Kamis, 28 Maret 2019

Cinta Bersemi di Saptapertala

Holla, guys. Karena ada ide untuk melanjutkan yang cerita selanjutnya, jadi saya posting cerita lanjutannya. Kali ini saya akan mengisahkan perjalanan para Pandawa yang selamat dari kebakaran Bale Sigala-gala di kahyangan Saptapertala. Dikisahkan juga pernikahan Raden Arya Bratasena dengan Dewi Nagagini, putri Batara Anantaboga yang kelak akan menurunkan seorang putra sakti mandraguna yaitu Raden Arya Antareja. kisah ini bersumber dari Kisah Kidung Malam karya Herjaka S dan Kitab Pustakaraja Purwa karya Raden Ngabehi Ronggowarsito dengan pengembangan seperlunya dari saya.

Tak seperti kabar yang tersebar di Hastinapura dan negara-negara di sekelilingnya, Dewi Kunthi dan putra-putranya selamat dari kobaran api dendam di Bale Sigala-gala, berkat pertolongan tangan Dewata Agung lewat Kanana dan garangan putih yang menuntun mereka menyusuri terowongan. Setelah lama berjalan berhari-hari, terowongan yang tadinya sempit kini semakin lebar dan semakin terang. Si garangan putih kemudian menghilang di ujung terowongan. Para Pandawa, Dewi Kunthi, dan Kanana memasuki cahaya itu. Tak disangka, mereka sampai disebuah negeri antah-berantah yang sangat asing bagi mereka.
Para Pandawa, Dewi Kunthi, dan Kanana saling terheran.”sampai dimana kita ini? Kok terasa asing ya, gusti ratu?” “aku pun tak tahu, Kanana. Mari kita bertanya pada para prajurit jaga yang ada disana”.
Para Pandawa selamat dari kebakaran Bale Sigala-gala
Merekapun mendatangi para prajurit itu dan Dewi Kunthi bertanya pada salah satu prajurit jaga “permisi, tuan. Ini daerah mana ya? Bisakah anda menunjukkan dimana rumah penguasa daerah ini? Kami ingin beristirahat sejenak sekaligus meminta izin untuk tinggal sebentar” sang penjaga kemudian mengantar mereka “mari ikuti saya.” Tempat asing itu sangatlah indah dan mengherankan. Banyak tanaman disana yang janggal dan tak ditemukan di belahan dunia manapun. Tanaman-tanaman tersebut ada yang tumbuh menggantung pada batu-batu stalaktit, ada pula menjalar di permukaan tanah, dan ada pula tanaman yang mampu bercahaya bak batu kristal. Negeri itu tak mengenal siang ataupun malam namun dapat terang benderang dan gelap temaram oleh pendar cahaya yang dipantulkan oleh batu-batu kristal beraneka ragam warnanya mengikuti perubahan siang-malam di permukaan bumi. Air yang mengalir disana terlihat sangat jernih, sejernih kaca dan sedingin air sumur di pegunungan. Udaranya sangat sejuk segar, menentramkan hati siapapun yang datang ke sana dan yang paling mengherankan adalah para prajurit dan warga yang tinggal disitu kebanyakan bersisik kulitnya dan berbau anyir layaknya bau ular.
Tak lama kemudian, mereka sampai di sebuah istana megah. Istana itu berupa istana yang dipahat pada dinding gua dan berhiaskan batu-batu indah bak dipahat oleh para bidadara di kahyangan di atas langit. Dari dalam istana itu keluarlah sosok yang menjadi sosok raja di daerah itu. Raja tersebut juga berkulit sisik seperti para penduduk dan prajurit di luar istana. Di sampingnya berdirilah putri sang raja. Berbeda dengan ayahnya dan penjaga disana, kulitnya putih bersih. Wajahnya sangat cantik bak bidadari. Badannya sintal dan berisi. Para Pandawa terutama Bratasena tak dapat berhenti menatap sang gadis cantik. Kemudian,sang raja menyambut para Pandawa,Dewi Kunthi, dan Kanana lalu mengenalkan dirinya ”selamat datang, anak-anakku Para Pandawa dan rombongan. Syukurlah, kalian bisa selamat dari kejadian buruk yang hampir menimpa kalian. Perkenalkan, aku Batara Anantaboga, penguasa kahyangan Saptapertala, kerajaan bawah bumi lapis ke tujuh dan ini putriku, Nagagini.” Para Pandawa dan Dewi Kunthi kemudian berlutut. Dewi Kunthi mengucap rasa syukur kepada Batara Anantaboga “Salam, pukulun Anantaboga. Suatu kehormatan bagi kami bisa datang ke kediaman pukulun. Rupanya garangan putih yang telah menuntun kami adalah salah satu punggawa pukulun” “sudahlah, Kunthi. Yang lalu biarlah berlalu, yang penting Hyang Widhi tetap memberikan keselamatan bagi kita. Mari masuk ke dalam istana. Kalian ku izinkan tinggal untuk beberapa waktu. Hitung-hitung untuk melepaskan trauma kedua putra kembarmu.” Kemudian mereka masuk ke istana indah Saptapertala.
Batara Anantaboga tidak berani menceritakan hal yang sebenarnya agar membuat trauma yang dialami para Pandawa dan Dewi Kunthi dapat segera mereka lupakan. Sebelum Bale Sigala-gala terbakar, Batara Guru sudah merasakan panasnya api yang lahir karena dendam membara itu. Oleh sebab itu, Batara Guru mengutus Batara Anantaboga untuk berubah menjadi garangan putih. Garangan putih yang sama saat mengerjai para Pandawa di kuil dan yang menuntun para Pandawa, Dewi Kunthi dan Kanana menuju terowongan penyelamat lalu menuntun mereka menuju ke Saptapertala dengan cara gaibnya.
Di taman istana, Bratasena yang sedang memandangi indahnya tumbuh-tumbuhan dan bunga-bunga yang mekar di sana terkejut dengan kedatangan Dewi Nagagini “Raden, sedang apa disini?” “Ehhh... akuu..  sedang memandangi indahnya negeri tempat tinggalmu. Indah sekali. Tentram rasanya.” Bratasena yang selama ini biasa saja berhadapan dengan wanita kini menjadi kaku dan kelu ketika bersama Dewi Nagagini. Begitupun Dewi Nagagini. Ada getaran hati yang bergelora. Serasa di dalam hati mereka, bunga-bunga mekar dan menari bak padi ditiup angin dalam pikiran. Panah asmara telah menancap pada dua pasangan beda dunia itu. “Raden suka berada di Saptapertala ini?” Bratasena terkejut dan menjawab dengan gayanya yang lugas “Ehhh... senang. Senang sekali!” Nagagini juga membalas “ aku juga dan sejak kedatangan raden sekeluarga, aku makin betah berada disini.” Jawaban Bratasena tadi membuat hati Dewi Nagagini semakin bergetar. Sang dewi kemudian berbaring di pangkuan Bratasena. Lubuk hati Bratasena tak kalah bergetarnya melihat Dewi Nagagini berbaring di pahanya. Rupanya hati mereka telah saling bertautan dan terjalin sebuah rasa.
Nampaknya gelora cinta Bratasena dan Nagagini sudah semakin membahana. Dewi Kunthi kemudian berunding dengan putra sulungnya, Puntadewa dan Batara Anantaboga tentang rencana hubungan mereka. Sebenarnya Dewi Kunthi dan Batara Anantaboga setuju kalau mereka segera menikah namun Dewi Kunthi merasa tidak enak pada Puntadewa yang sampai sekarang belum memperoleh kekasih.”ibuku, aku tidak masalah bila Bratasena menikah dulu. Aku tidak merasa dilangkahi malahan merasa senang dan aku merestui hubungan mereka ke jenjang yang lebih intim.” Pernyataan putra sulungnya itu membuat Dewi Kunthi terharu dan Bathara Anantaboga sudah menyiapkan tanggal yang pas untuk pernikahan putri satu-satunya dengan putra kedua Pandu Dewanata itu.
Hari pernikahan pun tiba, Bratasena dan Nagagini duduk bersanding di pelaminan berhiaskan berbagai bunga dan batu mulia yang mengeluarkan pendar yang menenangkan  bila mata memandang. Nampaklah kebahagiaan di balik senyum dan mata mereka. Pernikahan manusia dan bidadari dari bangsa ular naga itu nampak sempurna.
Pernikahan Arya Bratasena dengan Dewi Nagagini
Tamu-tamu undangan berdatangan dari rakyat Saptapertala sendiri dan datang pula dari kalangan para dewa, bidadara, dan bidadari dari atas bumi. Mereka menjadi saksi perkahwinan suci itu. Kahyangan Saptapertala hari itu memancarkan kemilau indahnya.
Bratasena dan Nagagini telah resmi menjadi suami istri dan sedang berbulan madu. Para Pandawa, Kanana, dan Dewi Kunthi sangat bahagia melihat kebahagiaan mahligai rumah tangga mereka. Tanpa terasa telah empat bulan berlalu. Benih cinta Arya Bratasena dan Dewi Nagagini kini telah manjing di gua garba. Dewi Nagagini telah hamil empat bulan. Namun takdir telah menuntun para Pandawa ke arah lain. Dewi Kunthi, para putra dan Kanana harus kembali ke permukaan bumi demi tercapainya cita-cita para Pandawa. “pukulun, hamba beserta anak-anak dan Kanana harus kembali ke permukaan. Kami berniat mengembara meninggalkan tanah Hastina untuk mencari pengalaman.” Bathara Anantaboga tak ayal mencegah keinginan mereka namun sebelum mereka beranjak, dia memberikan saran “Kunthi, aku tak bisa mencegahmu tapi menyamarlah kalian sebagai brahmana untuk menyembunyikan identitas kalian.” Setelah menanggalkan pakaian kebesaran mereka dan berganti dengan pakaian brahmana, Puntadewa memakai nama Resi Dwijakangka. Bratasena menjadi Wasi Kusumayuda. Permadi menjadi Wasi Parta. Pinten dan Tangsen menjadi Wasi Grantika dan Tripala. Sedangkan Dewi Kunthi memakai nama Nyai Prita. Setelah itu Batara Anantaboga berubah menjadi naga dan mengantar mereka ke permukaan bumi. Dewi Nagagini menatap suami, ibu mertua dan ipar-iparnya itu dengan penuh harap kelak putra mereka akan bertemu lagi dengan sang ayah di lain tempat dan kesempatan.
Bathara Anantaboga mengantarkan mereka hingga di permukaan bumi, tepatnya di pinggir Bengawan Yamuna. Setelah itu, Kanana memutuskan untuk kembali ke Panggombakan untuk memberi kabar pada Arya Widura yang sebenarnya terjadi “Kanana, aku tidak melarangmu untuk kembali tapi kumohon selain kau dan rayi Widura, tolong rahasiakan tentang nasib dan keberadaan kami. Biarkan Sanghyang Widhi dan waktu lah yang akan menyibak keberadaan kami pada waktunya nanti.” “Baik, gusti ratu. Anak-anakku Pandawa, jagalah ibu kalian dan hati-hati di jalan. Tetap waspada karena bisa saja masih ada mata-mata Kurawa yang berkeliaran di sini. Karena kalian sedang menjadi brahmana, maka bersikaplah sebagaimana brahmana yang semestinya agar tak ada yang curiga.” “baik, Paman Kanana.” Setelah Kanana berpisah dengan mereka, Dewi Kunthi dan para putranya mulai mengembara masuk hutan keluar hutan, naik gunung turun lembah, terus berjalan mengikuti kemana arah kaki melangkah, yang jelas menjauh dari tanah Hastinapura. Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan Ki Lurah Semar dan anak-anaknya lalu mereka memutuskan untuk ikut mereka mengembara. Mereka senang sekali melihat bendara-bendara mereka selamat dari api kebakaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar