Kamis, 28 Februari 2019

Remuknya sebuah Janji : Sucitra-Kumbayana


Halo guyss. Kali ini saya mengisahkan kisah hidup Prabu Drupada sebelum menjadi Raja Pancala dan mantan sahabtnya, seorang yang kelak menjadi menjadi guru ilmu perang para Pandawa dan Kurawa. dia adalah Resi Dorna yang semasa muda bernama Bambang Kumbayana. Dikisahkan pula, perginya Kumbayana dari jazirah Atasangin menyusul Sucitra, lahirnya putra Resi Dorna yaitu Bambang Aswatama yang ajaib dan kisah ditutup dengan pengembaraan Resi Dorna ke berbagai negeri di pulau Jawa hingga sampai ke Hastinapura. Sumber dari kisahini berasal dari Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa yang dipadukan dengan Kitab Pustakaraja Purwa karya Raden Ngabehi Ronggowarsito dan serial kolosal Indonesia Karmapala karya Imam Tantowi

Syahdan, di jazirah Atasangin hidup lah sepasang resi bersaudara sepupu, Resi Arya Durpara dan Resi Baradwaja. Mereka adalah putra dan keponakan Prabu Maruta, raja Hargajambangan, keturunan kesekian dari Batara Brahma dari putranya Bambang Bremara. mereka lari dari kerajaan itu karena kerajaan hancur terkena bencana alam. Dahulu kala, kedua resi muda itu dimintai bantuan Prabusepuh Baharata, raja pertama Hastinapura untuk membantu kelahiran canggahnya, Raden Dewamurti yang kelak menjadi Prabu Pratipa, ayah Prabu Sentanu. Karena rasa syukurnya, Prabu Baharata berdoa kepada dewata agar dua resi muda yang telah membantunya itu dikaruniai umur panjang sehingga bila mereka memiliki putra, putra mereka kelak bisa mengabdi pada Hastinapura setelah tujuh raja berganti. Doa dari seorang raja saleh terkabul dan setelah bertahun-tahun lamanya, akhirnya dua resi itu mendapatkan seorang putra. Resi Arya Durpara berputra Bambang Sucitra dan Resi Baradwaja berputra Bambang Kumbayana. Karena Resi Durpara sudah meninggal sejak Sucitra masih kecil, maka Sucitra dibesarkan Resi Baradwaja bersama Kumbayana dan berguru padanya pula. Keakraban dan persahabatan mereka bagai saudara kandung. Susah senang mereka jalani bersama. Sucitra bahkan berjanji pada Kumbayana“Kumbayana, persahabatan kita telah abadi. Apapun yang kau inginkan, aku juga ingin. Kelak bila aku mendapatkan kemuliaan, akan aku berikan separuh kemuliaan itu denganmu, sahabatku.” Kumbayana tersentuh dan akan selalu mengingat janji itu sehingga pada suatu ketika, Sucitra merantau ke pulau Jawa karena mendapat wangsit dari dewata untuk berguru pada Prabu Pandu Dewanata, raja Hastinapura yang ketujuh.
Kumbayana disebrangkan oleh Kuda Sembrani
Bambang Kumbayana yang masih di jazirah Atasangin melanjutkan berguru ilmu perang, ilmu seni bersenjata, dan memanah pada Batara Ramabargawa, guru Maharesi Bhisma sehingga menjadi ahli strategi perang, pemanah sakti mandraguna, dan pandai menggunakan senjata kedewataan yang lain. Pada suatu hari, dirinya mendengardari para kafilah dagang bahwa Sucitra telah mendapat kemuliaan dan menjadi raja di Pancalaradya bergelar Prabu Drupada. Dirinya berniat untuk bertolak ke Pulau Jawa untuk menyusul sahabatnya itu. Perjalanan sampai ke tepi laut cukup panjang hingga berbulan-bulan. Akhirnya sampailah Kumbayana di pinggir pantai namun tak terlihat satupun perahu atau kapal melintas. 
Kumbayana merasa putus asa dan mengucapkan sebuah janji “haii siaapun yang di bumi ini, bantulah aku ke sebrang laut ini dan akan kuberi imbalan yang setimpal. Siapapun yang mau menyebrangkan aku ke pulau Jawa, kalau dia laki-laki akan kujadikan saudara dan bila perempuan akan ku jadikan istriku”. Tak lama kemudian, datanglah seekor kuda sembrani putih*1turun dari langit. Sang kuda meringkik memberikan isyarat agar Kumbayana naik ke punggungnya. Setelah naik, sang kuda sembrani segera terbang melintasi samudera menuju pulau Jawa.
Walau terbang, nyatanya perjalanan tetap melelahkan dan membuat Kumbayana suntuk sehingga dia tertidur pulas. Di dalam tidurnya, Kumbayana bertemu seorang perempuan cantik bernama Dewi Krepi. Mimpi itu membuat dirinya menggerayangi sang kuda dan air mani Kumbayana menetes terbawa angin lalu masuk ke alat kelamin kuda sembrani. Selama perjalanan itu, sang kuda sembrani hamil. Ketika sampai di daratan pulau Jawa, sang kuda jatuh terduduk. Kumbayana terkejut ketika memeriksa kelamin kuda itu, ternyata sang kuda adalah kuda betina ”Asta....ga, Gusti Jagad dewa Batara, kuda yang kunaiki betina? Bunting? Mau melahirkan pula? Aduuhhh pusing, pusing kepalaku. Ngomong apa aku pada Sucitra kalau aku kawin dengan kuda?” Walaupun bingung dan malu, namun sebagai balas budi, Kumbayana tetap membantu sang kuda melahirkan. Keajaiban terjadi, bukan anak kuda yang keluar tapi bayi manusia. Hanya suara tangisannya mirip ringkikan kuda. Segeralah digendong putranya yang baru lahir itu. Sang kuda sembrani yang masih nampak lemah tiba-tiba berubah menjadi seorang wanita cantik. Sang wanita itu kemudan memperkenalkan diri sambil meraih putranya dari tangan Kumbayana
Bambang Aswatama,Putra Kumbayana dan Dewi Wilotama
“Kakang Kumbayana, perkenalkan, aku Wilotama. Aku adalah kuda sembrani yang sudah kau perlakukan aku sebagai istri walau hanya dalam waktu singkat. Aku sebenarnya bidadari yang terkena kutuk pasu menjadi kuda sembrani. Aku hanya bisa badar ke wujud asliku bila melahirkan bayi manusia...... Maafkan aku, kakang. aku tak bisa memberikan air susuku untuk putra kita. Aku harus segera kembali ke Kahyangan. Namai putra kita Bambang Aswatama dan carilah istri untuk bisa menjadi ibu susu untuk putra kita........dan atas restu juga keinginanku, siapapun jodoh kakang walau dia perawan tua sekalipun, dia akan menjadi istri dan ibu yang baik bagi kakang dan putra kita. Aku pamit, kakang Kumbayana. Penyelamat hidupku” Dewi Wilotama mengembalikan bayi Aswatama kepada Kumbayana lalu segera terbang kembali ke kahyangan. Kumbayana seakan tak mendapatkan kesempatan bicara hanya bisa pasrah melihat sang istri meninggalkannya.
Tak ingin berlarut dalam kesedihan, Kumbayana dan bayi Bambang Aswatama kembali melanjutkan perjalanannya hingga tibalah mereka di sebuah bukit. Di kaki bukit itu, terdapat sebuah hutan yang di tengahnya terdapat tanah lapang yang disekelilingnya terdapat sebuah taman bunga alami yang dihiasi bunga-bunga angsoka lima macam warnanya.”Hmm tempat yang asri sekali. Sejuk mataku memandang. Aku putuskan akan membangun rumah disini dan mendirikan padepokan.” Baru saja sampai tempat itu, datanglah sepasang kakak beradik lelaki perempuan. Yang lelaki nampak berwajah awet muda walaupun usianya tak lagi muda belia namun dan yang perempuan sama juga, wajahnya cantik meskipun usianya sudah 30 tahun.
Keluarga Sokalima
Mereka tidak lain adalah Mpu Krepa dan Dewi Krepi. Mpu Krepa datang mendapat wangsit dewata untuk membawa kembar perempuannya itu ke taman bunga soka lima warna untuk menemui seseorang bernama Kumbayana. Mpu Krepa pun memperkenalkan diri pada Kumbayana“ Permisi tuan, apa anda bernama Kumbayana? Perkenalkan, saya Mpu Krepa dan ini saudari saya, Krepi. Kami putra dan putri Raja Purungaji yang mengabdi di Hastinapura. Saya mendapat wangsit dewata untuk membawa saudari saya menemui saudara Kumbayana” Kumbayana dan Dewi Krepi yang saling bertemu pandang sama-sama tersipu malu. Kumbayana tersipu malu karena pernah bertemu dengannya di dalam mimpi. Tanpa pikir panjang, Kumbayana melamar Dewi Krepi “ Krepi, sebenarnya aku malu. Aku duda beranak satu. Tapi aku berusaha menepis rasa malu ini. Maukah kau menjadi pendamping hidupku?” “hihihi, kakang. Sebenarnya aku sudah mencintaimu dalam mimpi-mimpiku jadi buat apa aku menolakmu. Apapun cacat kekurangan kakang, akan ku terima apa adanya” Dewi Krepi pun mengiyakan dan segera melangsungkan pernikahan beberapa hari kemudian. Disela-sela kebahagian itu, Kumbayana juga menamai padepokan yang telah ia bangun. Karena di bangun di dekat taman bunga angsoka lima warna, maka padepokannya itu dinamai padepokan Sokalima.
Selama bertahun-tahun, mahligai rumah tangga Kumbayana berjalan amat harmonis. Bambang Aswatama yang pertumbuhannya cepat kini sudah beranjak remaja. Namun pada suatu hari di saat musim dingin, persediaan makanan dan susu sudah menipis sedangkan sapi-sapi milik Kumbayana sedang tak produktif. Teringatlah Kumbayana terhadap janji Sucitra padanya dahulu. Baru dia tahu bahwa Sokalima berada di dekat perbatasan negara Pancalaradya. Bermodalkan janji Sucitra hari itu, Kumbayana datang ke keraton Pancalaradya.
Kebetulan sekali, Prabu Drupada sedang ada penghadapan di keraton dihadiri Arya Gandamana dan Patih Drestaketu, para menteri dan punggawa. Disela-sela acara tiba-tiba datanglah Kumbayana menyelonong tanpa permisi dulu dan memanggil Prabu Drupada dengan seenaknya layaknya masih di jazirah Atasangin sambil memeluk Drupada “ Sucitra, hebat kamu sekarang. Tak sekedar jadi orang kaya tapi raja satu negara. Ini aku, Kumbayana, sahabat karibmu. Aku mau minta satu ekor sapi perah untuk padepokanku...hahahaha. Inilah namanya putaran Cakra Manggilingan. Derajatmu naik ke atas sedangkan aku....tersungkur ke bawah.....hahahaha.... tapi tak apa, kau tetap sahabatku...hahaha....kau pernah berjanji akan  membagi kemuliaanmu disini...hahaha” melihat tingkah Kumbayana yang tidak tahu sopan santun, Prabu Drupada merasa malu lalu melepaskan pelukan Kumbayana dan menjawab ketus“Siapa kamu? Lancang!Tidak sopan! Datang-datang tanpa permisi dan memanggilku seenaknya. Aku ini raja, tahu. Kau mau seekor sapi? Tak masalah, akan kuberi 100 ekor sapi sebagai sedekah padamu!!!” Bak disambar petir,Kumbayana terkejut dengan pernyataan Prabu Drupada lalu memaki-makinya “heii Sucitra, kau tidak kenal aku. Aku Kumbayana, sahabat karibmu. Aku datang kemari untuk menagih janjimu padaku. Jangan sombong karena kau diatas, aku dibawah. Aku juga tak serendah itu sampai meminta sedekah, Sucitra. Rupanya kacang telah lupa kulit, sama sepeti dirimu”. Prabu Drupada langsung membentak Kumbayana“ Heii orang goblok. Keluar dari sini!!” “ tidak akan, Sucitra. Penuhi janjimu padaku”. Arya Gandamana yang sudah gerah melihat iparnya dimaki-maki oleh orang asing langsung menyambar tubuh Kumbayana lalu membawanya keluar keraton dan menghajarnya tanpa ampun.
Kumbayana dihajar Arya Gandamana
Kumbayana berusaha membalas namun pukulan Arya Gandamana terlalu mantap. Akibat dihajar Arya Gandamana, wajah dan tubuh Kumbayana menjadi cacat dan penuh luka. Kedua matanya menjadi sipit dan sulit terbuka lebar, tangan kirinya patah dan meninggalkan cacat, hidungnya juga remuk dan membengkok. Prabu Drupada dan Patih Drestaketu berusaha melerai Arya Gandamana “Raden Gandamana, sudahlah. Tahan amarahmu. Jangan lampiaskan kemarahanmu pada Arya Suman kepadanya. Biarkan aku yang mengurusnya. Prajurit, bawa Kumbayana keluar gerbang” “tidak perlu, tuan Drestaketu. Saya bisa jalan sendiri dan kamu Sucitra maksudku Gusti Prabu Drupada, akan ku balas penghinaanmu dan sakit hatiku lewat anak muridku nanti. Ingat itu.” Kumbayana pun berjalan tertatih-tatih kembali ke Sokalima.
Dewi Krepi dan Bambang Aswatama yang menyambut Kumbayana terkejut melihat wajah dan tubuhnya penuh luka dan lebam. Mereka berdua dibantu para cantrik berusaha mengobati. Setelah beberapa hari. Kumbayana sembuh namun tetap saja tangan kirinya pernah patah membuat sendi pergelangan tangannya menjadi mengsle*2. Luka-luka di wajahnya sudah sembuh namun matanya tetap saja sulit terbuka lebar dan hidungnya akan selamanya bengkok. Karena kini wajah dan tubuhnya telah dicederai dan dinistakan hingga menjadi cacat, Kumbayana yang telah madeg pandita mengganti namanya menjadi Resi Dorna yang artinya “telah ternistakan”. Setelah sembuh. Resi Dorna memutuskan untuk mengembara ke negara lain untuk mencari kemuliaan dengan caranya sendiri. Lama sekali dia mengembara sehinggalah dia sampai di Hastinapura.
*1 Kuda Sembrani adalah kuda dalam mitologi Jawa yang digambarkan memiliki sayap besar dan bisa terbang dengan cepat. Kuda ini konon hanya dimiliki para dewa dan para raja sakti. Nama kuda sembrani bahkan menjadi inspirasi nama kereta api di Indonesia, yaitu KA Sembrani.
*2 mengsle maksudnya bergeser, berpindah dari tempat yang seharusnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar