Hai semua, jumpa lagi. Kali ini saya mengisahkan tentang pendidikan para Pandawa dan Kurawa di Padepokan Sokalima. Dikisahkan juga sifat pilih kasih Resi Dorna yang menolak Aradeya sebagai murid dan penipuannya pada Bambang Ekalaya demi menjadikan Permadi sebagai pemanah terbaik tanpa tanding. Kisah ini menjadi prolog kisah Palguna-Palgunadi yang kelak akan saya tulis. Sumber kisah ini adalah Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa yang dipadukan dengan serial kolosal India Mahabharat Starplus dengan ditambah unsur pedalangan Jawa.
Begitulah,
Pandawa dan Kurawa telah memulai pendidikan ilmu perang dari Resi Dorna. Segala
ilmu telah mereka serap dengan baik, mulai seni bersenjata yang benar,ilmu
memimpin pasukan, mengatur strategi dan siasat, bahkan cara membangun dan
merusak formasi perang. Pada suatu hari, diadakanlah lomba memanah boneka
burung. Diantara para pangeran, hanya Raden Permadi yang mampu membidik dengan
tepat pada kepala boneka burung. Bukan hanya itu, Raden Permadi juga paling
sering berlatih berbagai kanuragan dan senjata terutama panahan bahkan memanah
di waktu malam telah gelap gulita sampai melewatkan jam tidur malam untuk
melatih kemampuannya. Para Pandawa yang
lain juga tak mau kalah. Raden Puntadewa sangat terampil bermain dan melempar
galah dan tombak, Arya Bratasena amat mahir memainkan senjata gada dan kini
mampu mengendalikan Aji Bayu Bajra miliknya, bahkan si kembar Pinten dan
Tangsen, walau masih berusia 10 tahun namun mereka sangat cekatan dalam
menggunakan pedang dan keris. Para Kurawa juga tak mau ketinggalan, seluruh
Kurawa amat mahir melempar tombak, memukul cambuk, membidik panah, menyabetkan
pedang, dan bermain gada. Sulung para Kurawa, Raden Suyudana juga memiliki
kemampuan menggunakan gada yang setara dengan Bratasena. Dursasana mahir
menggunakan gada dan sedang belajar ajian Welut Putih*1. Citraksa
dan Citraksi terkenal dengan jurus pedang kembar mereka. Kartamarma dan
Widandini walau pun klemar-klemer namun kemampuan melempar tombaknya bahkan
hampir setara dengan Puntadewa. Durmagati, Gardapati, Bogadenta, dan Wikarna
mahir memanah dan menyabetkan celurit. Durshilawati yang walaupun dia seorang
perempuan dan hanya datang ke Sokalima sesekali, dia lebih sering belajar bersama
pada Permadi dan para Pandawa sehingga membuat para Kurawa yang lain merasa
aneh padanya.
Pada
suatu hari, datanglah dua orang pemuda ke Sokalima, yang satu tampan dan yang
satu nampak gagah. Mereka adalah Aradeya, putra kusir Ki Adiratha dengan Nyai
Rada dan Bambang Adimanggala, adik angkat Aradeya. Mereka datang untuk berguru
pada Resi Dorna. “Tuan resi, bersediakah tuan menjadikan kami sebagai murid
anda?” Resi Dorna menolak karena terikat perjanjian hanya akan mengajari para
pangeran Hastinapura saja “maaf, anakku. Aku tak bisa mengajarkan kalian karena
aku terikat perjanjian hanya bisa mengajari para pangeran Pandawa dan Kurawa
untuk saat ini.” “lalu kenapa putra tuan sendiri, Bambang Aswatama boleh ikut
berlatih bersama mereka, padahal dia bukan siapa-siapa di Pandawa maupun
Kurawa?” Resi Dorna marah dan mengusir mereka karena putranya
disangkut-pautkan.
Aradeya marah dan bersumpah “ingat ini, tuan guru Dorna yang
agung. Aku akan mencari guru yang sudah mengajarimu ilmu berperang.” Aradeya
dan Adimanggala pergi meninggalkan Sokalima dan bertapa di hutan Jatiraga.
Setelah berhari-hari melakukan tapa brata, Batara Ramabargawa datang dan
mengabulkan permohonan Aradeya untuk berguru padanya. Singkat cerita, Aradeya
berlatih bermacam-macam ilmu terutama memanah dan belajar menggunakan zirah
Suryakawaca yang sudah melekat pada dirinya. Adimanggala juga belajar ilmu
berpedang.
Penolakan Resi Dorna menerima Aradeya dan Adimanggala |
Suatu
ketika, ketika hari libur. Para Kurawa pergi berburu di hutan disekitar
Sokalima. Anjing milik Suyudana tiba-tiba menyalak ke semak-semak dan jras! Tiba-tiba,
mulut sang anjing disumpal oleh tujuh anak panah. Walaupun disumpal anak panah,
anjing tersebut tidak mati. Setelah memanah, sang pemanah misterius yang berada
di semak-semak langsung kabur. Suyudana heran dan marah melihatnya. Ketika
kembali ke Hastina, dia marah pada Permadi. Dia menyangka bahwa Permadi membuntutinya
dan melakukan hal itu. “Permadi, kau harus tanggung jawab soal ini. Gara-gara
panahmu, mulut anjing kesayanganku jadi tersumpal.” “kakang Suyudana, itu bukan
aku yang melakukan. Selama seharian ini, aku berada di Hastinapura. Tanyakan
pada Tuan Guru Dorna dan kakak adikku” Suyudana tak peduli dan tetap menuntut
Permadi mengakui kesalahannya. Karena namanya telah dicemari, Permadi mencari
siapa yang menembakkan anak panah itu. Singkat cerita, Permadi yang ditemani
Resi Dorna menemukan sebuah gua di
pinggir hutan Sokalima yang didalamnya terdapat sebuah arca. Arca itu berbentuk
manusia dan memiliki wajah yang mirip dengan wajah Resi Dorna. Tiba-tiba datang
lah seorang pemuda tampan. Pemuda itu tampak gagah dan membawa perlengkaan memenah lengkap dengan tabung panah dan sebuah busur panah. Terlihat dari wajahnya ia seorang pangeran meski memakai baju dan jubah sederhana. Kemudian pemuda itu bersimpuh dihadapan Resi
Dorna “salam hormat, guru.” bagai disambar petir, Resi Dorna terkejut dan segera
menyuruhnya bangun dan bertanya “siapa kamu anak bagus. Kenapa kamu memanggilku
guru padahal aku tak pernah mengajarkan ilmu apapun kepadamu dan bisa jelaskan
kenapa ada arca menyerupai diriku?” sang pemuda memperkenalkan diri
“pekenalkan, nama saya Bambang Ekalaya. Saya dari kerajaan Paranggelung. Saya
putra Prabu Hiranyadanu dari Wangsa Nishada. Saya berada disini karena ingin
berguru pada guru tapi hamba tak berani datang karena saya pernah melihat guru
telah menolak seorang dari seorang sudra tempo hari. Karena itu disini saya
membangun arca guru dan bisa berlatih lewat restu arca perwujudan anda.”
Resi
Dorna amat terkesan dengan kegigihan Bambang Ekalaya namun melihat wajah
Permadi berubah masam dan dirinya sudah berjanji akan menjadikan Permadi
sebagai pemanah terhebat di dunia, Resi Dorna memberikan syarat untuk Ekalaya
agar bisa diakui sebagai muridnya “anakku, Ekalaya. Aku sangat terkesan atas
kegigihanmu namun tak ada yang gratis di dunia ini. Karena kau telah belajar
melalui arcaku, ku anggap itu sama saja dengan belajar dengan ku dan harus ada
yang kau persembahkan padaku. Aku meminta sebuah daksina*2 darimu. Berikanlah aku jempol tangan kananmu!”
terkejut bagi Bambang Ekalaya. Dia paham bahwa dengan memotong jempolnya,
kemampuan memanahnya menjadi jauh berkurang, namun karena ketulusannya dia
bersedia. Pisau terhunus dan Bambang Ekalaya memotong jempol kanannya sendiri.
Melihat pengorbanan Ekalaya, Permadi menjadi iba dan mengobati luka Bambang
Ekalaya. Setelah diobati oleh Permadi, Bambang Ekalaya menyerahkan jempolnya
itu kepada Resi Dorna. Seketika jempol itu menghilang dari pandangan. Resi
Dorna telah mengakui dirinya sebagai murid resminya. Permadi kemudian menjadikan
Ekalaya sebagai saudara seperguruannya dan boleh menggunakan namanya. Karena
nama lain Permadi adalah Palguna maka Ekalaya boleh menggunakan nama Palgunadi.
Daksina Bambang Ekalaya |
Setelah
Permadi dan Resi Dorna memohon pamit untuk pulang ke Hastinapura, tiba-tiba
Ekalaya mendengar suara dari langit “Cucuku, Ekalaya. Kegigihan dan pengorbanan
besarmu itu membuat kawah Candradimuka bergejolak dan bidadari-bidadara merasa
kepanasan. Karena itu aku, Batara Guru, rajaning para dewa-dewi memberikanmu
sebuah cincin pusaka atas kebesaran jiwamu, cincin Mustika Ampal. Cincin ini adalah perwujudan dari jempol yang
telah kau potong tadi. Pakailah cincin itu di jari telunjuk kananmu dan dengan
begitu kemampuan mu memanah akan kembali meningkat meskipun jempol kananmu
sudah tak ada.” Bambang Ekalaya kemudian memakainya dan merasa berterima kasih
kepada sang raja dewa “Terima kasih, pukulun. Saya akan menjaga cincin ini
bagaikan tali nyawa saya sendiri.” Sejak saat itu, Ekalaya boleh datang ke
Sokalima untuk berguru tapi hanya ketika Pandawa dan Kurawa sedang diluar
Sokalima. Di sana dia bersahabat dengan putra sang guru, Bambang Aswatama.
Suatu
hari, Ekalaya harus pamit kembali ke Paranggelung karena ayahanda Ekalaya
meninggal dunia dan harus segera menjadi pengganti ayanhandanya memerintah
negara. Resi Dorna dan Bambang Aswatama memberikan restu. Singkat cerita,
Bambang Ekalaya telah kembali ke Paranggelung dan menjadi raja di sana bergelar
Prabu Palgunadi. Setelah mencuri dengar dari penuturan seorang cantrik tentang
nasib Ekalaya yang berjempol buntung karena ayahnya telah pilih kasih dan lebih
menyayangi Permadi, Aswatama mulai tidak simpati lagi dan mulai membenci segala
hal tentang Permadi dan seluruh Pandawa. Sejak saat itu pula, Bambang Aswatama
mulai meningkatkan kemampuan memanahnya dan mendekati para Kurawa.
Untuk
membuat sang putra agar lebih jernih dalam berpikir, pada suatu hari ketika
sedang mandi di sungai, Resi Dorna pura-pura diserang seekor buaya besar dan
meminta tolong. Diantara para Pandawa dan Kurawa, hanya Permadi dan Aswatama
yang menolongnya. Walaupun demikian, pendirian Aswatama tetap tak berubah
karena fikirannya telah dihasut dan diracuni oleh Suyudana dan Sengkuni untuk
memusuhi Pandawa. Aswatama semakin benci kepada Permadi saat sang ayah
mewariskan busur Gandiwa bukan kepadanya tapi pada Permadi. Nampaknya sifat
manjanya kepada sang ayah berubah menjadi sifat antipati kepada Permadi yang
dianggapnya telah merebut perhatian ayahnya.
*1 Ajian Welut Putih
mampu membuat siapapun yang mengamalkannnya bisa bergerak cepat dan tubuhnya
menjadi selicin kulit belut sehingga menjadi susah ditangkap
*2 Daksina adalah sebuah
persembahan dari seorang murid kepada gurunya sebagai tanda bahwa sang murid
telah menyerap ilmu-ilmunya dengan baik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar