Sabtu, 16 Maret 2019

Balas Dendam Dorna : Kelahiran Putra-Putri Pancalaradya


Hai-hai semua, kali ini saya akan menceritakan bagaimana pembalasan dendam Resi Dorna kepada Prabu Drupada lewat para muridnya, Pandawa dan Kurawa sehingga sebagian wilayah Pancalaradya menjadi wilayah Perguruan Sokalima. Dikisahkan pula Bambang Aswatama yang naik derajat menjadi adipati sebagian wilayah Pancalaradya dengan pusatnya di Perguruan Sokalima dan kelahiran putra-putri Prabu Drupada dan Dewi Gandawati lewat ritual sesaji api. Kisah ini bersumber dari Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa dipadukan dengan beberapa bagian di Kitab Pustakaraja Purwa dan serial kolosal India Mahabharat Starplus dengan unsur-unsur pedalangan Jawa.
Beberapa hari kemudian, Prabu Dretarastra dihadap Maharesi Bhisma, Arya Widura, Mpu Krepa, Patih Arya Sengkuni,dan Resi Dorna. Dikarenakan saat unjuk kebolehan di Tegal Kurusetra tempo hari tidak ditemukan pemenangnya, maka Maharesi Bhisma mengusulkan untuk mengadakan pertandingan ulang agar jelas siapa yang berhak mendapatkan takhta. Resi Dorna mempunyai satu usul “begini, Kakang Bhisma. Aku punya usul. Kita adakan ujian ulang, tapi kali ini bukan adu tanding satu lawan satu tapi pertandingan menangkap musuh. Saya ada musuh, Prabu Drupada dan Arya Gandamana. Barangsiapa yang bisa mendapatkan mereka berdua maka dia yang menang dan berhak menjadi penerus takhta Hastinapura!” sontak seisi pasewakan agung terkejut. Arya Widura tidak setuju “maaf, Resi Dorna. Kali ini saya tidak setuju. Kita juga punya utang budi dengan Arya Gandamana dan Prabu Drupada Walau bagaimanapun, Pancalaradya dan Hastinapura sudah bersahabat sejak lama. Jika uji tanding ini dilangsungkan maka perang akan berkecamuk antara Hastinapura dan Pancalaradya dan hubungan baik antar kedua negara akan rusak.”
Patih Arya Sengkuni yang mendendam pada Arya Gandamana mendukung usulan Resi Dorna. Dia sudah mempersiapkan alasan dibalik usulan tersebut “rayi Widura, ada beberapa alasan kenapa kita tidak lagi menganggap Pancalaradya sebagai sahabat. Pertama, ingat sewaktu unjuk kebolehan tempo hari, tidak ada pihak dari Pancalaradya yang mewakili dan sewaktu saya sampaikan undangan, mereka malah merobek-robek undangan itu dan yang kedua, menurut telik sandi, pasukan Pancalaradya mulai merangsek-rangsek Sokalima yang berada di dekat tapal batas tanpa alasan. Bukan kah itu artinya mereka mau cari gara-gara dengan kita?” Arya Widura merasa curiga karena biasanya Prabu Drupada amat ramah pada tamu, namun sebelum melanjutkan kata-katanya, Prabu Dretarastra sudah mengeluarkan fatwanya “Hmmm.... kali ini juga apa yang dikatakan rayi Patih ada benarnya. Sokalima sekarang terancam kedaulatannya. Kita tak ada pilihan lain, aku izinkan para Pandawa dan Kurawa menyerang Pancalaradya.” Maharesi Bhisma dan Arya Widura tak bisa berkata-kata lagi melihat sang prabu semakin terhasut oleh duo maut Sengkuni-Dorna.
Keesokan harinya, hasil rapatpun diumumkan pada Pandawa dan Kurawa. Para Kurawa yang merasa senang dapat kesempatan membalas dendam pada Arya Gandamana karena sudah tahu bahwa wajah paman mereka menjadi rusak karenanya. Sementara para Pandawa merasa ragu dan bimbang di dalam hati karena bagi mereka, Prabu Drupada dan Arya Gandamana adalah sahabat ayah mereka dan mereka juga tak tega melawan dua sahabat ayahnya yang sudah dianggap sebagai orang tua kedua.
Di kerajaan Pancalaradya, Prabu Drupada sudah merasa bahwa kelak Dorna akan membalas sakit hatinya. “Rayi Gandamana, perketat penjagaan dan kirim prajurit tambahan ke perbatasan Pancala-Sokalima. Telik sandi sudah melihat ada pergerakan dari arah Hastina menuju perbatasan Sokalima. Kali ini temani aku kesana. Akan terjadi perang yang tak terhindarkan. Kita harus berperang sepenuh hati,tapi jangan sampai ada satupun murid Dorna yang terluka” “Baik, Kakang Prabu. ” Di perbatasan, Resi Dorna, Pandawa, dan Kurawa mulai bersiap-siap menyerang Pancalaradya. para Kurawa maju berperang lebih dulu. Mereka berperang tanpa strategi dan asal serang saja tak peduli dengan nasib para prajurit yang sudah tak berdaya. Menyangka mereka telah menang, tiba-tiba Arya Gandamana datang dan mengobrak-abrik mereka dengan Aji Bandung Bandawasa dan Wungkal Bener*. Para Kurawa yang kocar-kacir akhirnya kalah dan Arya Gandamana segera mengurung mereka di dalam kerangkeng. Suyudana mulai kehilangan kontrol dan lengah melihat adik-adiknya kalah satu persatu. Akhirnya, Suyudana kalah dan langsung melarikan diri bersama adik-adiknya yang tersisa.
Setelah melihat para Kurawa yang tersisa kalah, Resi Dorna segera memerintahkan para Pandawa menyerang Prabu Drupada dan Arya Gandamana. Dengan setengah hati dan penuh kebimbangan, para Pandawa segera menuju medan tempur. Tak lama kemudian, setelah sampai di hadapan Prabu Drupada dan Arya Gandamana, para Pandawa menghaturkan sembah kepada mereka. Arya Gandamana segera menyuruh mereka berdiri dan bertanya “ada apa ini, ngger. Kenapa kalian tidak segera menyerang kami?” Puntadewa menjawab “Paman Prabu dan paman Arya, sungguh berat hati kami berlima untuk melawan paman berdua. Walaupun kami tahu bahwa ini perintah guru, kami tak sanggup melawan kalian.kami merasa sangat serbasalah. Apa yang harus kami lakukan?” Prabu Drupada dan Arya Gandamana tersentuh pada kesucian hati putra Pandu itu. Prabu Drupada kemudian menjelaskan “Anakku, para Pandawa. Jangan seperti itu. Walau seperti apapun perintah guru, kalau itu demi kebaikan kalian, tunaikan semampu kalian. Ingat, nak, Derajat seorang guru sama dengan agungnya dengan derajat orang tua. Ridho seorang murid bergantung ridho gurunya. Aku dan rayi Gandamana siap untuk melawan kalian berlima dan satu hal lagi, dalam sebuah perang, hubungan keluarga akan hilang. Yang ada hanya lawan dan kawan saja. Sekarang serang lah kami. Buat bangga ayah kalian yang sudah di alam sana” kemudian Puntadewa mengatakan sesuatu “Tapi paman, perang ini terjadi karena guru menyimpan dendam pada paman Prabu dan paman Arya. Sebaiknya paman Patih Drestaketu dan para prajurit segera mundur. Biar ini menjadi duel. Cukup paman Prabu dan paman Arya yang bertarung melawan dua dari lima Pandawa.” Prabu Drupada terkesan akan kebijaksanaan keponakannya itu. Setelah mereka mundur, Raden Puntadewa memerintahkan Arya Bratasena dan Raden Permadi untuk maju. Duel pun berlangsung sengit. Arya Bratasena dan Arya Gandamana saling serang dan keduanya sama-sama kuat, bagaikan harimau bergulat dengan singa. Sementara Prabu Drupada dan Raden Permadi sangat terampil dalam memanah. Namun setelah beberapa lama, Prabu Drupada kalah dan terkurung hujan panah dari Permadi. Arya Gandamana yang sejak tadi bergulat mulai kelelahan karena faktor usia dan dapat dijatuhkan oleh Arya Bratasena. Mereka pun kalah dan mau ataupun tidak, Raden Puntadewa harus mengikat kedua tangan sahabat ayahnya tersebut dengan selendang putih. Prabu Drupada segera memerintahkan Patih Drestaketu untuk membebaskan Kurawa yang terkurung di dalam kerangkeng.
Prabu Drupada di bawa ke hadapan Resi Dorna
Resi Dorna sudah menunggu di Sokalima di temani putranya, Bambang Aswatama. Samar-samar, dia melihar para Pandawa membawa Prabu Drupada dan Arya Gandamana yang dalam keadaan tangan terikat selendang putih. Para Kurawa termasuk Suyudana merasa amat malu. Resi Dorna merasa sangat gembira melihat kemenangan para Pandawa. Kemudian Resi Dorna melepaskan ikatan Prabu Drupada dan Arya Gandamana, lalu Resi Dorna berkata “sang Prabu, sahabatku. Sekarang dendamku sudah terbayar. Meskipun aku pernah mendendam padamu dan iparmu. Aku tak pernah mau berselisih denganmu. Tapi kau tetap harus tepati janjimu. Kau pernah berjanji padaku akan membagi setiap kemuliaan yang kau punya denganku, sekarang aku meminta padamu tanah Pancalaradya yang ada di selatan bumi Sokalima jadi milikku dan aku ingin menjadikan Sokalima menjadi kadipaten baru dengan putraku Aswatama yang menjadi adipatinya. Sekarang tepati janjimu.” Arya Gandamana yang merasa kesal ingin menghajar lagi tapi dicegah oleh Prabu Drupada. “baiklah, Dorna. Akan aku tunaikan permintaanmu.” Sejak saat itu Pancalaradya sebelah utara yang berdekatan dengan Sokalima merdeka dan menjadi wilayah kekuasaan Resi Dorna. Perguruan Sokalima berubah menjadi pergurunan besar, tanahnya luas, dan memiliki sistem kekeratonan didalamnya dengan Bambang Aswatama sebagai pemimpinnya. Bambang Aswatama yang angkuh berbisik pada Permadi “Heeh, sekarang kita setara kan, Permadi dan aku bahkan lebih mulia daripada kamu,” Permadi yang tak suka dengan kepongahan Aswatama segera pulang kembali ke Hastinapura bersama para Pandawa dan Kurawa. Sementara Resi Dorna sudah dilantik menjadi Mahaguru keraton Hastinapura bersama Mpu Krepa, iparnya.
Kejadian terenggutnya sebagian Pancalaradya ke tangan Resi Dorna membuat hati Prabu Drupada terguncang dan selalu berduka lara. Dirinya iri pada Resi Dorna yang memiliki seratus lima murid dan seorang putra yang patuh tunduk padanya, sementara dirinya tak punya seorang anakpun karena Dewi Gandawati memiliki masalah pada rahimnya. Karena itu, untuk sementara, Prabu Drupada dan Dewi Gandawati ditemani Arya Gandamana pergi menyepi untuk mencari sarana untuk berputra, sementara tampuk jalannya negara di pegang oleh Patih Drestaketu. Mereka bertiga melakukan tapa brata di hutan Daksinapatra hingga setelah empat puluh hari, mereka berdua dibangunkan oleh dua orang pendeta kembar. Mereka bernama Resi Yodaya dan Resi Upayodaya. “Sang Prabu, perkenalkan, nama saya Yodaya dan ini adik saya Upayodaya” “kami mendapat perintah dari Sanghyang Batara Siwa untuk membantu sang prabu berputra. Untuk itu kami akan membuat sesaji api dan saya membawa Manggadewa Tangganingjiwa sebagai sarana benih paduka berdua” Prabu Drupada dan Dewi Gandawati merasa gembira karena telah menemukan sarana untuk memiliki keturunan. Kedua resi itu kemudian meminta mereka kembali mengheningkan cipta. Tak disangka, setelah mengheningkan segala cipta, karsa, dan rasa, dari kelamin Prabu Drupada dan Dewi Gandawati keluar cahaya terang penjelmaan benih keduanya masuk meresap ke dalam daging buah Manggadewa Tangganingjiwa. Kemudian, daging mangga itu dipotong menjadi tiga potong. Ketiga potongan mangga itu dilemparkan ke dalam api pemujaan bersamaan dengan dilemparkannya bunga pemujaan, dan anak panah milik Prabu Drupada.
Sesaat kemudian setelah dua pendeta itu membaca mantra, bumi gonjang-ganjing, mendung bergelayut, petir menyambar-nyambar, angin topan bertiup sangat kencang, dan api pemujaan menjadi menyala berkobar-kobar. Panasnya terasa hingga membuat seluruh tanaman dan pohon layu kepanasan di hutan itu. Atas kuasa dan izin dari Sanghyang Widhi, dari dalam api yang berkobar-kobar itu, keluarlah tiga orang anak muda yang sebaya dengan para Pandawa, seorang pemuda tampan dan dua gadis yang sangat cantik. Sang pemuda tampan tampak sudah memakai baju zirah, sementara salah satu gadis itu membawa anak panah dan gadis satunya, berambut ikal indah dengan berhiaskan jepit rambut berbentuk bunga teratai.
Kelahiran putra-putri Pancalaradya dari kobaran api sesaji
Prabu Drupada, Dewi Gandawati, dan Arya Gandamana sangat gembira meliharnya. Oleh Prabu Drupada, gadis yang berambut ikal dijadikan kakak tertua dan dinamai Dewi Drupadi yang artinya “anak perempuan Drupada” dan oleh Arya Gandamana, diberi nama Dewi Panchali yang artinya “puteri termahsyur dari Pancala”dan dijadikan putri angkatnya. Kemudian si gadis yang membawa anak panah, oleh ayahnya dinamai Dewi Srikandhi yang artinya “si cantik yang kelaki-lakian” dan sang pemuda tampan dinamai Arya Drestajumena sebagai rasa penghormatan pada Patih Drestaketu yang kini sedang membantunya menjalankan pemerintahan. Setelah semua selesai, kedua pendeta kembar itu pamit dan menghilang di balik lebatnya hutan.
Setelah peristiwa kelahiran putra-putri Pancala, Prabu Drupada beserta Dewi Gandawati dan Arya Gandamana memboyong keluarga barunya kembali ke Pancalaradya. Patih Drestaketu menyambut mereka dengan penuh syukur. Pada suatu hari, Dewi Srikandhi hendak berlatih perang-perangan. Ketika melewati balairung istana, dirinya melihat sebuah puspamala yang bercahaya tergeletak di lantai. Kemudian, tanpa rasa takut, Dewi Srikandhi mengambil dan mengalungkan puspamala itu dilehernya. Seketika, sukma Dewi Amba yang terbang diatas langit Pancalaradya kemudian menitis pada diri Srikandhi. Prabu Drupada dan Dewi Gandawati yang kebetulan lewat situ terkejut melihatnya. Prabu Drupada takut akan ramalan mertuanya bahwa siapapun yang memaki puspamala yang pernah dibuang oleh Dewi Amba itu bakal bisa mengalahkan Maharesi Bhisma. Prabu Drupada mengingatkan Srikandhi untuk tidak berlatih perang-perangan lagi dan segera membangun taman baru bernama Maherakaca untuk Dewi Srikandhi agar sisi femininnya keluar. Dasar Srikandhi, walaupun sudah diingatkan berkali-kali, dirinya tetap berlatih perang, malah taman Maherakaca berubah menjadi arena latihan barunya. Melihat perkembangan putrinya yang tomboy itu, timbullah keinginan dari Prabu Drupada untuk mempermalukan Resi Dorna. Maka, Prabu Drupada memerintahkan putranya, Arya Drestajumena untuk berguru pada Resi Dorna.
* Aji Bandung bandawasa adalah ajian yang dapat mengumpulkan tenaga magnetik bumi ke dalam pukulan tangan. Ajian ini harus dipatrapkan bersama Aji Wungkal Bener yang menjadi tombol kendalinya. Ajian Wungkal Bener dapat mendeteksi isi hati seseorang bila diketahui isi hati lawan tak ada niat buruk, pukulan dari Aji Bandung Bandawasa bisa melemah bahkan tidak mempan. Begitupun sebaliknya, bila si lawan memiliki niat atau hati yang tidak baik, maka pukulannya pun menjadi mantap dan kuat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar