Hai readers yang udah setia menunggu, kali ini saya akan menceritakan kisah kelahiran Panegak Pandawa yaitu,Raden Arya Bima yang tidak biasa dan kisah kelahiran para Kurawa yang ajaib dan menyebabkan huru-hara di Hastinapura. Lalu, kisah ditutup dengan kelahiran Prabu Arya Jayadrata, salah satu sekutu Kurawa yang kisah kelahirannya misterius. Kisah ini adalah penggabungan lakon Bima Lahir dan Bima Bungkus dari Kitab Pustakaraja Purwa, yang akhirnya saya satukan, dikembangkan lagi, dan diselaraskan dengan Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa.
Berita
tentang Prabu Pandu Dewanata telah mendapatkan seorang putra dan Dewi Kunthi
yang sudah hamil kembali membuat Maharesi Bhisma, Adipati Dretarastra, Patih
Gandamana, dan Arya Widura di Hastinapura merasa gembira. Maharesi Bhisma
kemudian memerintahkan Arya Widura dan Patih Gandamana untuk menjemput Prabu
Pandu sekeluarga dan Ki Lurah Semar untuk kembali ke Hastinapura. Arya Suman
yang menguping pembicaraan mereka segera melapor kepada kakaknya, Dewi Gendari
yang kini usia kandungannya sudah tiga belas bulan. Sungguh kehamilan tak wajar.“Gawat,
Kakang mbok. Pandu dan sekeluarga sudah memiliki seorang putra dan kini Kunthi
telah hamil lagi.mereka akan segera boyong kembali lagi ke keraton. Ini ancaman
bagi rencana kita” Dewi Gendari di kamarnya merasa tertekan mendengar berita
itu ditambah lagi dengan dirinya yang tak kunjung melahirkan, membuat dirinya
semakin stres dan Adipati Dretarastra semakin tak acuh padanya sehingga ia diam-diam menikahi Nyai Sugada, dayang-dayang Dewi Gendari. Dewi Gendari
lalu mengusir adiknya itu “Sudahlah, rayi. Pergilah! Jangan ganggu aku! Pikiranku sudah pusing sekarang ini” tanpa membantah, Arya Suman pergi dari
kamar kakaknya itu.
Setelah
menutup pintu kamar, karena segala tekanan dan stres karena dirinya tak kunjung
melahirkan, Dewi Gendari kemudian marah-marah tak jelas sambil memukul-mukul
kandungannya “kau bayi sialan! Kapan kau lahir?! Jangan siksa aku seperti ini!
Jangan siksa ibumu ini, nak!”. Tiba-tiba setelah memukul-mukul kandungannya, Dewi
Gendari mengerang kesakitan karena kandungannya berontak. Suara teriakannya
membuat terkejut seisi penghuni keraton. Adipati Dretarastra dituntun Arya
Suman segera mendatangi istrinya itu. Benar saja, sang istri akan melahirkan.
Adipati Dretarastra dan Arya Suman yang menunggu di luar kamar harap-harap
cemas. Tak lama kemudian, Dewi Gendari melahirkan, tapi yang dia lahirkan bukan
berwujud bayi manusia melainkan seonggok daging besar berwarna merah yang
mengembang-mengempis layaknya bernafas.
Dewi
Gendari yang melihat pemandangan semacam itu merasa ngeri dan kecewa. Lalu
onggokan daging itu dibanting lalu di injak-injak sambil berteriak “Kau telah
mempermainkanku, dewata. Aku mengharapkan putra, bukan onggokan daging ini”. Saking kesalnya, Dewi Gendari terus menginjak dan membanting onggokan daging yang kembang kempis itu. Awalnya onggokan daging itu terbelah dua tapi Dewi
Gendari terus menginjak-injak, membanting, dan menendangnya kesana-kemari hingga onggokan
daging itu hancur berselerak di seluruh kamar menjadi seratus potong. Dewi
Gendari kemudian jatuh dan menangis keras. Adipati Dretarastra datang dan
kemudian menenangkan istrinya itu. Kebetulan, Maharesi Abiyasa dan Prabu Pandu
yang baru datang, membantunya mengumpulkan potongan daging itu. Maharesi
Abiyasa mengingatkan Gendari “ Anakku, Gendari. Dewata agung tidak sedang
mempermainkanmu, malah telah mengabulkan permintaanmu. Kau pernah mengharapkan
keturunan yang banyak. Ingat anakku, keturunan yang banyak tidak langsung
ujug-ujug jadi begitu saja. Dewata membentuk keturunanmu dalam wujud benih ini.
Nah, Pandu. bantu aku cari seratus helai daun talas.”. Prabu Pandu dibantu para
emban mencabut seratus helai daun talas di tamansari. Keseratus onggokan daging
itu dibungkus daun talas lalu oleh Maharesi Abiyasa ditaruh di dalam seratus
gentong susu. “Gendari, sekarang anak-anakmu akan ku taruh di dalam gentong
ini. Jika Hyang Widhi berkehendak, mereka akan lahir dalam waktu 2 bulan. Harap
bersabarlah”. Dewi Gendari menuruti apa yang dikatakan mertuanya itu. Setelah
meletakkan keseratus daun talas berisi potongan daging ke dalam gentong,
Maharesi Abiyasa meruwat mereka dan dia mendapat penglihatan bahwa kelak
keseratus potong daging ini akan menjadi sumber malapetaka dunia dan akan
bermusuhan dengan para putra Pandu. Setelah Maharesi Abiyasa dan semua orang pergi,
Dewi Gendari tetap di kamar menunggui seratus gentong itu.
Dua
bulan setelah kepulangan Prabu Pandu kembali Ke Hastinapura dan Maharesi
Abiyasa meruwat seratus potongan daging yang dilahirkan Dewi Gendari, kandungan
Dewi Kunthi yang belum cukup bulannya tiba-tiba berontak dan sepertinya akan
segera lahir. Prabu Pandu dan Dewi Madrim segera membantu Dewi Kunthi merapal
Aji Punta Wekasing Rahsa Tunggal. Dewi Kunthi segera merapal ajian itu sambil
menyebut nama Batara Bayu.
Tiba-tiba Batara Bayu muncul dihadapan mereka.
Batara Bayu kemudian membantu persalinan Dewi Kunthi. Kemudian bersamaan dengan
datangnya angin kencang, lahirlah sang bayi, namun bayi itu lahir dalam keadaan
yang tidak biasa, yakni dalam kondisi terbungkus selaput ketuban. Prabu Pandu
berusaha membuka bungkus itu namun Bathara Bayu mencegah. “Anakku, Pandu. Putramu yang sekarang
terbungkus ini akan kuanugerahi kekuatan, kesaktian, dan keperkasaan yang
dahsyat melebihi manusia pada umumnya. Dia akan menjadi pembela kebenaran dan
pelindung bagi saudara-saudaranya. Kelak bila saatnya tiba, akan ada makhluk dewata
yang akan membantu putramu keluar dari bungkusnya. Sekarang letakkan bayi
bungkusmu di tengah hutan Mandalasara. Anggaplah putramu yang satu ini bertapa
brata” Setelah memberikan anugerahnya, Batara Bayu pun kembali ke kahyangan.
Prabu Pandu sebenarnya tidak tega meletakkan bayinya itu tapi karena ini
perintah langsung dari dewa, tanpa pikir panjang dia mengutus patihnya,
Gandamana untuk meletakkan putranya yang kedua itu. Sebelum berpisah dengan
sang putra, Prabu Pandu Dewanata memberinya nama Raden Arya Bima yang artinya si
dahsyat dan Dewi Kunthi memberinya nama Raden Bhimasena.
Kelahiran Raden Arya Bima |
Pada
malam harinya, tiba-tiba langit di atas Hastinapura diliputi mendung hitam dan
petir menyambar-nyambar. Angin bertiup sangat kencang. Badai dan hujan turun dengan lebatnya. Semua binatang
di sekitar keraton, baik jinak maupun liar bersuara tidak karuan. Bahkan anjing
dan serigala hutan melolong ketakutkan. Bunga-bunga di taman keraton layu tanpa
sebab bahkan Keraton Hastinapura sempat digoncang gempa. Prabu Pandu, Arya
Widura, dan Maharesi Bhisma merasa heran. Di waktu yang sama pula salah satu
gentong yang berisi potongan daging yang dilahirkan Dewi Gendari pecah dan
keluar seorang bayi bertubuh besar. Saat Adipati Dretarastra menggendong putra
pertamanya itu, sang bayi menangis karena melihat tangan ayahnya bergerak.
Adipati Dretarastra merasa sangat senang karena putranya tidak tunanetra seperti
dirinya. “Hari ini, putra tertuaku akan kuberi nama Suyudana.” Dewi Gendari
juga menambahkan nama pada Suyudana “aku, ibu dari putraku ini, akan kuberi dia
nama Kurupati”. Begitulah, setelah kelahiran kelahiran Raden Arya Bima dan
Raden Suyudana, pada setiap harinya, keluarlah bayi-bayi dari dalam gentong, adik-adik Raden Suyudana. Gentong kedua pun pecah dan dari dalam gentong, keluarlah seorang bayi dengan wajah tertawa-tawa.
Oleh Adipati Dretarastra diberi bayi
itu nama Arya Dursasana. Pada hari berikutnya keluarlah dua bayi, lalu diberi
nama Raden Citraksa dan Raden Citraksi. Lalu pada hari yang sama lahir pula
satu bayi bertubuh gempal, diberi nama Arya
Durmagati. Lalu di hari esoknya lagi, keluar tiga bayi dan diberi nama Arya
Kartamarma, Raden Wikarna, dan Arya Gardapati. Lalu di hari berikutnya keluar
lagi satu bayi dan diberi nama Arya Bogadenta. Begitulah setiap hari, keluarlah
bayi dalam gentong itu dan gentong terakhir pun pecah. Keluarlah seorang bayi
perempuan. Dewi Gendari yang mengharapkan seorang putri merasa sangat gembira
dan oleh ayahnya, diberi nama Dewi Durshilawati. Bersamaan dengan lahirnya Durshilawati, lahir pula putra Adipati Dretarastra dengan Nyai Sugada dan diberi nama Arya Wiwitsu. Demikianlah, kini genaplah
anak-anak Adipati Dretarastra berjumlah seratus satu. Oleh paman mereka, Arya Suman,
seratus bersaudara itu diberi julukan Kurawa yang artinya anak-anak Kuru (nama
kecil Adipati Dretarastra).
Lahirnya Raden Suyudana dari dalam gentong |
Tiga
tahun kemudian dan bersamaan dengan kehamilan Dewi Kunthi yang ketiga kali,
Patih Gandamana dan Arya Widura diperintahkan Prabu Pandu untuk menjemput
bungkus Arya Bima karena dia mendapat wangsit bahwa sang putra kedua akan
segera keluar dari bungkusnya. Tanpa ba-bi-bu lagi, mereka segera menuju hutan
Mandalasara. Tanpa sadar, Arya Suman menguntit mereka dan telah sampai lebih
dulu di tempat Arya Bima. Arya Suman merasa bahwa kelak Arya Bima ini akan
menjadi sandungan bagi keponakan-keponakannya meraih takhta, jadi dia harus membunuhnya
sekarang. Baru saja hendak melaksanakan niat buruknya itu, tiba-tiba si bungkus berguling-guling
ke arahnya dan mengejarnya kesana kemari hingga membuat keributan besar. Arya
Suman dan orang-orang suruhannya pun berhamburan dan mengurungkan niatnya.
Setelah
si bungkus diam, datang lah Batara Bayu, Gajah Sena*1, dan Batari
Durga. Mereka datang untuk memberikan berkah pada Arya Bima dan membantu Arya
Bima keluar dari bungkus. Didalam bungkus, Arya Bima yang sudah tumbuh menjadi
anak-anak bersemedi. Batara Bayu dan Batari Durga pun masuk kedalam bungkus.
Batara bayu memberikan berkah berupa kekuatan dan keperkasaan. Selain itu,
Batara Bayu memberikan senjata berupa Kuku Pancanaka*2. Setelah itu
Batari Durga memberikan sebuah kain sakral dan berbagai pakaian untuk Arya
Bima, yaitu kain Poleng Bang Bintulu Aji*3, sanggul rambut berbentuk
Garuda membelakang, Sumping Surengpati, Kalung Nagasasra, kain Cindhe Udaraga,
dan gelang Kelat Bahu Candrakirana. Semua pakaian itu dipakaikan pada Arya
Bima.
Berkah dewata untuk Arya Bima |
Setelah
Batari Durga keluar, sebelum kembali ke kahyangan, Batara Bayu memerintahkan
Gajah Sena untuk menghancurkan bungkus. Si Gajah Sena menginjak-nginjak,
membanting, dan mengoyak si bungkus dengan gadingnya. Begitu bungkusnya robek,
Arya Bima segera keluar lalu menyerang Gajah Sena. Begitu Arya Bima mematahkan kedua gading Gajah Sena, seketika itu
pula, Gajah Sena menghilang dan berubah menjadi cahaya, kemudian cahaya itu
masuk ke dalam tubuhnya dan bersatu jiwa raga dengannya . Tak hanya itu, gading sang gajah ikut musnah dan
menyatu dengan Kuku Pancanaka nya. Tak lama kemudian datanglah ki Lurah Semar,
Patih Gandamana, dan Arya Widura. Arya Bima kemudian menyerang Patih Gandamana
dan Arya Widura. Patih Gandamana terkejut “kok aneh? Anak ini kok bisa
menyerangku dan tenaga dalamnya besar begini? Siapa kamu, nak?” Arya Bima menjawab
dengan gayanya yang lugas “kamu kan temennya Si Gajah tadi? Kamu pasti mau
bunuh aku? Kalo bener, aku layani!!”.
Arya Bima melawan Gajah Sena |
Di
tempat lain, di kerajaan Sindhu Banakeling, rajanya yang bernama Praburesi
Sempani dan istrinya, Ratna Drata sedang bersemedi memohon pada dewata agar
dikaruniai seorang pewaris takhta. Tiba-tiba datang wangsit dewata “ Sempani!
Drata!bangunlah karena akan datang sarana kalian untuk bisa berputra. Bila kau
menemukan selaput bayi bungkus di laut, ambil dan rendam didalam tampungan air
hujan lalu minum dengan bungkus itu juga”. Tiba-tiba Praburesi Sempani dan
Ratna Drata terbangun dan segera pergi ke pantai. Benar saja, mereka menemukan
sebuah selaput bayi bungkus. Mereka lalu membawanya ke istana lalu merendamnya
sehari semalam di dalam wadah berisi air hujan. Keesokannya mereka meminum air
rendaman bungkus itu sebelum berhubungan badan. Ajaib, sebulan kemudian, Ratna
Drata hamil.
Sembilan
bulan berlalu begitu cepat, tibalah hari persalinan sang istri. Praburesi
Sempani yang menungguinya tertidur dan mendapat penglihatan bahwa bungkus bayi
yang mereka temukan tempo hari itu milik putra Prabu Pandu Dewanata yaitu Arya
Bima Bratasena. Sang prabu terkejut dan langsung terbangun. Lalu seketika
terdengarlah tangisan bayi dari dalam kamar bersalin. Ratna Drata melahirkan seorang
anak laki-laki yang sehat. Praburesi Sempani yang segera memasuki kamar merasa
bahagia sekali. “anakku ini ku beri nama, Bambang Jayadrata” Ratna Drata merasa
bangga akan nama itu dan menambahkan nama lagi sambil menangis bahagia “untuk
mengenangnya, karena kita menemukan sarananya untuk lahir di pinggir laut, aku
akan memberinya nama Arya Tirtanata. Semoga kau akan selalu berjaya, anakku.”.
Untuk merayakan kelahiran putra mereka, diselenggarakanlah pesta selapanan
selama tujuh hari-tujuh malam di istana Sindhu Banakeling.
*1 Gajah Sena adalah
gajah peliharaan Batara Bayu. Awalnya, Gajah Sena adalah manusia bernama
Senarudra yang terkena tulah karena menghina Batara Ganesa yang berkepala gajah
saat melawan melawan Prabu Nilarudrakala. Setelah wujudnya berubah, Gajah Sena diampuni
dan oleh Batara Guru, diperintahkan menjadi abdi Batara Bayu.
*2 Kuku Pancanaka adlah
dua belah kuku jempol panjang yang setajam pedang. Di kalangan para dewa, hanya
Batara Bayu yang memiliki kuku ini. Kuku ini juga dimiliki oleh para tokoh
Kadang Tunggal Bayu, yaitu orang yang pernah berguru, dibantu kelahirannya,
atau sesama anak angkat Batara Bayu. Contohnya Kapi Hanoman dan Arya Bima.
*3 Kain poleng Bang
Bintulu Aji adalah kain bermotif kotak-kotak. Biasanya hanya berwarna hitam dan
putih, tapi terkadang juga berwarna hitam, putih, kuning, dan merah. Kain ini
hanya dipakai oleh para dewa, terutama Batara Bayu dan Kadang Tunggal Bayu. Di
pewayangan Sunda, kain ini juga dipakai oleh Semar (Ismaya). Lambang warna
merah, hitam, kuning dan putih pada sebagian versi bermakna empat nafsu
manusia,yaitu amarah (pelampiasan emosi negatif), aluamah( nafsu badaniah), supiah(nafsu seks,
birahi, dan hedonisme), dan mutmainah (spiritualisme, kesucian). Ada pula yang
mengatakan merupakan lambang empat unsur alam, yaitu air, bumi/tanah, api, dan
udara.
*4 Aji Bayu Bajra adalah
ajian andalan Batara Bayu dan para Kadang Tunggal bayu. Ajian ini mirip dengan aji
Sepiangin, yakni mampu membuat pemakainya bisa berlari sekencang angin dan
menciptakan angin topan, hanya saja ajian ini lebih dahsyat karena mampu mengumpulkan
seluruh kekuatan angin pada kepalan tangan sehingga bila terjadi adu pukul/tanding
dengan tangan kosong, pukulan tersebut bisa menjadi sangat mantap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar