Hallo, gengs. Apa kabar kalian? Semoga baik, ya. Kali ini saya akan menceritakan makar Patih Arya Sengkuni dan Para Kurawa untuk membakar hidup-hidup para Pandawa di Bale Sigala-gala namun berhasil selamat berkat pertolongan dari Dewata Agung. kisah ini bersumber dari Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa yang dipadukan dengan kisah Kidung Malam karya Herjaka S dan Kitab Pustakaraja Purwa karya Raden Ngabehi Ronggowarsito yang kemudian ada beberapa tambahan dan perubahan dari saya sendiri.
Memang
benar kata orang bijak, manusia hanya dapat berusaha tapi Yang Maha Kuasa-lah
yang menentukan. Begitu pula dengan rancangan jahat Sengkuni dan Suyudana
melenyapkan Bratasena tak berhasil malah si Bratasena menjadi semakin kuat,
perkasa dan kebal segala racun. Kegagalan rancangannya membuat Sengkuni tak
bisa berpikir jernih sehingga dia pergi berjalan jalan keluar kotaraja. Ketika
berjalan-jalan untuk menjernihkan pikiran, dia melihat seseorang membakar sampah
dengan kayu dan minyak gala-gala, tiba-tiba dia mendapatkan sebuah ide, ide
untuk melenyapkan para Pandawa bahkan Dewi Kunthi selama-lamaya dari muka bumi.
Sekembalinya dari jalan-jalan, Patih Sengkuni lalu membicarakan idenya itu
dengan keponakan kesayangannya, Suyudana. Raden Suyudana sangat setuju dan
menyerahkan semuanya pada pamannya itu.
Pada
hari yang ditentukan, Patih Arya Sengkuni memanggil Tumenggung Purocana,
arsitek nomor satu di Hastinapura untuk membangun sebuah pesanggrahan yang jauh
letaknya di luar kotaraja Hastinapura di Warnabrata. “Purocana, aku punya satu
tugasan untukmu. Buatkan aku sebuah pesanggrahan megah di Warnabrata. Untuk masalah
bahan-bahannya sudah ku kirim, tinggal kau bangun saja. Untuk masalah bayaran,
kau bisa tinggal di pesanggrahanmu itu “ tanpa pikir panjang, Tumenggung
Purocana langsung setuju dan segera menuju ke Warnabrata bersama para tukangnya.
Dia tidak curiga sedikitpun walaupun bahan-bahannya sangat tak lazim, yaitu
papan kayu, lak, kain katun bekas, minyak gala-gala, kayu pohon damar, ranting
kering, batu belerang, dan tiangnya terbuat dari bambu yang diisi gandarukem.
Satu bulan kemudian pesanggrahan itu jadi dan dinamailah pesanggrahan itu
dengan nama “Bale Sigala-gala”. Purocana memang menunjukkan kelebihannya dalam
membangun sebuah bangunan. Setelah jadi, Tumenggung Purocana memberitahukan
pada Raden Suyudana.
Pada
suatu hari,Suyudana datang kepada Puntadewa untuk meminta maaf atas
kekeliruannya dan sebagai buktinya, Suyudana sudah membuatkan sebuah
pesanggrahan khusus untuk para Pandawa dan Dewi Kunthi. Tak disangka, Puntadewa
tidak menolak undangan dari Suyudana karena hatinya yang tak suka berburuk
sangka “Terima kasih, kakang Suyudana atas hadiah darimu. Aku terima hadiahmu
dan sebagai gantinya, kau dan adik-adikmu boleh ikut tamasya bersama kami. Tujuh
hari lagi kami akan ke sana“ Gayungpun bersambut, wajah Raden Suyudana terlihat
senang.
Arya
Widura yang waskita telah mendengar kabar tentang Puntadewa yang menerima
hadiah sebuah pesanggrahan mewah bernama Bale Sigala-gala di Warnabrata.
Dirinya curiga dengan perubahan sikap Suyudana yang berubah menjadi baik pada
Pandawa. Kemudian dengan meraga-sukma, dia melihat detil bangunan pesanggrahan.
Setelah dilihat secara detil, Arya Widura menyimpulkan bahwa Bale Sigala-gala
itu akan dijadikan alat untuk membuat Pandawa celaka. Sekembalinya dari
Warnabrata, Arya Widura memanggil abdinya, seorang ahlinya membuat terowongan,
Kanana namanya. “Kanana, aku punya tugas rahasia untukmu. Tugas ini sangat
berat dan berbahaya bila sampai ketahuan pihak Kurawa. Pergilah ke Warnabrata
secara diam-diam dan buatlah sebuah sebuah terowongan penyelamat di bawah Bale
Sigala-gala.” “baik, Tuanku. Saya akan melaksanakan tugas ini dengan amat rapi”
Tanpa banyak tanya, Kanana segera menuju ke Warnabrata karena dia dapat
menangkap apa maksud junjungannya itu. Kurang dari tujuh hari, Kanana sudah
selesai membuat terowongan penyelamat itu. Setelah membuat terowongan, Kanana
menyamar menjadi seorang pelayan di Bale Sigala-gala untuk menyembunyikan hasil
kerjanya itu dari pihak Kurawa dan Patih Arya Sengkuni.
Tak
terasa tujuh hari telah berlalu, pada hari Radite yang cerah ceria, para
Pandawa dan Dewi Kunthi pamit hendak menuju Bale Sigala-gala. Sebelum pergi,
Arya Widura memberikan sebuah pesan “Kakang mbok Kunthi dan anak-anakku
Pandawa, ingatlah satu hal. Ketika sampai disana, jangan sampai meninggalkan
kewaspadaaan dan bila terjadi bahaya besar, ikutilah cara garangan* yang masuk
ke lubang tanah saat hutan terbakar” para Pandawa dan Dewi Kunthi tak paham maksud
Arya Widura kecuali Raden Puntadewa. Dia dapat menangkap makna tersirat dari
pesan itu. Setelah menerima pesan itu, mereka berenam pamit meninggalkan
Panggombakan menuju Bale Sigala-gala.
Sesampainya
di Bale Sigala-gala, para Pandawa dan Dewi Kunthi disambut oleh Patih Arya
Sengkuni,Raden Suyudana dan para Kurawa yang lainnya. “selamat datang, ratu
Kunthi dan keponakanku para Pandawa. Inilah pesanggrahan yang sudah kami buat
untuk kalian. Nah kalian bisa menginap disini selama mungkin yang kalian mau”
Dewi Kunthi yang tak pernah berprasangka buruk kemudian menjawab “Terima kasih,
rayi Patih dan anak-anakku Kurawa tapi kami disini hanya untuk semalam saja kok.”
Di wajah mereka nampak sedikit kecewa namun kekecewaan itu segera dihapus oleh
Puntadewa “Tenang, paman patih. Jangan memperlihatkan wajah sedih itu. Sebagai
gantinya kalian bisa menyelenggarakan pesta bersama kami disini sampai puas.
Toh kami di Panggombakan kami juga merasa sedikit bosan. Apa salahnya sedikit
berpesta. Untuk itu apa paman Sengkuni bisa menjadi penyelenggara pestanya?”
Patih Sengkuni langsung mengiyakan dan mempersilahkan mereka masuk ke
pesanggrahan Bale Sigala-gala. Patih Sengkuni menunggingkan senyumnya
menandakan dia terdapat sebuah rencana baru di dalam benaknya.
Didalam
pesanggrahan, para Pandawa amat terkesima melihat keindahannya. Pencahayaan di
pesanggrahan itu menggunakan pantulan cahaya dari luar menggunakan cermin dan
kaca sehingga tak perlu menyalakan api untuk jadi lampu. Interiornya amat rapi
dan memukau mata bak ditata oleh para dewa. Pesanggrahannya juga sangat lega
dan terdapat sebuah ruangan yang luas yang bisa digunakan untuk pesta. Karena
kecapekan setelah menempuh perjalanan cukup melelahkan, malam itu mereka
beristirahat di kamar yang sudah ada.
Keesokan
harinya, para Pandawa dan Dewi Kunthi meminta izin pada Patih Sengkuni untuk pergi
berdoa di kuil di pinggir hutan karena di dekat pesanggrahan tidak ada kuil
ataupun padmasari. Untuk masalah pesta, Patih Sengkuni langsung menyiapkannya.
Ketika mereka sedang berdoa memohon keselamatan, tiba-tiba selendang kepunyaan
Dewi Kunthi diambil oleh seekor garangan. Garangan itu berwarna putih bersih
bagaikan ketumpahan susu. Raden Permadi kemudian mengejar garangan itu. Setelah
cukup lama mengejar, garangan itu menghilang dibalik rimbunnya semak-semak dan
Permadi menemukan selendang ibunya itu. Setelah mereka berdoa, mereka
memutuskan untuk berjalan-jalan melihat keindahan alam Warnabrata
Pertemuan para Pandawa dengan garangan putih |
Sementara
itu, Patih Sengkuni sudah menyiapkan segalanya untuk pesta nanti malam. Umbul-umbul,
bendera, aneka bunga berwarna-warni dan segala makanan-minuman dipersiapkan
sedemikian rupa. Sengkuni sudah menyiapkan pesta itu agar bisa seramai mungkin
agar para Pandawa menjadi lengah dan terjebak oleh hingar bingarnya pesta
ditambah dengan masuknya berbagai minuman memabukkan untuk membuat para Pandawa
menjadi mabuk dan limbung sehingga mereka tak akan sadar bahwa mereka akan dibunuh
dan dibakar hidup-hidup
Malam hari pun tiba, para tamu berdatangan,
begitupun para Pandawa dan Dewi Kunthi yang baru saja selesai jalan-jalan.
Patih Sengkuni menyambut mereka juga dengan penuh keramahtamahan. Pesta sasana
andrawina itu sangat meriah, penuh hingar bingar. Rangkaian acaranya bagus, mbanyu
mili tak berhenti. Berbagai makanan dan minuman yang terhidang mampu membuat sesiapapun
menjadi tergoda untuk mencicipi. Suasana yang menggembirakan menyihir siapa
saja tidak waspada dan gampang terlena hedonisme dunia. Satu persatu
kewaspadaan para tamu hilang dan justru para Kurawa menjadi mabuk kepayang lebih
dahulu sementara para Pandawa tetap mampu mengontrol diri dan tidak terhanyut
dalam pesta. Suyudana dan Dursasana sudah tak bisa mengontrol dirinya untuk
tetap minum tuak sampai mabuk. Patih Sengkuni yang kebingungan segera
menghentikan rangkaian acara itu karena sudah tidak ada perhatian dari para
tamu pesta. Dengan hati-hati, Patih Sengkuni dibantu para abdi dalemnya menyadarkan
para Kurawa. Di saat yang bersamaan, datanglah sebuah rombongan pendeta, enam
jumlahnya, lima lelaki dan satu perempuan datang ke dalam pesta. Kedatangan
keenam pendeta itu disambut hangat oleh para Pandawa dan Dewi Kunthi. Mereka
dipersilahkan untuk makan dan minum apa yang masih terhidang sepuasnya.
Sementara
itu karena pesta telah selesai, Patih Arya Sengkuni mempersilahkan para Pandawa
dan Dewi Kunthi untuk beristirahat karena acara pesta telah selesai. Setelah
itu dengan hati-hati, Patih Sengkuni dibantu para pelayan memapah para Kurawa.
Dewi Kunthi kemudian mempersilahkan keenam pendeta itu untuk beristirahat di
kamarnya “Selamat malam, para pendeta kekeasih dewata. Semoga tidur kalian
nyenyak.”
Malam
mulai merambat menuju subuh, Dewi Kunthi dan para putra yang berjalan menuju
kamar bertemu Kanana, abdi Arya Widura yang menyamar menjadi pelayan. “Gusti
ratu Kunthi, syukurlah anda dan para putra baik-baik saja. Saya diperintahkan
gusti Arya Widura untuk membuat terowongan penyelamat disini bila terjadi
bahaya. Terowongannya ada di dekat kamar yang hendak gusti ratu datangi
sekarang....” baru saja Kanana hendak melanjutkan kata-katanya, tiba-tiba
mereka terkejut melihat cahaya merah merambat dengan cepat. Hawa panas mulai
menyeruak. Api mulai membakar pesanggrahan. Kepanikan terjadi. Bratasena yang
berbadan besar segera menggendong ibu dan adik-adik bungsunya, Pinten-Tangsen.
Para Pandawa dan Kanana segera lari menuju terowongan sambil melompat ke
sana-sini menghindari puing-puing api yang berjatuhan. Dalam keadaan sebegitu
mengerikannya, tiba-tiba datanglah garangan putih yang mereka lihat di hutan
tadi menuntun mereka menuju terowongan. Begitu sampai, Kanana, dan para Pandawa
beserta Dewi Kunthi yang digendong Bratasena segera terjun ke dalam terowongan
dan terus berlari mengikuti garangan putih tersebut menjauhi lidah-lidah api yang kian panas dan asap yang kian tebal menyesakkan dada.
Pertolongan dari garangan putih |
Sementara
itu, api kebakaran terus merambat dan membakar apa saja bahkan rumah Purocana
yang terletak di samping pesanggrahan Bale Sigala-gala. Purocana yang tak
sempat menyelamatkan diri ikut terpanggang diantara tiang-tiang pesanggrahan yang meledak. “Bakar!! Ayo bakar!! Semua cepat
bakar!!” Patih Sengkuni terus menyuruh para Kurawa melakukan pembakaran sampai-sampai
tiang-tiang Bale Sigala-gala yang berisi gandarukem meledak ke angkasa. Api kian panas dan asap semakin tebal membuat para kawula yang tinggal didekatnya terkejut . Patih
Arya Sengkuni tersenyum puas melihat terbakarnya Bale Sigala-gala yang berisi
para Pandawa dan saksi mata juga ikut lenyap. Dengan terbakarnya Pandawa lima,
takhta Hastinapura dapat dipastikan akan aman dan dapat dimiliki oleh Suyudana, keponakannya yang
tersayang. Keesokan paginya, Bale Sigala-gala sudah tinggal puing-puing.
Di
Hastinapura, para petinggi keraton syok berat mendengar kabar bahawa para
Pandawa dan ibu mereka meninggal karena peristiwa kebakaran di Warnabrata.
Bukti juga ada yaitu terdapat enam jenazah di antara puing-puing Bale
Sigala-gala. Sengkuni yakin bahawa keenam jenazah itu adalah Dewi Kunthi, dan
anak-anaknya. Bendera setengah tiang berkibar di setiap tempat di Hastinapura.
Maharesi Bhisma sangat terpukul atas kepergian para Pandawa sehingga mengurung
diri di padepokan Talkanda. Arya Widura masih terlihat syok tapi dia yakin
bahwa Puntadewa, Bratasena, Permadi, Pinten, dan Tangsen beserta ibu mereka
masih hidup. Prabu Dretarastra di keratonnya menangisi kepergian keponakannya
yang disayanginya itu sampai jatuh pingsan karena merasa tak bisa menjaga
amanat adiknya, Pandu Dewanata. Dewi Gendari walau nampak dendam pada anak-anak
Pandu tapi dalam nuraninya tetap bersedih karena walau bagaimanapun, Dewi
Kunthi sudah bersikap baik kepadanya dan anak-anaknya dengan penuh kasih. Tapi
bagi Patih Sengkuni, kematian para Pandawa adalah anugerah bagi keponakan
tercinta agar bisa mulus dalam bertakhta dan mengangkat derajat orangtuanya.
Tapi nampaknya dia tak tahu apa yang terjadi sebenarnya terjadi di saat
kebakaran itu. Sekali lagi, Hyang Widhi sudah memperlihatkan kuasa-Nya.
*garangan adalah
makhluk sejenis musang pemakan daging yang mampu bersarang dan membuat lubang
di tanah. Hidupnya disekitar sawah, kebun, atau hutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar