Selasa, 19 Maret 2019

Bondan Peksajandu


Holla, semua. Baru bisa ngepost pas keadaan begini. Kali ini saya akan menceritakan kisah bagaimana Bratasena mendapatkan kekuatan seratus gajah dan mampu kebal dari segala racun dan bisa setelah diracun oleh para Kurawa dan tubuhnya dibuang ke bengawan Gangga. sumber yang saya pakai berasal dari Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa yang dipadukan dengan serial kolosal Indonesia Karmapala karya Imam Tantowi yang juga saya tambahi dari blog-blog pedalangan, 
Karena kekalahan para Kurawa saat mengalahkan Prabu Drupada dan Arya Gandamana ditambah dengan rasa iri dengki terhadap keunggulan para Pandawa yang berhasil membawa Prabu Drupada dan Arya Gandamana ke hadapan Resi Dorna, para Kurawa terutama Suyudana takut kalau-kalau pada suatu hari para Pandawa akan membuat para Kurawa terdepak atau bahkan terusir dari Hastinapura. Mereka kemudian menyusun sebuah makar untuk membuat para Pandawa keluar dari lingkungan keraton.
Pada suatu hari, ketika para Pandawa sedang bercengkrama dengan para kawula di luar beteng baluwerti, para Kurawa menyerang para kawula yang sedang bersama para Pandawa. Raden Puntadewa berusaha menenangkan para Kurawa “hentikan, kakang-kakang Kurawa, aku tahu kalian kesal pada kami berlima tapi kekalahan kalian di tempo hari saat pendadaran dan saat menangkap Paman Drupada jangan kalian lampiaskan pada kawula yang tidak bersalah.” Suyudana malah membentak Puntadewa “Diam kau, Puntadewa!! Terserah kami mau kami apakan kekalahan kami. Gara-gara kalian, kami gagal dipuji oleh guru, tau tak??” Tiba-tiba Bratasena berkata lantang “Hei Suyudana, Tutup mulut bejatmu itu. Terserah guru mau memuji siapa. Minta maaf sana pada kakakku.....” “Enak saja, gak sudi, c*k. Persetan” Dursasana malah memotong pembicaraan dengan berkata kotor pada Bratasena. Arya Bratasena dan adik-adiknya pun menjadi naik darah mendengarnya. Lalu terjadilah lagi perkelahian diantara para Pandawa dan Kurawa namun kali ini di depan khalayak ramai. Perkelahian itu membuat para kawula takut dan melapor pada para bangsawan keraton. Di tengah perkelahian itu datanglah Arya Widura dan Maharesi Bhisma didampingi oleh Ki Lurah Semar. Maharesi Bhisma kemudian melerai dan mereka pun berhenti berkelahi.“Hentikaaann!! Apa-apaan ini?? Para pangeran keraton berkelahi di depan khalayak ramai?? Memalukan!! Sangat Memalukan!!” Bratasena kemudian menjawab “Suyudana yang mulai, kakek” “Bohong, kek. Dia yang menyerangku duluan” “kau yang bohong. Ku sobek mulutmu kalo kau berbohong, Suyudana.” Maharesi Bhisma kemudian berteriak menghentikan adu mulut mereka “Cukup!!!! Sebaiknya jelaskan nanti dihadapan orang tua kalian. Sekarang kalian harus kembali ke keraton”. Mereka hanya menurut dan segera kembali ke kesatriyan. Hanya para Pandawa yang ditemani Ki Lurah Semar dan para punakawan menemui Dewi Kunthi.
Setelah kejadian itu, Dewi Kunthi bersama Prabu Dretarastra, Dewi Gendari, Arya Widura, Patih Arya Sengkuni, dan Maharesi Bhisma merapatkan perihal cara mendamaikan Pandawa dan Kurawa. “Kanda Prabu, aku melihat hubungan diantara anak-anak kita semakin lama semakin tidak akur dan semakin tak rukun. Ada baiknya kita lebih baik memisahkan mereka. Aku akan membawa mereka ke Panggombakan, ke rumah Arya Widura. Sebenarnya aku sudah memikirkan soal ini sejak lama dan ku rasa inilah saat yang tepat. Bagaimana kanda Prabu? Apakah Anda setuju?” Prabu Dretarastra menjadi gundah hatinya “Tapi, Kunthi. Bagaimana mungkin itu terjadi? Masakah pewaris sah Hastinapura tinggal di luar keraton? Apa kata kerabat keraton nanti?” Dewi Kunthi kemudian mendamaikan hati kakak iparnya itu “Tidak apa, kanda Prabu. Aku yakin mereka pasti mengerti. Lagipula letak Panggombakan sendiri di belakang lingkungan keraton Hastinapura dan jaraknya tidak terlalu jauh. Hanya terpisah tembok kotaraja, alun-alun, dan kebun milik warga saja.” Setelah dirapatkan kembali, usulan dari Dewi Kunthi diterima. “Baiklah, Kunthi aku terima usulanmu. Semoga ini bisa menjadi jalan terbaik untuk mendamaikan putra-putra kita.” “Terima kasih, Kanda Prabu atas kebesaran hati kanda. Saya pamit akan membawa putra-putra saya ke Panggombakan setelah ini.” Didalam hati Dewi Gendari dan Patih Arya Sengkuni merasa senang karena Kunthi dan para putranya sudah tersingkir dari lingkungan keraton. Singkat cerita, Dewi Kunthi dan para Pandawa pergi meninggalkan keraton ditemani Arya Widura dan Ki Lurah Semar beserta para punakawan menuju ke Panggombakan. Begitu sampai di Panggombakan, mereka disambut oleh istri Arya Widura, Dewi Padmarini dan para putra, Arya Sanjaya dan Arya Yuyutsuh. Semenjak para Pandawa, Dewi Kunthi, dan para punakawan tinggal di Panggombakan, berita-berita tentang kebengalan para Kurawa jauh berkurang.
Namun, kebencian dan rasa iri dengki Patih Arya Sengkuni, Raden Suyudana,dan para Kurawa lainnya terhadap para Pandawa sudah tertanam jauh di lubuk hati mereka, terutama pada Bratasena. Suyudana mulai memikirkan cara untuk melenyapkan Pandawa dimulai dari Bratasena yang berbadan besar itu, tiba-tiba, dia digigit seekor serangga beracun sehingga mengumpatlah dia. Begitu mendengar kata beracun, Sengkuni mulai mendapatkan ide untuk melenyapkan Bratasena “Anak mas, Suyudana aku dapat cara untuk melenyapkan Bratasena. Aku tahu kalo Bratasena suka banget makan. Bagaimana kalau kita kasih dia makanan dan minuman beracun lalu kita tenggelamkan dia di Bengawan Gangga. Ku dengar di dasar Bengawan Gangga terdapat makhluk-makhluk beracun hidup didalamnya.” “ide yang bagus, paman. Secepatnya kita harus susun rencana ini.”
Singkat cerita, pada suatu hari datanglah sebuah undangan kepada Para Pandawa. Undangan itu berisi tentang ajakan pesta makan-makan di tepi Pesanggrahan Pramanakoti di pinggir bengawan Gangga untuk mempererat tali persaudaraaan. Para Pandawa yang tak mau menolak undangan baik setuju dan langsung berangkat ke tempat itu.
Bratasena dililit para ular dan naga
Benar saja, di Pesanggrahan Pramanakoti, para Kurawa menyambut mereka dengan penuh keramah-tamahan. Mereka berdua berenang dan berpesta bersama. Kemudian karena lelah, para Pandawa pulang terlebih dahulu kecuali Bratasena yang ingin makan-makan sebelum pulang. Suyudana kemudian menyuguhkan berbagai makanan enak dan sedap. Berbagai minuman yang memabukkan juga disuguhkan padanya. Tak berapa lama, kepala Arya Bratasena berasa pening, pandangannya terasa kabur dan berputar-putar. Dia tak sadar bahwa makanan yang dia makan sudah dibubuhi racun ular kobra dan minuman yang diminumnya adalah tuak yang dioplos dengan racun pohon upas. Setelah itu dia pingsan tak sedarkan diri. Setelah itu Raden Suyudana dan Arya Dursasana mengikat tubuh Bratasena lalu oleh Patih Arya Sengkuni dan para Kurawa laiinya, tubuhnya dilemparkan ke salah satu kedung yang ada di Bengawan Gangga. Setelah itu mereka segera pergi dari tempat itu.
Di dasar bengawan, tubuh Arya Bratasena terus tenggelam ke dasar kedung bengawan yang sedalam 7 meter dan berarus deras itu. Tak berapa lama kemudian, datanglah seekor naga dan ribuan ular berbisa mematuki tubuh Bratasena yang pingsan. Ajaib! Atas kekuasaan Sanghyang Widhi, bukannya mati, justru Bratasena perlahan siuman karena racun yang mengalir dalam urat nadi Bratasena menjadi tawar ketika melawan racun-racun yang dikeluarkan oleh ular-ular berbisa. Setelah para ular pergi, naga yang memimpin ular-ular tadi hendak membelit tubuh Bratasena. Bratasena yang baru siuman langsung bergulat dengan sang naga di dalam air “heeh, naga kenapa kau mau melilitku dan kenapa aku bisa berada didalam air? Jelaskan!”. Sang naga itu kemudian membawa Bratasena ke istana tempat tinggalnya lalu menjelaskan “mohon maaf, cucuku. Perkenalkan, aku adalah Batara Basuki, dewanya para ular di air. Aku datang kesini mendapat perintah dari Sanghyang Girinata untuk menolongmu dari makar para Kurawa.” Seketika, Bratasena teringat akan kejadian yang baru menimpa dirinya. Dia sangat marah dan ingin membalas perbuatan Suyudana namun dicegah oleh Batara Basuki lalu dia menawarkan sebuah kendi berisi air “cucuku, minumlah air dalam kendi itu. Kau pasti lelah setelah tubuhmu berjuang melawan racun.” Tanpa ba-bi-bu, Arya Bratasena meminum air dalam kendi itu sampai habis. Kemudian Batara Basuki menawarkannya kendi yang berisi air itu lagi dan Bratasena mampu menghabiskannya. Batara Basuki terkesan lalu terus menyodorkan kendi berisi air itu sampai di kendi kesepuluh, Bratasena mampu menghabiskannya. Kemudian Batara Basuki menjelaskan “cucuku, aku kagum padamu. Ketahuilah sepeluh kendi berisi air itu sebenarnya adalah air sakti.
Tirta Manik Rasakundha
Namanya Tirta Manik Rasakundha*. Setiap satu kendi, kekuatan air itu setara kekuatan sepuluh ekor gajah. Karena kau sudah menenggak nya hingga sepuluh kendi, sekarang kekuatanmu menjadi setara seratus ekor gajah, air sakti ini jugalah yang akan membuatmu kebal terhadap segala racun dan bisa. Mulai sekarang kau akan dijuluki Bondan Peksajandu yang artinya si kebal racun. Pergunakanlah kekuatanmu dengan bijak untuk melindungi yang lemah dan menegakkan dharma kebaikan. Sekarang aku akan kembali ke wadag penitisanku di Gunung Waikunta.” “terima kasih, pukulun. Ayo kita kembali ke permukaan” Keduanya pun berenang menuju permukaan bengawan Gangga lalu berpisah. Batara Basuki menuju ke gunung Waikunta dan Bratasena kembali ke Panggombakan
Di Panggombakan, para Pandawa dan Dewi Kunthi merasa sangat cemas karena Bratasena belum juga pulang selama tiga hari setelah pesta di Pramanakoti. Puntadewa sudah bertanya pada para Kurawa namun mereka pura-pura tak tahu dan kini giliran si Permadi yang pergi dari Panggombakan tanpa pamit. Karena saking cemasnya, Dewi Kunthi sampai sakit memikirkan putra nomor dua dan tiganya itu. Hingga pada suatu hari, terdengarlah kabar terjadi sebuah kekacauan di pasar kotaraja Hastinapura. Puntadewa dan si kembar ditemani Ki Lurah Semar berangkat menuju kotaraja.
Tak berapa lama, merekapun sampai dan benarlah, di pasar terjadi pertarungan seorang pedagang muda bernama Bondan Peksajandu melawan para Kurawa yang mengacau dagangannya. Para Kurawa tak mampu menandinginya lalu datanglah seorang pengemis bertubuh langsing datang kepada para Kurawa “Tuanku, para pangeran Kurawa. Izinkan saya untuk bergulat buat mengalahkan pedagang yang mengamuk itu.” Para Kurawa yang sudah kalang kabut itu mengizinkan si pengemis itu bergulat setelah itu melarikan diri ke dalam keraton. Antara si pengemis dan si pedagang sama kuatnya dan sama saktinya. Ibarat buku bertemu ruasnya. Kemudian Ki lurah Semar meminta agar Puntadewa melerai mereka berdua “Raden, kau lihat itu akibat mereka bergulat. Pasar menjadi kacau. Damaikanlah mereka” Raden Puntadewa bertanya “apa yang harus aku lakukan, Ki Lurah?” Ki Lurah Semar kemudian mengambil segenggam tepung yang tumpah lalu menyerahkannya pada Puntadewa “ini Raden, sarana untuk mendamaikan mereka. Bacakanlah mantra pada tepung ini. Lalu lemparkan ke arah mereka yang sedang bergulat itu.” Tanpa ba-bi-bu lagi, Puntadewa segera berjalan menuju arena pergulatan itu lalu melemparkan tepung yang sudah dimantrai itu ke arah mereka.
Ajaib! Kedua insan yang sedang bergulat itu langsung lemas dan badar ke wujud asli mereka yaitu Arya Bratasena dan Raden Permadi. Setelah saling mengenali, mereka segera berpelukan. Lalu Raden Puntadewa, si kembar, dan Ki Lurah Semar mendatangi Bratasena dan Permadi yang masih lemas. Puntadewa merasa bersyukur dengan kembalinya kedua adik yang disyanginya itu. Mereka segera kembali ke Panggombakan setelah membantu para pedagang membereskan pasar. Para Kurawa terutama Suyudana kaget melihat Arya Bratasena masih hidup bahkan jadi semakin perkasa. Mereka sangat kesal namun mereka tak berani menyerangnya lagi.
Di Panggombakan, kesehatan Dewi Kunthi berangsur membaik setelah putra-putranya kembali. Lalu di hadapan pamannya, Arya Widura, Ki Lurah Semar dan ibunya, Bratasena menceritakan pengalaman dan kejadian yang dialaminya tempo hari termasuk saat dia diberi makanan dan minuman beracun oleh Suyudana. Arya Widura yang memperhatikan cerita dari Bratasena menjadi kesal dengan tingkah para Kurawa “Hmm... ini sudah keterlaluan. Suyudana dan adik-adiknya harus diberi pelajaran. Anak-anakku Pandawa, mulai sekarang kalian harus berhati-hati” Dewi Kunthi juga membenarkan perkataan adik iparnya itu “ benar itu, rayi Widura. Tapi kita tak bisa menyalahkan para Kurawa mentah-mentah. Mereka seperti itu juga karena hasutan Sengkuni. Siapapun tahu siapa dia. Anak-anakku mulai sekarang kalian tidak boleh lengah. Tingkatkan kewaspadaan kalian tapi tetaplah berbaik sangka pada siapa saja.” Para Pandawa mengerti dan mulai sekarang mereka semakin waspada. Sejak saat itu pulalah Bratasena memiliki kekuatan 100 gajah dan menjadi kebal terhadap segala racun dan bisa.

*Tirta Manik Rasakundha adalah air sakti yang konon siapa yang mampu meminumnya, akan dianugerahi kekuatan sepuluh ekor gajah, mampu kebal segala racun dan bisa, dan mampu bernafas didalam air dan di bawah tanah layaknya bangsa ular

Tidak ada komentar:

Posting Komentar