Hai semua, kembali lagi nih setelah mencari banyak konsep. Kali ini saya akan mengisahkan kelahiran sang tampan, penengah Pandawa, Arjuna alias Permadi. Dikisahkan pula perselingkuhan prabu Basudewa dengan Niken Yasoda/Sagopi, kelahiran Raden Kangsa, putra haram Dewi Maherah lahir dan awal pertemuannya dengan Jaka Slewah, putra Prabu Brehadata, dilanjutkan dengan kelahiran putra-putri Prabu Basudewa : Kakrasana/Balarama, Narayana/ Kresna, dan Dewi Sumbadra. Kelahiran ini juga menjadi tanda menitisnya Batara Wisnu, Batara Adisesa, dan Sri Laksmi istri Wisnu ke dunia sekali lagi. Kisah ditutup dengan dititipkannya Kakrasana, Narayana, dan Sumbadra pada Nanda Antagopa dan Niken Sagopi di desa Widarakandang. Kisah kali ini mengambil sumber Kitab Pustakaraja Purwa karya Raden Ngabehi Ronggowarsito dipadukan dengan Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa dan serial kolosal India Mahabharat Starplus
Di
tempat lain, kerajaan Mandura dan Wangsa Yadawa telah mendapatkan raja baru.
Raden Basudewa dilantik menjadi raja bergelar Prabu Basudewa menggantikan
ayahandanya, Prabu Kuntiboja. Sementara kedua adik lelakinya, Arya Rukma dilantik
menjadi adipati di kota Kumbina bergelar Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena
menjadi adipati di Lesanpura. Disampingnya duduklah empat permaisuri sang prabu. Mereka adalah Dewi Maherah, Dewi Rohini, Dewi Dewaki, dan Dewi
Badrahini. Diantara mereka, Dewi Maherah yang amat pencemburu. Pada suatu hari
Prabu Basudewa dan Dewi Maherah bertengkar karena diantara para permaisuri
Mandura, Dewi Maherah tak kunjung hamil. Karena frustrasi, Prabu Basudewa
memanggil seorang dayang istana. Niken Yasoda namanya. Meskipun hanya dayang
istana, suaranya amat merdu dan parasnya cantik. Dia adik dari Mpu Saragupita,
penasihat Prabu Kuntiboja. Karena terpesona akan kemerduan suara, kepolosan,
dan kecantikannya, Prabu Basudewa menggerayangi dan mengajaknya tidur
seranjang. Pada suatu hari, Niken Yasoda datang di penghadapan sambil menangis“
Gusti Prabu, kau harus bertanggungjawab. Lihatlah aku. Aku hamil empat bulan
setelah melayani “. Karena takut skandalnya akan terbongkar hingga keluar
kerajaan, Prabu Basudewa kemudian mendatangi sahabatnya, Nanda Antagopa,
seorang penggembala sapi istana yang tinggal di desa Widarakandang, lalu
menikahkan Niken Yasoda dengannya. “Yasoda, aku mencintaimu tapi demi nama baik
negeri kita, aku harus melakukan ini. Kelak putra-putri yang kau kandung dan
yang kau asuh akan menjadi orang mulia. Itu doa ku padamu. Ini aku titipkan
keris Kyai Blabar. Anggaplah ini hadiah pernikahan kalian. Nanda, aku titipkan
Yasoda. Mulai sekarang, kau ku angkat pemimpin di desa ini dan desa ini akan
menjadi tanah perdikan swatantra*1.
Kau bebas tentukan nasib desa ini sekarang.” Setelah pernikahan itu, lahirlah
anak dari perselingkuhan Basudewa dan Yasoda. Anak itu diberi nama Bambang
Udawa.
Pada
suatu hari, Prabu Basudewa kedatangan tamu istimewa. Mereka adalah adiknya dan
iparnya, Prabu Pandu Dewanata dan Dewi Kunthi dari Hastinapura. Setelah beramah
tamah, Prabu Basudewa mengajak sang adik ipar untuk berburu hewan di hutan Boja
“rayi Pandu, sekarang akan diadakan pesta tujuh bulanan untuk ketiga istriku
dan kebetulan Dinda Kunthi juga sama hamil. Kita kekurangan makanan untuk pesta
jadi kami harus berburu. Apakah rayi prabu mau ikut?” “ Tentu, raka Basudewa.
Mari segera berburu mumpung hari belum gelap” Tanpa banyak waktu mereka
langsung berangkat. Tanpa sadar, datanglah seorang musuh kerajaan. Prabu
Gorawangsa namanya, raja para yaksa dari Goagra. Telah lama dia jatuh hati pada
Dewi Maherah. Bersama patih sekaligus adiknya, Suratrimantra, mereka berniat
melarikan Dewi Maherah. Patih Suratrimantra diperintahkan membuat keributan
oleh sang kakak. Arya Ugrasena yang sedang berada di keraton Mandura bersiap
menghadapi kemungkinan terburuk.
Sementara
di Kahyangan Jonggring Saloka, di salah satu puncak bersalju Gunung Mahameru, Batara
Guru sedang berdiskusi dengan patihnya, Batara Narada “Kakang Narada, semenjak
turunnya kakang Ismaya*2 ke Bumi dan selesainya tugas sang Wisnu dan
Adisesa sebagai Sri Rama dan Laksmana, nampaknya sudah saatnya Wisnu turun
kembali ke bumi. Aku melihat kakakku, Rudra, si angkara sudah mulai menitis pada
para putra Dretarastra, para Kurawa dan sekarang dibantu oleh Wasi Dwapara*3
. kita harus meredam angkara murka dan sebisa mungkin menghindari Mahapralaya itu*4. Kakang
Narada, segera panggil Sang Wisnu dan Naga Adisesa” “waduh, adhi Guru. Kita harus
segera bertindak. Saya akan segera memanggil mereka untuk menghadap”. Dengan
aji pameling, Batara Narada segera memanggil Batara Wisnu, dan Batara Naga Adisesa.
Dalam sekejap, Batara Wisnu datang diantar oleh sang Garudeya Brihawan*5
begitu pula Batara Naga Adisesa, sang dewa ular yang jadi ranjang Batara Wisnu. “ Ada apa paman Narada memanggil
kami berdua? Apakah Ayahanda Girinata memanggil kami?” Batara Narada tak
menjawab malah langsung menghantar kedua dewa pemelihara dharma dan dewa
pelindung keselamatan itu. “ Wisnu. Aku melihat dari trinetra-ku*6 angkara murka sudah mulai merajalela dalam
wujud Para Kurawa dan Arya Suman. Sudah saatnya kamu kembali turun ke bumi untuk
terlahir lagi sebagai manusia dan membantu kakang Ismaya. Menitislah sebagai Nara-Narayan*7 pada putra
Basudewa dengan Dewaki dan putra ketiga Pandu Dewanata, dan kamu, Adisesa,
menitislah pada putra Basudewa dengan Rohini.” “ Baik, Ayahanda Girinata, saya
dan Dimas Adisesa akan segera melaksanakan apa yang telah digaris Sanghyang
Widhi.” Tanpa ba-bi-bu lagi, Batara Wisnu dan Batara Adisesa segera turun ke
bumi dan bersembunyi di hutan Boja. Mereka lalu berubah wujud. Batara Wisnu
yang menitis belah mengambil wujud sepasang harimau hitam dan kuning, sedangkan
Batara Adisesa berubah menjadi ular naga raksasa. Tanpa diketahui oleh Batara
Wisnu, istrinya, Dewi Sri Laksmi (Dewi Sri Widowati) ikutan
menitis lalu berubah menjadi sepercik sinar terang yang pecah menjadi lima cahaya.
Batara Guru memerintahkan Batara Wisnu dan Batara Basuki menitis lagi |
Tak
lama kemudian datanglah Prabu Basudewa dan Prabu Pandu. Mereka telah
mendapatkan banyak kijang dan rusa. Tiba-tiba mereka diserang sepasang harimau
hitam dan kuning juga ular naga raksasa. Terkejut, segeralah Prabu Basudewa dan
Prabu Pandu memanah mereka. Setelah terpanah, sepasang harimau dan ular naga
itu menghilang berubah menjadi cahaya.
Sepasang harimau berubah menjadi cahaya hitam dan
kuning, sedangkan ular naga berubah menjadi cahaya putih bule*8. Ketiga cahaya itu melesat menuju keraton
Mandura.” Rayi Pandu, cahaya itu mengarah ke keraton. Ayo kita ikuti” “mari
raka Basudewa. Aku khawatir bila cahaya itu pertanda bahaya”.
Munculnya Batara Basuki dan Wisnu sebagai Nara-Narayan |
Sementara
di alun-alun pasukan Goagra masih bertarung dengan pasukan Mandura, Prabu
Gorawangsa berhasil menyusup ke puri Mandura dengan beralih rupa menjadi Prabu
Basudewa. Dia mendatangi Dewi Maherah untuk minta maaf dan mengajaknya tidur
seranjang “sayang, maafkan aku yang sudah tak hiraukanmu. Sebagai permintaan
maaf, ayo ikut aku ke kamar. Akan ku puaskan dirimu“ Dewi Maherah yang tidak
menyadari itu langsung mengiyakan “ hi hi hi, mari kanda prabu. Aku siap
melayanimu”. Setelah mereka masuk kamar, ketiga cahaya hitam, kuning, dan putih
bule dari hutan Kandawa masuk ke keraton. Ketika itu para permaisuri dan Dewi
Kunthi sedang tidur di kaputren. Segera cahaya-cahaya itu langsung masuk dan
melebur ke dalam kandungan mereka. Cahaya putih bule masuk ke kandungan Dewi
Rohini, cahaya hitam masuk ke kandungan Dewi Dewaki, dan cahaya kuning masuk ke
kandungan Dewi Kunthi. Sesaat kemudian, munculah cahaya berwarna-warni jelmaan
Dewi Sri Laksmi masuk ke rahim Dewi Badraini. Sementara itu, Prabu Basudewa
palsu berhasil meniduri dan kumpul kebo dengan Dewi Maherah. Sebaliknya, Dewi
Maherah juga sangat puas setelah dilayani walaupun bau badan suaminya aneh tak
seperti biasanya.
Di
setibanya kembali di Mandura, Prabu Basudewa dan Prabu Pandu terkejut melihat
terjadi peperangan. Dengan secepat kilat, Prabu Pandu mengerahkan aji Sepiangin
dan membuat angin topan untuk mengusir pasukan Goagra. Begitu hendak memasuki
puri, Arya Ugrasena yang tadi melihat kakaknya masuk kamar menjadi heran “lhoo,
Kakang Prabu. Kok udah disini. Kanda Dewi Maherah mana?” Prabu Basudewa merasa
keheranan ” Lhoo, rayi Ugrasena, aku kan dari tadi bersama rayi Prabu Pandu ke
hutan.” mendengar hal itu, Arya Ugrasena
terkejut dan merasa kecolongan lalu menjelaskan segalanya pada sang kakak.
Prabu Basudewa marah dan menyuruh arya Ugrasena untuk melabrak sang kakak ipar
di kamarnya. Ketika mendobrak pintu, ia melihat Prabu Basudewa palsu sedang meniduri
Dewi Maherah. Prabu Basudewa palsu bangun lalu menyerang Arya Ugrasena dan
Prabu Pandu. Pertarungan mereka terjadi hingga ke luar keraton. Tanpa waktu
yang lama, Prabu Basudewa palsu berhasil dikalahkan oleh mereka dan seketika
Prabu Basudewa palsu kembali menjadi wujud aslinya, Prabu Gorawangsa lalu tewas
seketika. Dewi Maherah yang melihat itu sontak kaget dan pingsan. Setelah
bangun, Dewi Maherah diseret ke penghadapan. Kini dia merasa sangat bersalah.
Prabu
Basudewa murka sekali kepada Dewi Maherah dan menjatuhkan vonis hukuman mati
karena dianggap telah mencemarkan nama baiknya. Diperintahkanlah Arya Ugrasena
untuk melakukan eksekusi itu. Tetapi, Arya Ugrasena tak tega melihat kakak
iparnya di hukum seberat itu. Maka dibawalah Dewi Maherah ke tengah hutan dan
dibuatkan sebuah pesanggrahan “kakak ipar, maafkan aku dan suamimu. Ku tahu dia
sangat marah tapi aku tidak. Aku tak tega kalau kakak dihukum mati. Sekarang
tinggallah di pesanggrahan ini. Aku amat menyesalkan keputusan kakang Prabu.
Kakak ipar, semoga kau selalu sehat”. Arya Ugrasena segera memecut kudanya dan
meninggalkan sang kakak ipar. Dewi Maherah amat sedih sehingga dia mulai jatuh
sakit. Suatu hari, tak sengaja datang patih Suratrimantra. Dewi Maherah yang
pasrah akhirnya menyerahkan hidupnya di tangan patih Suratrimantra. Patih
Suratrimantra menjelaskan bahwa dia adik dari Prabu Gorawangsa. Dewi Maherah
semakin sedih dan menceritakan bagaimana dia dinodai Gorawangsa hingga hidupnya
hancur begini. Patih Suratrimantra merasa kasihan dan berniat membawa Dewi
Maherah ke Goagra. Tapi baru sampai di lereng Gunung Kendeng, Dewi Maherah yang
sedang hamil itu sakit. Tak lama kemudian datanglah dua pendeta bersaudara
berwujud raksasa dan raksasi, Resi Hanggawangsa dan Nyai Jara. Patih
Suratrimantra meminta bantuan sang resi untuk membantu persalinan Dewi Maherah.
Sejenak Resi Hanggawangsa meraba perut Dewi Maherah lalu Dewi Maherah
melahirkan seorang bayi laki-laki, tapi tak lama kemudian Dewi Maherah meninggal
karena komplikasi dani tekanan batin yang dideritanya.
Patih
Suratrimantra yang sangat sedih melihat jenazah Dewi Maherah mengutuk perbuatan
Prabu Basudewa. “Hai Basudewa, perbuatanmu membuang istri sendiri sudah
keterlaluan. Kelak putra kakakku ini akan membalas perbuatanmu berkali-kali
lipat!!”. Setelah pemakaman Dewi Maherah, putra haram Dewi Maherah dengan Prabu
Gorawangsa diberi nama Raden Kangsa oleh Patih Suratrimantra dan patih
Suratrimantra menyerahkan bayi Kangsa kepada Resi Hanggawangsa dan Nyai Jara
untuk dididik bersama anak asuh Nyai Jara. Kebetulan Nyai Jara juga membawa anak
asuhnya, seorang bayi yang dibuang Prabu Brehadata, raja kerajaan Giribajra.
Bayi itu dinamai Jaka Slewah karena saat ditemukan oleh Nyai Jara, bayi itu
dalam kondisi slewah*9,
berasal dua potong bayi lalu ditemukan oleh Nyai Jara dan dengan izin Hyang
Widhi, begitu tangan Nyai Jara menggendong dua belah badan bayi itu, kedua
belahan itu menyatu menjadi seorang bayi utuh.
Dua
bulan kemudian setelah pesta tujuh bulanan, Dewi Rohini dan Dewi Dewaki
melahirkan. Dewi Rohini melahirkan seorang bayi laki-laki berkulit bule/albino.
Oleh prabu Basudewa, anaknya itu dberi nama Arya Balarama dan oleh ibunya
diberi nama Raden Kakrasana. Beberapa jam kemudian, Dewi Dewaki juga melahirkan
seorang bayi laki-laki berkulit kehitaman. Oleh sang ayah diberi nama Raden Kresna karena kulitnya yang berwarna gelap dan oleh ibunya di beri nama Bambang Narayana .
Dua hari kemudian, Dewi Badrahini juga melahirkan seorang bayi perempuan. Wajah
bayi perempuan itu terlihat sangat cantik, secantik Dewi Kamaratih. Kulitnya
hitam manis. Prabu Basudewa menamai putrinya yang satu-satunya itu Dewi
Sumbadra, diambil dari nama ibunya. Dewi Badraini, ibunya juga memberinya nama Dewi
Bratajaya.
Di
waktu yang sama pula, di Kerajaan Hastinapura, Dewi Kunthi mengalami kesakitan
hebat karena hendak melahirkan. Segeralah Dewi Kunthi merapal Aji Punta
Wekasing Rahsa Tunggal sambil menyebut nama Batara Indra dibantu suami dan
madunya. Lalu munculah Batara Indra dengan menunggangi gajah Erawata*10. Batara Indra
turun dari gajahnya lalu membantu Dewi Kunthi melahirkan. Seketika, keluarlah
cahaya seterang halilintar saat sang jabang bayi lahir. Di balik cahaya itu,
wajah sang bayi nampak berseri.
Konon, seisi jagat raya bahkan para bidadari yang
jauh di kahyangan terpikat oleh sang jabang bayi. Setelah membantu sang Dewi,
Batara Indra segera memberikan berkahnya “ Kunthi, putramu ini kuanugerahi
wajah yang setampan Batara Kamajaya, kebaikan hati dan perangai, kemampuan
memanah dan berolah senjata yang mumpuni. Bayimu ini kelak menjadi lelanang ing jagat *11dan
kelak akan dicintai siapapun juga, baik pria maupun wanita. Dia akan menjadi
pujaan manusia sepanjang masa”. Setelah memberi berkah, Batara Indra segera
menunggangi gajahnya dan kembali ke kahyangan. Oleh Prabu Pandu Dewanata,
putranya yang ketiga itu diberi nama Raden Arjuna, yang berarti “yang bersinar
terang” dan Dewi Kunthi memberinya nama Bambang Permadi, yang berarti kasih
sayang yang melimpah. Kakaknya, Arya Bratasena memberinya julukan si Jlamprong.
Kelahiran Raden Arjuna |
Pada
hari yang telah ditentukan, diselenggarakan pesta selapanan di keraton Mandura
untuk merayakan kelahiran para pangeran dan putri. Kebetulan pula, Prabu Pandu
dan Dewi Kunthi juga datang sambil membawa bayi Arjuna. Prabu Basudewa memberi
nama putra ketiga adiknya itu Bambang Parta, yang artinya putra Dewi Prita,
nama kecil Dewi Kunthi. Kemudian, Prabu Basudewa memangku bayi Arjuna di paha
kanan dan bayi Sumbadra di paha kirinya. Mereka pun ditunangkan “ wahai seluruh
undangan, hari ini aku akan menjodohkan putra adikku Kunthi, Arjuna dengan
putriku, Sumbadra. Semoga Hyang Widhi merestui “ Seluruh tamu undangan pesta
bersuka ria atas pertunangan itu.
Di
tengah pesta itu, datanglah pasangan suami istri yang sudah cukup tua umurnya
menghadap Prabu Basudewa. Sang suami adalah bangsa wanara*13 dan
sang istri masih terlihat cantik dan terpancar auranya meskipun sudah tak lagi
muda. Mereka adalah Resi Kapi Jembawan, pengasuh Resi Subali dan Dewi Trijatha,
putri bungsu Prabu Gunawan Wibisana, adik bungsu Prabu Rahwana. Dahulu, mereka
adalah abdi sekaligus sahabat dari Sri Ramawijaya dan istrinya, Dewi Sinta.
Pasangan ini mendapat petunjuk dari dewata akan mendapatkan seorang anak bila
meminta restu dan mengabdi pada keturunan Sri Rama di Mandura.”Ampun gusti
prabu, bila kami mengacaukan pesta anda. Hamba dan istri hamba ingin mengabdi
pada Gusti. Sebelum itu perkenalkan, nama hamba Jembawan dan ini istri hamba,
Trijatha. Kami dulu adalah sahabat salah satu leluhur gusti, Sri Rama. Sudikah
gusti untuk merestui pengabdian kami?” Prabu Basudewa merasa tersanjung dan merestui
mereka “baiklah, kuterima pengabdian kalian. Mulai sekarang kalian kuangkat
menjadi juru kunci Astana Gandamadana*12.
Semoga pengabdian kalian direstui juga oleh dewata.” Begitu Prabu Basudewa
meminta izin untuk memegang perut Dewi Trijatha, satu dari lima cahaya penjelmaan
Dewi Sri Laksmi menitis pada rahim Dewi Trijatha. Setelah itu datanglah Batara
Narada dari kahyangan. Seluruh yang ada disitu memberi hormat. Batara Narada
datang untuk memberitahukan nasib putra-putri Prabu Basudewa.“ Basudewa cucuku,
kedatanganku kemari untuk menyampaikan suratan nasib putra-putri prabu. Putra
prabu yang berkulit bule adalah titisan Batara Adisesa, ular putih yang jadi ranjang sang Wisnu, lalu putramu yang
berkulit kehitaman bersama putra ketiga prabu Pandu Dewanata adalah titisan
Batara Wisnu, dan putrimu satu-satunya adalah titisan Dewi Sri Laksmi. Mereka
akan menjadi permata bagi Wangsa Yadawa. Tapi ada sebuah sandungan, Dewi
Maherah yang telah kau usir sudah meninggal tapi sempat melahirkan putra, namanya
Kangsa. Dia akan menjadi malapetaka bagi putra-putrimu dan kerajaanmu di
kemudian hari” Prabu Basudewa terkejut mendengarnya dan ingin membunuhnya
sekarang. Batara Narada mencegah karena sudah menjadi suratan, Kangsa hanya
bisa mati dengan kerja sama para putra-putrinya. “Asingkanlah putra-putri prabu
di desa Widarakandang. Biarkan mereka tumbuh di desa dan dengan begitu mereka
akan menjadi manusia-manusia bijaksana dan mau bergaul dengan rakyat. Dengan
begitu Kangsa dapat dikalahkan. Hampir saya lupa, saya kesini juga membawakan
bulu merak dan jamang ini. Bulu merak dan jamang ini adalah perhiasan kepala
Batara Wisnu, pakaikan pada kepala putramu Bambang Narayana.” Sebenarnya Prabu
Basudewa sangat berat hati untuk berpisah dengan putra-putrinya tapi karena
sudah menjadi takdir mereka, maka Prabu Basudewa mematuhi perintah Batara
Narada dan berterima kasih padanya“Terima kasih, pukulun Narada. Saya
sekeluarga akan mematuhi perintah pukulun”Setelah dirasa cukup, Batara Narada
kembali ke kahyangan. Begitu juga Resi Jembawan dan Dewi Trijatha memulai tugas
dan tinggal di Astana Gandamadana.
Setelah
pesta selesai, segeralah Prabu Basudewa memberitahukan hal ini pada keluarganya
dan segera berangkat ke Widarakandang membawa tiga putra-putrinya sendirian. Perjalanan
Prabu Basudewa amat panjang dan melelahkan, Ketika sampai di pinggir Bengawan
Yamuna, terjadi badai dahsyat. Air bengawan banjir dan mengalir sangat deras.
Ombak bengawan menggeliat seakan saling bergulingan. Prabu Basudewa yang
kebingungan berdoa agar bisa menyebrang. Atas pertolongan dewata agung,
munculah seekor ular naga penjaga bengawan Yamuna bernama Kaliya menolong Prabu
Basudewa menyebrang. Setelah tiba di desa Widarakandang, badai berhenti, hujan
pun mereda. Setelah berjalan cukup lama, sampailah Prabu Basudewa di rumah
Nanda Antagopa dan Niken Yasoda yang kini dipanggil Niken Sagopi oleh penduduk
desa. Setelah membukakan pintu, Nanda Antagopa bertanya sambil berbasa-basi
“Gusti Prabu Basudewa, ada keperluankah datang kesini malam begini? Dan inikah
putra-putri gusti prabu, tampan dan cantik semua” “Terimakasih, Nanda. Tak
usahlah kau panggil aku Gusti Prabu. Kita sudah bersahabat sejak lama. Aku
kesini untuk meminta bantuanmu dan Yasoda untuk mengasuh putra-putriku” Nanda
Antagopa bertanya lagi “Apa gerangan yang terjadi sehingga gusti ehh anda mau
menyerahkan tugas ini pada kami?”. Prabu Basudewa menghela nafas lalu
menceritakan segalanya, mulai dari garis nasib putra-putrinya hingga ancaman
Kangsa, putra haram Dewi Maherah. Nanda Antagopa dan Niken Sagopi merasa tidak
keberatan malah merasa ini menjadi suatu kehormatan besar bisa mengasuh
putra-putri Mandura. Setelah menyerahkan ketiga putra-putrinya, Prabu Basudewa
kembali ke keraton Mandura. Mulai hari itu, ketiga putra-putri Prabu Basudewa
diasuh oleh Nanda Antagopa dan Niken Sagopi diantara para petani dan
penggembala di Widarakandang.
*1 tanah perdikan
swatantra, adalah suatu wilayah yang dibebaskan dari pajak berat dan dibiarkan
mengatur dirinya sendiri. Pada masa sekarang, hal ini disebut daerah otonom.
*2 Ismaya adalah nama
Ki Lurah Semar saat masih di kahyangan. Dia adalah kakak dari Batara Guru. Dia
dan saudaranya yang lain, Togog, diperintahkan turun ke bumi untuk menjadi
pengasuh para manusia. Togog mengasuh manusia berbudi angkara dan berjalan
diatas adharma, sedangkan Semar mengasuh para manusia berbudi luhur dan
menjalankan dharma kebaikan.
*3 Wasi Dwapara adalah
seorang dewa yang suka menghasut dan menebar huru-hara dengan menghasut para
dewa dengan asura. Karena perbuatannya, Hyang Widhi mengeluarkannya dari
kahyangan dan diperintahkan untuk menitis pada para manusia berbudi angkara
murka. Di zaman kuno, dia menitis pada Resi Dwapara, musuh bebuyutan Resi
Satrukem dan Bambang Sakri, salah satu leluhur Maharesi Abiyasa. Pada masa
Pandawa-Kurawa, dia menitis pada adik Dewi Gendari, Arya Suman yang kelak
bernama Patih Arya Sengkuni.
*4 Mahapralaya yang
dimaksud adalah perang Baratayudha. Di pewayangan Jawa, perang Baratayudha
bukan sekedar kebetulan semata. Bukan juga sekedar terjadi karena perebutan
takhta Hastinapura dan politik semata, tapi sudah diramalkan akan terjadi
bahkan semenjak alam semesta belum diciptakan oleh Hyang Widhi.
*5 Garudeya Brihawan
adalah burung garuda yang menjadi tunggangan Batara Wisnu. Garudeya Brihawan
adalah saudara Garuda Aruna, kusir Batara Surya. Mereka adalah putra Maharesi
Kasyapa dan Dewi Winata.
*6 Trinetra adalah mata
ketiga Batara Guru (Siwa), letaknya di tengah dahi. Selain dapat melihat apa
yang gaib dan tersembunyi di tiga alam, trinetra Batara Guru dapat berubah
menjadi senjata berupa sinar panas yang dapat menghancurkan apapun dan siapapun
bahkan para dewa dapat hancur menjadi abu.
*7 Nara-Narayan adalah
bentuk cara penitisan Batara Wisnu dengan menjadi dua pribadi alias menitis
belah. Namun dalam kepercayaan agama Hindu, Nara-Narayan adalah sepasang resi
kembar penjelmaan/avatara Batara Wisnu. Didalam konsep pewayangan dan agama
Hindu, Arjuna adalah titisan Wisnu sebagai Nara dan Prabu Kresna adalah
tititsan Wisnu sebagai Narayan. Bila diibaratkan, mereka bagai dua sisi daun
sirih, berbeda warnanya tapi sama rasanya.
*8 Bule disini adalah
warna putih bersemu warna merah jambu, seperti warna kulit orang Eropa yang
terkena sinar matahari
*9 Slewah maksudnya
terbelah dua dan potongannya sama besar
*10 Erawata atau
Airawata adalah gajah kahyangan, tunggangan dewa langit sekaligus raja para
bidadari dan bidadara, Batara Indra. Gajah ini muncul dari dalam laut saat
terjadi peristiwa pengadukan Laut Kidul untuk mendapatkan Tirta Amerta
Perwitasari (air kehidupan langgeng).
*11 Lelanang ing jagat
maksudnya simbol dan tauladan bagi para pria di dunia.
*12 Astana Gandamadana
adalah situs pemakaman yang ditujukan untuk para leluhur Wangsa Yadawa,
termasuk raja-raja Mandura yang terdahulu.
*13 Bangsa wanara
adalah bangsa manusia kera (kera bertubuh besar, namun berekor panjang dan bisa
bertatakrama layaknya manusia biasa). Mereka disatukan oleh Prabu Sugriwa dan
Resi Subali lalu membangun kerajaan para kera dan monyet di Gua Kiskenda, bekas
istana Ditya Lembusura dan Maesasura di ujung selatan Hutan Dandaka. Pemimpin bangsa
wanara, yaitu Prabu Sugriwa, Patih Anila, Kapi Hanoman, Kapi Jaya Anggada, dan
Resi Jembawan adalah sahabat- sahabat Prabu Sri Ramawijaya dan Raden Laksmana. Mereka
membantu perjuangan Prabu Sri Rama membebaskan Dewi Sinta dari tangan Prabu
Rahwana dalam perang Guntoroyono di Alengka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar