Rabu, 20 Februari 2019

Menitisnya Nara-Narayan : Kelahiran Arjuna dan Putra-putri Mandura


Hai semua, kembali lagi nih setelah mencari banyak konsep. Kali ini saya akan mengisahkan kelahiran sang tampan, penengah Pandawa, Arjuna alias Permadi. Dikisahkan pula perselingkuhan prabu Basudewa dengan Niken Yasoda/Sagopi, kelahiran Raden Kangsa, putra haram Dewi Maherah lahir dan awal pertemuannya dengan Jaka Slewah, putra Prabu Brehadata, dilanjutkan dengan kelahiran putra-putri Prabu Basudewa : Kakrasana/Balarama, Narayana/ Kresna, dan Dewi Sumbadra. Kelahiran ini juga menjadi tanda menitisnya Batara Wisnu, Batara Adisesa, dan Sri Laksmi istri Wisnu ke dunia sekali lagi. Kisah ditutup dengan dititipkannya Kakrasana, Narayana, dan Sumbadra pada Nanda Antagopa dan Niken Sagopi di desa Widarakandang. Kisah kali ini mengambil sumber Kitab Pustakaraja Purwa  karya Raden Ngabehi Ronggowarsito dipadukan dengan Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa dan serial kolosal India Mahabharat Starplus

Di tempat lain, kerajaan Mandura dan Wangsa Yadawa telah mendapatkan raja baru. Raden Basudewa dilantik menjadi raja bergelar Prabu Basudewa menggantikan ayahandanya, Prabu Kuntiboja. Sementara kedua adik lelakinya, Arya Rukma dilantik menjadi adipati di kota Kumbina bergelar Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena menjadi adipati di Lesanpura. Disampingnya duduklah empat permaisuri sang prabu. Mereka adalah Dewi Maherah, Dewi Rohini, Dewi Dewaki, dan Dewi Badrahini. Diantara mereka, Dewi Maherah yang amat pencemburu. Pada suatu hari Prabu Basudewa dan Dewi Maherah bertengkar karena diantara para permaisuri Mandura, Dewi Maherah tak kunjung hamil. Karena frustrasi, Prabu Basudewa memanggil seorang dayang istana. Niken Yasoda namanya. Meskipun hanya dayang istana, suaranya amat merdu dan parasnya cantik. Dia adik dari Mpu Saragupita, penasihat Prabu Kuntiboja. Karena terpesona akan kemerduan suara, kepolosan, dan kecantikannya, Prabu Basudewa menggerayangi dan mengajaknya tidur seranjang. Pada suatu hari, Niken Yasoda datang di penghadapan sambil menangis“ Gusti Prabu, kau harus bertanggungjawab. Lihatlah aku. Aku hamil empat bulan setelah melayani “. Karena takut skandalnya akan terbongkar hingga keluar kerajaan, Prabu Basudewa kemudian mendatangi sahabatnya, Nanda Antagopa, seorang penggembala sapi istana yang tinggal di desa Widarakandang, lalu menikahkan Niken Yasoda dengannya. “Yasoda, aku mencintaimu tapi demi nama baik negeri kita, aku harus melakukan ini. Kelak putra-putri yang kau kandung dan yang kau asuh akan menjadi orang mulia. Itu doa ku padamu. Ini aku titipkan keris Kyai Blabar. Anggaplah ini hadiah pernikahan kalian. Nanda, aku titipkan Yasoda. Mulai sekarang, kau ku angkat pemimpin di desa ini dan desa ini akan menjadi tanah perdikan swatantra*1. Kau bebas tentukan nasib desa ini sekarang.” Setelah pernikahan itu, lahirlah anak dari perselingkuhan Basudewa dan Yasoda. Anak itu diberi nama Bambang Udawa.
Pada suatu hari, Prabu Basudewa kedatangan tamu istimewa. Mereka adalah adiknya dan iparnya, Prabu Pandu Dewanata dan Dewi Kunthi dari Hastinapura. Setelah beramah tamah, Prabu Basudewa mengajak sang adik ipar untuk berburu hewan di hutan Boja “rayi Pandu, sekarang akan diadakan pesta tujuh bulanan untuk ketiga istriku dan kebetulan Dinda Kunthi juga sama hamil. Kita kekurangan makanan untuk pesta jadi kami harus berburu. Apakah rayi prabu mau ikut?” “ Tentu, raka Basudewa. Mari segera berburu mumpung hari belum gelap” Tanpa banyak waktu mereka langsung berangkat. Tanpa sadar, datanglah seorang musuh kerajaan. Prabu Gorawangsa namanya, raja para yaksa dari Goagra. Telah lama dia jatuh hati pada Dewi Maherah. Bersama patih sekaligus adiknya, Suratrimantra, mereka berniat melarikan Dewi Maherah. Patih Suratrimantra diperintahkan membuat keributan oleh sang kakak. Arya Ugrasena yang sedang berada di keraton Mandura bersiap menghadapi kemungkinan terburuk.
Sementara di Kahyangan Jonggring Saloka, di salah satu puncak bersalju Gunung Mahameru, Batara Guru sedang berdiskusi dengan patihnya, Batara Narada “Kakang Narada, semenjak turunnya kakang Ismaya*2 ke Bumi dan selesainya tugas sang Wisnu dan Adisesa sebagai Sri Rama dan Laksmana, nampaknya sudah saatnya Wisnu turun kembali ke bumi. Aku melihat kakakku, Rudra, si angkara sudah mulai menitis pada para putra Dretarastra, para Kurawa dan sekarang dibantu oleh Wasi Dwapara*3 . kita harus meredam angkara murka dan sebisa mungkin  menghindari Mahapralaya itu*4. Kakang Narada, segera panggil Sang Wisnu dan Naga Adisesa” “waduh, adhi Guru. Kita harus segera bertindak. Saya akan segera memanggil mereka untuk menghadap”. Dengan aji pameling, Batara Narada segera memanggil Batara Wisnu, dan Batara Naga Adisesa.
Batara Guru memerintahkan Batara Wisnu dan Batara Basuki menitis lagi
Dalam sekejap, Batara Wisnu datang diantar oleh sang Garudeya Brihawan*5 begitu pula Batara Naga Adisesa, sang dewa ular yang jadi ranjang Batara Wisnu. “ Ada apa paman Narada memanggil kami berdua? Apakah Ayahanda Girinata memanggil kami?” Batara Narada tak menjawab malah langsung menghantar kedua dewa pemelihara dharma dan dewa pelindung keselamatan itu. “ Wisnu. Aku melihat dari trinetra-ku*6 angkara murka sudah mulai merajalela dalam wujud Para Kurawa dan Arya Suman. Sudah saatnya kamu kembali turun ke bumi untuk terlahir lagi sebagai manusia dan membantu kakang Ismaya. Menitislah sebagai Nara-Narayan*7 pada putra Basudewa dengan Dewaki dan putra ketiga Pandu Dewanata, dan kamu, Adisesa, menitislah pada putra Basudewa dengan Rohini.” “ Baik, Ayahanda Girinata, saya dan Dimas Adisesa akan segera melaksanakan apa yang telah digaris Sanghyang Widhi.” Tanpa ba-bi-bu lagi, Batara Wisnu dan Batara Adisesa segera turun ke bumi dan bersembunyi di hutan Boja. Mereka lalu berubah wujud. Batara Wisnu yang menitis belah mengambil wujud sepasang harimau hitam dan kuning, sedangkan Batara Adisesa berubah menjadi ular naga raksasa. Tanpa diketahui oleh Batara Wisnu, istrinya, Dewi Sri Laksmi (Dewi Sri Widowati) ikutan menitis lalu berubah menjadi sepercik sinar terang yang pecah menjadi lima cahaya.
Tak lama kemudian datanglah Prabu Basudewa dan Prabu Pandu. Mereka telah mendapatkan banyak kijang dan rusa. Tiba-tiba mereka diserang sepasang harimau hitam dan kuning juga ular naga raksasa. Terkejut, segeralah Prabu Basudewa dan Prabu Pandu memanah mereka. Setelah terpanah, sepasang harimau dan ular naga itu menghilang berubah menjadi cahaya.
Munculnya Batara Basuki dan Wisnu sebagai Nara-Narayan
Sepasang harimau berubah menjadi cahaya hitam dan kuning, sedangkan ular naga berubah menjadi cahaya putih bule*8. Ketiga cahaya itu melesat menuju keraton Mandura.” Rayi Pandu, cahaya itu mengarah ke keraton. Ayo kita ikuti” “mari raka Basudewa. Aku khawatir bila cahaya itu pertanda bahaya”.
Sementara di alun-alun pasukan Goagra masih bertarung dengan pasukan Mandura, Prabu Gorawangsa berhasil menyusup ke puri Mandura dengan beralih rupa menjadi Prabu Basudewa. Dia mendatangi Dewi Maherah untuk minta maaf dan mengajaknya tidur seranjang “sayang, maafkan aku yang sudah tak hiraukanmu. Sebagai permintaan maaf, ayo ikut aku ke kamar. Akan ku puaskan dirimu“ Dewi Maherah yang tidak menyadari itu langsung mengiyakan “ hi hi hi, mari kanda prabu. Aku siap melayanimu”. Setelah mereka masuk kamar, ketiga cahaya hitam, kuning, dan putih bule dari hutan Kandawa masuk ke keraton. Ketika itu para permaisuri dan Dewi Kunthi sedang tidur di kaputren. Segera cahaya-cahaya itu langsung masuk dan melebur ke dalam kandungan mereka. Cahaya putih bule masuk ke kandungan Dewi Rohini, cahaya hitam masuk ke kandungan Dewi Dewaki, dan cahaya kuning masuk ke kandungan Dewi Kunthi. Sesaat kemudian, munculah cahaya berwarna-warni jelmaan Dewi Sri Laksmi masuk ke rahim Dewi Badraini. Sementara itu, Prabu Basudewa palsu berhasil meniduri dan kumpul kebo dengan Dewi Maherah. Sebaliknya, Dewi Maherah juga sangat puas setelah dilayani walaupun bau badan suaminya aneh tak seperti biasanya.
Di setibanya kembali di Mandura, Prabu Basudewa dan Prabu Pandu terkejut melihat terjadi peperangan. Dengan secepat kilat, Prabu Pandu mengerahkan aji Sepiangin dan membuat angin topan untuk mengusir pasukan Goagra. Begitu hendak memasuki puri, Arya Ugrasena yang tadi melihat kakaknya masuk kamar menjadi heran “lhoo, Kakang Prabu. Kok udah disini. Kanda Dewi Maherah mana?” Prabu Basudewa merasa keheranan ” Lhoo, rayi Ugrasena, aku kan dari tadi bersama rayi Prabu Pandu ke hutan.”  mendengar hal itu, Arya Ugrasena terkejut dan merasa kecolongan lalu menjelaskan segalanya pada sang kakak. Prabu Basudewa marah dan menyuruh arya Ugrasena untuk melabrak sang kakak ipar di kamarnya. Ketika mendobrak pintu, ia melihat Prabu Basudewa palsu sedang meniduri Dewi Maherah. Prabu Basudewa palsu bangun lalu menyerang Arya Ugrasena dan Prabu Pandu. Pertarungan mereka terjadi hingga ke luar keraton. Tanpa waktu yang lama, Prabu Basudewa palsu berhasil dikalahkan oleh mereka dan seketika Prabu Basudewa palsu kembali menjadi wujud aslinya, Prabu Gorawangsa lalu tewas seketika. Dewi Maherah yang melihat itu sontak kaget dan pingsan. Setelah bangun, Dewi Maherah diseret ke penghadapan. Kini dia merasa sangat bersalah.
Prabu Basudewa murka sekali kepada Dewi Maherah dan menjatuhkan vonis hukuman mati karena dianggap telah mencemarkan nama baiknya. Diperintahkanlah Arya Ugrasena untuk melakukan eksekusi itu. Tetapi, Arya Ugrasena tak tega melihat kakak iparnya di hukum seberat itu. Maka dibawalah Dewi Maherah ke tengah hutan dan dibuatkan sebuah pesanggrahan “kakak ipar, maafkan aku dan suamimu. Ku tahu dia sangat marah tapi aku tidak. Aku tak tega kalau kakak dihukum mati. Sekarang tinggallah di pesanggrahan ini. Aku amat menyesalkan keputusan kakang Prabu. Kakak ipar, semoga kau selalu sehat”. Arya Ugrasena segera memecut kudanya dan meninggalkan sang kakak ipar. Dewi Maherah amat sedih sehingga dia mulai jatuh sakit. Suatu hari, tak sengaja datang patih Suratrimantra. Dewi Maherah yang pasrah akhirnya menyerahkan hidupnya di tangan patih Suratrimantra. Patih Suratrimantra menjelaskan bahwa dia adik dari Prabu Gorawangsa. Dewi Maherah semakin sedih dan menceritakan bagaimana dia dinodai Gorawangsa hingga hidupnya hancur begini. Patih Suratrimantra merasa kasihan dan berniat membawa Dewi Maherah ke Goagra. Tapi baru sampai di lereng Gunung Kendeng, Dewi Maherah yang sedang hamil itu sakit. Tak lama kemudian datanglah dua pendeta bersaudara berwujud raksasa dan raksasi, Resi Hanggawangsa dan Nyai Jara. Patih Suratrimantra meminta bantuan sang resi untuk membantu persalinan Dewi Maherah. Sejenak Resi Hanggawangsa meraba perut Dewi Maherah lalu Dewi Maherah melahirkan seorang bayi laki-laki, tapi tak lama kemudian Dewi Maherah meninggal karena komplikasi dani tekanan batin yang dideritanya.
Patih Suratrimantra yang sangat sedih melihat jenazah Dewi Maherah mengutuk perbuatan Prabu Basudewa. “Hai Basudewa, perbuatanmu membuang istri sendiri sudah keterlaluan. Kelak putra kakakku ini akan membalas perbuatanmu berkali-kali lipat!!”. Setelah pemakaman Dewi Maherah, putra haram Dewi Maherah dengan Prabu Gorawangsa diberi nama Raden Kangsa oleh Patih Suratrimantra dan patih Suratrimantra menyerahkan bayi Kangsa kepada Resi Hanggawangsa dan Nyai Jara untuk dididik bersama anak asuh Nyai Jara. Kebetulan Nyai Jara juga membawa anak asuhnya, seorang bayi yang dibuang Prabu Brehadata, raja kerajaan Giribajra. Bayi itu dinamai Jaka Slewah karena saat ditemukan oleh Nyai Jara, bayi itu dalam kondisi slewah*9, berasal dua potong bayi lalu ditemukan oleh Nyai Jara dan dengan izin Hyang Widhi, begitu tangan Nyai Jara menggendong dua belah badan bayi itu, kedua belahan itu menyatu menjadi seorang bayi utuh.
Dua bulan kemudian setelah pesta tujuh bulanan, Dewi Rohini dan Dewi Dewaki melahirkan. Dewi Rohini melahirkan seorang bayi laki-laki berkulit bule/albino. Oleh prabu Basudewa, anaknya itu dberi nama Arya Balarama dan oleh ibunya diberi nama Raden Kakrasana. Beberapa jam kemudian, Dewi Dewaki juga melahirkan seorang bayi laki-laki berkulit kehitaman. Oleh sang ayah diberi nama Raden Kresna karena kulitnya yang berwarna gelap dan oleh ibunya di beri nama Bambang Narayana . Dua hari kemudian, Dewi Badrahini juga melahirkan seorang bayi perempuan. Wajah bayi perempuan itu terlihat sangat cantik, secantik Dewi Kamaratih. Kulitnya hitam manis. Prabu Basudewa menamai putrinya yang satu-satunya itu Dewi Sumbadra, diambil dari nama ibunya. Dewi Badraini, ibunya juga memberinya nama Dewi Bratajaya. 
Di waktu yang sama pula, di Kerajaan Hastinapura, Dewi Kunthi mengalami kesakitan hebat karena hendak melahirkan. Segeralah Dewi Kunthi merapal Aji Punta Wekasing Rahsa Tunggal sambil menyebut nama Batara Indra dibantu suami dan madunya. Lalu munculah Batara Indra dengan menunggangi gajah Erawata*10. Batara Indra turun dari gajahnya lalu membantu Dewi Kunthi melahirkan. Seketika, keluarlah cahaya seterang halilintar saat sang jabang bayi lahir. Di balik cahaya itu, wajah sang bayi nampak berseri.
Kelahiran Raden Arjuna
Konon, seisi jagat raya bahkan para bidadari yang jauh di kahyangan terpikat oleh sang jabang bayi. Setelah membantu sang Dewi, Batara Indra segera memberikan berkahnya “ Kunthi, putramu ini kuanugerahi wajah yang setampan Batara Kamajaya, kebaikan hati dan perangai, kemampuan memanah dan berolah senjata yang mumpuni. Bayimu ini kelak menjadi lelanang ing jagat *11dan kelak akan dicintai siapapun juga, baik pria maupun wanita. Dia akan menjadi pujaan manusia sepanjang masa”. Setelah memberi berkah, Batara Indra segera menunggangi gajahnya dan kembali ke kahyangan. Oleh Prabu Pandu Dewanata, putranya yang ketiga itu diberi nama Raden Arjuna, yang berarti “yang bersinar terang” dan Dewi Kunthi memberinya nama Bambang Permadi, yang berarti kasih sayang yang melimpah. Kakaknya, Arya Bratasena memberinya julukan si Jlamprong.
Pada hari yang telah ditentukan, diselenggarakan pesta selapanan di keraton Mandura untuk merayakan kelahiran para pangeran dan putri. Kebetulan pula, Prabu Pandu dan Dewi Kunthi juga datang sambil membawa bayi Arjuna. Prabu Basudewa memberi nama putra ketiga adiknya itu Bambang Parta, yang artinya putra Dewi Prita, nama kecil Dewi Kunthi. Kemudian, Prabu Basudewa memangku bayi Arjuna di paha kanan dan bayi Sumbadra di paha kirinya. Mereka pun ditunangkan “ wahai seluruh undangan, hari ini aku akan menjodohkan putra adikku Kunthi, Arjuna dengan putriku, Sumbadra. Semoga Hyang Widhi merestui “ Seluruh tamu undangan pesta bersuka ria atas pertunangan itu.
Di tengah pesta itu, datanglah pasangan suami istri yang sudah cukup tua umurnya menghadap Prabu Basudewa. Sang suami adalah bangsa wanara*13 dan sang istri masih terlihat cantik dan terpancar auranya meskipun sudah tak lagi muda. Mereka adalah Resi Kapi Jembawan, pengasuh Resi Subali dan Dewi Trijatha, putri bungsu Prabu Gunawan Wibisana, adik bungsu Prabu Rahwana. Dahulu, mereka adalah abdi sekaligus sahabat dari Sri Ramawijaya dan istrinya, Dewi Sinta. Pasangan ini mendapat petunjuk dari dewata akan mendapatkan seorang anak bila meminta restu dan mengabdi pada keturunan Sri Rama di Mandura.”Ampun gusti prabu, bila kami mengacaukan pesta anda. Hamba dan istri hamba ingin mengabdi pada Gusti. Sebelum itu perkenalkan, nama hamba Jembawan dan ini istri hamba, Trijatha. Kami dulu adalah sahabat salah satu leluhur gusti, Sri Rama. Sudikah gusti untuk merestui pengabdian kami?” Prabu Basudewa merasa tersanjung dan merestui mereka “baiklah, kuterima pengabdian kalian. Mulai sekarang kalian kuangkat menjadi juru kunci Astana Gandamadana*12. Semoga pengabdian kalian direstui juga oleh dewata.” Begitu Prabu Basudewa meminta izin untuk memegang perut Dewi Trijatha, satu dari lima cahaya penjelmaan Dewi Sri Laksmi menitis pada rahim Dewi Trijatha. Setelah itu datanglah Batara Narada dari kahyangan. Seluruh yang ada disitu memberi hormat. Batara Narada datang untuk memberitahukan nasib putra-putri Prabu Basudewa.“ Basudewa cucuku, kedatanganku kemari untuk menyampaikan suratan nasib putra-putri prabu. Putra prabu yang berkulit bule adalah titisan Batara Adisesa, ular putih yang jadi ranjang sang Wisnu, lalu putramu yang berkulit kehitaman bersama putra ketiga prabu Pandu Dewanata adalah titisan Batara Wisnu, dan putrimu satu-satunya adalah titisan Dewi Sri Laksmi. Mereka akan menjadi permata bagi Wangsa Yadawa. Tapi ada sebuah sandungan, Dewi Maherah yang telah kau usir sudah meninggal tapi sempat melahirkan putra, namanya Kangsa. Dia akan menjadi malapetaka bagi putra-putrimu dan kerajaanmu di kemudian hari” Prabu Basudewa terkejut mendengarnya dan ingin membunuhnya sekarang. Batara Narada mencegah karena sudah menjadi suratan, Kangsa hanya bisa mati dengan kerja sama para putra-putrinya. “Asingkanlah putra-putri prabu di desa Widarakandang. Biarkan mereka tumbuh di desa dan dengan begitu mereka akan menjadi manusia-manusia bijaksana dan mau bergaul dengan rakyat. Dengan begitu Kangsa dapat dikalahkan. Hampir saya lupa, saya kesini juga membawakan bulu merak dan jamang ini. Bulu merak dan jamang ini adalah perhiasan kepala Batara Wisnu, pakaikan pada kepala putramu Bambang Narayana.” Sebenarnya Prabu Basudewa sangat berat hati untuk berpisah dengan putra-putrinya tapi karena sudah menjadi takdir mereka, maka Prabu Basudewa mematuhi perintah Batara Narada dan berterima kasih padanya“Terima kasih, pukulun Narada. Saya sekeluarga akan mematuhi perintah pukulun”Setelah dirasa cukup, Batara Narada kembali ke kahyangan. Begitu juga Resi Jembawan dan Dewi Trijatha memulai tugas dan tinggal di Astana Gandamadana.
Setelah pesta selesai, segeralah Prabu Basudewa memberitahukan hal ini pada keluarganya dan segera berangkat ke Widarakandang membawa tiga putra-putrinya sendirian. Perjalanan Prabu Basudewa amat panjang dan melelahkan, Ketika sampai di pinggir Bengawan Yamuna, terjadi badai dahsyat. Air bengawan banjir dan mengalir sangat deras. Ombak bengawan menggeliat seakan saling bergulingan. Prabu Basudewa yang kebingungan berdoa agar bisa menyebrang. Atas pertolongan dewata agung, munculah seekor ular naga penjaga bengawan Yamuna bernama Kaliya menolong Prabu Basudewa menyebrang. Setelah tiba di desa Widarakandang, badai berhenti, hujan pun mereda. Setelah berjalan cukup lama, sampailah Prabu Basudewa di rumah Nanda Antagopa dan Niken Yasoda yang kini dipanggil Niken Sagopi oleh penduduk desa. Setelah membukakan pintu, Nanda Antagopa bertanya sambil berbasa-basi “Gusti Prabu Basudewa, ada keperluankah datang kesini malam begini? Dan inikah putra-putri gusti prabu, tampan dan cantik semua” “Terimakasih, Nanda. Tak usahlah kau panggil aku Gusti Prabu. Kita sudah bersahabat sejak lama. Aku kesini untuk meminta bantuanmu dan Yasoda untuk mengasuh putra-putriku” Nanda Antagopa bertanya lagi “Apa gerangan yang terjadi sehingga gusti ehh anda mau menyerahkan tugas ini pada kami?”. Prabu Basudewa menghela nafas lalu menceritakan segalanya, mulai dari garis nasib putra-putrinya hingga ancaman Kangsa, putra haram Dewi Maherah. Nanda Antagopa dan Niken Sagopi merasa tidak keberatan malah merasa ini menjadi suatu kehormatan besar bisa mengasuh putra-putri Mandura. Setelah menyerahkan ketiga putra-putrinya, Prabu Basudewa kembali ke keraton Mandura. Mulai hari itu, ketiga putra-putri Prabu Basudewa diasuh oleh Nanda Antagopa dan Niken Sagopi diantara para petani dan penggembala di Widarakandang.

*1 tanah perdikan swatantra, adalah suatu wilayah yang dibebaskan dari pajak berat dan dibiarkan mengatur dirinya sendiri. Pada masa sekarang, hal ini disebut daerah otonom.
*2 Ismaya adalah nama Ki Lurah Semar saat masih di kahyangan. Dia adalah kakak dari Batara Guru. Dia dan saudaranya yang lain, Togog, diperintahkan turun ke bumi untuk menjadi pengasuh para manusia. Togog mengasuh manusia berbudi angkara dan berjalan diatas adharma, sedangkan Semar mengasuh para manusia berbudi luhur dan menjalankan dharma kebaikan.
*3 Wasi Dwapara adalah seorang dewa yang suka menghasut dan menebar huru-hara dengan menghasut para dewa dengan asura. Karena perbuatannya, Hyang Widhi mengeluarkannya dari kahyangan dan diperintahkan untuk menitis pada para manusia berbudi angkara murka. Di zaman kuno, dia menitis pada Resi Dwapara, musuh bebuyutan Resi Satrukem dan Bambang Sakri, salah satu leluhur Maharesi Abiyasa. Pada masa Pandawa-Kurawa, dia menitis pada adik Dewi Gendari, Arya Suman yang kelak bernama Patih Arya Sengkuni.
*4 Mahapralaya yang dimaksud adalah perang Baratayudha. Di pewayangan Jawa, perang Baratayudha bukan sekedar kebetulan semata. Bukan juga sekedar terjadi karena perebutan takhta Hastinapura dan politik semata, tapi sudah diramalkan akan terjadi bahkan semenjak alam semesta belum diciptakan oleh Hyang Widhi.
*5 Garudeya Brihawan adalah burung garuda yang menjadi tunggangan Batara Wisnu. Garudeya Brihawan adalah saudara Garuda Aruna, kusir Batara Surya. Mereka adalah putra Maharesi Kasyapa dan Dewi Winata.
*6 Trinetra adalah mata ketiga Batara Guru (Siwa), letaknya di tengah dahi. Selain dapat melihat apa yang gaib dan tersembunyi di tiga alam, trinetra Batara Guru dapat berubah menjadi senjata berupa sinar panas yang dapat menghancurkan apapun dan siapapun bahkan para dewa dapat hancur menjadi abu.
*7 Nara-Narayan adalah bentuk cara penitisan Batara Wisnu dengan menjadi dua pribadi alias menitis belah. Namun dalam kepercayaan agama Hindu, Nara-Narayan adalah sepasang resi kembar penjelmaan/avatara Batara Wisnu. Didalam konsep pewayangan dan agama Hindu, Arjuna adalah titisan Wisnu sebagai Nara dan Prabu Kresna adalah tititsan Wisnu sebagai Narayan. Bila diibaratkan, mereka bagai dua sisi daun sirih, berbeda warnanya tapi sama rasanya.
*8 Bule disini adalah warna putih bersemu warna merah jambu, seperti warna kulit orang Eropa yang terkena sinar matahari
*9 Slewah maksudnya terbelah dua dan potongannya sama besar
*10 Erawata atau Airawata adalah gajah kahyangan, tunggangan dewa langit sekaligus raja para bidadari dan bidadara, Batara Indra. Gajah ini muncul dari dalam laut saat terjadi peristiwa pengadukan Laut Kidul untuk mendapatkan Tirta Amerta Perwitasari (air kehidupan langgeng).
*11 Lelanang ing jagat maksudnya simbol dan tauladan bagi para pria di dunia.
*12 Astana Gandamadana adalah situs pemakaman yang ditujukan untuk para leluhur Wangsa Yadawa, termasuk raja-raja Mandura yang terdahulu.
*13 Bangsa wanara adalah bangsa manusia kera (kera bertubuh besar, namun berekor panjang dan bisa bertatakrama layaknya manusia biasa). Mereka disatukan oleh Prabu Sugriwa dan Resi Subali lalu membangun kerajaan para kera dan monyet di Gua Kiskenda, bekas istana Ditya Lembusura dan Maesasura di ujung selatan Hutan Dandaka. Pemimpin bangsa wanara, yaitu Prabu Sugriwa, Patih Anila, Kapi Hanoman, Kapi Jaya Anggada, dan Resi Jembawan adalah sahabat- sahabat Prabu Sri Ramawijaya dan Raden Laksmana. Mereka membantu perjuangan Prabu Sri Rama membebaskan Dewi Sinta dari tangan Prabu Rahwana dalam perang Guntoroyono di Alengka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar