Halo gengs, tulisan kali ini mengisahkan perebutan cupu ajaib warisan Pandu Dewanata diantara Pandawa dan Kurawa muda. Dikisahkan pula bagaimana asal mula Patih Arya Sengkuni menjadi manusia sakti yang kebal pada senjata dan kemunculan Resi Dorna di Hastinapura dan menjadi guru ilmu perang disana. Dalam versi India baik kitab maupun dalam serial kolosal di India, dikisahkan Pandava dan Kaurava muda bukan saling berebut cupu melainkan berebut sebuah bola yang jatuh ke dalam sumur. Sumber yang saya pakai untuk kisah kali ini berasal dari Kitab Pustakaraja Purwa, serial kolosal Indonesia Karmapala karya Imam Tantowi, dan blog-blog pedalangan lalu saya padukan dengan isi Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa.
Di
Hastinapura, Prabu Dretarastra dihadap Maharesi Bhisma, Patih Arya Sengkuni,
Mpu Krepa, dan Arya Widura. Mereka membicarakan tentang para Pandawa dan Dewi
Kunthi yang kini tinggal di Saptarengga dan kelulusan para pangeran Hastinapura
setelah belajar ilmu tatanegara dari Mpu Krepa. Prabu Dretarastra ingin
memanggil pulang Pandawa dan ibu mereka ke Hastinapura untuk membicarakan suatu
hal penting. Prabu Dretarastra juga terpikir pada pusaka Pandu Dewanata,
adiknya, yaitu cupu berisi Lenga Tala yang kini disimpan oleh ayahnya, Maharesi
Abiyasa. Dia ingin membaginya pada para Pandawa karena para Pandawa sudah mulai
dewasa. Untuk itu, Arya Widura ditunjuk oleh Prabu Dretarastra menjadi duta
penjemputan Dewi Kunthi, Para Pandawa, dan Maharesi Abiyasa. Kemudian
berangkatlah Arya Widura ke Saptarengga.
Sesampainya
disana, Para Pandawa dan para punakawan sedang berlatih perang-perangan dan
Dewi Kunthi sedang berdoa di sanggar. Semar kemudian menyambut Arya Widura ”Salam,
ndoro Widura. Ada angin apa datang kemari” “ begini kakang Semar. Aku datang
ingin menjemput Kakang mbok Dewi Kunthi dan para Pandawa. Ada hal penting yang
harus dibicarakan dengan kakang Prabu Dretarastra” Semar kemudian mengantar
Arya Widura. Para Pandawa tergopoh-gopoh menghormat pada Arya Widura “salam
hormat, Paman!” Arya Widura segera membangunkan para Pandawa. Puntadewa
kemudian bertanya” Ada angin apa yang membuat paman Arya Widura datang
kesini?” “ begini, ngger. kedatanganku
kemari untuk menjemput kalian pulang. Kembali ke Hastinapura. Tidak pantas
seorang permaisuri dan putra raja pergi mengasingkan diri sedangkan raja
pengganti merasa keberatan akan keputusan itu” Bratasena kemudian menjawab
“hoo, Paman. Kami mengasingkan diri bukan karena sedih, tapi karena kami ingin
melatih diri untuk menjadi linuwih, bener gak, adikku, Pinten, Tangsen?” seloroh
Bratasena membuat Pinten dan Tangsen tertawa“heehehe, iya betul kakang
Bratasena. Ibu Kunthi selalu mengajarkan untuk tidak terlalu lama bersedih
karena itu akan melemahkan hati” “dan
akan membuat orang menjadi depresi saja, paman” Arya Widura merasa bangga
melihat perkembangan psikis keponakan-keponakannya itu. Permadi kemudian
mempersilakan pamannya itu menemui ibunya.” Ibu, kemari bu. Ini ada paman Arya
Widura datang berkunjung.” Dewi Kunthi segera menyambut iparnya itu. Permadi
dipersilahkan untuk keluar oleh Dewi Kunthi. Kemudian Arya Widura menjelaskan
pada Dewi Kunthi pesan dari Prabu Dretarastra. Dewi Kunthi merasa sudah saatnya
para Pandawa kembali lagi ke istana. Akhirnya, Dewi Kunthi, Ki Lurah Semar, dan
para Pandawa bersedia kembali ke Hastinapura. Dijemput pula Maharesi Abiyasa di Padepokan Saptaharga untuk ikut rapat di Hastinapura.
Di
Hastinapura, patih Arya Sengkuni menyusun strtegi untuk mendapatkan pusaka Lenga
Tala itu tanpa menimbulkan keributan yang tidak perlu. Kemudian datanglah
rombongan Maharesi Abiyasa, Arya Widura, Dewi Kunthi, Para Pandawa dan Ki lurah
Semar. Kedatangan mereka disambut bak raja yang baru menang perang oleh para
kawula dan rakyat Hastinapura. Meriah sekali. Setelah para kawula Hastina pergi
kembali ke tugas mereka masing-masing, para Pandawa dipersilahkan masuk ke
kesatriyan oleh Arya Widura. Pada suatu hari, karena Arya Bratasena lapar dan
kebetulan belum jam makan siang di keraton, maka para Pandawa menuju ke kebun
buah Hastina untuk mengambil buah jambu yang ada disana. Sesampainya disana,
mereka beristirahat sejenak di bawah pohon sawokecik. Beberapa saat kemudian,
Ki Lurah Semar datang dan melihat wajah bendaranya tampak kusut lesu “lho, lho,
ndoro Pandawa sekalian, kenapa kalian nampak lesu? Loyo dan di wajah kalian
seperti ada kegalauan. Sepertinya kalian banyak pikiran.” Puntadewa menjawab “
iya, Ki Lurah, entah kenapa sejak kami kembali ke Hastina rasanya kami seperti
orang asing. Berbeda sekali saat kami di Saptarengga, kami bisa menjadi diri
kami sendiri, bisa berbuat baik dan menjalankan dharma kepada sesama.
Sedangkan, sejak kami kembali, untuk keluar beteng baluwerti saja kami seakan
orang asing yang harus diwaspadai. Rasa-rasanya seperti berbuat baik disini
adalah hal langka dan tabu” Ki Lurah Semar menjelaskan “ndoro sekalian, berbuat
baik tidak harus dengan kawula di luar keraton, coba lihatlah di dalam keraton.
Banyak abdi dalem, dayang-dayang, pembantu yang setiap hari harus mengerjakan
ini dan itu dibawah tekanan kebijakan raja entah mereka suka atau terpaksa.
Mereka butuh dibela dan diperhatikan nasibnya.” “tapi Ki Lurah, kami sudah
mencoba hal itu, tapi kami malah dituduh yang bukan-bukan oleh saudara-saudara
kami para Kurawa. Kami dianggap hendak membuat keonaran di dalam beteng jero.”
Ki
lurah Semar melanjutkan “ndoro, perbuatan baik bukan untuk dinanti, tapi
dijalani. Dalam berbuat baik bukan hanya harus setulus merpati, tapi juga harus
secerdik kancil. Kita harus pandai-pandai berbuat baik tanpa harus mengeruhkan
suasana. Tidak ada ceritanya perbuatan baik berhenti hanya karena cibiran
sana-sini. Ingat, ndoro, sebenarnya tidak ada penghalang dalam menjalankan
dharma kebaikan. Keragu-raguan lah satu-satunya penghalang.” Setelah itu,Ki
Lurah Semar menghilang kembali ke desa Karang Tumaritis.
Para Pandawa merasa
kata-kata Ki Lurah Semar benar. Karena perut Bratasena dan yang lainnya sudah
keroncongan, mereka kembali mencari pohon jambu itu. Lalu sampailah mereka di
pohon jambu yang dimaksud. Tak disangka, rupanya Raden Suyudana, Arya Dursasana,
dan adik-adiknya sudah di tempat itu dan memakan buah jambu di atas pohon. Arya
Bratasena yang dari tadi merasa lapar berusaha meminta secara baik-baik“kakang
Suyudana, Dursasana. Aku minta buah jambunya. Laper nihh” Suyudana dan
adik-adiknya menyusun rencana untuk mempermainkan Pandawa“ Rayi Sena, sebentar
ya. Aku ambilkan yang ada saja”. Ketika itu pula, bukannya buah jambu ranum yang
didapat malah biji dan buah-buah jambu yang masih mentah yang didapat. Para
Kurawa tertawa dan mengejek mereka. Dursasana kemudian mengejek“ Heeii, Sena.
Ini saja yang kami dapat dari atas pohon...hahahahaha. Ayahmu, Pandu Dewanata
kan raja di pertapaan. Baiknya kau ikuti cara ayahmu itu. Memohon dan mengemis
sana....... hahahahahaha......gak pantes kamu itu anak raja......pantesnya kamu
jadi pelayan...hahahahaha” Arya Bratasena kesal karena dipermainkan dan nama
ayahnya direndahkan lalu menggoncang-goncang pohon jambu tempat para Kurawa.
Karena menggoncang dengan mematrapkan Aji Bayu Bajra dan Bratasena belum bisa
mengendalikannya, pohon itu bergoncang keras dan para Kurawa, termasuk Suyudana
dan Dursasana jatuh ke tanah bagai buah-buah ranum yang jatuh dihempas
angin.”nah aku sudah dapat apa yang ada dari pohon ini, Kakang Suyudana, Kakang
Dursasana.” Karena marah, atas perintah Suyudana, para Kurawa berkelahi dengan
para Pandawa. Perkelahian mereka sengit sekali. Walaupun nampak lemah, pukulan
dan tenaga dalam Puntadewa dan Permadi juga tak kalah menyakitkan dan mampu
menjatuhkan Durmagati dan Kartamarma. Pinten dan Tangsen yang masih kecil
bersembunyi di belakang punggung mereka sambil membela diri. Bratasena yang
menjadi bulan-bulanan Kurawa dihajar habis-habisan namun bukannya terluka,
malah para Kurawa yang bonyok karena dipukuli oleh oleh Bratasena. Bratasena
dan Suyudana kemudian beradu gulat dan keduanya sama-sama kuat. Tak lama kemudian
keributan dapat dilerai oleh Maharesi Bhisma dan Abiyasa.”Hmm.....memalukan!
memalukan sekali!. Para pangeran
bertengkar karena hal kecil begini.... sebagai hukuman atas tindakan konyol
kalian, kalian seratus empat bersaudara, jatah makan malam kalian akan dikurangi
dan aku berikan pada adik perempuan kalian, Durshilawati.” Para Pandawa dan
Kurawa hanya menurut saja. Suyudana amat dendam pada Bratasena kemudian mengadu
pada ibunya, Dewi Gendari. Oleh Dewi Gendari, Suyudana diperbolehkan membalas
sakit hatinya tapi dengan cara yang lebih elegan. Untuk itu, Dewi Gendari
meminta bantuan pada adiknya, patih Arya Sengkuni.” Tenang saja, kakang mbok.
Aku sudah mulai membuat rencana-rencana bagus untuk menyingkirkan
mereka...hehehehehe”.
Pertengkaran Pandawa dan Kurawa karena buah jambu |
Pada
suatu hari, setelah rapat diantara para sesepuh Hastinapura, telah diputuskan
bahwa pewarisan takhta Hastina akan dilangsungkan hanya setelah Para Pandawa
dan Kurawa menyelesaikan pendidikan ilmu perang dan militer. Untuk sementara, Prabu
Dretarastra hendak membagikan Lenga tala kepada Pandawa karena merupakan ahli
waris yang sah.tiba-tiba datang para Kurawa dan Patih Arya Sengkuni untuk
mencegah pewarisan itu. Raden Suyudana menentang ayahnya mebagi Lenga Tala itu
“ayahanda prabu, aku dan adik-adik tidak setuju. Siapapun tahu, khasiat Lenga Tala
akan membuat siapapun yang memakainya menjadi kebal senjata. Kami 100
bersaudara sebagai pangeran Hastinapura juga berhak, seharusnya Lenga Tala dibagi
sama rata diantara pangeran Hastina.” Tiba-tiba Arya Bratasena menyanggah
“Nggak bisa, kakang Suyudana. Bagaimanapun, Lenga tala itu punya ayahanda
Pandu. Sekarang ayahanda Pandu sudah tiada, maka aku, kakak, dan adik-adikku
lah ahli warisnya.” Prabu Dretarastra bimbang dan mengeluarkan keputusannya “Sudah
cukup, Suyudana! Bratasena! Karena diantara kalian juga menginginkannya, aku
putuskan akan membuang cupu Lenga Tala ini. Mungkin ini jalan yang paling adil
bagi kalian. Siapapun yang berhasil mendapatkannya, maka dia pemilik sahnya.
Sekarang anakku Pandawa dan Kurawa, keluarlah ke alun-alun dan bersiaplah untuk
menerima cupu ini.” Setelah berkata demikian, para Pandawa dan Kurawa segera
keluar menuju alun-alun untuk menangkap cupu itu.
Setelah
para Pandawa dan Kurawa keluar keraton, Prabu Dretarastra segera bersiap
melempar cupu Lenga tala, namun tiba-tiba tangan Patih Arya Sengkuni menyenggol
tubuh Prabu Dretarastra dan membuat cupu Lenga Tala jatuh. Isinya tumpah
kemana-mana.”maaf, raka Prabu, aku tak sengaja. Biar aku ambilkan cupu dan
tutupnya” Prabu Dretarastra mengerti dan berpesan agar Patih Arya Sengkuni
membagi Lenga Tala secara adil. Setelah mendapatkan cupu yang masih berisi sedikit
Lenga Tala itu, Prabu Dretarastra melemparkan cupu Lenga Tala dengan aji
Leburgeni. Cupu Lenga Tala itu pun melayang amat jauh. Setelah Prabu
Dretarastra pergi, Patih Arya Sengkuni mengkhianati pesan kakak iparnya
tersebut dan bertelanjang bulat lalu berguling-guling di lantai, sehingga Lenga
Tala meresap ke tubuhnya. Hanya dubur dan mulutnya yang tidak terkena Lenga
Tala. Setelah itu dia kembali memakai pakaiannya. Sejak saat itu, Patih Arya
Sengkuni menjadi manusia yang kebal senjata.
Perebutan Cupu berisi Lenga Tala |
Cupu
Lenga Tala yang tadi dilempar Prabu Dretaratra terus melayang di udara. Para
Pandawa dan Kurawa saling berkejaran di alun-alun. Mereka berlari dan berusaha mengeroyok
Bratasena yang hampir menangkap cupu Lenga Tala itu. Singkat cerita, cupu Lenga
Tala yang mereka kejar jatuh di sebuah sumur tua di pinggir alun-alun dan sisa
isinya telah tumpah meresap. Para Pandawa dan Kurawa menghentikan perkelahian
dan segera beramai-ramai datang ke pinggir sumur. Mereka hendak masuk sumur
namun lubang sumur terlalu sempit. Suyudana menyalahkan Bratasena dan para
Pandawa “ heeh, lihat itu. Gara-gara kalian, cupu jadi masuk sumur” Bratasena
segera menimpali “Kok aku yang disalahin, Kakang Suyudana. Harusnya kau yang
harusnya aku salahkan. Sekarang masuk sana ke dalam. Berani atau gak?” Arya
Bratasena dan Raden Suyudana berebut ingin masuk ke dalam sumur. Tiba-tiba
datang lah seorang pendeta berwajah dekil dan buruk rupa bernam Resi Dorna datang melarang mereka
turun.” Hei nak.... hentikan. Jangan membahayakan diri. Biar aku saja.” Kemudian
Resi Dorna menembakkan panahnya dan jras! Panah itu menancap pada cupu itu.
Lalu Resi Dorna menembakkan panah lagi dan menancap pada panah pertama, lalu dia
menembakkan panah lagi dan begitulah, sehingga panah-panah itu seperti galah
yang panjang. Resi Dorna segera mengangkat panah-panah itu layaknya menimba air
dan akhirnya cupu itu berhasi diambil lalu dikembalikan pada Pandawa dan
Kurawa. Para Kurawa dan Pandawa terkejut mendapati cupu itu telah kosong dan
mereka berusaha mencari ceceran minyak ajaib itu, namun diantara mereka, hanya
Raden Permadi yang terkesan dengan kemampuan dan ketepatan Resi Dorna dalam memanah.
Resi Dorna bertanya pada Permadi “anakku, kenapa kau tidak bersama mereka?”
“buat apa saya ikut mencari apa yang sudah tidak ada. Melihat Tuan memanah
dengan tepat itu membuat saya terkagum.” Kemudian Permadi, disusul Para Pandawa
dan Kurawa berlutut di depannya lalu meminta sang resi menjadi guru mereka
“Jadikanlah kami sebagai murid anda, Guru!”Resi Dorna menerima permintaan para
Pandawa dan Kurawa. Kemudian Permadi mengantarnya ke keraton untuk menemui Prabu
Dretarastra dan Maharesi Bhisma
Di
keraton, Prabu Dretarastra dan Maharesi Bhisma telah menerima kedatangan Resi
Dorna yang diantar oleh Raden Permadi. Resi Dorna memperkenalkan diri. Dirinya
adalah ipar dari Mpu Krepa dan dia pernah mendapat kabar dari iparnya itu bahwa
Di Hastinapura membutuhkan seorang guru ilmu perang untuk para pangeran
Hastinapura. Setelah dirapatkan dengan Maharesi Bhisma dan Maharesi Abiyasa,
Prabu Dretarastra setuju dan mempersilahkan memulai mengajar ilmu perang besok
di Sokalima. “Terima kasih, Gusti Prabu. Terima kasih. Saya akan mengajarkan
apa saja yang saya punya soal ilmu perang dan seni bersenjata.” Resi Dorna
merasa gembira karena dalam hatinya, dia bisa memanfaatkan para Pandawa dan
Kurawa untuk menuntaskan dendamnya, mengalahkan Prabu Drupada dan Arya
Gandamana yang telah menistakannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar