Hai para readers yang budiman, kini saya akan melanjutkan kisah sebelumnya. Kali ini saya akan menceritakan sebuah kutukan yang kelak akan menyebabkan ayah para Pandawa menemui celaka dan juga ajalnya. Dalam kisah ini juga akan diceritakan bagaimana Prabu Drupada mendapatkan takhtanya di Pancalaradya dan bagaimana Gandamana, putra mahkota Pancalaradya yang sebenar bisa menjadi patih di Hastinapura. Kisah ini saya susun dengan memadukan sumber dari Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa dan Kitab Pustakaraja Purwa lalu saya kembangkan dan ubah seperlunya.
Pada
hari yang dianggap baik, setelah melangsungkan pernikahannya,Pandu Dewanata
dilantik menjadi raja Hastinapura, menggantikan ayahnya, Prabu Kresna Dipayana.
Pelantikan itu disaksikan Maharesi Bhisma, Mpu Krepa, seluruh keluarga, segenap
punggawa, dan rakyat Hastinapura. Setelah lengser, Prabu Kresna Dipayana
kembali ke padepokan Saptaarga bersama sang ibu ratu dan kembali menjadi
Maharesi Abiyasa. Sementara itu, Dretarastra ditunjuk menjadi Adipati di kota
Gajahoya dan Arya Widura menjadi adipati di Panggombakan. Selama memerintah
negara, Pandu terkenal cakap dan tanggap. Berbagai permasalahan baik luar dalam
luar negeri, selalu bisa dikoordinasikan antara dirinya dan para menteri. Namun
dirinya masih menghadapi kesulitan, karena belum memiliki seorang patih. Hingga
pada suatu hari datanglah seorang pria muda bernama Sucitra, datang dari jazirah
Atasangin menghadap pada Pandu Dewanata “Ampun, Yang Mulia. Nama hamba
Sucitra. Hamba mendapat wangsit dewata untuk berguru kepada raja Hastinapura.
Saya hendak melaksanakan sayembara di Pancalaradya untuk memenangkan Dewi
Gandawati dengan mengalahkan putra mahkota Pancalaradya, Gandamana. Sudikah
Yang Mulia menjadi guru hamba?” Prabu Pandu Dewanata menyanggupi permintan
Sucitra. ”Tentu, Sucitra. Kebetulan sekali saya juga diundang untuk menonton
sayembara itu”
Singkat
cerita, Sucitra belajar berbagai ilmu kesaktian dan kanuragan. Kini dia telah
siap mengalahkan Raden Gandamana. Di hari sayembara, setelah semua peserta
kalah oleh Gandamana, Sucitra mampu mengalahkan Gandamana berkat berlatih dan
berguru pada Prabu Pandu. Bahkan Gandamana bersedia menuruti keinginan Sucitra.
Tapi Sucitra yang berhati besar membangunkan dan membesarkan hatinya “kakang Gandamana,
jangan begitu. Kita akan bersaudara. tak perlulah menyanjung begitu. Apabila kakang Gandamana punya permintaan, sebutkan saja dan akan ku penuhi segenap jiwa ragaku” setelah berpikir matang-matang, Raden
Gandamana menyebutkan permintaannya “Sucitra, kini kau sudah menjadi calon
suami adikku, Gandawati. Permintaanku hanya satu, jadilah raja di Pancalaradya.
Aku ingin mengabdi pada orang yang menjadi gurumu”. Awalnya Sucitra menolak,
tetapi karena terus didesak oleh Gandamana, Sucitra bersedia menjadi raja
Pancalaradya dan Gandamana mengabdi pada Pandu Dewanata sebagai patih
Hastinapura. Pada hari yang baik, setelah pernikahannya dengan
Gandawati,Sucitra dilantik menjadi raja kerajaan Pancalaradya menggantikan mertuanya,
Prabu Gandabayu dan mengganti namanya menjadi Prabu Drupada.
Setelah
pelantikan patih, Patih Gandamana mulai bekerja sebagai patih dengan baik.
Dibalik itu, Arya Suman tidak suka dengan kehadiran Patih Gandamana yang
dinilai mengganggu rencananya untuk menaikkan derajat kakaknya, Dewi Gendari
dan suaminya. Arya Suman akan memikirkan cara untuk menyingkirkan keberadaan
Patih Gandamana dari Hastinapura sambil menunggu waktu yang pas. Pada suatu
hari, karena kesibukannya sebagai raja, Prabu Pandu berniat menyisihkan waktu
untuk berbulan madu di hutan Kandawa bersama kedua istrinya, Dewi Kunthi dan
Dewi Madrim untuk sekedar melepas penat barang sehari. Singkat cerita, Prabu
Pandu, Dewi Kunthi, dan Dewi Madrim beserta para punakawan Gareng, Petruk, dan
Bagong akhirnya sampai di hutan Kandawa. Suasana yang nyaman di hutan itu,
membuat Dewi Kunthi menyarankan untuk membuat pasanggrahan. “ Kanda prabu,
sebaiknya kita segera membangun pasanggrahan. Tempat ini cocok. Tanahnya
lapang, subur dan indah”.
Setelah
membangun pasanggrahan, mereka bertiga berkeliling hutan. Hingga di sampailah di
sebuah padang rumput, mereka melihat sekawanan kijang yang sedang kawin. Dewi
Kunthi menyarankan untuk mencari buruan lain. “Kanda Prabu, jangan kita
mengganggu mereka. Mereka sedang mempersiapkan keturunan. Sebaiknya kita cari
buruan lain saja”. Tetapi Dewi Madrim malah meminta sang suami untuk memburu
kijang-kijang “Kanda Prabu, kita buru saja mereka. Siapa tahu kita dapat makan
malam yang enak dan banyak kali ini. Ayolah kanda. Aku kepingin kijang-kijang
itu!“. Sebenarnya Prabu Pandu tidak tega tapi karena sang istri muda terus
merengek, Pandu Dewanata pun mendekati kijang-kijang itu dan melepaskan panah.
Merasa terancam, kijang-kijang itu berhamburan seketika. Diantara kijang-kijang
itu, ada sepasang kijang yang tidak sadar akan bahaya dan tetap berkawin.
Melihat ada kesempatan, Pandu Dewanata melepaskan panah dari kejauhan dan Jras!
Sepasang kijang itu terkulai terkena panah. Tiba-tiba terdengar suara teriakan
keras
“aduuh sakitnya, siapa yang tadi memanahku?” Pandu mencari asal suara itu dan terkejutlah dia,
melihat sepasang kijang yang dipanahnya berubah menjadi manusia. Si perempuan
meninggal duluan, sementara sang lelaki ternyata seorang resi masih hidup
“Mohon ampun, Bopo resi. Hamba tak sengaja memanah anda dan istri anda. Tapi
kenapa anda memadu kasih dengan wujud kijang? Maafkan kebodohan hamba yang tidak
tahu bila bopo sedang berubah wujud ” Resi itu berkata lagi “ Wahai engkau raja
Hastinapura, tak ku sangka. Engkau yang terkenal bijaksana dan waskita ternyata
dapat bertindak tanpa pikir panjang. Ketahuilah, ada hukum alam, dimana makhluk
apapun yang sedang bercinta, sedang berpadu kasih tidak boleh diganggu, apalagi
dibunuh. Tapi sekarang engkau telah melakukan dosa besar dengan memanahku yang
sedang berolah asmara. Sekarang dengarkan kutuk pasuku. Aku, Resi Kindama dan
istriku Rara Suhatra mengutukmu, wahai raja. Ingatlah, Bila kau memadu kasih
dan berolah asmara dengan istrimu atau wanita lain, kau akan mendapatkan celaka
besar!!” Seketika itu pula, setelah mengucapkan kalimat terakhir itu, sang resi
meninggal menyusul istrinya dan jasadnya lengsung menghilang. Tiba-tiba, cuaca
yang cerah berubah menjadi menakutkan. Petir dan angin bergemuruh mengerikan,
pertanda kutuk pasu itu akan menjadi kenyataan. Badai dan hujan turun tak
terkendali. Pandu Dewanata tercekat kaget karena dikutuk oleh sang resi. Pandu
Dewanata pun kembali ke rombongannya dan menceritakan kejadian itu pada kedua
istrinya. Mereka pun memutuskan kembali ke keraton Hastinapura.
Resi Kindama mengutuk Prabu Pandu Dewanata |
Berita
kutukan yang dialami Pandu tersebar hingga ke telinga Maharesi Abiyasa dan
Bhisma. Mereka merasa sangat prihatin dengan apa yang dialaminya. Hati Pandu
menjadi kalut dan sedih. Kini dia tidak bisa merasakan indahnya olah asmara
lagi. Tentunya Prabu Pandu Dewanata merasa sangat terganggu akan kutuk pasu
itu. Karena merasa kesulitan mengendalikan nafsu birahinya, Pandu meminta izin
pada Maharesi Bhisma akan menyepi selama beberapa tahun.” Paman Maharesi, hamba
sangat tersiksa dengan kutuk pasu ini. Karena itu, hamba ingin menyepi selama
beberapa tahun untuk meredam hawa nafsu, syukur bila dewata agung juga
menghapus kutukan ku” “tapi, anak prabu, Bagaimana dengan roda pemerintahan
Hastinapura? Siapa yang akan menjalankannya bila anak prabu pergi?” Pandu sudah
menyiapkan segala kemungkinan itu menenangkan hati pamannya itu “jangan
khawatir, paman Maharesi. Hamba sudah bernegosiasi dengan Kakang Dretarastra
dan dia bersedia menggantikanku sementara waktu” Maharesi Bhisma setuju “ Baik,
Pandu. akan segera ku lantik Kakangmu sebagai raja wakil, tapi dia hanya menjabat
sampai kau mendapatkan putra”. Singkat cerita, Dretarastra dilantik menjadi
raja wakil. Dewi Gendari dan Arya Suman merasa senang melihatnya karena dapat
melaksanakan ambisi mereka menguasai Hastinapura. Sementara itu setelah
penobatan sang kakak, Prabu Pandu meninggalkan istana untuk menyepi. Rakyat
Hastinapura menangis sedih melihat sang raja idaman pergi meninggalkan keraton.
Di
tengah perjalanan, Prabu Pandu dicegat oleh dua istrinya dan para punakawan. “Kanda,
kami berdua tak mau tinggal di istana tanpamu” Dewi Madrim melanjutkan “betul
apa yang dikatakan Yunda Kunthi, kami berdua sudah sepakat untuk mengikuti
Kanda pergi, swarga nunut neraka kathut.
Apapun yang terjadi, kami tetap di samping kanda” Dewi Kunthi dan Dewi Madrim
sudah sepakat ingin menemani Pandu dan rela menanggung dosa dari kutuk pasu
Resi Kindama bersama-sama “ Mohon maaf, ndoro Pandu. Saya sudah berusaha
melarang dua istri ndoro. Tapi istri-istri ndoro sudah sepakat ingin bersama
ndoro susah dan senang. Karena itu saya dan anak-anak saya juga ikut mendukung”
jelas Ki Lurah Semar. Bagong berseloroh “betul, ndoro. Tanpa ndoro, dunia tak
akan seru” “ngomong opo tho, Gong?” seloroh Gareng dan Petruk mencairkan
suasana hati sang Prabu. Prabu Pandu Dewanata terharu atas kerelaan dua
istrinya itu tinggal menyepi dan kesediaan para punakawan mengikutinya.
Mereka
bertujuh kemudian melanjutkan perjalanan. Hingga sampailah mereka di lereng
gunung Saptarengga, di kaki gunung Saptaharga. Disana mereka membuat pertapaan
baru dan Prabu Pandu menamainya Padepokan Saptarengga. Mulai hari itu, Prabu Pandu
bersemedi memohon pada dewata cara mendapatkan putra tanpa berolah asmara
sekaligus berusaha mengekang segala hawa nafsunya.
Padepokan Saptarengga |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar