Rabu, 27 Maret 2019

Api Dendam Bale Sigala-gala


Hallo, gengs. Apa kabar kalian? Semoga baik, ya. Kali ini saya akan menceritakan makar Patih Arya Sengkuni dan Para Kurawa untuk membakar hidup-hidup para Pandawa di Bale Sigala-gala namun berhasil selamat berkat pertolongan dari Dewata Agung. kisah ini bersumber dari Kitab Mahabharata karya Mpu Vyasa yang dipadukan dengan kisah Kidung Malam karya Herjaka S dan Kitab Pustakaraja Purwa karya Raden Ngabehi Ronggowarsito yang kemudian ada beberapa tambahan dan perubahan dari saya sendiri.

Memang benar kata orang bijak, manusia hanya dapat berusaha tapi Yang Maha Kuasa-lah yang menentukan. Begitu pula dengan rancangan jahat Sengkuni dan Suyudana melenyapkan Bratasena tak berhasil malah si Bratasena menjadi semakin kuat, perkasa dan kebal segala racun. Kegagalan rancangannya membuat Sengkuni tak bisa berpikir jernih sehingga dia pergi berjalan jalan keluar kotaraja. Ketika berjalan-jalan untuk menjernihkan pikiran, dia melihat seseorang membakar sampah dengan kayu dan minyak gala-gala, tiba-tiba dia mendapatkan sebuah ide, ide untuk melenyapkan para Pandawa bahkan Dewi Kunthi selama-lamaya dari muka bumi. Sekembalinya dari jalan-jalan, Patih Sengkuni lalu membicarakan idenya itu dengan keponakan kesayangannya, Suyudana. Raden Suyudana sangat setuju dan menyerahkan semuanya pada pamannya itu.
Pada hari yang ditentukan, Patih Arya Sengkuni memanggil Tumenggung Purocana, arsitek nomor satu di Hastinapura untuk membangun sebuah pesanggrahan yang jauh letaknya di luar kotaraja Hastinapura di Warnabrata. “Purocana, aku punya satu tugasan untukmu. Buatkan aku sebuah pesanggrahan megah di Warnabrata. Untuk masalah bahan-bahannya sudah ku kirim, tinggal kau bangun saja. Untuk masalah bayaran, kau bisa tinggal di pesanggrahanmu itu “ tanpa pikir panjang, Tumenggung Purocana langsung setuju dan segera menuju ke Warnabrata bersama para tukangnya. Dia tidak curiga sedikitpun walaupun bahan-bahannya sangat tak lazim, yaitu papan kayu, lak, kain katun bekas, minyak gala-gala, kayu pohon damar, ranting kering, batu belerang, dan tiangnya terbuat dari bambu yang diisi gandarukem. Satu bulan kemudian pesanggrahan itu jadi dan dinamailah pesanggrahan itu dengan nama “Bale Sigala-gala”. Purocana memang menunjukkan kelebihannya dalam membangun sebuah bangunan. Setelah jadi, Tumenggung Purocana memberitahukan pada Raden Suyudana.
Pada suatu hari,Suyudana datang kepada Puntadewa untuk meminta maaf atas kekeliruannya dan sebagai buktinya, Suyudana sudah membuatkan sebuah pesanggrahan khusus untuk para Pandawa dan Dewi Kunthi. Tak disangka, Puntadewa tidak menolak undangan dari Suyudana karena hatinya yang tak suka berburuk sangka “Terima kasih, kakang Suyudana atas hadiah darimu. Aku terima hadiahmu dan sebagai gantinya, kau dan adik-adikmu boleh ikut tamasya bersama kami. Tujuh hari lagi kami akan ke sana“ Gayungpun bersambut, wajah Raden Suyudana terlihat senang.
Arya Widura yang waskita telah mendengar kabar tentang Puntadewa yang menerima hadiah sebuah pesanggrahan mewah bernama Bale Sigala-gala di Warnabrata. Dirinya curiga dengan perubahan sikap Suyudana yang berubah menjadi baik pada Pandawa. Kemudian dengan meraga-sukma, dia melihat detil bangunan pesanggrahan. Setelah dilihat secara detil, Arya Widura menyimpulkan bahwa Bale Sigala-gala itu akan dijadikan alat untuk membuat Pandawa celaka. Sekembalinya dari Warnabrata, Arya Widura memanggil abdinya, seorang ahlinya membuat terowongan, Kanana namanya. “Kanana, aku punya tugas rahasia untukmu. Tugas ini sangat berat dan berbahaya bila sampai ketahuan pihak Kurawa. Pergilah ke Warnabrata secara diam-diam dan buatlah sebuah sebuah terowongan penyelamat di bawah Bale Sigala-gala.” “baik, Tuanku. Saya akan melaksanakan tugas ini dengan amat rapi” Tanpa banyak tanya, Kanana segera menuju ke Warnabrata karena dia dapat menangkap apa maksud junjungannya itu. Kurang dari tujuh hari, Kanana sudah selesai membuat terowongan penyelamat itu. Setelah membuat terowongan, Kanana menyamar menjadi seorang pelayan di Bale Sigala-gala untuk menyembunyikan hasil kerjanya itu dari pihak Kurawa dan Patih Arya Sengkuni.
Tak terasa tujuh hari telah berlalu, pada hari Radite yang cerah ceria, para Pandawa dan Dewi Kunthi pamit hendak menuju Bale Sigala-gala. Sebelum pergi, Arya Widura memberikan sebuah pesan “Kakang mbok Kunthi dan anak-anakku Pandawa, ingatlah satu hal. Ketika sampai disana, jangan sampai meninggalkan kewaspadaaan dan bila terjadi bahaya besar, ikutilah cara garangan* yang masuk ke lubang tanah saat hutan terbakar” para Pandawa dan Dewi Kunthi tak paham maksud Arya Widura kecuali Raden Puntadewa. Dia dapat menangkap makna tersirat dari pesan itu. Setelah menerima pesan itu, mereka berenam pamit meninggalkan Panggombakan menuju Bale Sigala-gala.
Sesampainya di Bale Sigala-gala, para Pandawa dan Dewi Kunthi disambut oleh Patih Arya Sengkuni,Raden Suyudana dan para Kurawa yang lainnya. “selamat datang, ratu Kunthi dan keponakanku para Pandawa. Inilah pesanggrahan yang sudah kami buat untuk kalian. Nah kalian bisa menginap disini selama mungkin yang kalian mau” Dewi Kunthi yang tak pernah berprasangka buruk kemudian menjawab “Terima kasih, rayi Patih dan anak-anakku Kurawa tapi kami disini hanya untuk semalam saja kok.” Di wajah mereka nampak sedikit kecewa namun kekecewaan itu segera dihapus oleh Puntadewa “Tenang, paman patih. Jangan memperlihatkan wajah sedih itu. Sebagai gantinya kalian bisa menyelenggarakan pesta bersama kami disini sampai puas. Toh kami di Panggombakan kami juga merasa sedikit bosan. Apa salahnya sedikit berpesta. Untuk itu apa paman Sengkuni bisa menjadi penyelenggara pestanya?” Patih Sengkuni langsung mengiyakan dan mempersilahkan mereka masuk ke pesanggrahan Bale Sigala-gala. Patih Sengkuni menunggingkan senyumnya menandakan dia terdapat sebuah rencana baru di dalam benaknya.
Didalam pesanggrahan, para Pandawa amat terkesima melihat keindahannya. Pencahayaan di pesanggrahan itu menggunakan pantulan cahaya dari luar menggunakan cermin dan kaca sehingga tak perlu menyalakan api untuk jadi lampu. Interiornya amat rapi dan memukau mata bak ditata oleh para dewa. Pesanggrahannya juga sangat lega dan terdapat sebuah ruangan yang luas yang bisa digunakan untuk pesta. Karena kecapekan setelah menempuh perjalanan cukup melelahkan, malam itu mereka beristirahat di kamar yang sudah ada.
Keesokan harinya, para Pandawa dan Dewi Kunthi meminta izin pada Patih Sengkuni untuk pergi berdoa di kuil di pinggir hutan karena di dekat pesanggrahan tidak ada kuil ataupun padmasari. Untuk masalah pesta, Patih Sengkuni langsung menyiapkannya.
Pertemuan para Pandawa dengan garangan putih
Ketika mereka sedang berdoa memohon keselamatan, tiba-tiba selendang kepunyaan Dewi Kunthi diambil oleh seekor garangan. Garangan itu berwarna putih bersih bagaikan ketumpahan susu. Raden Permadi kemudian mengejar garangan itu. Setelah cukup lama mengejar, garangan itu menghilang dibalik rimbunnya semak-semak dan Permadi menemukan selendang ibunya itu. Setelah mereka berdoa, mereka memutuskan untuk berjalan-jalan melihat keindahan alam Warnabrata
Sementara itu, Patih Sengkuni sudah menyiapkan segalanya untuk pesta nanti malam. Umbul-umbul, bendera, aneka bunga berwarna-warni dan segala makanan-minuman dipersiapkan sedemikian rupa. Sengkuni sudah menyiapkan pesta itu agar bisa seramai mungkin agar para Pandawa menjadi lengah dan terjebak oleh hingar bingarnya pesta ditambah dengan masuknya berbagai minuman memabukkan untuk membuat para Pandawa menjadi mabuk dan limbung sehingga mereka tak akan sadar bahwa mereka akan dibunuh dan dibakar hidup-hidup
 Malam hari pun tiba, para tamu berdatangan, begitupun para Pandawa dan Dewi Kunthi yang baru saja selesai jalan-jalan. Patih Sengkuni menyambut mereka juga dengan penuh keramahtamahan. Pesta sasana andrawina itu sangat meriah, penuh hingar bingar. Rangkaian acaranya bagus, mbanyu mili tak berhenti. Berbagai makanan dan minuman yang terhidang mampu membuat sesiapapun menjadi tergoda untuk mencicipi. Suasana yang menggembirakan menyihir siapa saja tidak waspada dan gampang terlena hedonisme dunia. Satu persatu kewaspadaan para tamu hilang dan justru para Kurawa menjadi mabuk kepayang lebih dahulu sementara para Pandawa tetap mampu mengontrol diri dan tidak terhanyut dalam pesta. Suyudana dan Dursasana sudah tak bisa mengontrol dirinya untuk tetap minum tuak sampai mabuk. Patih Sengkuni yang kebingungan segera menghentikan rangkaian acara itu karena sudah tidak ada perhatian dari para tamu pesta. Dengan hati-hati, Patih Sengkuni dibantu para abdi dalemnya menyadarkan para Kurawa. Di saat yang bersamaan, datanglah sebuah rombongan pendeta, enam jumlahnya, lima lelaki dan satu perempuan datang ke dalam pesta. Kedatangan keenam pendeta itu disambut hangat oleh para Pandawa dan Dewi Kunthi. Mereka dipersilahkan untuk makan dan minum apa yang masih terhidang sepuasnya.
Sementara itu karena pesta telah selesai, Patih Arya Sengkuni mempersilahkan para Pandawa dan Dewi Kunthi untuk beristirahat karena acara pesta telah selesai. Setelah itu dengan hati-hati, Patih Sengkuni dibantu para pelayan memapah para Kurawa. Dewi Kunthi kemudian mempersilahkan keenam pendeta itu untuk beristirahat di kamarnya “Selamat malam, para pendeta kekeasih dewata. Semoga tidur kalian nyenyak.”
Malam mulai merambat menuju subuh, Dewi Kunthi dan para putra yang berjalan menuju kamar bertemu Kanana, abdi Arya Widura yang menyamar menjadi pelayan. “Gusti ratu Kunthi, syukurlah anda dan para putra baik-baik saja. Saya diperintahkan gusti Arya Widura untuk membuat terowongan penyelamat disini bila terjadi bahaya. Terowongannya ada di dekat kamar yang hendak gusti ratu datangi sekarang....” baru saja Kanana hendak melanjutkan kata-katanya, tiba-tiba mereka terkejut melihat cahaya merah merambat dengan cepat. Hawa panas mulai menyeruak. Api mulai membakar pesanggrahan. Kepanikan terjadi. Bratasena yang berbadan besar segera menggendong ibu dan adik-adik bungsunya, Pinten-Tangsen.
Pertolongan dari garangan putih
Para Pandawa dan Kanana segera lari menuju terowongan sambil melompat ke sana-sini menghindari puing-puing api yang berjatuhan. Dalam keadaan sebegitu mengerikannya, tiba-tiba datanglah garangan putih yang mereka lihat di hutan tadi menuntun mereka menuju terowongan. Begitu sampai, Kanana, dan para Pandawa beserta Dewi Kunthi yang digendong Bratasena segera terjun ke dalam terowongan dan terus berlari mengikuti garangan putih tersebut menjauhi lidah-lidah api yang kian panas dan asap yang kian tebal menyesakkan dada.
Sementara itu, api kebakaran terus merambat dan membakar apa saja bahkan rumah Purocana yang terletak di samping pesanggrahan Bale Sigala-gala. Purocana yang tak sempat menyelamatkan diri ikut terpanggang diantara tiang-tiang pesanggrahan yang meledak. “Bakar!! Ayo bakar!! Semua cepat bakar!!” Patih Sengkuni terus menyuruh para Kurawa melakukan pembakaran sampai-sampai tiang-tiang Bale Sigala-gala yang berisi gandarukem meledak ke angkasa. Api kian panas dan asap semakin tebal membuat para kawula yang tinggal didekatnya terkejut . Patih Arya Sengkuni tersenyum puas melihat terbakarnya Bale Sigala-gala yang berisi para Pandawa dan saksi mata juga ikut lenyap. Dengan terbakarnya Pandawa lima, takhta Hastinapura dapat dipastikan akan aman dan dapat dimiliki oleh Suyudana, keponakannya yang tersayang. Keesokan paginya, Bale Sigala-gala sudah tinggal puing-puing.
Di Hastinapura, para petinggi keraton syok berat mendengar kabar bahawa para Pandawa dan ibu mereka meninggal karena peristiwa kebakaran di Warnabrata. Bukti juga ada yaitu terdapat enam jenazah di antara puing-puing Bale Sigala-gala. Sengkuni yakin bahawa keenam jenazah itu adalah Dewi Kunthi, dan anak-anaknya. Bendera setengah tiang berkibar di setiap tempat di Hastinapura. Maharesi Bhisma sangat terpukul atas kepergian para Pandawa sehingga mengurung diri di padepokan Talkanda. Arya Widura masih terlihat syok tapi dia yakin bahwa Puntadewa, Bratasena, Permadi, Pinten, dan Tangsen beserta ibu mereka masih hidup. Prabu Dretarastra di keratonnya menangisi kepergian keponakannya yang disayanginya itu sampai jatuh pingsan karena merasa tak bisa menjaga amanat adiknya, Pandu Dewanata. Dewi Gendari walau nampak dendam pada anak-anak Pandu tapi dalam nuraninya tetap bersedih karena walau bagaimanapun, Dewi Kunthi sudah bersikap baik kepadanya dan anak-anaknya dengan penuh kasih. Tapi bagi Patih Sengkuni, kematian para Pandawa adalah anugerah bagi keponakan tercinta agar bisa mulus dalam bertakhta dan mengangkat derajat orangtuanya. Tapi nampaknya dia tak tahu apa yang terjadi sebenarnya terjadi di saat kebakaran itu. Sekali lagi, Hyang Widhi sudah memperlihatkan kuasa-Nya.
*garangan adalah makhluk sejenis musang pemakan daging yang mampu bersarang dan membuat lubang di tanah. Hidupnya disekitar sawah, kebun, atau hutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar