Minggu, 03 Maret 2019

Perebutan Cupu Lenga Tala


Halo gengs, tulisan kali ini mengisahkan perebutan cupu ajaib warisan Pandu Dewanata diantara Pandawa dan Kurawa muda. Dikisahkan pula bagaimana asal mula Patih Arya Sengkuni menjadi manusia sakti yang kebal pada senjata dan kemunculan Resi Dorna di Hastinapura dan menjadi guru ilmu perang disana. Dalam versi India baik kitab maupun dalam serial kolosal di India, dikisahkan Pandava dan Kaurava muda bukan saling berebut cupu melainkan berebut sebuah bola yang jatuh ke dalam sumur. Sumber yang saya pakai untuk kisah kali ini berasal dari Kitab Pustakaraja Purwa, serial kolosal Indonesia Karmapala karya Imam Tantowi, dan blog-blog pedalangan lalu saya padukan dengan isi Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa.
Di Hastinapura, Prabu Dretarastra dihadap Maharesi Bhisma, Patih Arya Sengkuni, Mpu Krepa, dan Arya Widura. Mereka membicarakan tentang para Pandawa dan Dewi Kunthi yang kini tinggal di Saptarengga dan kelulusan para pangeran Hastinapura setelah belajar ilmu tatanegara dari Mpu Krepa. Prabu Dretarastra ingin memanggil pulang Pandawa dan ibu mereka ke Hastinapura untuk membicarakan suatu hal penting. Prabu Dretarastra juga terpikir pada pusaka Pandu Dewanata, adiknya, yaitu cupu berisi Lenga Tala yang kini disimpan oleh ayahnya, Maharesi Abiyasa. Dia ingin membaginya pada para Pandawa karena para Pandawa sudah mulai dewasa. Untuk itu, Arya Widura ditunjuk oleh Prabu Dretarastra menjadi duta penjemputan Dewi Kunthi, Para Pandawa, dan Maharesi Abiyasa. Kemudian berangkatlah Arya Widura ke Saptarengga.
Sesampainya disana, Para Pandawa dan para punakawan sedang berlatih perang-perangan dan Dewi Kunthi sedang berdoa di sanggar. Semar kemudian menyambut Arya Widura ”Salam, ndoro Widura. Ada angin apa datang kemari” “ begini kakang Semar. Aku datang ingin menjemput Kakang mbok Dewi Kunthi dan para Pandawa. Ada hal penting yang harus dibicarakan dengan kakang Prabu Dretarastra” Semar kemudian mengantar Arya Widura. Para Pandawa tergopoh-gopoh menghormat pada Arya Widura “salam hormat, Paman!” Arya Widura segera membangunkan para Pandawa. Puntadewa kemudian bertanya” Ada angin apa yang membuat paman Arya Widura datang kesini?”  “ begini, ngger. kedatanganku kemari untuk menjemput kalian pulang. Kembali ke Hastinapura. Tidak pantas seorang permaisuri dan putra raja pergi mengasingkan diri sedangkan raja pengganti merasa keberatan akan keputusan itu” Bratasena kemudian menjawab “hoo, Paman. Kami mengasingkan diri bukan karena sedih, tapi karena kami ingin melatih diri untuk menjadi linuwih, bener gak, adikku, Pinten, Tangsen?” seloroh Bratasena membuat Pinten dan Tangsen tertawa“heehehe, iya betul kakang Bratasena. Ibu Kunthi selalu mengajarkan untuk tidak terlalu lama bersedih karena itu akan melemahkan hati”  “dan akan membuat orang menjadi depresi saja, paman” Arya Widura merasa bangga melihat perkembangan psikis keponakan-keponakannya itu. Permadi kemudian mempersilakan pamannya itu menemui ibunya.” Ibu, kemari bu. Ini ada paman Arya Widura datang berkunjung.” Dewi Kunthi segera menyambut iparnya itu. Permadi dipersilahkan untuk keluar oleh Dewi Kunthi. Kemudian Arya Widura menjelaskan pada Dewi Kunthi pesan dari Prabu Dretarastra. Dewi Kunthi merasa sudah saatnya para Pandawa kembali lagi ke istana. Akhirnya, Dewi Kunthi, Ki Lurah Semar, dan para Pandawa bersedia kembali ke Hastinapura. Dijemput pula Maharesi Abiyasa di Padepokan Saptaharga untuk ikut rapat di Hastinapura.
Di Hastinapura, patih Arya Sengkuni menyusun strtegi untuk mendapatkan pusaka Lenga Tala itu tanpa menimbulkan keributan yang tidak perlu. Kemudian datanglah rombongan Maharesi Abiyasa, Arya Widura, Dewi Kunthi, Para Pandawa dan Ki lurah Semar. Kedatangan mereka disambut bak raja yang baru menang perang oleh para kawula dan rakyat Hastinapura. Meriah sekali. Setelah para kawula Hastina pergi kembali ke tugas mereka masing-masing, para Pandawa dipersilahkan masuk ke kesatriyan oleh Arya Widura. Pada suatu hari, karena Arya Bratasena lapar dan kebetulan belum jam makan siang di keraton, maka para Pandawa menuju ke kebun buah Hastina untuk mengambil buah jambu yang ada disana. Sesampainya disana, mereka beristirahat sejenak di bawah pohon sawokecik. Beberapa saat kemudian, Ki Lurah Semar datang dan melihat wajah bendaranya tampak kusut lesu “lho, lho, ndoro Pandawa sekalian, kenapa kalian nampak lesu? Loyo dan di wajah kalian seperti ada kegalauan. Sepertinya kalian banyak pikiran.” Puntadewa menjawab “ iya, Ki Lurah, entah kenapa sejak kami kembali ke Hastina rasanya kami seperti orang asing. Berbeda sekali saat kami di Saptarengga, kami bisa menjadi diri kami sendiri, bisa berbuat baik dan menjalankan dharma kepada sesama. Sedangkan, sejak kami kembali, untuk keluar beteng baluwerti saja kami seakan orang asing yang harus diwaspadai. Rasa-rasanya seperti berbuat baik disini adalah hal langka dan tabu” Ki Lurah Semar menjelaskan “ndoro sekalian, berbuat baik tidak harus dengan kawula di luar keraton, coba lihatlah di dalam keraton. Banyak abdi dalem, dayang-dayang, pembantu yang setiap hari harus mengerjakan ini dan itu dibawah tekanan kebijakan raja entah mereka suka atau terpaksa. Mereka butuh dibela dan diperhatikan nasibnya.” “tapi Ki Lurah, kami sudah mencoba hal itu, tapi kami malah dituduh yang bukan-bukan oleh saudara-saudara kami para Kurawa. Kami dianggap hendak membuat keonaran di dalam beteng jero.”
Ki lurah Semar melanjutkan “ndoro, perbuatan baik bukan untuk dinanti, tapi dijalani. Dalam berbuat baik bukan hanya harus setulus merpati, tapi juga harus secerdik kancil. Kita harus pandai-pandai berbuat baik tanpa harus mengeruhkan suasana. Tidak ada ceritanya perbuatan baik berhenti hanya karena cibiran sana-sini. Ingat, ndoro, sebenarnya tidak ada penghalang dalam menjalankan dharma kebaikan. Keragu-raguan lah satu-satunya penghalang.” Setelah itu,Ki Lurah Semar menghilang kembali ke desa Karang Tumaritis.
Pertengkaran Pandawa dan Kurawa karena buah jambu
Para Pandawa merasa kata-kata Ki Lurah Semar benar. Karena perut Bratasena dan yang lainnya sudah keroncongan, mereka kembali mencari pohon jambu itu. Lalu sampailah mereka di pohon jambu yang dimaksud. Tak disangka, rupanya Raden Suyudana, Arya Dursasana, dan adik-adiknya sudah di tempat itu dan memakan buah jambu di atas pohon. Arya Bratasena yang dari tadi merasa lapar berusaha meminta secara baik-baik“kakang Suyudana, Dursasana. Aku minta buah jambunya. Laper nihh” Suyudana dan adik-adiknya menyusun rencana untuk mempermainkan Pandawa“ Rayi Sena, sebentar ya. Aku ambilkan yang ada saja”. Ketika itu pula, bukannya buah jambu ranum yang didapat malah biji dan buah-buah jambu yang masih mentah yang didapat. Para Kurawa tertawa dan mengejek mereka. Dursasana kemudian mengejek“ Heeii, Sena. Ini saja yang kami dapat dari atas pohon...hahahahaha. Ayahmu, Pandu Dewanata kan raja di pertapaan. Baiknya kau ikuti cara ayahmu itu. Memohon dan mengemis sana....... hahahahahaha......gak pantes kamu itu anak raja......pantesnya kamu jadi pelayan...hahahahaha” Arya Bratasena kesal karena dipermainkan dan nama ayahnya direndahkan lalu menggoncang-goncang pohon jambu tempat para Kurawa. Karena menggoncang dengan mematrapkan Aji Bayu Bajra dan Bratasena belum bisa mengendalikannya, pohon itu bergoncang keras dan para Kurawa, termasuk Suyudana dan Dursasana jatuh ke tanah bagai buah-buah ranum yang jatuh dihempas angin.”nah aku sudah dapat apa yang ada dari pohon ini, Kakang Suyudana, Kakang Dursasana.” Karena marah, atas perintah Suyudana, para Kurawa berkelahi dengan para Pandawa. Perkelahian mereka sengit sekali. Walaupun nampak lemah, pukulan dan tenaga dalam Puntadewa dan Permadi juga tak kalah menyakitkan dan mampu menjatuhkan Durmagati dan Kartamarma. Pinten dan Tangsen yang masih kecil bersembunyi di belakang punggung mereka sambil membela diri. Bratasena yang menjadi bulan-bulanan Kurawa dihajar habis-habisan namun bukannya terluka, malah para Kurawa yang bonyok karena dipukuli oleh oleh Bratasena. Bratasena dan Suyudana kemudian beradu gulat dan keduanya sama-sama kuat. Tak lama kemudian keributan dapat dilerai oleh Maharesi Bhisma dan Abiyasa.”Hmm.....memalukan! memalukan  sekali!. Para pangeran bertengkar karena hal kecil begini.... sebagai hukuman atas tindakan konyol kalian, kalian seratus empat bersaudara, jatah makan malam kalian akan dikurangi dan aku berikan pada adik perempuan kalian, Durshilawati.” Para Pandawa dan Kurawa hanya menurut saja. Suyudana amat dendam pada Bratasena kemudian mengadu pada ibunya, Dewi Gendari. Oleh Dewi Gendari, Suyudana diperbolehkan membalas sakit hatinya tapi dengan cara yang lebih elegan. Untuk itu, Dewi Gendari meminta bantuan pada adiknya, patih Arya Sengkuni.” Tenang saja, kakang mbok. Aku sudah mulai membuat rencana-rencana bagus untuk menyingkirkan mereka...hehehehehe”.
Pada suatu hari, setelah rapat diantara para sesepuh Hastinapura, telah diputuskan bahwa pewarisan takhta Hastina akan dilangsungkan hanya setelah Para Pandawa dan Kurawa menyelesaikan pendidikan ilmu perang dan militer. Untuk sementara, Prabu Dretarastra hendak membagikan Lenga tala kepada Pandawa karena merupakan ahli waris yang sah.tiba-tiba datang para Kurawa dan Patih Arya Sengkuni untuk mencegah pewarisan itu. Raden Suyudana menentang ayahnya mebagi Lenga Tala itu “ayahanda prabu, aku dan adik-adik tidak setuju. Siapapun tahu, khasiat Lenga Tala akan membuat siapapun yang memakainya menjadi kebal senjata. Kami 100 bersaudara sebagai pangeran Hastinapura juga berhak, seharusnya Lenga Tala dibagi sama rata diantara pangeran Hastina.” Tiba-tiba Arya Bratasena menyanggah “Nggak bisa, kakang Suyudana. Bagaimanapun, Lenga tala itu punya ayahanda Pandu. Sekarang ayahanda Pandu sudah tiada, maka aku, kakak, dan adik-adikku lah ahli warisnya.” Prabu Dretarastra bimbang dan mengeluarkan keputusannya “Sudah cukup, Suyudana! Bratasena! Karena diantara kalian juga menginginkannya, aku putuskan akan membuang cupu Lenga Tala ini. Mungkin ini jalan yang paling adil bagi kalian. Siapapun yang berhasil mendapatkannya, maka dia pemilik sahnya. Sekarang anakku Pandawa dan Kurawa, keluarlah ke alun-alun dan bersiaplah untuk menerima cupu ini.” Setelah berkata demikian, para Pandawa dan Kurawa segera keluar menuju alun-alun untuk menangkap cupu itu.
Setelah para Pandawa dan Kurawa keluar keraton, Prabu Dretarastra segera bersiap melempar cupu Lenga tala, namun tiba-tiba tangan Patih Arya Sengkuni menyenggol tubuh Prabu Dretarastra dan membuat cupu Lenga Tala jatuh. Isinya tumpah kemana-mana.”maaf, raka Prabu, aku tak sengaja. Biar aku ambilkan cupu dan tutupnya” Prabu Dretarastra mengerti dan berpesan agar Patih Arya Sengkuni membagi Lenga Tala secara adil. Setelah mendapatkan cupu yang masih berisi sedikit Lenga Tala itu, Prabu Dretarastra melemparkan cupu Lenga Tala dengan aji Leburgeni. Cupu Lenga Tala itu pun melayang amat jauh. Setelah Prabu Dretarastra pergi, Patih Arya Sengkuni mengkhianati pesan kakak iparnya tersebut dan bertelanjang bulat lalu berguling-guling di lantai, sehingga Lenga Tala meresap ke tubuhnya. Hanya dubur dan mulutnya yang tidak terkena Lenga Tala. Setelah itu dia kembali memakai pakaiannya. Sejak saat itu, Patih Arya Sengkuni menjadi manusia yang kebal senjata.
Perebutan Cupu berisi Lenga Tala
Cupu Lenga Tala yang tadi dilempar Prabu Dretaratra terus melayang di udara. Para Pandawa dan Kurawa saling berkejaran di alun-alun. Mereka berlari dan berusaha mengeroyok Bratasena yang hampir menangkap cupu Lenga Tala itu. Singkat cerita, cupu Lenga Tala yang mereka kejar jatuh di sebuah sumur tua di pinggir alun-alun dan sisa isinya telah tumpah meresap. Para Pandawa dan Kurawa menghentikan perkelahian dan segera beramai-ramai datang ke pinggir sumur. Mereka hendak masuk sumur namun lubang sumur terlalu sempit. Suyudana menyalahkan Bratasena dan para Pandawa “ heeh, lihat itu. Gara-gara kalian, cupu jadi masuk sumur” Bratasena segera menimpali “Kok aku yang disalahin, Kakang Suyudana. Harusnya kau yang harusnya aku salahkan. Sekarang masuk sana ke dalam. Berani atau gak?” Arya Bratasena dan Raden Suyudana berebut ingin masuk ke dalam sumur. Tiba-tiba datang lah seorang pendeta berwajah dekil dan buruk rupa bernam Resi Dorna datang melarang mereka turun.” Hei nak.... hentikan. Jangan membahayakan diri. Biar aku saja.” Kemudian Resi Dorna menembakkan panahnya dan jras! Panah itu menancap pada cupu itu. Lalu Resi Dorna menembakkan panah lagi dan menancap pada panah pertama, lalu dia menembakkan panah lagi dan begitulah, sehingga panah-panah itu seperti galah yang panjang. Resi Dorna segera mengangkat panah-panah itu layaknya menimba air dan akhirnya cupu itu berhasi diambil lalu dikembalikan pada Pandawa dan Kurawa. Para Kurawa dan Pandawa terkejut mendapati cupu itu telah kosong dan mereka berusaha mencari ceceran minyak ajaib itu, namun diantara mereka, hanya Raden Permadi yang terkesan dengan kemampuan dan ketepatan Resi Dorna dalam memanah. Resi Dorna bertanya pada Permadi “anakku, kenapa kau tidak bersama mereka?” “buat apa saya ikut mencari apa yang sudah tidak ada. Melihat Tuan memanah dengan tepat itu membuat saya terkagum.” Kemudian Permadi, disusul Para Pandawa dan Kurawa berlutut di depannya lalu meminta sang resi menjadi guru mereka “Jadikanlah kami sebagai murid anda, Guru!”Resi Dorna menerima permintaan para Pandawa dan Kurawa. Kemudian Permadi mengantarnya ke keraton untuk menemui Prabu Dretarastra dan Maharesi Bhisma
Di keraton, Prabu Dretarastra dan Maharesi Bhisma telah menerima kedatangan Resi Dorna yang diantar oleh Raden Permadi. Resi Dorna memperkenalkan diri. Dirinya adalah ipar dari Mpu Krepa dan dia pernah mendapat kabar dari iparnya itu bahwa Di Hastinapura membutuhkan seorang guru ilmu perang untuk para pangeran Hastinapura. Setelah dirapatkan dengan Maharesi Bhisma dan Maharesi Abiyasa, Prabu Dretarastra setuju dan mempersilahkan memulai mengajar ilmu perang besok di Sokalima. “Terima kasih, Gusti Prabu. Terima kasih. Saya akan mengajarkan apa saja yang saya punya soal ilmu perang dan seni bersenjata.” Resi Dorna merasa gembira karena dalam hatinya, dia bisa memanfaatkan para Pandawa dan Kurawa untuk menuntaskan dendamnya, mengalahkan Prabu Drupada dan Arya Gandamana yang telah menistakannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar