Hai semua, saya kembali lagi mengisi blog kosong ini.
Kali ini saya akan menceritakan kisah cinta dari salah seorang yang berpengaruh
dalam Perang Baratayudha. Dia adalah Prabu Salya yang pada masa mudanya bernama
Bambang Narasoma dengan seorang putri seorang resi berujud raksasa, yaitu Dewi
Pujawati. Sumber yang saya pakai adalah blog-blog pedalangan yang tersebar di
internet yang lalu saya kembangkan dan saya ubah seperlunya.
Di suatu pagi di kerajaan Mandaraka, Prabu Mandrapati
Naradenta dihadap permaisurinya, Dewi Tejawati, dan putra-putrinya, Bambang
Narasoma dan Dewi Madrim. Sang prabu yang dulu semasa muda bernama Raden
Artayana itu ingin menyarankan putra sulungnya, Bambang Narasoma untuk segera
menikah. “Anakku Narasoma. Aku lihat usiamu sudah cukup matang. Ilmu mu sudah
cukup mumpuni. Sudah saatnya kau menikah dan menggantikanku sebagai raja. Tapi
kenapa kau selalu menunda-nunda untuk menikah? Apa kau belum cukup berguru pada
para resi dan pendita di negeri ini?” Bambang Narasoma menjawab “Ampun,
ayahanda prabu, bukan seperti itu. Hamba hanya ingin menikah dengan seorang
yang cantik.” “kalo begitu kenapa kau tidak menikahi sahabatmu, Dewi Kunthi
dari Mandura? Dia juga cantik” “ begini Ayahanda prabu. Bukan bermaksud menolak ataupun tak ingin menikah,
Hamba ingin menikahi seorang yang mirip dengan bunda ratu. “ Sontak saja, Prabu
Mandrapati kaget dan marah menuduh yang bukan-bukan. “Lancang kamu, Narasoma.
Kau mau menikahi Ibumu! Budimu ini kemasukan jin jahat rupanya! Sekarang pergi
dari sini. Jangan kembali sebelum dapat seorang istri!!” Singkat cerita,
Bambang Narasoma diusir dari istana dan tak boleh kembali sampai menemukan
tambatan hatinya. Bambang Narasoma mengembara dari hutan ke hutan, masuk desa
satu ke desa lain. Narasoma merasa bebas tanpa aturan-aturan istana yang
membelenggu, pengalamannya berguru pada berbagai guru dapat diasah dengan baik
dan dapat belajar berbagai ilmu pengetahuan baru yang ada di alam sekitar. Pada
suatu malam, Narasoma bermimpi bertemu seorang gadis cantik, secantik wajah dan
perangai ibunya.
Di tempat lain, di pertapaan Hargobelah, tersebutlah
seorang resi berparas raksasa bernama resi Bagaspati dan putrinya, Dewi
Pujawati. Sang resi merupakan salah satu makhluk di dunia ini yang memiliki
konon memiliki ludira seta*1.
Walaupun hidup sebagai anak resi yang hanya menyepi jauh dari keramaian,
kecantikan dan kelembutan perangai Dewi Pujawati menandingi para putri yang
tinggal di keraton. Pada suatu hari, Dewi Pujawati termenung karena memikirkan
sesuatu. Sang ayah merasa khawatir sehinggalah dia bertanya “ Anakku, cah ayu.
Apa yang mengganggu pikiranmu? Makan tak habis, mandipun tak basah, semadi juga
tak khusyuk. Ceritakan pada ayah apa yang mengganggumu”. Malu-malu, Dewi
Pujawati pun bercerita “Begini ayahanda. Aku kedatangan seorang pemuda tampan
dalam mimpiku. Dia gagah sekali, perangainya pun baik. Dia menyebut namanya,
Narasoma dari Mandaraka. Berkali-kali aku berusaha menepis bayangnya dari
pikiranku, tapi semakin ditepis semakin aku merindunya. Sungguh, ayahanda. Aku
jatuh cinta padanya walau dalam mimpi” mendengar nama itu, teringatlah
Bagaspati pada sahabat karibnya, Artayana yang kini telah menjadi raja. Tanpa
ba-bi-bu, Resi Bagaspati mencari keberadaan Narasoma. Berkeliling hutan,
menuruni gunung dan lembah, bertanya pada setiap penduduk yng lewat, tapi belum
juga membuahkan hasil. Hingga pada suatu hari, Narasoma dan Resi Bagaspati
berjumpa. Sang resi mengajak Narasoma untuk ikut dengannya untuk menikahi
putrinya. Narasoma jelas menolak “Cuih, raksasa tak berbudi. Siapa juga yang
sudi menikahi putrimu. Putrimu pasti berwajah mirip denganmu” “Dengarkan aku,
raden. Putriku wajahnya cantik bak bidadari karena ibunya yang juga istriku
adalah Dewi Darmastuti, seorang bidadari dari kahyangan.” Walau dengan bujukan seperti itu pun,
Narasoma memang pada dasarnya memiliki sedikit sifat angkuh enggan memenuhi
ajakan sang resi malah hendak menyerang sang resi. Sang resi tak sampai hati
melukai pria pujaan putrinya itu tapi karena terdesak, terpaksalah Narasoma di
totok dan dibuat lumpuh. Narasoma dibawa ke pertapaan Hargobelah.
Dewi Pujawati yang menyambut kedatangan sang ayah,
terkejut melihatnya membopong seorang pemuda tampan. Dewi Pujawati merawat sang
pemuda. Setelah beberapa hari, pemuda itu bangun dan nampak kebingungan. “ Tuan
pangeran, kau baik-baik saja”Sambil tersipu malu, Narasoma balik bertanya pada
Dewi Pujawati “ ehh tidak, putri. Katakan dimana ini? Dan siapa dirimu, putri
cantik? Kenapa bisa berada di pertapaan ini?” Dewi Pujawati menjawab “Tuan
pangeran, anda di pertapaan tempat tinggal saya, Gunung Hargobelah. Yang
membawamu kesini adalah ayah saya, Resi Bagaspati. Saya adalah putrinya, nama
hamba Pujawati. Siapa kah nama tuan pangeran?” Dengan malu-malu, Narasoma
menjawab “Saya Narasoma, saya dari kerajaan yang jauh di Mandaraka. Saya diusir
oleh orangtua saya karena menolak dijodohkan. Bila diizinkan, Bolehkah saya
tinggal disini? Saya juga ingin berguru pada ayahmu, putri. Kulihat walau
wajahnya seperti itu, tapi dia baik hati dan punya banyak ilmu”
Singkat cerita,
Narasoma diizinkan tinggal di pertapaan bersama mereka dan berguru pada Resi
Bagaspati. Narasoma belajar banyak hal. Di saat yang sama, tumbuh dan
terjalinlah cinta diantara Narasoma dan Pujawati. Semakin lama, mereka semakin
mesra. Singkat cerita, Resi Bagaspati menikahkan mereka berdua. Pernikahan itu
disaksikan oleh para resi dan para dewa di langit.
Narasoma, Pujawati, dan Resi Bagaspati |
Hari-hari selanjutnya, Narasoma dan Pujawati semakin
mesra. Hati mereka berbunga-bunga sepanjang hari. Walau demikian, entah mengapa
isi hati Narasoma selalu merasa risih dan tidak betah bila berdekatan dengan
sang ayah mertua. Terasa ingin sekali menghindar darinya, atau paling tidak,
ingin tidak sering bertemu. Karena itu setiap hari, Narasoma selalu pergi
berburu hewan di sekitar hutan dan baru pulang ketika magrib tiba. Suatu hari
Resi Bagaspati bertanya untuk yang kesekian kalinya“Anakku Narasoma, kapan kamu
memboyong putriku ke Mandaraka. Kulihat kau seperti betah disini. Pulanglah dan
boyong putriku. Tidak baik membuat orangtuamu cemas terlalu lama”. Seperti yang
sudah-sudah, Narasoma hanya menjawab “ Nanti saja, Ayahanda resi. Hamba masih
ingin menikmati keindahan hutan ini. Aku masih ingin bebas. Aku akan mencari
waktu yang pas” “Baik, anakku. Keputusan ada di tanganmu. Doa ku selalu bersama
kebahagiaan kalian berdua.”. Isi hati Narasoma semakin bergejolak. Dia tak
ingin menyakiti hati istri dan ayah mertuanya. Akhirnya pada suatu hari,
Narasoma memberikan sebuah teka-teki pada istrinya dan istrinya memberitahukan
isi teka-teki itu pada sang ayah “ Ayahanda, tadi kakang Narasoma bertingkah
aneh dan dia memberiku sebuah teka-teki. Begini bunyinya, ayahanda ‘terdapat sebakul nasi hangat yang wangi
dan nikmat. Tapi sayangnya, terselip sebiji gabah dalam nasi yang wangi itu’
“. Sang resi akhirnya mengerti kenapa Narasoma selalu menghindar darinya dan
selalu menunda-nunda untuk memboyong putrinya ke Mandaraka. Rupanya sang
menantu merasa malu dan jijik memiliki mertua seorang raksasa. Resi Bagaspati
bertanya pada putrinya itu “ Anakku, seandainya kau harus memilih antara tetap
tinggal denganku atau akan ikut suamimu kemanapun dia tinggal, manakah yang
kamu prioritaskan?” Dengan mantap, Dewi Pujawati menjawab “tentu saja,
ayahanda, saya akan ikut suami saya karena dia sudah menjadi imam saya.
Kemanapun dan dimanapun dia akan tinggal, saya akan ikut dalam susah dan
senang”. Bagaspati terkesan dengan kedewasaan sang putri dan menganugerahi
putrinya itu dengan nama baru, Endang Ratna Setyawati. Endang Ratna Setyawati
pun diperintahkan sang ayah untuk menyiapkan api pancaka*2, dupa, dan segala wewangian.
Malam yang sangat indah. Rembulan bersinar terang
bersama para kartika*3.
Tapi nampaknya hewan-hewan hutan melantunkan senandung sedih. Bersamaan dengan
itu, Narasoma pun dipanggil oleh Resi Bagaspati ke pertapaan “ Anakku,
kemarilah. Kau sudah berguru pada ku dan sekarang kau sudah jadi mantuku.
Sekarang akan kuwariskan ajian saktiku, Candhabirawa*4.
Tapi aku mohon satu permintaan darimu, setelah kepergianku nanti, jagalah
putriku. Jangan sia-siakan dia. Walau dia hanya gadis gunung yang jauh dari
kehidupan mewah dan kebiasaan keraton, tapi dia gadis yang baik-baik. Apakah
kau bersedia, anakku?” Narasoma merasa heran, tapi dia menyanggupi permintaan
sang ayah mertua bahkan bersumpah setia tak akan memadu istrinya seumur
hidupnya. Kemudian Narasoma dan Resi Bagaspati bersemedi lalu seketika Aji
Candhabirawa keluar dari tubuh sang resi
dan masuk ke tubuh Narasoma.
Seketika itu pula, tubuh Resi Bagaspati jatuh ke
api pancaka. Mendengar suara benda terjatuh keras, Narasoma yang sedang
bersemedi terbangun. Endang Ratna Setyawati pun terkejut. Narasoma dan sang
istri pun merasa terkejut dan menangis sedih melihat tubuh sang resi terbakar
api pancaka. Narasoma yang memeluk istrinya itu merasa sangat bersalah telah
membuat sang resi rela mati demi keinginannya dan demi kebahagiaan mereka.
Dalam tangis penyesalannya, Narasoma berharap ingin dipertemukan dan dijemput
oleh sang ayah mertua kelak di detik terakhir antara hidup dan mati.
Bagaspati Lena |
Singkat cerita, Narasoma dan Endang Ratna Setyawati
pulang ke Mandaraka. Sang ayah, Prabu Mandrapati menyambut gembira menantu
barunya. Demi menjaga perasaan sang ayah, Narasoma mangatakan bahwa istrinya
itu adalah putri tiban yang diberikan dewa padanya, tapi pada keesokan harinya,
sang prabu mendapat pencerahan dari dewa bahwa sang menantu, Endang Ratna
Setyawati adalah putri dari Resi Bagaspati, sahabat karibnya dan Resi Bagaspati
telah melakukan labuh geni*5
demi kebahagian mahligai rumahtangga Narasoma dan putrinya itu. Sang prabu
terkejut dan merasa amat sedih karena merasa telah gagal mendidik anak. Karena
kesedihannya itu, Prabu Mandrapati marah besar dan kembali mengusir Narasoma.
Karena masih kangen pada kakaknya itu, kali ini sang adik, Dewi Madrim menyusul
Narasoma dan ikut menemani sang kakak mengembara lagi. Setelah kepergian
mereka, Prabu Mandrapati jatuh pingsan karena terlalu sedih dan dipapah oleh
Endang Ratna Setyawati ke kamar. Bambang Narasoma dan Dewi Madrim pun
mengembara dari satu desa ke desa lain, masuk hutan keluar hutan, naik gunung
menuruni lembah, sehingga sampailah mereka di Kerajaan Mandura.
*1 Ludira seta maksudnya
berdarah putih, yang berarti orang yang memiliki kesucian hati dan pikiran yang
melebihi kesucian manusia biasa.
*2 Pancaka adalah api
kremasi atau api pembakaran jenazah.
*3 Bintang-bintang.
*4 Candhabirawa adalah
ajian sakti yang bila dirapalkan akan memunculkan seorang raksasa bajang yang
bila dilukai, jumlahnya akan menjadi semakin banyak dan berlipat ganda.
*5 Belapati/bunuh diri
dengan menjatuhkan diri kedalam api yang membakar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar