Holla, semua. Baru bisa ngepost pas keadaan begini. Kali ini saya akan menceritakan kisah bagaimana Bratasena mendapatkan kekuatan seratus gajah dan mampu kebal dari segala racun dan bisa setelah diracun oleh para Kurawa dan tubuhnya dibuang ke bengawan Gangga. sumber yang saya pakai berasal dari Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa yang dipadukan dengan serial kolosal Indonesia Karmapala karya Imam Tantowi yang juga saya tambahi dari blog-blog pedalangan,
Karena
kekalahan para Kurawa saat mengalahkan Prabu Drupada dan Arya Gandamana
ditambah dengan rasa iri dengki terhadap keunggulan para Pandawa yang berhasil
membawa Prabu Drupada dan Arya Gandamana ke hadapan Resi Dorna, para Kurawa
terutama Suyudana takut kalau-kalau pada suatu hari para Pandawa akan membuat
para Kurawa terdepak atau bahkan terusir dari Hastinapura. Mereka kemudian
menyusun sebuah makar untuk membuat para Pandawa keluar dari lingkungan
keraton.
Pada
suatu hari, ketika para Pandawa sedang bercengkrama dengan para kawula di luar
beteng baluwerti, para Kurawa menyerang para kawula yang sedang bersama para
Pandawa. Raden Puntadewa berusaha menenangkan para Kurawa “hentikan,
kakang-kakang Kurawa, aku tahu kalian kesal pada kami berlima tapi kekalahan
kalian di tempo hari saat pendadaran dan saat menangkap Paman Drupada jangan
kalian lampiaskan pada kawula yang tidak bersalah.” Suyudana malah membentak
Puntadewa “Diam kau, Puntadewa!! Terserah kami mau kami apakan kekalahan kami.
Gara-gara kalian, kami gagal dipuji oleh guru, tau tak??” Tiba-tiba Bratasena
berkata lantang “Hei Suyudana, Tutup mulut bejatmu itu. Terserah guru mau
memuji siapa. Minta maaf sana pada kakakku.....” “Enak saja, gak sudi, c*k.
Persetan” Dursasana malah memotong pembicaraan dengan berkata kotor pada
Bratasena. Arya Bratasena dan adik-adiknya pun menjadi naik darah mendengarnya.
Lalu terjadilah lagi perkelahian diantara para Pandawa dan Kurawa namun kali
ini di depan khalayak ramai. Perkelahian itu membuat para kawula takut dan
melapor pada para bangsawan keraton. Di tengah perkelahian itu datanglah Arya
Widura dan Maharesi Bhisma didampingi oleh Ki Lurah Semar. Maharesi Bhisma
kemudian melerai dan mereka pun berhenti berkelahi.“Hentikaaann!! Apa-apaan
ini?? Para pangeran keraton berkelahi di depan khalayak ramai?? Memalukan!!
Sangat Memalukan!!” Bratasena kemudian menjawab “Suyudana yang mulai, kakek”
“Bohong, kek. Dia yang menyerangku duluan” “kau yang bohong. Ku sobek mulutmu
kalo kau berbohong, Suyudana.” Maharesi Bhisma kemudian berteriak menghentikan adu
mulut mereka “Cukup!!!! Sebaiknya jelaskan nanti dihadapan orang tua kalian.
Sekarang kalian harus kembali ke keraton”. Mereka hanya menurut dan segera
kembali ke kesatriyan. Hanya para Pandawa yang ditemani Ki Lurah Semar dan para
punakawan menemui Dewi Kunthi.
Setelah
kejadian itu, Dewi Kunthi bersama Prabu Dretarastra, Dewi Gendari, Arya Widura,
Patih Arya Sengkuni, dan Maharesi Bhisma merapatkan perihal cara mendamaikan
Pandawa dan Kurawa. “Kanda Prabu, aku melihat hubungan diantara anak-anak kita
semakin lama semakin tidak akur dan semakin tak rukun. Ada baiknya kita lebih
baik memisahkan mereka. Aku akan membawa mereka ke Panggombakan, ke rumah Arya
Widura. Sebenarnya aku sudah memikirkan soal ini sejak lama dan ku rasa inilah
saat yang tepat. Bagaimana kanda Prabu? Apakah Anda setuju?” Prabu Dretarastra menjadi
gundah hatinya “Tapi, Kunthi. Bagaimana mungkin itu terjadi? Masakah pewaris
sah Hastinapura tinggal di luar keraton? Apa kata kerabat keraton nanti?” Dewi
Kunthi kemudian mendamaikan hati kakak iparnya itu “Tidak apa, kanda Prabu. Aku
yakin mereka pasti mengerti. Lagipula letak Panggombakan sendiri di belakang lingkungan
keraton Hastinapura dan jaraknya tidak terlalu jauh. Hanya terpisah tembok
kotaraja, alun-alun, dan kebun milik warga saja.” Setelah dirapatkan kembali,
usulan dari Dewi Kunthi diterima. “Baiklah, Kunthi aku terima usulanmu. Semoga
ini bisa menjadi jalan terbaik untuk mendamaikan putra-putra kita.” “Terima
kasih, Kanda Prabu atas kebesaran hati kanda. Saya pamit akan membawa
putra-putra saya ke Panggombakan setelah ini.” Didalam hati Dewi Gendari dan
Patih Arya Sengkuni merasa senang karena Kunthi dan para putranya sudah
tersingkir dari lingkungan keraton. Singkat cerita, Dewi Kunthi dan para
Pandawa pergi meninggalkan keraton ditemani Arya Widura dan Ki Lurah Semar beserta
para punakawan menuju ke Panggombakan. Begitu sampai di Panggombakan, mereka
disambut oleh istri Arya Widura, Dewi Padmarini dan para putra, Arya Sanjaya
dan Arya Yuyutsuh. Semenjak para Pandawa, Dewi Kunthi, dan para punakawan
tinggal di Panggombakan, berita-berita tentang kebengalan para Kurawa jauh
berkurang.
Namun,
kebencian dan rasa iri dengki Patih Arya Sengkuni, Raden Suyudana,dan para
Kurawa lainnya terhadap para Pandawa sudah tertanam jauh di lubuk hati mereka,
terutama pada Bratasena. Suyudana mulai memikirkan cara untuk melenyapkan
Pandawa dimulai dari Bratasena yang berbadan besar itu, tiba-tiba, dia digigit
seekor serangga beracun sehingga mengumpatlah dia. Begitu mendengar kata
beracun, Sengkuni mulai mendapatkan ide untuk melenyapkan Bratasena “Anak mas,
Suyudana aku dapat cara untuk melenyapkan Bratasena. Aku tahu kalo Bratasena
suka banget makan. Bagaimana kalau kita kasih dia makanan dan minuman beracun
lalu kita tenggelamkan dia di Bengawan Gangga. Ku dengar di dasar Bengawan
Gangga terdapat makhluk-makhluk beracun hidup didalamnya.” “ide yang bagus,
paman. Secepatnya kita harus susun rencana ini.”
Singkat
cerita, pada suatu hari datanglah sebuah undangan kepada Para Pandawa. Undangan
itu berisi tentang ajakan pesta makan-makan di tepi Pesanggrahan Pramanakoti di
pinggir bengawan Gangga untuk mempererat tali persaudaraaan. Para Pandawa yang
tak mau menolak undangan baik setuju dan langsung berangkat ke tempat itu.
Benar saja, di Pesanggrahan Pramanakoti, para Kurawa menyambut mereka dengan
penuh keramah-tamahan. Mereka berdua berenang dan berpesta bersama. Kemudian
karena lelah, para Pandawa pulang terlebih dahulu kecuali Bratasena yang ingin
makan-makan sebelum pulang. Suyudana kemudian menyuguhkan berbagai makanan enak
dan sedap. Berbagai minuman yang memabukkan juga disuguhkan padanya. Tak berapa
lama, kepala Arya Bratasena berasa pening, pandangannya terasa kabur dan berputar-putar.
Dia tak sadar bahwa makanan yang dia makan sudah dibubuhi racun ular kobra dan
minuman yang diminumnya adalah tuak yang dioplos dengan racun pohon upas.
Setelah itu dia pingsan tak sedarkan diri. Setelah itu Raden Suyudana dan Arya
Dursasana mengikat tubuh Bratasena lalu oleh Patih Arya Sengkuni dan para
Kurawa laiinya, tubuhnya dilemparkan ke salah satu kedung yang ada di Bengawan
Gangga. Setelah itu mereka segera pergi dari tempat itu.
Bratasena dililit para ular dan naga |
Di
dasar bengawan, tubuh Arya Bratasena terus tenggelam ke dasar kedung bengawan
yang sedalam 7 meter dan berarus deras itu. Tak berapa lama kemudian, datanglah
seekor naga dan ribuan ular berbisa mematuki tubuh Bratasena yang pingsan.
Ajaib! Atas kekuasaan Sanghyang Widhi, bukannya mati, justru Bratasena perlahan
siuman karena racun yang mengalir dalam urat nadi Bratasena menjadi tawar ketika
melawan racun-racun yang dikeluarkan oleh ular-ular berbisa. Setelah para ular
pergi, naga yang memimpin ular-ular tadi hendak membelit tubuh Bratasena.
Bratasena yang baru siuman langsung bergulat dengan sang naga di dalam air
“heeh, naga kenapa kau mau melilitku dan kenapa aku bisa berada didalam air?
Jelaskan!”. Sang naga itu kemudian membawa Bratasena ke istana tempat
tinggalnya lalu menjelaskan “mohon maaf, cucuku. Perkenalkan, aku adalah Batara
Basuki, dewanya para ular di air. Aku datang kesini mendapat perintah dari
Sanghyang Girinata untuk menolongmu dari makar para Kurawa.” Seketika,
Bratasena teringat akan kejadian yang baru menimpa dirinya. Dia sangat marah
dan ingin membalas perbuatan Suyudana namun dicegah oleh Batara Basuki lalu dia
menawarkan sebuah kendi berisi air “cucuku, minumlah air dalam kendi itu. Kau
pasti lelah setelah tubuhmu berjuang melawan racun.” Tanpa ba-bi-bu, Arya
Bratasena meminum air dalam kendi itu sampai habis. Kemudian Batara Basuki
menawarkannya kendi yang berisi air itu lagi dan Bratasena mampu
menghabiskannya. Batara Basuki terkesan lalu terus menyodorkan kendi berisi air
itu sampai di kendi kesepuluh, Bratasena mampu menghabiskannya. Kemudian Batara
Basuki menjelaskan “cucuku, aku kagum padamu. Ketahuilah sepeluh kendi berisi
air itu sebenarnya adalah air sakti.
Namanya Tirta Manik Rasakundha*. Setiap satu kendi, kekuatan air itu setara
kekuatan sepuluh ekor gajah. Karena kau sudah menenggak nya hingga sepuluh
kendi, sekarang kekuatanmu menjadi setara seratus ekor gajah, air sakti ini
jugalah yang akan membuatmu kebal terhadap segala racun dan bisa. Mulai
sekarang kau akan dijuluki Bondan Peksajandu yang artinya si kebal racun.
Pergunakanlah kekuatanmu dengan bijak untuk melindungi yang lemah dan
menegakkan dharma kebaikan. Sekarang aku akan kembali ke wadag penitisanku di
Gunung Waikunta.” “terima kasih, pukulun. Ayo kita kembali ke permukaan” Keduanya
pun berenang menuju permukaan bengawan Gangga lalu berpisah. Batara Basuki
menuju ke gunung Waikunta dan Bratasena kembali ke Panggombakan
Tirta Manik Rasakundha |
Di
Panggombakan, para Pandawa dan Dewi Kunthi merasa sangat cemas karena Bratasena
belum juga pulang selama tiga hari setelah pesta di Pramanakoti. Puntadewa
sudah bertanya pada para Kurawa namun mereka pura-pura tak tahu dan kini giliran
si Permadi yang pergi dari Panggombakan tanpa pamit. Karena saking cemasnya,
Dewi Kunthi sampai sakit memikirkan putra nomor dua dan tiganya itu. Hingga
pada suatu hari, terdengarlah kabar terjadi sebuah kekacauan di pasar kotaraja
Hastinapura. Puntadewa dan si kembar ditemani Ki Lurah Semar berangkat menuju
kotaraja.
Tak
berapa lama, merekapun sampai dan benarlah, di pasar terjadi pertarungan
seorang pedagang muda bernama Bondan Peksajandu melawan para Kurawa yang
mengacau dagangannya. Para Kurawa tak mampu menandinginya lalu datanglah
seorang pengemis bertubuh langsing datang kepada para Kurawa “Tuanku, para
pangeran Kurawa. Izinkan saya untuk bergulat buat mengalahkan pedagang yang
mengamuk itu.” Para Kurawa yang sudah kalang kabut itu mengizinkan si pengemis
itu bergulat setelah itu melarikan diri ke dalam keraton. Antara si pengemis
dan si pedagang sama kuatnya dan sama saktinya. Ibarat buku bertemu ruasnya.
Kemudian Ki lurah Semar meminta agar Puntadewa melerai mereka berdua “Raden,
kau lihat itu akibat mereka bergulat. Pasar menjadi kacau. Damaikanlah mereka”
Raden Puntadewa bertanya “apa yang harus aku lakukan, Ki Lurah?” Ki Lurah Semar
kemudian mengambil segenggam tepung yang tumpah lalu menyerahkannya pada
Puntadewa “ini Raden, sarana untuk mendamaikan mereka. Bacakanlah mantra pada
tepung ini. Lalu lemparkan ke arah mereka yang sedang bergulat itu.” Tanpa
ba-bi-bu lagi, Puntadewa segera berjalan menuju arena pergulatan itu lalu
melemparkan tepung yang sudah dimantrai itu ke arah mereka.
Ajaib!
Kedua insan yang sedang bergulat itu langsung lemas dan badar ke wujud asli
mereka yaitu Arya Bratasena dan Raden Permadi. Setelah saling mengenali, mereka
segera berpelukan. Lalu Raden Puntadewa, si kembar, dan Ki Lurah Semar
mendatangi Bratasena dan Permadi yang masih lemas. Puntadewa merasa bersyukur
dengan kembalinya kedua adik yang disyanginya itu. Mereka segera kembali ke
Panggombakan setelah membantu para pedagang membereskan pasar. Para Kurawa
terutama Suyudana kaget melihat Arya Bratasena masih hidup bahkan jadi semakin
perkasa. Mereka sangat kesal namun mereka tak berani menyerangnya lagi.
Di
Panggombakan, kesehatan Dewi Kunthi berangsur membaik setelah putra-putranya
kembali. Lalu di hadapan pamannya, Arya Widura, Ki Lurah Semar dan ibunya,
Bratasena menceritakan pengalaman dan kejadian yang dialaminya tempo hari
termasuk saat dia diberi makanan dan minuman beracun oleh Suyudana. Arya Widura
yang memperhatikan cerita dari Bratasena menjadi kesal dengan tingkah para
Kurawa “Hmm... ini sudah keterlaluan. Suyudana dan adik-adiknya harus diberi
pelajaran. Anak-anakku Pandawa, mulai sekarang kalian harus berhati-hati” Dewi
Kunthi juga membenarkan perkataan adik iparnya itu “ benar itu, rayi Widura.
Tapi kita tak bisa menyalahkan para Kurawa mentah-mentah. Mereka seperti itu
juga karena hasutan Sengkuni. Siapapun tahu siapa dia. Anak-anakku mulai
sekarang kalian tidak boleh lengah. Tingkatkan kewaspadaan kalian tapi tetaplah
berbaik sangka pada siapa saja.” Para Pandawa mengerti dan mulai sekarang
mereka semakin waspada. Sejak saat itu pulalah Bratasena memiliki kekuatan 100
gajah dan menjadi kebal terhadap segala racun dan bisa.
*Tirta Manik Rasakundha adalah air sakti
yang konon siapa yang mampu meminumnya, akan dianugerahi kekuatan sepuluh ekor
gajah, mampu kebal segala racun dan bisa, dan mampu bernafas didalam air dan di
bawah tanah layaknya bangsa ular
Tidak ada komentar:
Posting Komentar