Rabu, 06 Februari 2019

Dawai Asmara Narasoma-Pujawati



Hai semua, saya kembali lagi mengisi blog kosong ini. Kali ini saya akan menceritakan kisah cinta dari salah seorang yang berpengaruh dalam Perang Baratayudha. Dia adalah Prabu Salya yang pada masa mudanya bernama Bambang Narasoma dengan seorang putri seorang resi berujud raksasa, yaitu Dewi Pujawati. Sumber yang saya pakai adalah blog-blog pedalangan yang tersebar di internet yang lalu saya kembangkan dan saya ubah seperlunya.

Di suatu pagi di kerajaan Mandaraka, Prabu Mandrapati Naradenta dihadap permaisurinya, Dewi Tejawati, dan putra-putrinya, Bambang Narasoma dan Dewi Madrim. Sang prabu yang dulu semasa muda bernama Raden Artayana itu ingin menyarankan putra sulungnya, Bambang Narasoma untuk segera menikah. “Anakku Narasoma. Aku lihat usiamu sudah cukup matang. Ilmu mu sudah cukup mumpuni. Sudah saatnya kau menikah dan menggantikanku sebagai raja. Tapi kenapa kau selalu menunda-nunda untuk menikah? Apa kau belum cukup berguru pada para resi dan pendita di negeri ini?” Bambang Narasoma menjawab “Ampun, ayahanda prabu, bukan seperti itu. Hamba hanya ingin menikah dengan seorang yang cantik.” “kalo begitu kenapa kau tidak menikahi sahabatmu, Dewi Kunthi dari Mandura? Dia juga cantik” “ begini Ayahanda prabu.  Bukan bermaksud menolak ataupun tak ingin menikah, Hamba ingin menikahi seorang yang mirip dengan bunda ratu. “ Sontak saja, Prabu Mandrapati kaget dan marah menuduh yang bukan-bukan. “Lancang kamu, Narasoma. Kau mau menikahi Ibumu! Budimu ini kemasukan jin jahat rupanya! Sekarang pergi dari sini. Jangan kembali sebelum dapat seorang istri!!” Singkat cerita, Bambang Narasoma diusir dari istana dan tak boleh kembali sampai menemukan tambatan hatinya. Bambang Narasoma mengembara dari hutan ke hutan, masuk desa satu ke desa lain. Narasoma merasa bebas tanpa aturan-aturan istana yang membelenggu, pengalamannya berguru pada berbagai guru dapat diasah dengan baik dan dapat belajar berbagai ilmu pengetahuan baru yang ada di alam sekitar. Pada suatu malam, Narasoma bermimpi bertemu seorang gadis cantik, secantik wajah dan perangai ibunya.
Di tempat lain, di pertapaan Hargobelah, tersebutlah seorang resi berparas raksasa bernama resi Bagaspati dan putrinya, Dewi Pujawati. Sang resi merupakan salah satu makhluk di dunia ini yang memiliki konon memiliki ludira seta*1. Walaupun hidup sebagai anak resi yang hanya menyepi jauh dari keramaian, kecantikan dan kelembutan perangai Dewi Pujawati menandingi para putri yang tinggal di keraton. Pada suatu hari, Dewi Pujawati termenung karena memikirkan sesuatu. Sang ayah merasa khawatir sehinggalah dia bertanya “ Anakku, cah ayu. Apa yang mengganggu pikiranmu? Makan tak habis, mandipun tak basah, semadi juga tak khusyuk. Ceritakan pada ayah apa yang mengganggumu”. Malu-malu, Dewi Pujawati pun bercerita “Begini ayahanda. Aku kedatangan seorang pemuda tampan dalam mimpiku. Dia gagah sekali, perangainya pun baik. Dia menyebut namanya, Narasoma dari Mandaraka. Berkali-kali aku berusaha menepis bayangnya dari pikiranku, tapi semakin ditepis semakin aku merindunya. Sungguh, ayahanda. Aku jatuh cinta padanya walau dalam mimpi” mendengar nama itu, teringatlah Bagaspati pada sahabat karibnya, Artayana yang kini telah menjadi raja. Tanpa ba-bi-bu, Resi Bagaspati mencari keberadaan Narasoma. Berkeliling hutan, menuruni gunung dan lembah, bertanya pada setiap penduduk yng lewat, tapi belum juga membuahkan hasil. Hingga pada suatu hari, Narasoma dan Resi Bagaspati berjumpa. Sang resi mengajak Narasoma untuk ikut dengannya untuk menikahi putrinya. Narasoma jelas menolak “Cuih, raksasa tak berbudi. Siapa juga yang sudi menikahi putrimu. Putrimu pasti berwajah mirip denganmu” “Dengarkan aku, raden. Putriku wajahnya cantik bak bidadari karena ibunya yang juga istriku adalah Dewi Darmastuti, seorang bidadari dari kahyangan.” Walau dengan bujukan seperti itu pun, Narasoma memang pada dasarnya memiliki sedikit sifat angkuh enggan memenuhi ajakan sang resi malah hendak menyerang sang resi. Sang resi tak sampai hati melukai pria pujaan putrinya itu tapi karena terdesak, terpaksalah Narasoma di totok dan dibuat lumpuh. Narasoma dibawa ke pertapaan Hargobelah.
Dewi Pujawati yang menyambut kedatangan sang ayah, terkejut melihatnya membopong seorang pemuda tampan. Dewi Pujawati merawat sang pemuda. Setelah beberapa hari, pemuda itu bangun dan nampak kebingungan. “ Tuan pangeran, kau baik-baik saja”Sambil tersipu malu, Narasoma balik bertanya pada Dewi Pujawati “ ehh tidak, putri. Katakan dimana ini? Dan siapa dirimu, putri cantik? Kenapa bisa berada di pertapaan ini?” Dewi Pujawati menjawab “Tuan pangeran, anda di pertapaan tempat tinggal saya, Gunung Hargobelah. Yang membawamu kesini adalah ayah saya, Resi Bagaspati. Saya adalah putrinya, nama hamba Pujawati. Siapa kah nama tuan pangeran?” Dengan malu-malu, Narasoma menjawab “Saya Narasoma, saya dari kerajaan yang jauh di Mandaraka. Saya diusir oleh orangtua saya karena menolak dijodohkan. Bila diizinkan, Bolehkah saya tinggal disini? Saya juga ingin berguru pada ayahmu, putri. Kulihat walau wajahnya seperti itu, tapi dia baik hati dan punya banyak ilmu”
Narasoma, Pujawati, dan Resi Bagaspati
Singkat cerita, Narasoma diizinkan tinggal di pertapaan bersama mereka dan berguru pada Resi Bagaspati. Narasoma belajar banyak hal. Di saat yang sama, tumbuh dan terjalinlah cinta diantara Narasoma dan Pujawati. Semakin lama, mereka semakin mesra. Singkat cerita, Resi Bagaspati menikahkan mereka berdua. Pernikahan itu disaksikan oleh para resi dan para dewa di langit.
Hari-hari selanjutnya, Narasoma dan Pujawati semakin mesra. Hati mereka berbunga-bunga sepanjang hari. Walau demikian, entah mengapa isi hati Narasoma selalu merasa risih dan tidak betah bila berdekatan dengan sang ayah mertua. Terasa ingin sekali menghindar darinya, atau paling tidak, ingin tidak sering bertemu. Karena itu setiap hari, Narasoma selalu pergi berburu hewan di sekitar hutan dan baru pulang ketika magrib tiba. Suatu hari Resi Bagaspati bertanya untuk yang kesekian kalinya“Anakku Narasoma, kapan kamu memboyong putriku ke Mandaraka. Kulihat kau seperti betah disini. Pulanglah dan boyong putriku. Tidak baik membuat orangtuamu cemas terlalu lama”. Seperti yang sudah-sudah, Narasoma hanya menjawab “ Nanti saja, Ayahanda resi. Hamba masih ingin menikmati keindahan hutan ini. Aku masih ingin bebas. Aku akan mencari waktu yang pas” “Baik, anakku. Keputusan ada di tanganmu. Doa ku selalu bersama kebahagiaan kalian berdua.”. Isi hati Narasoma semakin bergejolak. Dia tak ingin menyakiti hati istri dan ayah mertuanya. Akhirnya pada suatu hari, Narasoma memberikan sebuah teka-teki pada istrinya dan istrinya memberitahukan isi teka-teki itu pada sang ayah “ Ayahanda, tadi kakang Narasoma bertingkah aneh dan dia memberiku sebuah teka-teki. Begini bunyinya, ayahanda ‘terdapat sebakul nasi hangat yang wangi dan nikmat. Tapi sayangnya, terselip sebiji gabah dalam nasi yang wangi itu’ “. Sang resi akhirnya mengerti kenapa Narasoma selalu menghindar darinya dan selalu menunda-nunda untuk memboyong putrinya ke Mandaraka. Rupanya sang menantu merasa malu dan jijik memiliki mertua seorang raksasa. Resi Bagaspati bertanya pada putrinya itu “ Anakku, seandainya kau harus memilih antara tetap tinggal denganku atau akan ikut suamimu kemanapun dia tinggal, manakah yang kamu prioritaskan?” Dengan mantap, Dewi Pujawati menjawab “tentu saja, ayahanda, saya akan ikut suami saya karena dia sudah menjadi imam saya. Kemanapun dan dimanapun dia akan tinggal, saya akan ikut dalam susah dan senang”. Bagaspati terkesan dengan kedewasaan sang putri dan menganugerahi putrinya itu dengan nama baru, Endang Ratna Setyawati. Endang Ratna Setyawati pun diperintahkan sang ayah untuk menyiapkan api pancaka*2, dupa, dan segala wewangian.
Malam yang sangat indah. Rembulan bersinar terang bersama para kartika*3. Tapi nampaknya hewan-hewan hutan melantunkan senandung sedih. Bersamaan dengan itu, Narasoma pun dipanggil oleh Resi Bagaspati ke pertapaan “ Anakku, kemarilah. Kau sudah berguru pada ku dan sekarang kau sudah jadi mantuku. Sekarang akan kuwariskan ajian saktiku, Candhabirawa*4. Tapi aku mohon satu permintaan darimu, setelah kepergianku nanti, jagalah putriku. Jangan sia-siakan dia. Walau dia hanya gadis gunung yang jauh dari kehidupan mewah dan kebiasaan keraton, tapi dia gadis yang baik-baik. Apakah kau bersedia, anakku?” Narasoma merasa heran, tapi dia menyanggupi permintaan sang ayah mertua bahkan bersumpah setia tak akan memadu istrinya seumur hidupnya. Kemudian Narasoma dan Resi Bagaspati bersemedi lalu seketika Aji Candhabirawa  keluar dari tubuh sang resi dan masuk ke tubuh Narasoma.
Bagaspati Lena
Seketika itu pula, tubuh Resi Bagaspati jatuh ke api pancaka. Mendengar suara benda terjatuh keras, Narasoma yang sedang bersemedi terbangun. Endang Ratna Setyawati pun terkejut. Narasoma dan sang istri pun merasa terkejut dan menangis sedih melihat tubuh sang resi terbakar api pancaka. Narasoma yang memeluk istrinya itu merasa sangat bersalah telah membuat sang resi rela mati demi keinginannya dan demi kebahagiaan mereka. Dalam tangis penyesalannya, Narasoma berharap ingin dipertemukan dan dijemput oleh sang ayah mertua kelak di detik terakhir antara hidup dan mati.
Singkat cerita, Narasoma dan Endang Ratna Setyawati pulang ke Mandaraka. Sang ayah, Prabu Mandrapati menyambut gembira menantu barunya. Demi menjaga perasaan sang ayah, Narasoma mangatakan bahwa istrinya itu adalah putri tiban yang diberikan dewa padanya, tapi pada keesokan harinya, sang prabu mendapat pencerahan dari dewa bahwa sang menantu, Endang Ratna Setyawati adalah putri dari Resi Bagaspati, sahabat karibnya dan Resi Bagaspati telah melakukan labuh geni*5 demi kebahagian mahligai rumahtangga Narasoma dan putrinya itu. Sang prabu terkejut dan merasa amat sedih karena merasa telah gagal mendidik anak. Karena kesedihannya itu, Prabu Mandrapati marah besar dan kembali mengusir Narasoma. Karena masih kangen pada kakaknya itu, kali ini sang adik, Dewi Madrim menyusul Narasoma dan ikut menemani sang kakak mengembara lagi. Setelah kepergian mereka, Prabu Mandrapati jatuh pingsan karena terlalu sedih dan dipapah oleh Endang Ratna Setyawati ke kamar. Bambang Narasoma dan Dewi Madrim pun mengembara dari satu desa ke desa lain, masuk hutan keluar hutan, naik gunung menuruni lembah, sehingga sampailah mereka di Kerajaan Mandura.
*1  Ludira seta maksudnya berdarah putih, yang berarti orang yang memiliki kesucian hati dan pikiran yang melebihi kesucian manusia biasa.
*2  Pancaka adalah api kremasi atau api pembakaran jenazah.
*3  Bintang-bintang.
*4  Candhabirawa adalah ajian sakti yang bila dirapalkan akan memunculkan seorang raksasa bajang yang bila dilukai, jumlahnya akan menjadi semakin banyak dan berlipat ganda.
*5  Belapati/bunuh diri dengan menjatuhkan diri kedalam api yang membakar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar