Holla, guys. Karena ada ide untuk melanjutkan yang cerita selanjutnya, jadi saya posting cerita lanjutannya. Kali ini saya akan mengisahkan perjalanan para Pandawa yang selamat dari kebakaran Bale Sigala-gala di kahyangan Saptapertala. Dikisahkan juga pernikahan Raden Arya Bratasena dengan Dewi Nagagini, putri Batara Anantaboga yang kelak akan menurunkan seorang putra sakti mandraguna yaitu Raden Arya Antareja. kisah ini bersumber dari Kisah Kidung Malam karya Herjaka S dan Kitab Pustakaraja Purwa karya Raden Ngabehi Ronggowarsito dengan pengembangan seperlunya dari saya.
Tak seperti kabar yang tersebar di Hastinapura dan negara-negara di sekelilingnya, Dewi Kunthi dan putra-putranya selamat dari kobaran api dendam di Bale Sigala-gala, berkat pertolongan tangan Dewata Agung lewat Kanana dan garangan putih yang menuntun mereka menyusuri terowongan. Setelah lama berjalan berhari-hari, terowongan yang tadinya sempit kini semakin lebar dan semakin terang. Si garangan putih kemudian menghilang di ujung terowongan. Para Pandawa, Dewi Kunthi, dan Kanana memasuki cahaya itu. Tak disangka, mereka sampai disebuah negeri antah-berantah yang sangat asing bagi mereka.
Tak seperti kabar yang tersebar di Hastinapura dan negara-negara di sekelilingnya, Dewi Kunthi dan putra-putranya selamat dari kobaran api dendam di Bale Sigala-gala, berkat pertolongan tangan Dewata Agung lewat Kanana dan garangan putih yang menuntun mereka menyusuri terowongan. Setelah lama berjalan berhari-hari, terowongan yang tadinya sempit kini semakin lebar dan semakin terang. Si garangan putih kemudian menghilang di ujung terowongan. Para Pandawa, Dewi Kunthi, dan Kanana memasuki cahaya itu. Tak disangka, mereka sampai disebuah negeri antah-berantah yang sangat asing bagi mereka.
Para
Pandawa, Dewi Kunthi, dan Kanana saling terheran.”sampai dimana kita ini? Kok
terasa asing ya, gusti ratu?” “aku pun tak tahu, Kanana. Mari kita bertanya
pada para prajurit jaga yang ada disana”.
Merekapun mendatangi para prajurit
itu dan Dewi Kunthi bertanya pada salah satu prajurit jaga “permisi, tuan. Ini
daerah mana ya? Bisakah anda menunjukkan dimana rumah penguasa daerah ini? Kami
ingin beristirahat sejenak sekaligus meminta izin untuk tinggal sebentar” sang
penjaga kemudian mengantar mereka “mari ikuti saya.” Tempat asing itu sangatlah
indah dan mengherankan. Banyak tanaman disana yang janggal dan tak ditemukan di
belahan dunia manapun. Tanaman-tanaman tersebut ada yang tumbuh menggantung
pada batu-batu stalaktit, ada pula menjalar di permukaan tanah, dan ada pula
tanaman yang mampu bercahaya bak batu kristal. Negeri itu tak mengenal siang
ataupun malam namun dapat terang benderang dan gelap temaram oleh pendar cahaya
yang dipantulkan oleh batu-batu kristal beraneka ragam warnanya mengikuti
perubahan siang-malam di permukaan bumi. Air yang mengalir disana terlihat sangat
jernih, sejernih kaca dan sedingin air sumur di pegunungan. Udaranya sangat sejuk
segar, menentramkan hati siapapun yang datang ke sana dan yang paling
mengherankan adalah para prajurit dan warga yang tinggal disitu kebanyakan
bersisik kulitnya dan berbau anyir layaknya bau ular.
Para Pandawa selamat dari kebakaran Bale Sigala-gala |
Tak
lama kemudian, mereka sampai di sebuah istana megah. Istana itu berupa istana
yang dipahat pada dinding gua dan berhiaskan batu-batu indah bak dipahat oleh
para bidadara di kahyangan di atas langit. Dari dalam istana itu keluarlah
sosok yang menjadi sosok raja di daerah itu. Raja tersebut juga berkulit sisik
seperti para penduduk dan prajurit di luar istana. Di sampingnya berdirilah putri
sang raja. Berbeda dengan ayahnya dan penjaga disana, kulitnya putih bersih.
Wajahnya sangat cantik bak bidadari. Badannya sintal dan berisi. Para Pandawa
terutama Bratasena tak dapat berhenti menatap sang gadis cantik. Kemudian,sang
raja menyambut para Pandawa,Dewi Kunthi, dan Kanana lalu mengenalkan dirinya
”selamat datang, anak-anakku Para Pandawa dan rombongan. Syukurlah, kalian bisa
selamat dari kejadian buruk yang hampir menimpa kalian. Perkenalkan, aku Batara
Anantaboga, penguasa kahyangan Saptapertala, kerajaan bawah bumi lapis ke tujuh
dan ini putriku, Nagagini.” Para Pandawa dan Dewi Kunthi kemudian berlutut.
Dewi Kunthi mengucap rasa syukur kepada Batara Anantaboga “Salam, pukulun Anantaboga.
Suatu kehormatan bagi kami bisa datang ke kediaman pukulun. Rupanya garangan
putih yang telah menuntun kami adalah salah satu punggawa pukulun” “sudahlah,
Kunthi. Yang lalu biarlah berlalu, yang penting Hyang Widhi tetap memberikan
keselamatan bagi kita. Mari masuk ke dalam istana. Kalian ku izinkan tinggal
untuk beberapa waktu. Hitung-hitung untuk melepaskan trauma kedua putra
kembarmu.” Kemudian mereka masuk ke istana indah Saptapertala.
Batara
Anantaboga tidak berani menceritakan hal yang sebenarnya agar membuat trauma
yang dialami para Pandawa dan Dewi Kunthi dapat segera mereka lupakan. Sebelum
Bale Sigala-gala terbakar, Batara Guru sudah merasakan panasnya api yang lahir
karena dendam membara itu. Oleh sebab itu, Batara Guru mengutus Batara Anantaboga
untuk berubah menjadi garangan putih. Garangan putih yang sama saat mengerjai
para Pandawa di kuil dan yang menuntun para Pandawa, Dewi Kunthi dan Kanana
menuju terowongan penyelamat lalu menuntun mereka menuju ke Saptapertala dengan
cara gaibnya.
Di
taman istana, Bratasena yang sedang memandangi indahnya tumbuh-tumbuhan dan
bunga-bunga yang mekar di sana terkejut dengan kedatangan Dewi Nagagini “Raden,
sedang apa disini?” “Ehhh... akuu..
sedang memandangi indahnya negeri tempat tinggalmu. Indah sekali.
Tentram rasanya.” Bratasena yang selama ini biasa saja berhadapan dengan wanita
kini menjadi kaku dan kelu ketika bersama Dewi Nagagini. Begitupun Dewi
Nagagini. Ada getaran hati yang bergelora. Serasa di dalam hati mereka,
bunga-bunga mekar dan menari bak padi ditiup angin dalam pikiran. Panah asmara
telah menancap pada dua pasangan beda dunia itu. “Raden suka berada di Saptapertala
ini?” Bratasena terkejut dan menjawab dengan gayanya yang lugas “Ehhh...
senang. Senang sekali!” Nagagini juga membalas “ aku juga dan sejak kedatangan
raden sekeluarga, aku makin betah berada disini.” Jawaban Bratasena tadi
membuat hati Dewi Nagagini semakin bergetar. Sang dewi kemudian berbaring di pangkuan
Bratasena. Lubuk hati Bratasena tak kalah bergetarnya melihat Dewi Nagagini
berbaring di pahanya. Rupanya hati mereka telah saling bertautan dan terjalin sebuah
rasa.
Nampaknya
gelora cinta Bratasena dan Nagagini sudah semakin membahana. Dewi Kunthi
kemudian berunding dengan putra sulungnya, Puntadewa dan Batara Anantaboga
tentang rencana hubungan mereka. Sebenarnya Dewi Kunthi dan Batara Anantaboga
setuju kalau mereka segera menikah namun Dewi Kunthi merasa tidak enak pada
Puntadewa yang sampai sekarang belum memperoleh kekasih.”ibuku, aku tidak
masalah bila Bratasena menikah dulu. Aku tidak merasa dilangkahi malahan merasa
senang dan aku merestui hubungan mereka ke jenjang yang lebih intim.”
Pernyataan putra sulungnya itu membuat Dewi Kunthi terharu dan Bathara
Anantaboga sudah menyiapkan tanggal yang pas untuk pernikahan putri
satu-satunya dengan putra kedua Pandu Dewanata itu.
Hari
pernikahan pun tiba, Bratasena dan Nagagini duduk bersanding di pelaminan berhiaskan
berbagai bunga dan batu mulia yang mengeluarkan pendar yang menenangkan bila mata memandang. Nampaklah kebahagiaan di
balik senyum dan mata mereka. Pernikahan manusia dan bidadari dari bangsa ular
naga itu nampak sempurna.
Tamu-tamu undangan berdatangan dari rakyat
Saptapertala sendiri dan datang pula dari kalangan para dewa, bidadara, dan
bidadari dari atas bumi. Mereka menjadi saksi perkahwinan suci itu. Kahyangan
Saptapertala hari itu memancarkan kemilau indahnya.
Pernikahan Arya Bratasena dengan Dewi Nagagini |
Bratasena
dan Nagagini telah resmi menjadi suami istri dan sedang berbulan madu. Para
Pandawa, Kanana, dan Dewi Kunthi sangat bahagia melihat kebahagiaan mahligai
rumah tangga mereka. Tanpa terasa telah empat bulan berlalu. Benih cinta Arya
Bratasena dan Dewi Nagagini kini telah manjing di gua garba. Dewi Nagagini
telah hamil empat bulan. Namun takdir telah menuntun para Pandawa ke arah lain.
Dewi Kunthi, para putra dan Kanana harus kembali ke permukaan bumi demi
tercapainya cita-cita para Pandawa. “pukulun, hamba beserta anak-anak dan
Kanana harus kembali ke permukaan. Kami berniat mengembara meninggalkan tanah
Hastina untuk mencari pengalaman.” Bathara Anantaboga tak ayal mencegah
keinginan mereka namun sebelum mereka beranjak, dia memberikan saran “Kunthi,
aku tak bisa mencegahmu tapi menyamarlah kalian sebagai brahmana untuk
menyembunyikan identitas kalian.” Setelah menanggalkan pakaian kebesaran mereka
dan berganti dengan pakaian brahmana, Puntadewa memakai nama Resi Dwijakangka.
Bratasena menjadi Wasi Kusumayuda. Permadi menjadi Wasi Parta. Pinten dan
Tangsen menjadi Wasi Grantika dan Tripala. Sedangkan Dewi Kunthi memakai nama
Nyai Prita. Setelah itu Batara Anantaboga berubah menjadi naga dan mengantar
mereka ke permukaan bumi. Dewi Nagagini menatap suami, ibu mertua dan
ipar-iparnya itu dengan penuh harap kelak putra mereka akan bertemu lagi dengan
sang ayah di lain tempat dan kesempatan.
Bathara
Anantaboga mengantarkan mereka hingga di permukaan bumi, tepatnya di pinggir
Bengawan Yamuna. Setelah itu, Kanana memutuskan untuk kembali ke Panggombakan
untuk memberi kabar pada Arya Widura yang sebenarnya terjadi “Kanana, aku tidak
melarangmu untuk kembali tapi kumohon selain kau dan rayi Widura, tolong
rahasiakan tentang nasib dan keberadaan kami. Biarkan Sanghyang Widhi dan waktu
lah yang akan menyibak keberadaan kami pada waktunya nanti.” “Baik, gusti ratu.
Anak-anakku Pandawa, jagalah ibu kalian dan hati-hati di jalan. Tetap waspada
karena bisa saja masih ada mata-mata Kurawa yang berkeliaran di sini. Karena
kalian sedang menjadi brahmana, maka bersikaplah sebagaimana brahmana yang
semestinya agar tak ada yang curiga.” “baik, Paman Kanana.” Setelah Kanana
berpisah dengan mereka, Dewi Kunthi dan para putranya mulai mengembara masuk
hutan keluar hutan, naik gunung turun lembah, terus berjalan mengikuti kemana arah
kaki melangkah, yang jelas menjauh dari tanah Hastinapura. Di tengah
perjalanan, mereka bertemu dengan Ki Lurah Semar dan anak-anaknya lalu mereka
memutuskan untuk ikut mereka mengembara. Mereka senang sekali melihat
bendara-bendara mereka selamat dari api kebakaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar