. Kini Prabu basudewa sekeluarga bisa berkumpul lagi dengan anak-anaknya dan mengadakan syukuran. Para Pandawa dan Dewi Kunthi juga untuk sementara tinggal di Mandura namun tetap menyamar sebagai brahmana.


Jumat, 28 Maret 2025

Banjaran Sri Kresna Episode 7: Bukit Gowardhana

 Hai-hai....semua pembaca dan penikmat kisah pewayangan. Kisah kali ini menceritakan Narayana mengangkat Bukit Gowardhana. Kisah diawali dengan kemarahan Nyai Jathila karena gagal membuat Narayana sakit hati setelah pernikahan Ayyan dan Radha dengan memnyebarkan kelaparan dan kekeringan. hal itu malah berimbas pada perceraian Ayyan dan Radha. Kisah dilanjutkan dengan Narayanan yang menentang upacara sesaji kepada Batara Indra agar hujan tetap turun dan membuat sang dewa marah lalu menimpakan bencana ke desa. Narayana pun mengangkat Bukit Gowardhana demi menyelamatkan warga desa membuat Batara Indra menyadari kesalahannya. Kisah ini mengambil sumber dari kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa, Serial Kolosal India Mahabharat Starplus dan Radha Krishna Starbharat, animasi Little Krishna, dan sumber-sumber lain dengan perubahan dan penyesuaian seperlunya.

Hari-hari keluarga Nanda Antagopa dan Nyai Yasodha berjalan sebagaimana biasanya. Perlahan namun pasti, hati Narayana yang masih berduka karena ditinggal menikah oleh Radha mulai bisa berdamai. Kini Narayana perlahan namun pasti menerima takdirnya. Narayana tetap berhubungan baik dengan Ayyan maupun Radha. Rancangan bibi Jathila dan Kutila untuk membuat menjatuhkan mental Narayana yang awalnya berhasil kini tak sepenauhnya berhasil. Baik sang putra maupun Narayana tetap berhubungan baik, begitupun dengan Radha. Lalu Nyai Jathila dan Kuthila datang ke sebuah tempat untuk menghukum Narayana namun memakai cara curang. Mereka lalu mendatangi rumah Narayana diam-diam dan menaruh segala macam sesaji aneh, mulai dari bunga-bunga tertentu, anak ayam cemani yang sudah membusuk, dan juga darah binatang juga abu pembakaran jenazah. Lalu abu itu disebarkan. Selain ditaburkan ke rumah Narayana, Sesaji itu lalu disebarkan ke seluruh desa Widarakandha dan Barsana sebagai bentuk pembalasan kebencian mereka. Tak ayal, terjadi bencana kekeringan dan kebuluran. Angin dingin lalu disusul panas terik datang silih berganti, dari hari ke hari mengeringkan segala sumber air di Widarakandha dan Barsana. Lalu Nyai Jathila mengumumkan bahawa ini adalah hukuman dari penguasa bengawan Yamuna. Maka harus diselenggerakan upacara untuk memohon mengakhiri kekeringan panjang ini kepada sang dewa. Namun mereka belum mendapatkan guru atau orang suci sebagai pemimpin upacara. Lurah Ugrapadha merasa belum mampu begitupun Lurah Nanda Antagopa, lalu Jathila berkata dengan penuh kesombongan “biar anakku Ayyan saja yang menjadi guru bagi kita. Kemampuan Ayyan untuk memberikan doa dan berkah tidak perlu dipertanyakan.” Ayyan berusaha untuk menghentikan kekonyolan ibunya namun adiknya berkata “kakang, coba pikirkan deh gimana rasanya menjadi guru. Kakang akan disanjung, dihormati, dan ditakzimi banyak orang.” Ayyan termakan rayuan lalu ia diam dan berkata “Baiklah, mulai hari ini aku akan memimpin setiap upacara keagamaan di desa Barsana dan Widarakandha.” Para penduduk menaruh takzim kepada Ayyan. Tapi Narayana dan saudara-maranya menganggap apa yang dilakukan Ayyan ialah sebuah ketololan tak berdasar. Narayana berkata bahawa Ayyan akan mendapatkan padah dari perbuatannya “sudah kakang-kakang dan adhiku. Ayyan pasti akan menyadari kesalahannya dan memutuskan hal besar di sini.” Narayana lalu menunjuk sebuah pohon Wilwa (pohon Maja). Di tempat itulah, hal besar itu akan dialami oleh Ayyan.

Pada suatu hari, ketika kemarau panjang hampir di puncaknya, datang rombongan pandita dan murid-muridnya. Mereka ialah Resi Durwasa dan para cantrik-cantriknya yang terkenal sangat brangasan dan suka mengutuk orang apabila keinginannya tidak terpenuhi atau tidak sesuai sedikit saja.

Resi Durwasa melindungi Radha dari Ayyan
Dewi Kunthi atau di masa mudanya dikenal sebagai Prita, putri Mandura yang kini menjadi ibu dari para Pandawa saja sabar sekali dan serba hati-hati selama menjadi cantriknya. Hari itu, Resi Durwasa dan cantrik-cantriknya datang kepada Lurah Nanda Antagopa “Lurah Nanda, aku meminta mu kepadaku suatu tempat untukku dan para cantrikku bersemadhi tanpa gangguan di tempatmu. Jika Kau Tidak Mampu Memberikannya, Maka Desa Ini Akan Terkutuk Selamanya!” Lurah Nanda yang mengerti bagaimana sepak terjang pandita pemarah itu segera memerintahkan anak-anaknya: Udawa, Kakrasana, dan Narayana untuk mencarikan tempat yang cocok. Dengan lemah lembut, Udawa, Kakrasana, Narayana bertanya kepada sang resi “ampun guru resi...tempat seperti apa yang anda inginkan?” Udawa membenarkan ucapan adiknya itu“benar, guru resi...kami tidak mengerti dengan apa isi hati keinginan guru resi.”.Kakrasana yang sedari tadi diam lalu berkata juga “mungkin dengan saran dan pertimbangan dari benak kalbu guru, kami bisa memberikan saran tempat yang pas.” Resi Durwasa heran melihat ada anak muda mau bertanya lalu meminta saran kepadanya. Hal itu mengingatkannya pada Prita, muridnya dahulu. Resi Durwasa berkata dengan tegas “baiklah, aku ingin tempat semadhiku dekat dengan pohon yang sedang berbuah lebat saat ini dan buah itu buah berkat dari Mahadewa Batara Guru!” Udawa lalu teringat pada pohon Wilwa (maja) yang tempo hari. Lalu tanpa banyak bicara, Udawa lalu berkata pada sang resi “guru resi, saya sudah mengerti tempat mana yang sesuai untuk anda bersemadhi. Mari ikut kami.” Resi Durwasa dan para cantriknya mengikuti ketiga anak Nanda itu. Lalu mereka berhenti di tengah hutan tempat pohon wilwa (maja) yang dimaksud berada. Resi Durwasa sesuai dengan tempat itu, begitupun para cantriknya. Resi Durwasa merasa senang dengan pelayanan ketiga anak itu dan memberkahi mereka “aku senang dengan pelayanan kalian. Terima lah berkah dariku.” Resi Durwasa memberkahi mereka bertiga kelak akan menjadi orang-orang penting di tatanan jaman Duparayuga ini. Sebagai bentuk terima kasih, Narayana meniupkan serulingnya agar Resi Durwasa lebih relaks dalam bersemadhi. Lalu ketiga anak Nanda itu pergi dan mengawasi sang resi dari jauh. Tak lama kemudian, datanglah Ayyan dan Radha yang sedang mencari ketenangan untuk persiapan upacara memohon kesuburan. Nampaknya Ayyan kelelahan selepas lebih dari satu pekan menghapal berbagai doa dan mantra untuk upacara. Maka ia menjadi kasar, besar kepala, dan telah memaksa Radha melayani sepenuh hati “Radha, sekarang aku adalah guru, maka sudah kewajibanku untuk mendidikmu dengan benar. sebagai isteriku, kau juga adalah muridku pula. Seorang murid harus memberikan pelayanan terbaik kepada gurunya.Sekarang cari kan aku makanan di hutan ini!” Radha yang kepayahan membantu suaminya itu berkata “suamiku, dimana aku mencari makanan? Seluruh Mandura dilanda kekeringan. Tanaman susah untuk berbuah, bahkan nyaris lengkara satu pun rumput hijau segar.” Ayyan lalu menunjuk ke sebuah pohon sambil marah-marah “Lalu Itu Kau Sebut Apa? Di sana ada Pohon Wilwa yang Berbuah! Isteri Tolol Kau!! Cepat Ambil Buahnya!” dengan tangisan penuh nestapa, Radha mendekati pohon Wilwa itu. ketika Radha mendekati pohon itu, ia melihat sebiji buah wilwa jatuh dan lalu menggelinding ke arah Resi Durwasa yang sedang bersemadhi. Radha mendekati sang resi, lalu mempersembahkan buah wilwa itu kepada sang resi untuk menyenangkannya.

Suara buah jatuh membuat resi itu terangun dan Resi Durwasa pun terbangun. Betapa kagetnya sang resi melihat seorang wanita duduk di hadapannya dan mempersembahkan sebiji buah wilwa kepadanya sambil terisak. Entah karena apa, Resi Durwasa yang biasanya brangasan, kali ini menjadi lembut hati kepada orang yang dianggap mengganggu semadhinya. Resi Durwasa bertanya kepada wanita itu “hai ni sanak, siapakah kamu? Kenapa kamu datang padaku dengan terisak-isak?” Radha menjawab dengan suara tertahan-tahan “aku Radha, isteri Ayyan. Kedatangan saya kemari karena ingin memetik buah wilwa di dekat tempat bapa resi bersemadhi demi suami saya yang kelaparan...” belum selesai Radha menjelaskan, Ayyan datang dengan marah-marah. “oh Kau Ini Lama Sekali, Rupanya Kau Bersama Orang Tua ini.” Radha berkata “aku harus melayani bapa Resi ini dan mempersembahkan buah wilwa yang aku petik.” Ayyan memaki Radha dan menganggap Radha lebih mengutamakan orang lain ketimbang suaminya sendiri lalu mengambil buah wilwa dari genggaman Radha lalu memakannya. Ternyata buah wilwa itu baru separuh matang sehingga rasanya sedikit getir. Ayyan memuntahkan nya lalu melempar buah itu ke hadapan Resi Durwasa. Resi Durwasa sangat marah melihat ada seorang istri yang dikasari dan dimaki di hadapannya ditambah lagi ia tidak diperlakukan dengan hormat oleh pria muda itu. Dengan murka, Resi Durwasa lalu berkata” Hai Engkau Lelaki Tidak Bermoral! Berani Sekali Kau Menghardik Istrimu Yang Baktinya Melebihi Baktiku Kepada Hyang Guru! Bahkan Kau Menghinaku Karenanya! Maka Aku Mengutukmu! Jika Tangan Kotormu Menyentuh Gadis Ini Seujung Jari pun, Maka Kau Akan Hancur Menjadi Abu! Ayyan dan Radha kaget mendengar Resi Durwasa memberikan kutukan itu, Bahkan anak-anak Nanda yang sedari tadi mengawsi sang resi dari jauh ikut kaget. Dengan memohon-mohon, Ayyan berlutut minta ampun agar sang resi mencabut kutuk pasu itu, namun Resi Durwasa pun pergi bersama cantrik-cantriknya tanpa sedikitpun mempedulikan nasib Ayyan.

Sesampainya di Barsana, Ayyan berkata pada orang tuanya “ayah! ibu! Aku akan menceraikan Radha.” Lurah ugrapada dan Nyai Jathila kaget mendengarnya Terutama Nyai Jathila yang selama ini selalu congkak. Ayyan lalu menjelaskan “Seorang resi telah mengutukku karena kekasaranku kepada Radha. Tolong kembalikan Radha kepada orang tuanya. Aku akan menghabiskan waktu dengan penebusan dosa di tempat yang jauh.” Singkat cerita, Radha kembali ke rumah orang tuanya. Sedangkan Ayyan pergi menyepi di hutan. Sekarang tanpa kehadiran Ayyan sebagai pemimpin upacara memohon kepada dewa, kekeringan dan kelaparan yang disebabkan kecurangan Nyai Jathila akan berterusan. Nyai Jathila menjadi dipenuhi kekalutan begitupun adik Ayyan, Kuthila.

Karena semakin hari kekeringan dan kemarau panjang semakin menggila, diadakanlah kenduri kepada Batara Indra. Selama beberapa tahun terakhir, memang hujan beberapa kali turun dan akhirnya menjadi sebuah tradisi baru. Kemarau dan kekeringan panjang bisa berakhir hingga pada suatu hari, penduduk desa Widarakandha dan Barsana hendak menyelenggarakan kenduri akbar dengan mengurbankan 100 ekor sapi untuk Batara Indra agar hujan turun sekali lagi. Narayana yang ditemani Udawa dan Kakrasana juga beberapa teman-temannya melihat para penduduk membawa sapi-sapi mereka bertanya pada sang ayah “ Ayah, kenapa kita melakukan kenduri semacam ini? Bukankah akan semakin memberatkan para penduduk. Para penduduk kaya saja sudah repot  kesusahan dan penduduk yang miskin menjadi semakin miskin ?” Nanda Antagopa menjawab” kita harus melakukannya agar Batara Indra mau membawa hujannya ke desa ini. Ini adalah tradisi kita selama bertahun-tahun” Narayana tidak puas dengan jawaban sang ayah memberikan petuahnya “tapi ayah, kenapa kita harus menelan tradisi itu mentah-mentah tanpa kita kupas. Toh bukan berarti setelah melakukan kenduri ini, hujan langsung turun begitu saja. Ingat ayah, Batara Indra dan para dewa lainnya mendapatkan kekuatannya dari Hyang Widhi Wasa. Jika ayah dan para penduduk masih ragu, kalian datang saja di lembah Gowardhana. Berdoa lah disana. Dari sanalah awan hujan terlihat. Pabila tidak ada Bukit Gowardhana, awan tersebut tidak menabrak bukit dan hujan tidak turun, atau turun di tempat lain. Air hujan yang turun disimpan oleh akar-akar pohon yang tumbuh di bukit, disimpan, dan dikeluarkan sedikit-demi sedikit, sehingga tanah selalu basah dan air keluar pelan-pelan di mata air menuju Bengawan Yamuna. Bukit itulah yang menyimpan air untuk seluruh tanaman dan makhluk di Widarakandha. Bukit itulah tempat merumput bagi sapi, dan sapi memberikan susu bagi penduduk. Tanaman tulasi dan tanaman obat lain juga tumbuh di Bukit Gowardhana memperoleh air dari air tanah yang tersimpan di bukit dan berguna bagi penduduk.” Lalu Narayana di hadapan para penduduk meyakinkan para penduduk untuk membawa sesaji mereka untuk beribadah di Bukit Gowardhana dengan berkata “hadirin sekalian, mari kita bawa sesaji kita kepada Gowardhana. Kita akan berdoa kepada-Nya di sana” Reaksi para penduduk pun beragam mendengar. Ada yang menolak, ada pula yang ragu-ragu, tapi juga tak sedikit juga yang sepakat dan sepaham dengan pemikiran Narayana. Terjadi sedikit ketegangan antara kubu Yadhnya Indra dan yadnya untu Bukit Gowardhana hingga baku hantam. Namun Udawa dan Kakrasana berhasil menenangkan keadaan "Hei...kalian jangan mempermasalahkan hal ini. Baik Indra maupun Bukit Gowardhana sudah menyelamatkan kita dari kemarau dan kekeringan." Udawa lalu berkata "yadhnya haru dilaksanakan dengan penuh kecintaan dan rela hati, bukan dengan rasa takut yang buta. coba resapi ini teman-teman dan saudaraku!". Setelah memikirkannya dengan matang, para penduduk desa dan para pendeta datang ke lembah Bukit Gowardhana namun sebagian tetap melanjutkan Yadhnya untuk Batara Indra. Mereka melakukan persembahyangan di tanah lapang di lembah itu. Dadih, puding beras, dan susu, bahkan segala hasil bumi turut ditawarkan ke acara sesaji. Ratusan brahmana dan tamu diberi makan. namun kericuhan kembali terjadi ketiak Pragota dan Madhu Manggala malah mencuri guci berisi minyak samin dan susu untuk upacara Batara Indra lalu menukarnya dengan air comberan. Para pemuja Indra segera mengejar Pragota dan Madhu Manggala. ketika sampai di dekat bukit Gowardhana, para pemuja fanatik Indra bentrok kembali dengan kubu yadhnya Bukit Gowardhana. Kakrasana kembali berusaha menengahi keadaan yang kacau lagi. 

Di kahyangan, Batara Indra menjadi sangat marah dan gusar karena yadhnanya telah berhenti, terlebih lagi yadhna ini berhenti karena ucapan seoarang anak baru gede dan dia kemudian memanggil awan, "Dengarkan apa yang saya katakan. Hancurkan ternak dengan hujan dan angin. Aku akan datang dengan Erawat, gajahku dan menurunkan hujan yang dashyat juga di Widarakandha!.” Angin dan awan segera memulai tugasnya. Kegelapan ada di mana-mana. Ada kilat, guntur, dan hujan lebat. Dunia menjadi gelap dan ada air membanjir di mana-mana. Ketika sebagian penduduk sedang melakukan doa dan di tempat lain beberapa masih diwarnai dengan panas dan kericuhan yang belum juga reda, para penduduk Widarakandha yang ada di sana dikejutkan dengan munculnya topan badai disertai hujan es dan halilintar yang menyambar-nyambar selama berhari-hari. Para penduduk lari pontang-panting menuju desa Widarakandha. Di desa, mereka dikejar-kejar banjir dan air bah juga angin kencang.

Narayana mengangkat Bukit Gowardhana
Sapi dan pedhet-pedhetnya mulai mati. Di ladang rumput, mereka juga di kejar halilintar dan api dari rerumputan kering. Angin pun menerbangkan apa saja. Badai dahsyat meluluh lantakan desa dan sarana yadhnya. Narayana lalu didatangi sebagian warga desa “Narayana bagaimana ini? Batara Indra murka karena sesajinya dihentikan! Kita harus membuat yadhna pengampunan dosa!” Narayana berkata dengan tegas “sebuah yadhna dan upacara harus dilakukan dengan hati yang bersih, penuh kerelaan,dan cinta, bukan dengan rasa takut dan gamang. Rasa takut kalian kepada Indra tak akan menyurutkan upacara di Bukit Gowardhana.” Lalu Narayana bergerak lalu menengadahkan tangannya seraya berdoa “penguasa Bukit Gowardhana, tolonglah para hamba-Mu yang kesulitan ini.” Sejenak kemudian, begitu satu jentik jari Narayana menyentuh tanah, tiba-tiba tanah bukit Gowardhana terbuka. Narayana lalu memasuki celah terbuka itu. orang-orang khawatir terutama Radha “tolong, tanah Gowardhana menalannya. Siapapun cepat tolong Kanha!!” Radha, Udawa, Kakrasana dan laiinya lalu terkejat mendengar suara suling dari bawah bukit. Mereka kaget karena menyaksikan Narayana mengangkat Bukit Gowardahana yang besarnya sebesar anak gunung itu hanya dengan satu jari saja layaknya payung raksasa. Para penduduk, para pendeta, dan seluruh keluarga Narayana segera masuk ke bawah kolong bukit itu beserta ternak-ternak mereka. Di dalam sana, para penduduk bisa merasa aman dan tentram. Dengan alunan seruling, mereka menari-nari bergembira selama tujuh hari.

Batara Indra yang melihat kejadian ajaib itu semakin murka dan melemparkan halilintar-halilintar, gumpalan es, dan air hujan yang berat ke bukit itu. Tapi tak sedikitpun tanah di bukit itu berguguran. Karena marahnya sudah tak bisa dibendung, Batara Indra mengeluarkan pusaka saktinya yaitu Bajra. Saat Bajra itu diarahkan ke bukit Gowardhana, keluarlah bunyi guntur yang amat memekakkan telinga dan bukit Gowardhana bergoncang dahsyat. Tak hanya itu, Batara Indra juga memanggil angin langkisau yang berputar-putar menyapu segala sesuatu didekatnya. Para penduduk khawatir dan risau. Namun Narayana berkata “Batara Indra tidak akan mencelakakan kita.” Narayana lalu meniup sulingnya dan ajaib, angin langkisau itu tersedot masuk ke dalam suling Narayana dan apesnya angin itu mengenai batara Indra sehingga ia dan gajah Erawat jatuh ke lumpur Bumi. Seketika langit pun cerah. Hujan angin dan badai mereda. Banjir pun surut. Para penduduk bisa kembali ke desa dan beraktivitas seperti biasanya. Setelah semua penduduk keluar dari kolong bukit, Narayana pun menurunkan dan menampatkan kembali Bukit Gowardhana kembali ke tempatnya. Batara Indra merasa malu dan meminta maaf kepada Narayana “ampuni hamba ..tuanku...maafkan kebodohan hamba yang congkak ini. Hamba terlalu terlena dengan rasa takut para penduduk terhadapku sehingga aku menjadi bodoh dan bertindak sewenang-wenang.” “Narayana pun memaafkannya “dewaku...kau hanya menjalankan tugasmu dan para penduduk dilanda rasa takut akan kemarau, mereka pun melakukan sesaji dengan penuh ketakutan sehingga kau menjadi tinggi hati. Karena mereka sudah terbebaskan dari rasa takut terhadapmu, maka aku akan memaafkanmu. Jangan kau risaukan lagi.” Batara Indra pun merasa lega. Dengan penuh takzim, ia pun naik kembali ke kahyangan.

Kamis, 23 Januari 2025

Banjaran Sri Kresna Episode 6: Pohon Berbuah Mutiara dan Balada Cinta Widarakandha

 Hai-hai....semua pembaca dan penikmat kisah pewayangan. Kisah kali ini menceritakan keajaiban Narayana menumbuhkan pohon berbuah mutiara demi menghidupi sebuah pasar baru. Kisah berlanjut dengan rencana Pralambasura dan Dhumrasura untuk menghabisi Narayana dan Kakrasana. kisah diakhiri dengan kesedihan Narayana disebabkan pernikahan Radha dan Narayana. Kisah ini mengambil sumber dari Serial Kolosal India Radha Krishna Starbharat dan Serial animasi the Little Krishna dengan pengubahan seperlunya.

Pohon berbuah Mutiara

Beberapa hari setelah serangan banteng jelmaan Aristasura, pesta panen raya yang awalnya ditunda akhirnya bisa terlaksana. Para warga Barsana dan Gobajra berkumpul di pura untuk berdoa semoga panen tahun ini membawa berkah. Setelah ritual doa, pesta rakyat diselenggarakan. Banyak orang membuat kedai kecil di pinggir jalan. Berbagai jajanan, barang-barang kebutuhan, pakaian, dan barang-barang mahal dari berbagai negeri dijajakan. Singkat cerita panen raya selesai, Namun beberapa hari setelahnya, masih banyak juga para pedagang menjajakan barang dagangannya malah mereka memutuskan untuk membuat lapak di sana. Kian hari, pedagang semakin ramai. Nanda Antagopa dan para petinggi antardesa mengumpulkan para penduduk Barsana dan Gobajra untuk berunding tentang nasib para pedagang “pak Lurah Ugrapada dan temanku Wresabanu, bagaimana pendapat kalian tentang para pedagang yang membangun lapak disini? Apakah kita biarkan?” Lurah Ugrapada berkata “pak Lurah Nanda, tentu tidak, tapi kita tidak bisa mengusir mereka. Itu sama saja mengusir rezeki untuk kedua desa kita.” Wresabanu lalu berkata “menurut hemat saya, lebih baik kita jadikan tempat itu pasar baru kita, jadi warga desa tidak perlu jauh-jauh pergi ke Mandura atau Hastinapura untuk membeli kebutuhan sehari-hari.” Lurah Ugrapada setuju tapi menanyakan sumber dana untuk membangun pasar “aku setuju saja untuk itu, tapi dengan apa kita membangun pasar itu? kita perlu banyak dana untuk membangunnya sedangkan anggaran dari mandura terbilang masih cukup kecil. Kalian mengeti sendirikan yang mengatur keuangan negeri ini Adipati Kangsa.” Suasana rapat itu menjadi hening karena memikirkan kendala biaya. Namun dari belakang peserta rapat seseorang mengangkat tangan dan berkata dengan lantang “aku bersedia mencari sumber dananya.” Semua orang pun menoleh dan kaget bahawa yang berbicara barusan ialah Narayana. Ia dan beberapa anak muda di sana: Kakrasana, Rara Ireng, Udawa, Endang Radha, Charu, Pragota, Rarasati, Madhu Manggala, Ayyan Yadawa dan Subala. Nyai Jathila lalu berkata “hei nak...kau ini aneh-aneh saja....kau ini masih bocah....memang kau bisa membawa banyak uang?” Kutila, adik Ayyan yang juga ada di sana mengejek “halah ibu, paling dia akan merengek-rengek minta ke ibunya...”semua orang tertawa. Namun Narayana berkata “bibi, jangan pernah remehkan kami para pemuda. Justru itu kami akan membuat pasar baru ini akan berkembang. Paman-paman, bibi-bibi sekalian kami berjanji dalam kurun waktu tiga hari, kami akan sumber dananya.” Mendengar keyakinan para anak muda itu, Ugrapada tertarik dan setuju. Rapat pun dibubarkan. Anak-anak muda itu pun keluar. Nyai Jathila dan Kutila menyeringai sambil bergumam “halah, anak Yasodha itu paling ia tidak mampu lalu merengek ke ibunya meminta perhiasannya dijual.”

Setelah dari rapat itu, Narayana meminta saudara-saudarinya dan teman-temannya untuk berkumpul di hutan Nidhiwana. Setelah berkumpul, Ayyan lalu bettanya”Narayana, bagaimana sekarang? Kita tidak mungkin bisa mendapatkan sumber dana untuk pasar baru ini.” Udawa lalu membalas perkataan Ayyan “benar Kanha, harusnya dinda Kanha realistis.” Charu dan Subala ikut menceramahi temannya itu “benar, temanku. Kita tidak akan bisa mendapatkan sumber dana itu bahkan kalau haru menjual rumah kita masih belum cukup.”  Narayana dengan tenang menjawab keraguan teman-teman dan saudaranya itu “nah makanya itu, kita berkumpul disini , kakang-kakangku. Kita tidak perlu menjual sumber daya milik kita. Kita akan ciptakan di sini.” Teman-teman Narayana keheranan apa maksudnya. Narayana lalu meminta dua kakangnya, Udawa dan Kakrasana dan teman-temannya yang lain menyiapkan lahan kosong “Kakangku Udawa dan Kakrasana dan teman-teman-temanku, bantu aku. tolong siapkan lahan kosong!” “untuk apa, Kanha?” Narayana tidak menjawab tapi hanya tersenyum. Udawa paham kalau adiknya itu akan membuat hal aneh tak bertanya lagi. Ia turuti saja kemauannya. Setelah lahannya siap, Narayana meminta Kakrasana untuk membajak tanah itu. Kakrasana bertanya “lha kok aku yang harus membajak tanah ini, Kanha? Memangnya aku ini apa? Lembu?” Narayana bercanda “ya karena kakang kan banteng.” Kakrasana ngomel-ngomel melulu sepanjang membajak tanah.

Pohon berbuah Mutiara
Setelah tanah menjadi gembur, Narayana meminta teman-temannya mengumpulkan segala perhiasan mutiara yang mereka punya “nah, sekarang aku, Charu, Subala, Ayyan, Madhu, dan adhiku Pragota akan menanam mutiara-mutiara ini.” Seluruh teman-temannya keheranan tak masuk akal karena sepengetahuan mereka, mutiara didapat dari kerang dan tiram, bukan ditanam. Narayana lalu berkata “apa yang tidak mungkin jika Hyang Widhi berkehendak. Sudah ayo bantu aku.” singkat cerita Narayana, Ayyan, dan Pragota menanam mutiara-mutiara itu sementara Charu, Subala, dan Madhu menancapkan kayu lanjaran agar tanaman-tanaman itu dapat tumbuh tegak. Mutiara sudah ditanam, kini Narayana meminta para pemudi: Rara Ireng dan Rarasati, juga Radha untuk menyiram mutiara-mutiara itu “Radha dan adhi-adhiku Rara Ireng juga Rarasati, tolong siramkan tanah ini dengan susu dan minyak samin kalian.” Radha dan Rara Ireng heran “Kanha kau ini jangan bercanda kelewatan begitu.” “benar kakang, menumbuhkan mutiara saja itu mustahil apalagi kalau disiram pakai susu dan minyak samin. Sepertinya kakang ini harus ke tabib.” Rarasati ikut menimpali “kalau mutiaranya gak tumbuh, kami minta ganti rugi.” Setelah berbagai protes tadi, para wanita bersedia membantu menyiram. Tanpa disadari oleh para pemuda-pemudi itu, kegiatan mereka dipergoki oleh Nyai Jathila.

Di hari kedua, keajaiban terjadi. Tanaman mutiara mereka mulai tumbuh dan semakin besar dalam waktu singkat. Batang, cabang dan rantingnya berwarna merah bersepuh layaknya tembaga. Dedauanannya hijau segar layaknya batu ratna wilis yang segar dan ketika menguning berguguan layaknya batu ratna cempaka, kuning kemilau ditimpa sinar sang baskara. Ketika tumbuh, tanaman itu mengeluarkan bau yang sangat harum memabukkan. Kembang-kembangnya pun bermekaran dengan indah memenuhi seluruh pohon, warnanya layaknya emas dan perak yang baru disepuh. Serangga-serangga dan burung-burung penyerbuk bahkan dibuat mabuk oleh keharuaman tanaman itu. di hari ketiga, sebagian besar kembang itu berubah menjadi mutiara yang menjurai-jurai, putih berkilauan. Nyai Jathila yang melihat keanehan itu terkaget sekagetnya. Ketika buah-buah itu berjatuhan dari ranting pohonnya itu sangat indah bak hujan permata. Mentari lalu mengenai batang pohon-pohon mutiara itu menyebarkan sinar yang sangat terang menyilaukan membuat Nyai Jathila tidak mampu melihat lalu jatuh pingsan. Singkat cerita, tepat di hari ketiga para pemuda berhasil mengumpulkan sumber dana yakni ber-gerobak-gerobak mutiara yang berkualitas tinggi sesuai janji. Para petinggi desa gembira hati. Dengan bergerobak mutiara itu, dana ini sudah sanga tmencukupi bahkan bisa dialokasikan untuk memakmurkan Barsana dan Gobajra selamanya.  akhirnya pasar baru pun dibangun. Para pedagang berbagai negeri berkumpul dan menjadi jalur transit baru perdagangan.

Keangkuhan Pralambasura dan Dhumrasura

Pada suatu ketika, seorang raksasa suruhan Adipati Kangsa bernama Pralambasura bertemu dengan teman lamanya, Dhumrasura sang raksasa asap. Dhumrasura bertanya “temanku, Pralambasura. Ada apa gerangan dikau datang bertemu denganku.” Pralambasura menjawab dengan berapi-api berkata “perintah dari yang Mulia Adipati Kangsa. Aku akan menghabisi anak yang menjadi malaikat kematian Kangsa. Tapi aku tidak bisa melakukan ini sendiri. Kau tahukan sudah berapa raksasa dan monster berhasil dia habisi.” Dhumrasura berkata dengan tinggi “temanku, bagiku itu hal mudah. Lebih baik kita pisahkan si malaikat kematian itu dari teman-temannya lalu akan aku bakar dia menjadi abu.” Pralambasura berkata lagi “lalu aku harus apa?” “temanku, gampang saja. Kau bisa habisi teman-temannya. Kalau bisa saudara dari si malaikat kematian itu.” Pralambasura setuju lalu mereka berangkat menuju Barsana dan Gobajra.

Hari itu, para penggemabala sedang bermain tarik tambang. Udawa, Kakrasana, Subala dan Charu berada di sisi kiri sementara Narayana, Pragota, Ayyan, dan Madhu Manggala di sisi kanan. Permainan semakin seru. Ke-dua belah sisi sama kuatnya. Tiba-tiba Narayana kepikiran dengan ternak-ternak yang ia gembalakan. Narayana izin untuk pergi menengok. Kakrasana lalu berkata “hei Kanha, jangan seenaknya pergi gitu. Kekuatannya nanti tidak imbang.” Lalu dari kejauhan datang seorang anak penggembala. Narayana memanggil anak itu “hei kamu...kesini..ayo bantu aku..” anak itu mendekat. Narayana lalu berkata “kawanku...siapa kamu...sepertinya kamu anak baru pindah disini.” Anak itu menjawab “aku...Prala...ehh namaku Prakosa......” “Prakosa...kebetualan sekali...teman-temanku memerlukan bantuanmu.” Prakosa hanya bisa mengangguk dan menggantikan tempat Narayana di tarik tambang. Setelah Prakosa masuk, kemenangan ternyata berpihak kepada tim Kakrasana. “nah karena kalian kalah, sebagai hukuman, kalian harus menggendong kami ketempat Kanha.” Singkat cerita, mereka semua saling bergendongan dan lari mengikuti Narayana. Prakosa lalu menggendong Kakrasana di bahunya.

Narayana lalu segera pergi ke dekat hutan dan menengok lembu sapi yang sedang merumput disana. Di tengah jalan, ia bertemu Endang Radha, Rara Ireng dan Larasati yang sedang istirahat di bawah pohon. Narayana lalu menggoda mereka dengan mengambil guci berisi susu milik mereka. Ketika para wanita bangun, mereka mendapati guci mereka dibawa lari oleh Narayana. Mereka mengejar sang pemuda yang dijuluki Makhan Chori (pencuri mentega) itu sampai ke tengah hutan. Radha dan lainnya kehilangan jejaknya namun ia menemukan ceceran susu di dekat sebuah pohon. Benar ternyata Narayana memakan semua mentega dan susu itu. Radha dan Rara Ireng menangkap basahnya. “aha...ketahuan juga kau Kanha!” Nah kakang Kanha tidak bisa lari lagi” sorak Rara Ireng. Narayana yang kepergok tak bisa berkutik. Radha lalu memaksa Narayana untuk menari. Mau tak mau, Narayana pun menari dengan lemah gemulai sambil memainkan seruling. Semua wanita itu terpana. Lalu datang Udawa, Pragota, dan teman-teman Narayana yang lain. Narayana lalu bertanya kemana Kakrasana “kakang Udawa, mana kakang Balarama?” Radha lalu menyela “Kanha, jangan alihkan pembicaraan. Ayo terus menari” Ketika Radha dan Narayana sedang tegang begitu , Rarasati berteriak “astaga ada api melayang.” Apa yang dilihat Rarasati membuat Radha dan lainnya kaget. Ada bola api berasap yang terbang lalu hinggap di pepohonan. Setelah hinggap, segala pepohonan itu terbakar. Hutan pun terbakar hebat. Lalu muncullah Dhumrasuralalu ia berkata dengan sombongnya “hahahaha....sekarang kau dan teman-temanmu akan terpanggang. Dan kakakmu akan dilumat oleh sahabatku.” Dhumrasura lalu menghembuskan nafas berapinya ke penjuru sisi. Radha, Rara Ireng, dan teman-teman Narayana lainnya merasa kepanasan.  Begitu juga para lembu sapi ternak mereka.Narayana melihat ke sekeliling dan menemukan sebuah ceruk batu. “teman-teman ayo kalian berlindung di sana. Singkat kata, mereka masuk dan berdesak-desakan di sana sementara udara hutan menjadi sesak karena asap dan api dimana-mana.

Kakrasana yang di gendong Prakosa melihat ia malah menjauhi tempat teman-temannya dan Narayana berkumpul “hei Prakosa....kok kita malah menjauh dari teman-teman. Kau ini tersasar kah?” “tidak, temanku. aku ada di arah yang benar.” Lalu Prakosa mengubah wujudnya menjadi wujud aslinya yakni Ditya Pralambasura.”Hahahaha...akhirnya aku bisa membuat tuanku Kangsa senang.” Kakrasana marah “Jadi Ini Rencanamu...Kau Mau Menjabakku Dan Kakak-Adikku.Kau Tidak Tahu Saja Kami Orang-Orang yang Menghabisi Banyak Kawanmu”

Kakrasana mengalahkan Pralambasura
 Pralambasura meremehkan Kakrasana lalu berkata “Kau Yakin? Coba lihat ke sana.” Kakrasana menoleh dan kaget melihat hutan tempat Narayana dan teman-temasnnya berkumpul tiba-tiba terbakar dan diselimuti asap tebal. Kakrasana menjadi marah lalu menghajar Pralambasura. Karena tidak terima dihajar seorang anak remaja, Pralambasura menantang Kakrasana untuk adu gulat. Pertarungan pun terjadi dengan sangat sengit. Awalnya dia bisa membuat Kakrasana kewalahan, namun setelah mempelajari cara Pralambasura begulat Kakrasana mampu mengimbangi. Akhirnya, Pralambasura terdesak dan akhirnya jatuh ke tanah dalam keadaan terjepit. Kakrasana yang marah lalu berkata “Kau Salah, Kangsa Pasti Akan Kecewa Karena Kau Yang Akan Mati!” Dengan satu kali hantaman di kepala, Kakrasana berhasil meremukkan kepala Pralambasura dan ia pun tewas seketika itu juga. Kakrasana lalu pergi menyusul ke hutan tempat Narayana dan yang lainnya.

Kebakaran hutan semakin meluas, bahkan mulai membakar pinggir desa Gobajra dan Barsana. Para penduduk dipimpin oleh Nanda Antagopa dan Wresabanu mengungsi ke gunung. Sementara itu Radha dan lainnya yang merasa kesesakan dan kepanasan karena terus menghirup asap berkata “ Kanha cepat selamatkan kami.” Narayana lalu berkata “teman-teman, kalian ikuti arahanku. Kecuali jika aku panggil, kalian jangan menoleh ke arahku. Kalian duduk mengheningkan cipta  dan baca mantra-mantra.” Radha dan semuanya mengerti lalu duduk mengheningkan cipta sesuai arahan Narayana. Dhumrasura tertawa “Hahahaha......ada apa bocah? Kau tidak ingin teman-temanmu melihat akhir darimu?” “tentu bukan itu, Dhumrasura. Aku hanya tidak ingin teman-temanku melihat akhir darimu.” Dhumrasura menjadi jumawa dan melemparkan bola api ke arah Narayana. Anak kesayangan Yasodha itu pun melakukan jurus silat. Narayana mengayunkan tangannya lalu memutar-mutarnya seperti sayap yang mengibas. Seketika, kekuatan pukulan tangan Narayana membentuk angin lesus yang menghisap lalu memadamkan api di seluruh hutan. Tekanan anginnya membuat Dhumrasura ikut terhisap dan berputar-putar. Tubuh Dhumrasura terpuntir-puntir kemudian seperti halnya asap itu sendiri, ia hilang lenyap tak berbekas.

Setelah semua api padam, Narayana pun meminta teman-temannya menoleh “teman-temanku...sekarang kalian boleh menoleh.” Radha dan lainnya yang telah menyelesaikan mantra melihat kebakaran telah padam. Mereka bersorak gembira . tapi Rara Ireng dan Rarasati masih cemas “kita sudah lepas dari Dhumrasura, tapi bahgaimana keadaan kakang Balarama?” “benar, katanya, ada yang mencoba menghabisinya.”

Narayana mengalahkan Dhumrasura
Lalu mereka mendengar suara dari belakang “siapa yang bisa menghabisiku?” Rara Ireng, Rarasati dan lainnya menoleh melihat Kakrasana masih sehat tanpa kekurangan suatu apapun “sudah...jangan dengarkan Dhumrasura, yang dikatakannya hanya bohong belaka.” Akhirnya mereka bergembira kembali. Di tengah puing hutan yang terbakar, Radha dan Kanha (Narayana) kembali menarikan tarian Raasleela. Bersama teman-temannya mereka bergembira hati. Suara seruling Narayana mengalun indah ke seluruh penjuru desa. Para penduduk merasa damai mendengarnya. Seketika hutan yang terbakar kembali tumbuh dalam sekejap. Banyak pepohonan kembali bersemi diantarnya pohon widara (bidara) dan semak-semak kemangi suci (tulasi; vrindha) yang menyebarkan aroma wangi yang sedap. Hutan itu lalu dinamai hutan Brindhawana/Vrindhavana. Oleh Nanda Antagopa, hutan itu ia sebut sebagai Widarakandha karena disana juga banyak pohon widara dan nama itu digunakannya menggantikan nama Gobajra. Sejak saat itulah nama Gobajra berganti menjadi Widarakandha atau Brindhawan.

Balada cinta Ayyan-Radha-Kanha

Hari-hari Radha dan Narayana semakin berwarna. Radha telah tengglam ke dalam cintanya kepada Narayana. Bukan lagi cinta secara duniawi. Namun kini cintanya telah menembus relung jiwa dan mengakar. Yang kini dicintai Radha bukan tubuh Kanha, melainkan jiwa dan segala perbuatannya. Begitu dengan Kanha (Narayana), ia sangat cinta dan menyayangi Radha lebih dari apapun. Bagaikan buku berjumpa dengan ruasnya.  Namun nampaknya cinta itu juga menggelayuti diri Ayyan. Ayyan juga jatuh hati kepada Endang Radha. Putra Ugrapada itu kemudian berkata kepada ibunya “ibu, aku sejak lama mengagumi dan mencintai adik kita Radha. Aku ingin sekali menikahinya.” Nyai Jathila pun berniat jahat mengambil kesempatan itu untuk menjatuhkan semangat putra kesayangan Yasodha. Nyai Jathila menceritakan keluh kesah dan keinginan Ayyan kepada sang suami, Lurah Ugrapada. Sang lurah Barsana menyadarinya. Sudah berpa malam ini, ia melihat Ayyan mengigau seakan dia sedang dimabuk kasmaran oleh Radha. Maka keesokan paginya, Lurah Ugrapada datang kepada Ki Wresabanu menyampaikan lamaran Ayyan kepada Radha. Radha yang melihat dari balik tirai ingin tahu. Tanpa pikir panjang, Ki Wresabanu menyetujui lamaran Ayyan. Keesokan harinya, Lurah Ugrapada memberi pengumuman “para penduduk barsana yang aku cintai, aku akan memberikan sebuah pengumuman yang sangat penting. Pada sasih depan, putraku Ayyan akan menikahi Endang Radha, putri Wresabanu.” Sorak sorai membahana di Barsana. Namun, tidak dengan Endang Radha di rumahnya. Ia menangis sejadinya di pelukan ibunya “ibu....kenapa begini....huhu....aku tidak mampu mencintai kakang Ayyan...aku hanya mencintai Kanha....” Nyai Kirtidha berkata juga dengan penuh rasa pilu “ibu juga tak berdaya.....tapi apa mau dikata..ayahmu sudah setuju dengan lamaran pak lurah....” lalu di tengah kesedihannya itu, Radha mencari cara agar Narayana bisa ke Barsana.

Sementara itu di desa Widarakandha, hati Narayana terasa sakit mendengar kabar pernikahan Ayyan dan Radha. Baginya, cinta Radha bagaikan paruhan jiwanya. Kehilangannya bagaikan separuh jiwanya terenggut. Ketika ia melihat ke langit, seekor burung merpati datang kepadanya. Di kakinya ada sepucuk surat. Ketika Narayana membuka surat itu, tertulislah di sana “Kanha ku yang kusayang dan kasihi, sudah tahukah dikau tentang kabar pernikahanku? Sesungguhnya, jauh dalam relung benak dan hati, aku lebih mencintai dikau lebih dari apapun jua. Tapi keadaanku tak berdaya. Lamaran pak lurah Ugrapada telah datang kepada ayahandaku dan beliau pun bersedia. Mendengar hal demikian, kalbuku remuk redam. Air mataku berderai tak berhenti layaknya hujan. Melarat hati ini untuk menanggung duka lara ini. Hampir musnah warasku karenanya. Aku berharap Kanha ku yang tersayang kemari dan datang, bukan sebagai cinta, tapi sebagai sahabatku yang aku kasihi. Aku mengharap kedatangan dikau untuk menjadi perias di malam pengantinku. Aku ingin menutup kisah prema kita dengan keindahan. Biarkan ratap pilu yang akan menggenang cukup hanya dikau dan aku yang rasakan sahaja. Dari yang Tersayang, Radha.” ketika membaca surat itu, tak terasa oleh Narayana air matanya menggenang lalu mengalir menganak sungai. Campur aduk kalbunya. Para saudara Narayana tak ada yang berani mendekat untuk menenangkannya. Udawa berkata “biarkan dia sejenak....biarkan Kanha tenang sejenak.

Hari pernikahan Ayyan dan Radha hampir tiba. Saat itu masa pingitan dan waktunya mempelai perempuan menentukan siapa perias pengantinnya. Lama sekali Radha menanti kedatangan Narayana untuk menjadi perias pengantinnya namun ia tak kunjung datang. Hal itu membuat Radha semakin sedih dan pilu. Keluarga pun jadi risau dan gundah karena Radha tidak mau dirias oleh orang-orang dari Barsana, tapi hanya pilihannya sendiri meskipun dia orang asing. Lalu datang seorang wanita yang sangat cantik. Semua orang terpana. Maka Radha memutuskan untuk memilih orang asing itu. Nyai Kirtidha menjemputnya. Ia pun bertanya siapa nama wanita itu “ni sanak, kau sangat cantik. Siapakah namamu?” “aku Gopadewi, aku seorang pengelana wanita. Pekerjaanku adalah tukang rias keliling.”nyai Kirtidha bersyukur sekali dan ia menawarkan agar ia mau merias putrinya yang akan menikah. Gopadewi mau-mau saja bahkan bersedia tidak dibayar, dengan syarat apapun yang diinginkan si mempelai harus dituruti oleh keluarganya karena baginya kepuasan dari pelanggan harus diutamakan. Nyai Kirtidha setuju. Ditinggalkannya lah, Gopadewi dan Radha di kamar itu. Gopadewi mulai merias Radha. Di sela-sela merias, Radha berkata dengan hati yang hancur “kakandaku Kanha, kenapa dikau tidak hadir? Apakah dikau benar-benar ingin memutuskan ini. Membiarkan ku teraduk-aduk oleh takdir cinta yang sedih ini.” Gopadewi lalu berkata “siapa Kanha yang kau bicarakan itu, anak manis?” Radha berkata bahwa Kanha adalah cintanya. Dialah cinta pertamanya yang ia cintai bukan hanya secara ragawi melainkan sampai ke rohaninya. Sudah berkali-kali juga Kanha menyelamatkannya dan penduduk desa. Sekarang Radha berpikir bahawa cinta yang ia cintai secara ragawi dan rohani sudah mencabut dan membuang semua cintanya lalu pergi. Tak terasa Gopadewi ikut terharu mendengarnya. “Kanha kakandaku.....apa cinta harus berakhir dengan kepiluan dan kepahitan?” isak Radha. Lalu terdengarlah suara sang kekasih Kanha alias Narayana “cinta ini kadang suka cita, kadang duka lara...aku pun tak berdaya.....namun ku sadar cinta tak mesti bersama.” Radha kaget lalu melihat ke sekeliling. “aku disini Radha. Aku tepat di belakangmu.” Radha menoleh dan hanya mendapati Gopadewi. “ada apa, manisku?” Radha sembari menyeka air matanya lalu berkata “ehh tidak ada apa-apa. Hanya perasaanku saja.” Entah mengapa ketika Gopadewi meriasnya, ia seakan-akan bahawa Kanha yang sedang meriasnya. Singkat cerita,  Hari itu Radha dirias dengan riasan terbaiknya. Gadis yang sudah ayu, kini terlihat semakin comel, molek, nan jelita segera mengakhiri lajangnya. “nah berkacalah, manisku.” Radha dengan kesedihan yang ia tutupi berkata “cantik sekali Gopadewi. Semoga dia akan menantiku di sana bahagia melihatku.” “semoga, manisku. Sekarang cepatlah. Calon pengantinmu sudah menanti.” Ketika di luar, Radha dipuji-puji bak dewi. Kecantikannya memancar luar dalam. Bahkan ibunya hampir tak mengenali anaknya karena memang se-apik itu riasannya. Ketika Nyai Kirtidha hendak memberikan upah kepada Gopadewi, orang yang ia cari langsung menghilang tak berbekas. Radha betanya kenapa ibunya nampak keheranan “ibu ada apa?” “tidak ada, putriku. Sekarang cepatlah kita ke tempat upakara pernikahan.”

Waktu pernikahan pun tiba. Hari itu Radha dan Ayyan bagaikan raja sehari. Datang pula Nanda Antagopa, Nyai Yasodha dan putra-putri mereka.terlihatlah Udawa, Kakrasana, Narayana, Pragota, Rara Ireng, dan Rarasati memakai pakaian terbaik mereka. Namun dibalik penampilan yang anggun dan menawan itu, baik Radha atau pun Narayana menyimpan kesedihannya masing-masing. Yang tidak diketahui Radha bahawa Narayana telah menggenapi janjinya yakni sudah meriasnya dalam penyamarannya sebagai Gopadewi. Ketika prosesi pernikahan dilangsungkan, Radha tak hentinya melihat ke arah hadirin terutama ke arah Narayana.

Elegi sang Narayana
 Di luar ia nampak bahagia, namun dari sinar matanya memancarkan nelangsa. Ketika tiba saatnya mereka melemparkan kelopak-kelopak bunga ke arah pengantin, Narayana nampak tak mampu menahan masygul di hatinya, lalu ia meninggalkan pesta pernikahan itu. Narayana pun duduk di bawah sebuah pohon menangis sendirian. Setelah membiarkan semua kesedihannya tumpah, ia menuangkan semua perasaanya lewat alunan serulingnya yang sangat sendu dan mengharu biru. Alam seakan ikut terlarut dan hanyut dalam nestapa yang Narayana alami. Dedaunan kekeringan dan berguguran. Segala macam kembang dan sekar layu lunglai, burung-burung kedasih berkicau dengan nada yang mengiris relung kalbu, menyanyikan elegi. Maruta nan beku berhembus bak prahara membawa udara kering. Embun pun berubah beku. Hari itu jagat raya ikut mengiringi tembang duka merana sang Kanha.

 


Sabtu, 28 Desember 2024

Banjaran Sri Kresna Episode 5: Keajaiban Tarian Raasaleela

 Hai hai.......Selamat datang kembali....... Btw, kisah kali ini mengisahkan kedekatan Radha dan Kanha (Narayana). Kisah diawali dengan Narayana mengalahkan Watsasura yang menyamar sebagai anak lembu lalu terciptanya Tandhawa Raasaleela, dilanjutkan dengan terbunuhnay Handaka Aristasura, dan  penebusan dosa Narayana dengan mandi tujuh sumber air suci. Kisah diakhiri dengan tarian Raasaleela kembali dipentaskan di hutan Nidhiwana. Kisah ini mengambil sumber Kisah Mahabharata karya Mpu Vyasa, Serial Kolosal India Radha Krishna StarBharat, Serial Animasi Little Krishna, beberapa kitab Purana, blog https://kisahspiritualtaklekangzaman.wordpress.com/2017/07/25/krishna-kecil-memusnahkan-keserakahan-vatsasura-srimadbhagavatam/https://kisahspiritualtaklekangzaman.wordpress.com/2017/08/10/krishna-kecil-keangkuhan-aristasura-mengabaikan-guru-srimadbhagavatam/

Watsasura si Anak Lembu Iblis

Radha semakin penasaran dengan Narayana sejak pertemuannya di sidang pengadilan pencuri pakaian wanita tempo hari. Sepanjang hari ia bersama Rara Ireng mengamati Narayana. Pelan-pelan timbul rasa cinta dalam diri Radha kepada Narayana. Pada sebuah kesempatan, Narayana dan teman-temannya kepergok mencuri kendi dan guci berisi susu, mentega dan minyak ghee (samin). Radha dan Rara Ireng marah melihatnya lalu mendatanginya “Hei! kakang ini! Kembalikan minyak samin dan mentega itu.” Narayana berkelit “ehh..kenapa Radha, aku tidak mencurinya. Aku hanya mengambilkannya untuk temanku, Madhu Manggala.” Rara Ireng lalu mendekat hendak mengambil kendi yang masih utuh. Namun dengan cepat Narayana berkelit mengambil kendi itu “ ehh ehh...adikku yang manis, kamu juga mau, ya?” “apanya yang mau kakang? aku mau mengembalikannya ke bibi Komala. Siniin dong, kakang!”  Narayana menjahili adiknya itu dengan jahil. Lalu ia kabur. Radha dan Rara Ireng kesal lalu mengejar Narayana dan teman-temannya. Kejar-kejaran terjadi hingga masuk ke hutan. Setelah merasa aman, Narayana, Madhu Manggala, dan teman-temannya berpesta makan mentega dan minyak ghee. “kau hebat Narayana. Radha dan adikmu Rara Ireng sudah pasti tidak akan menemukan kendi-kendi ini.” Udawa lalu berkata “ hhhh....Kanha....sudah ya aku tidak akan ikut-ikutan lagi...” Udawa merasa sudah capek dengan kelakuan nakal adiknya “sudahlah kakang Udawa...toh bukan kali ini adhi kita ini melakukannya dan tidak pernah ketahuan. Pokoknya, Kakang Udawa! Kanha!, yuk kita makan.” Seru Kakrasana. Udawa yang tadinya lesu kembali semangat. Mereka pun makan sampai kekenyangan dan mulut belepotan susu. Suara sendawa Narayana terdengar begitu keras. Suara itu rupanya terdengar oleh Radha dan Rara Ireng. Narayana yang merasa kekenyangan lalu merasa telinganya dijewer “aduh! Adududududh.....sakit....tolong jangan jewer’ Narayana menoleh, kaget dia melihat Radha dan rara Ireng. Radha dengan wajah kesal namun sedikit manja “kakang , akan aku adukan ke bibi Komala  karena perbuatanmu!” “ja-jangan Radha...... baiklah baik... aku janji tidak akan mencuri...tolong lepaskan jeweranmu” Radha lalu berkata “ baik..aku tidak akan melaporkan ke bibi Komala. Tapi kau tetap harus di hukum....” Radha lalu berpikir hukuman apa yang pantas untuk Narayana. Lalu ia melihat sebuah pohon mangga yang berbuah banyak dan ranum. “kakang! Lihatlah ke pohon itu. buahnya sudah masak dan ranum. Aku ingin kakang dan kakakng kakrasana mengambil semua buah mangga itu semua tanpa tersisa satu pun. Karena aku aku akan membagikan buah-buah dan membuat sari buah yang enak. Aku akan datang lagi besok petang.” Narayana menyanggupinya “hmm...baiklah Radha...kalau bisa malam ini akan ku ambil semua.” Radha lalu pergi bersama Rara Ireng kembali ke desa. Narayana dan Kakrasana bersama anak-anak lainnya tetap menggembalakan anak-anak lembu di tepi Bengawan Yamuna malam itu. kakrasana lalu bertanya pada adiknya “Kanha, kau yakin akan mengambil hukuman ini?! Memetik dan mengumpulkan mangga di satu pohon besar ini perlu waktu lama lho!” Narayana lalu berkata “tenang saja kakang, kita akan dapat caranya.”

Sementara itu, di Kadipaten Sengkapura, Adipati Kangsa dilanda risau karena bermimpi buruk. Ia bermimpi dibunuh oleh anak sakti yang akan membunuhnya. Kangsa lalu memanggil bawahannya soal kabar Nagasura yang telah ia kirim ke Gokula “Mantri Akrura, bagaimana kabar Nagasura?” Mantri Akrura berkata “maaf tuanku...Nagasura telah dibunuh oleh tiga anak penggembala.” Adipati kangsa murka “Apa?! Terbunuh?! Tak bisa kubiarkan lagi. Semakin menjadi-jadi...” lalu dari luar ruangan datanglah Watsasura, salah satu ajudannya untuk membunuh Narayana. “tuanku tenang saja.....akan aku kelabuhi malaikat kematianmu dan ku habisi, tuanku Adipati.”Watsasura, sang asura lalu berangkat ke Gokula. Ketika sampai, pedukuhan tersebut telah kosong. Lalu ia menyaru sebagai pengembara dan bertanya spada setiap orang yang lewat. Menuruta penuturan orang-orang tersebut, orang-orang Gokula sudah pindah dan membangun desa baru di selatan Barsana yakni Wanua Gobajra. Tak memakai waktu lama lagi, asura itu berangkat ke Gobajra. Lalu Watsasura mencari-cari sang malaikat kematian Kangsa. Lalu ia melihat ada anak-anak penggembala sedang melempari buah mangga. Watsasura bergumam “sepertinya malaikat kematian Kangsa ada diantara anak-anak itu. aku akan berbaur dengannya dan membunuhnya.” Watsasura kemudian mengubah wujudnya menjadi anak lembu dan menyusup bersama rombongan anak lembu yang digembalakan oleh Narayana,

Narayana menunggangi Watsasura
Kakrasana dan teman-temannya. Narayana menggamit Kakrasana, agar memperhatikan anak lembu perwujudan dari Watsasura. “lihat kakang ada anak lembu yang aneh.” “benar Kanha, dia terlihat lebih besar dari biasanya. Sepertinya dia sudah bisa ditunggangi.” Udawa lalu menggetok kepala “kau ini, Kakrasana, ada-ada saja. Mana bisa anak lembu ditunggangi. Kanha adikku, baiknya kau biarkan anak lembu itu...lha mana Kanha?” Narayana yang sedang dinasehati Udawa malah mendekati anak lembu yang tidak biasa itu dan menunggangi punggungnya. Anak lembu jelmaan Watsasura pun meronta-ronta seperti ditimpa beban berat dari Narayana “ aduh...badan anak ini berat banget...punggungku bisa copot.......adudududuhh....jangan-jangan dia ini malaikat kematian Kangsa....ini kesempatan besar.” Seketika Narayana yang berada di punggung anak lembu itu kaget tiba-tiba anak lembu itu mengamuk hendak melemparkannya dari punggungnya. Akibatntya Narayana jatuh. Watsasura melihat kesempatan hendak menyeruduk anak berkulit gelap itu. Narayana cepat berkelit dan menghindar. Anak lembu itu lalu mengaum bukan melenguh seperti anak lembu pada umumnya. Suaranya sangat keras sampai-sampai Radha dan rara Ireng yang berada di Barsana mendengarnya “dinda, dengar suara auman gak?” “iya mbakyu...aku dengar. Suaranya seperti terdengar dari tempat kakang Narayana.” Entah kenapa Radha merasa khawatir dengan keselamatan Narayana. Rara Ireng melihat gelagat itu lalu mengajak Radha ke tempat Narayana dihukum kemarin “ayo mbakyu...kita ke tempat kakang sekarang.”

Sementara itu, pertarungan terjadi semakin sengit. Beberapa kali, anak lembu jelmaan Watsasura itu mengamuk lalu berlarti hendak menanduk Narayana. Untungnya Narayana gesit dan membuat anak lembu itu beberapa kali menabrak pohon mangga. Buah-buahnya yang ranum rontok semua. Udawa, Kakrasana dan para gembala terlihat senang melihat buah-buah itu berjatuhan. Karena semakin kesal, anak lembu mengubah ukuran tubuhnya menjadi raksasa. Dengan ancang-ancang, Watsasura yang sudah di mode terkuatnya menanduk Narayana. Namun Narayana sudah siap dan langsung memegang kaki kanan anak lembu tersebut, memutar-mutarnya dan melemparkannya pada pohon mangga, dan anak lembu jelmaan Watsasura tersebut mati. Radha dan Rara Ireng pun sampai di tempat Narayana “kakang, kami mendengar suara ribut dari jauh. Apa yang terjadi?” “Narayana lalu menyerahkan sekeranjang penuh buah mangga “ini kami memetik mangga-mangga ini.” Udawa lalu menyambung sambil menunjuk ke arah pohon mangga“dan juga berkelahi dengan dia.” Radha dan Rara Ireng melihat tubuh seekor anak lembu raksasa tergeletak di dekat pohon mangga. Keajaiban pun terjadi. Seberkas cahaya tiba-tiba muncul dari anak lembu tersebut kemudian jatuh di kaki Narayana dan kemudian lenyap.

Kemunculan Handaka Aristhasura

Kekuatan luar biasa Narayana telah membuat seisi desa Barsana gempar dan sangat menghormatinya. Namun tidak dengan kelaurga Lurah Ugrapada terutama Nyai Jathila dan anak perempuannya , Niken Kutila. “Kutila lalu berkata pada ibunya “anak keluarga Nanda Antagopa itu memang suka cari-cari perhatian..kalau dibiarkan, kakang Ayyan bisa tidak sukses jadi penerus kepala desa penurus ayahanda Lurah.” “kau benar, anakku. Aku juga benci sekali dengannya. Apa sih yang ia mau? Ayyan Yadawa lalu datang “sudahlah ibu...dinda..untuk apa membenci yang tidak perlu. Aku juga gak berminat menggantikan ayah untuk jadi kepala desa.” Jathila marah mendengarnya lalu ia meminta Ayyan untuk pergi mandi karena habis menggembala lembu. Di saat yang sama, datang seekor banteng liar yang tersasar. Para warga Barsana dan Gobajra khawatir jika banteng ini akan membaut gara-gara maka dengan dipimpin Lurah Ugrapada, Lurah Nanda Antagopa, dan Buyut Wresabanu mereka berama-ramai mengamankan banteng itu lalu banteng dikembalikan itu ke hutan di pinggir desa. “semoga banteng ini tidak mengamuk jika kita kembalikan ke hutan ini.” Tanpa diketahui oleh para penduduk ternyata banteng itu adalah jelmaan dari raksasa suruhan Adipati Kangsa bernama Handaka Aristasura, yang menyaru sebagai banteng”hmmm...aku akan menunggu, sampai sang malaikat kematian Kangsa datang kemari. Dia harus membayar hutang nyawa kakakku Watsasura”  Handaka Aristasura membaur bersama para banteng dan sapi liar menanti kesempatan yang bagus.

Tarian Raasaleela

Pada suatu hari di musim semi yang indah, Endang Radha, Rara Ireng dan Rarasati diiringi para gopika sedang bermain di hutan untuk mencari bunga buat dijadikan karangan bunga. “lihat Rara Ireng, karangan bunga ku cantik, kan?” Rara Ireng memuji sambil menggoda Radha “wah cantik sekali, Mbakyu. Saat pesta pekan raya nanti kau akan jadi yang paling cantik. Aku jamin kakang Narayana pasti klepek-klepek sama mbakyu.” Muka Radha menjadi merah padam berseri tanda malu lalu ia tertawa. Rarasati lalu menimpali “aduh..mbakyu Radha. Jangan dengarkan mbakyu Rara Ireng. Dia hanya menggodamu. Nah...lihat karangan bungaku juga. Gimana Mbakyu Radha? Mbakyu Rara Ireng?”  lalu datang penggembala-penggembala nakal membuat kacau hutan. Udawa, Kakrasana, Narayana dan Pragota ada di sana untuk mengawasi mereka. “Endang Radha lalu mendekati Narayana untuk menasehatinya“kakang! Aduh...lihatlah. taman bunga dan karangan bunga ini jadi rusak gara-gara lembu-lembu sapimu dan teman-teman nakalmu. Pokoknya tanggung jawab deh”

Tarian Raasaleela
Narayana lalu meminta maaf kepada Radha dan lainnya “baiklah, aku akan bertanggungjawab tapi tolong jangan panggil aku kakang. Panggil saja namaku, Kanha” “baik kakang eh maksudku Kanha.” Narayana dan teman-temannya segera membereskan kekacauan yang mereka buat. Lalu Narayana meniup serulingnya dengan alunan nada yang indah nan merdu. Para penggembala dan para gopika menari-nari dengan gemulai. Narayana dan Radha pun ikut menari bersama. Keduanya ibarat Batara Kamajaya dan Batari Ratih yang menarikan tarian cinta asmaradana dengan diiringi teman-teman mereka yang saling melemparkan bubuk warna-warni. Tarian cinta itu dikenang sebagai Tandhawa Raasaleela atau Rasamandala. Bunga-bunga berjatuhan dan pepohonan bersemi dengan indah seakan mewarnai dunia cinta Radha dan Kanha. Lalu Udawa, Kakrasana, Pragota, Ayyan dan teman-teman lainnya membuatkan sebuah ayunan, tempat dimana Radha dan Narayana bisa duduk bersama. Rara Ireng, Rarasati dan para gopika menghias ayunan itu dengan berbagai tanaman dan bunga-bunga yang indah.Setelah jadi, Kanha dan Radha duduk disana sembari saling menggamit tangan masing-masing Keduanya saling bertelekan di ayunan yang bagai dipan itu. Indah bagaikan sepasang pengantin dewata.

Amuk Handaka Aristasura

Kebetulan juga di hutan itu banteng jelmaan Handaka Aristasura sedang istirahat. Kakrasana dan Pragota yang asik makan madu bunga menyenggol tubuh si banteng . Banteng itu seketika mengamuk. Banteng itu seketika lepas kendali dan menyeruduk siapa saja di hadapannya. Untung bagai para gembala dan gopika, mereka berhasil menhindar. Namun, masalah berikutnya terjadi. Banteng itu menuju ke Gobajra dan Barsana. Para penduduk dalam bahaya. Para gembala mendatangi Narayana, meminta tolong agar dapat mengatasi banteng tersebut. Endang Radha dan Rara Ireng coba mencegah Narayana “jangan, Kanha...nanti kau bisa terbunuh.” Narayana berkata “mungkin kau benar, Radha, tapi aku tidak bisa membiarkan desa dalam bahaya.” Narayana diikuti Udawa, Pragota, Kakrasana dan Ayyan Yadawa segera kembali ke desa Barsana dan Gobajra.

Hal yang ditakuti para gembala pun terjadi. Banteng jelmaan Aristasura juga menyerang Gobajra dan Barsana. Orang-orang dibuat kalang kabut. Beberapa pohon di tepi jalan dirobohkannya. Napasnya mendengus-dengus mengerikan mengeluarkan uap yang panas, rumah-rumah di sana berguncang akibat kaki banteng yang dihentak-hentakkan. Saat demikian, Nyai jathila dan adik Ayyan, Kutila jatuh ketika berlari. Sang banteng merasa paling perkasa dan berbuat sesuai dengan kehendaknya. Melihat ada dua wanita terjatuh tak berdaya, Aristasura berlari kesana hendak menyeruduk mereka. Ayyan pun berlari menyelematkan ibu dan adiknya. “Ayaan sambil memohon “tolong banteng perkasa. Jangan sakiti ibu dan adikku.” Tapi Aristasura tetap berlari tak peduli. Disaat yang tepat, Narayana mendatangi banteng tersebut, menghadangnya.

Narayana mengalahkan Aristasura
Banteng itu berhenti seketika terkejut melihat anak berkulit gelap di hadapannya memiliki aura dewa di belakangnya. Banteng itu dengan jemawanya “ hei anak kecil, sepertinya kau orang yang ku cari selama ini. Akan ku obrak-abrik seisi desa ini lalu kau akan ku habisi!” Narayana dengan lantang berkata, “Kamu hanya menakut-nakuti wanita, anak-anak, dan para gembala yang tidak bersalah. Hadapilah aku sebelum kau hancurkan desa ini!” Narayana kemudian bertarung dengan Aristasura. Narayana sangat lincah sehingga merepotkan Aristasura. Narayana kemudian menangkap tanduknya dan saling dorong pun terjadi dengan hebatnya. Tanah berguncang menciptakan kepulan debu dimana-mana. Kemudian Narayana mengoyang-goyangkan tanduk tersebut, sehingga Aristasura terombang-ambing. Selanjutnya Narayana mencabut kedua tanduk tersebut dan memukul banteng tersebut dengan tanduk yang sudah berada di tangan Narayana. Sang banteng pun mati.

Setelah banteng raksasa itu tiada, Narayana benar-benar disambut bak pahlawan desa. Akan tetapi, salah satu orang disana tampak tidak suka, yakni Nyai Jathila dan Kutila. Kutila berkata dengan penuh kebencian “para Warga! Apa kalian tidak salah? Kalian Menjadikan Anak Nanda Ini Sebagai Pahlawan?” para penduduk bertanya “Apa Salahnya, Kutila?Jathila? Narayana sudah menyelamatkanmu dan kita semua?” Jathila lalu maju dan berkata dengan nada yang seakan menusuk dengan dalil-dalilnya “Putra Nanda dan Yasodha Ini Telah Membuat Kesalahan tak Termaafkan. Meski dia menghabisi seorang Raksasa, tapi tetap Raksasa itu wujudnya Banteng! Sapi Jantan Dewasa! Dan sudah Menjadi Ketentuan di Kitab-Kitab, Membunuh Sapi Adalah Dosa Besar. Narayana Membunuh Banteng itu Maka Dia telah melakukan Dosa Besar. Dewa Akan Murka Pada kita!” para penduduk menjadi ragu. Narayana pun lalu berdiri lalu berkata dengan nada yang lembut “Bibi, jika keadaan mendesak, manusia akan melakukan apapun demi mempertahankan hidupnya, meskipun artinya harus melawan apa yang menjadi aturan dan nilai-nilai di masyarakat. ” Narayana lalu melanjutkan ucapannya “tapi jika bibi menganggap aku berdosa karena membunuh raksasa banteng itu, baiklah. Saya tidak masalah jika saya dianggap melakukan dosa. Aku akan melakukan penebusan dosa di Bengawan Yamuna besok pagi.” Niken Kutila menolak usulan itu “hah? Mandi saja di Yamuna? Itu tidak cukup. Dosamu itu besar tau! Jangan Main-Main dengan Dosa!” Nyai Jathila menyabarkan anaknya itu lalu berkata kepada Narayana “apa yang dikatakan anakku Benar Adanya. Dosamu sangat besar, tak cukup berendam di Yamuna. Menurut Kitab-Kitab, Untuk Menebus Dosamu, Kau Harus Berendam di Tuju Sungai Suci di Seluruh Jawadwipa dan Hindustan.” Narayana dengan percaya diri setuju “baiklah, bibi Jathila. Aku akan mandi dengan tujuh air sungai suci itu.”  maka ia pergi untuk melakukan penebusan dosa. Nyai Yasodha sampai tak kuat menahan kepergian putra kesayanagnnya itu.

Sendang Radha Kundha dan Shyama Kundha

Ketika Narayana di barat hutan Goloka, datang Radha mencegah kepergian Narayana lebih jauh “Kanha, tunggu. Jangan pergi dulu. Perjalanan mandi tujuh air sungai suci memakan waktu yang sangat lama, penuh rintangan dan petaka yang menanti. Tolong Kanha, jangan pergi...aku tak sanggup kehilanganmu!” Radha memohon dengan sangat, bahkan ia sudah membawa cangkul dan timba kayu untuk membuat sendang dan mengalirkan air bengawan Yamuna. Dihadapan Narayana, Radha mencangkul tanah hingga membuat ceruk seperti parit penghalang agar Narayana tidak pergi. Narayana lalu berkata “Radha, siapa yang bilang aku akan pegi untuk menuju sungainya. Aku bisa membawa seluruh sungai suci itu ke hutan ini.” Radha berkata “Kanha, ya ampun. Sudah jangan bercanda.” “Radha, aku juga tidak bercanda. Sebaiknya kau amati saja apa yang terjadi.” Radha meskipun tidak paham, ia percaya apa yang dilakukan Kanha pasti terjadi. Narayana pun duduk di atas batu mulai bersemadi semaantara Radha berada di dekat Narayana dengan terus membuatkan sendang-sendang kecil lalu ia isi air. Air yang tertampung lalu diminum siapapun yang lewat. Hewan, manusia, bahkan bangsa halus dengan senang hati meminum air itu. Namun sekian hari berlalu, musim dingin yang bersamaan dengan bencana kemarau semakin panjang, air yang tertampung di sendang-sendang kecil buatan Radha semakin habis. Air di Yamuna juga semakin surut.

Asal muasal Sendang Shyama Kundha dan Radha Kundha
Maka ia langsung berdo’a “ya Hyang Widhi...pelayananku membantu Kanha menyucikan diri haruskah berhenti? Aku mohon petunjuk-Mu.”

Di kala Radha berdoa itulah, tiba-tiba datang suara gemuruh dari dalam tanah, lalu memancarlah tujuh sumber mata air seperti air mancur raksasa. Dari atas pancuran muncul tujuh sosok wanita yang sangat cantik. Pancuran pertama memperlihatkan wujud Dewi Gangga, sang bidadari penjaga bengawan Gangga “aku Gangga, putri Prabu Himawan, raja gunung.” Lalu pancuran kedua yakni muncul Dewi Kaweri, penjaga bengawan Kaweri “aku Kaweri, aku terlahir atas permintaan tuanku Brahma sendiri.” Di pancuran ketiga yakni Dewi Godhawari, penjaga bengawan Godhawari “aku Godhawari, airku amat manis, semanis dirimu.” Pancuran keempat yakni Dewi Sindhu, penjaga bengawan Sindhu “akulah bengawan Sindhu, airku membawa dan menyucikan segala peradaban agung.” Pancuran kelima Batari Saraswati, isteri Batara Brahma sekaligus penjaga bengawan Saraswati “aku Saraswati, aku selalu terhubung dengan kitab Weda dan Batara Wisnu.” Pancuan keenam yakni Dewi Narmada yang menjaga Bengawan Narbada “Aku Dewi Narmada, air ku bersumber langsung dari tubuh tuanku Hyang Guru Pramesthi.” Dan pancuran terakhir ialah Dewi Yami atau Yamuna, sang penjaga Bengawan Yamuna “dan aku yang menjadi kebanggaanmu, Yamuna putri batara Surya, Dewa matahari. Silahkan masuk ke airku maka aku akan tersucikan.” Setelah ke tujuh dewi sungai memperkenalkan diri, mendadak tujuh air mancur itu berkumpul mengisi sendang-sendang kecil buatan Radha. Airnya bahkan membanjiri hutan. Desa Barsana dan Gobajra ikut kebanjiran. Teman-teman Narayana pun melihat arah banjir itu bersal dari Hutan Goloka. Mereka pun segera mendatangi hutan itu. Radha yang khawatir lalu membangunkan Narayana “Kanha bangunlah...hentikan banjir ini.” Narayana pun bangun dari semadinya lalu menapakkan kakinya ke air itu. seketika banjir pun berhenti. Radha pun mengajak Narayana ke sendangnya yang kini penuh air lalu mensucikan Narayana disana. Udawa, Kakrasana, Rarasati, Pragota, Rara Ireng, dan teman-teman mereka melihat keajaiban itu merasa sangat gembira. Bencana yang menimpa desa sudah berhenti dan kini Narayana juga sudah suci dari dosa-dosanya. Setelah keluar dari sendang buatan Radha, muncul lagi satu sendang di sebelahnya. Air pun mengalir ke sendang buatan Narayana itu. Kelak sendang buatan Radha akan dipanggil Radha Kundha dan sendang yang tercipta ketika Narayana menapakkan kaki setelah mentas dari sendang Radha Kundha diberi nama Shyama Kundha.

Banke Bihari
Setelah mensucikan diri, Narayana, Radha, dan teman-temannya pergi ke hutan Nidhiwana dan menari bersama. Kembali menarikan tarian cinta Raasaleela yang indah. Menari-nari bak kupu-kupu di waktu malam. Malam itu seolah-olah antara Radha dan Kanha bersatu dalam cinta yang indah. Tarian indah menggema di tiga tempat : Nidhiwana, Goloka, dan Gowardhana. Karena itu, Narayana juga disebut sebagai Banke Bihari yang bermakna membungkukkan diri di tiga tempat.