Minggu, 17 Februari 2019

Gonjang-ganjing di Hastinapura : Lahirnya Bima dan Para Kurawa


Hai readers yang udah setia menunggu, kali ini saya akan menceritakan kisah kelahiran Panegak Pandawa yaitu,Raden Arya Bima yang tidak biasa dan kisah kelahiran para Kurawa yang ajaib dan menyebabkan huru-hara di Hastinapura. Lalu, kisah ditutup dengan kelahiran Prabu Arya Jayadrata, salah satu sekutu Kurawa yang kisah kelahirannya misterius. Kisah ini adalah penggabungan lakon Bima Lahir dan Bima Bungkus dari Kitab Pustakaraja Purwa, yang akhirnya saya satukan, dikembangkan lagi, dan diselaraskan dengan Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa.

Berita tentang Prabu Pandu Dewanata telah mendapatkan seorang putra dan Dewi Kunthi yang sudah hamil kembali membuat Maharesi Bhisma, Adipati Dretarastra, Patih Gandamana, dan Arya Widura di Hastinapura merasa gembira. Maharesi Bhisma kemudian memerintahkan Arya Widura dan Patih Gandamana untuk menjemput Prabu Pandu sekeluarga dan Ki Lurah Semar untuk kembali ke Hastinapura. Arya Suman yang menguping pembicaraan mereka segera melapor kepada kakaknya, Dewi Gendari yang kini usia kandungannya sudah tiga belas bulan. Sungguh kehamilan tak wajar.“Gawat, Kakang mbok. Pandu dan sekeluarga sudah memiliki seorang putra dan kini Kunthi telah hamil lagi.mereka akan segera boyong kembali lagi ke keraton. Ini ancaman bagi rencana kita” Dewi Gendari di kamarnya merasa tertekan mendengar berita itu ditambah lagi dengan dirinya yang tak kunjung melahirkan, membuat dirinya semakin stres dan Adipati Dretarastra semakin tak acuh padanya sehingga ia diam-diam menikahi Nyai Sugada, dayang-dayang Dewi Gendari. Dewi Gendari lalu mengusir adiknya itu “Sudahlah, rayi. Pergilah! Jangan ganggu aku! Pikiranku sudah pusing sekarang ini” tanpa membantah, Arya Suman pergi dari kamar kakaknya itu.
Setelah menutup pintu kamar, karena segala tekanan dan stres karena dirinya tak kunjung melahirkan, Dewi Gendari kemudian marah-marah tak jelas sambil memukul-mukul kandungannya “kau bayi sialan! Kapan kau lahir?! Jangan siksa aku seperti ini! Jangan siksa ibumu ini, nak!”. Tiba-tiba setelah memukul-mukul kandungannya, Dewi Gendari mengerang kesakitan karena kandungannya berontak. Suara teriakannya membuat terkejut seisi penghuni keraton. Adipati Dretarastra dituntun Arya Suman segera mendatangi istrinya itu. Benar saja, sang istri akan melahirkan. Adipati Dretarastra dan Arya Suman yang menunggu di luar kamar harap-harap cemas. Tak lama kemudian, Dewi Gendari melahirkan, tapi yang dia lahirkan bukan berwujud bayi manusia melainkan seonggok daging besar berwarna merah yang mengembang-mengempis layaknya bernafas.
Dewi Gendari yang melihat pemandangan semacam itu merasa ngeri dan kecewa. Lalu onggokan daging itu dibanting lalu di injak-injak sambil berteriak “Kau telah mempermainkanku, dewata. Aku mengharapkan putra, bukan onggokan daging ini”. Saking kesalnya, Dewi Gendari terus menginjak dan membanting onggokan daging yang kembang kempis itu. Awalnya onggokan daging itu terbelah dua tapi Dewi Gendari terus menginjak-injak, membanting, dan menendangnya kesana-kemari hingga onggokan daging itu hancur berselerak di seluruh kamar menjadi seratus potong. Dewi Gendari kemudian jatuh dan menangis keras. Adipati Dretarastra datang dan kemudian menenangkan istrinya itu. Kebetulan, Maharesi Abiyasa dan Prabu Pandu yang baru datang, membantunya mengumpulkan potongan daging itu. Maharesi Abiyasa mengingatkan Gendari “ Anakku, Gendari. Dewata agung tidak sedang mempermainkanmu, malah telah mengabulkan permintaanmu. Kau pernah mengharapkan keturunan yang banyak. Ingat anakku, keturunan yang banyak tidak langsung ujug-ujug jadi begitu saja. Dewata membentuk keturunanmu dalam wujud benih ini. Nah, Pandu. bantu aku cari seratus helai daun talas.”. Prabu Pandu dibantu para emban mencabut seratus helai daun talas di tamansari. Keseratus onggokan daging itu dibungkus daun talas lalu oleh Maharesi Abiyasa ditaruh di dalam seratus gentong susu. “Gendari, sekarang anak-anakmu akan ku taruh di dalam gentong ini. Jika Hyang Widhi berkehendak, mereka akan lahir dalam waktu 2 bulan. Harap bersabarlah”. Dewi Gendari menuruti apa yang dikatakan mertuanya itu. Setelah meletakkan keseratus daun talas berisi potongan daging ke dalam gentong, Maharesi Abiyasa meruwat mereka dan dia mendapat penglihatan bahwa kelak keseratus potong daging ini akan menjadi sumber malapetaka dunia dan akan bermusuhan dengan para putra Pandu. Setelah Maharesi Abiyasa dan semua orang pergi, Dewi Gendari tetap di kamar menunggui seratus gentong itu.
Dua bulan setelah kepulangan Prabu Pandu kembali Ke Hastinapura dan Maharesi Abiyasa meruwat seratus potongan daging yang dilahirkan Dewi Gendari, kandungan Dewi Kunthi yang belum cukup bulannya tiba-tiba berontak dan sepertinya akan segera lahir. Prabu Pandu dan Dewi Madrim segera membantu Dewi Kunthi merapal Aji Punta Wekasing Rahsa Tunggal. Dewi Kunthi segera merapal ajian itu sambil menyebut nama Batara Bayu.
Kelahiran Raden Arya Bima
Tiba-tiba Batara Bayu muncul dihadapan mereka. Batara Bayu kemudian membantu persalinan Dewi Kunthi. Kemudian bersamaan dengan datangnya angin kencang, lahirlah sang bayi, namun bayi itu lahir dalam keadaan yang tidak biasa, yakni dalam kondisi terbungkus selaput ketuban. Prabu Pandu berusaha membuka bungkus itu namun Bathara Bayu mencegah.  “Anakku, Pandu. Putramu yang sekarang terbungkus ini akan kuanugerahi kekuatan, kesaktian, dan keperkasaan yang dahsyat melebihi manusia pada umumnya. Dia akan menjadi pembela kebenaran dan pelindung bagi saudara-saudaranya. Kelak bila saatnya tiba, akan ada makhluk dewata yang akan membantu putramu keluar dari bungkusnya. Sekarang letakkan bayi bungkusmu di tengah hutan Mandalasara. Anggaplah putramu yang satu ini bertapa brata” Setelah memberikan anugerahnya, Batara Bayu pun kembali ke kahyangan. Prabu Pandu sebenarnya tidak tega meletakkan bayinya itu tapi karena ini perintah langsung dari dewa, tanpa pikir panjang dia mengutus patihnya, Gandamana untuk meletakkan putranya yang kedua itu. Sebelum berpisah dengan sang putra, Prabu Pandu Dewanata memberinya nama Raden Arya Bima yang artinya si dahsyat dan Dewi Kunthi memberinya nama Raden Bhimasena.
Pada malam harinya, tiba-tiba langit di atas Hastinapura diliputi mendung hitam dan petir menyambar-nyambar. Angin bertiup sangat kencang. Badai dan hujan turun dengan lebatnya. Semua binatang di sekitar keraton, baik jinak maupun liar bersuara tidak karuan. Bahkan anjing dan serigala hutan melolong ketakutkan. Bunga-bunga di taman keraton layu tanpa sebab bahkan Keraton Hastinapura sempat digoncang gempa. Prabu Pandu, Arya Widura, dan Maharesi Bhisma merasa heran. Di waktu yang sama pula salah satu gentong yang berisi potongan daging yang dilahirkan Dewi Gendari pecah dan keluar seorang bayi bertubuh besar. Saat Adipati Dretarastra menggendong putra pertamanya itu, sang bayi menangis karena melihat tangan ayahnya bergerak. Adipati Dretarastra merasa sangat senang karena putranya tidak tunanetra seperti dirinya. “Hari ini, putra tertuaku akan kuberi nama Suyudana.” Dewi Gendari juga menambahkan nama pada Suyudana “aku, ibu dari putraku ini, akan kuberi dia nama Kurupati”. Begitulah, setelah kelahiran kelahiran Raden Arya Bima dan Raden Suyudana, pada setiap harinya, keluarlah bayi-bayi dari dalam gentong, adik-adik Raden Suyudana. Gentong kedua pun pecah dan dari dalam gentong, keluarlah seorang bayi dengan wajah tertawa-tawa.
Lahirnya Raden Suyudana dari dalam gentong
Oleh Adipati Dretarastra diberi bayi itu nama Arya Dursasana. Pada hari berikutnya keluarlah dua bayi, lalu diberi nama Raden Citraksa dan Raden Citraksi. Lalu pada hari yang sama lahir pula satu  bayi bertubuh gempal, diberi nama Arya Durmagati. Lalu di hari esoknya lagi, keluar tiga bayi dan diberi nama Arya Kartamarma, Raden Wikarna, dan Arya Gardapati. Lalu di hari berikutnya keluar lagi satu bayi dan diberi nama Arya Bogadenta. Begitulah setiap hari, keluarlah bayi dalam gentong itu dan gentong terakhir pun pecah. Keluarlah seorang bayi perempuan. Dewi Gendari yang mengharapkan seorang putri merasa sangat gembira dan oleh ayahnya, diberi nama Dewi Durshilawati. Bersamaan dengan lahirnya Durshilawati, lahir pula putra Adipati Dretarastra dengan Nyai Sugada dan diberi nama Arya Wiwitsu. Demikianlah, kini genaplah anak-anak Adipati Dretarastra berjumlah seratus satu. Oleh paman mereka, Arya Suman, seratus bersaudara itu diberi julukan Kurawa yang artinya anak-anak Kuru (nama kecil Adipati Dretarastra).
Tiga tahun kemudian dan bersamaan dengan kehamilan Dewi Kunthi yang ketiga kali, Patih Gandamana dan Arya Widura diperintahkan Prabu Pandu untuk menjemput bungkus Arya Bima karena dia mendapat wangsit bahwa sang putra kedua akan segera keluar dari bungkusnya. Tanpa ba-bi-bu lagi, mereka segera menuju hutan Mandalasara. Tanpa sadar, Arya Suman menguntit mereka dan telah sampai lebih dulu di tempat Arya Bima. Arya Suman merasa bahwa kelak Arya Bima ini akan menjadi sandungan bagi keponakan-keponakannya meraih takhta, jadi dia harus membunuhnya sekarang. Baru saja hendak melaksanakan niat buruknya itu, tiba-tiba si bungkus berguling-guling ke arahnya dan mengejarnya kesana kemari hingga membuat keributan besar. Arya Suman dan orang-orang suruhannya pun berhamburan dan mengurungkan niatnya.
Setelah si bungkus diam, datang lah Batara Bayu, Gajah Sena*1, dan Batari Durga. Mereka datang untuk memberikan berkah pada Arya Bima dan membantu Arya Bima keluar dari bungkus. Didalam bungkus, Arya Bima yang sudah tumbuh menjadi anak-anak bersemedi. Batara Bayu dan Batari Durga pun masuk kedalam bungkus.
Berkah dewata untuk Arya Bima
Batara bayu memberikan berkah berupa kekuatan dan keperkasaan. Selain itu, Batara Bayu memberikan senjata berupa Kuku Pancanaka*2. Setelah itu Batari Durga memberikan sebuah kain sakral dan berbagai pakaian untuk Arya Bima, yaitu kain Poleng Bang Bintulu Aji*3, sanggul rambut berbentuk Garuda membelakang, Sumping Surengpati, Kalung Nagasasra, kain Cindhe Udaraga, dan gelang Kelat Bahu Candrakirana. Semua pakaian itu dipakaikan pada Arya Bima.
Setelah Batari Durga keluar, sebelum kembali ke kahyangan, Batara Bayu memerintahkan Gajah Sena untuk menghancurkan bungkus. Si Gajah Sena menginjak-nginjak, membanting, dan mengoyak si bungkus dengan gadingnya. Begitu bungkusnya robek, Arya Bima segera keluar lalu menyerang Gajah Sena. Begitu Arya Bima mematahkan kedua gading Gajah Sena, seketika itu pula, Gajah Sena menghilang dan berubah menjadi cahaya, kemudian cahaya itu masuk ke dalam tubuhnya dan bersatu jiwa raga dengannya . Tak hanya itu, gading sang gajah ikut musnah dan menyatu dengan Kuku Pancanaka nya. Tak lama kemudian datanglah ki Lurah Semar, Patih Gandamana, dan Arya Widura. Arya Bima kemudian menyerang Patih Gandamana dan Arya Widura. Patih Gandamana terkejut “kok aneh? Anak ini kok bisa menyerangku dan tenaga dalamnya besar begini? Siapa kamu, nak?” Arya Bima menjawab dengan gayanya yang lugas “kamu kan temennya Si Gajah tadi? Kamu pasti mau bunuh aku? Kalo bener, aku layani!!”. 
Arya Bima melawan Gajah Sena
Serangan Arya Bima dan Patih Gandamana yang sama-sama disertai Aji Bayu Bajra*4 sangat mantap hingga menyebabkan angin topan. Angin topan itu menerbangkan apa saja, begitu juga selaput bungkus Arya Bima hingga ke tengah laut. Kemudian Ki Lurah Semar melerai mereka “Raden ini pasti berhasil keluar dari bungkus? Raden, aku perkenalkan ini pamanmu, Arya Widura dan ini orang kepercayaan ayahmu, Gandamana dan aku pamomong ayahmu. Namaku Semar”Kemudian Semar menjelaskan pada Arya Bima siapa orangtua dan saudaranya. Arya Bima kemudian memberi salam dengan gaya lugasnya “salam, paman berdua. Maaf tadi aku gak tahu. Aku pikir paman berdua temennya si gajah Sena yang menyerangku”. Singkat cerita, Arya Bima berhasil diajak pulang oleh Patih Gandamana dan Arya Widura ke Hastinapura. Prabu Pandu merasa lega melihat putra keduanya berhasil keluar dari bungkusnya dengan selamat. Atas rasa syukurnya, Prabu Pandu memberi nama tambahan untuk putranya itu, yakni Arya Bratasena karena telah melakukan tapa brata sejak lahir.
Di tempat lain, di kerajaan Sindhu Banakeling, rajanya yang bernama Praburesi Sempani dan istrinya, Ratna Drata sedang bersemedi memohon pada dewata agar dikaruniai seorang pewaris takhta. Tiba-tiba datang wangsit dewata “ Sempani! Drata!bangunlah karena akan datang sarana kalian untuk bisa berputra. Bila kau menemukan selaput bayi bungkus di laut, ambil dan rendam didalam tampungan air hujan lalu minum dengan bungkus itu juga”. Tiba-tiba Praburesi Sempani dan Ratna Drata terbangun dan segera pergi ke pantai. Benar saja, mereka menemukan sebuah selaput bayi bungkus. Mereka lalu membawanya ke istana lalu merendamnya sehari semalam di dalam wadah berisi air hujan. Keesokannya mereka meminum air rendaman bungkus itu sebelum berhubungan badan. Ajaib, sebulan kemudian, Ratna Drata hamil.
Sembilan bulan berlalu begitu cepat, tibalah hari persalinan sang istri. Praburesi Sempani yang menungguinya tertidur dan mendapat penglihatan bahwa bungkus bayi yang mereka temukan tempo hari itu milik putra Prabu Pandu Dewanata yaitu Arya Bima Bratasena. Sang prabu terkejut dan langsung terbangun. Lalu seketika terdengarlah tangisan bayi dari dalam kamar bersalin. Ratna Drata melahirkan seorang anak laki-laki yang sehat. Praburesi Sempani yang segera memasuki kamar merasa bahagia sekali. “anakku ini ku beri nama, Bambang Jayadrata” Ratna Drata merasa bangga akan nama itu dan menambahkan nama lagi sambil menangis bahagia “untuk mengenangnya, karena kita menemukan sarananya untuk lahir di pinggir laut, aku akan memberinya nama Arya Tirtanata. Semoga kau akan selalu berjaya, anakku.”. Untuk merayakan kelahiran putra mereka, diselenggarakanlah pesta selapanan selama tujuh hari-tujuh malam di istana Sindhu Banakeling.

*1 Gajah Sena adalah gajah peliharaan Batara Bayu. Awalnya, Gajah Sena adalah manusia bernama Senarudra yang terkena tulah karena menghina Batara Ganesa yang berkepala gajah saat melawan melawan Prabu Nilarudrakala. Setelah wujudnya berubah, Gajah Sena diampuni dan oleh Batara Guru, diperintahkan menjadi abdi Batara Bayu.
*2 Kuku Pancanaka adlah dua belah kuku jempol panjang yang setajam pedang. Di kalangan para dewa, hanya Batara Bayu yang memiliki kuku ini. Kuku ini juga dimiliki oleh para tokoh Kadang Tunggal Bayu, yaitu orang yang pernah berguru, dibantu kelahirannya, atau sesama anak angkat Batara Bayu. Contohnya Kapi Hanoman dan Arya Bima.
*3 Kain poleng Bang Bintulu Aji adalah kain bermotif kotak-kotak. Biasanya hanya berwarna hitam dan putih, tapi terkadang juga berwarna hitam, putih, kuning, dan merah. Kain ini hanya dipakai oleh para dewa, terutama Batara Bayu dan Kadang Tunggal Bayu. Di pewayangan Sunda, kain ini juga dipakai oleh Semar (Ismaya). Lambang warna merah, hitam, kuning dan putih pada sebagian versi bermakna empat nafsu manusia,yaitu amarah (pelampiasan emosi negatif), aluamah( nafsu badaniah), supiah(nafsu seks, birahi, dan hedonisme), dan mutmainah (spiritualisme, kesucian). Ada pula yang mengatakan merupakan lambang empat unsur alam, yaitu air, bumi/tanah, api, dan udara.
*4 Aji Bayu Bajra adalah ajian andalan Batara Bayu dan para Kadang Tunggal bayu. Ajian ini mirip dengan aji Sepiangin, yakni mampu membuat pemakainya bisa berlari sekencang angin dan menciptakan angin topan, hanya saja ajian ini lebih dahsyat karena mampu mengumpulkan seluruh kekuatan angin pada kepalan tangan sehingga bila terjadi adu pukul/tanding dengan tangan kosong, pukulan tersebut bisa menjadi sangat mantap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar