Senin, 11 Maret 2019

Pendadaran Siswa Sokalima


Hello guys, kali ini saya menceritakan kisah pendadaran para Pandawa dan Kurawa yang baru saja lulus dari pendidikan ilmu perang. Dikisahkan pula kedatangan Aradeya menantang Permadi dan derajatnya kemudian dinaikkan oleh Raden Suyudana. Sumber yang saya gunakan berasal dari Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa yang dipadukan dengan serial kolosal India Mahabharat Starplus dengan sedikit pengembangan dari saya sendiri dan diberi unsur-unsur pedalangan Jawa
Lima tahun telah berlalu, kini para Pandawa dan Kurawa sudah mahir dan menyerap berbagai ilmu perang dari Resi Dorna. Kini saatnya ujian pendadaran untuk mereka sekaligus unjuk kebolehan di hadapan khalayak ramai. Patih Arya Sengkuni mengusulkan untuk mengundang raja dan pangeran negara-negara tetangga. Selain itu, hendaknya unjuk kebolehan ini bukan sekadar pertunjukan namun sebuah adu tanding. “Kakang Prabu, aku punya usul. Kita jadikan saja unjuk kebolehan ini bukan sekadar unjuk kebolehan. Kita jadikan adu tanding. Siapapun yang jadi juaranya, dia yang pantas menjadi putra mahkota Hastinapura.” Awalnya Prabu Dretarastra, Maharesi Bhisma, dan Arya Widura tidak setuju. Namun, Resi Dorna ikut bicara “Hmmm..... aku setuju dengan usul rayi Sengkuni. Tapi untuk format pertandingannya, jangan sampai ada pangeran yang terluka. Pertandingan ini untuk persaudaraan. Yang menang adalah yang mampu bertahan tanpa keluar arena. Siapapun yang menyebabkan lawan terluka parah atau berdarah, dia didiskualifikasi.” Karena itu mereka berunding lagi dan akhirnya mereka setuju dan Patih Arya Sengkuni diserahi tugas untuk mengurus segala persiapan sarana dan prasarananya. Maharesi Bhisma menunjuk Resi Dorna dan Bambang Aswatama sebagai juri pertandingan. Untuk masalah siapa yang akan tampil, Arya Widura meminta agar yang tampil ditentukan lewat undian.
Di waktu yang sama, Aradeya dan Adimanggala telah menyelesaikan pendidikan dari Batara Ramabargawa. Pada suatu hari untuk menguji ketahanan tubuh para muridnya, Batara Ramabargawa mengirimkan sepasang labah-labah. Labah-labah itu menggigit paha Adimanggala dan Aradeya yang sedang terlelap tidur. Meskipun terasa sangat menyakitkan, dalam tetap kondisi tidur pun, mereka mampu menahan rasa sakit sampai paha mereka berdarah.
Aradeya dan Adimanggala selesai menempuh pendidikan
Dari kejadian itu, Batara Ramabargawa menyimpulkan bahwa kedua muridnya adalah keturunan orang-orang linuwih. “anak-anakku, sudah saatnya ku kembali ke kahyangan. Kembalilah kalian ke negara kalian di Hastinapura. Aku mendapat kabar dari para bidadari dan bidadara bahwa sebentar lagi bakal ada adu tanding para pangeran Hastinapura.” Aradeya tertarik untuk datang dan berniat membalas sakit hatinya pada Resi Dorna sekaligus ingin menunjukkkan bahwa dirinya yang seorang putra kusir bisa menjadi pemanah terhebat di dunia. Batara Ramabargawa marah, tidak suka dengan sifat angkuh Aradeya lalu memberikan kutukan padanya “Aradeya, aku ingatkan. Kalau kau tidak bisa mengendalikan sifat angkuhmu, kelak di saat pertarungan antara hidup dan mati, kau akan lupa semua ilmu mu!!!”Aradeya tercekat kaget dan memohon ampun “Ampun, Guru. Saya tak bermaksud demikian. Saya tak tahu cara menghilangkan sifat angkuhku ini. Tolonglah cabut kutukan itu, guru!!” “Meskipun aku seorang dewa, aku tak bisa mencabut kutukan yang telah ku lontarkan tapi aku sarankan bersikaplah dermawan. Sikap dermawanmu akan menjadi penyeimbang sifat angkuhmu.” Aradeya merasa mendapat harapan baru kemudian bersumpah “Terima kasih, guru. Mulai saat ini aku akan menjadi orang yang dermawan dan aku bersumpah, siapapun yang meminta sedekah padaku, siapapun orangnya dan apapun yang dia minta, akan ku berikan dengan penuh keikhlasan” Sumpah itu disertai gelegar halilintar pertanda sumpah itu didengar dewata. Setelah itu, mereka pamit meninggalkan hutan Jatiraga. Di tengah perjalanan, Aradeya dan Adimanggala bertemu dengan ayah mereka, Ki Adiratha. Adiratha kemudian mengajak mereka kembali ke Hastinapura untuk menyaksikan unjuk kebolehan para pangeran.
Hari unjuk kebolehan pun tiba. Unjuk kebolehan itu dilangsungkan di sebuah lapangan raksasa di selatan pegunungan Himayan yang mampu menampang ratusan juta manusia. Lapangan itu oleh kawula Hastinapura dinamai Tegal Kurusetra. Seluruh rakyat Hastinapura, raja dan pangeran negara sahabat datang berbondong-bondong ke tengah lapangan itu bagaikan semut mengerubungi gula. Nampaklah Prabu Matsyapati dari Wiratha, Prabu Salya, kakak Dewi Madrim yang kini menjadi raja di Mandaraka, Prabu Hanggayaksa dari Gandara, dan Pangeran Adipati Kangsa dari Mandura duduk di kursi VIP. Hanya kerajaan Pancalaradya yang tidak ada yang mewakilkan. Di singgasana duduklah Prabu Dretarastra yang disebelahnya ada Arya Sanjaya, putra sulung Arya Widura. Disamping kanan, Dewi Kunthi dan Dewi Gendari duduk bersebelahan dengan Dewi Durshilawati dan di samping kiri, duduklah Maharesi Bhisma, Resi Dorna, Arya Widura, dan Mpu Krepa. Setelah seluruh undangan dan rakyat Hastinapura datang menyesaki tribun, Resi Dorna berdiri memberikan sekilas peraturan pertandingan “pertandingan ini tidak untuk saling menjatuhkan apalagi membunuh. Pertandingan ini adalah duel satu lawan satu hingga didapat satu yang terbaik. Satu yang terbaik adalah dia yang mampu bertahan sampai akhir saat matahari terbenam dan yang kalah cukup dapat dilihat siapa yang keluar dari panggung lebih dulu atau menyerah baik-baik, karena tak boleh ada yang terluka, siapapun yang menyebabkan pihak lawan terluka parah atau berdarah akan didiskualifikasi. Sekian pengumuman dari saya dan mari kita mulai pertandingannya !!”
Begitu Resi Dorna selesai menyampaikan pengumuman, Patih Arya Sengkuni mulai melakukan undian, yang pertama kali keluar adalah Arya Bratasena melawan Arya Dursasana. Mereka saling memukulkan gada. Tak sampai sepuluh menit, Arya Dursasana sudah tumbang dan terlempar keluar arena. Kemuadian diadakan undian lagi. Kali ini keluarlah nama Arya Durmagati dan hasilnya sama, Durmagati jatuh terlempar keluar arena oleh Bratasena. Setelah itu keluar nama Raden Citraksa dan Citraksi dan hasilnya sama juga. Begitulah nama  para Kurawa terus keluar hingga nama Raden Suyudana keluar untuk melawan Bratasena. Raden Suyudana menjalankan siasatnya agar Bratasena didiskualifikasi, bermain gada sambil mencaci Bratasena. “ Hei, Sena. Aku akui kekuatanmu. Maklumlah, kau dan seluruh saudaramu kan anak hasil main-main ibumu dengan para dewa...hahaha!!!” “tutup mulut kotormu. Aku bisa membunuhmu dalam sekejap.” Saking kesalnya, Bratasena memukul gadanya terlalu keras dan menghantam mulut Raden Suyudana membuat mulutnya berdarah. Suyudana semakin kalap dan terus memukul Bratasena tapi Bratasena malah memiting tangannya dan langsung membanting jatuh keluar arena. Para Kurawa yang kesal melihat kakak tertua mereka dilukai naik gelanggang dan mengeroyok Bratasena. Suasana unjuk kebolehan menjadi riuh dan tak terkendali. Para Pandawa lainnya berusaha melerai dan menenangkan Bratasena. Resi Dorna dan Bambang Aswatama turun ke gelanggang dan mendiskulifikasi Arya Bratasena.
Setelah suasang kembali kondusif, Patih Arya Sengkuni kembali melempar undian dan yang keluar adalah nama Raden Permadi. Pertama, Raden Permadi melawan Arya Widandini. Belum sampai lima menit, Widandini terkurung oleh panah-panah yang dilontarkan Permadi dan mengaku kalah. Patih Arya Sengkuni kembali melempar undian lalu keluarlah nama Pinten. Karena segan, Raden Pinten mengundurkan diri. Begitu pula ketika nama Raden Tangsen keluar, belum sampai pertandingan selesai, dia langsung mengundurkan diri. Begitulah, Patih Arya Sengkuni terus melempar undian dengan sulap sehinggalah Raden Permadi melawan kakaknya, Puntadewa. Rupanya hal itu tak membuat Raden Permadi maupun Raden Puntadewa merasa segan. Mereka tetap melanjutkan pertandingan dengan adil dan jujur. Meskipun Raden Puntadewa jarang bertarung namun kemampuannya melemparkan galah dan tombak mampu membuat Permadi cukup kelabakan, malah sebagai pengakhiran dari melawan kakak sendiri, Raden Permadi mengeluarkan Aji Naracabala*1 dan begitu panah ditembakkan ke angkasa, bermunculan hujan anak panah yang menghancurkan seluruh galah dan tombak Puntadewa lalu mengurungnya didalam kurungan panah emas buatannya kemudian Permadi menghaturkan sembah kepadanya “Terima kasih, kakang Puntadewa. Mohon restumu untuk mengakhirkan pertandingan ini” Puntadewa merasa bangga dan merestuinya“Restuku akan selalu bersamamu, adikku. Aku bangga bisa dikalahkan olehmu.”
Kini tinggallah Raden Suyudana yang belum melawan Raden Permadi. Tanpa diundi, mereka langsung unjuk kebolehan. Raden Suyudana berusaha memukul Raden Permadi dengan gadanya, namun Permadi mampu menahan serangan dengan busur panahnya. Berkali-kali Suyudana berusaha memukul Permadi, namun Permadi selalu bisa menghindari pukulannya. Pertarungan mereka bagai harimau yang sedang mengejar merpati yang sedang terbang . Setelah bertahan cukup lama, Raden Permadi mengeluarkan serangan balasan. Raden Permadi kemudian membaca mantra Aji Pangasrepan*2, lalu menembakkan panahnya ke angkasa dan tiba-tiba, udara di seluruh Tegal Kurusetra berubah menjadi dingin lalu muncul pusaran badai es yang mengurung dan menggulung tubuh Suyudana. Suyudana yang tak bisa berkutik hanya meringkuk kedinginan. Resi Dorna bersorak gembira dan segera mengumumkan pemanah terbaik di dunia “Hebat, anakku Permadi. Mulai hari ini aku umumkan Permadi sebagai pemanah terbaik tiada tanding di dunia.”
Tiba-tiba dari tribun penonton, muncullah seorang anak muda berwajah tampan yang naik gelanggang dan menembakkan panah berajian Hanggeniastra*3. Panah itu melesat dan mengeluarkan puting beliung api yang menghangatkan seluruh Tegal Kurusetra dan melenyapkan badai es yang menggulung Raden Suyudana. Semua orang di tribun terkagum-kagum termasuk para bangsawan keraton. Pemuda itu keberatan kalau Raden Permadi ditetapkan sebagai pemanah terbaik di dunia “Aku keberatan kalau tuan guru Dorna menetapkan Raden Permadi sebagai pemanah tanpa tanding di dunia dan dihadapan seluruh penonton, para raja, dan pangeran, aku menantang Raden Permadi untuk adu panah satu lawan satu denganku.” Resi Dorna lalu bertanya pada pemuda itu darimana asalnya. Sang pemuda hanya terdiam. Tiba-tiba datanglah ayah dan adik dari pemuda itu, yaitu kusir Ki Adiratha dan Bambang Adimanggala “Aradeya, cepat kembali kesini. Bikin malu saja. Ehh maaf tuan guru Dorna. Maaf atas kelancangan putra hamba menantang Raden Permadi. Kami benar-benar mohon maaf” “Adiratha, ketahuilah. Dalam berperang atau bertanding pun ada tatakramanya. Semua harus sederajat. Raja harus melawan raja. Pangeran juga harus melawan pangeran. Senopati melawan senopati juga. Putramu Aradeya tidak sederajat bila harus melawan Permadi. Saranku saja ya, sebaiknya pulanglah kembali ke Awangga.” Arya Bratasena yang ada di luar gelanggang juga menyoraki Aradeya sebagai pemuda yang tak tahu tatakrama istana dan menyuruh Ki Adiratha untuk mendidiknya sopan santun. Raden Puntadewa menegur adik nomor duanya itu “Bratasena, tidak seharusnya kamu bicara begitu. Kau mudah sekali ngomong begitu sedangkan dirimu sendiri juga harusnya belajar bersopan santun.” Bratasena hanya terdiam tak berani membantah.
Aradeya merasa sangat kecewa karena hanya karena kedudukannya sebagai orang sudra, dia hanya dipandang sebelah mata. Tiba-tiba Suyudana menahannya pulang “Tunggu, Aradeya. Jangan pergi dulu. Kau sudah menolongku saat terkurung badai es buatan Permadi tadi dan atas persetujuan ayahku Prabu Dretarastra, aku mengubah status Desa Awangga menjadi kadipaten, aku mengangkat ayahmu sebagai Adipati Awangga dan kamu, Aradeya dan saudaramu boleh menyandang gelar raden didepan nama kalian.” Ki Adiratha, Aradeya, dan Adimanggala menunduk dan tak berani menerima anugerah ini. “Maafkan hamba, pangeran. Kami tidak berani menerima hadiah sebesar ini. Kedatangan hamba kesini untuk beradu tanding, bukan untuk mencari hadiah.”  “Bangun, Aradeya. Anugerah ini bukan apa-apa bagiku. Ini adalah bentuk terima kasihku karena kau sudah menyelamatkanku di atas gelanggang tadi dan mulai sekarang kami, Para Kurawa menjadikanmu sebagai saudara tua kami. Kau dan aku sahabat selamanya.” Aradeya kemudian bangun dan berterima kasih kepada Raden Suyudana. “Terima Kasih, raden emm maksudku rayi Suyudana. Mulai sekarang dan seterusnya saya akan melindungi Raden Suyudana. Izinkan saya untuk melanjutkan adu tanding dengan Raden Permadi.” Suyudana memberikan restunya dan Resi Dorna mempersilahkannya masuk gelanggang. Sebelum pergi, Adipati Adiratha memberitahukan bahwa Aradeya lahir dengan nama Suryaputra dan menyuruh Aradeya menggunakan nama itu.
Pertarungan antara Suryaputra melawan Permadi pun dimulai. Panah-panah mereka saling beradu, berdesing, menimbulkan suara riuh dan gaduh di angkasa. Para penonton, para raja negara sahabat, Para Pandawa dan Kurawa saling terkagum-kagum.
Raden Suryaputra/Aradeya vs Raden Permadi
Mereka ibarat Sri Rama dan Laksmana yang saling beradu panah. Kedua-duanya sama hebat dan seimbang. Tak ada yang menang maupun yang kalah. Hari mulai beranjak petang dan tidak ada satupun dari mereka yang menyerah kalah ataupun terjatuh dari gelanggang. Raden Permadi menembakkan panah terakhirnya bersamaan dengan terbenamnya matahari. Dipukullah bende tanda pertandingan harus diakhiri. Raden Suryaputra meletakkan busur panahnya dan tak berusaha menangkis panah itu. Dia menerima panah itu dengan dadanya. Seketika itu pula anting yang dipakai Raden Suryaputra menyala terang dan di dadanya muncul cahaya menyilaukan bagaikan sinar matahari dan brak! Anak panah itu patah menjadi dua saat menyentuh dada Raden Suryaputra.
Dewi Kunthi yang menonton di samping Prabu Dretarastra dan Dewi Gendari terkejut melihatnya. Teringatlah dia kejadian saat dia diperintahkan ayah dan gurunya, Prabu Kuntiboja dan Resi Durwasa untuk membuang putra sulungnya, Karna Basusena yang sejak bayi sudah memakai anting Suryakundala dan baju zirah Suryakawaca di Bengawan Gangga. Seketika Dewi Kunthi terjatuh pingsan setelah menyadari bahwa putra sulungnya telah muncul dihadapannya dan kini melawan adiknya sendiri. Arya Bratasena segera menggendong ibunya disusul Raden Puntadewa dan si kembar Pinten-Tangsen.Raden Permadi dan Suryaputra masih di gelanggang dan saling berjanji untuk melanjutkan pertandingan kelak di hari lain. Setelah Raden Permadi pergi, Raden Suyudana, Arya Dursasana, dan Para Kurawa yang lain menjunjung tinggi-tinggi tubuh Raden Suryaputra bagai pahlawan yang baru menang perang. Sementara itu, di keraton Hastinapura, Resi Dorna dan Bambang Aswatama berniat pamit kembali ke Sokalima namun ditahan oleh Patih Arya Sengkuni.” Tunggu kakang Dorna, anakku Aswatama. Sebelum kalian pulang, baiknya kita saling berfikir jangka panjang. Lebih baik kita bekerjasama saja. Aku sudah meminta pada raka Prabu Dretarastra untuk melantik kakang sebagai penasihatnya bersamaku dan putramu Aswatama mulai sekarang bisa menjadi nayaka praja*4 di rumahku di Palasajenar dan aku sudah mengusulkan kucuran dana yang lebih besar pada raka prabu untuk Sokalima agar menjadikan padepokan kakang menjadi perguruan terbesar di pulau Jawa. Kau boleh menerima murid dari negeri manapun dengan syarat dia harus bisa menjadi sekutu Hastinapura. Bagaimana, Kakang? apa kau tidak tertarik? Pikirkan itu” setelah berpikir dengan matang, Resi Dorna tertarik dan bersedia bekerjasama karena merasa jalan untuk menyerang Drupada dan Arya Gandamana semakin dekat. Bambang Aswatama merasa gembira karena pintu untuk menaikan derajatnya demi menyaingi Permadi semakin terbuka lebar. Mulai saat itu, padepokan Sokalima dibenahi dan diberi kucuran dana dari keraton Hastinapura sehingga berubah menjadi perguruan terbesar di pulau Jawa. Hal itu mulai membuat Prabu Drupada di Pancalaradya semakin khawatir akan perkembangan Sokalima dan akan mengaburkan tapal batas antara negara Hastinapura dan Pancalaradya.
*1 Aji Naracabala adalah ajian yang dimiliki para pemanah handal. Bila ajian ini dirapalkan sambil merentangkan busur panah, maka anak panah yang ditembakkan akan berubah menjadi berlipat ganda bahkan hingga menjadi hujan anak panah. Ajian ini dikuasai terutama oleh Arjuna dan Karna
*2 Aji Pangasrepan, ajian yang mampu mengubah cuaca dalam radius tertentu menjadi dingin/bersalju dan mampu menciptakan badai es/hujan es. Bila dirapal sambil memainkan senjata, maka lawan yang terkena senjata itu akan membeku atau terkurung angin dingin.
*3 Aji Hanggeniastra adalah ajian yang bisa mengeluarkan api atau udara panas dan mampu membuat Aji Pangsrepan menjadi tawar. Bila dirapalkan pada senjata, maka lawan yang terkena akan kepanasan atau bahkan terbakar. 
*4 Nayaka praja adalah jabatan di keraton yang setara dengan juru tulis/sekretaris dan setingkat dengan menteri.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar