Rabu, 06 Maret 2019

Pendidikan di Sokalima, Kisah Guru Pilih Kasih


Hai semua, jumpa lagi. Kali ini saya  mengisahkan tentang pendidikan para Pandawa dan Kurawa di Padepokan Sokalima. Dikisahkan juga sifat pilih kasih Resi Dorna yang menolak Aradeya sebagai murid dan penipuannya pada Bambang Ekalaya demi menjadikan Permadi sebagai pemanah terbaik tanpa tanding. Kisah ini menjadi prolog kisah Palguna-Palgunadi yang kelak akan saya tulis. Sumber kisah ini adalah Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa yang dipadukan dengan serial kolosal India Mahabharat Starplus dengan ditambah unsur pedalangan Jawa.

Begitulah, Pandawa dan Kurawa telah memulai pendidikan ilmu perang dari Resi Dorna. Segala ilmu telah mereka serap dengan baik, mulai seni bersenjata yang benar,ilmu memimpin pasukan, mengatur strategi dan siasat, bahkan cara membangun dan merusak formasi perang. Pada suatu hari, diadakanlah lomba memanah boneka burung. Diantara para pangeran, hanya Raden Permadi yang mampu membidik dengan tepat pada kepala boneka burung. Bukan hanya itu, Raden Permadi juga paling sering berlatih berbagai kanuragan dan senjata terutama panahan bahkan memanah di waktu malam telah gelap gulita sampai melewatkan jam tidur malam untuk melatih kemampuannya.  Para Pandawa yang lain juga tak mau kalah. Raden Puntadewa sangat terampil bermain dan melempar galah dan tombak, Arya Bratasena amat mahir memainkan senjata gada dan kini mampu mengendalikan Aji Bayu Bajra miliknya, bahkan si kembar Pinten dan Tangsen, walau masih berusia 10 tahun namun mereka sangat cekatan dalam menggunakan pedang dan keris. Para Kurawa juga tak mau ketinggalan, seluruh Kurawa amat mahir melempar tombak, memukul cambuk, membidik panah, menyabetkan pedang, dan bermain gada. Sulung para Kurawa, Raden Suyudana juga memiliki kemampuan menggunakan gada yang setara dengan Bratasena. Dursasana mahir menggunakan gada dan sedang belajar ajian Welut Putih*1. Citraksa dan Citraksi terkenal dengan jurus pedang kembar mereka. Kartamarma dan Widandini walau pun klemar-klemer namun kemampuan melempar tombaknya bahkan hampir setara dengan Puntadewa. Durmagati, Gardapati, Bogadenta, dan Wikarna mahir memanah dan menyabetkan celurit. Durshilawati yang walaupun dia seorang perempuan dan hanya datang ke Sokalima sesekali, dia lebih sering belajar bersama pada Permadi dan para Pandawa sehingga membuat para Kurawa yang lain merasa aneh padanya.
Pada suatu hari, datanglah dua orang pemuda ke Sokalima, yang satu tampan dan yang satu nampak gagah. Mereka adalah Aradeya, putra kusir Ki Adiratha dengan Nyai Rada dan Bambang Adimanggala, adik angkat Aradeya. Mereka datang untuk berguru pada Resi Dorna. “Tuan resi, bersediakah tuan menjadikan kami sebagai murid anda?” Resi Dorna menolak karena terikat perjanjian hanya akan mengajari para pangeran Hastinapura saja “maaf, anakku. Aku tak bisa mengajarkan kalian karena aku terikat perjanjian hanya bisa mengajari para pangeran Pandawa dan Kurawa untuk saat ini.” “lalu kenapa putra tuan sendiri, Bambang Aswatama boleh ikut berlatih bersama mereka, padahal dia bukan siapa-siapa di Pandawa maupun Kurawa?” Resi Dorna marah dan mengusir mereka karena putranya disangkut-pautkan.
Penolakan Resi Dorna menerima Aradeya dan Adimanggala
Aradeya marah dan bersumpah “ingat ini, tuan guru Dorna yang agung. Aku akan mencari guru yang sudah mengajarimu ilmu berperang.” Aradeya dan Adimanggala pergi meninggalkan Sokalima dan bertapa di hutan Jatiraga. Setelah berhari-hari melakukan tapa brata, Batara Ramabargawa datang dan mengabulkan permohonan Aradeya untuk berguru padanya. Singkat cerita, Aradeya berlatih bermacam-macam ilmu terutama memanah dan belajar menggunakan zirah Suryakawaca yang sudah melekat pada dirinya. Adimanggala juga belajar ilmu berpedang.
Suatu ketika, ketika hari libur. Para Kurawa pergi berburu di hutan disekitar Sokalima. Anjing milik Suyudana tiba-tiba menyalak ke semak-semak dan jras! Tiba-tiba, mulut sang anjing disumpal oleh tujuh anak panah. Walaupun disumpal anak panah, anjing tersebut tidak mati. Setelah memanah, sang pemanah misterius yang berada di semak-semak langsung kabur. Suyudana heran dan marah melihatnya. Ketika kembali ke Hastina, dia marah pada Permadi. Dia menyangka bahwa Permadi membuntutinya dan melakukan hal itu. “Permadi, kau harus tanggung jawab soal ini. Gara-gara panahmu, mulut anjing kesayanganku jadi tersumpal.” “kakang Suyudana, itu bukan aku yang melakukan. Selama seharian ini, aku berada di Hastinapura. Tanyakan pada Tuan Guru Dorna dan kakak adikku” Suyudana tak peduli dan tetap menuntut Permadi mengakui kesalahannya. Karena namanya telah dicemari, Permadi mencari siapa yang menembakkan anak panah itu. Singkat cerita, Permadi yang ditemani Resi Dorna  menemukan sebuah gua di pinggir hutan Sokalima yang didalamnya terdapat sebuah arca. Arca itu berbentuk manusia dan memiliki wajah yang mirip dengan wajah Resi Dorna. Tiba-tiba datang lah seorang pemuda tampan. Pemuda itu tampak gagah dan membawa perlengkaan memenah lengkap dengan tabung panah dan sebuah busur panah. Terlihat dari wajahnya ia seorang pangeran meski memakai baju dan jubah sederhana. Kemudian pemuda itu bersimpuh dihadapan Resi Dorna “salam hormat, guru.” bagai disambar petir, Resi Dorna terkejut dan segera menyuruhnya bangun dan bertanya “siapa kamu anak bagus. Kenapa kamu memanggilku guru padahal aku tak pernah mengajarkan ilmu apapun kepadamu dan bisa jelaskan kenapa ada arca menyerupai diriku?” sang pemuda memperkenalkan diri “pekenalkan, nama saya Bambang Ekalaya. Saya dari kerajaan Paranggelung. Saya putra Prabu Hiranyadanu dari Wangsa Nishada. Saya berada disini karena ingin berguru pada guru tapi hamba tak berani datang karena saya pernah melihat guru telah menolak seorang dari seorang sudra tempo hari. Karena itu disini saya membangun arca guru dan bisa berlatih lewat restu arca perwujudan anda.”
Resi Dorna amat terkesan dengan kegigihan Bambang Ekalaya namun melihat wajah Permadi berubah masam dan dirinya sudah berjanji akan menjadikan Permadi sebagai pemanah terhebat di dunia, Resi Dorna memberikan syarat untuk Ekalaya agar bisa diakui sebagai muridnya “anakku, Ekalaya. Aku sangat terkesan atas kegigihanmu namun tak ada yang gratis di dunia ini. Karena kau telah belajar melalui arcaku, ku anggap itu sama saja dengan belajar dengan ku dan harus ada yang kau persembahkan padaku. Aku meminta sebuah daksina*2 darimu. Berikanlah aku jempol tangan kananmu!” terkejut bagi Bambang Ekalaya. Dia paham bahwa dengan memotong jempolnya, kemampuan memanahnya menjadi jauh berkurang, namun karena ketulusannya dia bersedia. Pisau terhunus dan Bambang Ekalaya memotong jempol kanannya sendiri.
Daksina Bambang Ekalaya
Melihat pengorbanan Ekalaya, Permadi menjadi iba dan mengobati luka Bambang Ekalaya. Setelah diobati oleh Permadi, Bambang Ekalaya menyerahkan jempolnya itu kepada Resi Dorna. Seketika jempol itu menghilang dari pandangan. Resi Dorna telah mengakui dirinya sebagai murid resminya. Permadi kemudian menjadikan Ekalaya sebagai saudara seperguruannya dan boleh menggunakan namanya. Karena nama lain Permadi adalah Palguna maka Ekalaya boleh menggunakan nama Palgunadi.
Setelah Permadi dan Resi Dorna memohon pamit untuk pulang ke Hastinapura, tiba-tiba Ekalaya mendengar suara dari langit “Cucuku, Ekalaya. Kegigihan dan pengorbanan besarmu itu membuat kawah Candradimuka bergejolak dan bidadari-bidadara merasa kepanasan. Karena itu aku, Batara Guru, rajaning para dewa-dewi memberikanmu sebuah cincin pusaka atas kebesaran jiwamu, cincin Mustika Ampal.  Cincin ini adalah perwujudan dari jempol yang telah kau potong tadi. Pakailah cincin itu di jari telunjuk kananmu dan dengan begitu kemampuan mu memanah akan kembali meningkat meskipun jempol kananmu sudah tak ada.” Bambang Ekalaya kemudian memakainya dan merasa berterima kasih kepada sang raja dewa “Terima kasih, pukulun. Saya akan menjaga cincin ini bagaikan tali nyawa saya sendiri.” Sejak saat itu, Ekalaya boleh datang ke Sokalima untuk berguru tapi hanya ketika Pandawa dan Kurawa sedang diluar Sokalima. Di sana dia bersahabat dengan putra sang guru, Bambang Aswatama.
Suatu hari, Ekalaya harus pamit kembali ke Paranggelung karena ayahanda Ekalaya meninggal dunia dan harus segera menjadi pengganti ayanhandanya memerintah negara. Resi Dorna dan Bambang Aswatama memberikan restu. Singkat cerita, Bambang Ekalaya telah kembali ke Paranggelung dan menjadi raja di sana bergelar Prabu Palgunadi. Setelah mencuri dengar dari penuturan seorang cantrik tentang nasib Ekalaya yang berjempol buntung karena ayahnya telah pilih kasih dan lebih menyayangi Permadi, Aswatama mulai tidak simpati lagi dan mulai membenci segala hal tentang Permadi dan seluruh Pandawa. Sejak saat itu pula, Bambang Aswatama mulai meningkatkan kemampuan memanahnya dan mendekati para Kurawa.
Untuk membuat sang putra agar lebih jernih dalam berpikir, pada suatu hari ketika sedang mandi di sungai, Resi Dorna pura-pura diserang seekor buaya besar dan meminta tolong. Diantara para Pandawa dan Kurawa, hanya Permadi dan Aswatama yang menolongnya. Walaupun demikian, pendirian Aswatama tetap tak berubah karena fikirannya telah dihasut dan diracuni oleh Suyudana dan Sengkuni untuk memusuhi Pandawa. Aswatama semakin benci kepada Permadi saat sang ayah mewariskan busur Gandiwa bukan kepadanya tapi pada Permadi. Nampaknya sifat manjanya kepada sang ayah berubah menjadi sifat antipati kepada Permadi yang dianggapnya telah merebut perhatian ayahnya.
*1 Ajian Welut Putih mampu membuat siapapun yang mengamalkannnya bisa bergerak cepat dan tubuhnya menjadi selicin kulit belut sehingga menjadi susah ditangkap
*2 Daksina adalah sebuah persembahan dari seorang murid kepada gurunya sebagai tanda bahwa sang murid telah menyerap ilmu-ilmunya dengan baik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar