Minggu, 10 Februari 2019

Kutuk Pasu Resi Kindama


Hai para readers yang budiman, kini saya akan melanjutkan kisah sebelumnya. Kali ini saya akan menceritakan sebuah kutukan yang kelak akan menyebabkan ayah para Pandawa menemui celaka dan juga ajalnya. Dalam kisah ini juga akan diceritakan bagaimana Prabu Drupada mendapatkan takhtanya di Pancalaradya dan bagaimana Gandamana, putra mahkota Pancalaradya yang sebenar bisa menjadi patih di Hastinapura. Kisah ini saya susun dengan memadukan sumber dari Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa dan Kitab Pustakaraja Purwa lalu saya kembangkan dan ubah seperlunya.
Pada hari yang dianggap baik, setelah melangsungkan pernikahannya,Pandu Dewanata dilantik menjadi raja Hastinapura, menggantikan ayahnya, Prabu Kresna Dipayana. Pelantikan itu disaksikan Maharesi Bhisma, Mpu Krepa, seluruh keluarga, segenap punggawa, dan rakyat Hastinapura. Setelah lengser, Prabu Kresna Dipayana kembali ke padepokan Saptaarga bersama sang ibu ratu dan kembali menjadi Maharesi Abiyasa. Sementara itu, Dretarastra ditunjuk menjadi Adipati di kota Gajahoya dan Arya Widura menjadi adipati di Panggombakan. Selama memerintah negara, Pandu terkenal cakap dan tanggap. Berbagai permasalahan baik luar dalam luar negeri, selalu bisa dikoordinasikan antara dirinya dan para menteri. Namun dirinya masih menghadapi kesulitan, karena belum memiliki seorang patih. Hingga pada suatu hari datanglah seorang pria muda bernama Sucitra, datang dari jazirah Atasangin menghadap pada Pandu Dewanata “Ampun, Yang Mulia. Nama hamba Sucitra. Hamba mendapat wangsit dewata untuk berguru kepada raja Hastinapura. Saya hendak melaksanakan sayembara di Pancalaradya untuk memenangkan Dewi Gandawati dengan mengalahkan putra mahkota Pancalaradya, Gandamana. Sudikah Yang Mulia menjadi guru hamba?” Prabu Pandu Dewanata menyanggupi permintan Sucitra. ”Tentu, Sucitra. Kebetulan sekali saya juga diundang untuk menonton sayembara itu”
Singkat cerita, Sucitra belajar berbagai ilmu kesaktian dan kanuragan. Kini dia telah siap mengalahkan Raden Gandamana. Di hari sayembara, setelah semua peserta kalah oleh Gandamana, Sucitra mampu mengalahkan Gandamana berkat berlatih dan berguru pada Prabu Pandu. Bahkan Gandamana bersedia menuruti keinginan Sucitra. Tapi Sucitra yang berhati besar membangunkan dan membesarkan hatinya “kakang Gandamana, jangan begitu. Kita akan bersaudara. tak perlulah menyanjung begitu. Apabila kakang Gandamana punya permintaan, sebutkan saja dan akan ku penuhi segenap jiwa ragaku”  setelah berpikir matang-matang, Raden Gandamana menyebutkan permintaannya “Sucitra, kini kau sudah menjadi calon suami adikku, Gandawati. Permintaanku hanya satu, jadilah raja di Pancalaradya. Aku ingin mengabdi pada orang yang menjadi gurumu”. Awalnya Sucitra menolak, tetapi karena terus didesak oleh Gandamana, Sucitra bersedia menjadi raja Pancalaradya dan Gandamana mengabdi pada Pandu Dewanata sebagai patih Hastinapura. Pada hari yang baik, setelah pernikahannya dengan Gandawati,Sucitra dilantik menjadi raja kerajaan Pancalaradya menggantikan mertuanya, Prabu Gandabayu dan mengganti namanya menjadi Prabu Drupada.
Setelah pelantikan patih, Patih Gandamana mulai bekerja sebagai patih dengan baik. Dibalik itu, Arya Suman tidak suka dengan kehadiran Patih Gandamana yang dinilai mengganggu rencananya untuk menaikkan derajat kakaknya, Dewi Gendari dan suaminya. Arya Suman akan memikirkan cara untuk menyingkirkan keberadaan Patih Gandamana dari Hastinapura sambil menunggu waktu yang pas. Pada suatu hari, karena kesibukannya sebagai raja, Prabu Pandu berniat menyisihkan waktu untuk berbulan madu di hutan Kandawa bersama kedua istrinya, Dewi Kunthi dan Dewi Madrim untuk sekedar melepas penat barang sehari. Singkat cerita, Prabu Pandu, Dewi Kunthi, dan Dewi Madrim beserta para punakawan Gareng, Petruk, dan Bagong akhirnya sampai di hutan Kandawa. Suasana yang nyaman di hutan itu, membuat Dewi Kunthi menyarankan untuk membuat pasanggrahan. “ Kanda prabu, sebaiknya kita segera membangun pasanggrahan. Tempat ini cocok. Tanahnya lapang, subur dan indah”.
Setelah membangun pasanggrahan, mereka bertiga berkeliling hutan. Hingga di sampailah di sebuah padang rumput, mereka melihat sekawanan kijang yang sedang kawin. Dewi Kunthi menyarankan untuk mencari buruan lain. “Kanda Prabu, jangan kita mengganggu mereka. Mereka sedang mempersiapkan keturunan. Sebaiknya kita cari buruan lain saja”. Tetapi Dewi Madrim malah meminta sang suami untuk memburu kijang-kijang “Kanda Prabu, kita buru saja mereka. Siapa tahu kita dapat makan malam yang enak dan banyak kali ini. Ayolah kanda. Aku kepingin kijang-kijang itu!“. Sebenarnya Prabu Pandu tidak tega tapi karena sang istri muda terus merengek, Pandu Dewanata pun mendekati kijang-kijang itu dan melepaskan panah. Merasa terancam, kijang-kijang itu berhamburan seketika. Diantara kijang-kijang itu, ada sepasang kijang yang tidak sadar akan bahaya dan tetap berkawin. Melihat ada kesempatan, Pandu Dewanata melepaskan panah dari kejauhan dan Jras! Sepasang kijang itu terkulai terkena panah. Tiba-tiba terdengar suara teriakan keras
Resi Kindama mengutuk Prabu Pandu Dewanata
“aduuh sakitnya, siapa yang tadi memanahku?”  Pandu mencari asal suara itu dan terkejutlah dia, melihat sepasang kijang yang dipanahnya berubah menjadi manusia. Si perempuan meninggal duluan, sementara sang lelaki ternyata seorang resi masih hidup “Mohon ampun, Bopo resi. Hamba tak sengaja memanah anda dan istri anda. Tapi kenapa anda memadu kasih dengan wujud kijang? Maafkan kebodohan hamba yang tidak tahu bila bopo sedang berubah wujud ” Resi itu berkata lagi “ Wahai engkau raja Hastinapura, tak ku sangka. Engkau yang terkenal bijaksana dan waskita ternyata dapat bertindak tanpa pikir panjang. Ketahuilah, ada hukum alam, dimana makhluk apapun yang sedang bercinta, sedang berpadu kasih tidak boleh diganggu, apalagi dibunuh. Tapi sekarang engkau telah melakukan dosa besar dengan memanahku yang sedang berolah asmara. Sekarang dengarkan kutuk pasuku. Aku, Resi Kindama dan istriku Rara Suhatra mengutukmu, wahai raja. Ingatlah, Bila kau memadu kasih dan berolah asmara dengan istrimu atau wanita lain, kau akan mendapatkan celaka besar!!” Seketika itu pula, setelah mengucapkan kalimat terakhir itu, sang resi meninggal menyusul istrinya dan jasadnya lengsung menghilang. Tiba-tiba, cuaca yang cerah berubah menjadi menakutkan. Petir dan angin bergemuruh mengerikan, pertanda kutuk pasu itu akan menjadi kenyataan. Badai dan hujan turun tak terkendali. Pandu Dewanata tercekat kaget karena dikutuk oleh sang resi. Pandu Dewanata pun kembali ke rombongannya dan menceritakan kejadian itu pada kedua istrinya. Mereka pun memutuskan kembali ke keraton Hastinapura.
Berita kutukan yang dialami Pandu tersebar hingga ke telinga Maharesi Abiyasa dan Bhisma. Mereka merasa sangat prihatin dengan apa yang dialaminya. Hati Pandu menjadi kalut dan sedih. Kini dia tidak bisa merasakan indahnya olah asmara lagi. Tentunya Prabu Pandu Dewanata merasa sangat terganggu akan kutuk pasu itu. Karena merasa kesulitan mengendalikan nafsu birahinya, Pandu meminta izin pada Maharesi Bhisma akan menyepi selama beberapa tahun.” Paman Maharesi, hamba sangat tersiksa dengan kutuk pasu ini. Karena itu, hamba ingin menyepi selama beberapa tahun untuk meredam hawa nafsu, syukur bila dewata agung juga menghapus kutukan ku” “tapi, anak prabu, Bagaimana dengan roda pemerintahan Hastinapura? Siapa yang akan menjalankannya bila anak prabu pergi?” Pandu sudah menyiapkan segala kemungkinan itu menenangkan hati pamannya itu “jangan khawatir, paman Maharesi. Hamba sudah bernegosiasi dengan Kakang Dretarastra dan dia bersedia menggantikanku sementara waktu” Maharesi Bhisma setuju “ Baik, Pandu. akan segera ku lantik Kakangmu sebagai raja wakil, tapi dia hanya menjabat sampai kau mendapatkan putra”. Singkat cerita, Dretarastra dilantik menjadi raja wakil. Dewi Gendari dan Arya Suman merasa senang melihatnya karena dapat melaksanakan ambisi mereka menguasai Hastinapura. Sementara itu setelah penobatan sang kakak, Prabu Pandu meninggalkan istana untuk menyepi. Rakyat Hastinapura menangis sedih melihat sang raja idaman pergi meninggalkan keraton.
Di tengah perjalanan, Prabu Pandu dicegat oleh dua istrinya dan para punakawan. “Kanda, kami berdua tak mau tinggal di istana tanpamu” Dewi Madrim melanjutkan “betul apa yang dikatakan Yunda Kunthi, kami berdua sudah sepakat untuk mengikuti Kanda pergi, swarga nunut neraka kathut. Apapun yang terjadi, kami tetap di samping kanda” Dewi Kunthi dan Dewi Madrim sudah sepakat ingin menemani Pandu dan rela menanggung dosa dari kutuk pasu Resi Kindama bersama-sama “ Mohon maaf, ndoro Pandu. Saya sudah berusaha melarang dua istri ndoro. Tapi istri-istri ndoro sudah sepakat ingin bersama ndoro susah dan senang. Karena itu saya dan anak-anak saya juga ikut mendukung” jelas Ki Lurah Semar. Bagong berseloroh “betul, ndoro. Tanpa ndoro, dunia tak akan seru” “ngomong opo tho, Gong?” seloroh Gareng dan Petruk mencairkan suasana hati sang Prabu. Prabu Pandu Dewanata terharu atas kerelaan dua istrinya itu tinggal menyepi dan kesediaan para punakawan mengikutinya.
Padepokan Saptarengga
Mereka bertujuh kemudian melanjutkan perjalanan. Hingga sampailah mereka di lereng gunung Saptarengga, di kaki gunung Saptaharga. Disana mereka membuat pertapaan baru dan Prabu Pandu menamainya Padepokan Saptarengga. Mulai hari itu, Prabu Pandu bersemedi memohon pada dewata cara mendapatkan putra tanpa berolah asmara sekaligus berusaha mengekang segala hawa nafsunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar