Hai semua, kembali lagi nih nulis. Kali ini saya menceritakan masa remaja putra-putri Mandura di desa Widarakandang.Di awal kisah diceritakan bagaimana Kangsa, putra haram Dewi Maherah diakui sebagai putra Prabu Basudewa dan kisah ditutup dengan pengembaraan Kakrasana dan Narayana untuk berguru. Kisah ini merupakan penggabungan lakon Kangsa Takon Bapa dan Narayana Ngalalana. Kisah ini bersumber kitab Mahabaharata karya Mpu Vyasa dan blog-blog pedalangan di internet, lalu saya kembangkan lalu diberi sentuhan-sentuhan dan unsur pedalangan Jawa.
Sepuluh tahun telah berlalu, terjadi sebuah keributan besar antara pasukan Goagra
dan Mandura. Prabu Basudewa dibantu Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena berusaha
mengendalikan keributan itu. Lalu, datanglah seorang anak remaja tinggi besar
ke keraton Mandura. Sang pemuda itu mengaku bernama Kangsa, anak Dewi Maherah.
Dia ingin dminta diakui sebagai putra Prabu Basudewa. “Mohon maaf, gusti
Prabu. Maaf bila saya lancang. Perkenalkan, nama hamba Kangsa. aku adalah putra
gusti dengan ibu Dewi Maherah. aku meminta hak untuk diakui sebagai putra gusti
prabu.” Prabu Basudewa tiba-tiba teringat akan kata-kata Batara Narada tentang
putra haram Dewi Maherah. Prabu Basudewa menimbang-nimbang dan akhirnya memutuskan “Baiklah, aku akan
mengakuimu sebagai putraku bila kau berhasil mengalahkan pasukan Goagra.” Tanpa
ba-bi-bu lagi, Kangsa langsung ke medan perang. Seakan seperti dikode oleh
Kangsa dan melihat kekuatan Kangsa yang hebat, pasukan Goagra berhasil dipukul mundur oleh Kangsa. Prabu Basudewa,
Aryaprabu Rukma,dan Arya Ugrasena kaget bukan kepalang. Aryaprabu Rukma
mengingatkan lagi “Kakang prabu, kita harus tetap waspada. Ingat pada kata-kata
pukulun Narada.” “baiklah, rayi Rukma. Tetap waspada. Kita tidak tahu apa
niatnya selanjutnya.” Pada akhirnya, terpaksalah Prabu Basudewa mengakui Kangsa
sebagai putranya dan diberi kedudukan di kadipaten Sengkapura sebagai adipati. Hari-hari pun berlalu, Prabu Basudewa juga sangat merindukan putra-putrinya..
Di
tempat lain, di sebuah desa yang asri, desa Widarakandang. Berkat kesungguhan dan kasih sayang Nanda Antagopa dan Niken Sagopi, putra-putri Prabu Basudewa yaitu Kakrasana,
Narayana, dan Rara Ireng*1 yang telah mereka asuh telah tumbuh menjadi remaja-remaja yang bijak, kuat, berbudi, dan dekat dengan
rakyat. Mereka juga akrab pada siapa saja, apalagi dengan kakak dan adik
mereka, ’anak-anak’orang tua asuh mereka, yaitu Bambang Udawa, Niken Rarasati, Arya
Pragota, dan Bambang Adimanggala*2. Perangai dan kepribadian mereka bertujuh berbeda-beda.
Rara Ireng lebih sering di rumah sambil sesekali belajar mengeluarkan ajian.
Niken Rarasati lebih suka belajar panahan dan berkuda bersama Bambang
Adimanggala, berbeda dengan gadis desa pada umumnya. Kakrasana yang berkulit
bule lebih suka berkebun sambil melatih beladiri bersama Arya Pragota dan Narayana
yang berkulit kehitaman lebih sering menggembala lembu sapi, kerbau, juga kambing ayahnya dan berkelana untuk
berguru bersama Udawa. Niken Sagopi sampai was-was pada Narayana karena teringat
kejadian saat Narayana kecil bergulat dengan raksasi Putana, Kuda Keshi, bahkan
raksasa Nagasura yang semuanya pernah mengganggu ketentraman desa Widarakandang
tapi semuanya dapat dikalahkan oleh Narayana dan Kakrasana.
Pada
suatu hari, ketika itu Narayana, Kakrasana, dan adik-adik mereka sedang menggembalakan ternak-ternak ayahnya di pinggir
bengawan Yamuna, tiba-tiba air bengawan berubah menjadi hitam. Ikan-ikan lemas keracunan, tanaman -tanaman air layu. Air bengawan suci itu meracuni warga desa dan ternak-ternaknya. Spontan saja, Narayana
segera menuju ke tepi bengawan dan menyelam ke dasar bengawan untuk mencari
asal racun itu. Kakrasana dan adik-adiknya khawatir sehingga mengadu pada Nanda
Antagopa dan Niken Sagopi. Mereka segera berlari ke pinggir bengawan dan
terkejutlah mereka melihat Narayana sedang bergulat dengan seekor ular naga di
tengah bengawan. Niken Sagopi sampai pingsan melihat anak asuh kesayangannya
itu bergulat dengan ular naga.
Sementara
itu, Narayana yang bergulat itu bertanya pada sang ular naga “ Hei naga, siapa
kau dan kenapa kau meracuni air bengawan ini? Apa yang kau tidak kasihan dengan
makhluk hidup yang hidup dari bengawan ini?”. Ular naga itu menjawab “ Ampun,
Tuanku. Nama ku Kaliya. Aku penjaga bengawan ini. Aku sengaja melakukan ini karena
aku terancam pada Garudeya Brihawan yang terus menggangguku.”. Narayana yang
mengerti lantas dengan santainya menari-nari lalu meloncat ke atas kepala Kaliya. Bekas jejak kakinya meninggalkan
bercak putih diatas kepalanya dan tiba-tiba Batara Guru muncul “Kaliya, aku
sendiri sudah sering mendengar kisah permusuhan abadi bangsa burung dan ular. Hyang
Agung sudah menolongmu melalui perantara remaja ini. Bercak putih bekas injakan
Narayana diatas kepalamu adalah jaminan kau bisa hidup tenang tanpa gangguan
Garudeya Brihawan dan segala racunmu yang berlebihan telah ku ambil sebagian.”
Setelah itu Batara Guru menghilang kembali ke kahyangan. Naga Kaliya mengantar
Narayana ke pinggir bengawan Yamuna. Setelah mengantar Narayana dan menyelam ke
dasar bengawan, atas seizin Hyang Widhi air bengawan kembali bersih dan bebas
dari racun. Para warga desa dan ternak-ternak yang keracunan kembali sehat.
Narayana menjinakkan Naga Kaliya |
Pada
suatu hari, penduduk desa Widarakandang menyelenggarakan kenduri akbar dengan
mengurbankan 100 ekor sapi untuk Batara Indra agar hujan turun. Narayana yang
ditemani Kakrasana dan Udawa melihat para penduduk membawa sapi-sapi mereka
bertanya pada ayah mereka “ Ayah, kenapa kita melakukan kenduri semacam ini?
Bukankah akan semakin memberatkan para penduduk. Para penduduk kaya saja sudah repot
kesusahan dan penduduk yang miskin
menjadi semakin miskin ?” Nanda Antagopa menjawab” kita harus melakukannya agar
Batara Indra mau membawa hujannya ke desa ini. Ini adalah tradisi kita selama
bertahun-tahun” Narayana tidak puas dengan jawaban sang ayah memberikan
petuahnya “tapi ayah, kenapa kita harus menelan tradisi itu mentah-mentah tanpa
kita kupas. Toh bukan berarti setelah melakukan kenduri ini, hujan langsung
turun begitu saja. Ingat ayah, Batara Indra dan para dewa lainnya mendapatkan
kekuatannya dari Sanghyang Widhi yang Maha Agung. Jika ayah dan para penduduk
masih ragu, kalian datang saja di lembah Gowardhana. Berdoa lah disana. Dari
sanalah awan hujan terlihat”. Setelah memikirkannya dengan matang, para
penduduk desa dan para pendeta datang ke lembah Bukit Gowardhana. Mereka
melakukan persembahyangan di tanah lapang di lembah itu. Para pengawal batara
Indra, yaitu para Gandarwa Marut melihat hal itu dari balik awan dan salah
paham menyangka mereka menyembah Bukit Gowardhana. Mereka langsung
memberitahukan hal itu
Di
kahyangan Karang Kaendran, Batara Indra, sang dewa langit sedang bersama
istrinya, Dewi Saci tengah berunding dengan para bidadari dan bidadara.
Tiba-tiba para Gandarwa Marut datang “ketiwasan pukulun Indra, ketiwasan banget
ini” Batara Indra yang sedang berunding meminta mereka menjelaskan duduk
perkaranya “ Ceritakan apa yang kalian lihat tadi?’ “begini pukulun, hamba
melihat para penduduk Widarakandang berhenti melakukan kenduri dan malah
menyembah Bukit Gowardhana atas perintsah seorang anak penggembala.” Batara
Indra marah karena menyangka sudah para
penduduk itu telah menyeleweng. Patih Batara Indra, yaitu Batara Wrehaspati
mengingatkan Batara Indra “ mohon maaf, Tuan Batara Indra, apa sebaiknya kita
tidak menyelidiki kebenarannya dulu, daripada kita dibuat malu nantinya. Bisa
saja para Marut salah paham” namun, Batara Indra yang sudah terlanjur naik
darah membentak Batara Wrehaspati dan langsung naik ke gajah Erawata untuk
menghukum para penduduk Widarakandang. Setelah sampai di atas desa itu, batara
Indra murka sekali mengira para penduduk telah menyeleweng dan menyembah bukit
Gowardhana. Atas perintahnya, para gandarwa Marut diperintahkan mengumpulakan
seluruh awan badai untuk menghancurkan desa Widarakandang,
Ketika
para penduduk sedang melakukan doa, para penduduk Widarakandang dikejutkan
dengan munculnya topan badai disertai hujan es dan halilintar yang
menyambar-nyambar selam berhari-hari. Para penduduk lari pontang-panting menuju
desa Widarakandang. Di desa, mereka dikejar-kejar banjir dan air bah. Di ladang rumput, mereka juga di kejar halilintar dan api dari rerumputan kering. Angin pun menerbangkan apa saja. Para penduduk
menyangka Batara Indra murka. Narayana kemudian berdoa agar diberi kekuatan
untuk melindungi penduduk desa.” Hyang Agung, pencipta para dewa-dewi,
berikanlah hamba kekuatan untuk melindungi para penduduk dan keluargaku”
Atas
seizin Hyang Widhi, begitu tangan Narayana menyentuh tanah, tanah bukit
Gowardhana terbuka dan bukit itu terangkat oleh tangan Narayana layaknya payung
raksasa. Para penduduk, para pendeta, dan seluruh keluarga Narayana segera
masuk ke bawah kolong bukit itu beserta ternak-ternak mereka. Batara Indra yang
melihat kejadian ajaib itu semakin murka dan melemparkan halilintar-halilintar, gumpalan es, dan air hujan yang berat ke bukit itu. Tapi tak sedikitpun tanah di bukit itu berguguran. Karena
marahnya sudah tak bisa dibendung, Batara Indra mengeluarkan pusaka saktinya
yaitu Bajra*3. Saat Bajra itu diarahkan ke bukit Gowardhana,
keluarlah bunyi guntur yang amat memekakkan telinga dan bukit Gowardhana
bergoncang dahsyat. Lalu keluarlah seorang pria bertubuh gemuk dari kolong
bukit itu. Dia tak lain adalah Semar, uwa Batara Indra yang sedang menuju ke
Hastinapura namun terjebak hujan dan badai. Dia ikut berteduh di kolong bukit
bersama penduduk Widarakandang.” Hai Indra. Hentikan tindakanmu. Tindakan bodohmu
telah membuat kerusakan di sini. Hyang Widhi akan murka pada kahyangan bila kau
melakukan ini” batara Indra yang sangat hormat kepada Semar segera menghentikan
serangannya dan turun ke desa Widarakandang meminta maaf pada Semar “ Mohon
ampun, uwa pukulun. Hamba sudah salah sangka dan menuruti kebodohan hamba karena
mengira para penduduk Widarakandang telah menyembah Bukit Gowardhana dan tanpa
di telisik lebih dahulu.” . Batara Indra segera menghentikan hujan dan badai
lalu meminta maaf pada Narayana dan seluruh penduduk desa. Setelah para penduduk,
resi, dan ternak-ternak keluar dari kolong bukit, Narayana mengembalikan lagi
bukit itu ke tempat semula. Kemudian Semar mendatangi Narayana “ Kakarasana! Narayana!,
kemarilah. Aku mendapatkan sesuatu yang
harus kuberitahukan pada kalian ” “ apa yang ingin Kakang Semar beritahu pada
kami?” Semar menjawab “ Anakku, Narayana. Sudah saatnya kau berguru pada
seorang resi di Gunung Untaryana. Namanya Resi Padmanaba. Beliau adalah resi
kesayangan dewata. Dengan berguru padanya, takdirmu yang sesungguhnya akan
tersibak dan kamu, Kakrasana bertapa lah di gunung Waikunta. Kelak akan ada
seorang dewa yang akan membangunkanmu, bergurulah padanya.”. Tanpa ragu,
Kakrasana dan Narayana setuju dan beberapa hari kemudian, mereka pun
meninggalkan desa Widarakandang untuk berguru. Narayana pergi bersama Udawa dan
Kakrasana bersama Pragota. Sedangkan Adimanggala juga mendapat perintah dewa
untuk pergi ke Hastinapura, tepatnya mengabdi pada kusir Ki Adiratha dan
putranya, Aradeya di Awangga. Nanda Antagopa sendiri yang mengantar Adimanggala yang kala itu berusia tujuh tahun ke desa Awangga. Sedangkan Rara Ireng dan Rarasati tetap di Widarakandang.
Narayana mengangkat Bukit Gowardhana |
*1 Rara Ireng adalah nama masa kecil Dewi Sumbadra selain nama Bratajaya
*2 Selain dengan Prabu Basudewa, Niken Yasoda juga pernah terlibat skandal
dengan Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena yang juga menggandrunginya. Dari
hubungannya Aryaprabu Rukma, Niken Yasoda melahirkan seorang putri cantik
bernama Niken Rarasati dan dari Arya Ugrasena, Niken Yasoda melahirkan dua
orang putra, Pragota dan Adimanggala
*3 Bajra adalah tombak
sakti yang mampu mengeluarkan kilatan petir dan bunyi guntur yang sangat keras.
Pusaka Bajra adalah senjata andalan Batara Indra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar