Hai-hai semua, kali ini saya akan menceritakan bagaimana pembalasan dendam Resi Dorna kepada Prabu Drupada lewat para muridnya, Pandawa dan Kurawa sehingga sebagian wilayah Pancalaradya menjadi wilayah Perguruan Sokalima. Dikisahkan pula Bambang Aswatama yang naik derajat menjadi adipati sebagian wilayah Pancalaradya dengan pusatnya di Perguruan Sokalima dan kelahiran putra-putri Prabu Drupada dan Dewi Gandawati lewat ritual sesaji api. Kisah ini bersumber dari Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa dipadukan dengan beberapa bagian di Kitab Pustakaraja Purwa dan serial kolosal India Mahabharat Starplus dengan unsur-unsur pedalangan Jawa.
Beberapa
hari kemudian, Prabu Dretarastra dihadap Maharesi Bhisma, Arya Widura, Mpu
Krepa, Patih Arya Sengkuni,dan Resi Dorna. Dikarenakan saat unjuk kebolehan di
Tegal Kurusetra tempo hari tidak ditemukan pemenangnya, maka Maharesi Bhisma
mengusulkan untuk mengadakan pertandingan ulang agar jelas siapa yang berhak
mendapatkan takhta. Resi Dorna mempunyai satu usul “begini, Kakang Bhisma. Aku
punya usul. Kita adakan ujian ulang, tapi kali ini bukan adu tanding satu lawan
satu tapi pertandingan menangkap musuh. Saya ada musuh, Prabu Drupada dan Arya
Gandamana. Barangsiapa yang bisa mendapatkan mereka berdua maka dia yang menang
dan berhak menjadi penerus takhta Hastinapura!” sontak seisi pasewakan agung
terkejut. Arya Widura tidak setuju “maaf, Resi Dorna. Kali ini saya tidak
setuju. Kita juga punya utang budi dengan Arya Gandamana dan Prabu Drupada Walau
bagaimanapun, Pancalaradya dan Hastinapura sudah bersahabat sejak lama. Jika
uji tanding ini dilangsungkan maka perang akan berkecamuk antara Hastinapura
dan Pancalaradya dan hubungan baik antar kedua negara akan rusak.”
Patih
Arya Sengkuni yang mendendam pada Arya Gandamana mendukung usulan Resi Dorna.
Dia sudah mempersiapkan alasan dibalik usulan tersebut “rayi Widura, ada
beberapa alasan kenapa kita tidak lagi menganggap Pancalaradya sebagai sahabat.
Pertama, ingat sewaktu unjuk kebolehan tempo hari, tidak ada pihak dari Pancalaradya
yang mewakili dan sewaktu saya sampaikan undangan, mereka malah merobek-robek
undangan itu dan yang kedua, menurut telik sandi, pasukan Pancalaradya mulai
merangsek-rangsek Sokalima yang berada di dekat tapal batas tanpa alasan. Bukan
kah itu artinya mereka mau cari gara-gara dengan kita?” Arya Widura merasa
curiga karena biasanya Prabu Drupada amat ramah pada tamu, namun sebelum
melanjutkan kata-katanya, Prabu Dretarastra sudah mengeluarkan fatwanya
“Hmmm.... kali ini juga apa yang dikatakan rayi Patih ada benarnya. Sokalima
sekarang terancam kedaulatannya. Kita tak ada pilihan lain, aku izinkan para
Pandawa dan Kurawa menyerang Pancalaradya.” Maharesi Bhisma dan Arya Widura tak
bisa berkata-kata lagi melihat sang prabu semakin terhasut oleh duo maut Sengkuni-Dorna.
Keesokan
harinya, hasil rapatpun diumumkan pada Pandawa dan Kurawa. Para Kurawa yang
merasa senang dapat kesempatan membalas dendam pada Arya Gandamana karena sudah
tahu bahwa wajah paman mereka menjadi rusak karenanya. Sementara para Pandawa merasa
ragu dan bimbang di dalam hati karena bagi mereka, Prabu Drupada dan Arya
Gandamana adalah sahabat ayah mereka dan mereka juga tak tega melawan dua
sahabat ayahnya yang sudah dianggap sebagai orang tua kedua.
Di
kerajaan Pancalaradya, Prabu Drupada sudah merasa bahwa kelak Dorna akan
membalas sakit hatinya. “Rayi Gandamana, perketat penjagaan dan kirim prajurit tambahan
ke perbatasan Pancala-Sokalima. Telik sandi sudah melihat ada pergerakan dari
arah Hastina menuju perbatasan Sokalima. Kali ini temani aku kesana. Akan
terjadi perang yang tak terhindarkan. Kita harus berperang sepenuh hati,tapi
jangan sampai ada satupun murid Dorna yang terluka” “Baik, Kakang Prabu. ” Di
perbatasan, Resi Dorna, Pandawa, dan Kurawa mulai bersiap-siap menyerang
Pancalaradya. para Kurawa maju berperang lebih dulu. Mereka berperang tanpa
strategi dan asal serang saja tak peduli dengan nasib para prajurit yang sudah
tak berdaya. Menyangka mereka telah menang, tiba-tiba Arya Gandamana datang dan
mengobrak-abrik mereka dengan Aji Bandung Bandawasa dan Wungkal Bener*. Para
Kurawa yang kocar-kacir akhirnya kalah dan Arya Gandamana segera mengurung
mereka di dalam kerangkeng. Suyudana mulai kehilangan kontrol dan lengah
melihat adik-adiknya kalah satu persatu. Akhirnya, Suyudana kalah dan langsung
melarikan diri bersama adik-adiknya yang tersisa.
Setelah
melihat para Kurawa yang tersisa kalah, Resi Dorna segera memerintahkan para
Pandawa menyerang Prabu Drupada dan Arya Gandamana. Dengan setengah hati dan
penuh kebimbangan, para Pandawa segera menuju medan tempur. Tak lama kemudian,
setelah sampai di hadapan Prabu Drupada dan Arya Gandamana, para Pandawa
menghaturkan sembah kepada mereka. Arya Gandamana segera menyuruh mereka
berdiri dan bertanya “ada apa ini, ngger. Kenapa kalian tidak segera menyerang
kami?” Puntadewa menjawab “Paman Prabu dan paman Arya, sungguh berat hati kami
berlima untuk melawan paman berdua. Walaupun kami tahu bahwa ini perintah guru,
kami tak sanggup melawan kalian.kami merasa sangat serbasalah. Apa yang harus
kami lakukan?” Prabu Drupada dan Arya Gandamana tersentuh pada kesucian hati
putra Pandu itu. Prabu Drupada kemudian menjelaskan “Anakku, para Pandawa.
Jangan seperti itu. Walau seperti apapun perintah guru, kalau itu demi kebaikan
kalian, tunaikan semampu kalian. Ingat, nak, Derajat seorang guru sama dengan
agungnya dengan derajat orang tua. Ridho seorang murid bergantung ridho
gurunya. Aku dan rayi Gandamana siap untuk melawan kalian berlima dan satu hal
lagi, dalam sebuah perang, hubungan keluarga akan hilang. Yang ada hanya lawan
dan kawan saja. Sekarang serang lah kami. Buat bangga ayah kalian yang sudah di
alam sana” kemudian Puntadewa mengatakan sesuatu “Tapi paman, perang ini
terjadi karena guru menyimpan dendam pada paman Prabu dan paman Arya. Sebaiknya
paman Patih Drestaketu dan para prajurit segera mundur. Biar ini menjadi duel.
Cukup paman Prabu dan paman Arya yang bertarung melawan dua dari lima Pandawa.”
Prabu Drupada terkesan akan kebijaksanaan keponakannya itu. Setelah mereka
mundur, Raden Puntadewa memerintahkan Arya Bratasena dan Raden Permadi untuk
maju. Duel pun berlangsung sengit. Arya Bratasena dan Arya Gandamana saling
serang dan keduanya sama-sama kuat, bagaikan harimau bergulat dengan singa.
Sementara Prabu Drupada dan Raden Permadi sangat terampil dalam memanah. Namun
setelah beberapa lama, Prabu Drupada kalah dan terkurung hujan panah dari
Permadi. Arya Gandamana yang sejak tadi bergulat mulai kelelahan karena faktor
usia dan dapat dijatuhkan oleh Arya Bratasena. Mereka pun kalah dan mau ataupun
tidak, Raden Puntadewa harus mengikat kedua tangan sahabat ayahnya tersebut
dengan selendang putih. Prabu Drupada segera memerintahkan Patih Drestaketu
untuk membebaskan Kurawa yang terkurung di dalam kerangkeng.
Prabu Drupada di bawa ke hadapan Resi Dorna |
Resi
Dorna sudah menunggu di Sokalima di temani putranya, Bambang Aswatama.
Samar-samar, dia melihar para Pandawa membawa Prabu Drupada dan Arya Gandamana
yang dalam keadaan tangan terikat selendang putih. Para Kurawa termasuk
Suyudana merasa amat malu. Resi Dorna merasa sangat gembira melihat kemenangan
para Pandawa. Kemudian Resi Dorna melepaskan ikatan Prabu Drupada dan Arya
Gandamana, lalu Resi Dorna berkata “sang Prabu, sahabatku. Sekarang dendamku
sudah terbayar. Meskipun aku pernah mendendam padamu dan iparmu. Aku tak pernah
mau berselisih denganmu. Tapi kau tetap harus tepati janjimu. Kau pernah
berjanji padaku akan membagi setiap kemuliaan yang kau punya denganku, sekarang
aku meminta padamu tanah Pancalaradya yang ada di selatan bumi Sokalima jadi
milikku dan aku ingin menjadikan Sokalima menjadi kadipaten baru dengan putraku
Aswatama yang menjadi adipatinya. Sekarang tepati janjimu.” Arya Gandamana yang
merasa kesal ingin menghajar lagi tapi dicegah oleh Prabu Drupada. “baiklah,
Dorna. Akan aku tunaikan permintaanmu.” Sejak saat itu Pancalaradya sebelah
utara yang berdekatan dengan Sokalima merdeka dan menjadi wilayah kekuasaan
Resi Dorna. Perguruan Sokalima berubah menjadi pergurunan besar, tanahnya luas,
dan memiliki sistem kekeratonan didalamnya dengan Bambang Aswatama sebagai
pemimpinnya. Bambang Aswatama yang angkuh berbisik pada Permadi “Heeh, sekarang
kita setara kan, Permadi dan aku bahkan lebih mulia daripada kamu,” Permadi
yang tak suka dengan kepongahan Aswatama segera pulang kembali ke Hastinapura
bersama para Pandawa dan Kurawa. Sementara Resi Dorna sudah dilantik menjadi
Mahaguru keraton Hastinapura bersama Mpu Krepa, iparnya.
Kejadian
terenggutnya sebagian Pancalaradya ke tangan Resi Dorna membuat hati Prabu
Drupada terguncang dan selalu berduka lara. Dirinya iri pada Resi Dorna yang
memiliki seratus lima murid dan seorang putra yang patuh tunduk padanya,
sementara dirinya tak punya seorang anakpun karena Dewi Gandawati memiliki
masalah pada rahimnya. Karena itu, untuk sementara, Prabu Drupada dan Dewi
Gandawati ditemani Arya Gandamana pergi menyepi untuk mencari sarana untuk berputra,
sementara tampuk jalannya negara di pegang oleh Patih Drestaketu. Mereka
bertiga melakukan tapa brata di hutan Daksinapatra hingga setelah empat puluh
hari, mereka berdua dibangunkan oleh dua orang pendeta kembar. Mereka bernama
Resi Yodaya dan Resi Upayodaya. “Sang Prabu, perkenalkan, nama saya Yodaya dan
ini adik saya Upayodaya” “kami mendapat perintah dari Sanghyang Batara Siwa
untuk membantu sang prabu berputra. Untuk itu kami akan membuat sesaji api dan
saya membawa Manggadewa Tangganingjiwa sebagai sarana benih paduka berdua”
Prabu Drupada dan Dewi Gandawati merasa gembira karena telah menemukan sarana untuk
memiliki keturunan. Kedua resi itu kemudian meminta mereka kembali
mengheningkan cipta. Tak disangka, setelah mengheningkan segala cipta, karsa,
dan rasa, dari kelamin Prabu Drupada dan Dewi Gandawati keluar cahaya terang
penjelmaan benih keduanya masuk meresap ke dalam daging buah Manggadewa
Tangganingjiwa. Kemudian, daging mangga itu dipotong menjadi tiga potong.
Ketiga potongan mangga itu dilemparkan ke dalam api pemujaan bersamaan dengan
dilemparkannya bunga pemujaan, dan anak panah milik Prabu Drupada.
Sesaat
kemudian setelah dua pendeta itu membaca mantra, bumi gonjang-ganjing, mendung
bergelayut, petir menyambar-nyambar, angin topan bertiup sangat kencang, dan
api pemujaan menjadi menyala berkobar-kobar. Panasnya terasa hingga membuat
seluruh tanaman dan pohon layu kepanasan di hutan itu. Atas kuasa dan izin dari
Sanghyang Widhi, dari dalam api yang berkobar-kobar itu, keluarlah tiga orang
anak muda yang sebaya dengan para Pandawa, seorang pemuda tampan dan dua gadis
yang sangat cantik. Sang pemuda tampan tampak sudah memakai baju zirah,
sementara salah satu gadis itu membawa anak panah dan gadis satunya, berambut
ikal indah dengan berhiaskan jepit rambut berbentuk bunga teratai.
Prabu
Drupada, Dewi Gandawati, dan Arya Gandamana sangat gembira meliharnya. Oleh
Prabu Drupada, gadis yang berambut ikal dijadikan kakak tertua dan dinamai Dewi
Drupadi yang artinya “anak perempuan Drupada” dan oleh Arya Gandamana, diberi
nama Dewi Panchali yang artinya “puteri termahsyur dari Pancala”dan dijadikan
putri angkatnya. Kemudian si gadis yang membawa anak panah, oleh ayahnya dinamai
Dewi Srikandhi yang artinya “si cantik yang kelaki-lakian” dan sang pemuda
tampan dinamai Arya Drestajumena sebagai rasa penghormatan pada Patih
Drestaketu yang kini sedang membantunya menjalankan pemerintahan. Setelah semua
selesai, kedua pendeta kembar itu pamit dan menghilang di balik lebatnya hutan.
Kelahiran putra-putri Pancalaradya dari kobaran api sesaji |
Setelah
peristiwa kelahiran putra-putri Pancala, Prabu Drupada beserta Dewi Gandawati
dan Arya Gandamana memboyong keluarga barunya kembali ke Pancalaradya. Patih
Drestaketu menyambut mereka dengan penuh syukur. Pada suatu hari, Dewi
Srikandhi hendak berlatih perang-perangan. Ketika melewati balairung istana,
dirinya melihat sebuah puspamala yang bercahaya tergeletak di lantai. Kemudian,
tanpa rasa takut, Dewi Srikandhi mengambil dan mengalungkan puspamala itu
dilehernya. Seketika, sukma Dewi Amba yang terbang diatas langit Pancalaradya kemudian
menitis pada diri Srikandhi. Prabu Drupada dan Dewi Gandawati yang kebetulan
lewat situ terkejut melihatnya. Prabu Drupada takut akan ramalan mertuanya
bahwa siapapun yang memaki puspamala yang pernah dibuang oleh Dewi Amba itu
bakal bisa mengalahkan Maharesi Bhisma. Prabu Drupada mengingatkan Srikandhi
untuk tidak berlatih perang-perangan lagi dan segera membangun taman baru
bernama Maherakaca untuk Dewi Srikandhi agar sisi femininnya keluar. Dasar
Srikandhi, walaupun sudah diingatkan berkali-kali, dirinya tetap berlatih
perang, malah taman Maherakaca berubah menjadi arena latihan barunya. Melihat
perkembangan putrinya yang tomboy itu, timbullah keinginan dari Prabu Drupada
untuk mempermalukan Resi Dorna. Maka, Prabu Drupada memerintahkan putranya,
Arya Drestajumena untuk berguru pada Resi Dorna.
* Aji Bandung bandawasa
adalah ajian yang dapat mengumpulkan tenaga magnetik bumi ke dalam pukulan tangan.
Ajian ini harus dipatrapkan bersama Aji Wungkal Bener yang menjadi tombol
kendalinya. Ajian Wungkal Bener dapat mendeteksi isi hati seseorang bila
diketahui isi hati lawan tak ada niat buruk, pukulan dari Aji Bandung Bandawasa
bisa melemah bahkan tidak mempan. Begitupun sebaliknya, bila si lawan memiliki niat
atau hati yang tidak baik, maka pukulannya pun menjadi mantap dan kuat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar