Holla semua, guys. Kembali lagi nih. Kali ini saya menceritakan kelahiran bungsu Pandawa, Raden Nakula dan Sadewa. Dikisahkan juga Patih Gandamana yang mengundurkan diri dari jabatan patih Hastinapura, dilantiknya Arya Suman menjadi patih secara licik bergelar Patih Arya Sengkuni, perang antara Prabu Pandu melawan muridnya sendiri, Prabu Tremboko dari Pringgandani yang juga karena adu domba dan intrik. Kisah ditutup dengan meninggalnya Prabu Pandu karena memadu kasih dan berolah asmara dengan Dewi Madrim dan Dewi Madrim yang bela pati menyusul suaminya. Sumber yang saya gunakan dari blog-blog pewayangan dan kitab Pustakaraja Purwa karya Raden Ngabehi Ronggowarsito,lalu dipadukan dengan isi Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa dan serial kolosal India Mahabharat Starplus.
Hastinapura
sedang berbenah. Istri kedua Prabu Pandu, Dewi Madrim sedang hamil dan kini
usia kehamilannya sudah tujuh bulan. Prabu Pandu, Dewi Kunthi, Maharesi Bhisma,
Mpu Krepa, Patih Gandamana, dan Arya Widura sedang sibuk menyiapkan pesta
siraman. Di kesatriyan, Raden Puntadewa yang sudah mulai berangkat remaja lebih
tertarik bermain tombak dan membaca kitab-kitab suci. Arya Bratasena dan Raden
Permadi walau masih kanak-kanak, sudah mulai menampakkan keahlian mereka
memanah dan bermain gada. Diantara mereka, Arya Bratasena yang bertubuh besar
lebih sering berselisih paham dengan para Kurawa, terutama Raden Suyudana dan
Arya Dursasana. Melihat itu, Arya Suman semakin gerah melihat kebahagian Prabu
Pandu sekeluarga. Dia terus mencari waktu yang pas untuk mengacaukan kebahagiaan
mereka dan merebut jabatan Mahapatih dari tangan Patih Gandamana. Saat pesta
siraman, Dewi Madrim mengungkapkan idamannya” Kanda Prabu, mungkin kanda boleh
tak mengabulkannya tapi sekarang aku ngidam. Aku ngidam naik Lembu Andini dan
bertamasya denganmu diatasnya”. Prabu Pandu dan seluruh orang yang ada disitu
terkejut bukan kepalang. Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Mendengar hal itu, Arya
Suman mendapatkan kesempatan untuk merebut jabatan patih dan menyingkirkan
Pandu. Pada suatu hari, datanglah Raden Arimba dari Pringgandani. Raden Arimba
adalah putra sulung Prabu Tremboko, raja kerajaan para yaksa di Pringgandani,
salah satu murid Pandu Dewanata. Raden Arimba mengirimkan surat untuk
mempererat persahabatan dari ayahnya. Tapi karena Prabu Pandu sedang tidak ada
di penghadapan, surat itu dititipkan kepada Arya Suman. Oleh Arya Suman,
dibuatlah surat balasan palsu yang berisi Prabu Pandu tidak sudi bersahabat
lagi dengan Prabu Tremboko dan ingin menaklukan Pringgandani sebagai tanah
jajahan.
Di
kerajaan Pringgandani, Prabu Tremboko dihadap permaisuri Dewi Hadimba dan para putra-putrinya.
Mereka adalah Raden Arimba, Dewi Arimbi, Arya Brajadentha, Arya Brajamusthi*1,
Arya Brajawikalpa, Arya Prabakesha, dan Arya Kalabendana. Begitu mendapatkan
surat balasan itu, Prabu Tremboko yang pemarah amat murka karena merasa
kebaikannya dibalas dengan pengkhianatan dan memerintahkan Raden Arimba
menyerang balik Kerajaan Hastinapura “Kurang Ajar!! Apa-apaan ini ? Tuan Guru
mau menjajah Pringgandani. Apa ini balasan sikap baikku padanya? Tak sangka,
niatku berbuah pengkihianatan yang memelaukan ini. Kalo itu maumu, akan ku
jajah balik Hastinapura. Arimba, siapkan pasukan!!!”. Singkat cerita, pasukan
Pringgandani bergerak menuju Hastinapura. Sesampainya di batas negara
Hastinapura dengan Hutan Warnawata, Patih Gandamana terkejut melihat pasukan
Pringgandani tiba-tiba menyerang para para prajurit Hastinapura. Dengan sigap,
Patih Gandamana dan para prajuritnya segera membalas serangan.
Di Kerajaan Hastinapura, Prabu Pandu juga sedang
pusing karena idaman Dewi Madrim ingin naik Lembu Andini*2, padahal
siapapun tahu bila Lembu Andini adalah sapi kahyangan, kendaraan Batara Guru.
Ditambah lagi dengan laporan dari telik sandi tentang perang Hastinapura
melawan Pringgandani. Kemudian datanglah Arya Suman untuk memberikan
pendapatnya tentang keinginan Dewi Madrim “rayi Prabu, bukannya hamba turut
campur, tapi menurut kebiasaan yang ada, tidak baik menolak keinginan seorang
istri yang sedang ngidam. Cobalah Rayi Prabu memohon pada Sang Jagatnata, siapa
tahu Dia berkenan meminjamkan Lembu Andini”. Ibarat terkena sihir, Prabu Pandu
segera menyetujui usulan Arya Suman. “ Arya Suman satu lagi tolong bantu Patih
Gandamana meredakan ketegangan “. Arya Suman merasa dapat kesempatan untuk
menyingkirkan Patih Gandamana segera berangkat menyusul Patih Gandamana. Tak
berapa lama Prabu Pandu segera bersemedi di tamansari dan sukmanya telah
meragasukma sampai di Lawang Selomatangkep. Setelah mendapat izin dari Batara
Cingkarabala-Balaupata*3, sukma Prabu Pandu Dewanata masuk dan
menghadap Batara Guru “ Ampun Sanghyang Batara Siwa, maaf bila kedatangan hamba
ke Jonggring saloka sangat lancang. Hamba datang kesini untuk mengutarakan
keinginan istri kedua hamba, Madrim. Dia mengidam ingin naik Yang mulia Lembu
Andini, lembu kendaraan pukulun. Sudikah pukulun meminjamkannya barang sehari?”
Batara Guru dan para dewa terkejut bukan kepalang tapi karena Pandu Dewanata
pernah menyelamatkan kahyangan, Batara Guru bersedia meminjamkan lembu
tunggangannya itu “baiklah, anakku. Kupinjamkan lembu kesayanganku ini tapi aku
ingatkan, kelak kau akan masuk ke neraka Candradimuka bila kau sampai berperang
dengan muridmu sendiri. Sekarang kembalilah ke ragamu. Lembuku akan datang
setelah patihmu kembali ke Hastinapura”
Sementara
itu, di hutan Warnawata, Patih Gandamana telah berhasil mengusir pasukan
Pringgandani. Tiba-tiba dalam perjalanan pulang, seseorang memukul tengkuknya
dari belakang dan dia pingsan. Rupa-rupanya yang memukulnya adalah Arya Suman
dan dia telah menyiapkan luweng*4 untuk mengubur tubuh Patih
Gandamana.
Segeralah para prajurit suruhannya mengubur Patih Gandamana. Patih
Gandamana yang setengah sadar menyadari hal itu. “ Kurang Ajar, Arya Suman.
Heii keluarkan aku. Licik kau”. Namun, suara teriakannya hilang karena mulutnya
tersumpal tanah. Begitu Patih Gandamana sudah terkubur, Arya Suman segera
kembali dan membuat laporan palsu. Namun. Beberapa jam kemudian, Patih
Gandamana berhasil keluar dari dalam luweng. Karena terlalu lelah, dia
memutuskan beristirahat dan melanjutkan perjalanan ke Hastina keesokan harinya.
Arya Suman dihajar Patih Gandamana |
Sesampainya
Arya Suman di Hastinapura, dia segera menyusun rencananya. Dia berpura-pura
menangis didepan Prabu Pandu dan seluruh punggawa “ Hiks Hiks.... ketiwasan
kita, rayi prabu. Patih Gandamana berhasil mengalahkan pringgandani tapi dia tiba-tiba
ditusuk ditangan salah satu prajurit Pringgandani dan jasadnya dibuang ke dalam
jurang. Hamba berusaha menolongnya tapi tiba-tiba jasadnya diterkam
harimau...Hiks hiks....” Prabu Pandu terkejut dan menyatakan belasungkawa dan karena
tak ingin terlalu lama bersedih, segera dilantik patih yang baru karena keadaan
politik antara Hastinapura dan Pringgandani yang masih panas. Ditunjuklah Arya
Suman sebagai patih baru atas usul Adipati Dretarastra dan Dewi Gendari.
Lalu
esok harinya, pada hari Sukra Umanis*5, dilantiklah Arya Suman
sebagai patih baru Hastinapura. Tiba-tiba datanglah Patih Gandamana yang
ternyata berhasil selamat dari tipu dayanya. “Heeh, Suman. Begini caramu
merebut jabatanku. Sini kamu. Kita selesaikan dengan cara pria!!”. Arya Suman
pun diseretnya ke halaman keraton dan dihajar wajahnya tanpa ampun hingga wajah
dan tubuhnya rusak. “ Aduhh, sakit.... Hentikan Gandamana. Tobat aku..
Tobattt!!” teriakan Arya Suman membuat Adipati Dretarastra, Dewi Gendari dan
para Kurawa khawatir. Prabu Pandu berusaha melerai tindakan patihnya itu
“Hentikan, Gandamana. Tidak pantas kau main hakim sendiri begini. Kita bisa
bicara-baik-baik”. Setelah berkata demikian , Patih Gandamana berhenti memukul
dan menceritakan segalanya. Prabu Pandu mengerti namun tak bisa mengembalikan
titahnya. Kini dia dihadapkan dua pilihan, tetap melantik Arya Suman atau
menerima kembali Patih Gandamana. Mengetahui junjungannya itu bimbang, Patih
Gandamana pun mengalah.“sekarang saya sudah menceritakan segalanya, sesudah
melihat ini semua, sekarang saya ingin meletakkan mandat saya sebagai patih
secara fair karena Arya Suman sudah
dilantik secara sah. Biar saya yang
mengalah. Saya akan kembali Pancalaradya, mengabdi kepada ipar saya, Drupada.
Semoga Hastinapura tetap makmur dan selamat dari orang-orang licik. Saya pamit,
Gusti Prabu”. Demikianlah, Arya Gandamana telah pergi meninggalkan Hastinapura
untuk mengabdi di tanah airnya dan Arya Suman sudah diobati namun kini wajahnya
tak lagi tampan dan telah cacat. Mata kanannya menjadi kicer, tangannya
bengkok, hidungnya remuk, dan kini caranya berjalan pun terpincang-pincang.”
Nah, Suman. Perbuatanmu sekarang telah mendapatkan karmanya. Tapi karena
Gandamana sudah pulang kembali ke negara tanah airnya, kamu akan tetap menjadi
patihku. Sebagai pengingat, namamu akan ku ganti menjadi Arya Sengkuni, karena
dari ucapanmu, rupamu menjadi sekarang ini”. Patih Arya Sengkuni menerima
keputusan itu dan pura-pura bertobat.
Seminggu
kemudian, di halaman keraton, datanglah Lembu Andini. Karena permohonannya
terkabul, Prabu Pandu kemudian menaikkan Dewi Madrim dan mereka berpesiar terbang
mengelilingi Hastinapura dan Mandaraka selama seharian penuh. Selama sehari
penuh mereka amat bahagia dan terlena sekali. Tiba-tiba Dewi Madrim merasa
kesakitan karena perutnya bergejolak. Rupanya Dewi Madrim akan melahirkan.
Prabu Pandu amat panik. Lembu Andini yang peka, segera menurunkan Prabu Pandu
dan Dewi Madrim kembali ke keraton dan pamit untuk kembali ke kahyangan
Jonggring Saloka.
Prabu Pandu Dewanata dan Dewi Madrim pesiar diatas Lembu Andini |
Dewi
Kunthi, para putranya dan Ki Lurah Semar yang menunggu di siti hinggil segera
membantu Dewi Madrim yang kesakitan sambil memegangi kandungannya. Dewi Madrim
dibantu oleh Dewi Kunthi merapal mantra Aji Punta Wekasing Rahsa Tunggal sambil
memanggil nama Aswan-Aswin. Seketika, datanglah Batara Aswan dan Batara Aswin,
dewanya para tabib dan dokter, putra Batara Surya. Seketika, begitu Batara
Aswan dan Aswin memegang perut Dewi Madrim,rasa sakitnya hilang dan dia
melahirkan sepasang putra kembar. Bukan hanya itu saja, dengan kekuasaannya, Batara
Aswan dan Aswin mempercepat pertumbuhan kedua putra kembarnya itu sehingga
berubah menjadi anak-anak berusia delapan tahun. Kemudian kedua dewa kembar itu
segera memberikan anugerah pada dua putra kembar itu.” Anakku Pandu, putra
kembar kalian akan kami anugerahi paras rupawan, kemampuan mengobati penyakit, aji
Prawanajati dan aji Purnamajati*6. Putramu yang kuberi aji
Prawanajati akan menjadi orang berdaya ingat kuat. “ kemudian Batara Aswin
melanjutkan “ dan putramu yang kuberi aji Purnamajati, akan menjadi ahli
astronomi dan memiliki kekuatan menganalisa dan memprediksi sesuatu dengan
akurat.” Setelah memberikan berkahnya, Batara Aswan dan Aswin kembali ke
kahyangan. Oleh Prabu Pandu, putranya yang mendapat Aji Prawanajati ditetapkan
menjadi yang tertua dan diberi nama Raden Nakula. Sedangkan putranya yang mendapat
aji Purnamajati menjadi adiknya dan diberi nama Raden Sadewa. Oleh Dewi Madrim,
kedua putranya diberi nama tambahan, Raden Nakula diberi nama Raden Pinten dan
Raden Sadewa diberi nama Raden Tangsen. Oleh Maharesi Bhisma, anak-anak Pandu
kini telah lengkap lima jumlahnya. Mereka pun diberi julukan Pandawa yang
artinya keturunan Pandu
Berkah untuk Raden Nakula dan Sadewa |
Beberapa
hari kemudian, Prabu Tremboko dan pasukannya datang menyerang Hastinapura.
Berita kekalahan pasukannya melawan Patih Gandamana dan pasukannya membuat
Prabu Tremboko gelap mata dan menyerang para prajurit Hastinapura. Prabu Pandu seakan
lupa peringatan dari Batara Guru, tak tinggal diam dan mengerahkan seluruh
pasukan. Terjadilah sebuah perang besar. Perang antara guru dan muridnya.
Korban yang jatuh tidak sedikit baik di pihak Hastina maupun di pihak
Pringgandani. Kemudian Prabu Pandu datang dihadapan Prabu Tremboko. Prabu
Tremboko datang dan mengajaknya duel satu lawan satu“ Hehhh, Tuan Guru.
Kekalahan pasukanku dengan Gandamana tak berakhir sampai disini. Kita berperang
disini mengorbankan sebegitu banyak pasukan kita dengan sia-sia hanya karena
adu domba seseorang. Aku menantangmu bertarung satu lawan satu” “ Aku terima
tantanganmu. Anggap saja ini permintaan maafku dan jalan menuju alam baka.”
Mulailah Prabu Pandu berperang tanding dengan murid yang paling dibanggakannya.
Mereka saling serang dengan keris., Prabu pandu dengan Keris Pulanggeni dan
Prabu Tremboko dengan Keris Kalanadah. Tak berapa lama, Prabu Tremboko tewas
tertusuk Keris Pulanggeni. Pasukan Pringgondani dan Raden Arimba segera kembali
ke negaranya. Namun sebelum benar-benar tewas, kaki Prabu Pandu sempat tergores
Keris Kalanadah sehingga Prabu Pandu sakit dan keris Kalanadah diberikan pada
putranya, Raden Permadi.
Perang Pamuksa, perang antara guru dan murid. |
Setelah
dirawat beberapa pekan, sakit Prabu Pandu Dewanata berangsur sembuh. Pada suatu
hari, di musim semi yang indah, bunga-bunga bermekaran dan pepohonan bersemi
indah. Prabu Pandu berjalan-jalan ke salah satu tamansari istana, taman
Kadilengleng*7. Dia tak tahu di taman itu tempat Dewi Gendari pernah
melakukan sumpah. Dirinya tak sengaja melihat Dewi Madrim yang baru selesai
mandi dengan rambut yang tergerai indah. Amat terlenalah dia dengan kecantikan
Dewi Madrim, sang istri muda. Nafsu birahi yang ditahannya selama bertahun-tahun seketika goyah. Ibarat terkena sihir musim semi dan telah lupa dengan kutuk pasu
Resi Kindama, mereka saling berkejaran diantara bunga-bunga yang bermekaran dan
sudah tergugah nafsu birahi mereka. Mereka berkejaran bagai sepasang kijang yang dimabuk asmara“
Madrim ku sayang, aku sudah lama memendam rasa ini. uhhh. Mari Ikut aku. Kita
bermain dalam permainan cinta” Mereka benar-benar dimabuk asmara bahkan lupa
dengan kutukan itu. Gairah untuk bercinta semakin membuncah, Prabu Pandu dan
Dewi Madrim memadu kasih, berolah asmara di taman itu.
Tiba-tiba datang
halilintar menyambar. Prabu Pandu Dewanata tiba-tiba kejang-kejang dan
mengalami serangan jantung. Dewi Madrim panik dan berteriak meminta tolong. Sontak
seluruh penghuni keraton terkejut. Dewi Kunthi dan para punakawan disusul
Maharesi Bhisma, Mpu Krepa, Arya Widura, dan Adipati Dretarastra segera
mendatangi mereka. Namun terlambat, kutuk pasu tak bisa dihentikan, Batara
Yamadipati telah menjerat roh Prabu Pandu Dewanata dan membawanya ke kawah
Candradimuka. Prabu Pandu wafat seketika itu jua. Dewi Kunthi dan Dewi Madrim yang
sangat syok menangisi kepergian suami mereka. Segeralah Maharesi Bhisma memanggil
Maharesi Abiyasa dengan aji pameling mengabarkan berita duka ini. Ibu ratu
Satyawati Durgandini,dan Dewi Ambalika di Saptaharga jatuh pingsan mendengar
kabar itu.
Prabu Pandu mencumbui Dewi Madrim |
Keesokannya,
dimulailah prosesi kremasi. Maharesi Abiyasa mulai membakar jenazah putranya
yang disayanginya itu. Seluruh rakyat Hastina tenggelam dalam duka. Para
Pandawa menangis sesegukan. Para kerabat istana hanya tertunduk dengan wajah
muram. Dewi Madrim terus menyalahkan dirinya dan memutuskan untuk labuh geni.
“Yunda Kunthi, karena aku kanda prabu mendapat kutuk pasu dan karena aku pula
kini kutuk itu jadi kenyataan. Telah kuputuskan, yunda Kunthi. Aku titip
putra-putraku. Besarkanlah putra-putra kita sebagai ksatria-ksatria berbudi.
Aku akan menyusul kanda prabu. Swarga
nunut, neraka katut. Aku akan mendampinginya di neraka Candradimuka.
Biarlah aku ikut terhukum.” Ketulusan Dewi Madrim membuat Dewi Kunthi semakin
sedih. Para Pandawa dan Dewi Kunthi pun memeluk Dewi Madrim untuk yang terakhir
kalinya. Api pancaka pun membumbung tinggi. Dewi Madrim pun terjun ke dalam api
menyusul sang suami. Dibalik kesedihan itu, nampaklah wajah Dewi Gendari dan
Patih Arya Sengkuni menunggingkan senyuman karena satu penghalang mereka
musnah. Beberapa hari kemudian setelah hari berkabung, Adipati Dretarastra
dilantik sebagai raja wakil selama Para Pandawa dan Kurawa masih belum berguru
ilmu perang. Untuk sementara, Mpu Krepa ditunjuk sebagai guru tatanegara dan kebijaksanaan
bagi para pangeran Hastinapura. Tanpa persetujuan Prabu Dretarastra dan para
sesepuh Hastina, Dewi Kunthi meninggalkan kedhaton Hastinapura membawa para putranya untuk tinggal di padepokan
Saptarengga bersama para punakawan sekaligus menghilangkan trauma kesedihan karena meninggalnya Pandu.
*1 Arya Brajadentha dan
Arya Brajamusthi, Putra prabu Tremboko nomor 3 dan 4 lahir karena sebagian
Ajian Brajadentha dan Brajamusthi diwariskan pada Prabu Tremboko. Prabu Tremboko,
raja para yaksa dari Pringgandani sudah lama bersahabat dan berguru pada Pandu
Dewanata sejak sebelum Bambang Sucitra datang ke pulau Jawa
*2 Lembu Andini adalah
salah satu kendaraan surgawi selain Gajah Erawata milik Batara Indra, Garudeya
Brihawan dan ular Naga Adisesa milik Batara Wisnu, Harimau Sardulamurti milik
Batari Durga, dan Angsa Hamsamurti milik Batara Brahma. Lembu jantan ini kendaraan
Batara Guru/Siwa, rajanya para dewa-dewi.
*3 Batara
Cingkarabala-Balaupata adalah sepasang dewa kembar berwujud yaksa/raksasa
penjaga pintu gerbang kahyangan, Lawang Selomatangkep. Kedua dewa ini adalah
putra raja jin Rohpatanam. Mereka juga
bersaudara dengan Lembu Andini.
*4 Luweng adalah lubang/sumur
perangkap yang amat dalam. Biasanya luweng digunakan untuk menjebak hewan
buruan agar jatuh ke dalamnya dan tak bisa keluar lagi
*5 Sukra Umanis bila
diterjemahkan dalam bahasa sekarang artinya hari Jumat Legi. Dalam pembagian
tujuh hari Jawa dan Bali, dikenal hari Soma/Senin, Anggara/Selasa, Buda/Rabu,
Respati/Kamis, Sukra/Jumat, Tumpak atau Saniscara/ Sabtu, dan Radite/Ahad ;
Minggu. Selain itu dikenal sistem lima harian yang disebut Pasaran atau
Pancawara dalam bahasa Bali. Pasaran terdiri dari lima hari yaitu Kliwon/Kasih,
Legi/Umanis, Pahing/Jenar, Pon/Palguna, dan Wage/Cemengan
*6 Aji Prawanajati dan
Aji Purnamajati adalah ajian kecerdasan. Hanya makhluk tertentu saja yang
diberi kesempatan memiliki dan mengamalkan ajian ini. Siapapun yang memiliki
salah satu ajian ini, akan menjadi orang yang sangat cerdas, berdaya ingat
kuat, dan memiliki kemampuan memprediksi segala sesuatu.
*7 Taman Kadilengleng
adalah salah satu taman terindah di Hastinapura. Keindahannya setara dengan
taman Argasoka di Alengka. Sesuai dengan namanya, siapapun yang masuk ke taman
itu akan lupa akan beban hidup dan terlena oleh keindahannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar