Selasa, 26 Februari 2019

Prahara Hastinapura, Akhir kisah sang Dewanata : Lahirnya Nakula dan Sadewa


Holla semua, guys. Kembali lagi nih. Kali ini saya menceritakan kelahiran bungsu Pandawa, Raden Nakula dan Sadewa. Dikisahkan juga Patih Gandamana yang mengundurkan diri dari jabatan patih Hastinapura, dilantiknya Arya Suman menjadi patih secara licik bergelar Patih Arya Sengkuni, perang antara Prabu Pandu melawan muridnya sendiri, Prabu Tremboko dari Pringgandani yang juga karena adu domba dan intrik. Kisah ditutup dengan meninggalnya Prabu Pandu karena memadu kasih dan berolah asmara dengan Dewi Madrim dan Dewi Madrim yang bela pati menyusul suaminya. Sumber yang saya gunakan dari blog-blog pewayangan dan kitab Pustakaraja Purwa karya Raden Ngabehi Ronggowarsito,lalu dipadukan dengan isi Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa dan serial kolosal India Mahabharat Starplus.

Hastinapura sedang berbenah. Istri kedua Prabu Pandu, Dewi Madrim sedang hamil dan kini usia kehamilannya sudah tujuh bulan. Prabu Pandu, Dewi Kunthi, Maharesi Bhisma, Mpu Krepa, Patih Gandamana, dan Arya Widura sedang sibuk menyiapkan pesta siraman. Di kesatriyan, Raden Puntadewa yang sudah mulai berangkat remaja lebih tertarik bermain tombak dan membaca kitab-kitab suci. Arya Bratasena dan Raden Permadi walau masih kanak-kanak, sudah mulai menampakkan keahlian mereka memanah dan bermain gada. Diantara mereka, Arya Bratasena yang bertubuh besar lebih sering berselisih paham dengan para Kurawa, terutama Raden Suyudana dan Arya Dursasana. Melihat itu, Arya Suman semakin gerah melihat kebahagian Prabu Pandu sekeluarga. Dia terus mencari waktu yang pas untuk mengacaukan kebahagiaan mereka dan merebut jabatan Mahapatih dari tangan Patih Gandamana. Saat pesta siraman, Dewi Madrim mengungkapkan idamannya” Kanda Prabu, mungkin kanda boleh tak mengabulkannya tapi sekarang aku ngidam. Aku ngidam naik Lembu Andini dan bertamasya denganmu diatasnya”. Prabu Pandu dan seluruh orang yang ada disitu terkejut bukan kepalang. Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Mendengar hal itu, Arya Suman mendapatkan kesempatan untuk merebut jabatan patih dan menyingkirkan Pandu. Pada suatu hari, datanglah Raden Arimba dari Pringgandani. Raden Arimba adalah putra sulung Prabu Tremboko, raja kerajaan para yaksa di Pringgandani, salah satu murid Pandu Dewanata. Raden Arimba mengirimkan surat untuk mempererat persahabatan dari ayahnya. Tapi karena Prabu Pandu sedang tidak ada di penghadapan, surat itu dititipkan kepada Arya Suman. Oleh Arya Suman, dibuatlah surat balasan palsu yang berisi Prabu Pandu tidak sudi bersahabat lagi dengan Prabu Tremboko dan ingin menaklukan Pringgandani sebagai tanah jajahan.
Di kerajaan Pringgandani, Prabu Tremboko dihadap permaisuri Dewi Hadimba dan para putra-putrinya. Mereka adalah Raden Arimba, Dewi Arimbi, Arya Brajadentha, Arya Brajamusthi*1, Arya Brajawikalpa, Arya Prabakesha, dan Arya Kalabendana. Begitu mendapatkan surat balasan itu, Prabu Tremboko yang pemarah amat murka karena merasa kebaikannya dibalas dengan pengkhianatan dan memerintahkan Raden Arimba menyerang balik Kerajaan Hastinapura “Kurang Ajar!! Apa-apaan ini ? Tuan Guru mau menjajah Pringgandani. Apa ini balasan sikap baikku padanya? Tak sangka, niatku berbuah pengkihianatan yang memelaukan ini. Kalo itu maumu, akan ku jajah balik Hastinapura. Arimba, siapkan pasukan!!!”. Singkat cerita, pasukan Pringgandani bergerak menuju Hastinapura. Sesampainya di batas negara Hastinapura dengan Hutan Warnawata, Patih Gandamana terkejut melihat pasukan Pringgandani tiba-tiba menyerang para para prajurit Hastinapura. Dengan sigap, Patih Gandamana dan para prajuritnya segera membalas serangan.
Di  Kerajaan Hastinapura, Prabu Pandu juga sedang pusing karena idaman Dewi Madrim ingin naik Lembu Andini*2, padahal siapapun tahu bila Lembu Andini adalah sapi kahyangan, kendaraan Batara Guru. Ditambah lagi dengan laporan dari telik sandi tentang perang Hastinapura melawan Pringgandani. Kemudian datanglah Arya Suman untuk memberikan pendapatnya tentang keinginan Dewi Madrim “rayi Prabu, bukannya hamba turut campur, tapi menurut kebiasaan yang ada, tidak baik menolak keinginan seorang istri yang sedang ngidam. Cobalah Rayi Prabu memohon pada Sang Jagatnata, siapa tahu Dia berkenan meminjamkan Lembu Andini”. Ibarat terkena sihir, Prabu Pandu segera menyetujui usulan Arya Suman. “ Arya Suman satu lagi tolong bantu Patih Gandamana meredakan ketegangan “. Arya Suman merasa dapat kesempatan untuk menyingkirkan Patih Gandamana segera berangkat menyusul Patih Gandamana. Tak berapa lama Prabu Pandu segera bersemedi di tamansari dan sukmanya telah meragasukma sampai di Lawang Selomatangkep. Setelah mendapat izin dari Batara Cingkarabala-Balaupata*3, sukma Prabu Pandu Dewanata masuk dan menghadap Batara Guru “ Ampun Sanghyang Batara Siwa, maaf bila kedatangan hamba ke Jonggring saloka sangat lancang. Hamba datang kesini untuk mengutarakan keinginan istri kedua hamba, Madrim. Dia mengidam ingin naik Yang mulia Lembu Andini, lembu kendaraan pukulun. Sudikah pukulun meminjamkannya barang sehari?” Batara Guru dan para dewa terkejut bukan kepalang tapi karena Pandu Dewanata pernah menyelamatkan kahyangan, Batara Guru bersedia meminjamkan lembu tunggangannya itu “baiklah, anakku. Kupinjamkan lembu kesayanganku ini tapi aku ingatkan, kelak kau akan masuk ke neraka Candradimuka bila kau sampai berperang dengan muridmu sendiri. Sekarang kembalilah ke ragamu. Lembuku akan datang setelah patihmu kembali ke Hastinapura”
Sementara itu, di hutan Warnawata, Patih Gandamana telah berhasil mengusir pasukan Pringgandani. Tiba-tiba dalam perjalanan pulang, seseorang memukul tengkuknya dari belakang dan dia pingsan. Rupa-rupanya yang memukulnya adalah Arya Suman dan dia telah menyiapkan luweng*4 untuk mengubur tubuh Patih Gandamana.
Arya Suman dihajar Patih Gandamana
Segeralah para prajurit suruhannya mengubur Patih Gandamana. Patih Gandamana yang setengah sadar menyadari hal itu. “ Kurang Ajar, Arya Suman. Heii keluarkan aku. Licik kau”. Namun, suara teriakannya hilang karena mulutnya tersumpal tanah. Begitu Patih Gandamana sudah terkubur, Arya Suman segera kembali dan membuat laporan palsu. Namun. Beberapa jam kemudian, Patih Gandamana berhasil keluar dari dalam luweng. Karena terlalu lelah, dia memutuskan beristirahat dan melanjutkan perjalanan ke Hastina keesokan harinya.
Sesampainya Arya Suman di Hastinapura, dia segera menyusun rencananya. Dia berpura-pura menangis didepan Prabu Pandu dan seluruh punggawa “ Hiks Hiks.... ketiwasan kita, rayi prabu. Patih Gandamana berhasil mengalahkan pringgandani tapi dia tiba-tiba ditusuk ditangan salah satu prajurit Pringgandani dan jasadnya dibuang ke dalam jurang. Hamba berusaha menolongnya tapi tiba-tiba jasadnya diterkam harimau...Hiks hiks....” Prabu Pandu terkejut dan menyatakan belasungkawa dan karena tak ingin terlalu lama bersedih, segera dilantik patih yang baru karena keadaan politik antara Hastinapura dan Pringgandani yang masih panas. Ditunjuklah Arya Suman sebagai patih baru atas usul Adipati Dretarastra dan Dewi Gendari.
Lalu esok harinya, pada hari Sukra Umanis*5, dilantiklah Arya Suman sebagai patih baru Hastinapura. Tiba-tiba datanglah Patih Gandamana yang ternyata berhasil selamat dari tipu dayanya. “Heeh, Suman. Begini caramu merebut jabatanku. Sini kamu. Kita selesaikan dengan cara pria!!”. Arya Suman pun diseretnya ke halaman keraton dan dihajar wajahnya tanpa ampun hingga wajah dan tubuhnya rusak. “ Aduhh, sakit.... Hentikan Gandamana. Tobat aku.. Tobattt!!” teriakan Arya Suman membuat Adipati Dretarastra, Dewi Gendari dan para Kurawa khawatir. Prabu Pandu berusaha melerai tindakan patihnya itu “Hentikan, Gandamana. Tidak pantas kau main hakim sendiri begini. Kita bisa bicara-baik-baik”. Setelah berkata demikian , Patih Gandamana berhenti memukul dan menceritakan segalanya. Prabu Pandu mengerti namun tak bisa mengembalikan titahnya. Kini dia dihadapkan dua pilihan, tetap melantik Arya Suman atau menerima kembali Patih Gandamana. Mengetahui junjungannya itu bimbang, Patih Gandamana pun mengalah.“sekarang saya sudah menceritakan segalanya, sesudah melihat ini semua, sekarang saya ingin meletakkan mandat saya sebagai patih secara fair karena Arya Suman sudah dilantik secara sah. Biar saya yang mengalah. Saya akan kembali Pancalaradya, mengabdi kepada ipar saya, Drupada. Semoga Hastinapura tetap makmur dan selamat dari orang-orang licik. Saya pamit, Gusti Prabu”. Demikianlah, Arya Gandamana telah pergi meninggalkan Hastinapura untuk mengabdi di tanah airnya dan Arya Suman sudah diobati namun kini wajahnya tak lagi tampan dan telah cacat. Mata kanannya menjadi kicer, tangannya bengkok, hidungnya remuk, dan kini caranya berjalan pun terpincang-pincang.” Nah, Suman. Perbuatanmu sekarang telah mendapatkan karmanya. Tapi karena Gandamana sudah pulang kembali ke negara tanah airnya, kamu akan tetap menjadi patihku. Sebagai pengingat, namamu akan ku ganti menjadi Arya Sengkuni, karena dari ucapanmu, rupamu menjadi sekarang ini”. Patih Arya Sengkuni menerima keputusan itu dan pura-pura bertobat.
Seminggu kemudian, di halaman keraton, datanglah Lembu Andini. Karena permohonannya terkabul, Prabu Pandu kemudian menaikkan Dewi Madrim dan mereka berpesiar terbang mengelilingi Hastinapura dan Mandaraka selama seharian penuh. Selama sehari penuh mereka amat bahagia dan terlena sekali. Tiba-tiba Dewi Madrim merasa kesakitan karena perutnya bergejolak. Rupanya Dewi Madrim akan melahirkan. Prabu Pandu amat panik. Lembu Andini yang peka, segera menurunkan Prabu Pandu dan Dewi Madrim kembali ke keraton dan pamit untuk kembali ke kahyangan Jonggring Saloka.
Prabu Pandu Dewanata dan Dewi Madrim pesiar diatas Lembu Andini

Dewi Kunthi, para putranya dan Ki Lurah Semar yang menunggu di siti hinggil segera membantu Dewi Madrim yang kesakitan sambil memegangi kandungannya. Dewi Madrim dibantu oleh Dewi Kunthi merapal mantra Aji Punta Wekasing Rahsa Tunggal sambil memanggil nama Aswan-Aswin. Seketika, datanglah Batara Aswan dan Batara Aswin, dewanya para tabib dan dokter, putra Batara Surya. Seketika, begitu Batara Aswan dan Aswin memegang perut Dewi Madrim,rasa sakitnya hilang dan dia melahirkan sepasang putra kembar. Bukan hanya itu saja, dengan kekuasaannya, Batara Aswan dan Aswin mempercepat pertumbuhan kedua putra kembarnya itu sehingga berubah menjadi anak-anak berusia delapan tahun. Kemudian kedua dewa kembar itu segera memberikan anugerah pada dua putra kembar itu.” Anakku Pandu, putra kembar kalian akan kami anugerahi paras rupawan, kemampuan mengobati penyakit, aji Prawanajati dan aji Purnamajati*6. Putramu yang kuberi aji Prawanajati akan menjadi orang berdaya ingat kuat. “ kemudian Batara Aswin melanjutkan “ dan putramu yang kuberi aji Purnamajati, akan menjadi ahli astronomi dan memiliki kekuatan menganalisa dan memprediksi sesuatu dengan akurat.” Setelah memberikan berkahnya, Batara Aswan dan Aswin kembali ke kahyangan. Oleh Prabu Pandu, putranya yang mendapat Aji Prawanajati ditetapkan menjadi yang tertua dan diberi nama Raden Nakula. Sedangkan putranya yang mendapat aji Purnamajati menjadi adiknya dan diberi nama Raden Sadewa. Oleh Dewi Madrim, kedua putranya diberi nama tambahan, Raden Nakula diberi nama Raden Pinten dan Raden Sadewa diberi nama Raden Tangsen. Oleh Maharesi Bhisma, anak-anak Pandu kini telah lengkap lima jumlahnya. Mereka pun diberi julukan Pandawa yang artinya keturunan Pandu
Berkah untuk Raden Nakula dan Sadewa

Beberapa hari kemudian, Prabu Tremboko dan pasukannya datang menyerang Hastinapura. Berita kekalahan pasukannya melawan Patih Gandamana dan pasukannya membuat Prabu Tremboko gelap mata dan menyerang para prajurit Hastinapura. Prabu Pandu seakan lupa peringatan dari Batara Guru, tak tinggal diam dan mengerahkan seluruh pasukan. Terjadilah sebuah perang besar. Perang antara guru dan muridnya. Korban yang jatuh tidak sedikit baik di pihak Hastina maupun di pihak Pringgandani. Kemudian Prabu Pandu datang dihadapan Prabu Tremboko. Prabu Tremboko datang dan mengajaknya duel satu lawan satu“ Hehhh, Tuan Guru. Kekalahan pasukanku dengan Gandamana tak berakhir sampai disini. Kita berperang disini mengorbankan sebegitu banyak pasukan kita dengan sia-sia hanya karena adu domba seseorang. Aku menantangmu bertarung satu lawan satu” “ Aku terima tantanganmu. Anggap saja ini permintaan maafku dan jalan menuju alam baka.” Mulailah Prabu Pandu berperang tanding dengan murid yang paling dibanggakannya.
Perang Pamuksa, perang antara guru dan murid.
Mereka saling serang dengan keris., Prabu pandu dengan Keris Pulanggeni dan Prabu Tremboko dengan Keris Kalanadah. Tak berapa lama, Prabu Tremboko tewas tertusuk Keris Pulanggeni. Pasukan Pringgondani dan Raden Arimba segera kembali ke negaranya. Namun sebelum benar-benar tewas, kaki Prabu Pandu sempat tergores Keris Kalanadah sehingga Prabu Pandu sakit dan keris Kalanadah diberikan pada putranya, Raden Permadi.
Setelah dirawat beberapa pekan, sakit Prabu Pandu Dewanata berangsur sembuh. Pada suatu hari, di musim semi yang indah, bunga-bunga bermekaran dan pepohonan bersemi indah. Prabu Pandu berjalan-jalan ke salah satu tamansari istana, taman Kadilengleng*7. Dia tak tahu di taman itu tempat Dewi Gendari pernah melakukan sumpah. Dirinya tak sengaja melihat Dewi Madrim yang baru selesai mandi dengan rambut yang tergerai indah. Amat terlenalah dia dengan kecantikan Dewi Madrim, sang istri muda. Nafsu birahi yang ditahannya selama bertahun-tahun seketika goyah. Ibarat terkena sihir musim semi dan telah lupa dengan kutuk pasu Resi Kindama, mereka saling berkejaran diantara bunga-bunga yang bermekaran dan sudah tergugah nafsu birahi mereka. Mereka berkejaran bagai sepasang kijang yang dimabuk asmara“ Madrim ku sayang, aku sudah lama memendam rasa ini. uhhh. Mari Ikut aku. Kita bermain dalam permainan cinta” Mereka benar-benar dimabuk asmara bahkan lupa dengan kutukan itu. Gairah untuk bercinta semakin membuncah, Prabu Pandu dan Dewi Madrim memadu kasih, berolah asmara di taman itu.
Prabu Pandu mencumbui Dewi Madrim
Tiba-tiba datang halilintar menyambar. Prabu Pandu Dewanata tiba-tiba kejang-kejang dan mengalami serangan jantung. Dewi Madrim panik dan berteriak meminta tolong. Sontak seluruh penghuni keraton terkejut. Dewi Kunthi dan para punakawan disusul Maharesi Bhisma, Mpu Krepa, Arya Widura, dan Adipati Dretarastra segera mendatangi mereka. Namun terlambat, kutuk pasu tak bisa dihentikan, Batara Yamadipati telah menjerat roh Prabu Pandu Dewanata dan membawanya ke kawah Candradimuka. Prabu Pandu wafat seketika itu jua. Dewi Kunthi dan Dewi Madrim yang sangat syok menangisi kepergian suami mereka. Segeralah Maharesi Bhisma memanggil Maharesi Abiyasa dengan aji pameling mengabarkan berita duka ini. Ibu ratu Satyawati Durgandini,dan Dewi Ambalika di Saptaharga jatuh pingsan mendengar kabar itu.
Keesokannya, dimulailah prosesi kremasi. Maharesi Abiyasa mulai membakar jenazah putranya yang disayanginya itu. Seluruh rakyat Hastina tenggelam dalam duka. Para Pandawa menangis sesegukan. Para kerabat istana hanya tertunduk dengan wajah muram. Dewi Madrim terus menyalahkan dirinya dan memutuskan untuk labuh geni. “Yunda Kunthi, karena aku kanda prabu mendapat kutuk pasu dan karena aku pula kini kutuk itu jadi kenyataan. Telah kuputuskan, yunda Kunthi. Aku titip putra-putraku. Besarkanlah putra-putra kita sebagai ksatria-ksatria berbudi. Aku akan menyusul kanda prabu. Swarga nunut, neraka katut. Aku akan mendampinginya di neraka Candradimuka. Biarlah aku ikut terhukum.” Ketulusan Dewi Madrim membuat Dewi Kunthi semakin sedih. Para Pandawa dan Dewi Kunthi pun memeluk Dewi Madrim untuk yang terakhir kalinya. Api pancaka pun membumbung tinggi. Dewi Madrim pun terjun ke dalam api menyusul sang suami. Dibalik kesedihan itu, nampaklah wajah Dewi Gendari dan Patih Arya Sengkuni menunggingkan senyuman karena satu penghalang mereka musnah. Beberapa hari kemudian setelah hari berkabung, Adipati Dretarastra dilantik sebagai raja wakil selama Para Pandawa dan Kurawa masih belum berguru ilmu perang. Untuk sementara, Mpu Krepa ditunjuk sebagai guru tatanegara dan kebijaksanaan bagi para pangeran Hastinapura. Tanpa persetujuan Prabu Dretarastra dan para sesepuh Hastina, Dewi Kunthi meninggalkan kedhaton Hastinapura membawa para putranya untuk tinggal di padepokan Saptarengga bersama para punakawan sekaligus menghilangkan trauma kesedihan karena meninggalnya Pandu.
*1 Arya Brajadentha dan Arya Brajamusthi, Putra prabu Tremboko nomor 3 dan 4 lahir karena sebagian Ajian Brajadentha dan Brajamusthi diwariskan pada Prabu Tremboko. Prabu Tremboko, raja para yaksa dari Pringgandani sudah lama bersahabat dan berguru pada Pandu Dewanata sejak sebelum Bambang Sucitra datang ke pulau Jawa
*2 Lembu Andini adalah salah satu kendaraan surgawi selain Gajah Erawata milik Batara Indra, Garudeya Brihawan dan ular Naga Adisesa milik Batara Wisnu, Harimau Sardulamurti milik Batari Durga, dan Angsa Hamsamurti milik Batara Brahma. Lembu jantan ini kendaraan Batara Guru/Siwa, rajanya para dewa-dewi.
*3 Batara Cingkarabala-Balaupata adalah sepasang dewa kembar berwujud yaksa/raksasa penjaga pintu gerbang kahyangan, Lawang Selomatangkep. Kedua dewa ini adalah putra raja jin  Rohpatanam. Mereka juga bersaudara dengan Lembu Andini.
*4 Luweng adalah lubang/sumur perangkap yang amat dalam. Biasanya luweng digunakan untuk menjebak hewan buruan agar jatuh ke dalamnya dan tak bisa keluar lagi
*5 Sukra Umanis bila diterjemahkan dalam bahasa sekarang artinya hari Jumat Legi. Dalam pembagian tujuh hari Jawa dan Bali, dikenal hari Soma/Senin, Anggara/Selasa, Buda/Rabu, Respati/Kamis, Sukra/Jumat, Tumpak atau Saniscara/ Sabtu, dan Radite/Ahad ; Minggu. Selain itu dikenal sistem lima harian yang disebut Pasaran atau Pancawara dalam bahasa Bali. Pasaran terdiri dari lima hari yaitu Kliwon/Kasih, Legi/Umanis, Pahing/Jenar, Pon/Palguna, dan Wage/Cemengan
*6 Aji Prawanajati dan Aji Purnamajati adalah ajian kecerdasan. Hanya makhluk tertentu saja yang diberi kesempatan memiliki dan mengamalkan ajian ini. Siapapun yang memiliki salah satu ajian ini, akan menjadi orang yang sangat cerdas, berdaya ingat kuat, dan memiliki kemampuan memprediksi segala sesuatu.
*7 Taman Kadilengleng adalah salah satu taman terindah di Hastinapura. Keindahannya setara dengan taman Argasoka di Alengka. Sesuai dengan namanya, siapapun yang masuk ke taman itu akan lupa akan beban hidup dan terlena oleh keindahannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar