Minggu, 31 Maret 2019

Makar di Negara Mandura : Kangsa Adu Jago


Hai, semua!! Kali ini saya akan menceritakan usaha makar Kangsa terhadap raja Mandura, Prabu Basudewa yang kemudian berhasil digagalkan oleh putra-putri Mandura dengan bantuan para Pandawa yang baru keluar dari Kahyangan Saptapertala. Dikisahkan pula pernikahan Narayana dengan Dewi Radha (Niken Radha), isterinya yang pertama namun harus terpisahkan karena takdir yang pahit, pengejaran Kalayawana, patih Prabu Jarasanda/Jaka Slewah terhadap para pemimpin Wangsa Yadawa yang kemudian dikalahkan oleh seorang pertapa sakti. Kisah ditutup dengan pelantikan Narayana, putra Basudewa sebagai raja Negara Dwarawati. Sumber yang saya gunakan berasal dari Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa yang dipadukan dengan serial kolosal India Mahabharat Starplus dan Kitab Pustakaraja Purwa karya Raden Ngabehi Ronggowarsito lalu saya kembangkan dan ubah seperlunya. Kisah yang saya tampilkan ini mengikut pada versi India namun tetap dengan bumbu-bumbu pedalangan Jawa.
Sementara itu di tanah Mandura, terjadi sebuah kudeta, Adipati Kangsa menawan seluruh keluarga kerajaan di penjara karena mendapat wangsit bahwa dia akan mati jika putra putri Basudewa yang berkulit bule dan gelap masih berkeliaran di sekitar Mandura sekaligus balas dendam karena kematian orang tuanya, Prabu Gorawangsa dan Dewi Maherah. Setelah menawan Prabu Basudewa sekeluarga, Adipati Kangsa menjadikan diri sebagai raja bergelar Prabu Kangsadewa dan menantang adu jago antara putra-putra Mandura dengan paman yang sekaligus patihnya, Suratrimantra. Dia memerintahkan para prajurit Goagra dan Sengkapura mengobrak-abrik Widarakandang untuk mencari para putra-putri Mandura. Aryaprabu Rukma yang selamat dari kudeta itu melarikan diri ke desa Widarakandang untuk menemui Nanda Antagopa dan Niken Yasoda untuk segera memberitahukan tentang keadaan kerajaan saat ini dan menyuruh mereka untuk melarikan diri ke hutan. Tak berapa lama kemudian, pasukan Goagra dan Sengkapura datang dan mengobrak-abrik seluruh desa. Mereka berhasil menangkap Nanda Antagopa sementara Niken Yasoda, Rara Ireng, dan Niken Larasati berhasil melarikan diri dengan naik kuda. Aryaprabu Rukma juga kembali berhasil kabur ke arah menuju hulu Bengawan Yamuna.
Sementara itu di Gunung Untarayana, Narayana yang ditemani Udawa telah menyelesaikan pendidikan dan sudah mendapatkan semuanya dari Resi Padmanaba, termasuk ilmu ramalan, ilmu kawaskitaan, dan jati dirinya sebagai putra Prabu Basudewa serta titisan Batara Wisnu.
Jati Diri Narayana
Resi Padmanaba hendak muksa dan memberikan tiga pusaka pada Narayana “ Anakku, sebelum aku kembali ke alam kelanggengan, aku akan memberikan tiga buah pusaka. Pertama adalah bumerang bulat bernama Cakra Widaksana alias Cakra Sudarsana. Aku telah tanam itu di dadamu. Siapapun yang terkena senjatamu ini, pasti tewas. Hanya orang–orang yang berjalan diatas dharma lah yang dapat selamat. Sentuh dadamu untuk mengeluarkannya. Yang kedua berupa bunga ajaib. Namanya Kembang Cangkok Wijayakusuma. Bunga ini berkhasiat meningkatkan kekebalan dan mampu menyembuhkan luka separah apapun bahkan menghidupkan orang dari kematian. Aku sudah letakkan bunga itu di jamangmu, tepatnya di bawah riasan bulu merakmu. Rabalah bulu merakmu bila ingin menggunakannya dan pusakamu yang terakhir adalah panah Aji Kesawa. Panah itu sudah aku letakkan di belakang punggungmu. Bila kau merabanya, kau akan mampu berubah menjadi raksasa berlengan banyak dan berkepala banyak yang amat mengerikan. Gunakan pusaka-pusaka itu dengan bijak.” Baik, guru. Saya akan menggunakannya dengan baik.” Setelah itu Resi Padmanaba muksa, menghilang dari pandangan kemudian bersatu dengan alam kelanggengan. Narayana dan Udawa kemudian bertolak menuju Mandura. Sebelum sampai ke Mandura, Narayana bertemu dengan Niken Radha yang sedang mengungsi. Niken Radha adalah putri Wresabanu dan Nyai Kirtidha, kembang desanya kampung Warsana, Letaknya di sebelah kampung Gokula, masih di wilayah desa Widarakandang. Itu adalah tempat biasanya Narayana, Udawa, dan Kakrasana biasa menggembalakan sapi dan lembu. Ketika  desa masih aman, Narayana dan Radha sering memadu kasih dan menarikan tarian yang indah bersama-sama.Sejak perginya Narayana berguru ke gunung Untarayana, kisah cinta Narayana dan Radha harusnya terhenti karena Radha sudah dijodohkan dengan Ayan Yadawa (Arya Yadawa). Namun rupanya atas bimbingan para dewa, Narayana dan Radha berhasil menikah, disaksikan para dewa kahyangan di bukit Goloka, seberang desa Widarakandang tempat para lembu sapi dan banteng biasa digembalakan. Namun datanglah Arya Yadawa, suami asli Radha menjemput Niken Radha. Mau tidak mau, Narayana yang sudah melangsungkan pernikahan dewata dengan Radha harus kembali berpisah. Meski raga mereka telah terikat takdir pahit, mereka akan tetap menjadi suami istri di alam ruhani. Sebelum ia pergi, Narayana berjanji akan menjemput Radha suatu saat nanti.
Di lain tempat, di Gunung Waikunta, Kakrasana dan Arya Pragota telah kedatangan Batara Brahma dan telah berguru segala ilmu. Batara Brahma telah memberitahukan jati diri Kakrasana yang sebenarnya lalu memberikan beberapa pusaka padanya. Pusaka pertama yaitu tombak yang berujung bajak sawah atau luku dari baja berkilauan bernama Nanggala yang mampu membuat siapapun yang terkena bisa terbakar bahkan hancur menjadi debu. Yang kedua adalah aji kesaktian Balabadra yang membuatnya bisa memiliki daya tahan sekuat para dewa, mampu mendaur ulang tenaganya sendiri, tahan kantuk, dan tahan berpuasa. Pusaka yang terakhir adalah Gada Alugora yang berbentuk seperti alu penumbuk padi. Batara Brahma kemudian memerintahkan mereka untuk kembali ke Mandura karena kerajaannya sedang di kudeta oleh kakak haramnya, Prabu Kangsadewa.
Jati Diri Kakrasana
Batara Brahma berkata bahwa hanya dirinya dan kedua adiknya, Narayana dan Rara Ireng yang mampu menyelematkan Mandura dari kehancuran. Di tengah perjalanan, Kakrasana dan Arya Pragota bertemu dengan Narayana dan Bambang Udawa. Mereka juga sama ingin ke Mandura untuk menghentikan kudeta.
Sementara itu, Aryaprabu Rukma yang terus melarikan diri bertemu Niken Yasoda, Rara Ireng dan Niken Larasati yang ditolong oleh para Pandawa dan Dewi Kunthi yang sedang mengembara. “Kang Mbok Kunthi, salam.” “salam, Rukma. Ada apa dengan dirimu ? seperti menjadi buronan begitu. Coba ceritakan!” kemudian Aryaprabu Rukma bercerita tentang kudeta di Mandura, nasib keluarga Mandura dan Nanda Antagopa yang di penjara, dan rencana adu jago antara anak-anak Basudewa di alun-alun. Dewi Kunthi sangat sedih dan prihatin mendengarnya. Tiba-tiba Wasi Kusumayuda (Arya Bratasena) berdiri dan mengajukan diri untuk menjadi jago “Paman Rukma, aku bersedia menggantikan kakang Kakrasana dan Narayana sebagai jago. Bawa saja aku. Aku akan bertarung atas nama mereka” tanpa ba-bi-bu lagi, Aryaprabu Rukma dan Wasi Kusumayuda segera berangkat ke Mandura diiringi Wasi Parta (Permadi), Ki Lurah Semar, dan Rara Ireng.
Di alun-alun kotaraja Mandura telah berdiri panggung besar untuk sarana adu jago. Seluru kawula di Mandura berkumpul hendak menyaksikan adu jago. Prabu Kangsadewa berdiri diatas panggung itu bersama Prabu Basudewa, Nanda Antagopa, Arya Ugrasena, dan seluruh anggota keluarga lainnya yang dalam keadaan terikat rantai dan disamping mereka semua terdapat banyak algojo membawa kapak besar. Dari jauh, Prabu Jarasanda alias Jaka Slewah, sahabatnya menonton di kejauhan ditemani Patih Kalayawana. Lalu datang Aryaprabu Rukma dan Wasi Kusumayuda naik ke gelanggang itu “Kangsa, Narayana dan Kakrasana tak ada dimana-mana tapi sebagai gantinya aku bawa seorang brahmana tangguh ini untuk melawan Suratrimantra.” Prabu Kangsadewa sangat marah mendengarnya dan menolak tantangan itu”Apa-apaan ini? Aku yang menentukan pertandingan, bukan kau, Rukma. Aku minta Kakrasana dan Narayana. Bukan brahmana bodoh ini. !!” “heeh ternyata raja agung Mandura badan doang besar tapi nyalinya sebesar tikus. Prabu Kangsadewa ternyata raja penakut berhati lemah” hina Wasi Kusumayuda. Prabu Kangsadewa marah lagi karena dihina oleh seorang brahmana kemudian menyuruh patih Suratrimantra ke gelanggang untuk bergulat.
Pertandingan adu jago dimulai.mereka saling bergulat, saling banting dan saling sikut. Kesaktian mereka sangat dahsyat. Sebaliknya patih Suratrimantra merasa kerepotan melihat brahmana muda itu yang ternyata sangat kuat dan sulit dikalahkan. Setelah cukup lama, Patih Suratrimantra terdesak namun dirinya sempat melihat ada dua pemuda berkulit bule dan berkulit gelap masuk diantara para penonton. Kemudian sang patih itu meronta-ronta dan berusaha mencekik Wasi Kusumayuda namun Kakrasana tiba-tiba naik gelanggang lalu memukul Suratrimantra dengan Gada Alugora hingga keluar gelanggang sampai tewas dengan kepala hancur. Prabu Kangsadewa terkejut melihat sang paman tewas dipukul Kakrasana, lalu naik ke gelanggang lalu menghajar Kakrasana dengan gada Lohitamuka miliknya dan tak lama kemudian, dia mampu meringkusnya dengan mencekiknya di tangan kiri. Narayana berusaha menolong kakaknya tapi juga dapat diringkus pula dengan tangan kanan. Wasi Kusumayuda dan Aryaprabu Rukma yang hendak menolong menjadi kerepotan karena dihadang prajurit Sengkapura dan Goagra.
Disaat demikian, tiba-tiba Wasi Parta, Ki Lurah Semar dan Rara Ireng datang. Di saat melihat mereka, Prabu Kangsadewa menjadi terlena mantra Aji Gendam Pangasihan yang dirapal Rara Ireng. Karena lengah, Wasi Parta menembakkan panah ke dada sang raja lalim itu. Sang raja kesakitan membuat Kakrasana dan Narayana dapat terlepas dari cekikan Kangsadewa. Mereka segera mengeluarkan pusaka masing masing. Narayana kemudian menghajar, memukul lalu memenggal kepala Kangsadewa dengan Cakra Widaksana miliknya lalu Kakrasana menusuk tubuhnya dengan ujung tombak Nanggala sampai tak berbentuk. Sesaat sebelum tewas, Kangsadewa melihat bayangan Batara Wisnu dan Batara Naga Adisesa pada diri Kakrasana dan Narayana.
Tewasnya Kangsa di tangan Kakrasana-Narayana
Keadaan sudah kembali tenang. Prabu Basudewa berhasil dibebaskan dan kembali duduk di takhtanya, begitupula Nanda Antagopa dan anggota keluarga yang lain. Prabu Basudewa sangat bersyukur dengan kembalinya putra-putrinya dan berhasil mengalahkan Kangsadewa. Prabu Basudewa juga berterima kasih pada Wasi Kusumayuda dan Wasi Parta yang ternyata adalah keponakan-keponakannya, putra nomor dua dan tiga Dewi Kunthi. Sebagai bentuk terimakasih, Gada Lohitamuka akhirnya dibawa oleh Wasi Kusumayuda dan diganti namanya menjadi Gada Rujakpala. Bukan hanya itu, Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena dilantik sebagai raja merdeka di Kumbinapuri dan Lesanpura bergelar Prabu Bismaka dan Prabu Setyajid. 

Sementara itu, terjadilah kegegeran di desa Widarakandang. Tiba-tiba Niken Radha melahirkan seorang putri cantik padahal ia tak pernah disentuh sesiapapun setelah perpisahannya dengan Narayana maupun Ayan Yadawa. Para penduduk menganggap ini aib. Mereka mengasingkan Radha dan putrinya. Radha sadar bahwa sang kekasih utama telah menjamahnya secara batin dan mereka bermesraan di sebalik alam khayali. Niken Radha menamai putrinya itu Prantawati alias Kresnawati. Para dewa datang kepadanya dan mengatakan bahwa kelak putrinya itu akan berjodoh dengan salah satu putra Batara Semar dan dia akan dijemput sang suami sejatinya. Di dalam pengasingannya, ia pun pergi menuju Mandura namun Radha dan putrinya kepayahan ketika melewati Bukit Gandamadana. ia diselamatkan oleh Resi Jembawan dan putrinya, Dewi Jembawati. Mereka akhirnya saling bersahabat.

Prabu Jarasanda yang berada di tempat jauh sangat marah mendengar Kangsa telah tewas dan memerintahkan Patih Kalayawana untuk menyerang Mandura dan membunuh pembunuh Kangsa. Patih Kalayawana yang menyerang Mandura terlalu sakti sehingga membuat Narayana, Kakrasana, Wasi Kusumayuda, dan Wasi Parta harus lari. Wasi Kusumayuda dan Wasi Parta segera lari sekaligus membawa ibu, para Pandawa yang lain, dan para Punakawan menuju ke Kerajaan Ekacakra. Mereka bersembunyi di ke desa Kabayakan, sementara Narayana, Kakrasana, Udawa, Pragota, dan seluruh keluarga Mandura yang lainnya untuk sementara melarikan diri ke arah pantai barat ke wilayah kekuasaan Prabu Yudha Kalakresna, raja Dwarakawestri. Mereka mendirikan keraton baru di pinggir hutan pantai. Oleh Narayana, keraton indah bagaikan taman Kadilengleng di Hastina itu dinamai Taman Banoncinawi. Meskipun telah menjauh dari Mandura, tapi Patih Kalayawana sangat sakti dan mampu mengejar mereka hingga ke Banoncinawi. Prabu Yudha Kalakresna yang hendak menyerang kahyangan saat itu bahkan dapat dikalahkan dan dibunuh oleh Patih Kalayawana sehingga Dwarakawestri kosong tanpa penerus takhta.
Praburesi Mucukunda membakar Patih Kalayawana
Kemudian Narayana menjebak Patih Kalayawana di sebuah gua. Narayana pernah mendengar cerita seorang jendral kahyangan bernama Praburesi Mucukunda yang sedang istirahat panjang dan kebetulan dia istirahat di gua di dekat kota Dwarakawestri. Narayana pun masuk dan bersembunyi di celah terdalam gua. Patih Kalayawana kemudian masuk ke gua. Disana dia menemukan seseorang yang sedang tidur. Mengira itu Narayana, dia menampar dan menendangnya sampai jatuh ke lantai. Tak disangka itu ternyata Praburesi Mucukunda yang sedang tidur. Karena tidurnya terganggu, Mucukunda bangun dalam keadaan marah dan begitu memandang wajah Patih Kalayawana, memancarlah Aji Agni Netra berupa sinar panas dari matanya. Sinar panas itu membakar Patih Kalayawana sampai tewas dan hancur hingga abu jenazahnya jadi bertumpuk.

Setelah membakar Kalayawana, Praburesi Mucukunda pingsan lalu ditolong Narayana dan dibawa ke taman Banoncinawi. Setelah siuman, dia bertanya “Terima kasih, anak muda sudah menolongku. Ananda ini siapa. Aku melihat ada cahaya Wisnu di belakangmu?” “Ampun, Praburesi. Nama saya Narayana, putra Prabu Basudewa dari Mandura. Menurut keterangan dari guru saya, saya adalah titisan Batara Wisnu.” Praburesi Mucukunda terkejut ternyata inilah titisan Wisnu yang kelak akan menjadi tanda dia akan kembali ke alam kahyangan dan menjadi dewa.”rupanya kau titisan Batara Wisnu. Berarti ini saatnya aku kembali lagi ke kahyangan setelah sekian lama. Sebelum aku pergi, aku meramalkan kelak akan terjadi sebuah Mahapralaya yaitu perang Baratayudha, perang antara dharma melawan adharma, perang itu terjadi diantara saudara-saudara sepupumu dan kau akan menjadi penentunya. Setelah perang itu selesai, akan ada zaman yang gilang gemilang dan penuh keadilan. Saranku, berusahalah untuk berlaku adil diantara mereka. Permisi, yang mulia Wisnu. Saya akan kembali ke kahyangan.” Tak lama setelah pamitan, Praburesi Mucukunda dijemput para bidadari dan bidadara kembali ke alam kahyangan menjadi salah satu dewa disana.
Setelah menyaksikan Praburesi Mucukunda naik ke kahyangan, Narayana mulai membangun kerajaan peninggalan Prabu Yudha Kalakresna. Kemudian oleh Narayana, dia membangun keraton baru lagi menggantikan keraton Dwarakawestri. Keraton itu konon dibangun di atas sebuah pulau yang lumayan besar mendapat bantuan dari para dewa sehingga keraton itu sangatlah indah. Pulau itu sendiri tidak terpisah jauh dari daratan pulau Jawadwipa, hanya beberapa meter dari bibir pantai. Pintu masuk ke kotaraja sendiri berjumlah sepuluh dengan dinding kota bertatahkan emas, perak, berlian, dan ratna mutu manikam lainnya. Keratonnya berdinding berlapis lempengan emas murni, berbentuk sebuah benteng besar dengan bangunan utama berbentuk sebuah menara tunggal dengan ratusan jendela dan genteng tembus pandang dari kaca dan berlian. Antara keraton dengan taman Banoncinawi maupun daratan Jawadwipa dihubungkan dengan beberapa jembatan besar yang dibangun di atas puluhan pulau kecil dan karang. Di kanan-kiri jembatan-jembatan itu, hutan-hutan bakau dan nipah tumbuh berjajar menciptakan pemandangan yang asri. Setelah jadi, Narayana dilantik oleh ayahnya, Prabu Basudewa atas persetujuan penduduk Dwarakawestri. Dia menjadi raja bergelar Prabu Kresna dengan patihnya, Bambang Udawa, kakak sulungnya dari ibu Niken Yasoda/Sagopi. Kerajaan Dwarakawestri diganti namanya menjadi Kerajaan Dwarawati dengan pusatnya di keraton baru yang dibangunnya diatas pulau yang diberinya nama Dwaraka yang artinya “pulau seribu pintu gerbang.” Disamping itu, Prabu Basudewa juga melantik Kakrasana menjadi putra mahkota Kerajaan Mandura dan mengganti namanya dengan nama pemberiannya waktu kecil yaitu Prabu Anom Balarama.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar